Anda di halaman 1dari 20

 Asas peradilan cepat :

1. Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan


dari penyidik
2. Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada
penuntut umum oleh penyidik
3. Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke
pengadilan oleh penuntut umum
4. Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
5. Pelimpahan berkas perkara banding oleh pengadilan negeri ke
pengadilan tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan
banding. (Pasal 326).
6. 7 hari setelah perkaranya diputus pada tingkat banding,
pengadilan tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri.
(Pasal 234 ayat (1)
7. 14 hari dari tanggal permohonan kasasi pengadilan negeri harus
sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk
diperiksa dalam tingkat kasasi. (Pasal 248).
8. 7 hari setelah putusan kasasi, Mahkamah Agung harus sudah
mengembalikan hasil putusannya ke pengadilan negeri. (Pasal 257).

 Asas sederhana dan biaya ringan:

9. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan


ganti rugi secara perdata oleh korban atas kerugiannya kepada
terdakwa.
10. Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi.
11. Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.
12. Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang
ditangani oleh aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih
(overlapping).

 Asas sederhana, cepat dan biaya ringan :

Empat putusan dibawah ini tidak dapat dimintakan banding, dan


ketentuan ini sangat menguntungkan terdakwa sekaligus
merupakan acara yang sederhana, cepat dan biaya ringan. (Pasal
67). yakni :

Putusan bebas (vrijspraak),
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van
rechtsvervolging).
c. Kurang tepatnya penerapan hukum, dan
d. Putusan pengadilan dalam acara cepat.

1. Asas Praduga Tak Bersalah.

Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga
tak bersalah atau “presumtion of innocent” terdapat dalam penjelasan
umum butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.
14 Tahun 1970.

Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.

Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang


tersangka atau terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian,
karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani kewajiban
untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Asas praduga tak bersalah jika ditinjau dari segi teknik penyidikan
dinamakan “prinsip akusatur” atau “accusatory procedure (accusatorial
system)`. Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan yakni :
 Tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subyek pemeriksaan,
karena itu harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan
sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat serta harga
diri.
 Obyek pemeriksaan adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa.

Asas praduga tak bersalah, merupakan pedoman aparat penegak hukum


untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan
dengan membuang jauh-jauh cara-cara pemeriksaan yang “inkusitur”
atau “inquisitorrial system” yang menempatkan tersangka/terdakwa
dalam setiap pemeriksaan sebagai obyek, sehingga dapat diperlakukan
dengan semena-mena dengan mengabaikan harkat dan martabat
tersangka/terdakwa sebagai manusia.
1. Asas Opportunitas.

Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum


untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan
kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya,
seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di
negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak
menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan.
1. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk Umum

“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang


dan menyatakan terbuka untuk Umum kecuali dalam perkara kesusilaan
atau terdakwannya anak-anak”. Walaupun sidang dinyatakan secara
tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.
1. Asas Keseimbangan.

Asas Keseimbangan dijumpai dalam kosideran huruf c


yang menyatakan dengan tegas bahwa dalam setiap penegakan hukum
harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara dua
kepentingan, yakni :
1. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM),
dengan
2. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.

Sebelum KUHAP berlaku, aparat penegak hukum berorientasi pada


kekuasaan semata yakni sebagai “alat kekuasaan” atau “instrument of
power”. Penegak hukum mempunyai wewenang yang tidak terbatas dan
sama sekali tidak mengindahkan harkat dan martabat manusia (HAM).

Penahanan yang tidak ada batasnya dan dapat melampaui masa


hukuman yang sedianya dijatuhkan, penyiksaan untuk memaksakan
pengakuan tersangka maupun saksi merupakan pemandangan yang
sudah sangat biasa pada waktu itu.

Perlindungan harkat dan martabat tersangka sebagai manusia sangat


terabaikan syarat dengan tekanan-tekanan pisik maupun mental.

Setelah kehadiran KUHAP, maka harkat dan martabat tersangka sebagai


manusia mulai memperoleh perhatian dan perlindungan, aparat
penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang melakukan penangkapan
dan penahanan atas seseorang yang diduga melakukan
perbuatan/tindak pidana.

Pasal 17 KUHAP memaksa penyidik jika akan melakukan penangkapan


orang yang diduga telah melakukan perbuatan/tindak pidana, maka
terlebih dahulu harus ada “bukti permulaan yang cukup” bukan
berdasarkan suka atau tidak suka “like or dislike”.

Penjelasan pasal tersebut menegaskan, bahwa perintah


penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi
ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana.

Penegasan ini merupakan peringatan bagi penyidik, sebelum


mengeluarkan perintah atau melakukan penangkapan harus terlebih
dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang benar-benar dapat mendukung
kesalahan perbuatan yang dilakukan oleh calon tersangka melalui
penyelidikan.

Demikian dengan tersangka/terdakwa juga diberi hak dan sekaligus


merupakan kewajiban penyidik setelah melakukan penangkapan, apabila
pejabat penegak hukum melakukan penahanan kepada
tersangka/terdakwa, sejak semula orang yang ditahan dan keluarganya :
1. wajib diberitahu alasan penahanan dan sangkaan atau dakwaan
yang dipersalahkan kepadanya;
2. keluarga yang ditahan harus segera diberitahukan tentang
penahanan serta tempat dimana ia ditahan;
3. tersangka/terdakwa maupun keluarganya diberitahu dengan pasti
berapa lama ia ditahan di masing–masing tingkat pemeriksaan.
Dengan berlakunya KUHAP sudah seharusnya system penyelidikan dan
penyidikan menggunakan metode ilmiah atau “scientific crime
detection” yang juga dapat diartikan sebagai “teknik dan taktis
penyidikan kejahatan”.

Meskipun KUHAP telah melindungi harkat dan martabat manusia (HAM),


tetapi di dalam prakteknya masih saja banyak terdapat penyidik yang
masih menggunakan metode sebelum diberlakukan KUHAP yaitu
metode memaksa pengakuan tersangka yang dituangkan dalam berita
acara pemeriksaannya (BAP).

Faktor-faktor yang masih mendorong adanya penganiayaan, pemerasan


pada tersangka dengan mengabaikan per-lindungan pada harkat dan
martabat tersangka sebagai manusia (HAM), karena masih dipakainya
pengakuan tersangka sebagai salah satu alat bukti.
1. Asas Legalitas.

Pelaksanaan penerapan KUHAP seharusnya bersumber pada the rule of


law, artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan
pada :
1. Ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
2. Menempatkan kepentingan hukum dan undang–undang diatas
segala-galanya.

Bertentangan dengan asas legalitas, KUHAP-pun menganut asas


“oportunitas” yaitu suatu asas yang mengenyampingkan atau
“mendeponir” perkara dengan tidak mengajukan kepengadilan
meskipun bukti-bukti telah memenuhi syarat-syarat hukum.

Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan Nomor 15/ 1961, sekarang


diatur dalam pasal 32 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI. No. 5 tahun
1991 memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk
mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara berdasarkan alasan
“Demi Kepentingan Umum” selain itu kewenangan untuk mendeponir
dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan KUHAP
mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas tersebut.

Disisi lain berdasarkan pasal 140 ayat (2) huruf a KU-HAP, dihubungkan
dengan pasal 14, menentukan semua perkara yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus
menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum.

Sedangkan pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut


umum untuk menutup suatu perkara berdasarkan “demi kepentingan
hukum” dan bukan “demi kepentingan umum”.

Kedua ketentuan hukum tersebut diatas merupakan ketentuan yang


saling bertentangan, disatu pihak Kejaksaan Agung diberi wewenang
untuk mengenyampingkan/mendeponir suatu perkara demi kepentingan
Umum suatu asas “oportunitas”, sedangkan dipihak lain penuntut umum
diberi wewenang untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara
“demi kepentingan hukum” (asas legalitas).
1. Asas Equal Before the law (Perlakuan Yang sama didepan
Hukum)

Asas Ini merupakan salah 1 manipestasi dari negara Hukum ( Rechistaat)


Sehingga harus ada perlakuan Yang sama bagi setiap orang didepan
Hukum (gelijkeid van ieder voor de wet).
1. Asas Bantuan Hukum

Asas bantuan Hukum ditegaskan pada penjelasan Umum angka 3 huruf f


KUHAP dengan redaksional Bahwa :

“setiap orang yang tersangkut Perkara wajib diberi kesempatan


memperoleh bantuan Hukum yang semata-mata diberikan Untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.

Sedangkan Asas bantuan Hukum dalam Bab VII pasal UU 4/2004


Dirumuskan dengan redaksional. “setiap Orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum,”
1. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan

Hukum acara pidana tidak mengenal pemeriksan perkara pidana dengan


cara mewakilkan dan memeriksa secara tertulis sebagaimana halnnya
dalam hukum perdata.
1. Asas ganti Rugi dan rehabilitasi
Dapatlah disebut bahwa kalau seseorang tertangkap ditahan dan di
tuntut atau diadili tampa alasan berdasarkan Undang-undang atau
karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan Hukum,
wajib wajib memperoleh Rehabilitasi.

ASAS DALA< HUKUM PIDANA

2. Asas-Asas Teritorial
Menurut asas teritorial, berlakunya undan-undang pidana suatu Negara
semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau perbuatan pidana
dilakukan, dan tempat tersebut harus terletak didalam territorial atau wilayah Negara
yang bersangkutan. Simons mengatakan bahwa berlakunya asas territorial ini
berdasarkan atas kedaulatan Negara sehingga setiap orang wajib dan taat kepada
perundang-undangan Negara tersebut.
Pasal 2 KUHP merumuskan: aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia.
Perkataan setiap orang mengandung arti baik Warga Negara Indonesia maupun orang
asing yang berada di Indonesia. Dalam hal melakukan perbuatan, tedapat
kemungkinan bahwa perbuatannya sendiri tidak di Indonesia, tetapi akibatnya terjadi
di Indonesia, misalnya misalnya saja seseorang yang dari luar negeri mengirimkan
peket berisi bom dan meledak serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia. Hal
ini akan dibicarakan lagi nanti mengenai teori-teori locus delicti (tempat terjadinya
delik atau tindak pidana) dalam membicarakan lebih lanjut tentang tindak pidana.
Teritorial Indonesia diperluas dengan pasal 3 KUHP yang semula
mengatakan bahwa ketentuan pidana itu berlaku juga bagi setiap orang yang diluar
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam perahu Indonesia.berhubung dengan
perkembangan zaman, malalui UU No. 4 Tahun 1976, maka Pasal 3 tersebut diubah
dan berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”
3. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)
Menurut asas ini peraturan hukum pidana Indonesia berfungsi untuk
melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap gangguan dari setiap orang di luar
Indonesia terhada kepentingan hukum Indonesia itu. Hal ini diatur dalam
Pasal 4 KUHP (setelah diubah dan ditambah berdasarkan undang-undang nomer 4
Tahun 1976) ‘Ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan diluar indonesia:
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104,106,107,108, dan 131.
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang
dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh pemerintah indonesia.
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah indonesia, termasuk pula pemalsuan
tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat sertifikat itu dan
tanda yang digunakan sebagai pengganti surat tersebut.
4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal-pasal 438, 444
sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan 479 huruf J
tentang penguasaan pesawat udara dengan melawan hukum dan pasal 479
huruf L,m,n, dan o tentang keselamatan penerbangan sipil.

Tidak semua kepentingan hukum dilindungi, melainkan hanya kepentingan


yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umumbaik yang bersifat nasional
dan internasional yaitu yang berwujud:
1. Terjaminnya keamanan Negara dan kepala Negaradan wakilnya, pasal 4
ke 1 HUHP
2. Terjaminnya keprcayaan terhadap mata uang, materai dan merek yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dari kejahatan pemalsuan,
Pasal 4 ke 2 KUHP.
3. Terjaminnya terhadap surat uangm sertifikat utang, yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia, Pasal 4 ke 3 KUHP.
4. Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan dibawa
ke dalam kekuasaan bajak laut, Pasal 4 ke 4 KUHP.
Disini kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum
dan luas, dan bukan kepentingan pribadi. Dengan demikian dikatakan bahwa
sebenarnya kepentingan pribadi warga Negara Indonesia sendiri kurang mendapat
perlindungan di luar negeri. Secara teoritis dapat terjadi munhgkn sekali orang asing
(X) yang menganiaya warga Negara Indonesia (Y) di Negara orang itu, belum
tertangkap dan melarikan diri ke Indonesia, polisi Indonesia tidak dapa berbau
apa-apa walaupun (X) kebetulan bertemu dengan (Y) di Indonesia dan melaporkan
peristiwanya kepada polisi Indonesia.

4. Asas Personalitas Aktif


Menurut asas ini ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap warga Negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia. Untuk mereka yag
melakukan di wilayah Indonesia telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2
KUHP.
Pasal 5 KUHP berisi ketentuan tersebut, tetapi dengan pembatasan tertentu,
yaitu jika yang dilakukan adalah perbuatan diatur di dalam:
1. Bab I dan II Buku Kedua KUHP, yaitu kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden,
Pasal 104-139.
2. Pasal 160,161 (menghasut di muka umum untuk menentang penguasa
umum), Pasal 240 (berkaitan dengan melakukan kewajiban sebgai warga
Negara seperti waji militer, dan sebagainya), Pasal 279 (berkaitan dengan
perkawinan yang dilarang), Pasal 450-451 (yang berkaitan dengan
pembajakan laut).
3. Perbuatan yang menurut perundang-undangan di Indonesia temasuk
kejahatan dan menurut ketentuan di Negara itu dapat dipidana.
Tidak menjadi soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam pidana
oleh negara tempat perbuatan itu dilakukan.Dipandang perlu kejahatan yang
membahayakan kepentingan negara Indonesia dipidana.
Sedangkan hal itu tidak tercantum didalam hukum pidana di Luar negeri.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi negara republik Indonesia, tetapi
sekiranya tidak termuat dalam hukum pidana dari negara asing sehingga
pelaku-pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatannya dilakukan
diwilayah negara asing itu, sedangkan apabila kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh
warga negara Indonesia, orang itu dianggap layak dihukum juga meskipun kejahatan
dilakukan di wilayah Negara asing. Lain halnya denga golongan kejahatan yang
tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua.

Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana Negara


asing kalau dilakukan disana. Apabila kejahatan itu disana dilakukan oleh warga
Negara Indonesia, dan orang itu mencari perlindungan di wilayah Indonesia,
kemungkinan besar orang itu oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kepada
pemerintah Negara asing yang bersangkutan.
Ketentuan di butir terakhir itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua
Negara mengadakan pembagian antara kejahatan dan pelanggaran seperti halnya di
Indonesia sehingga ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk kejahatan (Buku
Kedua) saja dan dinegara itu sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Ketentuan ini
juga berlaku untuk seseorang yang baru menjadi warga Negara Indonesia setelah
melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 6 KUHP memberikan sedikit pelunakan, yaitu “Berlakunya pasal 5
ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhi pidana mati, jika
menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya
tidak diancamkan pidana mati”.
Tetapi ada sedikit pembahasan, yang termuat dalam pasal 6 KUHP, yang
menentukan, bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di
Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan, menurut hukum pidana Negara asing
yang bersangkutan, tidak diancam dengan hukuman mati.
Indonesia tidak akan menyerahkan warganya untuk diadili di luar negeri, ketentuan
ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia.

Pasal 7 KUHP mengancam pejabat Indonesia yang ada di luar Indonesia


melakukan perbuatan seperti yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP
(menyangkut kejahatan jabatan).
5. Asas Universal
Untuk ikut serta memelihara ketertiban dunia, KUHP Indonesia juga mengatur
tentang dapat dipidanya perbuatan-perbuatan seperti pembajakan di laut, meskipun
berada di luar kendaraan air, jadi di laut bebas. Kejahatan demikian ini lazim disebut
sebagai asas universal karena bersifat mendunia dan tidak membeda-bedakan warga
Negara apa pu, yang penting adalah terjaminnya ketertiban dan keselamatan dunia.
Selanjutnya Pasal 9 KUHP menyatakan “bahwa berlakunya Pasal 2, 5, 7 dan
8 KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui di dalam hukum
internasional”. Misalnya saja hukum internasional mengakui adanya kekebalan atau
imunitas diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala Negara asing,
dutabesar dan para diplomat juga personel angkatan perang Negara asing yang berada
di Indonesia atas izin pemerintah Indonesia.

Menurut Moeljatno pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi:


a. Kepala Negara beserta keluarga dari negara sahabat, dimana
mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukumnasional suatu negara tidak
berlaku bagi mereka.
b. Duta besar negara asing beserta keluarganya.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung kesuatu
negara sekalipun berada di luar kapal. Menurut Hukum internasional kapal
perang adalah teritorial negara yang mempunyainya.
d. Tentara negara asing yang berada dalam wilayah negara dengan
persetujuan negara itu.
6. Asas Apabila ada perubahan dalam Undang-Undang Setelah peristiwa itu
terjadi maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi si
Tersangka
Asas ini di dasarkan pada pasal 1 ayat 2 KUHP yang mengatakan
bahwa“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhdap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
mengutungkannya”.
Misalnya : Seorang yang disangka melakukan pidana korupsi pada tahun
1998 dan diancam hukuman oleh undang-undang No. 31 Tahun 1971 dengan
ancaman hukuman 10 tahun, maka pada saat proses persidangan pada tahun 1999
tiba-tiba pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang
mengancam perbuatan tersebut dengan hukuman ancaman 20 tahun. Maka sesuai
dengan asasnya dipakailha ketentuan yang paling rigan bagi terdakwa.

7. Asas Hukum Pidana Khusus Mengesampingkan Hukum


Pidana Umum (Lex Specialis derogart legi Generalis)

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasanya perbuatan pidana khusus


mengesampingkan hukum pidana umum itu didasarkan pada pasal 103 KUHP yang
berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

B. ANALISIS
1. Asas Legaliatas
Terdapat beberapa pengertian di dalam asas legalitas tersebut, yaitu:
a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut
undang-undang.
b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
c. Tidakk dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
f. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Tujuan asas legalitas adalah:
a. Menegakkan kepastian hukum
b. Mencegah kesewenang-wenangan penguasa.
Asas legalitas ini terdapat dalam KUHP pasal 1 ayat 1
2. Asas Teritorial
Asas territorial menekankan pada daerah atau wilayah dimana hukum pidana itu berlaku. Ini
merupakan yang paling pokok dan juga merupakan asas yang paling tua. Asas wilayah/territorial ini
menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik diwilayah Negara tempat berlakunya hukum pidana,
tunduk pada hokum pidana itu. Yang menjadi patokan adalah tempat dan wilayah sedangkan orangnya tidak
dipersoalkan. Dan asas ini tercantum pada pasal 2 KUHP.
3. Asas Nasionalitas Pasif
Asas Nasionalitas pasif ialah asas yang dimana tiap-tiap Negara yang bedaulat pada umumnya
berhak melindungi kepentingan hukumnya. Dengan demikian UU hokum pidana Indonesia dapat
diberlakukan terhadap siapapun, baik warga Negara maupun bukan warga Negara yang melakukan
pelanggaran terhadap kepentingan hukum Negara Indonesia atau Negara yang berdaulat dimana pun
terutama di luar negeri. Misalanya, melakukan kejahatan penting terhadap keamanan Negara serta kepala
Negara Indonesia (pasal 104-108KUHP) .
Asas nasionalitas pasif diatur dalam pasal 4 dan pasal 8.
4. Asas personalitas/nasionalitas aktif
Asas nasioalitas aktif menitik beratkan pada kewarganegaraan pembiat hukum pidana yang
mengikuti kewarganegaraanya kemana pun ia berada.Inti dari asas ini tercantum pada pasal 5, pasal 6, pasal
7 KUHP.
5. Asas Universal
Asas ini melihat hhukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang
ang dilindungi disini adalah kepentingan dunia atau hukum internasional. Jenis kejahatan yang dicantumkan
pidana menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi kepentingan
dunia.
Disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi
pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa. Asas ini tercantum dalam pasal 9, dan
berlakunya pasal 2, 5, 7, 8, dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hokum internasional.
6. Asas Apabila Ada Perubahan dalam UU Setelah Peristiwa Itu Terjadi Maka
Dipakailah Ketentuan yang Paling Menguntungkan pada Si Tersangka.
Yang dimaksud dalam asas ini bahwa seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman dengan perundang-undangan yang berlaku
pada saat itu, aka tetapi setelah menjalani hukuman tiba-tiba ada undang-undang yang
baru yang lebih memberatkan si terdakwa maka dipakailah yang paling
menguntungkan baginya. Asas ini terdapat pada pasal 1 ayat 2 KUHP.
7. Asas Hukum Pidana Khusus Mengesampingkan Hukum Pidana Umum
Dikarenakan sumber hukum pidana ada dua jenis yaitu yang terkodifkasi dan
yang tidak, dimana undang-undangnya tidak terkodofikasi seperti misalanya orang
yang melakukan pidana korupsi yang diberlakukan adalah undang-undang korupsi
(lex specialis). Asas ini terdapat pada pasal 103 KUHP

C. KESIMPULAN
Asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana dapat dibedakan menurut waktu
dan tempat berlakunya. Menurut waktunya, dalam hukum pidana terdapat asas
legalitas yang memberikan kepastian hukum terhadap seseorang yang dipidana jika
tidak ada peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Sedangakan menurut tempat berlakunya atau wilayahnya diibedakan menjadi
empat yaitu:
1. asas territorial,
2. asas nasionalitas aktif,
3. asas nasionalitas pasif, dan
4. asas universal.
Dimana asas tersebut diberlakukan pada warga Negara ataupun warga Negara
asing yang berada dalam wilayah atau Negara yang berdaulat dapat dikenakan hukum
pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Khusus


Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang
berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum
Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun dari segi Hukum Pidana
Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau
Hukum Tindak Pidana Khusus.

Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku


terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang
tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan
berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus
ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum.

Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:

1. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)


2. Tindak Pidana Korupsi
3. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika
4. Tindak Pidana Perpajakan
5. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)
7. Tindak Pidana Anak

2. Asas-Asas Teritorial

Menurut asas teritorial, berlakunya undan-undang pidana suatu


Negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau
perbuatan pidana dilakukan, dan tempat tersebut harus terletak didalam territorial
atau wilayah Negara yang bersangkutan. Simons mengatakan bahwa berlakunya asas
territorial ini berdasarkan atas kedaulatan Negara sehingga setiap orang wajib dan
taat kepada perundang-undangan Negara tersebut.

Pasal 2 KUHP merumuskan: aturan pidana dalam


perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana di Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik Warga Negara
Indonesia maupun orang asing yang berada di Indonesia. Dalam hal melakukan
perbuatan, tedapat kemungkinan bahwa perbuatannya sendiri tidak di Indonesia,
tetapi akibatnya terjadi di Indonesia, misalnya misalnya saja seseorang yang dari luar
negeri mengirimkan peket berisi bom dan meledak serta membunuh orang ketika
dibuka di Indonesia. Hal ini akan dibicarakan lagi nanti mengenai teori-teori locus
delicti (tempat terjadinya delik atau tindak pidana) dalam membicarakan lebih lanjut
tentang tindak pidana.

Teritorial Indonesia diperluas dengan pasal 3 KUHP yang semula


mengatakan bahwa ketentuan pidana itu berlaku juga bagi setiap orang yang diluar
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam perahu Indonesia.berhubung dengan
perkembangan zaman, malalui UU No. 4 Tahun 1976, maka Pasal 3 tersebut diubah
dan berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang


yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”

3. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)

Menurut asas ini peraturan hukum pidana Indonesia berfungsi untuk


melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap gangguan dari setiap orang di
luar Indonesia terhada kepentingan hukum Indonesia itu. Hal ini diatur dalam Pasal 4
KUHP (setelah diubah dan ditambah berdasarkan undang-undang nomer 4 Tahun
1976) ‘Ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan diluar indonesia:

1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104,106,107,108,


dan 131.

2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang


dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang
dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh pemerintah indonesia.

3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan


suatu daerah atau bagian daerah indonesia, termasuk pula pemalsuan tanda
deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat sertifikat itu dan tanda
yang digunakan sebagai pengganti surat tersebut.

4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal-pasal 438, 444


sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan 479 huruf J
tentang penguasaan pesawat udara dengan melawan hukum dan pasal
479 huruf L,m,n, dan o tentang keselamatan penerbangan sipil.

Tidak semua kepentingan hukum dilindungi, melainkan hanya


kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umumbaik yang bersifat
nasional dan internasional yaitu yang berwujud:

1. Terjaminnya keamanan Negara dan kepala Negaradan wakilnya, pasal 4


ke 1 HUHP

2. Terjaminnya keprcayaan terhadap mata uang, materai dan merek yang


telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dari kejahatan pemalsuan, Pasal 4 ke 2
KUHP.

3. Terjaminnya terhadap surat uangm sertifikat utang, yang dikeluarkan oleh


pemerintah Indonesia, Pasal 4 ke 3 KUHP.

4. Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan dibawa


ke dalam kekuasaan bajak laut, Pasal 4 ke 4 KUHP.

Disini kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat


umum dan luas, dan bukan kepentingan pribadi. Dengan demikian dikatakan bahwa
sebenarnya kepentingan pribadi warga Negara Indonesia sendiri kurang mendapat
perlindungan di luar negeri. Secara teoritis dapat terjadi munhgkn sekali orang asing
(X) yang menganiaya warga Negara Indonesia (Y) di Negara orang itu, belum
tertangkap dan melarikan diri ke Indonesia, polisi Indonesia tidak dapa berbau
apa-apa walaupun (X) kebetulan bertemu dengan (Y) di Indonesia dan melaporkan
peristiwanya kepada polisi Indonesia.

4. Asas Personalitas Aktif

Menurut asas ini ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap warga
Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia. Untuk mereka yag
melakukan di wilayah Indonesia telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2 KUHP.
Pasal 5 KUHP berisi ketentuan tersebut, tetapi dengan pembatasan
tertentu, yaitu jika yang dilakukan adalah perbuatan diatur di dalam:

1. Bab I dan II Buku Kedua KUHP, yaitu kejahatan terhadap keamanan Negara
dan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 104-139.

2. Pasal 160,161 (menghasut di muka umum untuk menentang penguasa


umum), Pasal 240 (berkaitan dengan melakukan kewajiban sebgai warga Negara
seperti waji militer, dan sebagainya), Pasal 279 (berkaitan dengan perkawinan yang
dilarang), Pasal 450-451 (yang berkaitan dengan pembajakan laut).

3. Perbuatan yang menurut perundang-undangan di Indonesia temasuk


kejahatan dan menurut ketentuan di Negara itu dapat dipidana.

Tidak menjadi soal apakah kejahatan-kejahatan tersebut diancam


pidana oleh negara tempat perbuatan itu dilakukan.Dipandang perlu kejahatan yang
membahayakan kepentingan negara Indonesia dipidana.

Sedangkan hal itu tidak tercantum didalam hukum pidana di Luar


negeri.

Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi negara republik Indonesia, tetapi


sekiranya tidak termuat dalam hukum pidana dari negara asing sehingga
pelaku-pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatannya dilakukan diwilayah
negara asing itu, sedangkan apabila kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh warga
negara Indonesia, orang itu dianggap layak dihukum juga meskipun kejahatan
dilakukan di wilayah Negara asing. Lain halnya denga golongan kejahatan yang
tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua.

Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana


Negara asing kalau dilakukan disana. Apabila kejahatan itu disana dilakukan oleh
warga Negara Indonesia, dan orang itu mencari perlindungan di wilayah Indonesia,
kemungkinan besar orang itu oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kepada
pemerintah Negara asing yang bersangkutan.

Ketentuan di butir terakhir itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak


semua Negara mengadakan pembagian antara kejahatan dan pelanggaran seperti
halnya di Indonesia sehingga ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk kejahatan
(Buku Kedua) saja dan dinegara itu sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Ketentuan
ini juga berlaku untuk seseorang yang baru menjadi warga Negara Indonesia setelah
melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 6 KUHP memberikan sedikit pelunakan, yaitu “Berlakunya
pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhi pidana mati,
jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya
tidak diancamkan pidana mati”.

Tetapi ada sedikit pembahasan, yang termuat dalam pasal 6 KUHP, yang
menentukan, bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di
Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan, menurut hukum pidana Negara asing
yang bersangkutan, tidak diancam dengan hukuman mati.

Indonesia tidak akan menyerahkan warganya untuk diadili di luar negeri, ketentuan
ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia.

Pasal 7 KUHP mengancam pejabat Indonesia yang ada di luar Indonesia


melakukan perbuatan seperti yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP
(menyangkut kejahatan jabatan).

5. Asas Universal

Untuk ikut serta memelihara ketertiban dunia, KUHP Indonesia juga


mengatur tentang dapat dipidanya perbuatan-perbuatan seperti pembajakan di laut,
meskipun berada di luar kendaraan air, jadi di laut bebas. Kejahatan demikian ini
lazim disebut sebagai asas universal karena bersifat mendunia dan tidak
membeda-bedakan warga Negara apa pu, yang penting adalah terjaminnya
ketertiban dan keselamatan dunia.

Selanjutnya Pasal 9 KUHP menyatakan “bahwa berlakunya Pasal 2, 5,


7 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui di dalam hukum internasional”.
Misalnya saja hukum internasional mengakui adanya kekebalan atau imunitas
diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala Negara asing, dutabesar dan
para diplomat juga personel angkatan perang Negara asing yang berada di Indonesia
atas izin pemerintah Indonesia.

Menurut Moeljatno pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi:

a. Kepala Negara beserta keluarga dari negara sahabat, dimana mereka


mempunyai hak eksteritorial. Hukumnasional suatu negara tidak berlaku bagi
mereka.

b. Duta besar negara asing beserta keluarganya.


c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung kesuatu negara
sekalipun berada di luar kapal. Menurut Hukum internasional kapal perang
adalah teritorial negara yang mempunyainya.

d. Tentara negara asing yang berada dalam wilayah negara dengan


persetujuan negara itu.

6. Asas Apabila ada perubahan dalam Undang-Undang Setelah peristiwa itu terjadi
maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi si Tersangka

Asas ini di dasarkan pada pasal 1 ayat 2 KUHP yang mengatakan


bahwa “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhdap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
mengutungkannya”.

Misalnya : Seorang yang disangka melakukan pidana korupsi pada


tahun 1998 dan diancam hukuman oleh undang-undang No. 31 Tahun 1971 dengan
ancaman hukuman 10 tahun, maka pada saat proses persidangan pada tahun 1999
tiba-tiba pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang
mengancam perbuatan tersebut dengan hukuman ancaman 20 tahun. Maka sesuai
dengan asasnya dipakailha ketentuan yang paling rigan bagi terdakwa.

7. Asas Hukum Pidana Khusus Mengesampingkan Hukum Pidana


Umum (Lex Specialis derogart legi Generalis)

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasanya perbuatan pidana


khusus mengesampingkan hukum pidana umum itu didasarkan pada pasal 103 KUHP
yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

B. ANALISIS

1. Asas Legaliatas

Terdapat beberapa pengertian di dalam asas legalitas tersebut, yaitu:

a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut


undang-undang.
b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.

c. Tidakk dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.

d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).

e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.

f. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.

g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Tujuan asas legalitas adalah:

a. Menegakkan kepastian hukum

b. Mencegah kesewenang-wenangan penguasa.

Asas legalitas ini terdapat dalam KUHP pasal 1 ayat 1

2. Asas Teritorial

Asas territorial menekankan pada daerah atau wilayah dimana hukum pidana itu
berlaku. Ini merupakan yang paling pokok dan juga merupakan asas yang paling tua.
Asas wilayah/territorial ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik
diwilayah Negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hokum pidana itu.
Yang menjadi patokan adalah tempat dan wilayah sedangkan orangnya tidak
dipersoalkan. Dan asas ini tercantum pada pasal 2 KUHP.

3. Asas Nasionalitas Pasif

Asas Nasionalitas pasif ialah asas yang dimana tiap-tiap Negara yang bedaulat pada
umumnya berhak melindungi kepentingan hukumnya. Dengan demikian UU hokum
pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap siapapun, baik warga Negara maupun
bukan warga Negara yang melakukan pelanggaran terhadap kepentingan hukum
Negara Indonesia atau Negara yang berdaulat dimana pun terutama di luar negeri.
Misalanya, melakukan kejahatan penting terhadap keamanan Negara serta kepala
Negara Indonesia (pasal 104-108KUHP) .

Asas nasionalitas pasif diatur dalam pasal 4 dan pasal 8.

4. Asas personalitas/nasionalitas aktif

Asas nasioalitas aktif menitik beratkan pada kewarganegaraan pembiat hukum pidana
yang mengikuti kewarganegaraanya kemana pun ia berada.Inti dari asas ini tercantum
pada pasal 5, pasal 6, pasal 7 KUHP.

5. Asas Universal
Asas ini melihat hhukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan
ruang orang ang dilindungi disini adalah kepentingan dunia atau hukum internasional.
Jenis kejahatan yang dicantumkan pidana menurut asas ini sangat berbahaya tidak
hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi kepentingan dunia.

Disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak


tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
Asas ini tercantum dalam pasal 9, dan berlakunya pasal 2, 5, 7, 8, dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian dalam hokum internasional.

6. Asas Apabila Ada Perubahan dalam UU Setelah Peristiwa Itu Terjadi Maka
Dipakailah Ketentuan yang Paling Menguntungkan pada Si Tersangka.

Yang dimaksud dalam asas ini bahwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
dan telah dijatuhi hukuman dengan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu,
aka tetapi setelah menjalani hukuman tiba-tiba ada undang-undang yang baru yang
lebih memberatkan si terdakwa maka dipakailah yang paling menguntungkan
baginya. Asas ini terdapat pada pasal 1 ayat 2 KUHP.

7. Asas Hukum Pidana Khusus Mengesampingkan Hukum Pidana Umum

Dikarenakan sumber hukum pidana ada dua jenis yaitu yang terkodifkasi dan yang
tidak, dimana undang-undangnya tidak terkodofikasi seperti misalanya orang yang
melakukan pidana korupsi yang diberlakukan adalah undang-undang korupsi (lex
specialis). Asas ini terdapat pada pasal 103 KUHP

C. KESIMPULAN

Asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana dapat dibedakan menurut waktu dan
tempat berlakunya. Menurut waktunya, dalam hukum pidana terdapat asas legalitas
yang memberikan kepastian hukum terhadap seseorang yang dipidana jika tidak ada
peraturan perundang-undangn yang berlaku.

Sedangakan menurut tempat berlakunya atau wilayahnya diibedakan menjadi empat


yaitu:

1. asas territorial,

2. asas nasionalitas aktif,

3. asas nasionalitas pasif, dan

4. asas universal.
Dimana asas tersebut diberlakukan pada warga Negara ataupun warga Negara asing
yang berada dalam wilayah atau Negara yang berdaulat dapat dikenakan hukum
pidana

Anda mungkin juga menyukai