Anda di halaman 1dari 9

ANTI KORUPSI

(Critical Paper – Penegakkan Hukum Kasus Korupsi BLBI)

disusun dalam rangka


memenuhi tugas E – Learning
Diksar Gol – III

oleh :

Nama : Yonky Kurnia


Jabatan : Pengendali Jaringan Komunikasi Bakamla
NIP : 198506112019021005

PUSAT PELATIHAN MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERTANIAN


BOGOR

2019
Penegakkan Hukum Kasus Korupsi BLBI

Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu setiap orang yang
dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Di dalam hukum ada tiga prinsip yang mesti dijadikan pijakan yakni, kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Sesuatu kepastian hukum kalau tidak adil itu nanti
bisa challange di pengadilan. Akan tetapi prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat
secara sah menurut hukum, maka dia tidak bisa dibatalkan.

Setiap produk hukum yang dikeluarkan atas nama negara, negara wajib
memberikan jaminan kepastian hukum kepada para penerimanya tersebut. Pasalnya,
jika jaminan kepastian hukum tidak bisa diberikan oleh negara, hal tersebut akan
berimbas terhadap iklim investasi dan ekonomi di Indonesia. Jaminan kepastian
hukum di Indonesia masih sangat lemah, sehingga bisa memicu demotivasi atau
hilangnya gairah para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia.

Salah satu contohnya adalah diperkarakannya kembali kebijakan pemberian


Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada salah satu obligor BLBI yang secara resmi
sudah dinyatakan lunas oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada
bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter
1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF
dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan
BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana
BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan
sebesar Rp 138 triliun.

Sebelum para pemilik bank itu kabur, pemerintahan BJ Habibie sempat


meminta pelunasan utang itu dilakukan dalam tempo satu bulan. Namun, bank-bank
itu mengaku tak mampu melunasinya dalam waktu secepat itu. Mereka meminta 5
tahun sebagai jatuh tempo pelunasan utang tersebut. Akhirnya diambil keputusan
penting, yakni pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen,
sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama.

Pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, pengembalian


BLBI dari bank-bank yang bermasalah itu belum juga tuntas. Bersamaan dengan itu,
sejumlah upaya penegakan hukum terhadap penggelapan dana BLBI itu tengah
berlangsung. Tanggal 30 Desember 2002, Mega akhirnya mengambil satu langkah
penting. Dia meneken Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang pemberian
jaminan kepastian hukum kepada para pemilik bank yang berhasil melunasi utangnya.
Selain itu, Inpres tersebut juga mengatur soal ancaman hukum kepada orang-orang
yang melanggar. Dengan skema tersebut, penerima BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) walau
hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk
tunai, serta 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Langkah Megawati itu rupanya direspons positif oleh bank-bank yang masih
memiliki tunggakan. Alasannya sederhana, mereka mampu membayar pinjaman itu
dengan menyerahkan aset-aset perusahaan yang mereka miliki. Hal itu dinilai lebih
mudah ketimbang membayarnya dengan uang tunai. Setidaknya, ada 23 pemegang
saham yang telah memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang telah
ditetapkan. Sekitar 15 tahun lalu, tahun 2003, adalah tahun vonis bagi para oknum
pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank. Sederet nama-nama pejabat
BI seperti Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo
dijebloskan ke penjara dengan kurungan sekitar 2 sampai 3 tahun penjara. Selain
pejabat BI, beberapa vonis kurungan penjara juga menimpa konglomerat maupun
pejabat bank yang menerima BLBI tersebut. Namun, sebagian dari mereka tetap
berkelit dan sebagian besarnya lagi justru kabur begitu saja ke luar negeri.

Sejak Inpres yang diterbitkan Megawati mencuat pada 2002, Sjamsul adalah orang
yang berupaya melunasi utangnya dengan menyerahkan aset yang dia miliki kepada
negara.
Aset-aset itu dia serahkan kepada BPPN yang kala itu dikomandoi Syafruddin
Arsyad Temenggung. BPPN yang kemudian memberi rekomendasi penerbitan Surat
Keterangan Lunas (SKL) kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang
salah satu anggotanya adalah Menteri Keuangan era Megawati, Boediono. Langkah
itu nyatanya berhasil. Sjamsul mengantongi SKL tersebut. Dan sesuai dengan
amanah dari Inpers Megawati, Sjamsul terbebas dari segala tuduhan, termasuk
tuduhan penggelapan itu. Kejaksaan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan). Sekilas, pesoalan BLBI yang mendera BDNI memang telah selesai.
Namun, Kejaksaan Agung justru mengendus bahwa penerbitan SKL terhadap
Sjamsul berbau bisnis dan penuh kecurangan.

Saat ini, kasus tersebut sedang ditangani KPK. Penyidik KPK mulai
mengarahkan fokus ke dugaan penyimpangan penerbitan SKL oleh BPPN untuk
BDNI. KPK menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka korupsi pemberian surat
keterangan lunas terhadap utang Sjamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).

Syafruddin diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dengan
menyalahgunakan jabatannya sehingga negara merugi Rp 3,75 triliun. Nilai kerugian
tersebut merupakan sisa piutang negara dalam penyaluran BLBI kepada PT Bank
Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang tak diperhitungkan ketika Syafruddin
menetapkan seluruh utang Sjamsul lunas pada April 2004.

Sebagai catatan, KPK juga telah menyelidiki status SKL BLBI kepada sejumlah
pengusaha selain Sjamsul Nursalim. Setidaknya, ada 48 bank di Indonesia yang
menerima bantuan Bank Indonesia dengan nilai total sekitar Rp 144 triliun.

Adapun Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa hal yang disidik KPK
dalam perkara BLBI bukanlah kebijakan (SKL) yang dikeluarkan mantan Presiden
Megawati Soekarnoputri lewat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002. Sebaliknya, hal
yang disidik KPK berkaitan dengan pelaksanaan SKL yang melibatkan obligor-obligor
nakal.
Dari kasus Korupsi BLBI diatas, persoalannya menunjukkan bahwa beberapa
pemilik bank diduga menyalahgunakan bantuan tersebut.

Sikap jujur ini merupakan salah satu sifat di dalam kehidupan yang harus selalu
dipegang teguh dan dijadikan komitmen. Penyebab yang pertama, dan yang paling
fatal adalah adanya suatu kesalah sistem dalam penyelenggaraan negara. Apakah
maksud dari pernyataan tersebut? Semenjak era orde lama sampai reformasi pun,
kita seolah terfokuskan oleh pengembangan ekonomi yang ada pada negara
Indonesia. Lalu bagaimanakah dengan pendidikan? Karena adanya program
pemerintah yang terfokuskan kepada ekonomi, edukasi seolah tidak mendapat
perhatian yang seimbang. Akibatnya, pendidikan anti korupsi sulit untuk diterapkan
karena tidak adanya pembelajaran sebelumnya.

Hukuman yang terkesan ringan untuk pelaku korupsi Negara Indonesia


memang negara hukum, yang akan memberikan sanksi dan hukuman bagi terdakwa
dengan adil. Namun pada kenyataannya apakah kita dapat melihat prinsip keadilan
tersebut pada peradilan yang menghakimi para pelaku korupsi? Padahal, bisa saja
koruptor yang telah banyak sekali mengambil harta masyarakat dapat diadili dengan
sistem hukum Indonesia saat ini sampai dengan tujuan hukuman mati. Selain itu,
kurangnya nilai pinalti yang diberikan untuk mereka para pelaku korupsi
menyebabkan hukuman tersebut terlihat tidak serius untuk bisa memberantas korupsi
di negara ini.

Cara mengatasi korupsi yaitu bisa dengan menanamkan rasa tanggung jawab
kepada masyarakat. Tidak hanya pada keluarga saja, namun juga untuk lingkungan
sekitar kita. Dengan mengilhami nilai-nilai positif dari kelebihan Demokrasi Pancasila
dan juga contoh Demokrasi Pancasila, masyarakat bisa menanamkan rasa tanggung
jawab dalam diri mereka untuk bisa berkata tidak pada korupsi. Tanggung jawab disini
tidak hanya dalam mengoposisi tindakan korupsi, tapi yang paling penting adalah
mereka dapat bertanggung jawab tentang kejujuran mereka dalam bertindak dan juga
berucap.

Membentuk aturan hukum yang kuat. Dengan beberapa fungsi hukum seperti
fungsi hukum dalam masyarakat dan fungsi hukum perusahaan, hukum di Indonesia
sebenarnya bisa diperbaiki agar bisa mengadili para pelaku dengan sangat adil. Harus
ada suatu aturan baku yang digunakan, sebuah aturan yang kokoh dan tidak bisa
dijatuhkan. Selain membentuk aturan hukum yang kuat, penegak hukum harus bisa
belajar untuk mengadili seseorang dengan seadil mungkin, tidak tebang pilih. Sudah
seharusnya mereka tidak bias dalam melakukan tindakan kepada seseorang. Mereka
harus independen dan jujur dalam melaksanakan tugas atas nama negara.

Memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini. Selain dari langkah-langkah


pencegahan yang nyata lainnya, ada satu yang paling penting, yaitu penanaman
pendidikan anti korupsi yang bisa dilakukan sedini mungkin. Para orang tua harus
mengedukasi diri mereka terlebih dahulu dengan segala informasi mengenai
pendidikan korupsi. Setelah itu, barulah mereka memahami dan akhirnya
mengajarkan kepada anak-anak mereka. Keluarga tersebut akhirnya dapat saling
mengerti arti dari perilaku anti korupsi dan kelak mereka akan terjauh dari tindakan
curang tersebut. Selain dari pendidikan yang formal, seseorang juga harus
mendapatkan pendidikan moral. Pendidikan moral sejak dini ini perlu dilakukan untuk
menanamkan sebuah nilai empati. Tindakan kita seharusnya tidak memberikan
kerugian bagi orang lain. Itulah sebenarnya yang menjadi kunci mengapa para
koruptor meraja-lela, karena mereka tidak peduli akan efek yang mereka berikan
kepada rakyat. Mereka kaya harta namun miskin moral sehingga terbentuklah watak
seorang penjahat. Untuk itulah, penanaman nilai moral dalam diri setiap orang
merupakan hal yang sangat penting. Salah satu contoh untuk mengaplikasikannya
adalah dengan memberikan contoh hukuman yang mendidik bagi siswa SMA kepada
anak.

Cara mengatasi korupsi selanjutnya adalah pendekatan religius. Nilai kebaikan


yang diberikan oleh seluruh agama di dunia ini merupakan hal yang sangat penting
bagi diri setiap orang. Seseorang tidak akan berani untuk menyakiti orang lain apabila
ia memiliki iman yang cukup. Dengan pendekatan religius yang baik, seseorang tidak
akan berani melakukan segala bentuk kejahatan karena takut mendapat balasan. Ia
akan berusaha di jalan yang baik, untuk mendapatkan hasil yang baik pula.

Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang
masih mendewakan materi, maka dapat memaksa terjadinya permainan uang dan
korupsi. Korupsi akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang
cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang
kekayaan, semakin besar pula kemungkinan orang melakukan kesalahan dalam
mengakses kekayaan

Terdapat perbedaan UU Korupsi di Indonesia dengan UNCAC. Apa yang


membedakan UU Antikorupsi di Indonesia dengan UU Antikorupsi PBB (UNCAC)?
Salah satu faktor pembeda, sistem kelembagaan Indonesia lebih lebih dibandingkan
UU korupsi oleh PBB (UNCAC). Tiga hal yang belum diatur dalam UU Antikorupsi di
Indonesia adalah mempengaruhi proses pengadilan, penyembunyian hasil korupsi,
dan pencucian hasil korupsi.

Dengan menggunakan UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan


pemberantasan tindak pidana pencucian uang, KPK bisa mengejar aset dari hasil
kejahatan dan juga bisa disita. Selain disita, bisa juga dirampas untuk negara dan
dikenakan denda cukup tinggi. Mengenai tindak pidana korporasi, Mahkamah Agung
telah menerbitkan Peraturan MA nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan
tindak pidana oleh korporasi. Aturan ini, kata Oce, memungkinkan aset-aset korporasi
bisa disita jika memang terbukti ada tindak pidana yang melibatkan korporasi.

Perjanjian Ekstradisi merupakan perjanjian antar negara yang berbeda dalam


hal penyerahan tersangka kasus kriminal. Perjanjian Ekstradisi merupakan sebuah
proses formal dimana seorang tersangka kriminal ditahan oleh pemerintahan sebuah
negara dan diserahkan kepada negara lainnya untuk disidangkan atau diproses
sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut.

Alasan mengapa sampai saat ini Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan
Singapura belum terealisasi adalah karena para koruptor merupakan sumber devisa
yang sangat besar bagi Singapura. Singapura getol melindungi para koruptor karena
dengan adanya mereka, roda ekonomi Singapura dapat terus berputar. Menurut
sebuah lembaga survei yang bernama Merril Lynch Capgemini, sepertiga orang
terkaya di Singapura merupakan orang Indonesia. Total dana orang Indonesia yang
disimpan di Singapura mencapai $87 miliar atau setara dengan Rp.783 Trilliun, angka
yang sangat fantastik mengingat angka tersebut merupakan hak dari rakyat
Indonesia.

Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki


suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing. Ini
berpedoman pada prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum
atas orang yang berada dalam batas negaranya.

Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1979. Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian
ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi.
Ketujuh negara yang telah memiliki perjanjian dengan Indonesia, antara lain Malaysia,
Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan (belum diratifikasi), dan
Singapura (belum diratifikasi). Indonesia belum meratifikasinya lantaran ada
perbedaan posisi antara Indonesia dan Singapura dalam memandang perjanjian
ekstradisi. Singapura menginginkan perjanjian ekstradisi sepaket dengan kerja sama
pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), sedangkan Indonesia ingin
agar kedua perjanjian itu berdiri sendiri-sendiri.

Jika memang upaya perjanjian ekstradisi tidak gampang dan penuh lika-liku,
maka sudah seharusnya pemerintah meminimalkan kepergian orang yang dianggap
bermasalah secara hukum. Setiap aparat hukum harus bisa membaca pola pihak-
pihak yang akan diperkirakan bermasalah. Satu hal lagi, lembaga yang memang
dibentuk untuk memberantas korupsi diharapkan bisa lebih berani mengambil
tindakan tegas sesuai dengan kewenangannya.

Perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, khususnya Singapura harus


segera diwujudkan. Ia menyarankan seharusnya secara resmi Indonesia bersikap
mengenai hubungan bilateral antara kedua negara bertetangga ini. Sikap itu bisa
berlanjut dengan perjanjian ekstradisi. Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat
antarkedua negara, penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar
buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura.
Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan) dengan peran serta
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undnagan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai