Pada tahun 1908, Ikeda menemukan bahwa MSG adalah komponen aktif yang
bermanfaat dari algae Laminaria japonica, digunakan sejak lama di Jepang sebagai
pembangkit cita rasa dan sup dan makanan sejenisnya. Pada kisaran pH 5-8 dan
biasanya digunakan pada level 0,2-0,5%, MSG mempunyai rasa yang sedap, sedikit
rasa asin-manis dan sifat yang sering disebut sebagai “mouth satisfactions” (Bellitz
and Grosch, 1999).
Menurut Winarno (2002) ada beberapa pendapat mengenai mekanisme kerja MSG
sehingga dapat menambah cita rasa. Rasa daging mungkin disebabkan oleh
hidrolisis protein dalam mulut. MSG meningkatkan cita rasa yang diinginkan sambil
mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam, rasa
sayuran mentah yang tidak menyenangkan, ataupun rasa pajit pada sayuran yang
dikalengkan. Diutarakan pula MSG menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka
sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik.
Sejak MSG disebut sebagai garam natrium dari asam glutamat, tidak mengherankan
bahwa MSG dapat ditemukan secara alami pada makanan yang mengandung
protein asam glutamat biasanya adalah salah satu asam amino terbesar pada
protein. Protein dapat didegradasi atau dihidrolisa melalui reaksi yang biasa terjadi
pada proses pengolahan makanan dan penyimpanan. Reaksi ini mampu
menghasilkan pembentukan asam glutamat bebas dan dengan mudah dapat
direaksikan dengan ion natrium untuk menghasilkan MSG. Oleh karena itu MSG
dapat ditemukan khususnya pada makanan yang kaya protein seperti berbagai
macam produk susu, daging, ikan dan unggas, dimana MSG dapat ditemukan dalam
bentuk asam glutamat bebas pada makanan yang rendah protein, seperti tomat
(Maga, 1994).
Maga (1994) mendeskripsikan MSG sebagai senyawa pembangkit cita rasa, “mouth
fullness”, “impact” dan “mildness”, yang semuanya dapat meningkatkan tingkat
penerimaan makanan. MSG biasanya dipasarkan dalam bentuk kristal putih yang
siap dilarutkan dalam air. Produk ini tidak higroskopis dan sangat stabil selama
penyimpanan dalam waktu yang lama pada suhu ruang. Senyawa ini 100%
berbentuk L karena bentuk D tidak menunjukkan sifat “flavour potentiator”
(pembangkit cita rasa). Dengan kombinasi panas tinggi dan kondisi asam (pH 2,2-
4,4), MSG dapat didehidrasi sebagian menghasilkan Pyrolidone Carbocylic Acid
(PCA). MSG paling efektif sebagai “flavour potentiator” pada kisaran pH 5,5-8,0 dan
paling tidak stabil pada kisaran pH 2-3,5. Dibawah kondisi asam, sedikit perubahan
mulai terjadi setelah 3 hari dan bertambah antara 3-5 hari. Pada kondisi alkali tidak
terjadi perubahan selama 10 hari.
Masih menurut Anonymous (2003a) semua bentuk dari MSG (asam glutamat bebas
yang terdapat pada makanan sebagai akibat dari proses produksi) menyebabkan
reaksi pada orang-orang yang sensitif terhadap MSG. MSG diproduksi ketika enzim
protease atau perantara reaktif lainnya digunakan untuk berinteraksi dengan protein
selama proses produksi dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan pada
orang-orang yang sensitif terhadap MSG dan sering tidak ada petunjuk pada label
produk yang mempengaruhi daya beli.
Menurut Gold (1995) glutamat adalah neurotransmitter penting, senyawa kimia yang
tersedia pada sel saraf di otak untuk berkomunikasi dengan sel saraf yang lain.
Secara normal, glutamat berlebih dipompa kembali ke sel gliol disekeliling sel saraf.
Namun demikian, ketika sel terbuka maka kelebihan dari glutamat ini menyebabkan
sel saraf mati. Orang-orang yang dianjurkan mencegah kelebihan glutamat bebas
adalah orang-orang dengan kondisi sebagai berikut: bayi dan anak-anak, wanita
hamil, “hipoglicemia”, “low brain energy”/”brain fog” (glutamat berlebih menghalangi
penerimaan glukosa ke otak), obesitas, stres, “learning disabilities”, serangan tiba-
tiba (“seizure”), sakit kepala atau migrain (glutamat dan aspartat merupakan
pemicu), ketidakseimbangan sistem kekebalan defisiensi vitamin dan mineral, wanita
pada masa subur, ketidakseimbangan hormon/kelenjar endokrin, asma dan alergi,
tinnitas dan penyakit “meniere”, penyakit pada otak seperti penyakit “alzheimer”,
penyakit kronis dan orang yang sadar terhadap kesehatan.
Menurut Winarno (2002), dari hasil penyelidikan yang dilakukan disimpulkan bahwa
sebab utama timbulnya gejala tersebut diakibatkan MSG yang terdapat pada sup.
MSG dapat dengan cepat terserap kedalam darah yang kemudian dapat
menyebabkan gejala-gejala CRS (Chinese Restaurant Syndrome). Dari hasil
penelitian selanjutnya, khususnya analisis terhadap kadar MSG dalam serum darah
pasien, ternyata glutamat bukan merupakan senyawa penyebab yang efektif
terhadap terjadinya gejala CRS, tetapi diperkirakan gejala tersebut timbul karena
adanya senyawa hasil metabolisme glutamat seperti misalnya GABA (Gama Amino
Butyric Acid), “serotin” atau bahkan “histamin”
FAO dan WHO mengelompokkan MSG sebagai Food Additive (zat tambahan
makanan) dengan Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 120 mg/kg berat
badan/hari. Nilai ambang keamanan ini harus diperhatikan oleh setiap konsumen
MSG agar tidak melebihi jumlah konsumsinya. Jika dibuat berat tubuh orang dewasa
Indoesia rata-rata sebesar 50 kg maka konsumsi tiap harinya aman jika tidak
melebihi 120 mg x 50 = 600 mg (6 g) (Suratmah, 1997).
Asam glutamat
Alternatif
Asam 2-Aminopentanedioic
Nama
Asam 2-Aminoglutarat
NaOH mempunyai struktur yang “fibrous”, diproduksi dengan reaksi kimia dari
sodium karbonat. NaOH adalah basa kuat yang biasanya dibakar dalam sabun, kayu
dan kertas (Standen, et al. 1993).
NaOH berbentuk kristal, bewarna putih, mempunyai titik lebur 318oC, dengan titik
didih 1390oC, mudah menyerap air dan karbon dioksida dari udara, beracun, dapat
menyebabakan iritasi pada kulit dan larut dalam alkohol, gliserol, dan air. NaOH
dihasilkan dari elektrolisis air laut atau larutan klorid (Basri, 1995).
Pada proses pembuatan MSG, NaOH (bersifat basa) digunakan dalam proses
netralisasi untuk bereaksi dengan asam glutamat (bersifat asam) menghasilkan
MSG. Sehingga akan diperoleh pH ± 6,8-7,2, dimana merupakan standart
keamanan MSG untuk dikonsumsi.
HCl merupakan bentuk hydrogen klorida dalam air. Biasa digunakan dalam pengolahan
makanan seperti “can syrup” dan sodium glutamat untuk menciptakan suasana asam saat
proses isolasi asam glutamat. HCl mempunyai sifat-sifat tidak berwarna atau sedikit kuning,
korosif, larut dalam air, alkohol, benzen, berasap dan tidak mudah menyala atau terbakar
(Handojo, 1995).
C. lilium
C. calinuae
C. herculis
B. divaricatum
B. ammoniagenus
B. flavum
B. roseum
Brevibacterium B. lactofermentum
B. saccharolyticum
B. immariophilum
B. alanicum
B. thiogenitalis
M. saliconovolum
Microbacterium M. amnophoaphilum
M. flavum varghetamicum
A. globifermis
Arthobacter
A. amonifaceus
Stanbury and Whitaker (1994) menyatakan bahwa formulasi media adalah suatu
tahap yang penting dalam menentukan keberhasilan dari suatu uji coba di
laboratorium, pengembangan terkontrol dan proses pabrikasi. Komponen dari
medium harus sesuai dengan persyaratan untuk biomassa sel dan produksi
metabolit dan semuanya itu harus memenuhi kecukupan pemberian energi untuk
biosintesis dan pemeliharaan sel. Adapun persamaan tentang pertumbuhan dan
pembentukan produk adalah:
Sumber karbon panas dan energi + sumber nitrogen + kebutuhan nutrien lain®
Biomassa sel + produk +CO2 + H2O
Air adalah komponen utama untuk semua media fermentasi , dan ini dibutuhkan
dalam mendukung kelancaran proses . Air bersih yang dibutuhkan dalam jumlah
yang besar. Beberapa faktor yang dianggap perlu diperhatikah meliputi pH, padatan
terlarut dan kontaminasi benda asing. Sedangkan kandungan mineral dan air adalah
sangat penting yang harus diperhatikan.
Sumber energi
Energi untuk tumbuh berasal dari oksidasi dari komponen medium atau cahaya.
Sebagian besar mikroorganisme industri adalah kemoorganotrof, untuk itu yang
digunakan adalah sumber karbon seperti karbohidrat, lemak dan protein.
Kemoorganotrof menggunakan komponen organik sebagai sumber energinya.
Contoh bahan kimia organik antara lain glukosa dan asetat. Sebagian besar
kemoorganotrof merupakan heterotrof, yaitu suatu organisme yang membutuhkan
substrat organik untuk mendapatkan karbon sebagai kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangannya. Sebaliknya, kemolitotrof menggunakan komponen anorganik.
Beberapa mikroorganisme dapat menggunakan metana dan methanol sebagai
sumber karbon dan energi, ada beberapa sumber energi yang diperlukan
mikroorganisme yaitu:
Sumber karbon
Sumber nitrogen
Mineral
Dalam berbagai media magnesium, fosfor, potassium, sulfur, kalsium dan klorin
adalah komponen penting, dikarenakan konsentrasinya yang dibutuhkan dimana
bahan tersebut harus ditambahkan sebagai komponen yang berbeda. Lainnya
misalnya kobalt, tembaga , besi, mangan, “molybdenum” dan seng juga penting
akan tetapi biasanya terdapat sebagai pengotor dalam bahan utama.
Vitamin
Banyak dari sumber karbon alami dan nitrogen mengandung semua atau beberapa
vitamin yang diperlukan . Sangat penting untuk mengingat bahwa hanya satu vitamin
yang dibutuhkan yang perlu ditambahkan dengan memperhatikan factor
ekonomisnya. Dalam proses yang menghasilkan asam glutamat, biotin harus ada
dalam medium.
Metabolisme cepat
Kultur mungkin dapat kekurangan oksigen karena oksigen yang dibutuhkan tidak
cukup tersedia dalam fermentor jika substrat tertentu, seperti metabolisme gula
secara cepat yang mendorong kebutuhan oksigen dalam jumlah tinggi yang tersedia
dalam konsentrasi tinggi.
Rheology
Anti buih
Banyak anti buih yang digunakan sebagai surfaktan dan mengurangi laju
transfer oksigen. Penggunaan surfaktan atau asam lemak memacu produksi
asam amino. Kedua zat tersebut akan mengubah permeabilitas sel terhadap
asam glutamat karena permeabilitas itu sendiri mungkin dikendalikan oleh
kandungan asam lemak tidak jenuh dan lipid dalam sel.
Industri asam amino, yang tumbuh dengan industri monosodium glutamat (MSG)
sebagai pelopor, pertama kali berdiri di Jepang. MSG diproduksi dari fermentasi
tetes tebu, hidrolisat pati dan gula sebagai bahan dasar. Produksi asam amino
dengan menggunakan mikroba ditemukan pertama kali ditemukan untuk proses
produksi asam glutamat pada tahun 1957. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk
meningkatkan hail asam amino dari bahan dasar dan tingkat proses produksi asam
amino dengan memilih bakteri yang sesuai dari sumber alami dan menetapkan
metode yang sesuai untuk produksi asam glutamat dalam skala industri.
Mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi ini adalah genus dari
Corynebacterium dan Brevibacterium (Kumon and Tetsuya, 1991).
Proses pembuatan MSG dalam skala industri mulai berkembang pesat setelah
penemuan Corynebacterium glutamicum oleh Kinoshita. Pada fermentasi asam
glutamat, tingkat pertumbuhan sel bakteri meningkat dengan penambahan biotin
pada medium. Tetapi penambahan biotin mengurangi produktivitas sintesa dari
asam amino dan akumulasinya karena biotin menurunkan permeabilitas sel untuk
asam amino tersebut (Sardjoko, 1991).
Selain optimasi dari kultur medium pemilihan bakteri yang tepat, maka kondisi juga
perlu diperhatikan. Terutama untuk proses produksi dalam skala besar. Pada
fermentasi asam amino, nilai nutrisi dari kultur media sangat tinggi dan itu akan
meningkatkan resiko pertumbuhan bakteri asing (kontaminan). Untuk itu maka
bakteri yang tidak digunakan harus dieliminir dari fermentor dan kultur media,
sehingga kontaminasi dapat dicegah selama proses fermentasi. Sterilisasi panas
dan filtrasi udara adalah metode yang umum digunakan pada fermentasi asam
glutamat (Kumon and Tetsuya, 1991).
Sa’id (1991), mengemukakan bahwa reaksi yang terjadi dalam fermentasi asam
glutamat adalah sebagai berikut:
Metabolisme gula melalui jalur EMP (Embden Meyerhof Parnas) dan HMS
(Hexosa Monphosphate Shunt).
Pada laju aerasi yang rendah, jalur EMP dominan asam laktat berakumulasi
dari pada asam glutamat akan berakumulasi.
Secara garis besar proses produksi MSG melalui tahap-tahap persiapan bahan baku
dan bahan pembantu, fermentasi, kristalisasi, dan netralisasi serta pengeringan dan
pengayakan.
Dalam pembuatan MSG digunakan bahan baku berupa tetes tebu sebagai sumber
karbohidrat. Tetes tebu diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan Ca
dengan menambahkan H2SO4. Setelah itu tetes disterilisasi dengan menggunakan
uap panas bersuhu maksimum 1200C selama 10 hingga 20 menit dan siap
difermentasi dalam tabung yang juga disterilisasi (Said, 1991).
Selain bahan baku utama juga terdapat bahan pembantu dalam pembuatan MSG.
Bahan pembantu tersebut adalah amina (NH2), asam sulfat (H2SO4), HCl, NaOH,
karbon aktif, “beet molasses” dan “raw sugar” (Susanto dan Sucipto, 1994).
2. Fermentasi
Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi reduksi di dalam sistem biologi yang
menghasilkan energi. Fermentasi menggunakan senyawa organik yang biasanya
digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah
oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi bentuk lain (Winarno, 1990).
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada
substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan
sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan-pemecahan kandungan bahan
pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan
pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno, 1990).
Larutan MSG yang telah memiliki kekentalan 260Be diuapkan pada kondisi vakum
bertekanan 64 cmHg atau setara dengan titik didih 69 gram MSG pelarutan.
Pemberian umpan akan menyebabkan terbentuknya MSG karena larutan dalam
keadaan jenuh. Umpan yang diberikan sekitar 2% lalu inti kristal yang terbentuk
secara perlahan-lahan akan diikuti dengan pemekatan larutan sehingga
menghasilkan kristal yang lebih besar. Proses kristalisasi berlangsung selama 14
jam (Said, 1991).
SUMBER REFERENSI:
Bellitz, H.D and Grosch, W. 1999. Food Chemistry 2nd.ed. Springer-Verlag Berlin
Herdberg. Germany
Brock, T.D. 1994 Biology of Microorganisms. Prentice Hall International Inc. New
York
Chen, J.C.P and C.Chou (eds). 1993. Sugar Cane Handbook: A Manual for Cane
Sugar Manufacturesand Their Chemisis. John Wiley and Sons, Inc. New York
Concidine. 1992. The Encyclopedia of Chemistry, 3rd Edition. Reinhold Company
Inc, New York.
Judoamijoyo, M., Darwis, A.A, dan Sa’id, E.G.1990. Teknologi Fermentasi. PAU
Bioteknologi IPB, Rajawali Press. Jakarta
Kuswanto, K.R dan Sudarmadji, S. 1990. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan
Gizi. UGM. Yogyakarta
Maga, J.A and Tu, A.T. 1994. Food Additive Toxicology. Marcell Dekker, Inc. New
York
Mc. cabe, L. W.; C. S. Julian; and H. Peta. 1994. Unit Operation and Chemical
Engineering. Mc Graw. Hill Book Co, Singapore
Pelczar, J., Reid, Chan. 1992. Microbiology 2nd. John and Willey Sons, Inc. New
York
Smith, J. E., 1992. Biotechnology. 2nd Edition. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta
Sudarmadji, S.B., Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta
Standbury,P.f and A.Whitaker.1994.Pricipled of Fermentation Technology. Pergamon
Press, New York
Tranggono, Sutardi, Haryadi, Suparmo, Murdiati, A., Sudarmadji, S., Rahayu, K.,
Naruki, S. dan Astuti, M. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). Proyek
Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank Dunia XVII) – PAU
Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Introduction to Carrageenan - Structure
Primary structure
Kappa Carrageenan
The regular backbone structure of The basic structure of carrageenan is disrupted by a more
or less ordered distribution of sulphate hemi ester groups. Carrageenan can also contain some
methoxy and pyruvate groups.
Iota Carrageenan
Gelling in carrageenan is caused by helix formation and this can only occur in repeat
structures where the B residue is in a 1-C-4 conformation. Lambda carrageenan has both its
sugar residues in a 4-C-1 conformation and does not form gels. All the gelling types of
carrageenan which include κ and ι all contain a 3,6 anhydro bridge on the B unit which forces
the sugar to flip from a 4-C-1 conformation to a 1-C-4 conformation and can then form cross-
link networks and gels.
Some types of seaweed species contains relatively pure carrageenan fractions Eucheuma
Cottonii contains largely κ carrageenan and μ carrageenan which may be converted to kappa
carrageenan by alkali treatment. Eucheuma Spinosum contains a similarly high level of ι
carrageenan with some ν carrageenan precursor. Furcellaran contains a strong gelling type
carrageenan which is very much like kappa carrageenan. Other seaweed types, such as
chondrus crispus and Gigartina types contain not only a mix of κ and λ type carrageenans but
also a type of carrageenan polymer that is essentially a block copolymer of different
carrageenan types. This gives the carrageenan made from Gigartina or Chondrus weed
species quite different properties from those made from the Eucheuma type species from
South east Asia. you will also see later that the differences in structure also enable quite
different processing conditions to be utilised for the different weed types.
Lambda Carrageenan
Legally defined product standards set boundaries for TSV products that must be met. Failure to comply
means that product cannot be sold to customers or jurisdictions where the standards apply. Click links to access
documents or portals to these standards.
EU - European Union standards for E407a (Processed Eucheuma Seaweed ) and E407 (Carrageenan) (e.g.
Commission Directive 98/86/EC Nov 1998 & 95/2/EC February 1995)
JECFA - FAO/WHO Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) standards for Processed Eucheuma
Seaweed and Carrageenan.
Codex FAO Food and Nutrition Papers 52 Add 9, June 2001) JECFA Specifications.
USFDA – United States Food & Drug Administration standards (USFDA 21 CFR 172:620)
ISO 22000 : 2005, Food Safety Management, Requirement for any organizations in the Food Chain
REGULATORY GUIDELINES
It is recognized that many standards in TSV are “commercial standards” that are best left to definition between
buyers and sellers. In such cases standards should not be imposed but guidelines can be of use.
PNCS - Philippine National Carrageenan Standard (under development). This is also proposed as the basis for a
BIMP-EAGA harmonized standard. It is not be an attempt to force unwanted additional constraints on BIMP-
EAGA carrageenan producers. Rather, it is a tool for harmonizing constraints imposed by legal standards from
around the world and ensuring that TSV products that conform to the BIMP-EAGA standard will be acceptable to
all major markets.
CAC/GL 60-2006 : Principle for Traceability/ Product Tracing as a Tool within a Food Inspection and
Certification System
CAC/GL 38-2001 Rev.1-2005: Guidelines for Generic Official Certificates Formats and the Production and
Issuance of Certificates
Basic manufacturing practices for raw-dried seaweed and semi-refined carrageenan from Eucheuma and
Kappaphycus. SEAPlant.net Monograph no. HB2G 1008 V2 BMP. This is meant as a starting point toward
developing Good Manufacturing Practice guidelines especially for process steps that occur near seaweed sources
and fall into the category of “post-harvest treatment”.