Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL PENELITIAN

KOMUNIKASI KONSELING TERHADAP KORBAN


KEKERASAN SEKSUAL DI YAYASAN PULIH
(STUDI KASUS TENTANG KOMUNIKASI KONSELING SEBAGAI BENTUK
PEMULIHAN TRAUMA PADA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI
YAYASAN PULIH)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

Sophia Salsabila (210110150118)


PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................................ 2


1.1 Latar Belakang................................................................................................................................... 3
1.2 Fokus Penelitian ................................................................................................................................ 8
1.3 Identifikasi Masalah .......................................................................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................................................. 9
1.5 Kegunaan Penelitian ......................................................................................................................... 9
1.5.1 Teoritis ...................................................................................................................................... 9
1.5.2 Praktis........................................................................................................................................ 9
1.6 Landasan Pemikiran ........................................................................................................................ 10
1.6.1 Konseptual .............................................................................................................................. 10
1.6.1.1 Konseling ............................................................................................................................. 10
1.6.1.2 Konselor .............................................................................................................................. 12
1.6.1.3 Komunikasi Konseling ......................................................................................................... 13
1.6.1.4 Kekerasan Seksual ............................................................................................................... 14
1.6.1.5 Komunikasi Antarpribadi..................................................................................................... 20
1.6.2 Teoritis .................................................................................................................................... 20
1.6.2.1 Teori Self Disclosure ............................................................................................................ 20
1.7 Penelitian Sejenis ............................................................................................................................ 22
1.8 Pendekatan Penelitian .................................................................................................................... 25
1.9 Metode Penelitian .......................................................................................................................... 26
1.10 Subjek penelitian............................................................................................................................. 27
1.11 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................................................. 28
Daftar Pustaka............................................................................................................................................. 29
1.1 Latar Belakang
Kekerasan seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang
dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat
dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki.1 Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan
(catahu) 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin darurat kekerasan
seksual.

Ranah Ranah Total Kasus Kekerasan


Tahun
Personal/Pribadi Publik/Komunitas Seksual
2013 2.995 2.634 5.629
2014 2.274 2.183 4.457
2015 3.325 3.174 6.499
2016 3.459 2.290 5.749
2017 2.979 2.670 5.649

Table 1. Data Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2013-2015

Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan, Hal ini dikarenakan perempuan
sangat rentan mendapat tindak kekerasan seksual, namun bukan berarti laki-laki terbebas dari
tindak kekerasan seksual. Berdasarkan data dari catatan tahunan Komnas Perempuan yang telah
dilampirkan dalam tabel di atas jumlah kasus kekerasan seksual yang terlaporkan seringkali
meningkat pada setiap tahunnya, sedangkan kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan dapat
melebihi data tersebut. Kekerasan seksual telah menjadi ancaman serius di tengah-tengah
masyarakat karena siapapun dapat menjadi korban kekerasan seksual, maka dari itu kasus
kekerasan seksual seharusnya sudah lebih di perhatikan agar tidak melahirkan banyak korban
lagi.

Di dalam aturan hukum, hanya ada 3 bentuk kekerasan seksual yang diakomodir
diantaranya Perkosaan, Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual dan Pencabulan. Namun,
masyarakat Indonesia masih belum faham apa saja yang termasuk kedalam bentuk-bentuk

1
Dilansir dari http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/ diakses pada 21 maret 2019
kekerasan seksual, selain perkosaan. Banyak bentuk kekerasan seksual selain perkosaan,
diantaranya pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual,
intimidasi/serangan seksual, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi
yang bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik
tradisi bernuansa seksual dan pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi paksa.

Kekeresan seksual sendiri merupakan isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan
terhadap perempuan, karena terdapat dimensi yang khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan
relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar dari kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan gender yang menyebabkan
kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman untuk melaksanakan
tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi.2

Peristiwa kekerasan seksual seringkali dikaitkan pada penilaian terhadap korban yang
dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara
berpakaian, Bahasa tubuh, cara berelasi sosial, status perkawinan, pekerjaan, atau karena
keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap
dituduh membiarkan peristiwa tersebut terjadi ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan
pelaku. Hal ini yang kemudian membuat korban kekerasan seksual mengalami depresi karena
merasa tertekan dan bersalah atas apa yang sudah menimpanya.

Ketika bahaya fisik mengancam otoritas tubuh, kemampuan untuk melarikan diri adalah
suatu naluri yang tidak dapat dikendalikan untuk dapat bertahan hidup, dalam sebuah penelitian
dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavia (AOGS) tahun 2017, para ahli
mencatat bahwa sejumlah 70 persen korban perkosaan mengalami sensasi seolah seluruh
tubuhnya lumpuh.3 Akibatnya, mereka tidak mampu bergerak, melawan, bahkan untuk berteriak.
Reaksi kelumpuhan sementara yang terjadi pada korban pemerkosaan dikenal dengan istilah
“Tonic Immobility”.

Dikutip dari (Anindyaputri, 2017) Tonic Immobility adalah reflek yang membuat tubuh
berada dalam keadaan tidak aktif untuk semetara waktu, reaksi ini pada awalnya ditemukan pada

2
Martha, Elmina, Aroma. Perempuan, kekerasan, dan hukum. (Yogyakarta : Press UII 2003, hal 113
3
Dilansir dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/ diakses pada 21
Maret 2019
hewan mangsa yang akan diserang predator. Hewan mangsa tersebut biasanya akan diam dan
tidak berkutik sedikitpun, sehingga predator yang akan memangsa akan mengira bahwa hewan
yang diincarnya sudah mati. Rupanya, manusia juga mengalami reaksi serupa ketika mereka
bertemu dalam kondisi merasa terancam. Pada manusia, korban yang akan diserang menjadi
tidak bisa berteriak meminta tolong, melarikan diri, apalagi untuk melawan balik pelaku, karena
sekujur tubuh korban tidak dapat digerakkan, atau sedang dalam mode tidak aktif untuk
sementara.

Hal ini yang pada akhirnya membuat korban akan mengingat semua hal yang terjadi pada
dirinya, tanpa bisa bergerak melawan. Ketika diserang, dalam benaknya korban akan berusaha
mengosongkan pikirannya, hal ini dilakukan secara otomatis supaya nanti korban tak akan
mengingat lagi kejadian traumatis tersebut. Namun beberapa kata penghakiman terhadap korban
yang tidak bisa berkutik ketika kejadian yang nantinya akan membuat korban terkena stress
pasca trauma. Menurut dr. Anna Moller, seorang peneliti dari Karolinska Institutet and
Stockholm South General Hospital di Swedia, menghakimi dan menyalahkan korban karena
tidak melawan balik si pelaku sangat berbahaya.4

Pasalnya, sejumlah penelitian membuktikan kalau korban-korban pemerkosaan yang pada


saat kejadian mengalami kelumpuhan sementara lebih rentan mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) dan depresi. Hal ini dapat terjadi karena dalam hatinya, para korban
menyalahkan diri sendiri karena tidak berdaya untuk melawan serangan pelaku.5 Tekanan dalam
diri korban begitu besar sehingga mengganggu kejiwaannya dan menyebabkan trauma psikologis
yang serius, apalagi jika ditambah dengan komentar-komentar dari masyarakat luas.

PTSD merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak
menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain,
namun tidak semua gangguan psikologis yang sama tersebut termasuk dalam kriteria PTSD.
Menurut Selye (Rothschild, 2000) stress merupakan perubahan pola somatik sebagai respon
dalam menghadapi beban lingkungan. (Rothschild, 2000) mengatakan bahwa bentuk yang paling

4
Moller, Anna, Hans Peter Sondergaard, and Lotti Helstrom. “Tonic Immobility During Sexual Assault – A Common
Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disorder And Severe Depression.”Acta Obstetricia et Gynecol ogica
Scandinavica 96.8 (2017): 932-938
5
Dilansir dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/ diakses pada 23
Maret 2019
ekstrem dari stress merupakan akibat dari kejadian traumatik, yang disebut traumatic stress.
Dirangkum dalam laman hellosehat.com ada beberapa bentuk trauma yang dialami korban
kekerasan seksual, salah satu diantaranya adalah Depresi. Menyalahkan diri sendiri adalah salah
satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, ada dua jenis penyalahan diri
berdasarkan tindakan dan karakter.

Berdasarkan tindakan merasa mereka seharusnya dapat melakukan sesuatu yang dapat
menghindari mereka dari kejadian naas tersebut, dan karena itu korban seringkali merasa
bersalah. Penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat ia merasa ada sesuatu yang salah
dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka merasa layak untuk menjadi korban. Menurut
International Statistical Classification of Diseases Tenth Revision(ICD-10) gejala utama depresi
adalah mood depresi, hilang minat/semangat, mudah lelah/hilang tenaga. Gejala tambahan antara
lain konsentrasi menurun, harga diri turun, rasa bersalah, pesimis dengan masa depan, ide bunuh
diri atau menyakiti diri, pola tidur berubah dan nafsu makan menurun.

Berikut merupakan contoh kasus kekerasan seksual yang diberitakan oleh media di
Indonesia yang merupakan kekerasan seksual pada ranah personal atau privat yang terjadi di
Lampung.

Dilansir dari TribunLampung.co.id, kasus kekerasan seksual tersebut terungkap setelah


korban yang berinisian AG (18) bercerita kepada seorang pendamping perempuan dari
Satgas Lembaga Perlindungan Anak Berbasis Merah Putih, korban yang merupakan
penyandang disabilitas dipaksa berkali-kali melakukan hubungan badan oleh ayah, kakak,
dan adik kandungnya selama kurang lebih 2 tahun. Selama itu, AG mengaku takut kepada
para pelaku yang tidak lain adalah keluarga kandung korban, sehingga korban tidak dapat
melakukan perlawanan.
Tarseno, dari Lembaga Perlindungan Anak Berbasis Merah Putih menjelaskan AG
sebelumnya mendapat pendampingan anak dengan keterbelakangan mental, melalui
rujukan dinas terkait AG kemudian dibawa ke psikolog. Awalnya, AG mendapat
penanganan karena memiliki keterbelakangan mental, dari sini lah AG bercerita bahwa
hidupnya sangat tertekan dan kemudian terungkap apa yang telah ayah, kakak, dan adik
kandungnya lakukan terhadap dirinya selama ini. Sebelum tinggal bersama ayah dan kedua
saudara kandungnya, AG tinggal bersama ibu kandungnya yang seringkali dikurung di
dalam kamar ketika ibunya berangkat kerja hingga ibunya pulang kerja.
Namun keberadaan AG tidak pernah diketahui oleh sang ayah M (45) yang kemudian
menjemput sang anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia. AG mengalami perlakuan
negatif sejak 17 hari tinggal bersama ayahnya. “kalau yang satu maunya pagi ya pagi, siang
ya siang, itu berlangsung setiap hari. Bahkan dalam satu hari satu malam, bisa empat
sampai dengan lima kali” ungkap Tresno. Selain mendapat kekerasan seksual, AG kerap
tidak mendapat jatah makan. Tresno menyatakan, saat AG selesai memasak, hasil
masakannya dimakan oleh ayah, kakak dan adiknya, “korban belum tentu sehari makan
sekali” ungkap Tresno.6
Dalam menangani kasus kekerasan seksual, mengandalkan aturan pemerintah saja tidaklah
cukup. Karena banyak korban yang kesulitan untuk melaporkan kasus yang terjadi pada mereka
serta kurangnya pengetahuan yang didapatkan oleh korban, dengan demikian korban tidak tahu
harus ke mana untuk melapor serta mendapatkan pendampingan hukum, selain itu korban kerap
mendapat intimidasi dari pelaku berupa ancaman, tindak kekerasan lainnya, dan lain sebagainya
sehingga sulit bagi korban untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya.

Kasus kekerasan seksual bukan hanya menjadi masalah bagi pemerintah saja, melainkan
merupakan masalah sosial yang ada di Indonesia sehingga masyarakat sudah sewajarnya lebih
peka terhadap persoalan ini. Peranan lembaga yang ada di masyarakat sangat dibutuhkan untuk
berpartisipasi dalam penanganan kasus korban kekerasan seksual, karena kekerasan seksual
7
cenderung dapat menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun orang dewasa.
Sehingga dibutuhkan lembaga pendamping yang kompeten dalam pemulihan korban kekerasan
seksual.

Salah satu lembaga yang dapat mendampingi korban kekerasan adalah Yayasan Pulih.
Yayasan Pulih adalah lembaga non profit yang berbasis masyarakat yang didirikan untuk
menjawab keperluan akan layanan psikologis yang terjangkau. Pulih sebagai Pusat Penguatan
Psikososial terhadap Penyintas Trauma Kekerasan dan Bencana memiliki kepedulian untuk
membantu penyintas dalam konteks pemulihan psikososial. Untuk itu, Pulih mengembangkan
beberapa rangkaian program bagi penyintas maupun pendamping kekerasan struktural.

Sebagaimana misi dari Yayasan Pulih untuk pendidikan dan penyadaran publik kepada
kelompok masyarakat, lembaga-lembaga, dan para pengambil keputusan tentang pencegahan dan
penanganan kekerasan berdasarkan pemulihan trauma dan intervensi psikososial maka Yayasan
Pulih juga memberikan pelatihan-pelatihan dan menjadi narasumber terkait isu tersebut. Selain

6
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID Gadis Usia 18 Tahun Dirudapaksa Ayah, Kakak, dan Adik Kandung Jumat 22
Februari 2019 di akses pada 23 Maret 2019 dari http://lampung.tribunnews.com/2019/02/22/gadis-usia-18-tahun-
dirudapaksaayah-kakak-dan-adik-kandung
7
Phebe Illenis dan Woelan Handadari, Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual, Journal of Unair, Insan
Media Psikologi Vol. 13, no.2, (2011).
menerima klien yang datang secara langsung, Yayasan Pulih juga menerima rujukan dari
institusi atau lembaga lain yang membutuhkan layanan klinik Pulih.

Yayasan Pulih juga memberikan pelayanan untuk pemulihan korban kekerasan, termasuk
didalamnya pemulihan terhadap korban kekerasan seksual, Yayasan Pulih memang kompeten
dibidangnya dan sudah banyak menangani kasus serupa serta menjadi rujukan dari instansi lain.
Yayasan Pulih juga memiliki layanan psikologi yang berisi konsultasi psikologis, layanan
psikologis memberikan pelayanan psikologis bagi semua orang yang membutuhkan, terutama
bagi mereka yang mengalami dampak psikologis akibat peristiwa kekerasan, konflik, bencana
alam, dan penanganan traumatis lainnya. Sehingga dari pembahasan latar belakang tersebut
penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Komunikasi Konseling Terhadap Korban
Kekerasan Seksual di Yayasan Pulih”.

1.2 Fokus Penelitian


Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadi
fokus penelitian ini adalah “Bagaimana komunikasi konseling yang dilakukan terhadap korban
kekerasan seksual di Yayasan Pulih?”.

1.3 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, maka peneliti dapat
mengemukakan beberapa identifikasi masalah pada penelitian ini, diantaranya adalah :

1. Bagaimana proses pemulihan trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih ?
2. Mengapa korban kekerasan seksual seringkali melakukan kekerasan terhadap diri
sendiri?
3. Mengapa korban kekerasan seksual sangat rentan terhadap trauma pasca kejadian ?
1.4 Tujuan Penelitian
Di dalam setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki tujuan penelitian. Berdasarkan
pertanyaan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, berikut adalah tujuan penelitian dalam
penelitian ini :

1. Untuk mengetahui proses pemulihan trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan
Pulih.
2. Untuk mengetahui apa saja yang memacu adanya keinginan melukai diri sendiri pada diri
korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih.
3. Untuk mengetahui pola komunikasi konseling yang digunakan dalam proses pemulihan
trauma pada korban kekerasan seksual di Yayasan Pulih.

1.5 Kegunaan Penelitian

1.5.1 Teoritis
Secara teoretis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada kajian komunikasi kesehatan.

1.5.2 Praktis
Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan serta
wawasan khususnya bagi mahasiswa serta civitas akademika Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran. Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan juga
gambaran bagi masyarakat bahwa korban kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan trauma
pasca kejadian, salah satu diantaranya adalah tindakan atau perilaku melukai diri sendiri. Korban
kekerasan seksual seringkali merasa dirinya sudah tidak ada nilainya di masyarakat, hal ini
tentunya menjadi sesuatu yang mulai harus diperhitungkan dan perhatikan lagi, terutama tentang
bagaimana cara komunikasi terhadap korban kekerasan seksual agar mereka tidak merasa diri
mereka sudah tidak berguna dan tidak ada nilainya di masyarakat.
1.6 Landasan Pemikiran

1.6.1 Konseptual
Landasan konseptual merupakan suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap
konsep lainnya dari masalah yang ingin di teliti. Landasan ini digunakan untuk membantu
peneliti agar dapat menghubungkan atau mendeskripsikan mengenai suatu topik yang akan
dibahas.

1.6.1.1 Konseling
1.6.1.1.1 Pengertian Konseling

Dalam Enjang (Enjang, 2009), h.33 Konseling diambil dari kata dasar counsel
yang dalam Bahasa inggris dikenal dengan kata counseling. Counseling sendiri direduksi
dari kata “to counsel” yang artinya memberikan nasihat atau anjuran pada orang lain
secara “face to face” (tatap muka). Definisi konseling menurut ASCA (American School
Counselor Association) dalam (Ali, 2015) mengajukan definisi konseling sebagai suatu
hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan
pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan
pengetahuan dan keterampilan untuk membantu kliennya dalam mengatasi masalah-
masalahnya. 8

Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
konseling adalah sebuah kegiatan tatap muka antara konselor dan konseli yang memiliki
tujuan untuk memberikan bantuan agar konseli dapat menerima dan memahami dirinya,
meningkatkan kepercayaan diri, juga membantu untuk mengubah ide dan pemikiran
konseli sehingga masalah konseli dapat terpecahkan dan hidup konseli kedepannya akan
lebih bahagia.

1.6.1.1.2 Aspek-Aspek dalam Konseling

Menurut Saam, konseling memiliki aspek-aspek penting yang meliputi hal-hal


sebagai berikut (Saam, 2013), Konseling sebagai suatu proses; Konseling sebagai

8
Ali, Muhammad. 2015. Makna Komunikasi Konseling Dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial Vol. 13 No.
1. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.
hubungan terapeutik; Konseling merupakan usaha bantuan ; Konseling mengarahkan
tercapainya tujuan klien; dan Konseling mengarahkan kemandirian klien. Berdasarkan
aspek dan tujuan dari konseling tersebut dapat diidentifikasi beberapa fungsi konseling
yaitu (Enjang, 2009: 42):

1. Preventif, membantu konseli menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi


diri konseli.
2. Kuratif atau korektif, membantu konseli memecahkan masalah yang sedang
dihadapi atau dialaminya.
3. Presentatif, membantu konseli untuk menjaga agar situasi dan kondisi yang
semula tidak baik (bermasalah) menjadi baik, agar tetap baik (terpecahkan).
4. Developmental, membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi
dan kondisi yang baik, agar tetap baik atau menjadi lebih baik. Sehingga tidak
menjadi sebab munculnya masalah baginya.

Enjang (2009: 53), Tosari Munamar menjelaskan ada beberapa metode konseling
yang dapat digunakan: Metode Langsung, Konselor melakukan komunikasi langsung
(tatap muka) dengan konseli. Metode Kelompok, konselor melakukan komunikasi
langsung dengan konseli dalam bentuk kelompok. Metode Direktif, konselor berperan
aktif dalam tercapainya kesuksesan konseling, konselor berusaha mengarahkan konseli
sesuai dengan masalahnya. Pada metode ini, konselor akan menyediakan berbagai macam
alternatif penyelesaian yang disertai untung dan ruginya dalam membantu konseli untuk
mencapai taraf pemilihan yang terbaik. Metode Non-direktif, dalam metode ini, konseli
berperan aktif dalam tercapainya kesuksesan konseing. Metode ini merupakan kebalikan
dari metode direktif, metode ini menuntut konseli untuk memiliki kemampuan
merefleksikan dan mengungkapkan perasaan serta pikirannya secara verbal.

1.6.1.1.3 Tahapan Dalam konseling

Konseling juga memiliki beberapa tahapan yang perlu dijalani oleh konselor dan
konseli. Sunil Krishnan mengatakan terdapat lima tahap untuk melakukan konseling,
diantaranya yaitu:

1. Tahap Pertama : Proses awal – Membangun hubungan


2. Tahap Kedua : Eksplorasi mendalam – Penilaian masalah
3. Tahap ketiga : Komitmen untuk bertindak – pengaturan tujuan
4. Tahap keempat : Intervensi konseling
5. Tahap kelima : Evaluasi, penghentian atau rujukan.9

1.6.1.2 Konselor
Konselor merupakan seseorang yang professional dalam bidang konseling yang bertugas
untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah yang ia hadapi. Konselor dituntut untuk
memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni agar dapat membantu konseli menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Sebagai seorang konselor, perlu untuk memiliki keterampilan
komunikasi untuk melakukan konseling yang efektif (Egan, 1998).10 Kemampuan
memperhatikan (attending), Kemampuan mendengarkan (listening), Kemampuan empati,
Kemampuan menyelidik atau bertanya, Kemampuan meringkas. Kemampuan mengintegrasikan
keterampilan komunikasi.

Selain keenam keterampilan tersebut, keterbukaan dari komunikator atau konselor


merupakan salah satu aspek yang penting. Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga
aspek dari komunikasi antarpribadi (Devito, 1997, p. 259). Pertama, komunikator antarpribadi
harus terbuka kepada orang lain yang diajak berinteraksi, bukan dengan cara membuka riwayat
hidupnya namun sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri dan mengungkapkan
informasi yang disembunyikan. Kedua, keterbukaan mengacu pada kesediaan komunikator untuk
bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang, komunikator harus bereaksi secara terbuka
terhadap apa yang diucapkan oleh komunikan, tidak menunjukkan sikap ketidak-acuhan dan
ketidak-sependapatan. Ketiga, menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pemikiran, maksudnya
adalah komunikator dapat terbuka dalam hal tersebut dan mengakui bahwa perasaan dan
pemikiran yang dilontarkan memang dari dirinya sendiri.

9
Sunil Krishnan. Dikutip dari http://www.slideshare.net/SUNILKRISHNANPSYCHO/the-counselling-process-
stages-of-the-counselling-process. Diakses pada 25 Maret 2019
10
Dikutip dari http://www.health24.com/medical/HIV-AIDS/Counselling/Basic-communication-skills-20120721.
Diakses pada 25 Maret 2019
1.6.1.3 Komunikasi Konseling
1.6.1.3.1 Pengertian Komunikasi Konseling

Komunikasi Konseling terdiri dari dua kata, yakni “Komunikasi” dan


“Konseling”, keduanya memiliki arti yang berbeda dan tidak saling terikat apabila
dipisahkan menjadi dua kata. Namun, apabila kedua kata ini di gabungkan akan menjadi
padu dan saling berkaita satu dengan yang lainnya. Menurut Effendy dalam , komunikasi
adalah proses penyampaian pesan dalam bentuk lambang ber-makna sebagai paduan
pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, imbauan, dan
sebagainya, yang dilakukan seseorang kepada orang lain, baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan tujuan untuk mengubah sikap pandangan atau perilaku.

Konseling menurut Lewis dalam (Prayitno, 2013) adalah proses mengenai


individu yang sedang mengalami masalah (klien/konseli) dibantu untuk merasa dan
bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan
seseorang yang tidak bermasalah yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang
merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkannya berperan
secara lebih efektif bagi dirinya dan lingkungannya.

Merujuk pada pengertian komunikasi dan konseling diatas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa komunikasi konseling adalah penyampaian pesan, ide atau informasi
antara konselor dengan konseli selama proses pemberian bantuan berlangsung, yang akan
berdampak pada perubahan tingkah laku dari keduanya. Membangun sebuah hubungan
yang mengandung konsep komunikasi di dalamnya sebagaimana salah satu fungsi
komunikasi yaitu untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan dengan orang lain dan
memperoleh kebahagiaan (Mulyana, 2008). Dan dengan adanya timbal balik dalam
komunikasi konseling akan menaikkan mutu komunikasi itu sendiri, timbal balik yang
diharapkan dapat berupa pesan verbal maupun non-verbal.

1.6.1.3.2 Keberhasilan Komunikasi Konseling

Komunikasi yang efektif terjadi apabila pesan yang diberikan oleh komunikator
dapat diterima, dimengerti, dan dipahami oleh komunikan, dalam kasus ini adalah konseli
dan konselor. Dalam prosesnya, konseli mengungkapkan pesan mengenai masalahnya
kepada konselor dengan harapan adanya respon dari konselor terhadap masalah yang
dialaminya tersebut. Sebaliknya, konselor menyampaikan pesan-pesannya agar konseli
bersifat terbuka kepadanya dan diharapkan dapat terjadi perubahan perilaku konseli yang
lebih baik yang dapat mendukung pemecahan masalah.

Jalaluddin Rahmat (dalam Ali, 2015: 97) mengemukakan kecenderungan


komunikasi dalam suasana konseling (psikologis) lebih menitikberatkan pada komunikasi
antarpribadi atau antar individu, yang mana terdapat stimulus-respon diantara
komunikator dan komunikan. Komunikasi konseling dapat dilaksanakan baik secara
verbal maupun non verbal atau secara dialog dan Bahasa tubuh dalam suatu tujuan
bersama, yakni pemecahan masalah konseli dan dapat membuat keputusan yang tepat.
Dalam komunikasi konseling ditekankan bahwa membangun hubungan yang baik dengan
konseli merupakan kunci utama dalam keefektifan komunikasi.

1.6.1.4 Kekerasan Seksual


1.6.1.4.1 Definisi Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual berasal dari dua suku kata, yaitu kekerasan dan seksual.
Kekerasan berasal dari kata keras yang berarti padat kuat dan tidak mudah berubah
bentuknya atau tidak mudah pecah, sangat kuat, sangat teguh, membahayakan nyawa,
payah (tentang sakit), tidak lemah lembut.11 Kekerasan adalah suatu bentuk yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan maksud untuk menyakiti dan melakukan
tindakan tidak manusiawi baik dalam bentuk fisik maupun psikis.

Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa


sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensinya.12
Definisi diatas dapat menjelaskan bahwa kekerasan bukan hanya sebuah tindakan
memukul, melukai, menganiaya, mendiskriminasi, bahkan sampai membunuh, tetapi
kekerasan merupakan wujud perbuatan fisik yang dilakukan pelaku terhadap korban yang

11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring diakses pada 23 maret 2019 dari
http://kbbi.we.id/keras
12
Khisbiyah Yayah, dkk., Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. (Yogyakarta: pimpinan pusat ikatan remaja
muhammadiyah, 2000) h, 13.
dapat mengakibatkan luka, sakit, cidera, cacat, atau penderitaan bagi korban secara fisik,
psikis, mental, penelantaran maupun materi.

Seksual berasal dari kata seks yang artinya perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki, yang berhubungan dengan alat kelamin. Seksual berarti segala hal yang
berkenaan dengan seks (jenis kelamin), berkenaan dengan perkara persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan.13 Kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada
perilaku seksual diveatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak
korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Abdul, 2011). Adanya kekerasan
seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang
membutuhkan perhatian.

Dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan menghina,


merendahkan, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual, fungsi
reproduksi, dan segala hal yang berkaitan dengan jenis kelamin seseorang secara paksa,
yang menimbulkan dampak negatif bagi korban, secara fisik dan juga psikis. Kekerasan
seksual juga dapat terjadi pada setiap orang, tidak melihat gender. Laki-laki dan
perempuan memiliki kerentanan yang sama dalam dampak negatif yang dihasilkan dari
perilaku kekerasan seksual.

1.6.1.4.2 Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual

Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan selama 15 tahun, dimulai dari


tahun 1998 sampai dengan tahun 2013, ada 15 jenis kekerasan seksual, yaitu:

1. Perkosaan;
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
3. Pelecehan seksual;
4. Eksploitasi seksual;
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
6. Prostitusi paksa;
7. Perbudakan seksual;

13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online/daring di akses pada 23 Maret 2019 dari
http://kbbi.web.id/seksual
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
9. Pemaksaan kehamilan;
10. Pemaksaan aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan;
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas
agama.14
1.6.1.4.3 Penyebab Kekerasan Seksual

Ada beberapa penyebab tejadinya kekeasan seksual yang terjadi pada perempuan
dan laki-laki: Kemiskinan, hal ini menyebabkan seseorang kurang memiliki kesempatan
dalam mengenyam pendidikan seperti biaya yang tinggi dan adanya diskriminasi
dikalangan keluarga untuk memperoleh pendidikan, sehingga membuat seseorang kurang
pengetahuan. Adat budaya yang sering kali memandang perempuan adalah makhluk
yang rendah (isu gender), hal ini menyebabkan korban kekerasan seksual seringkali
adalah perempuan. Disfungsi peran keluarga, misalnya perselingkuhan, kecemburuan,
dan perilaku buruk yang diperlihatkan dalam keluarga. Rendahnya pemahaman hukum
di dalam masyarakat. Adanya anggapan bahwa proses hukum oleh negara sangat
mahal, sehingga kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan.15

1.6.1.4.4 Dampak Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak secara psikis maupun fisik


termasuk kekerasan seksual yang terjadi. Korban kekerasan seksual seringkali mengalami
trauma terhadap kejadian yang telah menimpanya, berikut beberapa Trauma yang dialami
korban kekerasan seksual:

14
Komnas Perempuan, “15 jenis kekerasan seksual”, artikel diakses pada 1 maret 2019 dari
https://www.komnasperempuan.go.id/
15
Nih Luh Ade Yuryawati, Kajian Yuridis Tentang Pemulihan Psikologis Bagi Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan (Studi Kasus Di NTB), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram Vol. 4, no. 1,
(Februari, 2010), h.32.
a. Depresi
Salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum adalah
depresi dan menyalahkan diri sendiri, ada dua jenis penyalahan diri,
berdasarkan tindakan dan karakter. Penyalahan diri berdasarkan tindakan
mereka akan merasa seharusnya dapat melakukan sesuatu yang berbeda yang
dapat menghindari mereka dari kejadian tersebut dan karena itu menjadi
merasa bersalah. Sedangkan penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat
ia merasa ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, yang menyebabkan
mereka merasa layak untuk menjadi korban. Depresi dan menyalahkan diri
sendiri merupakan isu kesehatan mental serius.
b. Sindrom Trauma Perkosaan (Rape Trauma Syndrome)
Bentuk turunan dari PTSD (gangguan stress pasca trauma), sebagai suatu
kondisi yang mempengaruhi korban dari kekerasan seksual. Kekerasan
seksual, termasuk perkosaan. Segera setelah kejadian, korban mengalami
syok. Cenderung merasa kedinginan, pingsan, mengalami disorientasi
(kebingungan mental), gemetar, mual dan muntah.
c. Disosiasi
Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari
realitas. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang
digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar
percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung
spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun.
d. Gangguan Makan
Kekerasan seksual dapat mempengaruhi penyintasnya dalam berbagai
cara, termasuk persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri
dalam kebiasaan makan. Beberapa orang mungkin menggunakan makanan
sebagai pelampiasan mengatasi trauma, untuk merasa kembali memegang
kendali atas tubuhnya, atau mengimbangi perasaan dan emosi yang
membuatnya kewalahan. Ada tiga tipe gangguan makan, yaitu: anorexia
nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating
e. Hypoactive Sexual Desire Disorder
Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis
yang menandakan hasrat seksual rendah. Kondisi ini juga umum disebut
apatisme seksual atau keengganan seksual. HSDD dapat menjadi kondisi
primer atau sekunder, yang bisa memberikan perbedaan besar dalam
perencanaan pengobatan.
Kondisi primer adalah jika seorang individu tidak pernah mengalami atau
memiliki hasrat seksual, dan jarang (jika pernah) terlibat dalam hubungan
seksual — tidak memulai dan tidak merespon terhadap rangsangan seksual
dari pasangannya. HSDD menjadi kondisi sekunder saat orang tersebut
memiliki gairah seksual yang normal dan sehat pada awalnya, namun
kemudian menjadi tidak tertarik sama sekali dan tidak acuh akibat faktor
penyebab lain.
f. Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan
seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan
pada wanita. Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya
termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan
seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan
stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara
dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.
g. Vaginismus
Seks yang menyakitkan sering menjadi pertanda awal seorang wanita
mengidap vaginismus. Rasa sakit yang dialami hanya terjadi saat penetrasi.
Biasanya akan menghilang setelah penarikan, namun tidak selalu. Wanita
yang memiliki kondisi ini menggambarkan rasa sakitnya sebagai sensasi
robekan atau seperti pria menghantam dinding.
h. Diabetes Tipe 2
Orang dewasa yang mengalami segala bentuk pelecehan seksual saat
masih kanak-kanak berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung dan diabetes.16
Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive
Medicine, peneliti menyelidiki hubungan antara pelecehan seksual yang
dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2. Temuan melaporkan 34 persen dari
67,853 partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah
mengalami kekerasan seksual.

Selain dampak Trauma fisik dan mental akibat kekerasan seksual, adapula
dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan dari permasalahan-permasalahan yang
muncul adalah sebagai berikut:

a. Stigma Social Negative yaitu sebagai bekas atau mantan korban kekerasan
misalnya pemerkosaan atau janda.
b. Kerugian secara fisik dan psikologis dialami oleh korban kekerasan dan
KDRT seperti luka fisik dan trauma psikologis yang tidak mudah untuk
disembuhkan.
c. Tekanan terhadap korban oleh keluarga dan masyarakat.
d. Penolakan sosial yang dialami seperti kekerabatan dan kekeluargaan terputus
sehingga menjadi status sosial yang termarginalkan.17

Korban akan mengalami berbagai penyimpangan kepribadian seperti menjadi


pendiam, atau sebaliknya menjadi agresif, konsep dirinya negative, menyalahkan diri
sendiri, mudah curiga, menarik diri dari orang lain, mudah marah, malu, sulit
mengendalikan diri, mimpi buruk, sulit tidur, depresi, gangguan kecemasan, panik,
hilangnya kepercayaan diri sedangkan secara fisik anak akan mengalami luka fisik.

16
Ajeng Quamila, “8 Trauma Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Seksual” artikel diatas di akses pada 5 maret 2019
dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/trauma-akibat-kekerasan-seksual/
17
Nih Luh Ade Yuryawati, Kajian Yuridis Tentang Pemulihan Psikologis Bagi Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan (Studi Kasus di NTB), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram Vol.4, no.1,
(Februari, 2010), h.32.
1.6.1.5 Komunikasi Antarpribadi
1.6.1.5.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi Antarpribadi merupakan kegiatan yang sering kita temui dalam


kehidupan sehari-hari, karena komunikasi berperan penting dalam menghantarkan pesan
dari satu orang ke orang lain. Littlejohn (Stephen W. Littlejohn, 2011) berpendapat
bahwa komunikasi Antarpribadi adalah komunikasi antar individu-individu. Joseph A.
Devito dalam (Effendy, 2003) mengartikan the process of sending and receiving
messages between two person, or among a small group of persons, with some effect and
some immediate feedback. (Komunikasi Interpersonal adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang
dengan beberapa umpan balik seketika).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi


Antarpribadi adalah proses penyampaian pesan antara dua orang atau lebih secara
langsung baik secara verbal maupun non verbal, sehingga menghasilkan umpan balik
atau feedback secara langsung.

1.6.2 Teoritis

1.6.2.1 Teori Self Disclosure


1.6.2.1.1 Pengertian Self Disclosure

Self disclosure merupakan tindakan untuk mengungkapkan tentang bagaimana


kita berinteraksi dengan orang terhadap situasi yang terjadi saat ini, dan memberikan
informasi tentang masa lalu yang relevan, yang dapat menjelaskan reaksi yang kita
perbuat saat ini. Keterbukaan (Self disclosure) adalah pengungkapan reaksi atau
tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang
masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut (Hidayat,
2012).

Devito (2011: 64) menyatakan bahwa keterbukaan diri adalah jenis komunikasi
dimana individu mengungkapkan informasi tentang dirinya yang biasanya
disembunyikan atau tidak diceritakan kepada orang lain. Morton (dalam Sears, Jonathan
dan Anne, 1985: 254) menambahkan bahwa pengungkapan diri atau keterbukaan diri
adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.
keterbukaan diri bersifat deskriptif dan evaluatif.

Dari beberapa pengertian mengenai self disclosure diatas, dapat diambil


kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan self disclosure adalah pengungkapan informasi
yang bersifat personal, yang meliputi perasaan, sikap, ide dan pendapat seorang individu
kepada individu lain yang dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan. Kedalaman self
disclosure seseorang tergantung pada situasi dan orang yang sedang diajak berinteraksi.
Ketika seseorang berinteraksi dengan menyenangkan, menimbulkan rasa aman, dan dapat
membangkitkan semangat maka seseorang akan lebih membuka diri.

Devito (1986). Menyebutkan bahwa terdapat lima (5) dimensi di dalam self
disclosure, yaitu:

1. Amount, yaitu kuantitas dari pengungkapan diri dapat diukur dengan


mengetahui frekuensi dengan siapa individu mengungkapkan diri dan durasi
dari pesan self-disclosing atau waktu yang diperlukan untuk mengutarakan
statemen self disclosure individu tersebut terhadap orang lain.
2. Valence Self Disclosure, valensi merupakan hal yang positif atau negative dari
penyingkapan diri. Inidividu dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai dirinya. Faktor nilai juga
mempengaruhi sifat dasar dan tingkat dari pengungkapan diri.
3. Accuracy / Honesty, yakni ketepatan dan kejujuran individu dalam
mengungkapkan diri. Ketepatan dari pengungkapan diri dibatasi oleh tingkat
dimana individu mengetahui dirinya sendiri. Pengungkapan diri itu sendiri
dapat berbeda dalam hal kejujuran.
4. Intention, yaitu seluas apa individu mengungkapkan informasi tentang dirinya,
dan seberapa besar kesadaran individu untuk mengontrol infomasi-informasi
yang akan dikatakan pada orang lain.
5. Intimacy / Keakraban, yang dimaksud dengan keakraban adalah seorang
individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari kehidupannya,
hal-hal yang dirasa sebagai peripheral atau impersonal.
1.7 Penelitian Sejenis
Kajian terhadap penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya berguna bagi peneliti
untuk membantu peneliti menggali informasi dan kajian pustaka sedalam mungkin yang relevan
dengan konteks penelitian. studi terhadap penelitian sejenis ini menjadi salah satu langkah yang
penting sebelum melakukan penelitian, karena hal ini dapat menjadi acuan untuk membantu
peneliti dalam merumuskan asumsi dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Penelitian sejenis
yang dipilih peneliti memiliki beberapa kesamaan dengan konteks penelitian yang sedang dikaji,
persamaan itu meliputi persamaan topik dan pendekatan penelitian. Berikut penelitian sejenis
yang menjadi acuan bagi peneliti:

1. Kajian Yuridis Tentang Pemulihan Psikologis Bagi Korban Kekerasan


Terhadap Perempuan (Studi Kasus di NTB) oleh Ni Luh Ade Yuryawati dari
Jurnal Online Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Mataram, Februari
2010, Vol.4 No.1. (http://unmasmataram.ac.id/wp/wp-content/uploads/6.-Ni-
Luh-Ade-Yuryawati.pdf)
Penelitian ini mengkaji perubahan sosial yang sangat cepat dalam era globalisasi
yang telah membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya antara lain
munculnya penyandang kesejahtraan sosial baru seperti korban tindak kekerasan
khususnya pada kaum perempuan. Munculnya permasalahan korban tindak kekerasan
pada perempuan disebabkan oleh adanya kemajemukan masyarakat yang seringkali
dihadapkan pada potensi konflik dan prilaku tindak kekerasan yang masih terus
mengancam kehidupan masyarakat.
Adapun temuan dari penelitian ini mengungkap bahwa penyebab munculnya
kasus kekerasan terhadap perempuan adalah sebagai berikut: (1)Kemiskinan yang
menyebabkan kurangnya kesempatan dalam mengenyam pendidikan, (2) isu gender,
adat budaya yang seringkali merendahkan perempuan, (3) disfungsi peran keluarga,
misalnya kejadian-kejadian yang tidak seharusnya di perlihatkan, seperti selingkuh
dan kecemburuan, juga perilaku buruk, (4) rendahnya pemahaman hukum, (5) adanya
anggapan bahwa proses hukum oleh negara sangat mahal sehingga kasus kekerasan
tidak dilaporkan. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan pemulihan secara
psikososial bagi perempuan korban kekerasan, agar tidak menimbulkan gangguang
kejiwaan.
2. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya oleh Ivo
Noviana dari Jurnal Online Pusat penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial, Kementrian Sosial RI, April 2015, Vol.1 No.1.
(https://media.neliti.com/media/publications/52819-ID-kekerasan-seksual-
terhadap-anak-dampak-d.pdf)
Penelitian ini membahas tentang maraknya pemberitaan di media massa mengenai
kekerasan seksual terhadap anak yang menjadi fenomena gunung es. Hal ini
disebabkan kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual enggan
melapor. Karena itu, sebagai orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang
mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak
panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan di kemudian hari, juga
berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan, bahkan hingga dewasa.
Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, antara
lain: pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa
(betrayal); trauma secara seksual (traumatic sexualization); merasa tidak berdaya
(powerlessness); dan stigma (stigmatization). Secara fisik memang mungkin tidak ada
hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual,
tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam.
Bila tidak ditangani serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan
dampak sosial yang luas di masyarakat. Oleh karena itu, didalam memberikan
perlindungan terhadap anak perlu adanya pendekatan sistem, yang meliputi sistem
kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai
dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat
dalam masyarakat.
3. Faktor Resiko Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak Korban Pelecehan
Seksual oleh Hera Wahyuni dari Jurnal Online Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga Surabaya, September 2016, Vol.10 No.1.
(http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/khazanah/article/view/1076/997)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian mendalam tentang
Faktor Resiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada anak-anak korban
Pelecehan Seksual. Adapun metode yang digunakan adalah studi literatur dari
berbagai sumber, seperti : 1) hasil abstrak penulisan ilmiah, 2)ulasan jurnal.
Pemilihan artikel berfokus pada anak-anak pelecehan seksual yang mengalami PTSD,
artikel ulasan dilakukan dalam 11 tahun terakhir mulai 20052015, yang menganalisa
faktor resiko PTSD dalam kasus-kasus trauma yang diakibatkan karena pelecehan
seksual pada anak. PTSD adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan untuk
peristiwa traumatis yang melibatkan kematian atau ancaman kematian atau cedera
fisik serius atau ancaman terhadap keselamatan diri sendiri atau orang lain.
Individu yang mengalami PTSD dapat dilihat dari tiga gejala berikut: 1) kembali
mengalami peristiwa traumatik (reeksperience), 2) penghindaran (avoidant), 3)
ketegangan (hyperarousal). Gejala PTSD antara orang dewasa dan anak-anak
memiliki perbedaan, gejala pada anak-anak biasanya ditandai dengan mengompol,
gangguan berbicara, kelekatan yang berlebihan, dll.
Adapun faktor resiko PTSD pada anak korban pelecehan seksual dikaitkan
dengan 2 (dua) faktor yakni, : 1) Faktor kerentanan pada anak dan 2) Faktor
lingkungan (keluarga dan sosial). Dua faktor tersebut, akan diuraikan menjadi 3
tahapan pemicu terjadinya PTSD yakni : 1) Pra-Trauma, 2) Peri-Trauma, 3) Paska-
Trauma
4. Mental Health and Law Enforcement Professionals: Trauma History,
Psychological Symptoms, and Impact of Providing Services to Child Sexual Abuse
Survivors oleh Victoria M. Follete, Melissa M. Polusny, and Kathleen Milbeck
dari Jurnal Online Professional Psychology: Research and Practice, 1994, Vol.25
No.3.
(https://www.researchgate.net/publication/232601604)
A survey of 558 mental health and law enforcement professionals assessed
current and past trauma experiences, exposure to traumatic client material, and the
sequelae of both of those types of personal and professional trauma experiences.
Results indicated that 29.8% of therapists and 19.6% of officers reported
experiencing some form of childhood trauma. The two groups differed in their reports
of psychological symptoms, trauma specific symptoms, and work-related post-
traumatic stress disorder symptoms.
There was some evidence that professionals with a history of child abuse reported
significantly higher levels of symptoms that have been associated with trauma
survivors in past research. However, more proximal variables seem to have greater
relevance to current functioning. The implications for training and prevention of
secondary traumatization are discussed.
5. Cumulative Trauma: The Impact of Child Sexual Abuse, Adult Sexual Assault, and
Spouse Abuse oleh Victoria M. Follette, Melissa A. Polusny, Anne E. Bechtle, and
Amy E. Naugle dari Jurnal Online Journal of Traumatic Stress, 1996, Vol.9 No.1
(https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/jts.2490090104)
The present study investigated the relationship between trauma symptoms and a
history of child sexual abuse, adult sexual assault, and physical abuse by a partner as
an adult. While there has been some research examining the correlation between
individual victimization experiences and traumatic stress, the cumulative impact of
multiple victimization experiences has not been addressed. Subjects were recruited
fiom psychological clinics and community advocacy agencies. Additionally, a
nonclinical undergraduate student sample was evaluated.
The results of this study indicate not only that victimization and revictimization
experiences are frequent, but also that the level of trauma specific symptoms are
significantly related to the number of different types of reported victimization
experiences. The research and clinical implications of these findings are discussed.

1.8 Pendekatan Penelitian


Ditinjau dari pencarian dan jenis datanya, pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif,
menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2009) metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.
Pendekatan ini di arahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh).
Sedangkan, menurut Creswell dalam bukunya educational research penelitian kualitatif adalah
jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap informasi dari objek/partisipan pada
ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar
terdiri atas kata-kata/teks dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata
dan melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008:46).

Moleong (Moleong, 2009) kemudian menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dapat


dimanfaatkan untuk beberapa keperluan, salah satunya yaitu untuk memahami isu-isu rinci
tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk
dan Miller (Moleong, 2009) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang
dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran
tingkatan suatu ciri tertentu.

Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang
menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga,
dan seterusnya. Di pihak lain kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan
kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian
kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Pada penelitian ini, peneliti berusaha mengamati dan mendeskripsikan bagaimana


komunikasi konseling memiliki peran terhadap pemulihan trauma pada korban kekerasan seksual
di yayasan pulih secara holistik (utuh) dan kompleks. Selain itu digunakan metode penelitian ini
karna tidak menggunakan angka-angka statistik.

1.9 Metode Penelitian


Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus. Studi kasus adalah metode penelitian kualitatif yang mengembangkan deskripsi dari kasus
tunggal atau kasus jamak (multiple cases). Penelitian ini pada umumnya mempelajari event,
program, atau aktivitas yang menggunakan banyak sumber antara lain wawancara, observasi,
dokumentasi, dan artefak. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan mendeskripsikan kasus
dan tema penelitian (Creswell, 2007: 73).
Susilo Rahardjo & Gudnanto pada tahun 2010 juga menjelaskan bahwa studi kasus
merupakan suatu metode untuk memahami individu yang dilakukan secara integrative dan
komprehensif agar diperoleh pemahaman yang mendalam tentang individu tersebut beserta
masalah yang dihadapinya dengan tujuan masalahnya dapat terselesaikan dan memperoleh
perkembangan diri yang baik.

Studi kasus pada penelitian ini adalah studi kasus tunggal dimana peneliti meneliti suatu
kasus yang unik dari suatu program, yaitu komunikasi konseling yang dilakukan oleh konselor
pada konseli korban kekerasan seksual pada sebuah sub program, yaitu konseling, yang berada
pada program utama Yayasan Pulih. Dalam penelitian ini, peneliti memerlukan data dari
berbagai sumber (multisource) untuk kemudian dianalisis menjadi hasil penelitian.

Yin (2015: 23) membagi studi kasus ke dalam tiga tipe, yaitu eksploratif, eksplanatif, dan
deskriptif. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus eksploratif. Hal
ini dikarenakan peneliti menggunakan pendekatan penelitian yang digunakan untuk meneliti
sesuatu (yang menarik perhatian) yang belum diketahui, belum dipahami, atau belum dikenali
dengan baik sebelumnya.

1.10 Subjek penelitian


Menurut Bungin (Bungin, Penelitian Kualitatif, 2009) subjek penelitian merupakan
infoeman dalam penelitian yang memiliki pemahaman informasi terhadap objek penelitian yang
diteliti. Subjek penelitian dapat sebagai pelaku atau orang lain yang memahami onjek penelitian.
Adapun subjek pada penelitian ini adalah korban kekerasan seksual yang mengikuti dan
melakukan sesi konseling di Yayasan Pulih.

Sampel atau informan diambil secara purposive dimana artinya ditentukan sendiri atas
dasar kebutuhan dan kredibilitas key informant tersebut. Sampling purposive merupakan sebuah
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampel ini cocok digunakan untuk
penelitian kualitatif, atau penentuan penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi.
(Sugiyono, 2012, p. 68) Mengacu pada pengertian sampling purposive, terdapat syarat bagi key
informant yang diambil pada penelitian ini, diantaranya:

a. Korban Kekerasan Seksual yang mengikuti sesi konseling.


b. Konselor dari korban kekerasan seksual yang mengikuti sesi konseling.
c. Penanggung jawab di Yayasan Pulih.
d. Bersedia untuk dijadikan informan.

1.11 Teknik Pengumpulan Data


Adapun tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
wawancaradan observasi langsung. Wawancara merupakan percakapan yang memiliki maksud
tertentu, percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dan
terwawancara (interviewee). Wawancara dapat dilakukan secara face to face interview
(wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai mereka dengan telepon, atau
terlibat dalam focus group interview (interview dalam kelompok) yang terdiri dari enam sampai
delapan partisipan perkelompok. Wawancara menggunakan dua jenis pertanyaan, yaitu yang
secara umum tidak terstuktur dan terstruktur. Pertanyaannya pun bersifat terbuka, yang
dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari partisipan (Creswell, 2014: 256).

Observasi Langsung Merupakan observasi yang didalamnya peneliti langsung turun ke


lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian. Dalam
pengamatan ini, peneliti akan merekam/mencatat baik-baik dengan cara terstruktur maupun semi
terstruktur (Creswell, 2014: 255). Peneliti akan melakukan observasi formal dengan cara melihat
secara langsung beberapa sesi konseling yang diadakan oleh Yayasan Pulih. Namun, kesempatan
ini akan terbatas dikarenakan konseling bersifat rahasia. Meski demikian, hal tersebut akan
memberikan gambaran mengenai interaksi yang ada di dalamnya, termasuk komunikasi
konseling yang dilakukan.

Selain melakukan observasi formal, peneliti juga akan melakukan observasi informal,
yaitu dengan cara peneliti akan menanyai secara individu kepada korban kekerasan seksual
tentang dampak komunikasi konseling yang telah dilakukannya di Yayasan Pulih terhadap
kemajuan pemulihan trauma akibat tragedy yang menimpanya. Selain untuk mendapatkan
informasi secara lebih rinci, hal ini juga dilakukan peneliti untuk mengakrabkan diri kepada
korban kekerasan seksual yang mengalami trauma dan juga untuk memberikan dukungan kepada
korban. Sehingga korban kekerasan seksual tidak merasa canggung dan lebih terbuka ketika
berinteraksi dengan peneliti.
Daftar Pustaka

Abdul, W. (2011). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual advokasi atas hak asasi
perempuan. Bandung: PT Refika Aditama Bandung.

Ali, M. (2015). Makna Komunikasi Konseling Dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol. 13
No.1.

Anindyaputri, I. (2017, september 6). Kenapa Korban Pemerkosaan Tak Bisa Berkutik Melawan? Ini
Alasan yang Semua Wajib Tahu. Retrieved Maret 21, 2019, from https://hellosehat.com:
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/korban-pemerkosaan-tidak-melawan/

Aw, S. (2011). Komunikasi intrapersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Devito, J. A. (1997). komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.

Effendy, O. U. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.

Enjang. (2009). Komunikasi Konseling. Bandung: Nuansa.

Hidayat, D. (2012). Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Moleong, L. J. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Prayitno. (2013). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Rothschild, B. (2000). The body remembers: The psychophysiology of trauma and trauma treatment. New
York: W.W Norton & Company.

Saam, Z. (2013). Psikologi Konseling. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Stephen W. Littlejohn, K. A. (2011). Theories of Human Communication. USA: Waveland Press, Inc.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan : Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: CV Alfabeta.

Uchjana, O. (2001). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wiryanto. (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai