Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan, Hal ini dikarenakan perempuan
sangat rentan mendapat tindak kekerasan seksual, namun bukan berarti laki-laki terbebas dari
tindak kekerasan seksual. Berdasarkan data dari catatan tahunan Komnas Perempuan yang telah
dilampirkan dalam tabel di atas jumlah kasus kekerasan seksual yang terlaporkan seringkali
meningkat pada setiap tahunnya, sedangkan kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan dapat
melebihi data tersebut. Kekerasan seksual telah menjadi ancaman serius di tengah-tengah
masyarakat karena siapapun dapat menjadi korban kekerasan seksual, maka dari itu kasus
kekerasan seksual seharusnya sudah lebih di perhatikan agar tidak melahirkan banyak korban
lagi.
Di dalam aturan hukum, hanya ada 3 bentuk kekerasan seksual yang diakomodir
diantaranya Perkosaan, Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual dan Pencabulan. Namun,
masyarakat Indonesia masih belum faham apa saja yang termasuk kedalam bentuk-bentuk
1
Dilansir dari http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/ diakses pada 21 maret 2019
kekerasan seksual, selain perkosaan. Banyak bentuk kekerasan seksual selain perkosaan,
diantaranya pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual,
intimidasi/serangan seksual, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi
yang bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik
tradisi bernuansa seksual dan pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi paksa.
Kekeresan seksual sendiri merupakan isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan
terhadap perempuan, karena terdapat dimensi yang khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan
relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar dari kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan gender yang menyebabkan
kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman untuk melaksanakan
tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi.2
Peristiwa kekerasan seksual seringkali dikaitkan pada penilaian terhadap korban yang
dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara
berpakaian, Bahasa tubuh, cara berelasi sosial, status perkawinan, pekerjaan, atau karena
keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap
dituduh membiarkan peristiwa tersebut terjadi ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan
pelaku. Hal ini yang kemudian membuat korban kekerasan seksual mengalami depresi karena
merasa tertekan dan bersalah atas apa yang sudah menimpanya.
Ketika bahaya fisik mengancam otoritas tubuh, kemampuan untuk melarikan diri adalah
suatu naluri yang tidak dapat dikendalikan untuk dapat bertahan hidup, dalam sebuah penelitian
dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavia (AOGS) tahun 2017, para ahli
mencatat bahwa sejumlah 70 persen korban perkosaan mengalami sensasi seolah seluruh
tubuhnya lumpuh.3 Akibatnya, mereka tidak mampu bergerak, melawan, bahkan untuk berteriak.
Reaksi kelumpuhan sementara yang terjadi pada korban pemerkosaan dikenal dengan istilah
“Tonic Immobility”.
Dikutip dari (Anindyaputri, 2017) Tonic Immobility adalah reflek yang membuat tubuh
berada dalam keadaan tidak aktif untuk semetara waktu, reaksi ini pada awalnya ditemukan pada
2
Martha, Elmina, Aroma. Perempuan, kekerasan, dan hukum. (Yogyakarta : Press UII 2003, hal 113
3
Dilansir dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/ diakses pada 21
Maret 2019
hewan mangsa yang akan diserang predator. Hewan mangsa tersebut biasanya akan diam dan
tidak berkutik sedikitpun, sehingga predator yang akan memangsa akan mengira bahwa hewan
yang diincarnya sudah mati. Rupanya, manusia juga mengalami reaksi serupa ketika mereka
bertemu dalam kondisi merasa terancam. Pada manusia, korban yang akan diserang menjadi
tidak bisa berteriak meminta tolong, melarikan diri, apalagi untuk melawan balik pelaku, karena
sekujur tubuh korban tidak dapat digerakkan, atau sedang dalam mode tidak aktif untuk
sementara.
Hal ini yang pada akhirnya membuat korban akan mengingat semua hal yang terjadi pada
dirinya, tanpa bisa bergerak melawan. Ketika diserang, dalam benaknya korban akan berusaha
mengosongkan pikirannya, hal ini dilakukan secara otomatis supaya nanti korban tak akan
mengingat lagi kejadian traumatis tersebut. Namun beberapa kata penghakiman terhadap korban
yang tidak bisa berkutik ketika kejadian yang nantinya akan membuat korban terkena stress
pasca trauma. Menurut dr. Anna Moller, seorang peneliti dari Karolinska Institutet and
Stockholm South General Hospital di Swedia, menghakimi dan menyalahkan korban karena
tidak melawan balik si pelaku sangat berbahaya.4
PTSD merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak
menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain,
namun tidak semua gangguan psikologis yang sama tersebut termasuk dalam kriteria PTSD.
Menurut Selye (Rothschild, 2000) stress merupakan perubahan pola somatik sebagai respon
dalam menghadapi beban lingkungan. (Rothschild, 2000) mengatakan bahwa bentuk yang paling
4
Moller, Anna, Hans Peter Sondergaard, and Lotti Helstrom. “Tonic Immobility During Sexual Assault – A Common
Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disorder And Severe Depression.”Acta Obstetricia et Gynecol ogica
Scandinavica 96.8 (2017): 932-938
5
Dilansir dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/ diakses pada 23
Maret 2019
ekstrem dari stress merupakan akibat dari kejadian traumatik, yang disebut traumatic stress.
Dirangkum dalam laman hellosehat.com ada beberapa bentuk trauma yang dialami korban
kekerasan seksual, salah satu diantaranya adalah Depresi. Menyalahkan diri sendiri adalah salah
satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, ada dua jenis penyalahan diri
berdasarkan tindakan dan karakter.
Berdasarkan tindakan merasa mereka seharusnya dapat melakukan sesuatu yang dapat
menghindari mereka dari kejadian naas tersebut, dan karena itu korban seringkali merasa
bersalah. Penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat ia merasa ada sesuatu yang salah
dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka merasa layak untuk menjadi korban. Menurut
International Statistical Classification of Diseases Tenth Revision(ICD-10) gejala utama depresi
adalah mood depresi, hilang minat/semangat, mudah lelah/hilang tenaga. Gejala tambahan antara
lain konsentrasi menurun, harga diri turun, rasa bersalah, pesimis dengan masa depan, ide bunuh
diri atau menyakiti diri, pola tidur berubah dan nafsu makan menurun.
Berikut merupakan contoh kasus kekerasan seksual yang diberitakan oleh media di
Indonesia yang merupakan kekerasan seksual pada ranah personal atau privat yang terjadi di
Lampung.
Kasus kekerasan seksual bukan hanya menjadi masalah bagi pemerintah saja, melainkan
merupakan masalah sosial yang ada di Indonesia sehingga masyarakat sudah sewajarnya lebih
peka terhadap persoalan ini. Peranan lembaga yang ada di masyarakat sangat dibutuhkan untuk
berpartisipasi dalam penanganan kasus korban kekerasan seksual, karena kekerasan seksual
7
cenderung dapat menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun orang dewasa.
Sehingga dibutuhkan lembaga pendamping yang kompeten dalam pemulihan korban kekerasan
seksual.
Salah satu lembaga yang dapat mendampingi korban kekerasan adalah Yayasan Pulih.
Yayasan Pulih adalah lembaga non profit yang berbasis masyarakat yang didirikan untuk
menjawab keperluan akan layanan psikologis yang terjangkau. Pulih sebagai Pusat Penguatan
Psikososial terhadap Penyintas Trauma Kekerasan dan Bencana memiliki kepedulian untuk
membantu penyintas dalam konteks pemulihan psikososial. Untuk itu, Pulih mengembangkan
beberapa rangkaian program bagi penyintas maupun pendamping kekerasan struktural.
Sebagaimana misi dari Yayasan Pulih untuk pendidikan dan penyadaran publik kepada
kelompok masyarakat, lembaga-lembaga, dan para pengambil keputusan tentang pencegahan dan
penanganan kekerasan berdasarkan pemulihan trauma dan intervensi psikososial maka Yayasan
Pulih juga memberikan pelatihan-pelatihan dan menjadi narasumber terkait isu tersebut. Selain
6
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID Gadis Usia 18 Tahun Dirudapaksa Ayah, Kakak, dan Adik Kandung Jumat 22
Februari 2019 di akses pada 23 Maret 2019 dari http://lampung.tribunnews.com/2019/02/22/gadis-usia-18-tahun-
dirudapaksaayah-kakak-dan-adik-kandung
7
Phebe Illenis dan Woelan Handadari, Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual, Journal of Unair, Insan
Media Psikologi Vol. 13, no.2, (2011).
menerima klien yang datang secara langsung, Yayasan Pulih juga menerima rujukan dari
institusi atau lembaga lain yang membutuhkan layanan klinik Pulih.
Yayasan Pulih juga memberikan pelayanan untuk pemulihan korban kekerasan, termasuk
didalamnya pemulihan terhadap korban kekerasan seksual, Yayasan Pulih memang kompeten
dibidangnya dan sudah banyak menangani kasus serupa serta menjadi rujukan dari instansi lain.
Yayasan Pulih juga memiliki layanan psikologi yang berisi konsultasi psikologis, layanan
psikologis memberikan pelayanan psikologis bagi semua orang yang membutuhkan, terutama
bagi mereka yang mengalami dampak psikologis akibat peristiwa kekerasan, konflik, bencana
alam, dan penanganan traumatis lainnya. Sehingga dari pembahasan latar belakang tersebut
penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Komunikasi Konseling Terhadap Korban
Kekerasan Seksual di Yayasan Pulih”.
1. Bagaimana proses pemulihan trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih ?
2. Mengapa korban kekerasan seksual seringkali melakukan kekerasan terhadap diri
sendiri?
3. Mengapa korban kekerasan seksual sangat rentan terhadap trauma pasca kejadian ?
1.4 Tujuan Penelitian
Di dalam setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki tujuan penelitian. Berdasarkan
pertanyaan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, berikut adalah tujuan penelitian dalam
penelitian ini :
1. Untuk mengetahui proses pemulihan trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan
Pulih.
2. Untuk mengetahui apa saja yang memacu adanya keinginan melukai diri sendiri pada diri
korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih.
3. Untuk mengetahui pola komunikasi konseling yang digunakan dalam proses pemulihan
trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih.
1.5.1 Teoritis
Secara teoretis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada kajian komunikasi kesehatan.
1.5.2 Praktis
Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan serta
wawasan khususnya bagi mahasiswa serta civitas akademika Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran. Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan juga
gambaran bagi masyarakat bahwa korban kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan trauma
pasca kejadian, salah satu diantaranya adalah tindakan atau perilaku melukai diri sendiri. Korban
kekerasan seksual seringkali merasa dirinya sudah tidak ada nilainya di masyarakat, hal ini
tentunya menjadi sesuatu yang mulai harus diperhitungkan dan perhatikan lagi, terutama tentang
bagaimana cara komunikasi terhadap korban kekerasan seksual agar mereka tidak merasa diri
mereka sudah tidak berguna dan tidak ada nilainya di masyarakat.
1.6 Landasan Pemikiran
1.6.1 Konseptual
Landasan konseptual merupakan suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap
konsep lainnya dari masalah yang ingin di teliti. Landasan ini digunakan untuk membantu
peneliti agar dapat menghubungkan atau mendeskripsikan mengenai suatu topik yang akan
dibahas.
1.6.1.1 Konseling
1.6.1.1.1 Pengertian Konseling
Dalam Enjang (Enjang, 2009), h.33 Konseling diambil dari kata dasar counsel
yang dalam Bahasa inggris dikenal dengan kata counseling. Counseling sendiri direduksi
dari kata “to counsel” yang artinya memberikan nasihat atau anjuran pada orang lain
secara “face to face” (tatap muka). Definisi konseling menurut ASCA (American School
Counselor Association) dalam (Ali, 2015) mengajukan definisi konseling sebagai suatu
hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan
pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan
pengetahuan dan keterampilan untuk membantu kliennya dalam mengatasi masalah-
masalahnya. 8
Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
konseling adalah sebuah kegiatan tatap muka antara konselor dan konseli yang memiliki
tujuan untuk memberikan bantuan agar konseli dapat menerima dan memahami dirinya,
meningkatkan kepercayaan diri, juga membantu untuk mengubah ide dan pemikiran
konseli sehingga masalah konseli dapat terpecahkan dan hidup konseli kedepannya akan
lebih bahagia.
8
Ali, Muhammad. 2015. Makna Komunikasi Konseling Dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol. 13 No.
1. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.
hubungan terapeutik; Konseling merupakan usaha bantuan ; Konseling mengarahkan
tercapainya tujuan klien; dan Konseling mengarahkan kemandirian klien. Berdasarkan
aspek dan tujuan dari konseling tersebut dapat diidentifikasi beberapa fungsi konseling
yaitu (Enjang, 2009: 42):
Enjang (2009: 53), Tosari Munamar menjelaskan ada beberapa metode konseling
yang dapat digunakan: Metode Langsung, Konselor melakukan komunikasi langsung
(tatap muka) dengan konseli. Metode Kelompok, konselor melakukan komunikasi
langsung dengan konseli dalam bentuk kelompok. Metode Direktif, konselor berperan
aktif dalam tercapainya kesuksesan konseling, konselor berusaha mengarahkan konseli
sesuai dengan masalahnya. Pada metode ini, konselor akan menyediakan berbagai macam
alternatif penyelesaian yang disertai untung dan ruginya dalam membantu konseli untuk
mencapai taraf pemilihan yang terbaik. Metode Non-direktif, dalam metode ini, konseli
berperan aktif dalam tercapainya kesuksesan konseing. Metode ini merupakan kebalikan
dari metode direktif, metode ini menuntut konseli untuk memiliki kemampuan
merefleksikan dan mengungkapkan perasaan serta pikirannya secara verbal.
Konseling juga memiliki beberapa tahapan yang perlu dijalani oleh konselor dan
konseli. Sunil Krishnan mengatakan terdapat lima tahap untuk melakukan konseling,
diantaranya yaitu:
1.6.1.2 Konselor
Konselor merupakan seseorang yang professional dalam bidang konseling yang bertugas
untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah yang ia hadapi. Konselor dituntut untuk
memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni agar dapat membantu konseli menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Sebagai seorang konselor, perlu untuk memiliki keterampilan
komunikasi untuk melakukan konseling yang efektif (Egan, 1998).10 Kemampuan
memperhatikan (attending), Kemampuan mendengarkan (listening), Kemampuan empati,
Kemampuan menyelidik atau bertanya, Kemampuan meringkas. Kemampuan mengintegrasikan
keterampilan komunikasi.
9
Sunil Krishnan. Dikutip dari http://www.slideshare.net/SUNILKRISHNANPSYCHO/the-counselling-process-
stages-of-the-counselling-process. Diakses pada 25 Maret 2019
10
Dikutip dari http://www.health24.com/medical/HIV-AIDS/Counselling/Basic-communication-skills-20120721.
Diakses pada 25 Maret 2019
1.6.1.3 Komunikasi Konseling
1.6.1.3.1 Pengertian Komunikasi Konseling
Komunikasi yang efektif terjadi apabila pesan yang diberikan oleh komunikator
dapat diterima, dimengerti, dan dipahami oleh komunikan, dalam kasus ini adalah konseli
dan konselor. Dalam prosesnya, konseli mengungkapkan pesan mengenai masalahnya
kepada konselor dengan harapan adanya respon dari konselor terhadap masalah yang
dialaminya tersebut. Sebaliknya, konselor menyampaikan pesan-pesannya agar konseli
bersifat terbuka kepadanya dan diharapkan dapat terjadi perubahan perilaku konseli yang
lebih baik yang dapat mendukung pemecahan masalah.
Kekerasan seksual berasal dari dua suku kata, yaitu kekerasan dan seksual.
Kekerasan berasal dari kata keras yang berarti padat kuat dan tidak mudah berubah
bentuknya atau tidak mudah pecah, sangat kuat, sangat teguh, membahayakan nyawa,
payah (tentang sakit), tidak lemah lembut.11 Kekerasan adalah suatu bentuk yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan maksud untuk menyakiti dan melakukan
tindakan tidak manusiawi baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring diakses pada 23 maret 2019 dari
http://kbbi.we.id/keras
12
Khisbiyah Yayah, dkk., Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. (Yogyakarta: pimpinan pusat ikatan remaja
muhammadiyah, 2000) h, 13.
dapat mengakibatkan luka, sakit, cidera, cacat, atau penderitaan bagi korban secara fisik,
psikis, mental, penelantaran maupun materi.
Seksual berasal dari kata seks yang artinya perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki, yang berhubungan dengan alat kelamin. Seksual berarti segala hal yang
berkenaan dengan seks (jenis kelamin), berkenaan dengan perkara persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan.13 Kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada
perilaku seksual diveatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak
korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Abdul, 2011). Adanya kekerasan
seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang
membutuhkan perhatian.
1. Perkosaan;
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
3. Pelecehan seksual;
4. Eksploitasi seksual;
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
6. Prostitusi paksa;
7. Perbudakan seksual;
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring di akses pada 23 Maret 2019 dari
http://kbbi.web.id/seksual
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
9. Pemaksaan kehamilan;
10. Pemaksaan aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan;
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas
agama.14
1.6.1.4.3 Penyebab Kekerasan Seksual
Ada beberapa penyebab tejadinya kekeasan seksual yang terjadi pada perempuan
dan laki-laki: Kemiskinan, hal ini menyebabkan seseorang kurang memiliki kesempatan
dalam mengenyam pendidikan seperti biaya yang tinggi dan adanya diskriminasi
dikalangan keluarga untuk memperoleh pendidikan, sehingga membuat seseorang kurang
pengetahuan. Adat budaya yang sering kali memandang perempuan adalah makhluk
yang rendah (isu gender), hal ini menyebabkan korban kekerasan seksual seringkali
adalah perempuan. Disfungsi peran keluarga, misalnya perselingkuhan, kecemburuan,
dan perilaku buruk yang diperlihatkan dalam keluarga. Rendahnya pemahaman hukum
di dalam masyarakat. Adanya anggapan bahwa proses hukum oleh negara sangat
mahal, sehingga kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan.15
14
Komnas Perempuan, “15 jenis kekerasan seksual”, artikel diakses pada 1 maret 2019 dari
https://www.komnasperempuan.go.id/
15
Nih Luh Ade Yuryawati, Kajian Yuridis Tentang Pemulihan Psikologis Bagi Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan (Studi Kasus Di NTB), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram Vol. 4, no. 1,
(Februari, 2010), h.32.
a. Depresi
Salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum adalah
depresi dan menyalahkan diri sendiri, ada dua jenis penyalahan diri,
berdasarkan tindakan dan karakter. Penyalahan diri berdasarkan tindakan
mereka akan merasa seharusnya dapat melakukan sesuatu yang berbeda yang
dapat menghindari mereka dari kejadian tersebut dan karena itu menjadi
merasa bersalah. Sedangkan penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat
ia merasa ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, yang menyebabkan
mereka merasa layak untuk menjadi korban. Depresi dan menyalahkan diri
sendiri merupakan isu kesehatan mental serius.
b. Sindrom Trauma Perkosaan (Rape Trauma Syndrome)
Bentuk turunan dari PTSD (gangguan stress pasca trauma), sebagai suatu
kondisi yang mempengaruhi korban dari kekerasan seksual. Kekerasan
seksual, termasuk perkosaan. Segera setelah kejadian, korban mengalami
syok. Cenderung merasa kedinginan, pingsan, mengalami disorientasi
(kebingungan mental), gemetar, mual dan muntah.
c. Disosiasi
Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari
realitas. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang
digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar
percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung
spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun.
d. Gangguan Makan
Kekerasan seksual dapat mempengaruhi penyintasnya dalam berbagai
cara, termasuk persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri
dalam kebiasaan makan. Beberapa orang mungkin menggunakan makanan
sebagai pelampiasan mengatasi trauma, untuk merasa kembali memegang
kendali atas tubuhnya, atau mengimbangi perasaan dan emosi yang
membuatnya kewalahan. Ada tiga tipe gangguan makan, yaitu: anorexia
nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating
e. Hypoactive Sexual Desire Disorder
Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis
yang menandakan hasrat seksual rendah. Kondisi ini juga umum disebut
apatisme seksual atau keengganan seksual. HSDD dapat menjadi kondisi
primer atau sekunder, yang bisa memberikan perbedaan besar dalam
perencanaan pengobatan.
Kondisi primer adalah jika seorang individu tidak pernah mengalami atau
memiliki hasrat seksual, dan jarang (jika pernah) terlibat dalam hubungan
seksual — tidak memulai dan tidak merespon terhadap rangsangan seksual
dari pasangannya. HSDD menjadi kondisi sekunder saat orang tersebut
memiliki gairah seksual yang normal dan sehat pada awalnya, namun
kemudian menjadi tidak tertarik sama sekali dan tidak acuh akibat faktor
penyebab lain.
f. Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan
seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan
pada wanita. Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya
termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan
seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan
stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara
dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.
g. Vaginismus
Seks yang menyakitkan sering menjadi pertanda awal seorang wanita
mengidap vaginismus. Rasa sakit yang dialami hanya terjadi saat penetrasi.
Biasanya akan menghilang setelah penarikan, namun tidak selalu. Wanita
yang memiliki kondisi ini menggambarkan rasa sakitnya sebagai sensasi
robekan atau seperti pria menghantam dinding.
h. Diabetes Tipe 2
Orang dewasa yang mengalami segala bentuk pelecehan seksual saat
masih kanak-kanak berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung dan diabetes.16
Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive
Medicine, peneliti menyelidiki hubungan antara pelecehan seksual yang
dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2. Temuan melaporkan 34 persen dari
67,853 partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah
mengalami kekerasan seksual.
Selain dampak Trauma fisik dan mental akibat kekerasan seksual, adapula
dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan dari permasalahan-permasalahan yang
muncul adalah sebagai berikut:
a. Stigma Social Negative yaitu sebagai bekas atau mantan korban kekerasan
misalnya pemerkosaan atau janda.
b. Kerugian secara fisik dan psikologis dialami oleh korban kekerasan dan
KDRT seperti luka fisik dan trauma psikologis yang tidak mudah untuk
disembuhkan.
c. Tekanan terhadap korban oleh keluarga dan masyarakat.
d. Penolakan sosial yang dialami seperti kekerabatan dan kekeluargaan terputus
sehingga menjadi status sosial yang termarginalkan.17
16
Ajeng Quamila, “8 Trauma Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Seksual” artikel diatas di akses pada 5 maret 2019
dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/trauma-akibat-kekerasan-seksual/
17
Nih Luh Ade Yuryawati, Kajian Yuridis Tentang Pemulihan Psikologis Bagi Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan (Studi Kasus di NTB), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram Vol.4, no.1,
(Februari, 2010), h.32.
1.6.1.5 Komunikasi Antarpribadi
1.6.1.5.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi
1.6.2 Teoritis
Devito (2011: 64) menyatakan bahwa keterbukaan diri adalah jenis komunikasi
dimana individu mengungkapkan informasi tentang dirinya yang biasanya
disembunyikan atau tidak diceritakan kepada orang lain. Morton (dalam Sears, Jonathan
dan Anne, 1985: 254) menambahkan bahwa pengungkapan diri atau keterbukaan diri
adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.
keterbukaan diri bersifat deskriptif dan evaluatif.
Devito (1986). Menyebutkan bahwa terdapat lima (5) dimensi di dalam self
disclosure, yaitu:
Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang
menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga,
dan seterusnya. Di pihak lain kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan
kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian
kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Studi kasus pada penelitian ini adalah studi kasus tunggal dimana peneliti meneliti suatu
kasus yang unik dari suatu program, yaitu komunikasi konseling yang dilakukan oleh konselor
pada konseli korban kekerasan seksual pada sebuah sub program, yaitu konseling, yang berada
pada program utama Yayasan Pulih. Dalam penelitian ini, peneliti memerlukan data dari
berbagai sumber (multisource) untuk kemudian dianalisis menjadi hasil penelitian.
Yin (2015: 23) membagi studi kasus ke dalam tiga tipe, yaitu eksploratif, eksplanatif, dan
deskriptif. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus eksploratif. Hal
ini dikarenakan peneliti menggunakan pendekatan penelitian yang digunakan untuk meneliti
sesuatu (yang menarik perhatian) yang belum diketahui, belum dipahami, atau belum dikenali
dengan baik sebelumnya.
Sampel atau informan diambil secara purposive dimana artinya ditentukan sendiri atas
dasar kebutuhan dan kredibilitas key informant tersebut. Sampling purposive merupakan sebuah
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampel ini cocok digunakan untuk
penelitian kualitatif, atau penentuan penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi.
(Sugiyono, 2012, p. 68) Mengacu pada pengertian sampling purposive, terdapat syarat bagi key
informant yang diambil pada penelitian ini, diantaranya:
Selain melakukan observasi formal, peneliti juga akan melakukan observasi informal,
yaitu dengan cara peneliti akan menanyai secara individu kepada korban kekerasan seksual
tentang dampak komunikasi konseling yang telah dilakukannya di Yayasan Pulih terhadap
kemajuan pemulihan trauma akibat tragedy yang menimpanya. Selain untuk mendapatkan
informasi secara lebih rinci, hal ini juga dilakukan peneliti untuk mengakrabkan diri kepada
korban kekerasan seksual yang mengalami trauma dan juga untuk memberikan dukungan kepada
korban. Sehingga korban kekerasan seksual tidak merasa canggung dan lebih terbuka ketika
berinteraksi dengan peneliti.
Daftar Pustaka
Abdul, W. (2011). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual advokasi atas hak asasi
perempuan. Bandung: PT Refika Aditama Bandung.
Ali, M. (2015). Makna Komunikasi Konseling Dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol. 13
No.1.
Anindyaputri, I. (2017, september 6). Kenapa Korban Pemerkosaan Tak Bisa Berkutik Melawan? Ini
Alasan yang Semua Wajib Tahu. Retrieved Maret 21, 2019, from https://hellosehat.com:
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/
Effendy, O. U. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.
Hidayat, D. (2012). Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rothschild, B. (2000). The body remembers: The psychophysiology of trauma and trauma treatment. New
York: W.W Norton & Company.
Stephen W. Littlejohn, K. A. (2011). Theories of Human Communication. USA: Waveland Press, Inc.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan : Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: CV Alfabeta.
Uchjana, O. (2001). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wiryanto. (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo.