Anda di halaman 1dari 12

Nama :

BIOGRAFI

Chairil Anwar
1
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 26 Juli 1992

Jenis Kelamin : Laki – laki

Agama : Islam

Istri : Hapsah Wiraredja

Anak : Evawani Alissa

Pekerjaan : Penyair

Kebangsaan : Indonesia

Suku Bangsa : Minangkabau

Pendidikan : Hollandsch-Inlandsche School

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)

Beberapa Karyanya :

• 1943
• Ajakan
• Aku
• Aku Berada Kembali
• Aku Berkisar Diantara Mereka
• Doa
• Hampa
• Kenangan
• Kesabaran
• Kepada Peminta-minta
• Krawang Bekasi
• Merdeka
• Nisan
• Rumahku
• Yang Terampas dan Yang Putus

Karya Terkenal : Aku

Krawang Bekasi

Meninggal : 28 April 1949


Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal
di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari
karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah
2
menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan
oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche


School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masapenjajahan Belanda. Ia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat
usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15
tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah
Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia
tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di
majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu
individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya.

Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-
puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak
diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah
Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa,
namun bercerai pada akhir tahun 1948.

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak
usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di
Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28
April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena
penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta.

Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya
juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A.
Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyarah
yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi;
kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara
Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal
3
berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang
diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi
pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang
Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi
dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Krawang Bekasi – Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang- Atau jiwa kami melayang untuk
Bekasi kemerdekaan kemenangan dan harapan
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat atau tidak untuk apa-apa,
senjata lagi. Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar
deru kami, Kami bicara padamu dalam hening di malam
terbayang kami maju dan mendegap hati ? sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang
Kami bicara padamu dalam hening di malam berdetak
sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang Kenang, kenanglah kami
berdetak Teruskan, teruskan jiwa kami
Kami mati muda. Yang tinggal tulang Menjaga Bung Karno
diliputi debu. menjaga Bung Hatta
Kenang, kenanglah kami. menjaga Bung Sjahrir

Kami sudah coba apa yang kami bisa Kami sekarang mayat
Tapi kerja belum selesai, belum bisa Berikan kami arti
memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Berjagalah terus di garis batas pernyataan
dan impian
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu Kenang, kenanglah kami
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
berserakan Beribu kami terbaring antara Krawang-
Bekasi
Nama :
BIOGRAFI

Muhammad Yamin
4
Tempat, Tanggal Lahir : Sawahlunto, Sumatra Barat,

23 Agustus 1903

Jenis Kelamin : Laki-laki

Meninggal : Jakarta, 26 Oktober 1962

Muhammad Yamin lahir 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat, meninggal


26 Oktober 1962 di Jakarta. Dia menulis puisi dan lakon yang berlatar belakang sejarah serta
menerjemahkan sejumlah karya asing.

Dua buku puisinya masing-masing terdiri dari satu judul, Tanah Air (9 Desember 1922,
berupa manuskrip di Pusat Dokumentasi H. B. Jassin) terdiri dari 30 bait dan tiap bait terdiri 9
baris; Indonesia, Tumpah Darahku (26 Oktober 1928) terdiri dari 88 bait dan tiap bait terdiri
dari 7 baris.

Muhammad Yamin (dan Rustam Effendi) terkenal sebagai pembawa puisi berpola
soneta dari Belanda – asli Italia itu – ke Indonesia. Antara tahun 1920 – 1922, dia banyak
menulis lirik. Yamin sendiri banyak menulis soneta, tapi belum dibukukan.

Lakonnya, Ken Arok dann Ken Dedes (1934), Kalau Dewi Tara Sudah Berkata...
(1932), Gajah Mada (1946), Pangeran Dipanegara (1950). Terjemahannya anatara lain : Julius
Caesar (1952) karya William Shakespeare, 1564-1616; Menantikan Surat dari Raja dan Di
Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya Rabindranath Tagore (1861-1941).
Sejumlah puisinya ada dalam antologi Pujangga Baru : Prosa dan Puisi (1963) susunan H. B.
Jassin. Beberapa puisinya yang terkenal yaitu Bukit Barisan, Gembala, Gubahan, Gamelan,
dan Perasaan.

Oleh beberapa pengamat dan peninjau sastra, Muhammad Yamin dianggap sebagai
pemula penyair dalam khasanah sastra Indonesia modern. Setelah dewasa dan matang, dia
terjun ke gelanggan politik dan tidak mencipta karya sastra lagi.
Bukit Barisan – Muhammad Yamin
5
Hijau tampaknya Bukit Barisan
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang
Putuslah nyawa hilanglah badan
Lamun hati terkenal pulang
Gunung tinggi diliputi awan
Berteduh langit malam dan siang
Terdengar kampung memanggil taulan

Rasakan hancur tulang belulang


Habislah tahun berganti jaman
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang
Di tengah malam terjaga badan
Terkenang bapak sudah berpulang
Berteduh selasih kemboja sebatang
BIOGRAFI
6
Nama : Sanusi Pane

Tempat, Tanggal Lahir : Muarasipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905

Jenis Kelamin : Laki – laki

Agama : Islam

Saudara : Armijn Pane

Pekerjaan : Penyair

Kebangsaan : Indonesia

Beberapa Karyanya :

• Pagi
• Kesadaran
• Candi Mendut
• Candra
• Majapahit
• Tanah Bahagia
• Melati
• Kembang Melati
• Arjuna
• Teratai

Meninggal : Jakarta, 2 Januari 1968

Sanusi Pane lahir 14 November 1905 di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera


Utara, meninggal dunia 2 Januari 1968 di Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai redaktur Balai
Pustaka, tapi lebih banyak aktif dalam lapangan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah
kebangsaan. Dia pun banyak bergerak di lapangan jurnalistik. Dia memimpin
majalah Timbul edisi bahasa Indonesia, 1932-1933.
Sanusi pernah melawat ke India (1929-1930) dan menghasilkan sekumpulan puisi
berjudul Madah Kelana (1931). Bukunya yang lain: Pancaran Cinta (1926), Puspa
Mega (1927). Banyak perhatiannya tercurah pada sejarah. Lima lakonnya, empat di antaranya
berdasarkan sejarah di Jawa. Dua diantara judul itu dia tulis dalam bahasa belanda,
yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Tiga judul lainnya dalam bahasa
Indonesia: Kertajaya (1932), Sandhyakala ning Majapahit(1933), dan Manusia Baru (1940).
Karya sejarahnya: Sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Dia pun
7
menerjemahkan karya sastra lama dari bahasa Kawi berjudul Arjuna Wiwaha (1948)
dan Bunga Rampai dari Hikayat lama (1946).
Sejumlah puisinya ada dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B.
Jassin, beberapa puisinya yaitu Pagi, Kesadaran, Candi Mendut, Candra, dan sebagainya.

Pagi – Sanusi Pane

Pagi telah tiba, sinar matahari


Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu

Dalam rumahmu, turutlah daku.


Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.
Nama :
BIOGRAFI

Sapardi Djoko Damono


8
Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta, 20 Maret 1940

Jenis Kelamin : Laki – laki

Istri : Wardiningsih

Pekerjaan : Penyair

Kebangsaan : Indonesia

Beberapa Karyanya :

▪ Duka-Mu Abadi
▪ Bandung (1969)
▪ "Mata Pisau" (1974)
▪ Perahu Kertas" (1983)

Karya Terkenal : Aku Ingin

Hujan Bulan Juni

Pada Suatu Hari Nanti

Akulah si Telaga

Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 72 tahun)
adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang
menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955
dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang
dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh
kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia
mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun
kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa
tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD
mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad
Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
9
Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai


bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain
itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah
kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku
Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan
Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.
Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal
terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda
Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.

Kumpulan Puisi/Prosa

▪ "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)


▪ "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
▪ "Mata Pisau" (1974)
▪ "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
▪ "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
▪ "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
▪ "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
▪ "Perahu Kertas" (1983)
▪ "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
▪ "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
▪ "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H.
McGlynn)
▪ "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
▪ "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi
sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
▪ "Hujan Bulan Juni" (1994)
▪ "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)



"Arloji" (1998)
"Ayat-ayat Api" (2000)
"Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
10
▪ "Mata Jendela" (2002)
▪ "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
▪ "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
▪ "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)"
(2005; salah seorang penyusun)
▪ "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
▪ "Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (2005; translated by J.H. McGlynn)
▪ "Kolam" (2009; kumpulan puisi)
Selain menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam
bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawa
dan manuskrip I La Galigo. kobe

Aku Ingin - Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..
Nama :
BIOGRAFI

Sutan Takdir Alisjahbana


11
Tempat, Tanggal Lahir : Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908

Jenis Kelamin : Laki – laki

Pekerjaan : Penyair

Beberapa Karyanya :

• Menuju ke Laut
• Layar Terkembang

Lahir 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Setamat HKS
Bandung (1928) dia ditempatkan di Palembang menjadi guru Schakelschool (Sekolah
Sambungan). Kemudian pindah ke Balai Pustaka sebagai redaksi kepala (1930). Sambil bekerja
(1937), dia mengikuti kuliah di Sekolah Hakim Tingga Jakarta, tamat 1942.

Dengan Amir Hamzah dan Arminj Pane, S. Takdir Alisjahbana mendirikan


majalah Pujangga Baru (1933). Majalah ini dianggap punya pengaruh besar bagi pembaharuan
kesusastraan Indonesia sebelum perang Dunia II. Di apun dianggap sebagai "jiwa Pujangga
Baru yang penuh dinamika Karena tulisan-tulisannya yang gembira merambah jalan”.

Dia menulis puisi, novel, esei, kritik, filsafat, dan menerjemahkan karya-karya asing.
Buku-bukunya yang sudah terbit: Tak Putus Dirundung Malang (1929),Dian Yang Tak
Kunjung Padam (1932), Anak Perawan di Sarang Penyamun(1941), Tebaran
Mega (1936), Layar Terkembang (1936), Pembimbing ke Alam Filsafat (1945), Puisi
Baru (1946), Puisi Lama (1948), Tata Bahasa Baru Indonesia (1949), Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957), Grotta Azzura 3 jilid (1970), Perjuangan Tanggung
Jawab dalam Kesusastraan (1977), Kalah-Menang, Lagu Pemacu Otak(1978), dan lain-lain.

Terjemahannya: Nelayan di Lautan Utara (karya Pierre Loti), Nyanyian Hidup (karya
Khrisnhamurti), Kurban Manusia (1943, Karya Tadayoshi Sakurai) terjemahan bersama
Subadio Sastrosatomo. Takdir juga pendiri dan rektor Universitas Nasional, Jakarta; menjadi
anggota Akademi Jakarta. Dia pun mendirikan balai Seni Toyobungkah di Batur, Bali.
Menuju ke Laut – Sutan Takdir Alisjahbana
12
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda.
Ketenagan lama serasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gegap gempita suara mengerang,
Dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukanya jalan,
bedana terhembas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin
namun kembali diada angin,
ketenangan lama tiada diratap.
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.

Anda mungkin juga menyukai