PENDAHULUAN
1
orang dari total jumlah 4182 pasien antara tahun 2001 hingga 2007. DNR
menjadi keputusan yang tidak mudah diambil oleh dokter dan membutuhkan
pertimbangan dan rekomendasi dari perawat (Brizzi, 2012). Kondisi dilemma
dirasakan oleh perawat yang timbul akibat dari kurangnya pengalaman,
pengetahuan, dan informasi terkait DNR. Keterbatasan dan tidak adekuatnya
informasi DNR mempengaruhi keefektifan pemberian perawatan yang
bermartabat (Amestiasih, 2015). Masalah yang juga dihadapi perawat yaitu
kurang optimal dalam pengambilan keputusan terkait tingginya tingkat stres
dan kecemasan maupun faktor lingkungan IGD (Chan, 2011). Lingkungan
ramai, tingginya tuntutan dan waktu tunggu yang lama di IGD menjadi
hambatan bagi perawat dalam menyediakan perawatan menjelang ajal secara
optimal. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Bailey, Murphy, dan Porock
(2011) bahwa perawatan pasien yang menjelang ajal di IGD terlihat tidak
maksimal. Pada umumnya pasien-pasien DNR pada awal telah dilakukan
tindakan resusitasi, namun pada perjalanan penyakit menunjukkan indikasi-
indikasi tidak adanya perbaikan pada kondisi tanda-tanda vital baik dari
tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, saturasi oksigen maupun status
kesadaran, maka dengan kondisi tersebut dapat diputuskan untuk melakukan
DNR.
Menurut Alligood dan Tomey (2014) mengungkapkan bahwa perawatan
menjelang ajal mempersiapkan pasien menghadapi kematian dengan baik,
bertujuan pasien merasakan bebas dari nyeri, merasa kenyamanan, merasa
dihargai, dihormati, dan berada dalam berada dalam kedamaian dan
ketenangan juga merasa dekat dirawatnya. Berkolaborasi merupakan tindakan
dan interaksi yang dibutuhkan oleh tim secara komprehensif terkait dalam
mengambil dan menentukan keputusan DNR pada pasien tersebut. Keputusan
dilakukan secara bersama dalam memberikan label DNR yang nantinya akan
digelangkan pada pasien. Kerjasama dan kolaborasi mengarahkan untuk
memastikan agar seluruh staf dapat bertanggungjawab dalam perawatan
pasien. Semakin baik koordinasi dan komunikasi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses implementasi, maka terjadi kesalahan-kesalahan akan
sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaiknya.
2
Pengambilan keputusan DNR (Do Not Resuscitate) membutuhkan
pertimbangan dan pemahaman pada kriteria DNR. Selain itu, perawat harus
terlibat dalam kolaborasi dengan tim yang merawat pasien, sehingga
keputusan DNR tepat. Perawatan DNR di IGD memberikan resusitasi sebagai
tindakan awal dan mempersiapkan kematian pasien dengan baik dengan
melibatkan keluarga pasien (YA, YU, TN).
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pembuatan makalah ini adalah untuk memahami tentang
DNR dan menerapkan perawatan pasien DNR serta menghormati
keputusan pasien maupun keluarga tentang DNR.
1.3.2 Tujuan Khusus
Setelah membuat makalah ini, diharapkan mampu :
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari DNR.
2. Untuk mengetahui dan memahami aspek hukum DNR, baik
internasional maupun nasional (Indonesia).
3. Untuk mengetahui dan memahami aspek etik DNR.
4. Untuk mengetahui dan memahami cara melakukan DNR pada
pasien.
5. Untuk mengetahui dan memahami proses keperawatan DNR.
BAB II
PEMBAHASAN
3
dilakukan untuk mengembalikan ventilasi adekuat pada seseorang yang
mengalmi kegawatan pernafasan dan kedaruratan jantung untuk beberapa
saat. CPR merupakan teknik ventilasi artefisial (buatan) yang
dikombinasikan dengan kompresi jantung luar. Sedangkan menurut
Rilntono,dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah "menghidupkan
kembali", yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
mencegah suatu episode henti jantung belanjut menjadi kematian biologis.
Menurut morton & fontain (2009), angka keberhasilan RJP pada pasien
rawat inap sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh lingkungan pasien dan
faktor resusitatif. Akan tetapi, RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan
disemua pasien, karena sifatnya yang invasif dan dap bermakna sebagai
suatu pelanggaran hak individu untuk meninggal secara bermartabat. Oleh
karena itu, RJP bisa tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang mengalami
kasus ireversibel, penyakit yang terminal, dan saat pasien tidak mendapat
manfaat apapun dari tindakan ini.
Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas
mengenai DNR tersebut, harus diatur dalamsuatu kebijakan tertulis yang
mencakup hal-hal dibawah ini:
1) Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang
bertanggung jawab
2) Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter yang
lain
3) Kebijakan DNR harus ditinjau ulang secara berkala
4) Pasien yang masih memiliki kemampuan harus memberikan informed
concent
5) Pada pasien yang tidak memiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh
keluarganya.
4
kelinis sebagian besar orang yang membutuhkan resusitasi akan
membutuhkan intubasi membuat DNI saja bermasalah.
Baru-baru ini di inggris lazim menulis “tidak untuk 222’’ atau dalam
percakapan, “tidak untuk berduaan”. Ini merupakan perintah DNR
rumah sakit. Dimana 222 adalah nomor rumah sakit untuk tim resusitasi
darurat atau kecelakaan. Di Inggris, mengemukakan bahwa orang yang
diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan
tidak mendapatkan perawatan yang layak. Sedangkan di Cina dan
Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa
tindakan pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus
dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama.
2.2.2 Indonesia
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Tentang Praktik
Keperawatan Bab V Bagian 2 Pasal 30 Ayat 1 G yang berbunyi
“Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi.”
Menurut Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang IX Pasal 14 :
1. Bahwa penghentian atau penundaan bantuan hidup (withdrawing
atau with holding life support) pada seorang pasien harus
mendapatkan persetujuan dari keluarga terdekat pasien.
2. Persetujuan penghentian atau penundaaan bantuan hidup oleh
keluarga terdekat pasien. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah keluarga mendapatkan penjelasan dari tim dokter
yang bersangkutan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
tertulis.
Berdasarkan beberapa ayat yang tercantum dalam ayat 14 tersebut,
bahewa sebenarnya tindakan DNR dilindungi secara hukum dan
dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan kondisi pasien.
Selain itu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIX
Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa menyebutkan bahwa dokter adalah
pelaku utama DNR/Euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan hanya seseorang. Secara rinci pasal-pasal dalam KUHP
Pidana yang menjelaskan tentang DNR adalah:
5
1. KUHP Pasal 338
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya 15
tahun”.
2. KUHP Pasal 340
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
20 tahun”.
3. KUHP Pasal 359
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun atau kurangun selama-
lamanya 1 tahun”.
6
4. KUHP Pasal 344
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Namun. Ada
pengecualian pada KUHP Pasal 344 yaitu : (1) Bagi pasien yang
sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut
ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya, (2)
Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak
berpotensi lagi, (3) pasien dalam keadaan in a persistent vegetatife
slate, (4) harus ada persetujuan dari pasien dan keluarga (5)
mendapat persetujuan dari pengadilan.
2.3 Aspek ETIK
Ketika awal dan akhir upaya resusitasi, perbedaan norma-norma etika dan
budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip luas kebaikan,
nonmal efisin, otonomi, dan keadilan tampaknya diterima lintas budaya,
prioritas utama dari prinsip-prinsip ini dapat bervariasi antar budaya yang
berbeda. Di Amerika Serikat penekanan terbesar ditempatkan pada otonomi
individu pasien. Di Eropa penekanan lebih besar pada otonomi penyedia
layanan kesehatan dan tugas mereka untuk membuat keputusan tentang
pasien mereka muncul. Dalam beberapa masyarakat manfaat untuk
masyarakat luas dari pada otonomi individu. Dokter harus memainkan peran
dalam pengambilan keputusan mengenai resusitasi. Terbukti secara ilmiah
data dan nilai-nilai sosial harus menunjukkan upaya resusitasi, sementara
pada saat yang sama kami berusaha untuk mempertahankan otonomi budaya.
Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu
dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:
1. Beneficence
Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan
suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu
mencegah atau menghilangkan 3 bahaya atau hanya sekedar mengobati
masalah-masalah sederhana yang dialami pasien. ( Pantilat, 2008 ) Lebih
khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat
baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar
7
pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence
sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil
langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya daripada
buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.
2. Non-maleficence
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien.
Dokter haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. “Do no
harm” merupakan point penting dalam prinsip nonmaleficence. Prinsip ini
dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat.
(Hanafiah, 2009 )
3. Autonomy
Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak
manusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi
hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan
keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus dihormati secara etik, dan di
sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan
pasien yang sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan
medis. ( Sachrowardi, 2011 ) Melalui informed consent, pasien menyetujui
suatu tindakan medis secara tertulis. Informed consent menyaratkan bahwa
pasien harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi yang
akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan,
resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut (Sachrowardi, 2011).
4. Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam
bioetik. Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib
memberikan perlakukan yang adil untuk semua pasiennya. Dalam hal ini,
dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan tingkat
ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb. Diperlukan nilai moral
keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada
kesamaan dalam perlakuan kepada pasien ( Sachrowardi, 2011 ). Contoh
8
dari justice 4 misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan
sumber penghasilan seseorang untuk merawat orang tersebut.
9
1. Menetapkan pengaturan yang sesuai untuk diskusi.
Sebelum melakukan diskusi harus mengatur tempat untuk menjamin
kenyamanan dan privasi bagi setiap orang. Meminta anggota keluarga atau
orang lain untuk mendampingi pasien.
2. Tanyakan pada pasien dan keluarga apa yang mereka mengerti.
Menanyakan pertanyaan terbuka untuk mengetahui apakah pasien
mengerti tentang situasi kesehatannya saat ini. Hal ini penting untuk
menggali pengetahuan pasien tentang kesehatan dan penyakit yang
diderita saat ini. Jika pasien tidak memiliki pemahaman yang sama dengan
tim kesehatan mengenai kondisi kesehatannya secara keseluruhan maka ini
waktu yang tepat untuk membahas kondisi kesehatannya secara holistik.
3. Cari tahu apa yang pasien harapkan mengenai kondisinya.
Pasien yang memahami status penyakit mereka dapat digunakan untuk
mempertimbangkan masa depan pasien. Langkah ini memungkinkan tim
kesehatan untuk mendengarkan harapan dan masa depan dari pasien.
Jangan ragu untuk meminta klarifikasi atas apa yang sudah disampaikan
pasien dan menyamakan persepsi antara tim kesehatan dengan pasien
tentang tujuan perawatan pasien. Langkah ini juga akan memberikan rasa
percaya pasien pada tim kesehatan dan pasien merasa diprioritaskan.
4. Diskusikan perintah DNR, termasuk konteks.
Setelah persamaan persepsi antara pasien dengan tim kesehatan, ini waktu
yang tepat untuk mendiskusikan tentang keputusan melakukan DNR.
Dalam memberikan informasi maupun diskusi sebaiknya menggunakan
bahasa yang mudah dipahami pasien. Dalam proses diskusi perawat
memberikan waktu untuk meminta pertanyaan dan mengklarifikasi
kesalahpahaman serta mengadvokasi bahwa perintah untuk melakukan
DNR merupakan keputusan yang sesuai.
5. Menanggapi emosi.
Pasien dan keluarga mungkin mengalami emosi yang berlebihan seperti
menangis dan marah dalam menanggapi diskusi tentang keputusan DNR
antara dilakukannya CPR atau tidak ketika pasien dalam kondisi kritis. Hal
ini wajar ketika mempertimbangkan akhir hidup pasien, seperti halnya
orang tua jika anaknya kritis cenderung sangat emosional dan perlu
dukungan dari tim kesehatan. Biasanya, respon emosional ini dalam waktu
singkat. Sebagai tim kesehatan harus tetap empati terhadap pasien dan
10
keluarga. Tetapi juga ada pasien dan keluarga yang memiliki keterampilan
koping baik dan menghargai keputusan yang disarankan oleh tim
kesehatan untuk melakukan DNR.
6. Menetapkan dan melaksanakan rencana tersebut.
Membangun dan menerapkan rencana yang baik harus diartikulasikan dan
dipahami tergantung pada penilaian dan kebijakan institusional di Rumah
Sakit tempat bekerja. Jika keputusan antara institusional, tim kesehatan
dan pihak keluarga telah setuju untuk dilakukannya DNR maka harus
membuat persetujuan tertulis agar memperjelas perintah dan rencana serta
untuk melindungi semua pihak dari tuntutan hukum.
11
yaitu seperti kanker, yang memiliki riwayat dirawat dengan penyakit yang
sama dalam kondisi penyakit yang serius atau penyakit regeneratif.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dijelaskan perawat memahami
kegagalan resusitasi merupakan pasien DNR di IGD dengan kondisi pasien
kritis dan penyakit terminal yang mana pada pasien tersebut sudah tidak
menunjukkan adanya perbaikan setelah dilakukan resusitasi.
2. Melakukan Resusitasi sebagai Protap Penanganan Awal
Pada saat pasien datang ke IGD maka perawat akan melakukan
triage pada pasien tersebut. Pasien-pasien dengan penyakit kronik dan
penyakit terminal yang memiliki penurunan kesehatan sangat signifikan
sehingga perawat melakukan pengkajian dan pemeriksaan pada tahap awal.
Penurunan kesehatan ditandai dengan adanya manifestasi kegagalan
multiorgan ditandai dengan penurunan dari airway, breathing, circulation
dan status kesadaran. Pasien yang telah dilakukan penilaian triage maka
segera dilakukan tindakan resusitasi berdasarkan prioritas sesuai dengan
protap yang diberlaku di IGD. Pemeriksaan penunjang menjadi suatu
bagian yang dilakukan yang terpenting dilakukan. Hasil dan pemeriksaan
penunjang dapat menjelaskan penyebab dari kondisi pasien, dan menjadi
pertimbangan dalam menentukan intervensi selanjutnya pada pasien dan
tidak langsung ditentukan sebagai pasien DNR.
3. Berkolaborasi Mengambil Keputusan DNR
Berkolaborasi merupakan tindakan dan interaksi yang dibutuhkan
oleh tim secara komprehensif terkait dalam mengambil dan menentukan
keputusan DNR pada pasien tersebut. Keputusan dilakukan secara bersama
dalam memberikan label DNR yang nantinya akan digelangkan pada
pasien. DNR diputuskan ketika pasien menunjukan tidak adanya perbaikan
setelah dilakukan resusitasi yang ditunjukan dari status hemostatis dan
hemodinamik pasien yang dapat diukur dari tanda-tanda vital, nadi, tekanan
darah, suhu, maupun saturasi pasien atau dari pantuan lain. Riwayat
penyakit kronis, penyakit terminal juga menjadi bagian dari pertimbangan
dalam pengambilan keputusan. Keluarga berperan secara aktif dalam
pengambilan keputusan DNR. Penjelasan pada keluarga mencakup
bagaimana prognosis, kondisi, maupun harapan hidup dari pasien. Keluarga
12
yang menyetujui DNR dalam sebuah inform consent maka pasien tidak lagi
dilakukan resusitasi secara aktif, tindakan RJP maupun tindakan Invasif
dan memberikan kematian yang baik bagi pasien.
4. Menyiapkan Kematian Pasien dengan Baik
Peran keluarga menjadi pusat dalam perawatan pasien dengan
DNR. Keluarga diberikan kesempatan untuk berada disamping pasien
untuk memberikan dukungan secaraemosi, psikologis maupun spiritual dari
pasien. Dengan demikian, hal ini dapat memberikan ketenangan pada
pasien DNR yang menjelang ajal. Sebagian besar keluarga menyampaikan
pada perawat bahwa keputusan DNR yang diambil berdasarkan alasan
perasaan kasihan dan iba pada pasien. Selain itu, keluarga menginginkan
pasien mendapatkan kematian yang baik tanpa dilakukan tindakan yang
hanya memperpanjang kondisi kritis pasien.
1. Sebagai Edukator
Memberikan pengetahuan pada pasien maupun keluarga pasien
tentang apa itu DNR dan dampak dari mengambil keputusan DNR
agar di kemudian hari tidak ada kesalahpahaman dalam pemberian
asuhan keperawatan.
2. Sebagai Advokator
Peran perawat sebagai advokator untuk melindungi hak pasien
untuk memperoleh keadilan. Menurut Maria Agustina Ermi Tri
Sulistiyowati dalam penelitiannya tentang "pelaksanaan advokasi
perawat (proses keperawatan DNR) dalam informend consent"
didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Advokasi sebagai pemberi informasi.
Sebelum pasien/keluarga mendapatkan penjelasan dari dokter,
perawat terlebih dahulu memberikan informasi tentang rencana
tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. Selain
memberikan informasi tentang tindakan perawat juga
menjelaskan tentang hak pasien untuk bertanya pada saat
mendapatkan penjelasan dari dokter.
b. Advokasi sebagai pelindung.
13
Advokasi sebagai pelindung dilakukan dengan memastikan
pasien/keluarga penerima informasi adalah yang
kompoten/mampun menerima informasi dan mengambil
keputusan. Dan penerima informasi yang ditentukan
berdasarkan hubungan keluarga (suami, isteri, anak dan
saudara dekat, penanggung jawab kepada pasien), berusia
dewasa, sehat mental dan sadar penuh. Selain memastikan
kompotensi keluarga, perawat juga melakukan klarifikasi
pemahaman pasien dengan cara menanyakan kembali apa
yang sudah jelas dengan infoelrmasi yang diberikan.
c. Advokasi sebagai mediator.
Perawat mengetahui pasien/keluarga belum jelas dengan
informasi yang disampaikan kepada dokter akan
menyampaikan kepada dokter tersebut bahwa pasien belum
jepas dengan informasi yang telah disampaikan dan ingin
dijelaskan atau konsultasi kembali. Perawat juga
menandatangani lembar informed consent sebagai saksi.
d. Advokasi sebagai pelaku.
Pelaksanaan perawat sebagai pelaku dilaksanakan dengan cara
meminta penjelasn pada pasien/keluarga yang belum
mendapatkan informasi atau belum jelas dengan informasi
yang telah diberikan. Pelaksanaan advokasi paerawat sebagai
pelaku tidak selalu berhasil disebabkan oleh kesibukan dokter
sehingga dokter mendelegasikan pemberi informasi kepada
perawat.
e. Advokasi sebagai pendukung.
Pelaksanaan advokasi perawat sebagai pendukung
dilaksanakan dengan cara memberikan kesempatan untuk
mengambil keputusan ,menanyakan keputusan, menyakan
keputusan, menanyakan alasan penolakan dan menghargai
keputusan pasien.
3. Sebagai Kolaborator
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan berkerja sama
dengan tim medis lainnya (dokter, ahli gizi, farmasi, dll). Perawat
berhak meminta pendapat dan memberikan pendapat kepada tim
14
medis lainnya dalam pengambilan keputasan dilakukannya DNR
pada pasien. Selain itu perawat juga memberikan perawatan
kepada pasien diluar tindakan RJP seperti pemberian terapi
farmasi.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelayanan pasien gawat darurat adalah suatu tindakan yang
memerlukan penanganan segera cepat, tepat, dan cermat sehingga dapat
mencegah angka kematian dan kecacatan serta mempertahankan kehidupan
pasien untuk sementara waktu. Pelayanan ini sifatnya penting, sehingga
diwajibkan untuk melayani pasien 24 jam sehari secara terus menerus.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit rumah sakit yang memberikan
pelayanan pertama kepada pasien. Kondisi pasien yang datang ke IGD
bervariasi, baik yang mengancam jiwa maupun yang menjelang ajal. Pasien
dengan DNR dapat dikatakan sebagai pasien End of Life atau pasien
menjelang ajal. Tentunya perawat yang bertugas di IGD dapat memberikan
asuhan keperawatan yang optimal bagi pasien DNR. Do Not Resuscitate
(DNR) merupakan suatu keputusan yang ditujukan pada pasien dimana pasien
akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat bantu hidup, penghindaran
Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), serta hanya mendapatkan
kenyamanan. DNR pada pasien dilakukan berdasarkan atas pertimbangkan
segala aspek, terutama untung ruginya sebuah upaya penyelamatan. DNR
hanya dilakukan untuk melindungi otonomi pasien dan mencegah bahaya
lebih lanjut pada pasien. Ada 4 tema dalam perawatan DNR, seperti berikut :
Memahami Kegagalan Resusitasi, Melakukan Resusitasi sebagai Protap
Penanganan Awal, Berkolaborasi Mengambil Keputusan DNR, Menyiapkan
Kematian Pasien dengan Baik.
3.2 Saran
Perawat dalam penanganan DNR adalah usaha penyelamatan yang
dilakukan untuk mengembalikan ventilasi adekuat pada seseorang yang
mengalmi kegawatan pernafasan dan kedaruratan jantung untuk beberapa saat
dengan memberikan usaha penyelamatan yang tepat. Asuhan keperawatan
yang tepat untuk klien DNR harus dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
komplikasi serius yang dapat terjadi seiring dengan kejadian yang tidak
16
diinginkan. Diharapkan masyarakat mampu mengetahui bagaimana cara
mngatasi kegawatan pernafasan. Serta pasien yang menderita DNR dijauhkan
dari berbagai penyakit atau firus yang akan menyebabkan pasien lebih parah.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Naseer., dkk. 2015. How, When And Where To Discuss Do Not
Resuscitate: A Prospective Study To Compare The Perception And
Preferences Of Patients, Caregivers, And Help Care Providers In A
Multidisciplinary Lung Cancer Clinic. 7(3): e257. DOI:
10.7759/cureus.257
Alligood, M. R. (2014). Nursing theorists and their work. Atlanta, USA: Elsevier
Health Sciences
Amestiasih, T., Ratnawati, R., & Rini, L.S. (2015). Study fenomenologi:
Pengalaman perawat dalam merawat pasien dengan Do Not Resuscitate
(DNR) di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Medika
Respati, X, 1-11.
Brizzi, M., Abdul-Kasim, K., Jalakas, M., Selariu, E., Pessah-Rasmussen, H., &
Zia, E. (2012). Early do-not-resuscitate orders in intracerebral
haemorrhage; frequency and predictive value for death and functional
outcome. A retrospective cohort study, Scandinavian journal pf trauma,
resuscitation and emergency medicine, 20 (1), 1-6.
Destifiana, Nina. 2015. Hubungan Kejenuhan Kerja Dan Beban Kerja Dengan
Kinerja Perawat Dalam Pemberian Pelayanan Keperawatan Di IGD dan
ICU RSUD dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga. Published thesis.
Universitas Muhammadiyah Purwokerto: fakultas ilmu kesehatan.
18
Gunten, Charles F. von. 2003. Discussing Do-Not-Resuscitate Status. 21(9), 20s-
25s. DOI: 10.1200/JCO.2003.01.159
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 512/ MENKES/ PER/ IV/
2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Saczynski, J.S., Gabbay, E., McManus, D.D., McManus, R., Gore, J.M., Gurwitz,
J.H., … Goldberg, R.J. (2012). Increase in the propostion of patiens
hospitalized with acute myocardial infraction with do-not-resuscitate
orders already in place between 2001 and 2007: A nonconcurrent
prospective study, Clinical Epidemiologi, 4 (1), 267-274.
https://doi.org/10.2147/CLEP.S32034 .
19