rosidiahmad107@gmail.com
A. Pendahuluan
1 Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Rombel 5B
angkatan 2016.
2 Ibnu Hasan, Sistem Politik Ideologi Dan Demokrasi di Indonesia (Sumedang: ALQA, 2003),
hal 3.
3 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 4.
Indonesia dalam tiga era yaitu pertama adalah Era Orde Lama yang berjalan
dalam kurun waktu tahun 1945 hingga tahun 1966 di mana pada kurun
waktu inilah TNI membentuk dirinya sendiri, kemudian menempatkan
dirinya didalam pergaulan sipil militer di Tanah Air. Pada periode ini
muncul pemberontakan diberbagai daerah. Pemberontakan ini dipicu oleh
ketidakadilan pemerintahan jawa sentris. Ketidakadilan ini yang kemudian
menimbulkan pemberontakan di beberapa daerah diluar Jawa. Keadaan
menjadi semakin buruk ketika Dwi Tunggal Soekarno Hatta bubar dengan
mundurnya Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1 Desember 1956.4
Kedua yaitu pada Era Orde Baru yang berjalan antara kurun waktu
tahun 1966 hingga tahun 1998, di mana pada masa kepemimpinan presiden
Soeharto selama 32 tahun inilah kita akan melihat betapa besarnya
keikutsertaan dan peran militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998 menyebabkaan
muncul jurang legitimasi yang menganga lebar, sebagai tercermin dari
penghujatan meluas terhadap berbagai lembaga dan prosedur politik yang
digunakan Orde Baru termasuk militer. Perubahan konstelasi politik
tersebut berdampak pada kristalisasi gagasan reformasi militer yang
menjadi agenda utama dari gerakan demokratisasi di tahun 1998. Sejak itu
pengaruh politik milter mengalami penurunan yang drastis. Militer tidak
lagi memiliki pengaruh politik yang dominan terhadap pemerintahan, dan
pada saat ini tidak berada dalam posisi meraih kembali kekuasaan politik.5
Ketiga yaitu pada Era Reformasi dan pasca turunnya soeharto dari
kursi kepresidenan yang bergerak dalam kurun waktu tahun 1998 hingga
sekarang yang mana pada era ini kita akan melihat sebuah titik balik dari
4 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 13.
7 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 35.
Peran TNI (ABRI pada masa itu) dalam era reformasi cukup
signifikan. Sebelum Presiden Soeharto meletakan jabatan dan Orde Baru
runtuh padad 21 Mei 1998, tuntutan reformasi di kalangan masyarakat
sudah sangat besar dan meluas. Sebab, pemerintah Orde Baru yang sangat
otokratis dan militeristik telah mengekang demokrasi, penghargaan hukum
dan hak asasi manusia. Kondisi yang tidak baik itu bertambah lagi dengan
situasi negara yang mengahadapi krisis keuangan, yang juga melanda
negara jiran dan sejumlah negara Asia lainnya.
9 Abdeol Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2005), hal 203.
melarang prajurit TNI untuk tidak terlibat dalam kegiatan menjadi anggota
partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk
dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu. Institusi TNI dituntut untuk
mengabdikan diri pada bangsa dan negara secara optimal sesuai dengan
tugas utamanya, sehingga TNI tidak dibenarkan terlibat dan bermain dalam
ranah politik praktis. Pelarangan ini tentu saja dengan mempertimbangkan
banyak alasan. Salah satunya dijelaskan TNI memegang senjata sehingga
jika terjadi selisih pendapat, bisa berbahaya. Namun, sebagai warga negara
10
anggota TNI juga mempunyai hak pilih sebagai warga negara lainnya.
Apabila ada anggota TNI yang ingin bermain dalam politik, mereka harus
mundur terlebih dahulu dari jabatannya dan tidak boleh hanya nonaktif.
10 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 117.
12 Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004),
hal 52.
13 Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004),
hal 73-74.
14 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal
118-119.
luar yang mengancam kedaulatan dan integritas negara serta melindungi
bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.
Pada masa Orde Baru, TNI memiliki tugas dan fungsi di bidang
pertahanan keamanan dan dibidang sosial politik; bahkan ada yang
mengatakan, TNI memiliki multifungsi.15 TNI selama Orde Baru telah
menikmati apa yang disebut sebagai karakter kultur yang etnosentrisme,
dimana TNI menganggap bahwa cara hidup mereka, sebagai sebuah kelas
elite tersendiri dalam struktur masyarakat Indonesia, adalah merupakan cara
hidup dan cara pandang yang terbaik. Berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto pada 1998 menyebabkan muncul jurang legitimasi yang menganga
lebar, sebagaimana tercermin dari penghujatan meluas terhadap berbagai
lembaga dan prosedur politik yang digunakan Orde Baru termasuk militer.16
16 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 27.
17 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 119.
Turut berubahnya peran militer tidak lepas dari perubahan yang
cepat terjadi di Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Beberapa pesan
perubahan tersebut tampak dalam paradigma baru TNI, yaitu sebagai
berikut.
18 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 120.
22 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 121.
masyarakat demi membangun kembali citranya dan kepercayaan
masyarakat.23
Militer era reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik
praktis serta menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik. 24 Dengan
paradigma barunya, TNI hanya berfungsi dalam bidang pertahanan saja,
sedangkan bidang keamanan menjadi tugas POLRI.
Akan tetapi, ada juga pihak yang menganggap bahwa bisnis militer
bukanlah bisini murni yang dibangun berdasarkan mekanisme ekonomi
yang berlaku.27 Oleh karena itu, negara seharusnya mengambil alih bisni
tersebut, karena menyimpang dari tugas dan fungsi militer yang
sesungguhnya. Tidak sesuai budaya militer dan ekonomi bisnis akan
menghilangkan stabilitas ekonomi nasional.
26 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 125.
28 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 126.
30 Ary Nugraha dan Hasanuddin, Pergeseran Militer Politik ke Militer Profesional; Studi
Tentang Keberadaan Komando Teritorial Era Reformasi, Pekanbaru: Jurnal Online Mahasiswa
(JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Vol 1, No 1 (2014): Wisuda
Februari 2014.
31 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 128.
33 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 130.
negara. Jika pemerintahan berlangsung secara otoriter, peran militer sangat
kuat. Sebaliknya, jika pemerintahan menjalankan fungsi demokrasi, peran
dan kontrol sipil berlangsung.
Pada masa Orde Baru, militer pada posisi dominan dan digunakan
sebagai alat kekuasaan. Hubungan sipil-militer yang berlansung adalah
dalam bentuk subjective civilian control.34 Sesudah Orde Baru tumbang,
hubungan sipil-militer masih kurang harmonis. Perbincangan tentang
hubungan sipil-militer masih banyak terjebak pada masalah yang tidak jelas
tentang supremasi sipil, dan prasangka bahwa militer pasti tidak mendukung
demokrasi. Seiring bergulirnya wacana demokrasi, peran sipil menjadi
sorotan utama. Rakyat tidak lagi berada dibawah tekanan kekuasaan
penguasa.
Hal ini dikarenakan, persoalan utama dari relasi sipil militer adalah
terwujudnya supremasi sipil. Supremasi sipil ialah otoritas pemerintah sipil
yang sah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur,
dan adil.37 Supremasi sipil berarti kepatuhan kepada pemerintah sipil,
supremasi sipil terhadap militer tidak berarti menempatkan kaum militer
36 Syamsul Maarif, Militer Dalam Parlemen 1960-2004 (Jakarta: Prenada, 2011), hal 41.
E. Penutup
38 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal 136.
militer. Disamping itu, TNI diharapkan lebih memainkan perannya sebagai
institusi yang bertugas untuk mengatasi kekacauan internal. Dalam rangka
memberikan pedoman memberikan pedoman tentang apa yang perlu
dilakukannya, TNI telah membuat kerangka model redefinisi, reposisi, dan
reaktualisasi perannya guna menyongsng masyarakat baru Indonesia yang
demokratis dan modern.
Pada masa Orde Baru, militer pada posisi dominan dan digunakan
sebagai alat kekuasaan. Hubungan sipil-militer yang berlansung adalah
dalam bentuk subjective civilian control. Sesudah Orde Baru tumbang,
hubungan sipil-militer masih kurang harmonis. Perbincangan tentang
hubungan sipil-militer masih banyak terjebak pada masalah yang tidak jelas
tentang supremasi sipil, dan prasangka bahwa militer pasti tidak mendukung
demokrasi. Hubungan sipil-militer tidak saja dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi politik dalam negeri, tetapi juga oleh kondisi internasional. Dalam
situasi politik dalam negeri, hubungan sipil-militer relatif renggang, namun
relatif menguat saat mengahadapi ancaman dari luar atau ancaman
internasional.
F.
G. Daftar Pustaka