Anda di halaman 1dari 18

Politik Militer pada Masa Reformasi

Ahmad Rosidi 31014160601

rosidiahmad107@gmail.com

A. Pendahuluan

Sistem politik merupakan pola yang tetap dari hubungan


kemanusiaan yang melibatkan, sampai dengan tingkat yang berarti, control,
pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang.2 Mencermati perkembangan
dunia politik di Indonesia, tentu saja tidak akan bisa lepas dari melihat
adanya keikutsertaan dan peran militer di dalamnya. Sejak awal kelahiran
bangsa Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini
militer di Indonesia telah terlibat dalam lapangan politik, dan pada
perjalanan sejarahnya juga semakin ikut serta dalam percaturan politik
sampai menjadi kekuatan yang menonjol dalam kehidupan bernegara.

Kehadiran militer Indonesia, tentu tidak terpisahkan dari realitas


politik yang menyertainya. Lahir dan berkembang sebagai militer yang
revolusioner dengan ideografis Jawa. Dengan konsep ABRI manunggal
dengan rakyat ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI dapat setara
dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun
militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem
politik dilaksanakan.3

Untuk lebih memperjelas bagaimana kiprah militer dalam kancah


perpolitikan di Indonesia, maka perlu untuk melihat perjalanan politik

1 Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Rombel 5B
angkatan 2016.

2 Ibnu Hasan, Sistem Politik Ideologi Dan Demokrasi di Indonesia (Sumedang: ALQA, 2003),
hal 3.

3 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 4.
Indonesia dalam tiga era yaitu pertama adalah Era Orde Lama yang berjalan
dalam kurun waktu tahun 1945 hingga tahun 1966 di mana pada kurun
waktu inilah TNI membentuk dirinya sendiri, kemudian menempatkan
dirinya didalam pergaulan sipil militer di Tanah Air. Pada periode ini
muncul pemberontakan diberbagai daerah. Pemberontakan ini dipicu oleh
ketidakadilan pemerintahan jawa sentris. Ketidakadilan ini yang kemudian
menimbulkan pemberontakan di beberapa daerah diluar Jawa. Keadaan
menjadi semakin buruk ketika Dwi Tunggal Soekarno Hatta bubar dengan
mundurnya Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1 Desember 1956.4

Kedua yaitu pada Era Orde Baru yang berjalan antara kurun waktu
tahun 1966 hingga tahun 1998, di mana pada masa kepemimpinan presiden
Soeharto selama 32 tahun inilah kita akan melihat betapa besarnya
keikutsertaan dan peran militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 menyebabkaan
muncul jurang legitimasi yang menganga lebar, sebagai tercermin dari
penghujatan meluas terhadap berbagai lembaga dan prosedur politik yang
digunakan Orde Baru termasuk militer. Perubahan konstelasi politik
tersebut berdampak pada kristalisasi gagasan reformasi militer yang
menjadi agenda utama dari gerakan demokratisasi di tahun 1998. Sejak itu
pengaruh politik milter mengalami penurunan yang drastis. Militer tidak
lagi memiliki pengaruh politik yang dominan terhadap pemerintahan, dan
pada saat ini tidak berada dalam posisi meraih kembali kekuasaan politik.5

Ketiga yaitu pada Era Reformasi dan pasca turunnya soeharto dari
kursi kepresidenan yang bergerak dalam kurun waktu tahun 1998 hingga
sekarang yang mana pada era ini kita akan melihat sebuah titik balik dari

4 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 13.

5 Syamsul Maarif, Ibid., hal 27.


perjalanan militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia, yaitu dengan
adanya gerakan sipil yang sangat kuat yang menekan militer untuk keluar
dari kancah perpolitikan di Indonesia dan kembali pada jati dirinya sebagai
pengemban fungsi pertahanan negara. Secara konkrit, perubahan dilakukan
dalam rangka mengembangkan demokrasi dalam kehidupan politik nasional
dinyatakan dalam, antara lain, pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR: dari
100 menjadi 75 kursi, dan dari 75 menjadi 38 kursi atas dasar UU susunan
dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru. 6 Format kaca mata
Indonesia baru, TNI bukanlah alat pemerintah yang dapat diartikan sebagai
kelompok kepentingan-kepentingan. Sebaliknya, membutuhkan TNI untuk
mendapatkan masukan berupa usulan, kritik, dan revisi yang strategis dalam
proses pengambilan keputusan dan juga memformulasikan hubungan sipil-
militer di Indonesia.7

TNI dan Polri sebagai inti kekuatan pertahanan dan keamaan


nasional, berfungsi menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari berbagai
ancaman. Pemerintah telah berhasil meyakinkan kalangan pimpinan TNI
dan Polri untuk kembali pada tugas pokoknya, yaitu menjadi inti kekuatan
pertahanan dan keamanan nasional, dengan menghindari keterlibatan pada
kebijakan dan masalah-masalah politik. Implementasi kebijakan sangat
penting yang telah diambil pemerintah dalam mengurangi hambatan atas
perkembangan demokrasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI.8

Dari pendahuluan yang telah diuraikan diatas, dalam artikel ini


akan membahas beberapa hal mengenai politik militer pada Era Reformasi,
yaitu yang pertama tentang perubahan karakteristik militer dari orde baru ke

6 Tim Penyusun Buku Hubungan Sipil-Militer, Hubungan Sipil-Militer (Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia, 1999), hal 18.

7 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 35.

8 Syamsul Maarif, Ibid., hal 39-40


era reformasi, kemudian yang kedua tentang kebijakan anggaran dan bisnis
militer era reformasi, dan yang terakhir tentang bagaimana hubungan sipil
dan militer.

B. Perubahan Karakteristik Militer

Peran TNI (ABRI pada masa itu) dalam era reformasi cukup
signifikan. Sebelum Presiden Soeharto meletakan jabatan dan Orde Baru
runtuh padad 21 Mei 1998, tuntutan reformasi di kalangan masyarakat
sudah sangat besar dan meluas. Sebab, pemerintah Orde Baru yang sangat
otokratis dan militeristik telah mengekang demokrasi, penghargaan hukum
dan hak asasi manusia. Kondisi yang tidak baik itu bertambah lagi dengan
situasi negara yang mengahadapi krisis keuangan, yang juga melanda
negara jiran dan sejumlah negara Asia lainnya.

Sesudah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto, TNI bertekad


melakukan paradigma baru dan reformasi internyalnya. TNI sadar bahwa
sebagai bagian dari bangsa, TNI tidak mau ketinggalan dalam proses
reformasi menyeluruh tersebut. Reformasi internal TNI sedikitnya
didasarkan atas tiga motivasi utama. Pertama, keinginan meningkatkan
kemampuan bangsa untuk menghadapi persaingan dalam era globalisasi.
Kedua, untuk mendapatkan jaminan kepastian kewenangan bagi prajurit
TNI ketika bertugas di lapangan, agar tidak mudah dituduh melanggar
hukum dan hak asasi manusia. Ketiga, komitmen TNI untuk memberikan
yang terbaik bagi bangsa Indonesia. 9

Bergantinya format politik dari era Orde Baru ke era Reformasi


menuntut TNI untuk menghindari wilayah politik. Hal ini dituangkan dalam
Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yang

9 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2005), hal 203.
melarang prajurit TNI untuk tidak terlibat dalam kegiatan menjadi anggota
partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk
dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu. Institusi TNI dituntut untuk
mengabdikan diri pada bangsa dan negara secara optimal sesuai dengan
tugas utamanya, sehingga TNI tidak dibenarkan terlibat dan bermain dalam
ranah politik praktis. Pelarangan ini tentu saja dengan mempertimbangkan
banyak alasan. Salah satunya dijelaskan TNI memegang senjata sehingga
jika terjadi selisih pendapat, bisa berbahaya. Namun, sebagai warga negara
10
anggota TNI juga mempunyai hak pilih sebagai warga negara lainnya.
Apabila ada anggota TNI yang ingin bermain dalam politik, mereka harus
mundur terlebih dahulu dari jabatannya dan tidak boleh hanya nonaktif.

Masyarakat berharap agar tanggungjawab TNI yang utama harus


mengacu pada konsep mempertahankan integritas nasional, terutama dalam
menghadapi agresi militer. Disamping itu, TNI diharapkan lebih memainkan
perannya sebagai institusi yang bertugas untuk mengatasi kekacauan
internal.11 Hal ini sejalan dengan tujuan reformasi sektor keamanan, yaitu
memberikan jaminan rasa aman kepada masyarakat. TNI harus mengikuti
kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil,
HAM, dan ketentuan hukum yang berlaku.

Hukum pidana militer memuat peraturan-peraturan yang


menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum
pidana umum dan hanya berlaku juga bagi golongan khusus (militer) atau
orang-orang karena peraturan ditundukkan padanya. Dengan adanya hukum
pidana militer, bukan berarti hukum pidana umum tidak berlaku bagi
militer. Akan tetapi bagi militer berlaku baik hukum pidana umum maupun

10 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 117.

11 Muslim Mufti, Ibid., hal 118.


hukum pidana militer.12 Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman ditetapkan bahwa
salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, termasuk pengkhususannya
yang susunan dan kekuasaan serta acaranya diatur dalam undang-undang
tersendiri. Keberadaan peradilan militer tersebut diperkuat lagi oleh
undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa
Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-
komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.13

Citra para TNI yang sudah menjadi konsensus nasional ini


dharapkan dapat semakin para TNI yang sudah menjadi konsensus nasional
ini diharapkan dapat semakin diwujudkan pada masa depan dengan tidak
ikutnya TNI bermain dalam agenda politik. Artinya, dalam konteks
kehidupan yang demokratis, tuntutan agar TNI benar-benar menjadi institusi
penegak keamanan yang professional harus dijalankan secara lebih
maksimal. Profesionalisme harus ditunjukan dengan penghapusan
keterlibatan TNI dalam fungsi-fungsi diluar pertahanan 14, karena fungsi
pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk mengahadapi ancaman

12 Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004),
hal 52.

13 Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004),
hal 73-74.

14 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal
118-119.
luar yang mengancam kedaulatan dan integritas negara serta melindungi
bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.

Pada masa Orde Baru, TNI memiliki tugas dan fungsi di bidang
pertahanan keamanan dan dibidang sosial politik; bahkan ada yang
mengatakan, TNI memiliki multifungsi.15 TNI selama Orde Baru telah
menikmati apa yang disebut sebagai karakter kultur yang etnosentrisme,
dimana TNI menganggap bahwa cara hidup mereka, sebagai sebuah kelas
elite tersendiri dalam struktur masyarakat Indonesia, adalah merupakan cara
hidup dan cara pandang yang terbaik. Berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto pada 1998 menyebabkan muncul jurang legitimasi yang menganga
lebar, sebagaimana tercermin dari penghujatan meluas terhadap berbagai
lembaga dan prosedur politik yang digunakan Orde Baru termasuk militer.16

Sejak jatuhnya rezim orde baru, tampak perubahan karakteristik


militer yang sebelumnya leluasa bergerak di berbagai bidang, khususnya di
bidang politik. Sebelumnya, militer adalah kekuatan politik Orde Baru
bersama Golkar. Oleh karena itu, jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya ABRI
sebagai penyangga pemerintahan, karena militer lebih identik dengan itu
ketimbang sebagai penyangga negara dari segala ancaman. Karateristik
militer saat itu cenderung represif, karena desakan untuk senantiasa
mendukung pemerintah.17 Reformasi telah mengubah wajah militer yang
represif menjadi alat pertahanan negara. Militer tidak lagi diperkenankan
masuk dalam wilayah-wilayah sipil dengan kewenangan yang terbatas.

15 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 206.

16 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 27.

17 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 119.
Turut berubahnya peran militer tidak lepas dari perubahan yang
cepat terjadi di Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Beberapa pesan
perubahan tersebut tampak dalam paradigma baru TNI, yaitu sebagai
berikut.

1. Prediksi tentang TNI ke depan pada abad XXI begitu


besar, kompleks, dan multidimensional. Atas dari itu, TNI harus
segera menyesuaikan diri.

2. TNI harus senantiasa mampu mendengar dan merespon


aspirasi rakyat.

3. TNI mengikuti secara jujur, jernih, dan objektif


sebagaimana komponen bangsa yang lainnya, bahwa pada masa
lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari
format politik Orde Baru.18

Dalam rangka memberikan pedoman memberikan pedoman


tentang apa yang perlu dilakukannya, TNI telah membuat kerangka model
redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya guna menyongsng
masyarakat baru Indonesia yang demokratis dan modern. 19 Oleh karena itu,
Panglima ABRI Jenderal, Wiranto mengeluarkan buku yang berjudul
“ABRI ABAD XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI
dalam kehidupan bangsa.”

1. Redifinisi. Dwifungsi ABRI pada masa reformasi telah


diubah terminologinya menjadi peran ABRI. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari salah tafsir. Selama ini, dwifungsi diidentikkan

18 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 120.

19 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 213-214.
dengan kekaryaan.20 Dengan redifinisinya, TNI menjadi lebih
fungsional dengan melakukan penyederhanaan perannya,
menyesuaikan struktur organisasinya, dan mengarahkan kepada
tentara profesional.

2. Reposisi. Reposisi diformulasikan sebagai penataan posisi


ABRI yang diletakkan pada wacana kehidupan bangsa yang
berpangkal dan berujung pada titik kebebasan dan transparansi
sebagai kosakata reformasi dengan ketertiban dan kepastian
sebagai pagar kebebasan.21 Dengan reposisi, peran dominan dari
posisi sentral TNI menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara
dinilai kembali supaya terwujud kehidupan demokratis yang
berkesejahteraan dan berkeadilan serta tegaknya hukum.

3. Reaktualisasi. Dalam reaktualisasi dituangkan upaya


penataan kembali implementasi peran ABRI pada masa
mendatang. ABRI adalah menerapkan perannya saat masa depan
secara tepat sesuai perkembangan zaman dan aspirasi
masyarakat.22 Ini dikarenakan, peran TNI pada masa lalu
dipandang sudah tidak aktual dan ketinggalan zaman. Pernyataan
TNI bahwa akan melaksanakan perannya sesuai dengan
perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat menunjukan
kemauan TNI membuka public sphere, dengan senantiasa
memperhatikan dan mengakodomasi tuntutan zaman dan aspirasi

20 Muslim Mufti, Op.Cit., hal 121.

21 Muslim Mufti, Op.Cit., hal 121.

22 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 121.
masyarakat demi membangun kembali citranya dan kepercayaan
masyarakat.23

Militer era reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik
praktis serta menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. 24 Dengan
paradigma barunya, TNI hanya berfungsi dalam bidang pertahanan saja,
sedangkan bidang keamanan menjadi tugas POLRI.

C. Kebijakan Anggaran dan Bisnis Militer

Tujuan reformasi internal TNI adalah untuk mewujudkan TNI


menjadi prajurit prosefional dengan cara memiliki kemahiran dan
kemampuan yang tinggi, sesuai dengan bidang tugasnya sebagai alat
pertahanan negara. Hal ini lebih lanjut diperinci seperti prajurit yang mahir
dalam oleh bertempur atau manuver, tanggap dan responsif dan mampu
menghadapi segala ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup
bangsa dan negara, memiliki kemampuan berpikir yang matang dan rasa
bertanggungjawab terhadap keselamatan bangsa dan negara, efisien, maju,
dan memiliki semangat berjuang yang tinggi, memiliki kemampuan teknik,
taktik, dan menguasai prosedur, memliki kesehatan yang prima dan
kesiapan fisik yang kuat.25 Semua ini merupakan inti yang utama bagi
prajurit, karena memang itulah tugas dan fungsi mereka sebagai alat negara.
Untuk mencapai kemampuan itu, TNI harus melakukan pendidikan dan
latihan yang berkualitas, namun anggaran untuk melaksanakan pendidikan
dan latihan yang masih menjadi kendala dalam reformasi TNI tersebut.

23 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 215.

24 Muslim Mufti, Op.Cit., hal 124.

25 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 247-248.
Selama perjalanan reformasi TNI pasca-Orde Baru, faktor yang
paling menghambat terwujudnya profesionalisme militer adalah keterbasan
anggaran militer. Minimnya anggaran TNI tidak saja berpengaruh signifikan
terhadap kemampuan pertahanan nasional dengan semakin menurunnya
kualitas militer, tetapi juga dapat menurunkan moral prajurit yang merasa
tidak didukung.26 Akibatnya, berbagai program latihan kemiliteran yang
ideal tidak bisa dilaksanakan karena berbagai keterbasan. Hal inilah yang
mendorong terjunnya militer ke kancah bisnis. Kurangnya anggaran
tersebut ditambah keinginan untuk menyejahterakan prajurit mendorong
kalangan militer mengahalalkan kegiatan yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan tugas mulia mereka sebagai alat pertahanan negara.
Melihat persoalan anggaran TNI dengan bisnisnya, tidak lepas dari
anggapan bahwa bisnis militer TNI lahir secara normal dari kebutuhan
militer itu sendiri.

Akan tetapi, ada juga pihak yang menganggap bahwa bisnis militer
bukanlah bisini murni yang dibangun berdasarkan mekanisme ekonomi
yang berlaku.27 Oleh karena itu, negara seharusnya mengambil alih bisni
tersebut, karena menyimpang dari tugas dan fungsi militer yang
sesungguhnya. Tidak sesuai budaya militer dan ekonomi bisnis akan
menghilangkan stabilitas ekonomi nasional.

Pada Era Reformasi, prajurit TNI semakin sulit mendapatkan


pemasukan ekstra dari kerja sampingan. Disamping itu, organisasi TNI
mulai lebih teratur dan ketat dalam mengontrol kegiatan personelnya.
Dalam alokasi APBN 2006, Departemen Pertahanan mendapatkan jatah
23,6 triliun. Selain itu masih ada tambahan fasilitas Kartu Ekspor untuk
pembelian alutsista (alat utama sistem pertahananan) TNI yang dinilai

26 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 125.

27 Muslim Mufti, Ibid., hal 126.


sekitar 4,5 triliun.28 Meskipun demikian kenyataan menunjukan bahwa dana
yang diberikan kepada Departemen Pertahanan hanya cukup untuk
melakukan pemeliharaan, sedangkan untuk pembelian alutsista baru tidak
memadai.

Dengan anggaran terbatas itu, TNI menghadapi banyak kendala.


Persoalan anggaran ini menjadi serius karena dianggap mengahalangi cita-
cita demokrasi, yaitu menghambat reformasi TNI. Meskipun dengan kondisi
serba terbatas, peningkatan profesionalisme TNI tetap harus menjadi
prioritas. Untuk itu ada lima hal yang perlu dikedepankan dan menjadi
tanggungjawab seluruh komponen bangsa.

Pertama, sarana prasarana lembaga Pendidikan dan pelatihan,


terutama profesionalisme para instrukturnya. Kedua, pembinaan ilmu
militer (militer science) dengan otoritas pemberian gelar kesarjanaan ilmu
militer pada lembaga Pendidikan TNI. Harus ada program yang terukur
dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Ketiga, skala prioritas belanja
kebutuhan peralatan militer. Keempat, pertahanan nasional. Kelima,
meningkatkan secara bertahap dan berkesinambungan kesejahteraan
prajurit. 29

Upaya pemerintah juga turut mengakomodasi hal tersebut yaitu


pada saat Megawati menjadi presiden. Megawati menjadi presiden RI
setelah MPR mengadakan sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Di
bawah kepemimpinannya, Megawati berusaha untuk menciptakan
harmonisme hubungan antara institusi sipil dengan militer. Megawati
merangkul militer dengan menunjuk beberapa perwira senior untuk
menduduki jabatan menteri di kabinet gotong royong seperti Susilo
Bambang Yudhyono yang menjadi Menko Polsoskam dan Hari Sabarno

28 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 126.

29 Muslim Mufti, Ibid., hal 127.


yang menjadi Mendagri. Selain itu, Megawati juga menaikkan anggaran
belanja untuk bidang pertahanan dan keamanan. 30 Selain itu, presiden
Megawati juga memberikan dana untuk membangun asrama-asrama militer,
hal ini merupakan bentuk perhatian langsung presiden yang menyentuh
simpati para perwira.

Kenaikan anggaran militer sudah bisa dilepaskan serta jumlah


mana dan seberapa besar kebutuhan militer itu sendiri. Selain faktor
pemenuhan kesejahteraan, faktor alutsista juga penting untuk dicermati
dalam menakar dan membuat anggaran milter. Oleh karena itu, bentuk
pertahan militer merupakan aspek yang patut diperhatikan.

Jika dilihat dari tahun 2000-2004, anggaran pertahanan melonjak


100%, yaitu dari sebesar 10 triliun menjadi 21 triliun. Akan tetapi,
pemerintah belum mampu merealisasikan sepenuhnya. 31

D. Hubungan Sipil dan Militer

Hubungan sipil-militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah


dan perkembangan bangsa dan negara.32 Wacana sipil-militer juga tidak bisa
dilepaskan dari dua kekuatan politik yang menentukan politik
33
pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Kekuatan yang menonjol antara salah
satu dari keduanya mencirikan sistem pemerintahan yang dijalankan suatu

30 Ary Nugraha dan Hasanuddin, Pergeseran Militer Politik ke Militer Profesional; Studi
Tentang Keberadaan Komando Teritorial Era Reformasi, Pekanbaru: Jurnal Online Mahasiswa
(JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Vol 1, No 1 (2014): Wisuda
Februari 2014.

31 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 128.

32 Tim Penyusun Buku Hubungan Sipil-Militer, Hubungan Sipil-Militer (Jakarta: PT


Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), hal 33.

33 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 130.
negara. Jika pemerintahan berlangsung secara otoriter, peran militer sangat
kuat. Sebaliknya, jika pemerintahan menjalankan fungsi demokrasi, peran
dan kontrol sipil berlangsung.

Pada masa Orde Baru, militer pada posisi dominan dan digunakan
sebagai alat kekuasaan. Hubungan sipil-militer yang berlansung adalah
dalam bentuk subjective civilian control.34 Sesudah Orde Baru tumbang,
hubungan sipil-militer masih kurang harmonis. Perbincangan tentang
hubungan sipil-militer masih banyak terjebak pada masalah yang tidak jelas
tentang supremasi sipil, dan prasangka bahwa militer pasti tidak mendukung
demokrasi. Seiring bergulirnya wacana demokrasi, peran sipil menjadi
sorotan utama. Rakyat tidak lagi berada dibawah tekanan kekuasaan
penguasa.

Peran sipil terhadap militer merupakan suatu proses yang terus


berlanjut dan akan berlangsung optimal di negara-negara dengan
kematangan demokrasi dan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi. Peran
sipil yang kuat mencirikan sebuah tatanan masyarakat politik dengan
berbagai kebijakan yang dilandasi kepentingan masyarakat. Dalam konteks
kehidupan bernegara, komunitas politik dicirikan oleh peran politik
masyarakat yang terbuka dalam pengambilan keputusan politik.

Dalam relasi sipil dan militer, kontrol sipil difungsikan untuk


mengontrol peran militer dan memaksimalkan peran sipil. 35 Hal ini
dianggap penting, sebab begitu banyak kepentingan kelompok sipil dan,
dengan macam-macam karakteristik, dan konflik satu sama lain, sehingga
tidak mungkin memaksimalkan kekuasaan sipil sebagai kesatuan yang utuh
dibandingkan dengan militer. Kontrol sipil oleh lembaga pemerintahan pada

34 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 353.

35 Muslim Mufti, Op.Cit., hal 131.


umumnya diperankan oleh raja atau pemimpin, karena raja hanyalah
seorang sipil yang muncul dalam konteks tersebut maka apa yang mereka
inginkan adalah memaksimalkan pengawasan atas kekuatan bersenjata dan
bukannya kontrol sipil pada umumnya.

Kontrol sipil atas militer akan dapat dilakukan dengan pembagian


tanggungjawab atas kontrol antara pejabat sipil dan pemimpin militer.
Bagaimanapun kontrol sipil atas angkatan bersenjata sebagian juga
ditentukan oleh sikap para pemimpin senior militer. Teori pembagian
tanggungjawab antara pejabat sipil dan militer didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, istilah kontrol berarti satu-satunya yang absah bagi arahan dan
tindakan militer berasal dari sipil diluar kelembagaan militer. Kedua,
kontrol sipil atas militer merupakan proses dinamis yang sangat tergantung
pada perubahan ide, nilai, lingkungan, isu, personalitas, dan tekanan krisis
dan perang.36

Dalam perkembangan selanjutnya pasca era Orde Baru, ledakan


partisipasi masyarakat pada sektor kemanan mengambil alih peran aparat
keamanan yang kian meningkat seiring dengan munculnya sejumlah konflik
dan kekerasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, baik yang
dilakukan oleh partai politik, ormas, maupun kelompok-kelompok
kepentingan berlatarbelakang agama dan etnis.

Hal ini dikarenakan, persoalan utama dari relasi sipil militer adalah
terwujudnya supremasi sipil. Supremasi sipil ialah otoritas pemerintah sipil
yang sah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur,
dan adil.37 Supremasi sipil berarti kepatuhan kepada pemerintah sipil,
supremasi sipil terhadap militer tidak berarti menempatkan kaum militer

36 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 41.

37 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004


(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal 354.
dibawah kaum sipil, supremasi sipil tidak berarti dominasi kaum sipil
terhadap militer, tetapi suatu kondisi dimana keputusan yang dibuat
pemerintah oleh sipil sampai pada pelaksana fungsi pertahanan.

Perwujudan supremasi sipil pada era pacsa Orde Baru merupakan


persoalan yang rumit. Hal ini tidak saja terkait dengan penataan kembali
kelembagaan politik yang ada, tetapi juga terkait dengan upaya mengubah
budaya politik sehingga kondusif untuk berjalannya demokrasi.

Hubungan sipil militer yang berlangsung ketika militer berada


sepenuhnya dibawah kendali sipil merupakan bagian dari agenda
demokrasi.38 Hubungan sipil-militer tidak saja dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi politik dalam negeri, tetapi juga oleh kondisi internasional. Dalam
situasi politik dalam negeri, hubungan sipil-militer relatif renggang, namun
relatif menguat saat mengahadapi ancaman dari luar atau ancaman
internasional. Hubungan sipil-militer ditentukan oleh sejauh mana
kebijakan-kebijakan berjalan dengan efektif dibawah kontrol sipil sebagai
pemegang kekuasaan politik. Keterlibatan militer dalam kehidupan politik
dapat memperbaiki atau memperburuk hubungan sipil-militer tergantung
sejauh mana keberhasilan militer membangun kepercayaan masyarakat sipil
pada kemudian hari setelah keterlibatannya.

E. Penutup

Pada Era Reformasi, militer ditekan untuk keluar dari perpolitikan


indonesia dan kembali ke fungsi pertahanan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya gerakan sipil yang sangat kuat yang menekan militer untuk keluar
dari kancah perpolitikan di Indonesia dan kembali pada jati dirinya sebagai
pengemban fungsi pertahanan negara. Masyarakat berharap agar
tanggungjawab TNI yang utama harus mengacu pada konsep
mempertahankan integritas nasional, terutama dalam menghadapi agresi

38 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 136.
militer. Disamping itu, TNI diharapkan lebih memainkan perannya sebagai
institusi yang bertugas untuk mengatasi kekacauan internal. Dalam rangka
memberikan pedoman memberikan pedoman tentang apa yang perlu
dilakukannya, TNI telah membuat kerangka model redefinisi, reposisi, dan
reaktualisasi perannya guna menyongsng masyarakat baru Indonesia yang
demokratis dan modern.

Selama perjalanan reformasi TNI pasca-Orde Baru, faktor yang


paling menghambat terwujudnya profesionalisme militer adalah keterbasan
anggaran militer. Minimnya anggaran TNI tidak saja berpengaruh signifikan
terhadap kemampuan pertahanan nasional dengan semakin menurunnya
kualitas militer, tetapi juga dapat menurunkan moral prajurit yang merasa
tidak didukung.

Pada masa Orde Baru, militer pada posisi dominan dan digunakan
sebagai alat kekuasaan. Hubungan sipil-militer yang berlansung adalah
dalam bentuk subjective civilian control. Sesudah Orde Baru tumbang,
hubungan sipil-militer masih kurang harmonis. Perbincangan tentang
hubungan sipil-militer masih banyak terjebak pada masalah yang tidak jelas
tentang supremasi sipil, dan prasangka bahwa militer pasti tidak mendukung
demokrasi. Hubungan sipil-militer tidak saja dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi politik dalam negeri, tetapi juga oleh kondisi internasional. Dalam
situasi politik dalam negeri, hubungan sipil-militer relatif renggang, namun
relatif menguat saat mengahadapi ancaman dari luar atau ancaman
internasional.

F.
G. Daftar Pustaka

Fattah, Abdeol. 2005. Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer


1945-2004. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Maarif, Syamsul. 2011. Militer Dalam Parlemen 1960-2004. Jakarta:


Prenada.

Tim Penyusun Buku Hubungan Sipil-Militer. 1999. Hubungan Sipil-Militer.


Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Salam, Moch. Faisal. 2004. Peradilan Militer di Indonesia. Bandung: CV.


Mandar Maju.

Mufti, Muslim. 2013. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka


Setia.

Hasan, Ibnu. 2003. Sistem Politik Ideologi Dan Demokrasi di Indonesia.


Sumedang: ALQA.

Ary Nugraha dan Hasanuddin. 2014. Pergeseran Militer Politik ke Militer


Profesional: Studi Tentang Keberadaan Komando Teritorial Era
Reformasi. Pekanbaru: Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Vol 1, No 1 (2014):
Wisuda Februari 2014.

Anda mungkin juga menyukai