Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

POST CRANIOTOMY

DISUSUN OLEH

ASTUTI DWI JAYANTI (1602090)

FINNA MUNAWAROH (1602104)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

2019
A. PENGERTIAN
Kraniotomi adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan
pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan
penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur
intracranial. Post craniotomy yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah pembedahan
kraniotomi/post craniotomy (Dorlan).
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan
untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk
menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan darah dan mengontrol
hemoragi (Brunner and Suddarth).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post craniotomy
yaitu suatu keadaan individu yang terjadi setelah proses pembedahan untuk
mengetahui dan/atau memperbaiki abnormalitas di dalam kranium untuk mengetahui
kerusakan otak.

B. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala ada 3, yaitu:
1. Bersifat terbuka: menembus melalui dura meter (peluru, pisau)
2. Bersifat tertutup: trauma tumpul, tanpa penetrasi menembus dura (kecelakaan lalu
lintas, jatuh, cedera olahraga).
3. Perdarahan pada otak

C. INDIKASI
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut :
1. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
2. Mengurangi tekanan intrakranial
3. Mengevakuasi bekuan darah
4. Mengontrol bekuan darah
5. Pembenahan organ-organ intrakranial
6. Tumor otak
7. Perdarahan (hemorrage)
8. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
9. Peradangan dalam otak
10. Trauma pada tengkorak
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner dan Suddarth (2010) gejala-gejala yang ditimbulkan pada klien
dengan craniotomy antara lain :
1. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing.
2. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserebrasi dan gangguan
tanda vital dan fungsi pernafasan.
3. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing dan peningkatan tanda-tanda vital.
4. Gangguan penglihatan dan berbicara.
5. Mual dan muntah.
6. Keluar cairan cerebro spinal dari lubang hidung dan telinga.
7. Hemiparese.
E. PATHOFISIOLOGI
Trauma kepala (trauma eraniocerebral) dapat terjadi karena cedera kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Beberapa
variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah sebagai berikut:.
1. Lokasi dan arah dari penyebab benturan.
2. Kecepatan kekuatan yang datang
3. Permukaan dari kekuatan yang menimpa
4. Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
Cedera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai geger otak. Luka
terbuka dari tengkorak ditandai kerusakan otak. Luasnya luka bukan merupakan
indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh umum cedera kepala dari tingkat ringan
sampai tingkat berat adalah edema otak, defisit sensori dan motorik, peningkatan intra
kranial. Kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak, isoheni otak dan hipoxia.
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau keluaran
yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala
langsung terluka. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan
pembentukan rongga (dilepasnya gas, dari cairan lumbal, darah, dan jaringan otak).
Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, rusaknya otak oleh
kompresi, goresan atau tekanan.
Cedera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari objek yang bergerak
dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari kekuatan akselerasi,
kikiran atau kontusi pada lobus oksipital dan frontal, batang, otak dan cerebelum dapat
terjadi.
Perdarahan akibat trauma cranio cerebral dapat terjadi pada lokasi-lokasi
tersebut: kulit kepala, epidural, subdural, intracerebral, intraventricular. Hematom
subdural dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Akut: terjadi dalam 24 jam sampai 48 jam.
2. Subakut: terjadi dalam 48 jam sampai 2 minggu.
3. Kronis: terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dari terjadinya cedera.
Perdarahan intracerebral biasanya timbul pada daerah frontal atau temporal.
Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan
dan disertai destruksi primer pusat vital. Edema otak merupakan penyebab utama
peningkatan TIC. Klasifikasi cedera kepala:
1. Conscussion/comosio/memar
Merupakan cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran,
perubahan persepsi sensori, karakteristik gejala: sakit kepala, pusing, disorientasi.
2. Contusio cerebri
Termasuk didalamnya adalah luka memar, perdarahan dan edema. Dapat terlihat
pada lobus frontal jika dilakukan lumbal pungkri maka lumbal berdarah.
3. Lacertio cerebri
Adanya sobekan pada jaringan otak sehingga dapat terjadi tidak sarah/pingsan,
hemiphagia, dilatasi pupil.
F. PATHWAY

Pembedahan “craniotomy”

Prosedur operasi invasif Perdarahan otak Prosedur anastesi

Penekanan pada
susunan saraf pusat
Luka insisi Trauma Kerusakan Aliran
(SSP)
buruk (stimulasi jaringan neuromuskuler darah ke
nyeri) otak

Penurunan
Gangguan Penuruna Penekanan Penekanan
kelembaban Paralisis Penuru Metabolisme n suplay pusat pada
Mengaktivasi luka nan O2 ke otak pernafasan sistem
reseptor nyeri
tonus kardiovask
Kelemahan Asam laktat
Infeksi bakteri otot uler
pergerakan Penurunan
Melalui sistem senso Hipoksia kerja
sendi
saraf ascenden ri
Perubahan Oedem Jaringan organ Penurunan
Risiko infeksi
persepsi Otak pernafasan cardiac
Kontraktur
sensori output
Merangsang Penurun (COP)
thalamus & Gangguan an RR Penurunan
koteks serebri Gangguan ekspansi
Perfusi Suplai
Mobilitas Fisik paru
Jaringan darah
Muncul berkurang
sensasi nyeri Ketidakad
ekuatan
Penurunan
suplai O2
aliran
Gangguan rasa
darah
nyaman : nyeri
Pola nafas
tidak
Gangguan
efektif
perfusi
jaringan
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal dibawah ini :
1. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan
cermat mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. Angiografi Serebral, menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
3. EEG Berkala, electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk
mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak.
4. Foto rotgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perarahan/edema), fragmen tulang.
5. PET (Possitron Emission Tomography), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolisme otak
6. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intra kranial
7. Skrining toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
8. Analisis Gas Darah (AGD) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

G. KOMPLIKASI
1. Edema cerebral
2. Perdarahan epidural
Yaitu penimbunan darah di bawah dura meter. Terjadi secara akut dan biasanya
karena perdarahan arteri yang mengancam jiwa.
3. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural dapat terjadi akibat perdarahan lambat yang disebut
perdarahan subdural sub akut, secara cepat (subdural akut) dan sangat besar
(subdural kronik).
4. Perdarahan intracranial
Yaitu perdarahan di dalam otak itu sendiri. Dapat terjadi pada cedera kepala
tertutup yang berat, atau yang lebih sering, cedera kepala terbuka. Dapat timbul
akibat pecahnya suatu ancorisma atau stroke hemoragik. Perdarahan di otak
menyebabkan peningkatan TIC, sehingga sel-sel dan vaskuler tertekan.
5. Hypovolemik syok
6. Hydrocephalus
7. Kejang
8. Kerusakan syaraf kranial.
9. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)
10. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya
besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,
dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif
dini.
11. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus auereus, organism garam
positif stapylococus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka
yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan
antiseptic.
12. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi
atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup
waktu pembedahan.
Dampak Post Craniotomy terhadap Sistem Tubuh Lain
1. Sistem Kardiovaskuler
Craniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen
saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri,
sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
2. Sistem Pernafasan
Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan
hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam
darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah
bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan
karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan
penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah
akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi.
Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan
tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan
penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla
oblongata menyebabkan pernafasan ataksia (kurangnya koordinasi dalam gerakan
bernafas).
3. Sistem Eliminasi
Pada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah
tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul
hiponatremia.
4. Sistem Pencernaan
Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal.
Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun
pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam
lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress
yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera
ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau
hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak.
Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.

H. PENATALAKSANAAN
1. Adapun penatalaksanaan post op craniotomy mencakup :
a. Mengurangi edema serebral seperti pemberian manitol, yang meningkatkan
osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian
disekresikan melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui
intravena setiap 6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya
dikurangi secara bertahap.
b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang. Asetaminofen biasanya diberikan
selama suhu diatas 37,5˚C dan untuk nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit
kepala setelah kraniotomy, biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala
diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein diberikan lewat
parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala.
c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering dipasang
pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Pirau
ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol
hipertensi intrakranial, terutama pada pasien dengan tumor fossa posterior.
2. Penatalaksanaan yang pokok
a. Perbaiki dan jaga jalan nafas.
b. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adequat (normal atau tidak normal
kadar PCO2).
c. Lakukan pembedahan segera jika terdapat tanda-tanda penting dari hematoma
(< 4 jam) manitol.
d. Pertahankan normovolemik dan normotensi untuk mempertahankan aliran
darah ke serebral.
e. Terapi dengan cepat jika terjadi peningkatan TIK dan ulangi CT scan jika
terjadi kemunduran secara klinis.
f. Terapi cedera-cedera lainnya dengan tepat.
g. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.
1) Pendarahan sistem pecernaan (stress ulser)
2) DIC
3) Edema paru neurogenik
4) Abnormalitas hormon Endokrin
a) Diabetes insipidus (meningkatnya natrium).
b) Sindroma inapropriate antidiuretik hormon (SIADH) (menurunnya
kadar natrium).
5) Kejang
3. Perawatan secara umum
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 150 – 300 dan ganti posisi
pasien secara teratur.
b. Observasi GCS/respon pupil tiap jam.
c. Lakukan perawatan mata dan daerah yang tertekan.
d. Lakukan suction minimal 1x tiap shift dan sesuai kebutuhan.
e. Rawat tali endotracheal pada posisi yang tinggi (diatas telinga).
f. Gerakan tangan-tangan/betis untuk menekan risiko terjadinya trombus pada
vena dalam.
g. Beri sedatif
1) Diazepan atau medazolan
2) Barbiturat jika tekanan intrakranial meninggi atau tampak adanya tanda-
tanda memburuk.
3) Awasi terjadinya penurunan tekanan darah.
h. Beri analgesik sesuai kebutuhan
i. Obat blok neuromuskular – tidak biasa digunakan. Digunakan jika pasien ada
perlawanan terhadap vetilasi atau terdapat epilepsi atau hipertermi.
j. Profilaksis untuk stress ulser.
k. Beri nutrisi sejak dini – khususnya enteral.
l. Terapi hipertermi dengan agresif

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Airway
a. Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair)setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi.
b. Potency jalan nafas, → meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
c. Auscultasi paru → keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
2. Breathing
a. Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguanirama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensimaupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderungterjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit →
depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal → gangguan cardiovasculair atau
rata-rata metabolisme yang meningkat.
c. Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sterna → efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
3. Circulation
a. Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanandarah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia,disritmia).
b. Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
4. Disability
a. Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata,respon motorik dan
tanda-tanda vital.
b. Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara,kesulitan menelan,
kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.
5. Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan.
J. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik Pasien nampak tegang, wajah menahan sakit, lemah kesdaran
somnolent apatis.
1. Kepala dan leher
a. Kepala
Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi rambut
kulit kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala, massa,
pembengkakan, nyeri tekan, fontanela (pada bayi).
b. Leher
Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa), tiroid),
palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2. Dada dan paru
a. Inspeksi
Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan ekspansi
serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak
atau pada saat diam, terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan
pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama pernapasan.
b. Palpasi
Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada
dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan
ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang
dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang
berbicara).
c. Perkusi
Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara
(pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapatb pada rongga
pleura.
d. Auskultasi
Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkeal
dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara. Auskultasi
juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-paru dan rongga pleura.
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas efektif berhubungan dengan efek anastesi
2. Gangguan perfusi jaringan cerebri berhubungan dengan perdarahan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif

L. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Pola nafas efektif berhubungan dengan efek anastesi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas
pasien kembali efektif. Dengan kriteria hasil :
1. Pasien tidak mengeluh sesak napas lagi
2. Tidak menggunakan otot bantu pernapasan
3. Tidak ada bunyi napas tambahan
4. Ttv dalam batas normal ( TD : 120/80 mmHg, N : 60 – 100 x/menit, S : 36, 5 –
37,5˚C, RR : 16 – 24 x/menit).

Intervensi

1. Kaji frekuensi, kedalaman, keteraturan pernafasan dan ekspansi dada


2. Kaji bunyi nafas setiap 2 – 4 jam.
3. Evaluasi nilai AGD sesuai kebutuhan.
4. Gunakan oksimetri yang tersedia untuk memantau saturasi oksigen dan pantau
CO2.
5. Pertahankan hiperventilasi jika diperlukan ventilator mekanik.

Diagnosa 2 : Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi


gangguan perfusi jaringan. Kriteria hasil :

1. Ttv dalam batas normal ( TD : 120/80 mmHg, N : 60 – 100 x/menit, S : 36, 5 –


37,5˚C, RR : 16 – 24 x/menit).
2. Kulit klien hangat dan kering
3. Nadi perifer ada dan kuat.
4. Masukan atau haluaran seimbang
Intervensi

1. Monitor tanda dan gejala hipoksia : sianosis gelisah.


2. Monitor tingkat kesadaran
3. Berikan oksigen sesuai kebutuhan.
4. Berikan terapi medis sesuai order dokter.
5. Cek instruksi dokter tentang jenis, dosis obat, frekuensi dan cara pemberian obat.

Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien tidak menunjukkan
tanda dan gejala infeksi. Dengan kriteria hasil :

1. Monitor TTV
2. Monitor tanda dan gejala infeksi.
3. Lakukan perawatan luka incici pembedahan.
4. Lakukan perawatan site iv kateter.
5. Kelola pemberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

A.K. Muda, Ahmad. 2009. Kamus Lengkap Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta : Gitamedia Press.
Carpenito, Lynda Juall RN.2010. Diagnosa dan Rencana Keperawatan Ed 3. Jakarta : Media
Aesculappius.
Purnawan Ajunadi, Atiek S.seomasto, Husna Ametz,(2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius
Doenges, Marilynn E. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai