Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

TUKAK LAMBUNG (PEPTIC ULCER)

OLEH:

DWI ASTI FIANDARI (O1B1 18 005)

FARADILA CAHYANI (O1B1 18 007)

MARGANITA NURHASANA (O1B1 18 015)

MANTANG (O1B1 18 014)

SYAM FEBRIANTARA (O1B1 18 035)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktu yang ditetapkan.Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak
dosen mata kuliah Farmakoterapi terapan, yang telah terlebih dahulu memberikan
pengarahan kepada kami mahasiswa dalam penulisan makalah ini.
Adapun makalah ini berjudul “Tukak lambung (Peptic Ulcer)”, merupakan
salah satu tugas kelompok dalam mata kuliah Farmakoterapi terapan. Penulis
berharap agar makalah ini dapat kita manfaatkan untuk menambah pengetahuan
kita mengenai Tukak lambung (Peptic Ulcer) serta penatalaksanaannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan.Oleh sebab itu, dengan hati yang terbuka penulis menerima
kritik dan saran yang bersikap membangun dari pembaca.

Kendari, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
A. Pengertian ...................................................................................................
B. Etiologi .........................................................................................................
C. Patofisiologi .................................................................................................
D. Manifestasi Klinik .......................................................................................
E. Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................
F. Penatalaksanaan ..........................................................................................
BAB III STUDI KASUS ...................................................................................
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................................
B. Tujuan .........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulkus peptik atau tukak peptik adalah defek mukosa gastrointestinal (GI)
yang meluas sampai ke mukosa otot yang terjadi di esofagus, lambung atau
duodenum (Brashers, 2003). Data WHO menyebutkan kematian akibat tukak
lambung di Indonesia mencapai 0,99 persen yang didapatkan dari angka kematian
8,41 per 100,000 penduduk. Pada tahun 2005-2008, tukak lambung menempati
urutan ke-10 dalam kategori penyebab kematian pada kelompok umur 45-54
tahun pada laki-laki menurut BPPK Depkes pada tahun 2008 (Aditya Kafi, 2014).

Penyakit ulkus peptikum (tukak peptik) terdiri dari ulkus gaster dan ulkus
duodenum. Ulkus peptikum didefinisikan sebagai suatu defek mukosa atau
submukosa yang berbatas tegas dan dapat menembus lapisan muskularis mukosa
sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Ulkus gaster merupakan suatu
gambaran bulat atau semi bulat/oval, ukuran >5mm kedalaman submukosal pada
mukosa lambung akibat terputusnya kontuinuitas/intregritas mukosa lambung
(Tarigan, 2014).

Pada prinsipnya ulkus timbul akibat ketidakseimbangan antara faktor


pertahanan mukosa gastroduodenum (Faktor defensif) dan faktor perusak (faktor
agresif) faktor defentif antara lain lapisan mukosa, sekresi bikarbonat, aliran darah
adekuat, dan prostaglandin. Faktor perusak (agresif) mukosa gastroduodenum
meliputi faktor perusak endogen antara lain HCl, pepsin, dan garam empedu,
selain itu faktor lain berupa faktor perusak (eksogen) meliputi obat-obatan alcohol
dan bakteri (Tarigan, 2009).

Pengobatan Ulkus peptikum sendiri kini banyak menggunakan obat-


obatan golongan antagonis reseptor H2. Antagonis reseptor H2 berperan dalam
mengurangi sekresi asam lambung dengan menghambat pengikatan histamin
secara selektif pada reseptor H2 dan menurunkan kadar cyclic-AMP dalam darah.
Namun disamping perannya dalam mengobati ulkus peptikum, ARH2 juga

1
memiliki efek samping terutama yang berhubungan dengan sistem syaraf sentral
seperti nyeri kepala, letargi,halusinasi, depresi dan insomnia. Efek samping
lainnya yaitu mulut kering, mual, dan perasaan tidak enak di perut (Aziz, 2002).

Helicobacter pylori diketahui sebagai faktor resiko dan penyebab terkuat


untuk terjadinya gastritis kronik. Yang selanjutnya akan menjadi ulkus peptikum
dan kanker lambung bagian bawah sehingga Helicobacter pylori sebagai kuman
penyebab utama gastritis kronik harus dieradikasi secara tuntas. Helicobacter
pylori yang menginfeksi kurang lebih 50% penduduk di seluruh dunia, yang
menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi, metaplasia,
displasia dan akhirnya kanker lambung (Kumar et al., 2009)

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulisan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan peptic ulcer ?
2. Apa penyebab/etiologi dan faktor resiko terjadinya peptic ulcer?
3. Bagaimana patofisiologi dari peptic ulcer?
4. Bagaimana diagnosa dan pemeriksaan penunjang dari peptic ulcer?
5. Bagaimana manifestasi klinik dari peptic ulcer?
6. Bagaimana penatalaksanaan terhadap pasien peptic ulcer?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan peptic ulcer.
2. Untuk mengetahui etiologi dan faktor resiko terjadinya peptic ulcer.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari peptic ulcer.
4. Untuk mengetahui diagnose dan pemeriksaan penunjang dari peptic ulcer.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari peptic ulcer.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien peptic ulcer

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ulkus peptikum atau tukak lambung merupakan gangguan penyakit yang
disebabkan kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot
saluran cerna yang disebabkan aktifitas pepsin dan asam lambung. Umumnya
terjadi pada bulbus duodenum dan kurvatura minor, dapat juga mengenai
esofagus sampai usus halus (Aziz, 2002). Ulkus dapat disebabkan oleh beberapa
kondisi, salah satunya ulkus diinduksi stres oksidatif yaitu kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan antara produksi oksigen reaktif dan kemampuan sistem
biologi untuk mendetoksifikasi reaktif intermediet, yang bisa menyebabkan
kerusakan oksidatif protein, lipid dan DNA (Priya et al., 2012)
Peptic ulcer kronis berbeda dari erosi dan gastritis dimana peptic ulcer
kronis merusak ke mukosa lebih dalam sampai ke mukosa muskularis2. Hal ini
terjadi karena faktor agresif (asam lambung, pepsin, dan infeksi H. pylori) lebih
dominan dari pada faktor independen pelindung mukosa (prostaglandin, gastric
mucus, bikarbonat dan aliran darah mukosa).
Penyebab umum dari Peptic ulcer disease yaitu Helycobacter pylori
(100% menyebabkan Duodenal Ulcer dan 80% menyebabkan Gastric Ulcer 4),
obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan Stres ulcer yaitu sters yang
berhubungan dengan kerusakan mukosa (Stress-releted mucosal damage/
SRMD).1

1
Gambar 1. Struktur anatomi dan lokasi yang umum terjadi tukak
pada gastric dan duodenal1

PUD dibagi menjadi 2 berdasarkan letak ulcer:


a. Gastric ulcer :
 Tukak yang terjadi pada lambung.
 80% kasus berhubungan dengan infeksi H. pylori dan penggunaan
NSAIDs. Pada pasien dengan gastric ulcer biasanya sekresi asam normal
atau berkurang.4
b. Duodenal ulcer :
 Tukak yang terjadi pada usus halus
 100% kasus berhubungan dengan infeksi bakteri H. Pylori. Kemungkinan
infeksi H. pylori menyebabkan .meningkatnya sekresi asam yang diamati
pada pasien dengan duodenal ulcer .4

B. Etiologi dan Faktor resiko


Kebanyakan PUD terjadi karena hipersekresi asam dan pepsin yang dapat
dipicu NSAID, H. pylori, dan faktor lainnya (kerudsakan mukosa yang
disebabkan karena stress/ SRMD) sehingga dapat merusak pertahanan mukosa
normal dan mekanisme pertahanan diri.1
Penyebab lain yang jarang terjadi dapat dikarenakan hipersekresi asam
lambung (contohnya Zollinger-Ellison’s syndrome), infeksi virus (contohnya

2
cytomegalovirus), isufisiensi pada vaskuler (crack cocaine associated), radiasi,
kemoterapi (contohnya hepatic artery infusions), Rare genetic subtypes dan
idiopatik. 1
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan resiko tinggi PUD adalah1,2
a. H. pylori
Infeksi H. pylori menyebabkan gastritis kronis, PUD, kanker lambung, dan
MALT (mucosa-associated lymfhoid tissue). Hanya 20% dari yang terinfeksi H.
pylori berkembang menjadi gejala PUD.
b. NSAID
Banyak bukti penelitian bahwa pemakaian kronis NSAID non selektif
dapat menyebabkan luka pada saluran cerna. (sehingga dapat diartikan bahwa
NSAID berkontribusi dalam terjadinya peptic ulcer). 15-30% dari pengguna
NSAID non selektif menyebabkan PUD (Gastrodeudenal ulcer).
c. Merokok.
Merokok dapat menyebabkan tertunda pengosongan lambung,
menghambat sekresi bikarbonat dari pankreas, dan pemicu dari deudenogastric
reflux. Merokok dapat menyebabkan sekresi asam lambung, tetapi efek tersebut
tidak konsisten.
d. Faktor psikologi (stres).
Faktor psikologi merupakan faktor penting dalam pathogenesis PUD.
Tetapi masih kontrofersi (masih sedikit penelitiannya). Emosional stress
meningkatkan resiko kebiasaan seperti merokok, penggunaan NSAID, respon
inflamasi atau resisten terhadap infeksi H. pylori.
e. Faktor makanan dan minuman.
Makanan dan minuman yang mengandung kafein, susu, alkohol, makanan
pedas dapat menyebabkan dyspepsia tetapi tidak meningkatkan resiko dari PUD.
Meskipun kaffein dapat menstimulasi asam lambung, kopi atau teh yang
dihilangkan kandungan kaffeinnya (dekaffeinasi), minuman yang bebas dari
karbonat dan kaffein seperti wine, bir juga dapat meningkatkan asam lambung.
Sehingga tidak ada data yang menunjang informasi ini. Pada konsentrasi tinggi
alcohol menyebabkan kerusakan mukosa lambung akut dan pendarahan GI

3
(saluran cerna bagian atas), tetapi masih belum ada bukti yang cukup yang dapat
menyatakan bahwa alcohol dapat menyebabkan PUD.
f. Penyakit yang berhubungan dengan PUD
Terdapat bukti epidemologi Ulkus deudenum berhubungan dengan
penyakit kronis tertentu. Tetapi mekanisme patofisiologi belum jelas. Penyakit
yang memiliki kaitan erat dengan Ulkus deudenum antara lain, systemic
mastocytosis, multiple endocrine neoplasia type 1, chronic pulmonary diseases,
chronic renal failure, kidney stones, hepatic cirrhosis, α1-antitrypsin deficiency.
Sedangkan penyakit lainnya yang kemungkinan memiliki hubungan dengan Ulkus
deudenum yaitu cystic fibrosis, chronic pancreatitis, Crohn’s disease, dan
coronary artery disease, polycythemia vera, dan hyperparathyroidism.

C. Patofisiologi
Pada individu yang sehat terdapat keseimbangan fisiologi antara sekresi
asam lambung dan pertahanan mukosa saluran cerna. Sebaliknya pada PUD
terdapat ganguan keseimbangan antara faktor agresif (asam lambung, pepsin,
garam empedu, H. pylori, dan NSAID) dan mekanisme defensif mukosa (aliran
darah mukosa, mukus, sekresi bikarbonat mukosa, sel mukosa restitusi, dan
pembaruan sel epitel). 1,2
a. Asam lambung dan Pepsin
 Pada Gastric ulcer
Bahan iritan akan menimbulkan defek mukosa barier dan terjadi difusi
balik ion H+, Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan sam
lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik, dan tukak gaster.5 Plasma
membran sel epitel epitel lambung terdiri dari lapisan-lapisan lipid bersifat
pendukung mukosa barier. Dalam faktor asam lambung termasuk faktor
genetik, yaitu seseorang mempunyai massa sel parietal yang besar. Tukak
gaster yang letaknya dekat pylorus atau dijumpai bersama dengan tukak
duodeni biasanya disertai hipersekresi asam, sedangkan bila lokasinya pada
tempat lain dilambung biasanya disertai hiposekresi asam.5

4
 Pada Deodenum ulcer
Pada tukak duodenum terjadi peningkatan produksi dan pelepasan
gastrin, sensitivitas mukosa lambung terhadap rangsangan gastric
meningkat secara berlebihan,jumlah sel parietal, pepsinogen khususnya
pepsinogen I juga meningkat. Sekresi bikarbonat dalam duodenum.5
b. H. pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri berbentuk spiral, gram
negatifsensitif terhadap pH, bakteri mikroaerophilic berada diantara
lapisan mucus dan permukaan lapisan sel epitel di lambung, atau lokasi
lain dimana terdapat sel epitel tipe gastric.1
Patofisiologi Infeksi akibat H.pylori tidak diketahui dengan pasti,
tapi diduga karena H. pylori menghasilkan sitotoksin yang mengakibatkan
hancurnya mukosa lambung, sekresi interleukin-8 dan terjadi adherence
dari sel epitel lambung karena meningkatnya sekresi asam lambung.
H.pylori dapat memproduksi urease dalam jumlah yang besar dimana
urease mengkatalis hidrolisis urea menjadi ammonia. Peningkatan jumlah
amonia akan mempengaruhi ketahanan mukosa lambung sehingga terjadi
ulkus. Peningkatan basal dan stimulasi sekresi asam terjadi pada individu
yang terinfeksi H.pylori.2
c. NSAID
NSAID dapat menyebabkan PUD dengan cara menghambat COX-1
sehingga menyebabkan penghabatan sistesis prostaglandin yang secara
sekunder berpengaruh pada sekresi mucus. (COX-1 menghasilkan
prostaglandin yang merupakan pelindung fisiologi yang mengatur
ketahanan mukosa)1,2
H. pylori dan NSAID merupakan penyebab perubahan dalam
pertahanan mukosa dengan mekanisme yang berbeda dan merupakan
faktor penting dalam pembentukan PUD. 2

5
D. Diagnosa

1. Clinical Assessmet of Dyspepsia7

*Memenuhi Alarm signs antara lain: pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis,
melena, anemia defisiensi besi), penurunan berat badan tanpa disengaja >10%, kesulitan
menelan yang progresif, muntah yang menetap, abdominal swelling, dan jika pasien berusia > 55
tahun dengan gejala dyspepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap.

** Meninjau pengobatan yang mungkin menjadi penyebab dyspepsia antara lain: kalsium
antagonis, nitrat, teofilin, bifosfonat, steroid, dan NSAIDs.

Diagnosa PUD

Diagnosa PUD

Temuan Klinis Laboratorium Radiologi Endoscopy Tes H. pilory

6
2. Gejala dan Tanda Peptic Ulcer

Gejala Peptic Ulcer


 Gejala PUD yang paling sering terjadi adalah rasa sakit pada bagian perut
(sering pada bagian epigastric) dan terasa seperti terbakar, tapi bisa berupa
ketidak nyamanan yang tidak jelas, perut terasa penuh, atau kram.
 Rasa sakit yang khas pada waktu malam yang dapat membangunkan pasien
saat tidur, khususnya pada jam 12 malam sampai pukul 3 dini hari.
 Keparahan dari rasa sakit akibat tukak bervariasi pada masing-masing
pasien, dan bisa terjadi musiman untuk jangka waktu tertentu.
 Perubahan karakter nyeri dapat menunjukan adanya komplikasi
 Rasa sakit dapat disertai dengan mulas, kembung dan bersendawa.
 Mual, muntah dan anorexia, lebih umum terjadi pada pasien dengan GU dari
pada DU, tetapi bisa juga tanda-tanda ulkus terkait komplikasi.1
Tanda Peptic Ulcer
 Penurunan berat badan berkaitan dengan mual,muntah dan anorexia.
 Komplikasi, termasuk perdarahan pada ulkus, perforasi, penetrasi, atau
obstruksi. 1
3. Tes Laboratorium

 Sekresi asam lambung


 Konsentrasi serum gastrin pada saat puasa yang digunakan pada pasien
yang tidak ada perbaikan terapi atau diduga hipersekresi
 Hematokrit dan hemoglobin yang rendah (terkait pendarahan) dan stool
hemoccult test menunjukan positif
 Test terhadap H. pylori 1
4. Radiologi

Radiologi sering digunakan sebagai diagnosis awal untuk peptic ulcer


karena terkait dengan harga lebih murah dari pada endoscopy dan banyak tersedia.
Pemeriksaan radiologi biasanya menggunakan kontras ganda,karena dengan
kontras ganda dapat mendeteksi sampai 60-80% adanya ulkus, sedangkan jika

7
digunakan single contras (barium sulfat) hanya dapat mendeteksi 30% adanya
ulkus.1

5. Endoskopi
Fiberoptic upper endoscopy (esophagogastroduodenoscopy [EGD])
merupakan gold standart dapat mendeteksi sampai lebih dari 90% peptic ulcer,
dengan cara melihat secara langsung, biopsy, dapat melihat daerah yang
mengalami erosi superficial dan daerah yang mengalami pendarahan. Endoscopy
digunakan jika sudah diduga adanya komplikasi dan jika dibutuhkan diagnosis
yang lebih akurat. Jika pada saat test radiologi ditemukan adanya keganasan
peptic ulcer maka diperlukan adanya pemeriksaan endoscopy dan histologinya.1
Test untuk mendeteksi H. pylori
Tes yang digunakan untuk mendeteksi H. Pylori dapat dibedakan menjadi
2, yaitu endoskopi dan non endoskopi

1. Endoscopy
 Rapid Urease Test
Tes ini sensitif lebih dari 90% dan spesifik lebih dari 95% terhadap
H.pylori. Sebelum dilakukan pengujian pasien tidak boleh mengkonsumsi:
 H2RAs and PPIs selama 1-2 minggu, dan
 Antibiotik dan garam bismuth selama 4 minggu
Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko negatif palsu. Adanya
urease H.pylori, urea dimetabolisme menjadi amonia dan bikarbonat yang
menyebabkan peningkatan pH, yang merubah warna kuning menjadi
merah, dari indikator pH-sensitif. Hasil test lebih cepat (dalam 24 jam),
lebih murah dari pada histoligi dan kulture, dan test ini untuk infeksi
H.Pylori aktif.2

 Histologi
H. pylori dapat dideteksi secara histology, pada bagian mukosa lambung
secara endoskopi.6. Test ini mempunyai sensitifitas lebih dari 95% bdan
spesifik sampai lebih dari 90% untuk medeteksi adanya infeksi H. Pylori

8
(test standart). Dapat digunakan juga untuk menganalisa dan mengevaluasi
lebih lanjut jaringan yang terinfeksi (gastritis, ulkus, adenokarsinoma)
untuk test infeksi H. pylori aktif.1
 Culture1,2,6
 Tes ini sensitif untuk menetukan pilihan antibiotik dan resistensinya.
Sensitifitas bisa sampai 100 %.
 Bisanya digunakan secara terbatas pada pasien yang gagal pada terapi
eradikasi H.pylori. Untuk tes infeksi H. pylori aktif.
 Hasilnya tidak langsung, tak dianjurkan untuk diagnosa awal,
biayanya lebih mahal dari pada Rapid Urease Test.

Gambar 2. Metabolisme urea dari H. pylory dan test yang


digunakan untuk deteksi H. pylori 6

2. Nonendoscopy, dilakukan nonendoscopy jika pada pemeriksaan tidak


membutuhkan biopsy mukosa lambung.
 Urea Breath Test 1,2,6
 Memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 95 % untuk infeksi H. pylori.
 Penderita diberikan Radiolabeled urea C13 (Isotop non radioaktif) dan
C14 (Isotof radioaktif) secara oral, radiolabeled urea tersebut dihidrolisa
menjadi amonia dan radiolabeled bicarbonate oleh urease H. Pylori.
Radiolabeled bicarbonate diabsobsi ke dalam pembuluh darah dan

9
diekskresikan melalui pernafasan. Untuk mendeteksi C13 menggunakan
spektrometer masa dan C14 dengan scintillation counter.
 Untuk menghindari negatif palsu, penderita tidak dianjurkan
mengkonsumsi H2RA dan PPI selama 1 sampai 2 minggu sebelum test
serta garam bismut dan antibiotik selama 4 minggu sebelum test.
 Untuk mendeteksi H. pylori sebelum pengobatan dan untuk eradikasi paska
pengobatan.
 Hasil biasanya membutuhkan waktu sekitar 2 hari, biayanya lebih murah
dari pada tes yang menggunakan biopsi mukosa lambung, tetapi lebih
mahal daripada tes serologis.

 Serologic Antibody Tests (SAT)1,2,6


 SAT merupakan tes yang banyak tersedia dan murah.
 SAT memiliki sensitifitas 85 % dan memiliki spesifisitas 79 %.
 SAT digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap H.pylori dalam
serum, darah dan urine.
 SAT tidak dianjurkan untuk konfirmasi terapi eradikasi H. Pylori.6
 Didapatkan hasil yang cepat (15 menit ) namun kurang akurat jika di
banding tes laboratorium dengan ELISA.1
 Hasil tidak terpengaruh oleh H2RAs, PPI, antibiotik, atau bismuth.2

 Fecal Antigen Test (FAT)1,2,6


 Tes ini lebih sensitivitas (97,6 %) dan spesifik (96 %) , dibandingkan
dengan Tes UBT pada diagnosis awal. Hal ini berguna dalam diagnosis
infeksi H. pylori dan untuk pemantauan kemanjuran terapi eradikasi.6
 Disamping itu tes ini juga lebih murah dan mudah dari pada UBT.2
 Bisa digunakan untuk tes pada anak-anak1
 Tes ini kurang akurat untuk mendeteksi H. pylori pada eradikasi setelah
pengobatan.1
 Bila Pasien minum obat H2RA, PPI dan Antibiotik dapat menyebabkan
hasil negatif palsu.

10
BAB III
PENATALAKSANAAN

3.1 Tujuan Terapi

Terapi PUD bertujuan untuk menghilangkan gejala ulkus,


menyembuhkan, mencegah kekambuhan, mencegah komplikasi
berhubungan dengan ulkus, memilih regimen obat yang paling efektif dan
efisien biaya.1,6 , eradikasi H. Pylori,menurunkan morbiditas. 15

3.1 Terapi non Farmakologi1,2

 Menghindari stress psikis, merokok, dan penggunaan NSAID (terutama


COX-1).
 Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan dyspepsia dan
gejala ulcer (seperti, makanan pedas, kafein, alcohol).

3.2 Terapi Farmakologi


Skema Management Gastric Ulcer
Gastric Ulcer
(GU)

Hentikan NSAIDs jika menggunakan

H.pylori H.pylori
Dosis penuh PPI positif Test untuk negatif Dosis penuh PPI
selama 2 bulan H.pylori selama 1 atau 2 bulan
Tukak berkaitan
dengan Hasil positif,tukak
penggunaan tidak berkaitan
NSAIDs dengan penggunaan
NSAIDs
Terapi eradikasi

H.pylori Ulcer
positif Endoskopi dan sembuh Pengobatan dengan dosis
Endoscopy
test untuk H.pylori H.pylori negatif rendah jika dibutuhkan
Sembuh

Ulcer tidak Tidak


sembuh, sembuh
H.pylori negatif
Penilaian berkala
(ulcer)

Rujuk ke spesialis Rujuk ke spesialis


Lanjutkan terapi mandiri
(secondary care) (secondary care)

(Diadaptasi dari Dyspepsia: managing dyspepsia in adults in primary care )7

11
1. Pada pasien yang menggunakan NSAID dengan diagnosa Duodenal Ulcer
penggunaan NSAID harus dihentikan (rekomendasi B) 7, pertimbangan
mengurangi dosis atau disarankan substitusi dengan paracetamol, gunakan
alternative analgesic dosis rendah atau ibuprofen dosis rendah (1,2g/hari).
(Rekomendasi C). Pada pasien resiko tinggi (yang sebelumnya pernah
tukak) dan memerkukan terapi lanjutan NSAID, maka substitusi ke
NSAID selektif (COX-2 selective NSAIDs).7
 Pada penelitian meta analisis dengan menggunakan 25 studi
disimpulkan bila sudah terinfeksi H.pylori dan mendapat pengobatan
dengan NSAID dapat menyebabkan peningkatan resiko peptic ulcer
secara signifikan,8 sebesar 3,5 kali lebih cepat menyebabkan terjadinya
PUD9. dan peptic ulcer jarang dijumpai pada H.Pylori negatif dan
tidak menggunakan NSAID.8

2. Dilakukan Test H. pylori carbon-13 urea breath test, stool antigen test.
a. Bila Test H. pylori positif
 ulcer berkaitan dengan pengunaan NSAID
Dilakukan pengobatan PPI dengan dosis penuh selama 2 bulan,
dilanjutkan terapi eradikasi, kemudian dilakukan endoscopy (setelah 6-8
minggu pengobatan) dan test H. pylori kembali menggunakan carbon-13
urea breath test. Bila test H. pylori positif maka kembali ke terapi
eradikasi. Namun bila ulcer tidak sembuh tapi H. pylori negatif dirujuk ke
spesialis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.. Apabila H. pylori
negatif dan ulcer sembuh maka diberikan pengobatan PPI dosis rendah
dengan pemantauan secara berkala dan dilakukan self care. 7
 ulcer tidak berkaitan dengan penggunaan NSAID
Pemberian terapi eradikasi, kemudian dilakukan endoscopy
(setelah 6-8 minggu pengobatan)dan test H. pylori kembali menggunakan
carbon-13 urea breath test. Bila test H. pylori positif maka kembali ke
terapi eradikasi. Namun bila ulcer tidak sembuh tapi H. pylori negatif
dirujuk ke spesialis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.. Apabila
H. pylori negatif tetapi ulcer sembuh maka diberikan pengobatan PPI
dosis rendah dengan pemantauan secara berkala dan dilakukan self care. 7
b. Bila Test H. pylori negatif
Pengobatan dengan PPI dosis penuh selama 1 atau 2 bulan, setelah
itu dilakukan pemeriksaan endoscopy (ketika 6-8 minggu setelah
pengobatan).
 Keadaan pasien membaik atau sembuh maka pasien diberikan PPI
dosis rendah dengan pemantauan secara berkala kemudian
dilanjutkan dengan self care.
 Keadaan pasien tidak membaik atau tidak sembuh maka pasien
dirujuk ke spesialis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. 7

12
Skema Management Duodenal Ulcer
Duodenal Ulcer
(DU)

Hentikan NSAIDs jika menggunakan sebelumnya

Hasil test
PPI dengan dosis positif Hasil test negatif
Test H.pylori
penuh selama 2 bulan Tukak
berhubungan Hasil positif,tukak
dengan tidak berhubungan
penggunaan dengan penggunaan
Ada NSAIDs NSAIDs
respon
Terapi eradikasi

Tidak ada
respon atau
kambuh

PPI dengan dosis


Test ulang
penuh selama 1 atau
H.pylori Negatif Ada 2 bulan
respon
positif
Tidak ada
respon

Terapi dosis rendah bila Eklusi penyebab lain


Terapi eradikasi
Tidak ada diperlukan Tidak ada respon dari DU
respon atau
Ada respon kambuh
Ada respon

Kembali untuk
Periksa ulang.
terapi mandiri
(Diadaptasi dari Dyspepsia: managing dyspepsia in adults in primary care )7

1. Pada pasien yang menggunakan NSAID dengan diagnosa Duodenal Ulcer


penggunaan NSAID harus dihentikan (rekomendasi B) 7, pertimbangan
mengurangi dosis atau disarankan substitusi dengan paracetamol, gunakan
alternative analgesic dosis rendah atau ibuprofen dosis rendah (1,2g/hari).
(Rekomendasi C). Pada pasien resiko tinggi (yang sebelumnya pernah tukak)
dan memerkukan terapi lanjutan NSAID, maka substitusi ke NSAID selektif
(COX-2 selective NSAIDs).7
 Pada penelitian meta analisis dengan menggunakan 25 studi
disimpulkan bila sudah terinfeksi H.pylori dan mendapat pengobatan

13
dengan NSAID dapat menyebabkan peningkatan resiko peptic ulcer
secara signifikan8 sebesar 3 ,5 kali lebih cepat menyebabkan terjadinya
PUD9. dan peptic ulcer jarang dijumpai pada H.Pylori negatif dan
tidak menggunakan NSAID.8

2. Test H. pylori dilakukan dengan menggunakan Carbon-13 UBT, stool antigen


test, test serologi.

a. Hasil test positif


 Ulcer berhubungan dengan penggunaan NSAID
Dilakukan pengobatan PPI dengan dosis penuh selama 2 bulan,
dilanjutkan dengan terapi eradikasi. Untuk mengetahui ada tidaknya
respon eradikasi maka dilakukan pengulangan test H. Pylori dengan
menggunakan Carbon-13 UBT. Bila dari hasil test H. Pylori tersebut
positif dilakukan kembali terapi eradikasi kemudian dilanjutkan terapi
self care.7
 Ulcer tidak berhubungan dengan penggunaan NSAID
Dilakukan terapi eradikasi, kemudian untuk mengetahui ada tidaknya
respon eradikasi maka dilakukan pengulangan test H. Pylori dengan
menggunakan Carbon-13 UBT.Bila dari hasil test H. Pylori tersebut
positif dilakukan kembali terapi eradikasi kemudian dilanjutkan terapi
self care. .7

b. Hasil test negatif


Diberikan pengobatan PPI dengan dosis penuh selama1 atau 2 bulan
 Tidak ada respon
Dilakukan pemeriksaan penyebab lain dari DU melalui
pemeriksaan ulang.
 Terdapat respon
Dilakukan terapi PPI dosis rendah, namun bila tidak terdapat
respon maka dilakukan pemeriksaan penyebab lain dari DU
dengan pemeriksaan ulang. Jika terdapat respon tetap dilakukan
pemeriksaan ulang kemudian diteruskan dengan terapi self
care.7

Dosis PPI yang digunakan untuk terapi PUD11


Nama Obat DU GU
Lansoprazole 15 mg 1 kali sehari (4-8 minggu) 30 mg 1 kali sehari sampai 8
minggu
Omeprazole 20 mg 1 kali sehari (4-8 minggu) 40 mg 1 kali sehari (4-8 minggu)
Rabeprazole 20 mg/hari sebelum makan (4 20 mg/ hari samapi 6 minggu
minggu)
Esomeprazole 20 mg/hari sebelum makan (4 20 mg/ hari (4-8 minggu)
minggu)
Pantoprazole 40 mg 1 kali sehari sampai 8 minngu 20 mg/ hari (4-8 minggu)

14
 Suatu sistematik review yang mengakses data elektronik pada
tahun 2006 menunjukkan bahwa PPI secara signifikan dapat
mengurangi kejadian pendarahan ulang dan pembedahan
dibandingkan dengan H2RA atau placebo serta dapat
mengurangi kematian berkaitan dengan pendarahan tukak
peptic pada pasien resiko tinggi endoskopi.14
 Pada sistematic review, dinyatakan 35 studi memenuhi kriteria
seleksi: 19 uji misoprostol (PA), 9 dari standar dosis H2RA, 3
dosis ganda H2RA dan PPI 5. Misoprostol dan PPI mengurangi
tukak lambung dan duodenum lebih baik dibandingkan
plasebo.16
Terapi Eradikasi

Pada pasien yang menggunakan NSAID yang sebelumya diketahui


menderita PUD . terapi eradikasi H.pylori menurunkan angka kekambuhan PUD.
Pada penelitian tunggal selama 6 bulan, angka kekambuhan menurun dari 18%
menjadi 10% (rekomendasi B).7
Terapi eradikasi H.pylori menurunkan kekambuhan gastrik ulcer pada
pasien yang positif H.pylori. setelah 3-12 bulan, 45% pasien tanpa ulcer yang
yang menerima terapi suppresi asam jangka pendek, eradikasi meningkat sebesar
32%. NNT untuk satu pasien yang mendapatkan benefit dari 3 pasien yang
menerima terapi eradikasi. Dari penelitian menunjukkan adanya manfaat yang
positif dari eradikasi H.pylori akan tetapi besarnya efek tidak konsisten
(rekomendasi AI).7
Terapi eradikasi H.pylori merupakan terapi yang cost-effective untuk
pasien yang positif H.pylori dengan PUD. Terapi eradikasi memberikan tambahan
waktu bebas dari dyspepsia pada acceptable cost pada model yang konservatif dan
lebih banyak cost-savings pada model optimistic (rekomendasi AII).7

Regimen Pengobatan Infeksi H. pylori10

Treatment (10 to 14 days of therapy Cost Convenience Tolerability


recommended) factor
Triple therapy
1. Omeprazole (Prilosec), 20 mg two $260 (LAC†) Twice-daily Fewer significant side effects,
times daily dosing but more abnormal taste
versus other regimens
Or
Lansoprazole (Prevacid), 30 mg two 195 (LAC†‡)
times daily
Plus
Metronidazole (Flagyl), 500 mg two 200 (OAC)
times daily
Or
Amoxicillin, 1 g two times daily 194 (LMC)
Plus
Clarithromycin (Biaxin), 500 mg two 199 (OMC)
times daily

2. Ranitidine bismuth citrate (Tritec), 400 118 (RCT) Twice-daily Increased diarrhea versus

15
mg twice daily dosing other regimens
Plus
Clarithromycin, 500 mg twice daily
Or
Metronidazole, 500 mg twice daily 136 (RCA)
Plus
Tetracycline, 500 mg twice daily 73 (RMT)
Or
Amoxicillin, 1 g twice daily 92 (RMA)
Quadruple therapy
3. Bismuth subsalicylate (Pepto Bismol), 142 (BMT§ plus 18 pills daily More side effects; increased
525 mg four times daily/2 tablets four H2R†) nausea versus other regimens
times daily
Plus
Metronidazole, 250 mg four times daily 87 (BMT
[separately] plus
H2R†)
Plus
Tetracycline, 500 mg four times daily
Plus
H2RA for 28 days
4. Bismuth subsalicylate, 525 mg four 206 (BMT plus PPI) 18 pills daily Increased nausea
times daily/2 tablets four times daily
Plus
Metronidazole, 250 mg four times daily
Plus
Tetracycline, 500 mg four times daily 153 (BMT
separately] plus PPI)
Plus
PPI for 14 days
LAC = lansoprazole, amoxicillin, clarithromycin; OAC = omeprazole, amoxicillin, clarithromycin; LMC =
lansoprazole, metronidazole, clarithromycin; RCT= ranitidine bismuth citrate, clarithromycin, tetracycline;
RCA = ranitidine bismuth citrate, clarithromycin, amoxicillin; RMT=ranitidine bismuth citrate,
metronidazole, tetracycline; RMA = ranitidine bismuth citrate, metronidazole, amoxicillin; BMT = bismuth
subsalicylate, metronidazole, tetracycline; H2RA = histamine H2-receptor antagonist; PPI = proton pump
inhibitor.

 Pada Meta analisa dan systematic review dari penelitian RCT


untuk terapi eradikasi pada pasien PUD H. pylori positif dengan
short and long-term treatment
 Dalam penyembuhan DU, terapi eradikasi lebih efektif dari
pada ulcer Healing drug (UHD) (34 percobaan, 3910 pasien,
risiko relatif (RR) dari ulkus bertahan = 0,66, 95% confidence
interval (CI) 0,58-0,76) dan pengobatan tidak ada ( dua
percobaan, 207 pasien, RR 0,37, 95% CI 0,26-0,53).
 Dalam penyembuhan GU, tidak ada perbedaan signifikan yang
terdeteksi antara terapi eradikasi dan UHD (15 percobaan, 1974
pasien, RR 1,23, 95% CI 0,90-1,68).
 Dalam mencegah kekambuhan DU tidak ada perbedaan yang
signifikan antara terapi eradikasi dan terapi pemeliharaan
dengan UHD (empat percobaan, 319 pasien, ulkus berulang RR
0,73, 95% CI 0,42-1,25), tetapi terapi eradikasi lebih efektif
daripada tidak ada pengobatan (27 percobaan 2509 pasien, RR
0,20, 95% CI 0,15-0,26).

16
Dari penelitian diatas peneliti menyimpulkan bahwa terapi
eradikasi efektif dalam waktu 1-2 minggu untuk pengobatan PUD
yang disebabkan dari H.pylori.13

Dosis H2RA yang digunakan untuk terapi PUD:11


DU GU
Cimetidine 400 mg saat bedtime 300-600 mg seiap 6 jam
Famotidine 20 mg/hari saat bedtime 40 mg/hari saat bedtime
Nizatidine 300 mg saat bedtime atau 150 150 mg 2x sehari atau 300mg
mg 2 kali sehari saat bedtime
Ranitidine 150 mg 1 x sehari saat bedtime 150 mg 1 x sehari saat bedtime
 Pada Sistematic review, terdapat 35 studi memenuhi kriteria
seleksi: 19 uji misoprostol (PA), 9 dari dosis standar H2RA, 3
dosis ganda H2RA dan PPI 5. Dosis standar H2RA dibandingkan
dengan plasebo lebih efektif untuk pengobatan ulkus duodenum.16

BAB IV
MEKANISME KERJA OBAT

1. Amoxicillin
Menghambat sintesis dinding sel dengan mengikat satu atau lebih
protein penicillin sehingga menghambat langkah transpeptidasi sisntesis
peptidoglikan di dinding sel bakteri yang pada akhirnya terjadi
penghambatan biosintesis dinding sel.11

17
(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 12)

2. Clarithomycin
Efek bakteriostatik oleh Clarithromycin melalui ikatan reversible
Clarithromicin dengan ribosom subunit 50S yang menyebabkan hambatan
pada reaksi transpeptidase, translokasi, inhibisi pada sintesis protein, dan
inhibisi pertumbuhan sel sehingga menghambat perkembangbiakan sel.
11,18

3. Metronidazole
Ketika masuk ke dalam mikroorganisme , metronidazole
berinteraksi dengan DNA mikroorganisme tersebut sehingga
menyebabkan hilangnya struktur DNA helix dan kerusakkan yang
menyebabkan penghambatan sintesis protein dan kematian sel.11

18
(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 12)

4. Tetrasiklin
Tetrasiklin menghambat sintesis protein melalui ikatan dengan
ribosom subunit 30S sehingga menghambat ikatan t-RNA dengan asam
amino dalam proses sintesis protein bakteri.

19
(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 12)

5. PPI
Menekan asam lambung dan merangsang sekresi asam dengan
menghambat sel parietal H+ K+ Pompa ATP yang akan memecah KH
ATP. Dalam hal ini pemecahan KH ATP akan menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanakuli sel parietal ke dalam
lumen lambung. 5,11

20
Mekanisme Kerja Proton Pump Inhibitor (PPI)
(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 12)

6. Misoprostol
Derifat prostaglandin semisintetik yang mempunyai stabilitas yang
lebih besar dari pada prostaglandin alami sehingga memungkinkan untuk
memberian secara oral, seperti merilis prostaglandin lokal, meningkatkan
produksi lender dan menghambat sekresi asam.12 Menghambat produksi
asam dengan cara berikatan dengan reseptor EP3 pada sel-sel parietal.
Ikatan prostaglandin dengan reseptor menyebabkan penghambatan adenilil
siklase dan penurunan kadar AMP siklik intrasel. PGE juga dapat
mencegah terjadinya luka lambung berkat efek sitoprotektifnya, yang
meliputi stimulasi sekresi musin dan bikarbonat serta peningkatan aliran
dara mukosa.17
Misoprostol 200 mcg 4 kali sehari secara peroral, dapat mereduksi
resiko GU dan DU karena induksi NSAID dan komplikasi pendarahan GI
tetapi untuk pasien yang menderita diare dank ram perut harus dibatasi
penggunaannya1
 Pada clinical trial secara luas member keuntungan untuk pasien
Rematoid atritis, bukti yang kuat menyatakan bahwa misoprostol
dapat mereduksi resiko serius pada komplikasi GI bagian atas pada
pasien resiko tinggi1

21
Mekanisme Kerja Misoprostol
(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 1

 Pada Cochrane, diidentifikasi dari 8 trial dengan jangka waktu 3


sampai 24 bulan membandingkan misoprostol dengan placebo.
 Misoprostol efektif dalam menurunkan resiko dari GU (RR:
0.28, 95%, Cl: 0.17-0.47;Q: p=0.0015;size: p=0.76).
 Dosis tinggi misoprostol (800 µg/ hari) dapat memberikan
efficacy yang besar tetapi juga memberikan efek samping
yang besar dan withdrawal dari pada dosis yang rendah
(400 µg/ hari). Tidak seperti H2RA dan PPI, misoprostol
secara signifikan berhubungan dengan terjadinay diare,
nausea,dan nyeri perut. Keseluruhan 27% pasien pada
penelitian eksperimen yang besar satu atau lebih terjadi
efek samping.7
 RCT dari 8.843 pasien, misoprostol 800mcg/hari dapat mengurangi
komplikasi serius dari gastrointestinal 1,5% /tahun dapat direduksi
40%, dari angka kejadian tersebut, penurunan resiko absolute
0.38% (95%Cl: 0.57% - 0.95%)7
 Pada sistematic review, dinyatakan 35 studi memenuhi kriteria
seleksi: 19 uji misoprostol (PA), 9 dari standar dosis H2RA, 3
dosis ganda H2RA dan PPI 5. Misoprostol dan PPI mengurangi
tukak lambung dan duodenum lebih baik dibandingkan plasebo.16

7. H2RA
H2 reseptor antagonis bekerja dengan cara menghambat sekresi
dari asam lambung. Histamin, dilepaskan dari sel mast, terikat pada
reseptor H2 dan mengaktivasi adenilat siklase dan juga meningkatkan
cAMP (cyclic adenosin monophospate) intrasel. Peningkatan dari cAMP
mengaktivasi proton pump sel parietal untuk mensekresi ion hidrogen
melawan gradien konsentrasi untuk bertukar dengan ion K+. H2 reseptor
antagonis menginhibisi secara kompetitif dan selektif kerja dari histamin

22
di reseptor H2 pada sel parietal, sehingga menurunkan basal dan stimulasi
dari sekresi asam lambung. 2,12

Mekanisme kerja H2 Receptor Antagonist (H2RA)


(Diambil dari: Color Atlas of Pharmacology 12)

Efek antagonis reseptor-H2 yang paling menonjol adalah sekresi


asam basal, selain itu adalah supresi produksi asam yang distimulasi (oleh
makanan, gastrin, hipoglikemia, atau stimulasi vagus), yang walau efeknya
tidak begitu besar tetapi tetap signifikan. Oleh karena itu, terutama efektif
dalam menekan sekresi asam dimalam hari (nokturnal), yang
menggambarkan aktifitas utama sel parietal basal.17 H2 reseptor antagonis
dapat diberikan jika pasien tidak memberikan respon terhadap terapi PPI.
Hal ini didasarkan karena beberapa pasien secara individual lebih
memberikan respon terhadap H2 reseptor antagonis dibandingkan PPI
(Rekomendasi B).3
 4 percobaan 3-12 bulan dengan menggunakan full dose H2
reseptor antagonis (ranitidine 150mg/hari) dengan placebo
dalam mereduksi kejadian ulcer yang dideteksi oleh
endoscopy. Dosis tersebut dapat mereduksi resiko GU (RR:
0.74, Cl95% 0.54-1.01;Q: p=0.69,size:n/a). laju DU pada
kontrol sebesar 6% dan H2RA dapat mereduksi sebesar
3.9% (CI95%: -0.6%-8,4%; Q: p=0.05,size:n/a)7
 3 percobaan 3-12 bulan dengan menggunakan H2 reseptor
antagonis dosis ganda dengan placebo dalam mereduksi
resiko GU (RR:0.44, CI95%: 0.26-0.73,Q; p=0.97,size:n/a)
laju DU pada kontrol sebesar 14% dan H2RA dapat
mereduksi sebesar 3.9% (CI95%: -0.6%-8,4%; Q:
p=0.05,size:n/a)7

23
8. Antasida
Produk antasida mengandung baik sodium bikarbonat, aluminium
hidroksida, magnesium hidroksida, kalsium karbonat, aluminium fosfat,
atau kombinasi dari agen-agen ini. Antasida meredakan nyeri epigastrik
dan menyembuhkan ulkus peptik dengan cara memberikan efek
sitoprotektif, menetralisir asam lambung, dan menstimulasi ketahanan
mukosa lambung. efek sitoprotektif dari antasida mungkin berhubungan
dengan efek stimulasi prostaglandin yang ikut dalam meningkatkan
ketahanan mukosa lambung.2
Al yang terkandung dalam antasida dapat menekan H.pylori dan
merubah defense mukosa. Efek samping GI yang secara umum tegantung
pada besarnya dosis. Mg dapat menyebabkan diare osmotik dan Al
menyebabkan konstipasi.1
Mg seharusnya tidak boleh diberikan pada pasien dengan CIcr < 30
ml/menit terkait dengan gangguan sekresinyaa sehingga terjasi toksisitas.1

24
BAB III
STUDI KASUS

25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah:
1. Ulkus peptikum atau tukak lambung merupakan gangguan penyakit yang
disebabkan kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa sampai lapisan
otot saluran cerna yang disebabkan aktifitas pepsin dan asam lambung.
Umumnya terjadi pada bulbus duodenum dan kurvatura minor, dapat juga
mengenai esofagus sampai usus halus.
2. Kebanyakan PUD terjadi karena hipersekresi asam dan pepsin yang dapat
dipicu NSAID, H. pylori, dan faktor lainnya (kerusakan mukosa yang
disebabkan karena stress/ SRMD) sehingga dapat merusak pertahanan
mukosa normal dan mekanisme pertahanan diri. Dan faktor risiko
disebabkan oleh H. pylori, NSAID,merokok, faktor psikologi (stres),
faktor makanan dan minuman, penyakit yang berhubungan dengan PUD.
3. Patofisiologi dipengaruhi oleh keseimbangan fisiologi antara sekresi asam
lambung dan pertahanan mukosa saluran cerna. Sebaliknya pada PUD
terdapat ganguan keseimbangan antara faktor agresif (asam lambung,
pepsin, garam empedu, H. pylori, dan NSAID) dan mekanisme defensif
mukosa (aliran darah mukosa, mukus, sekresi bikarbonat mukosa, sel
mukosa restitusi, dan pembaruan sel epitel).
4. Diagnosa dan pemeriksaan penunjang dari peptic ulcer gejala PUD yang
paling sering terjadi adalah rasa sakit pada bagian perut (sering pada
bagian epigastric) dan terasa seperti terbakar, tapi bisa berupa ketidak
nyamanan yang tidak jelas, perut terasa penuh, atau kram dan pemeriksaan
penunjang meliputi tes laboratorium, radiologi, endoscopy, dan tes
H.pylori.
5. Manifestasi klinik
6. Penatalaksaan peptic ulcer dapat dilakukan dengan terapi non farmakologi
dan terapi farmakologi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brashers, V. L. (2003). Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

1. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.
Pharmacotherapy: a patophysiologic approach. 7th ed. New York: McGraw-
Hill; 2008
2. Koda-Kimble MA, Young LY, Kradjan WA, Guglielmo BJ, Alldredge BK,
Corelli RL,et al. Applied therapeutics: The Clinical Used of Drug. 9th
ed.Lippincots; William & Wilkins.
3. North of England Dyspepsia Guideline Development Group. Dyspepsia:
managing dyspepsia in adults in primary care. Newcastle Upon Tyne: Crown;
2004.
4. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, longo DL, Jameson JL.
Harrison’s manual of medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
5. Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalam jilid II edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001
6. Kumar P, Clark M. Clinical Medicine. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Limited;
2009
7. National Institute for Clinical Excellence. Dyspepsia: management of
dyspepsia in adults in primary care. London: National Institute for Health and
Clinical Excellence; 2004
8. Huang JQ, Sridhar S, Hunt RH. Role of Helicobacter pylori infection and non-
steroidal anti-inflammatory drugs in peptic-ulcer disease: a meta-analysis.
Hamiton, lancet [abstract ] Canada: Division of Gastroenterology, Department
of Medicine, McMaster University Medical Center; 2002[ cited 2011 Nov 20]
Jan 5;359(9300):14-22. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11809181
9. Huang JQ, Sridhar S, Hunt RH. Role of Helicobacter pylori infection and non-
steroidal anti-inflammatory drugs in peptic-ulcer disease: a meta-analysis.
Lancet 2002;359:14–22. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11809181
10. Meurer LN, Bower DJ, American Family Phisician. Medical College of
Wisconsin, Milwaukee, Wisconsin 2002 [cited 2011 Nov 20]
Apr 1;65(7):1327-1337. Available from: URL:
http://www.aafp.org/afp/2002/0401/p1327.html
11. Lacy CF, Amstrong LL, Goldman MP, Lance LL. Drug information
handbook. 20th ed. New York: Levi-Comp; 2011-2012.
12. Lullmann H, Ziegler A, Mohr K, Bieger D. Color atlas of pharmacology.
New York:Thieme;2000
13. Gisbert, J.P. and Pajares, J.M. Systematic review and meta-analysis: is 1-week
proton pump inhibitor-based triple therapy sufficient to heal peptic ulcer?
Alimentary Pharmacology & Therapeutics. 2005;21(7):795-804. [cited 2011
Nov18]; Available flom: URL:

27
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD003840.pub4/abstrac
t
14. Leontiadis GI, Srredharan A, Dorward S, Barton P, Delaney B, Howden CW,
et al. Systematic reviews of the clinical effectiveness and cost-effectiveness of
proton pump inhibitors in acute upper gastrointestinal bleeding: [abstract].
2007 Dec [cited 2011 Nov 18]; 11(51):iii-iv,1-164. Available from: URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18021578
15. Anand BS. Peptic Ulcer Disease Medication. M3dscape reference Drug,
Disease & Procedures. Updated: Jun 20, 2011 [cited 2011 Nov 18]; Available
from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/181753-medication
16. Rostom A. Therapeutics Review: misoprostol, double dose H2 receptor
antagonists, and proton pump inhibitors reduce GI ulcers in long term NSAID
use. (2000) Cochrane Database Syst Rev 2000;(4):CD002296. (latest version
21 Aug 2000) [cited 2011 Nov 18]; Available from: URL:
http://ebm.bmj.com/content/6/3/88.full
17. Joel G.H, Lee E.L, editor. Goodman dan Gilman. Dasar Farmakologi Terapi.
Vol.1. Penerbit buku Kedokteran. EGC. Jakarta. 2007
18. Sweetman SC. Martindale: the complete drug reference. 36th ed. London:
Pharmaceutical Press; 2009

28

Anda mungkin juga menyukai