Anda di halaman 1dari 9

UJPH 4 (2) (2015)

Unnes Journal of Public Health


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

PROFIL STATUS GIZI BALITA DITINJAU DARI TOPOGRAFI WILAYAH


TEMPAT TINGGAL (STUDI DI WILAYAH PANTAI DAN WILAYAH
PUNGGUNG BUKIT KABUPATEN JEPARA)

Cholida Auliya , Oktia Woro K.H, Irwan Budiono

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil serta perbedaan status gizi balita yang bertempat
Diterima Februari 2015 tinggal di wilayah pantai dan punggung bukit. Jenis penelitian adalah Deskriptif kuantitatif dengan
Disetujui Februari 2015 pendekatan Cross Sectional.Pengambilan sampel menggunakan teknik insidental sampling yang
Dipublikasikan bertempat tinggal di wilayah pantai kecamatan Mlonggo dan wilayah punggung bukit kecamatan
April 2015 Kembang Kabupaten Jepara.Sampel penelitian berjumlah 30 balita wilayah pantai dan 30 balita
________________ wilayah punggung bukit. Hasil uji Mann-Whitney diperoleh hasil signifikansi p-value 0,59 untuk
Keywords: status gizi balita, p-value 0,51 untuk Tingkat Konsumsi Energi, p-value 0,02 untuk Tingkat Konsmsi
toodler’s nutition status, Protein, p-value 0,48 untuk tingkat ketersediaan pangan sumber energi dan p-value 0,25 untuk
topografy, coastral, ridge tingkat ketersediaan pangan sumber protein. Terdapat perbedaan Tingkat Konsmsi Protein balita
____________________ dan tidak terapat perbeaan pada variabel status gizi, tingkat konsums energi, tingkat keterseiaan
pangan sumber energi, dan tingkat ketersediaan pangan sumber protein antara wilayah pantai dan
wilayah punggung bukit di Kabupaten Jepara tahun 2013.

Abstract
___________________________________________________________________
This study aims to determine the profile and differences in nutritional status of toddlers who reside in coastal
and ridge areas. This research was a descriptive quantitative with Cross-sectional approach. Sampling was
done by incidental sampling technique. The population in this study were toddler who reside in coastal areas of
Mlonggo Districts and who reside in ridgeareas of Kembang districts in Jepara. The samples were 30 toodler
in coastral area and 30 toddlers in ridge area. Results of Mann-Whitney test obtained p-value 0.59 for the
nutritional status, p-value 0.51 for Energy Consumption level, p-value 0.02 for Protein consumption Levels, p-
value 0.48 food availabilityof energy sources and the p-value of 0.25 food availability of protein sources. There
was a difference of protein consumption toddler and there was not difference nutritional status, Energy
Consumption level, food availabilityof energy sources level, food availability of protein sources level on Jepara
in 2013.
© 2015 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6528
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: Cholida192@gmail.com

108
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

PENDAHULUAN

Kekurangan dan kelebihan gizi pada gizi (baik gizi kurang atau gizi lebih). Salah satu
masa pertumbuhan dan perkembangan faktor tersebut adalah pola konsumsi pangan
menyebabkan bentuk pertumbuhan dan penyakit infeksi. Pola makan atau pola
menyimpang, baik secara fisik meliputi ukuran konsumsi pangan seringkali dipengaruhi oleh
tubuh, tinggi badan dan berat badan maupun tingkat ketersediaan makanan dan sikap
tingkat kecerdasannya. Gizi yang baik berperan terhadap makanan tersebut. Tingkat
penting dalam mencapai pertumbuhan badan ketersediaan makanan dipengaruhi oleh jenis
yang optimal, termasuk pertumbuhan otak yang dan jumlah bahan makanan yang tersedia,
sangat menentukan kecerdasan seseorang kemampuan atau daya beli serta jumlah anggota
sehingga dampak akhir dari konsumsi gizi yang keluarga. Masih terdapat adanya menu
baik dan seimbang adalah meningkatnya makanan dalam keluarga yang kurang bervariasi
kualitas sumber daya manusia (Khomsan, dan sedikit mengesampingkan masalah gizi
2003:14). Pemeriksaan status gizi masyarakat makanan (Retnaningsih Ch, dkk, 2011). Pola
pada prinsipnya merupakan upaya untuk makan serta pola konsumsi tersebut dapat
mencari kasus malnutrisi dalam masyarakat, dipengaruhi oleh ketersediaan pangan atau
terutama pada mereka yang terbilang golongan bahan makanan yang ada. Perbedaan geografi
rentan. Mereka yang tergolong rentang dalam dan topografi juga dapat memberikan ciri
masyarakat adalah wanita hamil dan menyusui, khusus pada pola pangan serta ketersediaan
bayi dan anak balita, dan keluarga atau orang bahan pangannya. Adanya perbedaan pola
yang kebutuhannya tak tercukupi oleh sistem pangan dan produksi pangan tersebut dapat
distribusi makanan yang lazim (Arisman, berpengaruh terhadap status gizi masyarakat,
2004:199). begitu juga terhadap status gizi balita.
Berdasarkan hasil penimbangan pada Kabupaten Jepara merupakan daerah
tahun 2012, prevalensi gizi buruk balita di Jawa dengan luas wilayah 1.004,132 km2 dan
Tengah berdasarkan berat badan terhadap tinggi ketinggian 0 sampai 1000 meter dari permukaan
badan berjumlah 1.131 (0,06%), sedangkan air laut. Kabupaten Jepara terbagi atas 16
balita dengan gizi kurang (BB/U) sebesar 4,88% wilayah kecamatan dan 194 Desa yang terbagi
(Dinkes Jawa Tengah, 2012). Di Kabupaten menjadi empat wilayah berdasarkan topografi
Jepara, masalah gizi masih ditemukan dimana yaitu 2 Desa lembah/Daerah Aliran Sungai, 24
pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Provinsi Desa Lereng Punggung/Bukit, 141 Desa
Jawa Tengah mencatat terdapat 70 (21,34%) Dataran, dan 27 Desa Pantai (BPS Kabupaten
kasus baru gizi buruk. Jumlah tersebut Jepara, 2010). Setiap wilayah tersebut
merupakan kasus baru terbanyak se-Provinsi mempunyai lingkungan yang berbeda satu sama
Jawa Tengah dibandingkan Kabupaten/Kota lain ditinjau dari keadaan geografis, sumber
lain (BPS Provinsi Jateng, 2012). Selain itu, daya, perairan, suhu, iklim, cuaca, kesuburan
Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara mencatat tanah, dan keadaan kesehatan lingkungan. Hal
berdasarkan berat badan terhadap umur ini menyebabkan perbedaan dalam jenis
terdapat 414 balita (2,51%) mengalami gizi komoditi pangan yang dihasilkan dan pangan
buruk dan 1877 balita (11,39%) mengalami gizi yang tersedia pada daerah-daerah tersebut
kurang. Berdasarkan indikator berat badan (Santoso, S dan Anne Lies Ranti,1999:90).
terhadap tinggi badan, 1154 balita (7,0%) Daerah perbukitan dominan akan
dengan indikator kurus dan 116 balita (0,7%) sayur-mayur, palawija, dan hasil perkebunan.
lainnya sangat kurus (Dinkes Kab. Jepara, Perbedaan jenis komoditi ini menyebabkan
2012). perbedaan jenis dan jumlah pangan yang biasa
Terdapat beberapa faktor yang dikonsumsi sehari-hari.Masyarakat di daerah
mempengaruhi status gizi maupun gangguan pantai yang sebagian besar adalah nelayan

109
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

cenderung mengkonsumsi makanan sumber Akan tetapi, pada balita keluarga nelayan
protein hewani yang berasal dari laut, tingkat konsumsi energi dan protein lebih
sedangkan masyarakat di daerah perbukitan rendah jika dibandingkan dengan balita pada
(dataran tinggi) yang sebagian besar adalah keluarga tani. Tingkat konsumsi energi dan
petani sawah atau ladang cenderung protein defisit pada balita keluarga nelayan (9%
mengkonsumsi makanan sumber protein nabati. dan 12%) lebih besar dibandingkan balita
Daerah pantai dominan akan produksi ikan dan keluarga tani (4,2% dan 1,4%), hal ini berarti
hasil laut, hal ini meyebabkan di daerah pantai konsumsi energi dan protein balita pada
cenderung mengkonsumsi ikan segar dan hasil keluarga tani lebih tinggi dibandingkan balita
olahannya yang kaya dengan asam lemak pada keluarga nelayan.
omega-3 dan omega-6. Asam essensial ini Dengan permasalahan tersebut peneliti
mempunyai peranan penting dalam peningkatan ingin mengetahui profil status gizi balita ditinjau
kecerdasan anak (Khomsan, 2003:4). pada topografi wilayah tempat tinggal di
Tingkat konsumsi energi dan protein kabupaten jepara.
merupakan salah satu indikasi yang
memperlihatkan terpenuhinya gizi seseorang, METODE
kelompok, maupun masyarakat. Konsumsi
energi dan protein dikatakan terpenuhi apabila Jenis penelitian yang digunakan adalah
%AKG (Angka Kecukupan Gizi) lebih dari kuantitatif deskriptif dengan pendekatan cross
100% AKG dan dikatakan defisit apabila sectional. Penelitian ini dilakukan di Desa Jambu
kurang dari 70% AKG (Supariasa, 2002:144). dan Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo serta
Di Kabupaten Jepara tingkat konsumsi energi Desa Sumanding dan Desa Dudakawu
pada keluarga masih defisit, dimana tingkat Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara.
konsumsi energinya hanya 65,51% AKG Pengambilan sampel dalam penelitian ini
(Dinkes Kab. Jepara, 2012). dilakukan dengan teknik Sampling
Ketersediaan pangan yang berbeda Insidental.Sampel dalam penelitian ini adalah 60
berpengaruh terhadap konsumsi gizinya responden yaitu 30 balita di wilayah antai dan
sehingga berpengaruh pula terhadap status gizi 30 balita di wilayah unggung bukit. Instrumen
dari balita yang bertempat tinggal di wilayah yang digunakan adalah kuesioner dan angket.
tersebut. Perbedaan status gizi balita Analisis data dilakukan secara univariat dan
diperlihatkan dari hasil penelitian yang bivariat.Analisis bivariat dilakukan dengan uji
dilakukan oleh Sri Khayati (2011:79,80) dan Evi Mann Whitney.
Lutviana (2010:47,48), dari hasil penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa status gizi buruk
pada balita keluarga nelayan (8%) lebih besar
dibandingkan dengan balita pada keluarga tani
(4,2%).

110
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Analisis Data Penelitian


Wilayah
Variabel Kategori N P Value Kriteria
Pantai Punggung Bukit
Status Gizi Buruk 3 -
Tidak Ada
Kurang 5 5
Beda
Baik 20 25 60 0,59
Nyata
2 -
Lebih
Tingkat Konsumsi Baik 17 18
Tidak Ada
Energi Balita Sedang 8 11
Beda
Kurang 3 1 60 0,51
Nyata
2 -
Defisit
Tingkat Konsumsi Baik 23 29
Protein Balita Sedang 2 1 Ada Beda
Kurang 5 - 60 0,02 Nyata
- -
Defisit
Tingkat Ketersediaan Baik 16 12
Tidak Ada
Pangan Sumber Sedang 6 9
Beda
Energi Keluarga Kurang 4 6 60 0,48
Nyata
4 3
Defisit
Tingkat Ketersediaan Baik 24 28
Tidak Ada
Pangan Sumber Sedang 5 2
Beda
Protein Keluarga Kurang 1 - 60 0,25
Nyata
- -
Defisit

Status Gizi Balita wilayah punggung bukit. Balita status gizi


kurang sebesar 16,7% (10 balita) yang meliputi 5
Status gizi merupakan keadaan tubuh balita di wilayah pantai dan 5 balita di
sebagai akibat konsumsi makanan dan punggung bukit. Untuk balita dengan status gizi
pengunaan zat gizi, dimana zat gizi sangat lebih hanya terdapat pada wilayah pesisir
dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber energi, dengan jumlah sebesar 2 responden (3,3%).
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, Balita di masing-masing wilayah telah
serta pengatur proses tubuh (Almatsier, terpenuhi akan zat gizinya. Rata-rata balita
2003:3,8). Khususnya bagi balita, zat gizi sangat makan 3 kali sehari dengan makanan utama
penting karena mempengaruhi pertumbuhan berupa nasi serta lauk seperti ikan, tahu, tempe,
maupun perkembangan yang dapat berpengaruh telur, dan lain-lain. Terdapat beberapa balita
terhadap kehidupan yang akan datang. dengan konsumsi makanan utama rendah akan
Dari hasil penelitian status gizi balita tetapi kebutuhannya tetap terpenuhi karena
didaerah pantai maupun daerah punggung bukit rata-rata balita masih mengkonsumsi sasu
relatif baik. Hal ini ditunjukkan dari hasil formula sebagai pemenuhan zat gizinya. Rata-
univariat yaitu balita berstatus gizi baik sebesar rata sebagian besar balita telah terbenuhi zat
75% (45 balita) dengan 66,7% (20 Balita) gizinya baik di wilayah pantai maupun
bertempat tinggal di wilayah pesisir dan punggung bukit, hal ini terlihat dari angka
diwilayah punggung bukit sebesar 83,3% (25 kecukupan gizi balita yang rata-rata berkategori
Balita). Sedangkan balita dengan status gizi baik.
buruk sebesar 5% (3 balita) di wilayah pantai Nasi memang merupakan konsumsi
dan tidak terdapat balita berstatus gizi buruk di terbesar dalam menyumbang energi, baik di

111
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

wilayah pantai maupun di wilayah lereng bukit. dengan porsi susunya yang sedikit, sehingga
Seperti yang didapatkan oleh ch. Retnaningsih cenderung membuat konsumsi susu semakin
dalam penelitiannya di wilayah Ungaran Barat banyak dan protein yang dikonsumsipun
Semarang yang memperlihatkan bahwa 62,37% semakin banyak.
gizi kalori responden sehari-hari didapatkan dari
konsumsi nasi. Tingkat Ketersediaan Pangan Sumber Energi
Dan Protein Keluarga
Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Balita
Terpenuhinya konsumsi energi dan protein
Angka kecukupan energi balita terbanyak balita juga diakibatkan karena tiap keluarga
dari semua responden adalah berkategori baik telah dapat memperoleh bahan makanan yang
yaitu sebesar 58,33% (35 balita) dengan 17 dibutuhkan oleh balita tersebut serta semua
balita di wilayah pantai/pesisir dan 18 balita di anggota keluarga. Masing-masing keluarga tidak
wilayah punggung bukit. Sedangkan sisanya kesulitan dalam memperoleh berbagai jenis
31,67% (19 Balita) kategori sedang dengan 8 bahan makanan yang dibutuhkan dikarenakan
balita di wilayah pantai/pesisir dan 11 balita di akses memperolehnya yang mudah. Selain
wilayah punggung bukit, 6,67% (4 Balita) mendapatkan dengan membeli dari pedagang
berkategori Kurang dengan 3 balita diwilayah keliling, warung, atau pasar, sebagian besar
pantai/pesisir dan 1 balita diwilayah punggung keluarga di wilayah punggung bukit mempunyai
bukit, dan 3,33% (2 balita) kategori Defisit lahan sendiri yang menghasilkan berbagai jenis
hanya terapat di wilayah pantai/pesisir. Kurang bahan makanan seperti sayur mayur berupa
terpenuhinya akan kecukupan energi ini lebih kacang panjang, bayam, dan lain-lain juga jenis
disebabkan karena balitanya sendiri lebih lain seperti kelapa, singkong, jagung bahkan
cenderung pilih-pilih makanan yang lebih sebagian memperoleh bahan pokok seperti beras
mereka sukai. Sebagai contoh, beberapa balita dari sawah yang dimiliki sendiri atau hasil bagi
lebih suka makan mie instan dari pada nasi menggarap sawah orang lain. Begitupun
padahal jumlah energi yang terkandung dalam 1 keluarga yang bertempat tinggal di wilayah
bungkus mie instan lebih sedikit dibandingkan pantai/pesisir, pemenuhannya aka kebutuhan
dengan 1 piring nasi, selain itu ada beberapa bahan pangan telah mudah didapatkan selain
balita yang hanya makan lauknya saja dan tidak lokasi yang dekat dengan pasar tradisional,
mau mengkonsumsi nasinya. wilayah desa tersebut juga terdapat area
Dari kebiasaan itu mengakibatkan tingkat persawahan yang luas serta akses menuju laut
kecukupan protein lebih tinggi dibandingkan yang mudah.
dengan tingkat kecukupan energi. Tingkat Sebagian keluarga telah memiliki tingkat
konsumsi protein baik pada balita sebesar ketersediaan bahan pangan sumber energinya
86,67% dengan jumlah balita sebanyak 52 dan protein yang baik aka tetapi masih terapat
responden. Sedangkan balita dengan tingkat beberapa keluarga yang tingkat keterseiaan
konumsi protein berkategori sedang hanya 5% bahan pangannya kurang bakan defisit.
dan kurang sebesar 8,33% serta tidak ada balita Keluarga yang memiliki tingkat ketersediaan
dengan kategori defisit. Kegemaran balita akan pangan sumber energi baik sebesar 46,67% atau
makanan yang berasa berpengaruh besar sebesar 28 keluarga sudah dapat memenuhi
terhadap konsumsi merekan. Makanan lauk kebutuhan akan energi anggota keluarganya,
pauk seperti ikan goreng, tempe goreng, telor yang meliputi 16 keluarga di wilayah
goreng yang kaya akan protein lebih digemari pantai/pesisir dan 12 keluarga di wilayah
balita, selain itu konsumsi susu formula juga punggung bukit, 25% keluarga memiliki tingkat
berpengaruh besar terhadap angka kecukupan ketersediaan sumber energi sedang, 16,67%
pada balita karena susu formula mengantung keluarga memiliki tingkat ketersediaan sumber
protein yang cukup besar bila dibandingkan energi kurang, serta keluarga dengan tingkat

112
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

ketesediaan pangan sumber energi defisit wilayah lereng punggung bukit/pegunungan


sebesar 11,66%. Terdapatnya keluarga dengan sudah terpenuhi akan kebutuhan akan zat gizi,
ketersediaan pangan sumber energi defisit ini seperti karbohidrat yang sebagian besar
disebabkan tidak semua anggota keluarga didapatkan dari nasi maupun sumber lain
mengkonsumsi makanan di rumah, khususnya seperti mie instan telah dikonsumsi dengan baik
bagi aggota keluarga yang bekerja. Hal ini tentu sehingga rata-rata berat badan balita adalah
saja menjadikan jumlah bahan makanan normal. Selain itu pola konsumsi makanan
berkurang dan tidak sesuai jika dibandingkan antara balita dikedua wilayah tersebut hampir
dengan jumlah kebutuhan seluruh anggota sama. Hal tersebut terlihat dimana sebagian
keluarga. besar balita mengkonsumsi makanan yang rata-
Hal tersebut juga berlaku terhadap tingkat rata disukai oleh balita seperti mie instan, selain
ketersediaan pangan sumber protein. Keluarga itu konsumsi susu formula juga mempengaruhi
dengan pemenuhan akan protein lebih tinggi jumlah zat gizi balita tersebut dikarenakan susu
dibandingkan dengan keluarga dengan formula yang cenderung mengandung energi
pemenuhan energinya. Keluarga dengan tingkat dan protein yang sama serta frekuensi konsumsi
ketersediaan pangan sumber protein baik yang hampir sama yaitu sekitar 3-4 kali sehari.
sebesar 86,67% atau sebanyak 52 keluarga Konsumsi seperti itu yang mengakibatkan
dengan jumlah keluarga yang hampir sama konsumsi zat gizi balita di wilayah pantai dan
yaitu 24 keluarga di wilayah pantai dan 28 punggung bukit cenderung sama.
keluarga diwilayah punggung bukit. Keluarga Status gizi balita dipengaruhi oleh
dengan ketersediaan pangan sumber protein beberapa faktor. Faktor-faktor determinan
tingkat seda;ng sebesar 11,66%, tingkat kurang tersebut antara lain tingkat konsumsi energi,
sebesar 1,67% dan tidak ada keluarga dengan tingkat konsumsi protein, penyakit infeksi, pola
tingkat defisit. asuh, jumlah anggota keluarga, tingkat
pendapatan keluarga, tingkat pengetahuan ibu
Perbedaan Status Gizi, Tingkat Konsumsi tentang gizi, pendidikan ibu. Selain itu kondisi
Energi Dan Protein Balita Serta Tingkat tempat tinggal juga mempengaruhi antara lain
Ketersediaan Pangan Sumber Energi Dan letak geografis dan jarak fasilitas atau pelayanan
Protein Keluarga Ditinjau Dari Topografi kesehatan. Faktor yang secara langsung
Wilayah Tempat Tinggal mempengaruhi status gizi balita diantaranya
adalah tingkat konsumsi energi dan tingkat
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi protein. Seperti yang diungkapkan
letak topografi tempat tinggal tidak memberikan oleh Chairunnisa dan Ahmad Syauqy bahwa
perbedaan pada status gizi balita. Hal ini asupan energi dan protein berpengaruh terhadap
dibuktikan dalam analisis bivariat memperoleh status gizi balita, yang berarti bahwa semakin
nilai p=0,59> 0,05. Berdasarkan hasil analisis tinggi asupan energi dan protein maka status
tersebut diketahui bahwa sebanyak 66,7% (20 gizi anak akan semakin baik. Energi merupakan
Balita) yang bertempat tinggal di wilayah pesisir zat yang digunakan untuk metabolisme basal,
berstatus gizi baik dan diwilayah punggung aktivitas, pertumbuhan maupun pembuangan
bukit sebesar 83,3% (25 Balita). sisa makanan (eliminasi).Protein merupakan zat
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan pembangun yang dibutuhkan untuk
penelitian yang dilakukan oleh Sri Tuti Listari pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak dan
(2012). Penelitian yang dilakukan di wilayah memelihara keseimbangan metabolisme
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara tersebut tubuh.Kebutuhan protein bagi balita relatif lebih
menyatakan bahwa tidak ada beda antara status besar dari orang dewasa, karena balita
gizi balita di daerah pantai dan di daerah mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pegunungan. Tidak adanya perbedaan tersebut yang pesat.
dikarenakan balita di wilayah pantai maupun

113
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

Tingkat konsumsi energi balita diperoleh juga ditanami oleh sumber pangan lain berupa
dari banyaknya konsumsi zat energi, dalam hal kacang-kacangan dan jagung. Di desa wilayah
ini yaitu karbohidrat yang dikonsumsi setiap punggung bukit di Kecamatan Kembang
harinya. Energi yang didapatkan tergantung Kabupaten Jepara yang meliputi Desa
dari seberapa banyak jumlah yang dikonsumsi Sumading dan Desa Dudakawu sebagian besar
serta jenis sumber dari karbohidrat itu sendiri, bahan pokok diperoleh dari hasil lahan sendiri,
karbohidrat paling banyak dikonsumsi oleh sehingga dapat mencukupi kebutuhan akan zat
balita di wilayah pantai adalah berasal dari gizi tersebut, baik energi maupun protein yang
nasi.Rata-rata balita setiap harinya dapat dipenuhi oleh masing-masing keluarga
mengkonsumsi 2-3 kali dalam sehari dengan yang tentu berdampak pada sudah terpenuhinya
tambahan berasal dari lauk-pauk seperti ikan kebutuhan Balita akan energi. Akan tetapi
dan juga mie instan yang juga mengandung terpenuhinya zat gizi lain berupa protein lebih
karbohidrat yang cukut tinggi. Hal yang serupa bayak terdapat pada wilayah pantai. Hal ini di
juga terdapat di wilayah punggung bukit yang perlihakan dengan adanya perbedaan tingkat
sebagian besar juga mengkonsumsi nasi sebagai konsumsi protein pada balita yang diperlihakan
makanan pokok dan sumber energi terbesar. dari uji bivariat berupa nilai p=0,02< 0,05. Ini
Oleh karena itu, tingkat konsumsi energi balita dikarenakan mayoritas responden di wilayah
di wilayah pantai maupun di wilayah punggung pantai bermatapencaharian sebagai nelayan
bukit relatif sama. sehingga sumber protein terbesar yaitu ikan dan
Tingkat konsumsi energi balita di daerah hasil laut lainnya dengan mudah didapatkan.
pantai dan daerah punggung bukit secara Hasil dari nelayan tidak seluruhnya dijual,
signifikan tidak terdapat perbedaan yaitu apabila hasil nelayan minimal atau hanya
memperoleh nilai p=0,51> 0,05. Tidak adanya sedikit, para nelayan lebih mementingkan untuk
perbedaan tersebut disebabkan karena konsumsi konsumsi keluarga sendiri dan sisanya
energi balita yang kebanyakan diperoleh dari dijualbelikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
karbohidrat yang sebagian besar terkandung terdekat atau dijual sendiri di pasar.selain itu
dalam bahan pangan pokok yaitu berasal dari letak wilayah pantai (Desa Jambu dan Desa
konsumsi nasi lebih mudah untuk didapatkan Sekuro) dekat dengan pusat kecamatan ataupun
baik di wilayah pantai maupun wilayah kota sehingga menjadikan akses untuk
punggung bukit. Kondisi topografi atau geografi memperoleh sumber protein ataupun sumber zat
dari wilayah masing-masing berpengaruh gizi lainnya lebih mudah.
terhdap hal tersebut, wilayah pantai yang Dilihat dari keadaan geografi dan sumber
terdapat di Kecamatan Mlonggo Kabupaten daya perairan, masyarakat di daerah pantai
Jepara yaitu Desa Jambu dan Desa Sekuro sebagian besar adalah nelayan yang banyak
merupakan wilayah dengan kondisi wilayah mengkonsumsi makanan sumber protein
yang dikelilingi oleh laut dan disepanjang pesisir hewani yang berasal dari laut seperti ikan,
juga terdapat lahan persawahan yang luas. sedangkan masyarakat didaerah pegunungan
Lahan persawahan tersebut merupakan sebagian besar adalah petani sawah atau ladang
kompleks produksi padi terbesar di wilayah sehingga lebih banyak mengkonsumsi makanan
kecamatan Mlonggo, sehingga cara perolehan sumber karbohidrat dan protein nabati. Bahan
sumber zat gizi energi berupa beras mudah dan pangan sumber protein pada daerah pantai
relatif tersedia sepanjang tahun. dapat terpenuhi setiap hari dengan baik.Hal ini
Ketersediaan pangan sumber energi dikarenakan hasil laut yang juga dikonsumsi
untuk wilayah punggung bukit juga berasal dari oleh keluarga sendiri.Pada daerah punggung
lahan persawahan. Berbeda dengan lahan bukit, bahan pangan sumber protein yang
persawahan di wilayah pantai, lahan berasal dari ikan tidak tersedia setiap hari,
persawahan di sini lebih luas dan juga tidak kalaupun ada setiap hari jumlahnya jauh lebih
hanya digunakan untuk bertani padi melainkan sedikit dibandingkan dengan daerah pantai dan

114
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

harganyapun tidak murah. Dengan demikian akses transportasi yang lebih mudah serta
kebutuhan protein keluarga di daerah punggung menjamurnya usaha jual beli seperti warung
bukit akan kurang untuk memenuhi kebutuhan serta pedagang keliling setiap harinya yang
tubuh. Ketersediaan akan sumber protein yag menjual beraneka ragam kebutuhan makanan.
berasal dari ikan menjadikan perbedaan juga. Sehingga menjadikan tidak adanya perbedaan
Masyarakat di daerah punggung bukit rata-rata yang nyata pada tingkat ketersediaan pangan
mengkonsumsi ikan yang sudah diolah lanjutan pada keluarga yang bertempat tinggal diwilayah
seperti ikan tongkol panggang dan ikan pantai dengan diwilayah punggung bukit, hal ini
pindang, sedangkan masyarakat di wilayah diperkuat dai uji bivariat yag memperlihatkan
pantai lebih bayak mengkonsumsi ika laut segar tidak adanya perbedaan dengan hasil nilai
dan hasil laut lannya berupa udang, cumi-cumi, p=0,48 untuk tingkat ketersediaan pagan
atau kepiting. Selain itu konsumsi sumber sumber energi dan nilai p=0,25 untuk tingkat
protein nabati berupa tahu/tempe lebih ketersediaan pangan sumber protein, Kedua
dominan di konsumsi oleh masyarakat di nilai tersebut lebih besar dari 0,05.
wilayah punggung bukit. Tidak adanya perbedaan ini juga
Seperti yang diungkapkan Ali Khomsan disebabkan karena masyarakat daerah pantai
lewat penelitiannya yang dilakukan di Bogor dan daerah punggung bukit mampu mencari
dan Indramayu bahwa masyarakat wilayah bahan pengganti bahan pangan yang
Bogor yang merupakan wilayah dataran tinggi mempunyai zat gizi sama dengan pangan yang
mengkonsumsi ikan laut hanya sekitar 0,5 kali tidak tersedia tersebut. Sebagai contoh, di
perminggu sedangkan di Indramayu mayoritas daerah lereng/pumggumg bukit pengganti ikan
mengkonsumsi hingga 4,7 kali perminggu. adalah bahan pangan hewani selain ikan, seperti
Wilayah dataran tinggi lebih banyak telur, kedelai, dan jagung.Salah satu hasil
mengkonsumsi ikan awetan yaitu ikan asin terbesar dari pertanian di wilayah punggung
hingga 7,1 kali setiap minggunya, sedangkan di bukit Kecamatan Kembang adalah
wilayah pantai hanya sekitar 2,2 kali setiap jagung.Komoditi ini menjadi salah satu andalan
minggunya. Begitu juga sejalan dengan pertanian disana, biasanya jagung diolah
penelitian oleh Matheus di Wilayah Ambon kembali menjadi jagung pripil kering atau
yaitu 93,3%balita di wilayah pantai diselep menjadi tepung jagung yang selanjutnya
mengkonsumsi ikan laut lebih dari 4 kali setiap dijual sehingga memperoleh keuntungan untuk
minggunya sedangkan di wilayah pegunungan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
sekitar 56,6%. Bahkan balita yang tidak Sedangkan di daerah pantai pengganti
mengkonsumsi ikan laut dalam rentang waktu sayuran yang kaya akan mineral dan vitamin di
seminggu sebesar 0%, itu berarti di wilayah peroleh dari ikan laut dan sayur yang tersedia di
pantai hampir setiap hari mengkonsumsi sekitar daerah pantai. Dengan adanya bahan
sumber protein berupa ikan laut. pangan pengganti tersebut mengakibatkan tidak
Desa atau tempat tinggal masyarakat di adanya prbedaan status gizi pada balita di kedua
wilayah punggung bukitsaling jauh terpisah daerah tersebut.
letaknya sehingga mereka harus mengandalkan
diri hanya pada apa yang dapat diperoleh SIMPULAN
setempat. Umumnya masyarakat yang tinggal di
desa daerah punggung memperoleh bahan Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
makanan dari kebun/lahan masing-masing yang antara status gizi balita, tingkat konsumsi energi
tersedia di sekitarnya yang berupa sayur mayur balita, tingkat ketersediaan pangan sumber
dan makanan pokok berupa beras serta sumber energi dan tingkat ketersediaan pangan sumber
makanan penunjang dan pelengkap lainnya. protein dan terdapat perbedaan yang signifikan
Akan tetapi di era masa kini akses perolehan antara tingkat konsumsi protein balita yang
bahan sumber pangan lebih mudah dikarenakan

115
Cholida Auliya / Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015)

bertempat tinggal di wilayah pantai dengan Khayati, S, 2011, Faktor Yang Berhubungan Dengan
wilayah punggung bukit. Status Gizi Balita Pada Keluarga Buruh Tani Di
Desa Situwangi Kecamatan Rakit Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2010, Universitas Negeri
UCAPAN TERIMA KASIH
Semarang.

Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. Khomsan A, dkk, 2006, Studi Tentang Pengetahuan
H. Harry Pramono, M.Si. Gizi Ibu dan Kebiasaan Makan Pada Rumah
Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Tangga di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai
Ilmu Keolahrgaan Universitas NegeriSemarang, (Mother’s Nutrition Knowledge and Food Habits of
Dr. dr. Oktia Woro KH, M.Kes. yang juga Households in Highland and Coastal Areas), Vol.
selaku Pembimbing I atas bimbingan, saran dan 1, No.1, hal. 23-28, diakses 26 Agustus 2014,
arahan dalam penyelesaian skripsi ini. (http://Repository.ipb.ac.id/bitstream/12345
6789/42736/1/Alikhomsan.pdf).
Pembimbing II, Irwan Budiono, S.KM,
M.Kes, atas bimbingan, saran dan arahan dalam
Listari, ST, 2012, Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi,
penyelesaian skripsi ini. Kepala Kecamatan Protein dan Status Gizi Balita di Daerah Pantai
Mlonggo dan Kembang, Kepala Desa Sekuro, dan di Daerah Pegunungan di Kecamatan
Jambu, Sumanding, dan Dudakawu, serta Mlonggo Kabupaten Jepara, diakses 21 Agustus
seluruh masyarakat atas ijin dan pengalaman 2014,
yang diberikan. Keluargaku tercinta, sahabat (http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id
dan teman-teman atas kebersamaan, bantuan, =9314).
semangat, motivasi, dan keakraban yang telah
Lutviana, E, 2010,Prevalensi dan Determinan Kejadian
diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.
Gizi Kurang Pada Balita (Studi Kasus Pada
. Keluarga Nelayan di Desa Bojomulyo Kecamatan
Juana Kabupaten Pati), Universitas Negeri
DAFTAR PUSTAKA Semarang.

Almatsier, S, 2002, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Retnaningsih Ch, dkk, 2011, Penilaian Status Gizi
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Berdasarkan Kecukupan Energi (Kalori) dan
Protein Pada Balita (Usia 3-5 Tahun) Di Desa
Arisman, 2004, Gizi Dalam Daur Hidup, Penerbit Gogik Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Semarang, Vol. 14, No. 2, Diakses 26 Agustus
2014,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara, 2010, (http://eprints.unika.ac.id/57/1/Retnaningsi
Wilayah Kabupaten Jepara Berdasarkan h_statusgizi.pdf.).
Topografi, Jepara.
Santoso,S dan Anne Lies Ranti, 1999, Kesehatan dan
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Gizi, Jakarta: PT. Rhineka Cipta.
2013, Semarang.
Supriasa, IDN., dkk, 2002, Penilaian Status Gizi,
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, 2012, Jakarta: EGC.
Jepara.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil


Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2012, Semarang.

116

Anda mungkin juga menyukai