Anda di halaman 1dari 34

KETOASIDOSIS DIABETIK

I. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya

hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi

insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik

DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata,

ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009).

II. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 dan

Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3

bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun,

menurut American Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian

dengan tambahan Pra‐Diabetes.

a) Diabetes tipe 1

DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat lazim terjadi pada anak

remaja tetapi kadang‐kandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang

non‐obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama

kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan

hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat

dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. Oleh

karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki


katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa

darah (Karam, 2002).

Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria), rasa

haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan gejala

ini dapat terjadi sewaktu‐waktu (tiba‐tiba) (WHO, 2008).

b) Diabetes tipe 2

DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada orang

dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau

secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan kerja

insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian

besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan

kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas

terhadap glukosa (Karam, 2002).

Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala

bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat terjadi.

Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang obesitas.

c) Diabetes Gestational

DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO,

2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun

memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM

gestational. DM gestational biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan

trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan


umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestational

terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Anonim, 2009).

Mekanisme DM gestational belum diketahui secara pasti. Namun, besar

kemungkinan terjadi akibat hambatan kerja insulin oleh hormon plasenta sehingga

terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin ini membuat tubuh bekerja keras untuk

menghasilkan insulin sebanyak 3 kali dari normal.

DM gestational terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat dan menggunakan

seluruh insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa insulin, glukosa tidak

dihantarkan ke jaringan untuk dirubah menjadi energi, sehingga glukosa

meningkat dalam darah yang disebut dengan hiperglikemia (Anonim, 2009).

d) Pra‐Diabetes

Pra‐diabetes merupakan DM yang terjadi sebelum berkembang menjadi DM tipe

2. Penyakit ini ditandai dengan naiknya KGD melebihi normal tetapi belum cukup

tinggi untuk dikatakan DM. Di Amerika Serikat ±57 juta orang menderita

pra‐diabetes. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa beberapa kerusakan

jangka panjang khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi, kemungkinan sudah

terjadi pada pra‐diabetes, untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan diet nutrisi

dan latihan fisik (Anonim, 2009).

III. Epidemiologi

Tingkat prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, diperkirakan sekitar 16 juta kasus DM

di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus


baru. DM merupakan penyebab kematian di Amerika Serikat dan merupakan

penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia

yang sama, penderita DM paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan

jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita DM. Tujuh puluh lima persen

penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung,

gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi utama. Selain

itu kematian fetus intrauterine pada ibu penderita DM yang tidak terkontrol juga

meningkat. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat akibat biaya pengobatan dan

hilangnya pendapatan, selain konsekwensi finansial karena banyaknya komplikasi

seperti kebutaan dan penyakit vaskuler (Price dan Wilson, 2002).

IV. Patofisiologi

Pada DM tipe 2 terjadi 2 defek fisiologi yaitu abnormalitas sekresi insulin, dan

resistensi kerjanya pada jaringan sasaran. Pada DM tipe 2 terjadi 3 fase urutan

klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal meski pun terjadi resistensi insulin

karena insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung

memburuk sehingga meski pun terjadi peningkatan konsentrasi insulin, tetap

terjadi intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase

ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, sehingga

menyebabkan hiperglikemia puasa dan DM yang nyata (Foster, 2000).

Hipotesis menjelaskan adanya keterlibatan sintesis lemak terstimulasi insulin

dalam hati dengan transpor lemak melalui VLDL menyebabkan


penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan

mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Keterlambatan penurunan

pelepasan insulin dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau

Langerhans atau akibat defek genetik. Sebagian besar pasien DM tipe 2

mengalami obesitas, dan hal itu sendiri yang menyebabkan resistensi insulin.

Namun penderita DM tipe 2 yang relatif tidak obesitas dapat mengalami

hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal ini membuktikan bahwa

obesitas bukan penyebab resistensi satu‐satunya DM tipe 2 (Foster, 2000).

Pada DM tipe 2, massa sel β utuh, sedangkan populasi sel α meningkat, sehingga

menyebabkan peningkatan rasio sel α dan β. Hal ini menyebabkan kelebihan

relatif glukagon dibanding insulin (Foster, 2000).

Sudah lama diketahui bahwa endapan amiloid ditemukan dalam pankreas pasien

DM tipe 2, namun peranan amilin terkait dengan DM belum dapat dibuktikan.

Amilin merupakan suatu peptida asam amino 37. Pada keadaan normal, amilin

terbungkus bersama‐sama insulin dalam granula sekretori dan dikeluarkan

bersama‐sama sebagai respons terhadap pengeluaran insulin. Penumpukan amilin

dalam pulau Langerhans kemungkinan merupakan akibat kelebihan produksi

sekunder karena resistensi insulin. Kemungkinan lain, penumpukan amilin dalam

pulau Langerhans menyebabkan kegagalan lambatnya produksi insulin pada

pasien yang sudah lama menderita DM tipe 2 (Foster, 2000).


V. Gambaran Klinis

DM tipe 1 biasanya mulai terjadi sebelum umur 40 tahun. Di Amerika Serikat

insidensi puncak terjadi sekitar umur 14 tahun. Gejala awal yaitu tiba‐tiba haus,

sering buang air kecil, peningkatan nafsu makan, dan penurunan berat badan

selama beberapa hari. Pada sebagian kasus, DM tipe 1 ditunjukkan dengan

timbulnya ketoasidosis pada DM yang baru atau setelah pembedahan. Pada DM

tipe 1 kadar insulin plasma rendah atau tidak terukur, kadar glukagon meningkat

tetapi dapat ditekan oleh insulin. Begitu timbul gejala, diperlukan insulin.

Terkadang, kejadian awal ketoasidosis diikuti oleh interval bebas gejala (periode

honeymoon) yang tidak memerlukan terapi (Foster, 2000).

DM tipe 2 biasanya mulai terjadi pada pertengahan umur atau lebih. Pasien

biasanya gemuk, gejala terjadi perlahan‐lahan, dan diagnosis sering dilakukan jika

individu tanpa gejala mengalami peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan

laboratorium rutin. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2 kadar insulin

plasma normal hingga tinggi dalam istilah absolut, meski pun lebih rendah dari

yang diperkirakan untuk kadar glukosa plasma (terjadi defisiensi insulin relatif).

Kadar glukagon tinggi dan resisten, dimana respons glukagon yang berlebihan

akibat makanan yang masuk tidak dapat ditekan akibat fungsi sel alfa tetap

abnormal. Komplikasi akut yang terjadi pada pasien DM tipe 2 adalah sindroma

koma hiperosmolar non‐ketotik, dan tidak terjadi ketoasidosis. Ketoasidosis tidak

terjadi akibat hati resisten terhadap glukagon sehingga kadar malonil‐CoA tetap

tinggi, sehingga menghambat oksidasi asam lemak jalur


ketogenik. Jika penurunan berat badan terjadi, dapat diatasi dengan diet saja.

Sebagian besar pasien yang gagal dengan terapi diet memberi respons terhadap

sulfonilurea, tetapi perbaikan hiperglikemia pada kebanyakan penderita tidak

cukup hanya dengan obat ini saja, karena itu sejumlah besar pasien DM tipe 2

memerlukan insulin (Foster, 2000).

VI. Diagnosis
Kriteria diagnosis DM yang telah direvisi menurut ADA (American diabetes

association) adalah :

a. Nilai A1c > 6,5%, diagnosis DM harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan A1c

ulangan, kecuali gejala klinis dan nilai kadar gula darah > 200 mg/dl.

b. Ditemukan gejala hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl.

Gejala klasik hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, dan penurunan berat

badan tanpa sebab yang jelas, atau

c. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa berarti pasien tidak menerima

asupan kalori 8 jam terakhir sebelum pemeriksaan, atau

d. Kadar gula darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl setelah tes toleransi

glukosa menggunakan glukosa 75 gram (Cavallerano, 2009).

VII. Komplikasi

DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi

pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, dan

saraf. Dengan penanganan yang baik, berupa kerjasama yang


erat antara pasien dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik DM dapat

dicegah, setidaknya dihambat perkembangannya (Waspadji, 1996)

Komplikasi DM terbagi dua yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi

vaskular jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan perubahan yang

relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling

serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA). Komplikasi akut yang

lain adalah hiperglikemia hiperosmolar koma non‐ketotik (HHNK), dan

hipoglikemia (Price dan Wilson, 2002).

Komplikasi vaskular jangka panjang DM melibatkan pembuluh darah kecil

(mikroangiopati) dan pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati).

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol

retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf perifer

(neuropati diabetik), dan otot serta kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai

gambaran histopatologis berupa aterosklerosis (Price dan Wilson, 2002).

VIII. Penilaian Pengontrolan Glukosa

Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe

DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada keadaan

normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang

(Price dan Wilson, 2002).

Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi.

Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses non‐


enzimatik dan bersifat reversibel. Pada pasien DM, glikosilasi hemoglobin

meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2‐3

bulan sebelumnya. Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara

70‐140 mg% selama 2‐3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan menunjukkan

nilai normal. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai HbA1c yang tinggi

menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4‐ 8 minggu. Nilai

normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang digunakan,

namun berkisar antara 3,5%‐5,5% (Tabel 1.1). Pemeriksaan HbA1c merupakan

pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka

panjang (Waspadji, 1996).

Tabel 1.1 Kadar glikat hemoglobin pada penderita diabetes


melitus (Price dan Wilson. 2002)

Normal/Kontrol glukosa HbA1c


(%)
Nilai normal 3,5‐5,5

Kontrol glukosa baik 3,5‐6

Kontrol glukosa sedang 7,0‐8,0

Kontrol glukosa buruk >8

2.1 Anatomi Retina

Retina merupakan lembaran jaringan neural terdiri atas sebaran serabut saraf

optik, letaknya antara badan kaca dan koroid (Gambar 2.1)

(http//webvision.med.utah.edu/sretina.html). Bagian anterior retina melekat erat

pada epitel pigmen. Di bagian belakang, saraf optik merekatkan retina ke dinding
bola mata. Di lain tempat retina mudah dipisahkan dari epitel pigmen. Pada orang

dewasa, ora serata (bagian ujung depan retina yang bergerigi) di bagian temporal

bola mata letaknya kira‐kira 6,5 mm di belakang garis Schwalbe, sedangkan di

bagian nasalnya kira‐kira 5,7 mm di belakang garis tersebut. Di ora serata tebal

retina 0,1 mm, sedangkan di polus posterior 0,23 mm. Yang paling tipis adalah di

fovea sentralis yaitu bagian tengah makula. Retina normal bening dan sebagian

cahaya dipantulkan di batas vitreo‐retina. Fovea sentralis terletak kira‐kira 3,5 mm

di sebelah lateral papil optik khusus untuk membedakan penglihatan yang halus.

Semua reseptor di fovea adalah sel kerucut. Hampir di seluruh retina akson sel‐sel

reseptor melintas langsung ke bagian dalam lapisan pleksiform luar berhubungan

dengan dendrit sel‐sel horizontal dan sel‐sel bipolar yang menuju ke luar dari

lapisan nuklear dalam. Tetapi di makula akson sel‐sel reseptor arahnya miring

dinamakan serabut Henle. Dalam keadaan normal, rongga ekstraseluler di retina

kosong, rongga yang paling besar ada di makula. Penyakit yang menyebabkan

penimbunan bahan ekstraseluler akan mengakibatkan penebalan yang cukup besar

di daerah ini. Akson sel bipolar berhubungan dengan sel amakrin dan sel ganglion

di lapisan pleksiform dalam yang teranyam rapat. Akson panjang sel ganglion

berjalan melalui serabut saraf ke saraf optik (Kadarisman, 1996). Kira‐kira 3 mm

ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih

kemerah‐merahan dinamakan papil

saraf optik, di bagian tengahnya melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina

sentral bersama vena masuk ke dalam bola mata di tengah papil saraf optik.
Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal (Gambar 2.2)

(www.retinopaty diabetic/fundus normal. html).

Gambar 2.1 Anatomi retina

Gambar 2.2 Fundus okuli normal

Retina mempunyai ketebalan sekitar 1 mm, terdiri atas lapisan (Ilyas, 2008):
a. lapisan fotoreseptor merupakan lapisan terluar retina terdiri atas

sel batang dan sel kerucut dan merupakan lapisan penangkap sinar.

b. membran limitan eksterna (outer limited membrane) merupakan

membran ilusi.

c. lapisan nukleus luar (outer nucleic layer) terutama terdiri atas

nuklei sel‐sel visual atau sel kerucut dan batang. Ketiga lapisan diatas

avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

d. lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer) merupakan lapisan

aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar

dan sel horizontal.

e. lapisan nukleus dalam (inner nucleic layer) merupakan tubuh sel

bipolar, sel horizontal, dan sel Muller. Lapisan ini mendapat metabolisme

dari arteri retina sentral.

f.lapisan pleksiform dalam (inner plexiform layer) merupakan lapisan

aselular, tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

g. lapisan sel ganglion (ganglion cell layer) merupakan lapisan sel

saraf bercabang.

h. lapisan serabut saraf merupakan lapisan akson sel ganglion

menuju ke arah saraf optik, dan di dalam lapisan ini dapat terletak

sebagian besar pembuluh darah retina.

i. membran limitan interna (inner limited membrane) merupakan membran

hialin antara retina dan badan kaca (Gambar 2.3)

(www.webvision.med.utah.edu/sretina.html).
Gambar 2.3 Lapisan retina

2.1.1 Sirkulasi Retina

2.2.1.1 Sistem Arteri

a. Arteri retina sentralis.

Arteri retina sentralis merupakan end artery yang memasuki nervus

optikus kira‐kira 1 cm di belakang bola mata. Lapisan arteri retina sentralis

sama dengan arteri lain yang terdiri atas lapisan intima, terletak paling

dalam terdiri atas 1 lapisan endotel yang terletak pada daerah kolagen,

lamina elastik interna memisahkan lapisan intima dari lapisan media.

Lapisan media terutama mengandung otot polos dan lapisan adventitia

terletak paling luar arteri dan terdiri atas jaringan penyokong longgar

(loose connective tissue).

b. Arteriol retina.
Arteriol retina muncul dari arteri retina sentralis, terdiri dari otot polos

(Kanski, 2007).

2.2.1.2 Kapiler

Kapiler retina membekalkan darah ke lapisan dalam kedua dan ketiga retina.

Bagian luar lapisan ketiga disuplai oleh kapiler korio. Jalinan kapiler bagian

dalam terletak di dalam lapisan sel ganglion dan jalinan kapiler bagian luar

terletak di dalam lapisan nuklear bagian dalam. Daerah bebas kapiler terletak

mengelilingi arteriol dan pada fovea. Dinding kapiler retina terdiri atas sel endotel

dan perisit. Sel endotel membentuk lapisan tunggal pada basement membrane dan

dihubungkan dengan tight junction yang membentuk suatu inner blood‐retinal

barrier. Perisit terletak di luar sel endotel dan memiliki proses pseudopodia

multipel untuk mengembangkan kapiler. Perisit memiliki bagian kontraktil

sehingga berperan di dalam autoregulasi sirkulasi mikrovaskular (Kanski, 2007).

2.2.1.3 Sistem Vena.

Venula retina dan vena mengalirkan darah dari kapiler. Sistem vena terdiri atas :

a. venula kecil merupakan pembuluh darah yang lebih besar dari

kapiler dengan struktur yang sama dengan kapiler.

b. venula besar terdiri dari otot polos dan kemudian bersatu untuk

membentuk vena.
c. vena terdiri dari sejumlah kecil otot polos dan jaringan elastik

pada dindingnya dan relatif dapat mengembang (Kanski, 2007).

2.2 Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan kelainan pada retina penderita DM yang bukan

karena radang (Ilyas, 2008). Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati

progressif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil.

Perubahan patologis paling awal adalah penebalan membran basal endotel kapiler

dan berkurangnya jumlah perisit, yang kemudian berkembang membentuk

mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah, hard exudate, soft exudate,

pembentukan pembuluh darah baru, edema retina, terbentuk parut akhirnya

menyebabkan kebutaan (Ilyas, 2008; Vaughan et.al., 2000).

Retinopati diabetik masih merupakan penyebab utama kebutaan di Negara‐negara

Barat. Di Amerika Serikat terjadi kebutaan 5.000 orang per tahun akibat retinopati

diabetik, sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan

nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan (Ilyas, 2008). Frekwensinya bertambah

sejalan dengan lamanya penyakit DM. Beberapa penyelidikan menunjukkan

adanya hubungan erat antara kadar gula darah yang tidak terkendali dengan

meningkatnya insiden serta tingkat keparahan retinopati. Namun tidak diketahui

apakah ada hubungan sebab‐akibat atau apakah hal ini merupakan bentuk

progressif semakin parahnya penyakit (Vaughan et.al., 2000).


2.2.1 Patofisiologi

Mekanisme yang tepat untuk menerangkan DM penyebab retinopati belum jelas.

Hiperglikemia mempunyai 4 jalur biokimia menuju terjadinya komplikasi

mikroangiopati dan komplikasi menahun lainnya, yaitu melalui :

a.Efek langsung : melalui endotel, membran basalis, kolagen, otot polos,

semuanya mengalami disfungsi. Beberapa kelainan membran basalis yang

dapat mengganggu faalnya antara lain :

i. meningkatnya deposit kolagen di membran basalis.

ii. meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis.

iii. menurunnya kadar sistin di membran basalis, sehingga

memudahkan kebocoran.

Penebalan membran basalis dengan kualitas rendah akibat banyaknya

endapan glikoprotein akan memudahkan kebocoran. Tergantung pada

status regulasi DM, membran basalis pasien DM mempunyai

kecenderungan menebal, endotel tidak utuh lagi, sehingga faal kapiler

terganggu, menimbulkan kebocoran, serta keluarnya protein dan sel‐sel

darah diakibatkan antara lain :

i. tekanan onkotik jaringan menurun (edema setempat) akibat

keluarnya albumin.

ii.pertahanan jaringan setempat menurun akibat keluarnya sel‐sel

darah seperti leukosit.


iii. perfusi jaringan menurun sehingga terjadi hipoksia akibat

eksudasi dan akhirnya edema makula serta dengan adanya

kerapuhan (kebocoran) kapiler menyebabkan perdarahan.

Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran karena deposit lemak,

proliferasi otot polos di bawah membran basalis akibat rangsangan insulin,

growth hormone, dan growth factor yang dikeluarkan trombosit yang

rusak.

b.Efek reologi : baik melalui kelainan seluler maupun darah dan plasma.

Trombosit penderita DM mempunyai sifat‐sifat antara lain :

i. mudah mengalami adhesi (kerjasama dengan faktor VIII dan

faktor von Willebrand endotel dan glikoprotein I dari trombosit)

dan mudah pula terjadi agregasi (dibantu oleh glikoprotein II, III,

dan tromboksan). Agregasi trombosit, fibrinogen, dan trombin

mempermudah terbentuknya mikrotrombus.

ii. umur trombosit DM lebih pendek dan keluarnya bahan

yang mempermudah koagulasi dan keluar pula growth factor untuk

merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah

(Tjokroprawiro, 1996).

Faktor VIII dan faktor von Willebrand pada DM meningkat. Faktor

koagulasi ini yang berperan penting dalam proses adhesi dan agregasi

trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus. Antitrombin III penting untuk

menghambat faktor Xa sehingga pembentukan trombin terhambat. Oleh

karena pada DM kadar fibrinogen juga meningkat, maka trombin


meningkat dan pembentukan plasmin menurun, jadi pada DM kadar faktor

VIII meningkat, sekresi aktifator oleh endotel menurun, sehingga

pembentukan fibrin dan agregasi trombosit meningkat dan terjadi

pertambahan mikrotrombus yang cepat (Gambar 2.4) (Tjokroprawiro,

1996).

Faktor Xa AT III

Protrombin Trombin

AT III
Fibrinogen Fibrin

Plasminogen Plasmin Mikrotrombus

Aktifator plasminogen endotel


Trombosit Agregasi

Faktor VIII

Gambar 2.4 Gangguan sistim fibrinolitik pada Diabetes melitus


Keterangan : merangsang
menghambat
c.Jalur poliol : dengan adanya akumulasi sorbitol dalam sel,

mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik dan menurunkan kadar

mioinositol dan aktivitas Na/K‐ATPase. Pada normoglikemia, sebagian

besar glukosa seluler mengalami fosforilasi menjadi glukosa‐6‐fosfat oleh

enzim heksokinase. Bagian kecil dari glukosa yang tidak mengalami

fosforilasi
memasuki jalur poliol, yakni jalur alternatif metabolisme glukosa.

Melalui jalur ini glukosa dalam sel diubah menjadi sorbitol dengan

bantuan enzim aldose reduktase (AR) (Sufriyana, 2010). Endotel yang

utuh akan resisten terhadap penempelan trombosit dan mencegah

terjadinya adhesi dan agregasi trombosit. Adanya lesi endotel akan

mempermudah timbulnya proses tersebut dan juga kebocoran. Endotel

mempunyai enzim aldose reduktase yang mengubah glukosa menjadi

polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa, kemudian

sorbitol diubah menjadi fruktosa. Kedua senyawa ini menyerap air

sehingga endotel membengkak dan akhirnya merusak endotel dengan

proses biokimia sehingga terjadi gangguan faal endotel antara lain

kebocoran dan agregasi trombosit. Gangguan faal endotel ini akan

mempermudah timbulnya komplikasi DM melalui proses :

i. sintesis faktor von Willebrand oleh endotel meningkat, dan faktor

inilah yang berperan utama dalam proses adhesi dan agregasi

trombosit.

ii. konversi asam arakidonat ke PGI2 (prostasiklin) menurun,

sedangkan bahan ini sangat penting untuk menghambat agregasi

trombosit selain sebagai vasodilator.

iii. sintesis aktivator plasminogen menurun, sehingga

menurunkan plasmin, rendahnya plasmin akan mempermudah

terbentuknya fibrin dan mikrotrombus (Tjokroprawiro, 1996).


d.Proses glikosilasi non‐enzimatik : mengubah proses fisika‐kimia

sifat‐sifat sel dan membentuk advanced glycosilation end‐products

(AGEs) yang berperan dalam komplikasi menahun pada DM. AGEs ini

mengendap pada jaringan, pada protein‐protein tubuh yang turn‐overnya

lambat seperti : kolagen, mielin, kristalin, elastin, lipoprotein (LDL),

albumin, dan IgG (Tjokroprawiro, 1996). AGEs merupakan produk glikasi

non‐enzimatik dan oksidasi protein dan lipid yang bersifat ireversibel.

Protein yang dirusak oleh AGEs akan mengubah struktur dan fungsi

jaringan, sehingga terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah.

Protein yang telah dimodifikasi AGEs dapat menghambat pertumbuhan sel

normal. AGEs juga mengganggu fungsi enzim pengatur pengeluaran zat

yang memvasodilatasi dan adhesi sel di dalam pembuluh darah. Kadar

AGEs di jaringan berhubungan dengan laju perkembangan aterosklerosis

disertai akumulasi protein plasma, lipoprotein, dan lipid pada dinding

pembuluh darah. Lesi aterosklerotik dapat ruptur dan menimbulkan

trombus yang menyumbat kapiler fokal di mata (Sufriyana, 2010).

Akumulasi AGEs di berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal

bebas yang berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait

dengan patogenesis komplikasi DM mirip pada penuaan. Pada DM,

akumulasi AGEs secara umum mempercepat terjadinya aterosklerosis,

nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak (Setiawan dan Suhartono,

2005). AGEs terjadi dari beberapa tahapan reaksi kimia akibat

hiperglikemia. Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula

pereduksi antara lain glukosa,


glukosa‐6‐fosfat, dan fruktosa meningkat melalui glikolisis dan jalur

poliol. AGEs atau prekursornya juga dapat berasal dari luar tubuh,

misalnya tembakau dan makanan (modern western diet). Kandungan

AGEs pada makanan tergantung pada kandungan lemak, protein, dan

karbohidrat. Juga tergantung dari cara mengolah makanan, lama memasak,

dan temperatur memasak makanan yang mengawali terjadinya

pembentukan derivat a‐β dicarbonyl yang bersifat tidak stabil hasil reaksi

glikosidasi dan lipoksidasi (Peppa dan Vlassara, 2005). Glukosa sebagai

gula pereduksi bersifat toksik, karena kemampuan kimiawi gugus karbonil

aldehidnya. Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara

kovalen sehingga terjadi modifikasi protein secara enzimatik dan

non‐enzimatik. Selain protein, target kerusakan lain adalah lipid amino

seperti fosfatidiletanolamin, dan DNA (Peppa dan Vlassara, 2005;

Setiawan dan Suhartono, 2005). Reaksi pengikatan aldehid pada protein

dinamakan reaksi glikasi. Reaksi ini memiliki kemaknaan patologis yang

besar. Berbagai contoh reaksi glikasi protein antara lain hemoglobin

glikosilat (HbA1c), albumin, dan kristal lensa mata. Reaksi secara

non‐enzimatik glukosa darah dengan protein di dalam tubuh akan berlanjut

sebagai reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat

menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan. Perubahan

kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard (Setiawan dan Suhartono, 2005).

Reaksi Maillard juga berkaitan dengan komplikasi kronik DM. Reaksi ini

secara umum terdiri atas empat tahap, yaitu:


i. kondensasi non‐enzimatik gula pereduksi, aldehid atau ketosa,

dengan gugus amino bebas dari protein atau asam nukleat

membentuk glikosilamin. Reaksi ini dikenal sebagai fase 1 serta

secara alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam

(kurang dari 24 jam).

ii. pada fase 2 akan terjadi penataan ulang glikosilamin

menjadi produk Amadori suatu senyawa ketoamin. Komponen

khas pada Amadori adalah HbA1c yang merupakan marker jangka

panjang glikemia pada DM (Sufriyana, 2010). Reaksi ini terjadi

akibat kadar glukosa yang masih tinggi dalam waktu lebih dari 24

jam. Produk Amadori tersebut bersifat toksik bagi jaringan namun

masih reversibel. Kadar produk Amadori pada sejumlah protein

meningkat sebanding dengan derajat hiperglikemia pada DM.

iii. penataan ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori

menjadi amino atau senyawa karbonil reaktivitas tinggi seperti

3‐deoxyglucosane.

iv. reaksi antara senyawa karbonil dengan gugus amino lain

dilanjutkan proses penataan ulang membentuk beragam advance

glycosylation end products (AGE‐products/AGEs) sebagai

petunjuk cross linking dan browning pada protein.

v. pengikatan AGEs terhadap reseptor


makrofag spesifik
mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta

peningkatan stres oksidatif (Setiawan dan Suhartono, 2005).

Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan adalah elusidasi struktur

AGEs, sehingga metode pemeriksaan AGEs belum konsisten. Metode

pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan adalah dengan HPLC,

chromatography, fluoresens dan Elisa (Peppa dan Vlassara, 2005). Pasien

dengan DM yang lama mempunyai kadar AGEs dua kali orang normal.

Fluoresens meningkat pada pasien dengan retinopati dan nefropati berat

(Piliang, 2001).

e. Faktor vasoproliferatif

Faktor vasoproliferatif dilepaskan oleh retina dan epitel pigmen retina yang

menginduksi terjadinya neovaskularisasi. Secara in vitro VEGF menghambat

pertumbuhan sel endotel telah dibuktikan terjadi pada retinopati diabetik. Dari

penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa VEGF memiliki hubungan

langsung dengan abnormalitas pembuluh darah retina yang terjadi pada DM. Pada

binatang ditemukan adanya hubungan antara VEGF dengan perkembangan dan

regresi neovaskularisasi (Kanski, 2007). Konsentrasi VEGF lebih tinggi di dalam

vitreous mata dengan PDR dibandingkan pada mata dengan NPDR. Pemberian

inhibitor VEGF menyebabkan terjadinya neovaskularisasi yang dirangsang

hipoksia pada binatang percobaan. Pelepasan VEGF untuk membentuk

neovaskularisasi adalah respon terhadap iskemia yang terjadi pada retina (Kanski,

2007).
2.2.2 Klasifikasi Retinopati Diabetik

Berdasarkan prognosis dan pengobatannya, retinopati diabetik dibagi menjadi dua

bentuk yaitu non‐proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik non‐proliferatif

diklasifikasikan lagi menjadi retinopati diabetik dasar (background diabetic

retinopathy) atau retinopati pre‐proliferatif.

a. Retinopati diabetik non‐proliferatif. Pada retinopati diabetik dasar

terjadi peningkatan permeabilitas dan inkompetensi dinding pembuluh

darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat (mikroaneurisma),

dan vena retina melebar dan berkelok‐kelok. Di seluruh retina pada

bagian‐bagian yang berlainan terlihat berbagai bentuk perdarahan,

seperti bentuk nyala api (flame hemorrhages) karena letaknya di dalam

lapisan serabut saraf yang horisontal, bentuk titik (dot haemorrhages),

dan bentuk bercak (blot haemorrhages) terdapat di retina yang lebih

dalam tempat sel dan akson mengarah vertikal. Kapiler yang bocor

mengakibatkan sembab retina terutama di makula, sehingga retina

menebal dan terlihat berawan (Gambar 2.5) (http://www.vrmny.com).

Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid

kekuning‐kuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika

pada fovea sembab atau iskemi atau terdapat eksudat keras, maka tajam

penglihatan sentral akan menurun. Pada tahap ini umumnya tidak

progresif. Dengan bertambah progresifnya sumbatan mikrovaskular,

gejala iskemia akan semakin bertambah berat. Keadaan ini disebut

retinopati diabetik pre‐


proliferatif. Perubahan yang sangat khas adalah terlihatnya sejumlah

bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau disebut eksudat

lunak (soft exudates), yang merupakan mikro infark lapisan serabut

syaraf (Gambar 2.6) (www.cekjournal.org). Gejala lain adalah kelainan

vena seperti ikalan (loops), segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan

kelainan mikrovaskular intraretina yaitu pelebaran alur kapiler yang

tidak teratur dan terjadi hubungan pendek antar pembuluh darah (shunt)

intra retina. Pada retinopati pre‐proliferatif, risiko timbulnya

neovaskularisasi meningkat, dan pada penderita ini harus dipantau ketat

walaupun belum ada gejala.

Edema makula

Perdarahan

Hard exudate

Dilatasi vena

Gambar 2.5 Retinopati diabetik non‐proliferatif


Keadaan‐keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik adalah :

i. Pada DM tipe 1 dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan

dan proliferasi.

ii. Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh‐pembuluh darah

memperburuk prognosis.

iii.Hiperlipoproteinemia diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas

kelainan dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan

hemobiologik.

iv. Hipertensi arteri memperburuk prognosis terutama pada penderita

usia tua.

v.Hipoglikemia atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang

mendadak (Ilyas, 2008).

Perdarahan

Hard exudate

Edema makula

Dilatasi vena
Gambar 2.6 Retinopati diabetik pre‐proliferatif

b. Retinopati diabetik proliferatif. Bentuk retinopati diabetik paling

parah adalah PDR yang sangat berisiko menyebabkan kebutaan.

Karakteristik PDR adalah pembentukan pembuluh darah baru pada atau

di dalam satu diameter diskus (1 DD) diskus optikus, di luar diskus dan

1 DD dari batas diskus (Gambar 2.7) (www.revoptom.com), proliferasi

fibrosis pada atau di dalam 1 DD diskus optikus atau tempat lain di

retina, pre‐retinal hemorrhage, dan atau perdarahan vitreous

(Cavallerano, 2009).

Neovaskularisasi

Gambar 2.7 Retinopati diabetik proliferatif


2.2.3 Gambaran Klinis

Pada retinopati diabetik non‐proliferatif dapat terjadi perdarahan pada semua

lapisan retina. Ada pun gejala subjektif retinopati diabetik non‐proliferatif adalah

penglihatan kabur, kesulitan membaca, penglihatan tiba‐tiba kabur pada satu mata,

melihat lingkaran‐lingkaran cahaya, melihat bintik gelap dan cahaya kelap‐kelip.

Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetik non‐proliferatif adalah :

a. Mikroaneurisma.

Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah

vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat

pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini

demikian kecilnya sehingga tidak terlihat (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas,

2008; Rahmawati, 2007). Mikroaneurisma merupakan kelainan DM pada

mata (Gambar 2.8) (www.Seebetterflorida.com).

Mikroaneurisma

Gambar 2.8 Mikroaneurisma pembuluh darah retina


b. Dilatasi pembuluh darah balik

Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumen ireguler dan berkelok‐kelok. Hal ini

terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang‐kadang disertai kelainan endotel dan

eksudasi plasma (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar

2.9) (www.neec.com)

Dilatasi vena

Gambar 2.9 Dilatasi pembuluh darah balik

c. Perdarahan (haemorrhages)

Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak

dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat memberikan

prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis yang

lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil.


Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau

pecahnya kapiler (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar

2.10) (www.neec.com).

Perdarahan

Gambar 2.10 Perdarahan pada retinopati diabetik non‐proliferatif

d. Hard exudate

Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus

yaitu ireguler dan berwarna kekuning‐kuningan. Pada permulaan eksudat berupa

pungtata, kemudian membesar dan bergabung (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas,

2008; Rahmawati, 2007) (Gambar 2.11) (www.neec.com).


Edema makula

Hard exudate

Gambar 2.11 Edema makula dan hard exudat di fovea

e. Edema retina

Edema retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di daerah

makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai

retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intra retina.

Dapat berbentuk zona‐zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk bundar di

sekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina (Gambar 2.12)

(www.vrmny.com) (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007).


Edema makula signifikan secara klinis (Clinically significant macular oedema

(CSME)) jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini :

i. edema retina 500 μm (1/3 diameter diskus) pada fovea sentralis.

ii. hard exudate jaraknya 500 μm dari fovea sentralis,

yang berhubungan dengan retina yang menebal.

iii. edema retina yang berukuran 1 disk (1500 μm) atau lebih,

dengan jarak dari fovea sentralis 1 disk.

Edema makula

Gambar 2.12 Funduskopi edema makula

2.2.4 Pengobatan
Pada retinopati diabetik yang harus diperhatikan ialah apakah gula darah dan

hipertensi terkontrol secara optimal. Edema makula dapat sembuh dengan

sendirinya, tetapi jika tajam penglihatan sangat menurun, dan jika sumber

kebocoran dapat ditentukan melui angiogram, maka penggunaan fotokoagulasi

laser dapat dipertimbangkan (Kadarisman, 1996).

Retinopati diabetik proliferatif merupakan indikasi untuk fotokoagulasi laser

argon panretina. Perdarahan pre‐retina atau perdarahan badan kaca dan

neovaskularisasi pada papil optik mempunyai risiko tertinggi. Fotokoagulasi

panretina mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan badan kaca masif dan

ablasi retina dengan terjadinya regresi, bahkan pada beberapa kasus

neovaskularisasi menghilang. Caranya ialah dengan membidikkan beberapa ribu

tembakan laser di seluruh retina secara tersebar dan teratur kecuali daerah sentral

yang dibatasi oleh papil optik dan arkade vaskular temporal mayor. Mekanisme

foto koagulasi tersebut adalah menyebabkan berkurangnya rangsangan angiogenik

oleh retina yang iskemia. Bila perdarahan badan kaca yang menyebabkan

menurunnya tajam penglihatan ini, dalam 6 bulan tidak menjernih secara spontan,

dapat dilakukan vitrektomi. Pembedahan ini harus segera dikerjakan jika secara

klinis atau berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi diduga ada ablasi retina yang

progresif. Pada ablasi retina, traksi yang mengenai atau mengancam makula, bisa

dilakukan vitrektomi untuk membebaskan traksi dan scleral buckling untuk

membantu mempertautkan retina kembali (Kadarisman, 1996).


Neovaskularisasi retina sendiri tidak mengganggu penglihatan. Jika tidak ada

kelainan patologis di makula, mungkin tidak ada keluhan. Karena banyak penyulit

yang berat yang dapat diatasi dengan pengobatan laser dalam waktu singkat, maka

deteksi dini dan pengamatan teratur adalah sangat penting (Kadarisman, 1996).

Anda mungkin juga menyukai