Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak zaman dahulu, tanaman sering digunakan sebagai obat. Pada waktu itu orang belum
mengelolanya secara sempurna seperti pada zaman sekarang ini. Pada saat itu orang hanya tahu suatu
khasiat tanaman berdasarkan dari cerita orang yang lebih tua seperti dari ibu ke anaknya. Suatu
tanaman obat sering mempunyai khasiat yang berbeda dari tiap daerah.

Pada zaman sekarang ini orang kembali lagi menggeluti bahan alam sebagai bahan penting
dalam membuat obat. Para ahli sekarang ini telah memulai meneliti kembali tanaman obat untuk
mengetahui khasiat yang lebih mendalam dari tanaman tersebut.

Di daerah-daerah pedalaman, banyak masyarakat yang masih menggunakan tumbuh-


tumbuhan yang mereka anggap mempunyai khasiat untuk pengobatan untuk beberapa penyakit
tertentu, tanpa pengetahuan dasar. Ada beberapa kasus, dimana masyarakat menggunakan suatu obat,
yang ternyata setelah diketahui zat aktifnya melalui ekstraksi dan identifikasi komponen kimia,
ternyata memberikan efek yang berlawanan, hal ini tentunya membahayakan bagi jiwa manusia.

Dari alasan tersebut di atas, maka dianggap perlu pengetahuan yang cukup untuk mengenal
berbagai macam tumbuhan yang berkhasiat obat, mulai dari morfologi, kegunaan, prinsip-prinsip
ekstraksi, isolasi dan identifikasi komponen kimia yang terdapat dalam suatu simplisia, khususnya
bagi seorang farmasis. Dan pada laporan ini, akan diidentifikasi komponen kimia sampel daun
tumbuhan X, dengan terlebih dahulu di ekstraksi.

Buah cabai jamu memiliki khasiat sebagai obat sakit perut, masuk angin, beri-beri, rematik,
tekanan darah rendah, kolera, influenza, sakit kepala, lemah syahwat, bronkitis, dan sesak napas.
Karena itu, cabai jamu banyak dibutuhkan sebagai bahan pembuatan jamu tradisional dan obat
pil/kapsul modern serta bahan campuran minuman. Rasa pedasnya berasal dari senyawa piperin,
dengan kandungan sekitar 4,6 persen.[butuh rujukan] Salah satu jamu populer yang mengandung
cabai jamu adalah Jamu Cabe Puyang, yang dibuat dengan bahan utama cabai jamu dan lempuyang.

Cabai jawa berkhasiat juga sebagai insektisida (racun serangga) nabati. Formulasi insektisida
nabati campuran ekstrak cabai jawa atau P. retrofractum dan Srikaya (Annona squamosa) efektif
dalam upaya menekan persentase kehilangan hasil tomat dan juga serangan Helicoverpa armigera.
Fraksi heksana cair, fraksi III VLC-EtOAc, dan ekstrak metanol langsung cabai jawa aktif sebagai
racun perut terhadap larva Crocidolomia pavonana. Ekstrak Aglaia odorata dan P. retrofractum pada
konsentrasi 0,5% dan 1% dapat mematikan rayap tanah hingga lebih dari 80% dan menunjukkan
kamampuan penetrasi lapisan tanah oleh rayap sebesar 0%. Cabai jawa memiliki keaktifan juga dalam
perlakuan benih. Perlakuan serbuk cabai jawa dan penjemuran terbukti efektif dalam menghambat
perkembangan Callosobruchus maculatus serta tidak menurunkan daya kecambah benih kacang hijau.
Perlakuan serbuk cabe jawa dan merica serta penjemuran selama satu minggu, yaitu dapat
menghambat perkembangan hingga lebih dari 90%. Selain bersifat insektisida, cabai jawa juga
memiliki sifat fungisida. Piper retrofractum secara in vitro dan in vivo dapat menekan perkembangan
cendawan terbawa benih padi dan kedelai.
Untuk mengetahui kandungan kimia yang terkandung pada Cabai jawa (Piper retrofractum
Vahl) maka perlu dilakukan penentuan kandungan kimia (Vallisuta, 2012). Skrining fitokimia
dilakukan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman
yang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan pengujian warna dengan menggunakan
suatu pereaksi warna (Widayanti dkk., 2009). Hal yang berperan penting dalam skrining fitokimia
adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008). Pemilihan pelarut ekstraksi
umumnya menggunakan prinsip like dissolves like, dimana senyawa yang nonpolar akan larut dalam
pelarut nonpolar sedangkan senyawa yang polar akan larut pada pelarut polar. Ini mempengaruhi hasil
kandungan kimia yang dapat terekstraksi (Seidel, 2008).

1.2. Tujuan Praktikum

• Mahasiswa dapat memahami penanganan simplisia serta menetukan derajat kehalusan serbuk,
mengetahui berbagai cara mengekstrasi simplisia serta memilih metode ekstrasi simplisia yang sesuai
dan menggunakan pelarut yang sesuai, melakukan proses penguapan pelarut dari hasil ekstrasi dengan
perkolasi, menghitung rendemen ekstrak hasil ekstrak, serta mengidentifikasi kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam simplisia dengan reaksi warna dan reasi pengendapat, dan menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis dan Kolom untuk mengindentifikasi senyawa metabolit yang terkandung
pada Simplisia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CABAI JAWA

Cabai jawa (Piper retrofractum Vahl) adalah jenis rempah yang masih berkerabat dengan lada
dan kemukus, termasuk dalam suku sirih-sirihan atau Piperaceae. Nama lainnya adalah cabai jamu,
cabe jawa atau cabai saja, meskipun penyebutan terakhir ini akan rancu dengan cabai yang sekarang
lebih populer, Capsicum annuum. Nama daerah lain adalah cabai solak (Madura) dan cabia
(Sulawesi).

2.1.1 Taksonomi

Kingdom: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Magnoliopsida

Ordo: Piperales

Famili: Piperaceae

Genus: Piper

Spesies: P. retrofractum

Nama binomial

Piper retrofractum Vahl

2.1.2 Ekologi dan Penyebarannya

Tumbuhan asli Indonesia ini populer sebagai tanaman obat pekarangan dan tumbuh pula di
hutan-hutan sekunder dataran rendah (hingga 600m di atas permukaan laut). Produknya telah dikenal
oleh orang Romawi sejak lama dan sering dikacaukan dengan lada. Di Indonesia sendiri buah
keringnya digunakan sebagai rempah pemedas. Sebelum kedatangan cabai (Capsicum spp.),
tumbuhan inilah yang disebut "cabai". Cabai sendiri oleh orang Jawa dinamakan lombok. Cabai jamu
dapat tumbuh di lahan ketinggian 0-600 meter dari permukaan laut (dpl), dengan curah hujan rata-rata
1.259-2.500 mm per tahun. Tanah lempung berpasir, dengan struktur tanah gembur dan berdrainase
baik, merupakan lahan yang cocok untuk budidaya cabai jamu. Tanaman itu memiliki keunggulan
dapat tumbuh di lahan kering berbatu. Keberadaan tanggul batu di pematang tegalan dapat dijadikan
media merambatnya cabai jamu secara alami.

2.1.3 Morfologi

Bentuk tanamannya seperti sirih, merambat, memanjat, membelit, dan melata. Daunnya
berbentuk bulat telur sampai lonjong, pangkal daun berbentuk jantung atau membulat, ujung daun
runcing dengan bintik-bintik kelenjar. buahnya majemuk bulir, bentuknya bulat panjang atau silindris,
dan ujungnya mengecil. Buah yang belum tua berwarna kelabu, kemudian menjadi hijau, selanjutnya
kuning, merah, serta lunak. Rasanya pedas dan tajam aromatis

2.2 Komposisi Gizi Cabe Jawa

2.3 Simplisia

Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI adalah bahan alami yang digunakan
untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya, misalnya Datura Folium dan Piperis
nigri Fructus. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa
zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi
dari tanamannya.
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan
(Oleum iecoris asselli) dan madu (Mel depuratum).
3. Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan
kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.

2.4 Uraian Umum Ekstraksi

1. Pengertian (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986)

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga
memenuhi baku yang telah ditentukan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan
baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
menggunakan tekanan (Ditjen POM, 1995).

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat,
hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel
tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi
dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya.
2. Pembagian Jenis Ekstraksi

a. Ekstraksi secara dingin

Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan pemanasan. Hal ini
diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan
bahan alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin adalah
(Ditjen POM, 1986)

1. Metode maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Ditjen POM : 1986).
Metode ini digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang
seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang
berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton untuk melarutkan
lemak/lipid (Ditjen POM, 1986).
Metode Maserasi umumnya menggunakan pelarut non air atau pelarut non-polar.
Teorinya, ketika simplisia yang akan dimaserasi direndam dalam pelarut yang dipilih,
maka ketika direndam, cairan penyai akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel
yang penuh dengan zat aktif dan karena ada pertemuan antara zat aktif dan penyari itu
terjadi proses pelarutan (zat aktif yang larut dalam penyari) sehingga penyari yang masuk
ke dalam sel tersebut akhirnya akan mengandung zat aktif, katakan 100%, sementara
penyari yang berada di luarsel belum terisi zat aktif (0 %) akibat adanya perbedaan
konsentrasi zat aktif didalam dan di luar sel ini akan muncul gaya difusi, larutan yang
terpekat akan didesak menuju keluar berusaha mencapai keseimbangan konsentrasi antara
zataktif di dalam dan di luar sel. Proses keseimbangan ini akan berhenti, setelah terjadi
keseimbangan konsentrasi (istilahnya “jenuh”). Dalam kondisi ini, proses ekstraksi
dinyatakan selesai, maka zat aktif didalam dan di luar sel akan memiliki konsentrasi yang
sama, yaitu masing-masing 50%.
2. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari melalui serbuk simplisia
yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk simplisia
ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori,
cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel dalam keadaan jenuh.
Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari
dari cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan
gerakan ke bawah (Ditjen POM : 1986).
Ukuran percolator yang digunakan harus dipilih sesuai dengan jumlah bahan yang
disari. Jumlah bahan yang disari tidak lebih dari 2/3 tinggi percolator. Percolator dibuat
dari gelas, baja tahan karat atau bahan lain yang tidak saling mempengaruhi dengan obat
atau cairan penyari. Percolator dilengkapi dengan tutup dari karet atau bahan lain, yang
berfungsi untuk mencegah penguapan. Tutup karet dilengkapi dengan lubang bertutup
yang dapat dibuka atau ditutup dengan menggesernya. Pada bebe rapa percolator sering
dilengkapi dengan botol yang berisi cairan penyari yang dihubungkan ke percolator
melalui pipa yang dilengkapi dengan keran.
Aliran percolator diatur oleh keran. Pada bagian bawah, pada leher percolator tepat
diatas keran diberi kapas yang di atur di atas sarangan yang dibuat dari porselin ataudi
atas gabus bertoreh yang telah dibalut kertas tapisKapas yang digunakan adalah yang
tidak terlalu banyak mengandung lemak. Untuk menampung perkkolat digunakan botol
perkolat, yang bermulut tidak terlalu lebar tetapi mudah dibersihkan.
3. Metode soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari
dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-
molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan
selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Proses
ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna yang ditandai dengan beningnya
cairan penyari yang melalui pipa sifon atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis
tipis tidak memberikan noda lagi. (Ditjen POM, 1986).
4. Metode refluks
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan dimana cairan penyari
secara kontinyu menyari komponen kimia dalam simplisia cairan penyari dipanaskan
sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga
mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke labu alas
bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan dan
biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam. (Ditjen POM : 1986).
5. Metode Destilasi Uap Air
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang mengandung
minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi
pada tekanan udara normal, misalnya pada penyarian minyak atsiri yang terkandung
dalam tanaman daun raja. Pada metode ini uap air digunakan untuk menyari simplisia
dengan adanya pemanasan kecil uap air tersebut menguap kembali bersama minyak
menguap dan dikondensasikan oleh kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul air
yang menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah diisi air. Penyulingan
dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM : 1986).
Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur digabungkan, tiap
cairan bertindak seolah – olah pelarut itu hanya sendiri, dan menggunakan tekanan uap.
Tekanan uap total dari campuran yang mendidih sama dengan jumlah tekanan uap parsial,
yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal, karena pendidihan yang dimaksud
yaitu tekanan uap total sama dengan tekanan atmosfer, titik didih dicapai pada temperatur
yang lebih rendah daripada jika tiap – tiap cairan berada dalam keadaan murni (Ditjen
POM : 1986).
6. Metode infundasi
Merupakan metode penyarian dengan cara menyari simplisia dalam air pada suhu
90OC selama 15 menit. Infundasi merupakan penyarian yang umum dilakukan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan- bahan nabati. Penyarian
dengan metode ini menghasilkan sari/ekstrak yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh
kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh
disimpan lebih dari 24 jam (Ansel, 1989).
Sediaan yang dibuat dengan metode infundasi

Infus / rebusan obat:sedian air yang dibuat dengan mengextraksi simplicia nabati dengan air
suhu 90° C selama 15 menit,yang mana extraksinya dilakukan secara infundasi Penyarian adalah
peristiwa memindahkan zat aktif yang semula di dalam sel ditarik oleh cairan penyanyi sehingga zat
aktif larut dalam cairan penyari. Secara umum penyarian akan bertambah baik apabila permukaan
simplisia yang bersentuhan semakin luas (Ansel, 1989).

Umumnya infus selalu dibuat dari simplisia yang mempunyai jaringan lunak,yang
mengandung minyak atsiri,dan zat-zat yang tidak tahan pemanasan lama (Depkes RI.1979).

2.4 Uraian Pelarut

Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu diperhatikan
dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah
tertarik/ terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan
polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu (Rohman, 2007):

1. Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa
yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya
walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih
rendah. Salah satu contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
2. Pelarut Semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan
pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari
tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat, kloroform.
3. Pelarut Nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk
mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana dan eter.
2.5 Macam – macam cairan penyari (Rohman, 2007) :
1. Air
Termasuk yang mudah dan murah dengan pemakaian yang luas, pada suhu kamar
adalah pelarut yang baik untuk bermacam-macam zat misalnya : garam-garam alkaloida,
glikosida, asam tumbuh-tumbuhan, zat warna dan garam-garam mineral.
Umumnya kenaikan suhu dapat menaikkan kelarutan dengan pengecualian misalnya
pada condurangin, Ca hidrat, garam glauber dll. Keburukan dari air adalah banyak jenis zat-
zat yang tertarik dimana zat-zat tersebut meripakan makanan yang baik untuk jamur atau
bakteri dan dapat menyebabkan mengembangkan simplisia sedemikian rupa, sehingga akan
menyulitkan penarikan pada perkolasi.
2. Etanol
Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, Umumnya pelarut yang baik untuk
alkaloida, glikosida, damar-damar, minyak atsiri tetapi bukan untuk jenis-jenis gom, gula dan
albumin. Etanol juga menyebabkan enzym-enzym tidak bekerja termasuk peragian dan
menghalangi perutumbuhan jamur dan kebanyakan bakteri. Sehingga disamping sebagai
cairan penyari juga berguna sebagai pengawet. Campuran air-etanol (hidroalkoholic
menstrum) lebih baik dari pada air sendiri.
3. Gycerinum (Gliserin)
Terutama dipergunakan sebagai cairan penambah pada cairan menstrum untuk
penarikan simplisia yang mengandung zat samak. Gliserin adalah pelarut yang baik untuk
tanin-tanin dan hasil-hasil oksidanya, jenis-jenis gom dan albumin juga larut dalam gliserin.
Karena cairan ini tidak atsiri, tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak-ekstrak kering.
4. Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk pembuatan sediaan
untuk obat dalam atau sediaan yang nantinya disimpan lama.
5. Solvent Hexane
Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan minyak tanah kasar. Pelarut yang
baik untuk lemak-lemak dan minyak-minyak. Biasanya dipergunakan untuk menghilangkan
lemak dari simplisia yang mengandung lemak-lemak yang tidak diperlukan, sebelum
simplisia tersebut dibuat sediaan galenik, misalnya strychni, secale cornutum.
6. Acetonum
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut yang baik untuk
bermacam-macam lemak, minyak atsiri, damar. Baunya kurang enak dan sukar hilang dari
sediaan. Dipakai misalnya pada pembuatan Capsicum oleoresin (N.F.XI).
7. Chloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek farmakologinya. Bahan pelarut
yang baik untuk basa alkaloida, damar, minyak lemak dan minyak atsiri.
8. Diklorometana
Diklorometana (CH2Cl2) adalah pelarut organik sering menggunakan untuk
mengekstrak senyawa organik dari sampel. Ini adalah racun tapi lebih sedikit daripada
kloroform.
9. Isopropil
Isopropil adalah nama populer dari senyawa kimia dengan rumus molekul C3H8O
atau C3H7OH. Senyawa ini merupakan senyawa tak berwarna, mudah terbakar dengan bau
menyengat. Senyawa ini merupakan alkoholsekunder yang paling sederhana, dimana atom
karbon yang mengikat gugus alkohol juga mengikat 2 atom karbon lain (CH3)2CHOH.
Merupakan isomerstruktur dari 1-propanol.
10. N- butanol
N-butanol dapat digunakan sebagai bahan bakar di mesin pembakaran dalam. Karena
rantai hidrokarbonnya lebih panjang, maka bersifat pada umumnya bersifat non-polar.
Butanol lebih mirip bensin daripada etanol. Bahan bakar butanol sudah pernah
didemontrasikan di mobil berbahan bakar bensin tanpa ubahan apapun. Butanol dapat
diproduksi dari biomassa(biobutanol) sama seperti bahan bakar fosil (petrobutanol), tapi
biobutanol dan petrobutanol memiliki ciri-ciri kimia yang sama.
11. Etill asetat
Etil asetat merupakan pelarut polar menengah yang mudah menguap, tidak beracun
dan tidak higrokopis. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 30% dan larut dalam air hingga
kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun
senyawa ini tidak stabil dalam air mengandung basa atau asam.
2.6 Ekstrasi

Secara garis besar, tahapan pembuatan ekstrak yaitu pembuatan serbuk simplisia, pemilihan
pelarut atau cairan penyari, proses ekstraksi atau pemilihan cara ekstraksi, separasi dan pemurnian,
penguapan atau pemekatan, pengeringan ekstrak dan penentuan rendemen ekstrak.

1. Pembuatan serbuk simplisia


Pembuatan serbuk simplisia dimaksudkan untuk memperluas permukaan simplisia
yang kontak dengan cairan penyari. Proses penyerbukan dilakukan sampai derajat kehalusan
serbuk yang optimal. Selanjutnya akan dijelaskan pada Bab 2. Ekstraksi.
2. Pemilihan pelarut atau cairan penyari
Pelarut atau cairan penyari menentukan senyawa kimia yang akan terekstraksi dan
berada dalam ekstrak. Dengan diketahuinya senyawa kimia yang akan diekstraksi atau yang
diduga berkhasiat akan memudahkan proses pemilihan cairan penyari.
3. Proses ekstraksi atau pemilihan cara ekstraksi
Cara ekstraksi yang dipilih ikut menentukan kualitas ekstrak yang diperoleh. Dalam
memilih cara ekstraksi harus diperhatikan prinsip ekstraksi yaitu menyari senyawa aktif
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya hingga diperoleh efisiensi ekstraksi.
4. Separasi dan pemurnian
Separasi atau pemisahan dan pemurnian merupakan salah satu proses yang diperlukan
terhadap ekstrak dalam rangka meningkatkan kadar senyawa aktifnya. Separasi dapat
dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti dekantasi, penyaringan, sentrifugasi, destilasi dan
lain-lain. Pemurnian ekstrak dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi zat-zat yang tidak
diinginkan dalam ekstrak akan terpisah dari zat-zat yang diinginkan.
5. Penguapan atau pemekatan
Penguapan atau pemekatan merupakan proses meningkatkan jumlah zat terlarut
dalam ekstrak dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya dengan cara penguapan, tetapi
tidak sampai kering.
6. Pengeringan ekstrak
Pengeringan ekstrak umumnya dilakukan untuk membuat sediaan padat seperti tablet,
kapsul, pil dan sediaan padat lainnya. Pengeringan ekstrak dapat dilakukan dengan
penambahan bahan tambahan (non-native herbal drug preparation) atau tanpa penambahan
bahan tambahan (native herbal drug preparation).
7. Penentuan rendemen ekstrak
Rendemen ekstrak dihitung dengan cara membandingkan jumlah ekstrak yang
diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai
parameter standar mutu ekstrak pada tiap bets produksi maupun parameter efisiensi ekstraksi.

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑚𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ


% Rendemen = x 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛

2.7 Identifikasi senyawa metabolit sekunder

Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapis senyawa kimia atau
biasa disebut dengan skrining fitokimia yang terkandung dalam tanaman. Metode ini digunakan untuk
mendeteksi adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin, saponin, kumarin,
quinon, steroid / terpenoid (Teyler. V. E, 1988).
Skrining fitokimia adalah metode analisis untuk menentukan jenis metabolit sekunder yang
terdapat dalam tumbuh – tumbuhan karena sifatnya yang dapat bereaksi secara khas dengan pereaksi
tertentu. Skrining fitokimia dilakukan melalui serangkaian pengujian dengan menggunakan pereaksi
tertentu. Beberapa jenis senyawa yang dapat dideteksi secara skrining fitokimia antara lain :

1. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya
alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal, tetapi hanya sedikit yang berupa
cairan (Teyler. V. E, 1988).
Alkaloid dapat dideteksi dengan beberapa pereaksi pengendap. Pereaksi Mayer
mengandung kalium iodida dan merkuri klorida, dengan pereaksi ini alkaloid akan
memberikan endapan berwarna putih. Pereaksi Dragendorff mengandung bismuth nitrat dan
merkuri klorida dalam asam nitrat berair. Senyawa positif mengandung alkaloid jika setelah
penyemprotan dengan pereaksi Dragendorff membentuk warna jingga (Sastrohamidjojo,
1996).
2. Antrakinon
Antrakinon merupakan senyawa turunan antrasena yang diperoleh dari reaksi oksidasi
antrasena. Golongan ini memiliki aglikon yang sekerabat dengan antrasena yang memiliki
gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10), larut dalam air
panas atau alkohol encer. Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat dapat diekstraksi
dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon
adalah antron denantranol terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida (Stanisky, 2003).
3. Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini
memiliki tanda khas yaitu memiliki banyak gugus phenol dalam molekulnya. Polifenol sering
terdapat dalam bentuk glikosida polar dan mudah larut dalam pelarut polar (Hosttetmant, dkk,
1985).
4. Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat
khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein
membentuk kepolumer mantap yang tidak larut dalam air. Secara kimia terdapat dua jenis
utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan. Tanin terkondensasi hampir
terdapat di dalam paku – pakuan dan gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae,
terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sebaliknya tanin yang terhidrolisis penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harbrone, J.B, 1987).
5. Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene
dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid
dapat dipilah menjadi sekurang – kurangnya empat golongan senyawa : triterpena sebenarnya,
steroid, saponin, dan glikosida jantung.
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya system cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai
hormone kelamine, asam empedu, dll), tetapi pada tahun – tahun terakhir ini banyak senyawa
tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harbrone.J.B., 1987).
2.8 Evaporasi

Evaporasi adalah proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau menguapkan
pelarut. Di dalam pengolahan hasil pertanian proses evaporasi bertujuan untuk, meningkatkan larutan
sebelum proses lebih lanjut, memperkecil volume larutan, menurunkan aktivitas air aw (Praptiningsih
1999).

Proses evaporasi selain berfungsi menurunkan aktivitas air, evaporasi juga dapat
meningkatkan konsentrasi atau viskositas larutan dan evaporasi akan memperkecil volume larutan
sehingga akan menghemat biaya pengepakan, penyimpanan, dan transportasi.

Mekanisme kerja evaporator adalah steam yang dihasilkan oleh alat pemindah panas,
kemudian panas yang ada (steam) berpindah pada bahan atau larutan sehingga suhu larutan akan naik
sampai mencapai titik didih. Steam masih digunakan atau disuplay sehingga terjadi peningkatan
tekanan uap. Di dalam evaporator terdapat 3 bagian, yaitu:

1. Alat pemindah panas


Berfungsi untuk mensuplai panas, baik panas sensibel (untuk menurunkan suhu)
maupun panas laten pada proses evaporasi. Sebagai medium pemanas umumnya digunakan
uap jenuh.
2. Alat pemisah
Berfungsi untuk memisahkan uap dari cairan yang dikentalkan.
3. Alat pendingin
Berfungsi untuk mengkondnsasikan uap dan memisahkannya. Alat pendingin ini bisa
ditiadakan bila sistem bekerja pada tekanan atmosfer (Gaman, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaporasi terhadap kecepatan penguapan,


perubahan komponen kimia bahan pangan dan lainnya :

1. Suhu dan Tekanan


Suhu evaporasi berpengaruh pada kecepatan penguapan. Makin tinggi suhu evaporasi
maka penguapan yang terjadi semakin cepat. Namun, penggunaan suhu yang tinggi dapat
menyebabkan beberapa bahan yang sensitive terhadap panas mengalami kerusakan. Untuk
memperkecil resiko kerusakan tersebut maka suhu evaporasi yang digunakan harus rendah.
Suhu evaporasi dapat diturunkan dengan menurunkan tekanan evaporator.
2. Lama Evaporasi
Makin tinggi suhu evaporasi maka penguapan yang terjadi semakin cepat. Semakin
lama evaporasi yang terjadi maka semakin banyak zat gizi yang hilang dari bahan pangan.
Suhu evaporasi seharusnya dilakukan serendah mungkin dan waktu proses juga dilakukan
sesingkat mungkin (Wirakartakusumah, 1989)
3. Luas permukaan
Dengan lebih luasnya permukaan bahan maka semakin luas pula permukaan bahan
pangan yang berhubungan langsung dengan medium pemanasan dan lebih banyak air yang
dapat keluar dengan cepat dari bahan makanan sehingga evaporasi semakin cepat. Semakin
cepat evaporasi yang terjadi maka semakin banyak air dan bahan pangan sensitive panas yang
hilang dari bahan pangan.
4. Jenis Bahan dan Viskositas Cairan
Jenis bahan juga mempengaruhi teknik evaporasi yang digunakan. Seperti halnya
pada pembuatan sari buah yang sangat pekat yang cepat sekali meningkat viskositasnya
ketika dipanaskan, sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk menurunkan kekentalannya
misalnya dengan menggunakan teknik ultrasonic. Sebagian jenis makanan ada yang
mengandung komponen yang sangat korosif terhadap permukaan alat penukar panas,
sehingga sebaiknya menggunakan bahan dari stainless steel dalam pembuatan alat evaporasi
(Wirakartakusumah, 1989). Makin tinggi viskositas cairan, tingkat sirkulasi akan menurun,
sehingga menurunkan koefisien transfer panas. Hal ini akan menghambat proses penguapan.
Selama proses evaporasi viskositas larutan akan mengalami kenaikan karena meningkatnya
konsentrasi.

2.9 Fraksinasi

Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran (padat, cair,
terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi) komposisi perubahan
menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang
lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi
bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana,
atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang
penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989). Fraksinasi
bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang
lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut.

Dalam metode fraksinasi pengetahuan mengenai sifat senyawa yang terdapat dalam ekstrak
akansangat mempengaruhi proses fraksinasi. Oleh karena itu, jika digunakan air sebagai pengekstraksi
maka senyawa yang terekstraksi akan bersifat polar, termasuk senyawa yang bermuatan listrik. Jiika
digunakan pelarut non polar misalnya heksan, maka senyawa yangterekstraksi bersifat non polar
dalam ekstrak. Pada prakteknya dalam melakukan fraksinasidigunakan dua metode yaitu dengan
menggunakan corong pisah dan kromatografi kolom. Corong pisah adalah peralatan laboratorium
yang digunakan dalam ekstraksi cair-cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam suatu
campuran antara dua fase pelarut dengandensitas yang berbeda yang tak tercampur. Umunya salah
satu fase berupa larutan air dan yang lainnya berupa organiklipofilik seperti eter, MTBE,
diklorometana, kloroforom, ataupun etilasetat. Kebanyakan pelarut organik berada diatas fase air
kecuali pelarut yang memiliki atom dari unsur halogen. Pemisahan ini didasarkan pada tiap bobot dari
fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada pada bagian dasar sementarafraksi yang lebih ringan akan
berada di atas. Tujuannya untuk memisahkan golongan utamakandungan yang satu dari kandungan
yang lain. Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa non polar akan
masuk ke pelarut non polar.

2.10 Kromatografi

Kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan atas distribusi diferensial


komponen sampel di antara dua fasa, yaitu fasa diam (stationary phase) dan fasa gerak (mobil phase).
Fasa diam dapat berupa padatan atau cairan yang terikat pada permukaan padatan (kertas atau suatu
adsorben), sedangkan fasa gerak dapat berupa cairan disebut eluen atau pelarut.

Istilah kromatografi digunakan pada beberapa teknik pemisahan berdasarkan pada “migration
medium” yang berbeda, yaitu distribusinya terhadap fase diam dan fase gerak.terdapat 3 hal yang
wajib ada pada teknik ini. yang pertama yaitu harus terdapat medium perpindahan tempat, yaitu
tempat terjadinya pemisahan. Kedua harus terdapat gaya dorong agar spesies dapat berpisah
sepanjang “migration medium“. Yang ketiga harus terdapat gaya tolakan selektif. Gaya yang terakhir
ini dapat menyebabkan pemisahan dari bahan kimia yang dipertimbangkan (Sienko, 1984).

Kromatografi lapis tipis merupakan cara cepat dan mudah untuk dapat melihat
kemurnian suatu sampel maupun karakterisasi sampel dengan menggunakan standar. Cara ini praktis
untuk analisis data skala kecil karena hanya memerlukan bahan yang sangat sedikit dan waktu yang di
butuhkan singkat. Kemurnian suatu senyawa bisa dilihat dari jumlah bercak yang terjadi pada plat
kromatografi lapis tipis atau pun jumlah puncak kromatogram kromatografi lapis tipis. Uji kualitatif
pada kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi kromatogram
sampel dengan kromatogram senyawa standar (Handayani,et al., 2005).

Kromatografi lapis tipis juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi
kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara
kromatografi dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang
disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel
adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi–pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat.
Data yang diperoleh dari kromatografi lapis tipis adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi
senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar.
Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan
jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.

Menurut Gandjar dan Rohman( 2007), fase yang digunakan pada KLT yaitu:

1. Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan
diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan
semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja kromatografi lapis tipis
dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan
serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada kromatografi lapis tipis adalah
adsorpsi dan partisi.
2. Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-
coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah
campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf
terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
c. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti
juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar
seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan
meningkatkan harga Rf secara signifikan.
d. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan
asam.

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan
sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur
kromatografi lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan resolusi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan
secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Tepi bagian bawah
lempeng lapis tipis yang telah ditotolkan sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1
cm. Tinggi fase gerak harus dibawah lempeng bertotol sampel.

Keuntungan KLT adalah lebih serba guna, cepat, kepekaannya lebih tinggi dan pemisahan
komponen senyawa lebih sempurna. Sedangkan kelemahannya adalah pada prosedur pembuatan
lempengnya yang memerlukan tambahan waktu kecuali bila tersedia lempeng yang diproduksi secara
komersial. (Gritter,1991).

Satu kekurangan KLT yang asli ialah kerja penyaputannya, pelat kaca dengan penjerap. Kerja
ini kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis. Meskipun begitu, dengan
menggunakan alat itu pun tetap diperlukan tindakan pencegahan tertentu (Harborne, 1987).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan media dalam KLT yang juga


mempengariuhi nilai Rf yaitu (Surmono, 1986):

1. Struktur kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan


2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
3. Suhu dan kesetimbangan
4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak
5. Derajat kejenuhan
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑜𝑢ℎ 𝑃𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
Perhitungan Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐵𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑙𝑎𝑡

Dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi sampel
antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan membatasi kemampuan pencampuran. Jika suatu
zat terlarut dikocok dalam sistem dua pelarut yang tidak bercampur atau saling melarutkan maka zat
terlarut akan terdistribusi di antara kedua fase (Khopkar, 2008, hal: 155).

Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk
memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi
suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair, ukuran kolom tergantung dari
banyaknya zat yang akan dipindahkan. Secara umum perbandingan panjang dan diameter kolom
sekitar 8:1 sedangkan daya penyerapnya adlah 25-30 kali berat bahan yang akan dipisahkan. Teknik
banyak digunakan dalam pemisahan senyawa-senyawa organic dan konstituen-konstituen yang sukar
menguap sedangkan untuk pemisahan jenis logan-logam atau senyawa anorganik jarang dipakai
(Yazid, 2005, hal: 98).

Dalam proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-molekul


komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan padatan halus, bereaksi secara kimia
dan terekslusi pada pori-pori fasa diam. Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan
harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara melarut di dalamnya,
teradsorpsi atau bereaksi secara kimia. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang
menyusun suatu sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan analisis kualitatif,
analisis kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa. Dalam beberapa hal metode pemisahan
kromatografi mempunyai kemiripan dengan metode pemisahan ekstraksi. Kedua metode ini sama-
sama menggunakan dua fasa, dimana fasa satu bergerak terhadap fasa lainnya, kesetimbangan solut
selalu terjadi di antara kedua fasa ( Alimin dkk, 2007, hal: 74-75).

Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen


campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom
terabsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair padat, substrat padat bertindak sebagai fasa diam yang
sifafnya tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya adalah cairan atau pelarut yang mengalir
membawa komponen campuran sepanjang kolom. Pemisahan bergantung pada kesetimbangan yang
terbentuk pada bidang antar muka diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan
relatif komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi
kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis.
Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada
fasa bergerak (Yazid, 2005, hal: 100).

Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fasa bergerak yang
ditambahkan secara kontinu, akibatnya hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar
terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen afinitas paling kecil akan bergerak lebih
cepat mengikuti aliran pelarut. Pada kromatografi adsorpsi, besarnya koefisien distribusi sama dengan
konsentrasi zat terlarut pada fasa teradsorpsi dibagi konsentrasinya pada fasa larutan. Ketergantungan
jumlah zat terlarut yang teradsorpsi terhadap konsentrasi zat terlarut dalam larutan dinyatakan dengan
isoterm adsorpsi Langmuir (Yazid, 2005, hal: 100).

Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup banyak
sebagai fasa diam dan fasa bergerak bergantung pada ukuran kolom gelas. Untuk melakukan
pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom diperlukan waktu yangcukup lama, bias
berjam-jam hanya untuk memisahkan satu campuran. Selain itu, hasil pemisahan kurang jelas artinya
kadang-kadang sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu
bertumpang tindih dengan komponen lainnya. Masalah waktu yang lama disebabkan laju alir fasa
gerak hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, ukuran diameter partikel yang cukup besar
membuat luas permukaan fasa diam relative kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antara
komponen-komponen dengan fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran diameter partikel diperkecil
supaya luas permukaan fasa diam bertambah menyebabkan semakin lambatnya aliran fasa gerak atau
fasa gerak tidak mengalir sama sekali. Selain itu fasa diam yang sudah terpakai tidak dapat digunakan
lagi untuk pemisahan campuran yang lain karena sukar meregenerasi fasa diam (Hendayana, 2006,
hal: 2-3).

Untuk memisahkan campuran, kolom yang telah dipilih sesuai campuran diisi dengan bahan
penyerap seperti alumina dalam keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut. Pengisian
dilakukan dengan bantuan batang pengaduk untuk memanfaatkan adsorben dan gelas wool pada dasar
kolom. Pengisian harus dilakukan secara hat-hati dan sepadat mungkin agar rata sehingga terhindar
dari gelembung-gelembung udara, untuk membantu homogenitas biasanya kolom setelah diisi
divibrasi diketok-ketok. Sejumlah cuplikan yang dilarutkan dalam sedikit pelarut, dituangkan melalui
sebelah atas kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam adsorben. Komponen-komponen dalam
campuran diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada
permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut secara terus-menerus, masing-masing komponen
akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru
antara bahan penyerap, komponen campuran dan eluen. Kesetimbangan dikatakan tetap apabila suatu
komponen yang satu dengan yang lainnya bergerak ke bagian bawah kolom dengan waktu atau
kecepatan berbeda-beda sehingga terjadi pemisahan (Yazid, 2005, hal: 200-2001).

Menurut Alimin (2007, hal: 75) keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi adalah :
1. Dapat digunakan untttuk sampel atau konstituen yang sangat kecil.

2. Cukup selektif terutama untuk senyawa-senyawa organik multi komponen.

3. Proses pemisahan dalam dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

4. Seringkali murah dan sederhana karena umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit.
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Anda mungkin juga menyukai