Anda di halaman 1dari 18

Pembuatan MSG (MONOSODIUM GLUTAMAT)

Proses Pembuatan MSG

Monosodium Glutamat (MSG)

Pada tahun 1908, Ikeda menemukan bahwa MSG adalah komponen aktif yang
bermanfaat dari algae Laminaria japonica, digunakan sejak lama di Jepang sebagai
pembangkit cita rasa dan sup dan makanan sejenisnya. Pada kisaran pH 5-8 dan
biasanya digunakan pada level 0,2-0,5%, MSG mempunyai rasa yang sedap, sedikit
rasa asin-manis dan sifat yang sering disebut sebagai “mouth satisfactions” (Bellitz
and Grosch, 1999).

Menurut Winarno (2002) ada beberapa pendapat mengenai mekanisme kerja MSG
sehingga dapat menambah cita rasa. Rasa daging mungkin disebabkan oleh
hidrolisis protein dalam mulut. MSG meningkatkan cita rasa yang diinginkan sambil
mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam, rasa
sayuran mentah yang tidak menyenangkan, ataupun rasa pajit pada sayuran yang
dikalengkan. Diutarakan pula MSG menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka
sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik.

Sejak MSG disebut sebagai garam natrium dari asam glutamat, tidak mengherankan
bahwa MSG dapat ditemukan secara alami pada makanan yang mengandung
protein asam glutamat biasanya adalah salah satu asam amino terbesar pada
protein. Protein dapat didegradasi atau dihidrolisa melalui reaksi yang biasa terjadi
pada proses pengolahan makanan dan penyimpanan. Reaksi ini mampu
menghasilkan pembentukan asam glutamat bebas dan dengan mudah dapat
direaksikan dengan ion natrium untuk menghasilkan MSG. Oleh karena itu MSG
dapat ditemukan khususnya pada makanan yang kaya protein seperti berbagai
macam produk susu, daging, ikan dan unggas, dimana MSG dapat ditemukan dalam
bentuk asam glutamat bebas pada makanan yang rendah protein, seperti tomat
(Maga, 1994).

Maga (1994) mendeskripsikan MSG sebagai senyawa pembangkit cita rasa, “mouth
fullness”, “impact” dan “mildness”, yang semuanya dapat meningkatkan tingkat
penerimaan makanan. MSG biasanya dipasarkan dalam bentuk kristal putih yang
siap dilarutkan dalam air. Produk ini tidak higroskopis dan sangat stabil selama
penyimpanan dalam waktu yang lama pada suhu ruang. Senyawa ini 100%
berbentuk L karena bentuk D tidak menunjukkan sifat “flavour potentiator”
(pembangkit cita rasa). Dengan kombinasi panas tinggi dan kondisi asam (pH 2,2-
4,4), MSG dapat didehidrasi sebagian menghasilkan Pyrolidone Carbocylic Acid
(PCA). MSG paling efektif sebagai “flavour potentiator” pada kisaran pH 5,5-8,0 dan
paling tidak stabil pada kisaran pH 2-3,5. Dibawah kondisi asam, sedikit perubahan
mulai terjadi setelah 3 hari dan bertambah antara 3-5 hari. Pada kondisi alkali tidak
terjadi perubahan selama 10 hari.

Samuel (1995), mengemukakan baahwa MSG diproduksi melalui suatu proses


hidrolisa protein. Ketika produk yang dihasilkan mengandung 99% MSG, produk
tersebut oleh FDA (Food and Drug Association) disebut sebagai monosodium
glutamat dan harus dilabel. Akan tetapi, ketika protein terhidrolisa mengandung
kurang dari 90 % MSG, FDA tidak mengizinkan MSG untuk diidentifikasi. “Autolyzed
yeast”, “hidrolyzed soy protein”, dan “sodium caseinat” adalah contoh dari nama
yang diberikan untuk protein terhidrolisa pada label makanan.

Masih menurut Samuel (1995) penggunaan MSG pada makanan semakin


berkembang. MSG ditemukan paling banyak pada sup, “salad dressing” dan olahan
daging, pada beberapa crackers, roti, ikan tuna kaleng, makanan beku, es krim dan
yogurt beku. MSG sering digunakan pada makanan rendah lemak untuk
meningkatkan rasa yang hilang ketika dikurangi atau dihilangkan.

Penyerapan dari MSG diketahui menghasilkan berbagai macam reaksi yang


merugikan pada orang-orang tertentu. Reaksi ini walaupun kelihatan tidak sama
adalah tidak banyak berbeda dengan reaksi yang ditemukan sebagai efek samping
dari obat penyakit syaraf tertentu. Kita tidak tahu mengapa beberapa orang
mempunyai pengalaman terhadap reaksi tersebut dan yang lainnya tidak. Kita tidak
tahu apakah MSG penyebab dari kondisi yang mendasari reaksi atau apakah kondisi
yang mendasari tersebut oleh penyerapan dari MSG (Anonymous, 2003a)

Masih menurut Anonymous (2003a) semua bentuk dari MSG (asam glutamat bebas
yang terdapat pada makanan sebagai akibat dari proses produksi) menyebabkan
reaksi pada orang-orang yang sensitif terhadap MSG. MSG diproduksi ketika enzim
protease atau perantara reaktif lainnya digunakan untuk berinteraksi dengan protein
selama proses produksi dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan pada
orang-orang yang sensitif terhadap MSG dan sering tidak ada petunjuk pada label
produk yang mempengaruhi daya beli.

Menurut Gold (1995) glutamat adalah neurotransmitter penting, senyawa kimia yang
tersedia pada sel saraf di otak untuk berkomunikasi dengan sel saraf yang lain.
Secara normal, glutamat berlebih dipompa kembali ke sel gliol disekeliling sel saraf.
Namun demikian, ketika sel terbuka maka kelebihan dari glutamat ini menyebabkan
sel saraf mati. Orang-orang yang dianjurkan mencegah kelebihan glutamat bebas
adalah orang-orang dengan kondisi sebagai berikut: bayi dan anak-anak, wanita
hamil, “hipoglicemia”, “low brain energy”/”brain fog” (glutamat berlebih menghalangi
penerimaan glukosa ke otak), obesitas, stres, “learning disabilities”, serangan tiba-
tiba (“seizure”), sakit kepala atau migrain (glutamat dan aspartat merupakan
pemicu), ketidakseimbangan sistem kekebalan defisiensi vitamin dan mineral, wanita
pada masa subur, ketidakseimbangan hormon/kelenjar endokrin, asma dan alergi,
tinnitas dan penyakit “meniere”, penyakit pada otak seperti penyakit “alzheimer”,
penyakit kronis dan orang yang sadar terhadap kesehatan.

Menurut Winarno (2002), dari hasil penyelidikan yang dilakukan disimpulkan bahwa
sebab utama timbulnya gejala tersebut diakibatkan MSG yang terdapat pada sup.
MSG dapat dengan cepat terserap kedalam darah yang kemudian dapat
menyebabkan gejala-gejala CRS (Chinese Restaurant Syndrome). Dari hasil
penelitian selanjutnya, khususnya analisis terhadap kadar MSG dalam serum darah
pasien, ternyata glutamat bukan merupakan senyawa penyebab yang efektif
terhadap terjadinya gejala CRS, tetapi diperkirakan gejala tersebut timbul karena
adanya senyawa hasil metabolisme glutamat seperti misalnya GABA (Gama Amino
Butyric Acid), “serotin” atau bahkan “histamin”

FAO dan WHO mengelompokkan MSG sebagai Food Additive (zat tambahan
makanan) dengan Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 120 mg/kg berat
badan/hari. Nilai ambang keamanan ini harus diperhatikan oleh setiap konsumen
MSG agar tidak melebihi jumlah konsumsinya. Jika dibuat berat tubuh orang dewasa
Indoesia rata-rata sebesar 50 kg maka konsumsi tiap harinya aman jika tidak
melebihi 120 mg x 50 = 600 mg (6 g) (Suratmah, 1997).

Karakteristik dari Produk MSG

Glu (singkatan IUPAC)

Asam glutamat
Alternatif
Asam 2-Aminopentanedioic
Nama
Asam 2-Aminoglutarat

Asam 1-Aminopropana-1, 3-dikarboksil


Bentuk Kristal
Bentuk Molekul C5H9NO4
Rasa Tidak ada

Kemurnian Lebih dari 90%


Kadar Air Tidak lebih dari 0,5%
NaC Tidak lebih dari 0,5%
Pengotor Harus tidak ada senyawa arsen, besi, dan kalsium

Total gula 48.3 %


PH 4.9 – 5.4
Nitrogen 1.01 %
Protein kasar (Crude
6.30
protein)
Biotin 3 ppm
Asam folat 0.04 ppm
Bahan kering 76.5 %
Kelembaban 23.5 %
Bahan organic 62.5 %
Dextrosa 11.5 %
Sukrosa 35.9 %
Fruktosa 5.6 %
Glukosa 2.6 %
Inositol 6000 ppm
Riboflavin 2.5 ppm

Bahan Baku Pembantu MSG

NaOH mempunyai struktur yang “fibrous”, diproduksi dengan reaksi kimia dari
sodium karbonat. NaOH adalah basa kuat yang biasanya dibakar dalam sabun, kayu
dan kertas (Standen, et al. 1993).

NaOH berbentuk kristal, bewarna putih, mempunyai titik lebur 318oC, dengan titik
didih 1390oC, mudah menyerap air dan karbon dioksida dari udara, beracun, dapat
menyebabakan iritasi pada kulit dan larut dalam alkohol, gliserol, dan air. NaOH
dihasilkan dari elektrolisis air laut atau larutan klorid (Basri, 1995).
Pada proses pembuatan MSG, NaOH (bersifat basa) digunakan dalam proses
netralisasi untuk bereaksi dengan asam glutamat (bersifat asam) menghasilkan
MSG. Sehingga akan diperoleh pH ± 6,8-7,2, dimana merupakan standart
keamanan MSG untuk dikonsumsi.

HCl merupakan bentuk hydrogen klorida dalam air. Biasa digunakan dalam pengolahan
makanan seperti “can syrup” dan sodium glutamat untuk menciptakan suasana asam saat
proses isolasi asam glutamat. HCl mempunyai sifat-sifat tidak berwarna atau sedikit kuning,
korosif, larut dalam air, alkohol, benzen, berasap dan tidak mudah menyala atau terbakar
(Handojo, 1995).

Sifat Fisik HCL Nilai


Titik leleh oC -85

Titik didih oC -114

Densitas relatif (water = 1) 0.86

Densitas uap relatif (udara = 1) 1.3

Tekanan uap, mmHg pada 20 oC 31.9

Kelarutan dalam air, g/100ml pada 20 oC 72

Massa molekul 76.5

Simbol GLUTAMAT Glu


Rumus molekul C5H9NO4
Berat molekul 147,13
Titik isoelektris (pH) 3,22
Nilai pKa 2,19; 4,25; 9,67

Genus BAKTERI Species


Corynebacterium C. glutamicum

C. lilium

C. calinuae
C. herculis
B. divaricatum

B. ammoniagenus

B. flavum

B. roseum

Brevibacterium B. lactofermentum

B. saccharolyticum

B. immariophilum

B. alanicum

B. thiogenitalis
M. saliconovolum

Microbacterium M. amnophoaphilum

M. flavum varghetamicum
A. globifermis
Arthobacter
A. amonifaceus

Sumber: Kuswanto dan Sudarmadji (1990).

Media untuk Fermentasi

Stanbury and Whitaker (1994) menyatakan bahwa formulasi media adalah suatu
tahap yang penting dalam menentukan keberhasilan dari suatu uji coba di
laboratorium, pengembangan terkontrol dan proses pabrikasi. Komponen dari
medium harus sesuai dengan persyaratan untuk biomassa sel dan produksi
metabolit dan semuanya itu harus memenuhi kecukupan pemberian energi untuk
biosintesis dan pemeliharaan sel. Adapun persamaan tentang pertumbuhan dan
pembentukan produk adalah:

Sumber karbon panas dan energi + sumber nitrogen + kebutuhan nutrien lain®
Biomassa sel + produk +CO2 + H2O

Adapun komponen-komponen yang dibutuhkan dalam medium fermentasi adalah


(Standbury and Whitaker, 1994) :
 Air

Air adalah komponen utama untuk semua media fermentasi , dan ini dibutuhkan
dalam mendukung kelancaran proses . Air bersih yang dibutuhkan dalam jumlah
yang besar. Beberapa faktor yang dianggap perlu diperhatikah meliputi pH, padatan
terlarut dan kontaminasi benda asing. Sedangkan kandungan mineral dan air adalah
sangat penting yang harus diperhatikan.

 Sumber energi

Energi untuk tumbuh berasal dari oksidasi dari komponen medium atau cahaya.
Sebagian besar mikroorganisme industri adalah kemoorganotrof, untuk itu yang
digunakan adalah sumber karbon seperti karbohidrat, lemak dan protein.
Kemoorganotrof menggunakan komponen organik sebagai sumber energinya.
Contoh bahan kimia organik antara lain glukosa dan asetat. Sebagian besar
kemoorganotrof merupakan heterotrof, yaitu suatu organisme yang membutuhkan
substrat organik untuk mendapatkan karbon sebagai kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangannya. Sebaliknya, kemolitotrof menggunakan komponen anorganik.
Beberapa mikroorganisme dapat menggunakan metana dan methanol sebagai
sumber karbon dan energi, ada beberapa sumber energi yang diperlukan
mikroorganisme yaitu:

 Sumber karbon

Dalam prakteknya, karbohidrat digunakan sebagai sumber karbon dalam prosese


fermentasi mikrobia. Sebagaian besar karbohidrat yang tersedia yang digunakan
berasal dari pati, yang didapat dari jagung. Sumber tersebut dapat juga didapatkan
dari serealia , kentang dan singkong. Pati yang biasa digunakan biasanya dengan
cara hidrolisis dengan melarutkan dalam asam dan enzim untuk memberikan vaiasi
dari padatan yang terbentuk( padatan dan sirup). Akan tetapi jika menggunakan
asam dalam proses hidrolisis dapat menimbulkan racun dalam produk yang
terbentuk sehingga hidrolisis dengan cara asam kurang cocok jika digunakan.

 Sumber nitrogen

Sebagaian besar indusri yang menggunakan mikroorganisme dapat menggunakan


sumber nitrogen baik anorganik maupun organik. Nitrogen anorganik dapat diberikan
sebagai gas ammonia, garam ammonium atau nitrat. Garam ammonium biasanya
sebagai amonium sulfat yang biasanya akan menghasilkan suasana asam sebagai
ion ammonium yang digunakan dan asam bebas yang akan dibebaskan.

 Mineral

Dalam berbagai media magnesium, fosfor, potassium, sulfur, kalsium dan klorin
adalah komponen penting, dikarenakan konsentrasinya yang dibutuhkan dimana
bahan tersebut harus ditambahkan sebagai komponen yang berbeda. Lainnya
misalnya kobalt, tembaga , besi, mangan, “molybdenum” dan seng juga penting
akan tetapi biasanya terdapat sebagai pengotor dalam bahan utama.

 Vitamin
Banyak dari sumber karbon alami dan nitrogen mengandung semua atau beberapa
vitamin yang diperlukan . Sangat penting untuk mengingat bahwa hanya satu vitamin
yang dibutuhkan yang perlu ditambahkan dengan memperhatikan factor
ekonomisnya. Dalam proses yang menghasilkan asam glutamat, biotin harus ada
dalam medium.

 Kebutuhan akan oksigen

Oksigen diperlukan untuk proses fermentasi, meskipun tidak semua proses


dibutuhkan oksigen. Akan tetapi oksigen tersebut menjadi sangat-sangat penting jika
dikaitkan dengan pengendali laju perkembangan dan produksi metabolit. Medium
mungkin dapat mempengaruhi kinerja oksigen dalam beberapa cara yang meliputi:

 Metabolisme cepat

Kultur mungkin dapat kekurangan oksigen karena oksigen yang dibutuhkan tidak
cukup tersedia dalam fermentor jika substrat tertentu, seperti metabolisme gula
secara cepat yang mendorong kebutuhan oksigen dalam jumlah tinggi yang tersedia
dalam konsentrasi tinggi.

 Rheology

Komponen individu dari medium dapat mempengaruhi viskositas dari medium


akhir dan berikutnya adalah perlakuan dengan penerimaan dari aerasi dan
agitasi.

 Anti buih

Banyak anti buih yang digunakan sebagai surfaktan dan mengurangi laju
transfer oksigen. Penggunaan surfaktan atau asam lemak memacu produksi
asam amino. Kedua zat tersebut akan mengubah permeabilitas sel terhadap
asam glutamat karena permeabilitas itu sendiri mungkin dikendalikan oleh
kandungan asam lemak tidak jenuh dan lipid dalam sel.

Fermentasi Asam Glutamat

Monosodium Glutamat secara umum dapat diproduksi melalui 3 metode: (1)


hidrolisis protein seperti gluten atau protein yang terdapat pada hasil samping gula
bit, (2) sintesis, 3) fermentasi mikrobia. Pada methode hidrolisis, protein dihidrolisis
dengan asam mineral kuat menjadi asam amino bebas, dan asam glutamat
kemudian dipisahkan, dari campuran dipurifikasi dan diubah menjadi garam
monosodium (monosodium glutamat). Sekarang ini produksi terbanyak di dunia dari
monosodium glutamat adalah malalui fermentasi bakteri. Pada metode ini bakteri
ditumbuhkan secara aerobik pada medium nutrisi cair yang mengandung sumber
karbon (contoh, dexstrose atau sitrat), sumber nitrogen seperti ion amonium atau
urea, ion mineral dan faktor pertumbuhan. Bakteri yang diseleksi untuk proses ini
mempunyai kamampuan untuk mengekskresikan asam glutamat yang mereka
sintesa diluar membran selnya ke medium dan dikumpulkan. Asam glutamat
dipisahkan dari cairan fermentasi melalui filtrasi, pemekatan, asidifikasi, dan
kristalisasi diikuti dengan konversi menjadi garam monosodium (monosodium
glutamat) (Anonymous, 2003a).

Industri asam amino, yang tumbuh dengan industri monosodium glutamat (MSG)
sebagai pelopor, pertama kali berdiri di Jepang. MSG diproduksi dari fermentasi
tetes tebu, hidrolisat pati dan gula sebagai bahan dasar. Produksi asam amino
dengan menggunakan mikroba ditemukan pertama kali ditemukan untuk proses
produksi asam glutamat pada tahun 1957. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk
meningkatkan hail asam amino dari bahan dasar dan tingkat proses produksi asam
amino dengan memilih bakteri yang sesuai dari sumber alami dan menetapkan
metode yang sesuai untuk produksi asam glutamat dalam skala industri.
Mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi ini adalah genus dari
Corynebacterium dan Brevibacterium (Kumon and Tetsuya, 1991).

Proses pembuatan MSG dalam skala industri mulai berkembang pesat setelah
penemuan Corynebacterium glutamicum oleh Kinoshita. Pada fermentasi asam
glutamat, tingkat pertumbuhan sel bakteri meningkat dengan penambahan biotin
pada medium. Tetapi penambahan biotin mengurangi produktivitas sintesa dari
asam amino dan akumulasinya karena biotin menurunkan permeabilitas sel untuk
asam amino tersebut (Sardjoko, 1991).

Selain optimasi dari kultur medium pemilihan bakteri yang tepat, maka kondisi juga
perlu diperhatikan. Terutama untuk proses produksi dalam skala besar. Pada
fermentasi asam amino, nilai nutrisi dari kultur media sangat tinggi dan itu akan
meningkatkan resiko pertumbuhan bakteri asing (kontaminan). Untuk itu maka
bakteri yang tidak digunakan harus dieliminir dari fermentor dan kultur media,
sehingga kontaminasi dapat dicegah selama proses fermentasi. Sterilisasi panas
dan filtrasi udara adalah metode yang umum digunakan pada fermentasi asam
glutamat (Kumon and Tetsuya, 1991).

Produksi dan ekskresi asam glutamat tergantung pada permeabilitas sel.


Mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi asam glutamat, yaitu genus
Corynebacterium dan Brevibacterium membutuhkan biotin yaitu kofaktor esensial
pada biosintesa asam lemak. Defisiensi biotin menyebabkan kerusakan membran
sebagai akibat kekurangan fosfolipida dan di bawah kondisi tersebut asam glutamat
intraseluler dikeluarkan (Brock, 1994). Konsentrasi kritis biotin di dalam medium
untuk memproduksi asam glutamat adalah 0,5 g/liter (Judoamidjoyo, dkk. 1992).

Sa’id (1991), mengemukakan bahwa reaksi yang terjadi dalam fermentasi asam
glutamat adalah sebagai berikut:

 Metabolisme gula melalui jalur EMP (Embden Meyerhof Parnas) dan HMS
(Hexosa Monphosphate Shunt).
 Pada laju aerasi yang rendah, jalur EMP dominan asam laktat berakumulasi
dari pada asam glutamat akan berakumulasi.

Setelah asam glutamat terbentuk, organisme hanya mempunyai sedikit kemampuan


untuk menguraikan produk yang terjadi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk proses fermentasi asam glutamat adalah:
proses pendinginan yang digunakan, jumlah oksigen terlarut, ukuran dan kontrol pH
dengan menggunakan amoniak. Kondisi optimal pertumbuhan pada suhu 30-350C
dengan pH antara 7-8. Kecepatan transfer oksigen akan menyebabkan terjadinya
akumulasi asam a-ketoglutarat Asam laktat juga akan terbentuk jika kelebihan biotin.
Pada media yang kelebihan biotin harus ditambahkan penicilin yang mempertinggi
permeabilitas membran sel dan meningkatkan produksi asam glutamat ( Bu’lock and
Kristiansen, 1997).

Proses Pembuatan MSG

Secara garis besar proses produksi MSG melalui tahap-tahap persiapan bahan baku
dan bahan pembantu, fermentasi, kristalisasi, dan netralisasi serta pengeringan dan
pengayakan.

1. Persiapan bahan baku dan bahan pembantu

Dalam pembuatan MSG digunakan bahan baku berupa tetes tebu sebagai sumber
karbohidrat. Tetes tebu diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan Ca
dengan menambahkan H2SO4. Setelah itu tetes disterilisasi dengan menggunakan
uap panas bersuhu maksimum 1200C selama 10 hingga 20 menit dan siap
difermentasi dalam tabung yang juga disterilisasi (Said, 1991).

Selain bahan baku utama juga terdapat bahan pembantu dalam pembuatan MSG.
Bahan pembantu tersebut adalah amina (NH2), asam sulfat (H2SO4), HCl, NaOH,
karbon aktif, “beet molasses” dan “raw sugar” (Susanto dan Sucipto, 1994).

2. Fermentasi

Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi reduksi di dalam sistem biologi yang
menghasilkan energi. Fermentasi menggunakan senyawa organik yang biasanya
digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah
oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi bentuk lain (Winarno, 1990).

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada
substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan
sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan-pemecahan kandungan bahan
pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan
pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno, 1990).

Bakteri yang banyak digunakan dalam pembuatan MSG adalah bakteri


Brevibacterium lactofermentum. Pertama-tama biarkan kultur yang telah diinokulasi
dimasukkan kedalam tabung berisi medium prastarter dan diinkubasi selama 16 jam
pada suhu 310C. Selanjutnya biarkan prastarter diinokulasi kedalam tangki starter
(Judoamidjojo, dkk. 1990).
Penurunan pH akibat terbentuknya asam pada proses pembentukan prastarter tidak
diinginkan karena akan menghambat pola pertumbuhan. Penambahan garam
(CaCO3) sebanyak 3 % kedalam tebu prastarter berguna untuk mencegah agar pH
tidak rendah dari 7. Didalam tangki pembibitan penggunaan CaCO3 tidaklah
mungkin karena akan menyebabkan efek samping berupa kerak dan endapan serta
akan mengurangi efek pertumbuhan mikroba. Penambahan urea ke dalam tangki
pembibitan akan mengurangi pH dan dapat menggantikan fungsi CaCO3. Nilai pH
tertinggi yang terjadi akibat peruraian urea diharapkan tidak lebih dari 7,4 sedangkan
pH terendah tidak kurang dari 6,8. Hasil dari fermentasi adalah asam glutamat
dalam bentuk cair yang masih tervampur dengan sisa fermentasi (Said, 1991).

3. Kristalisasi dan Netralisasi

Kristalisasi merupakan metode yang terpenting dalam purifikasi senyawa-senyawa


yang mempunyai berat molekul rendah (Mc Cabe, et al. 1994). Kristal murni asam
glutamat yang berasal dari proses pemurnian asam glutamat digunakan sebagai
dasar pembuatan MSG. Asam glutamat yang dipakai harus mempunyai kemurnian
lebih dari 99 % sehingga bisa didapatkan MSG yang berkualitas baik. Kristal murni
asam glutamat dilarutkan dalam air sambil dinetralkan dengan NaOH atau dengan
Na2CO3 pada pH 6,6-7,0 yang kemudian berubah menjadi MSG. Pada keadaan
asam glutamat akan bereaksi dengan Na dan membentuk larutan MSG. Larutan ini
mempunyai derajat kekentalan 26 -280Be. Pada suhu 300C dengan konsentrasi
MSG sebesar 55 gram/larutan (Winarno, 1990).

Penambahan arang aktif sebanyak % (w/v) digunakan untuk menjernihkan cairan


MSG yang berwarna kuning jernih dan juga menyerap kotoran lainnya, kemudian
didiamkan selama satu jam lebih untuk menyempurnakan proses penyerapan warna
serta bahan asing lainnya yang berlangsung dalam keadaan netral. Cairan yang
berisi arang aktif dan MSG kemudian disaring dengan menggunakan “vacuum filter”
yang kemudian menghasilkan filter serta “cake” berisi arang aktif dan bahan lainnya.
Bila kekeruhan dan warna filter tersebut telah sesuai dengan yang diinginkan maka
cairan ini dapat dikristalkan (Said, 1991).

Larutan MSG yang telah memiliki kekentalan 260Be diuapkan pada kondisi vakum
bertekanan 64 cmHg atau setara dengan titik didih 69 gram MSG pelarutan.
Pemberian umpan akan menyebabkan terbentuknya MSG karena larutan dalam
keadaan jenuh. Umpan yang diberikan sekitar 2% lalu inti kristal yang terbentuk
secara perlahan-lahan akan diikuti dengan pemekatan larutan sehingga
menghasilkan kristal yang lebih besar. Proses kristalisasi berlangsung selama 14
jam (Said, 1991).

4. Pengeringan dan pengayakan


Kristal MSG yang dihasilkan dari proses kristalisasi dipisahkan dengan metode
sentrifugasi dari cairannya. Filtrat hasil penyaringan dikembalikan pada proses
pemurnian dan kristal MSG yang dihasilkan setelah disaring kemudian dikeringkan
dengan udara panas dalam lorong pengeringan, setelah itu diayak dengan ayakan
bertingkat sehingga diperoleh 3 ukuran yaitu LLC (“Long Large Crystal”), LC (“Long
Crystal”), dan RC (“Regular Crystal”), sedangkan FC (“Fine Crystal”) yang
merupakan kristal kecil dikembalikan ke dalam proses sebagai umpan. Hasil MSG
yang telah diayak dalam bentuk kering kemudian dikemas dan disimpan sementara
dalam gudang sebelum digunakan untuk tujuan lainnya (Said, 1991).

SUMBER REFERENSI:

Aiba, S.E.H and N.F. Mills.1973.Biochemical Engineering, 2nd


edhttp://www.Miwon.co.jp/Miwon/ACompany/company/zaimu/pdf/fact/(food_biz_pdf).
Diakses tanggal 5 Pebruari 2007. Academic Press Inc, New York.

Anonymous . 2003a. MSG. http://www.msgmyth.com/ Diakses tanggal 25 Pebruari


2007.2004b. Miwon (Monosodium Glutamat).

__________ . 2005c. Ammonia. http://en.wikipedia.org/wiki/Ammonia. Tanggal

akses 2 Pebruari 2007

__________. 2005d. Asam Glutamat. http://www. En.wikipedia.org/wiki/monosodium


glutamate. Diakses tanggal 20 Maret 2006.

.2007e. Tank. http://www.taisei-mfg.com/english/sihin_b/automix/me.gif. Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007f. Storage Tank. http://www.conocophillipspipeline.com/NR/ rdonlyres/


DC9D75D2/ FloatingTankRoof.jpg. Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007g. Dissolution Tank.http://www.sucf.suny.edu/project/ campus/buf_sout/


28326/Mactltl1C.jpg. Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007h. Reaction Tank. http://www.sugino.com/products/img_y/jc_p030.jpg. Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007i. Retention Tank. http://www.ohiopurewaterco.com/shop/files/images/ retention


%20tank%20main.jpg. Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007j. Fermentor. http://www.burkert.com/img_article/pressure04.jpg. Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007
.2007k. Shell and Tube.http://faculty.kfupm.edu.sa/me/antar/
shell_tube/classes/shell-and-tube.jpg . Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007l. Acidification Tank. http://www.napro-pharma.no/bilder/tank.jpg. Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007m. Crystallization Tank. http://www.genemco.com/catalog/IMS9703tank.jpg.


Diakses tanggal 25 Pebruari 200

.2007n. Neutralization Tank. http://www.napfro-pharmo.no/bilder/tank.jpg . Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007o. Super Decanter Centrifuge. http://www.marstechusa.com/p1500back,jpg.


Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007p. Falling Film Evaporator. http://www.montz.de/pics/products/falling/s.64-


652.gif . Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007q. Leaf Filter. http://perryvidex.xom/perry/ perryvidex2.nsf/ pressure%20leaf


%20filter.JPG. Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007r. Cartidge Filter. http://www.tropical-recreative.nl/images/filter-cartidge.jpg.


Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

.2007s. Column Resin. http://www.mdafiltration.com/images/tank.gif . Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007t. Vibrating Shifter. http://www.sawmill-exchange.com/Photo_9193.jpg. Diakses


tanggal 25 Pebruari 2007

.2007u. Fluidized Bed Cooler. http://www.remco.com/ixc.gif . Diakses tanggal 25


Pebruari 2007

.2007v.Fluidized Bed Flash Dryer. http://www.dairyfoodtech.


com/gifs/fluidized_bed_dryer.jpg . Diakses tanggal 25 Pebruari 2007

Basri, K. 1995. Kamus Istilah Kimia. Liberty. Yogyakarta

Bellitz, H.D and Grosch, W. 1999. Food Chemistry 2nd.ed. Springer-Verlag Berlin
Herdberg. Germany

Brock, T.D. 1994 Biology of Microorganisms. Prentice Hall International Inc. New
York

Bu’lock, J and D, Kristiansen. 1997. Basic Biotechnology. Academic Press Limited.


London

Chen, J.C.P and C.Chou (eds). 1993. Sugar Cane Handbook: A Manual for Cane
Sugar Manufacturesand Their Chemisis. John Wiley and Sons, Inc. New York
Concidine. 1992. The Encyclopedia of Chemistry, 3rd Edition. Reinhold Company
Inc, New York.

Gold, M. 1995. Monosodium Glutamat (MSG). <http://www.holistoned.com/


msg/msg-mark.txt>. Diakses tanggal 6 Pebruari 2007

Handodjo, L.1995. Teknologi Kimia. PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Jennie, Umar Anggara, Prof. Dr. 2001. Penjelasan Pembuatan Monosodium


Glutamat (MSG). http://media.isnet.org/top/index.html. Diakses tanggal 1 Maret 2007

Judoamijoyo, M., Darwis, A.A, dan Sa’id, E.G.1990. Teknologi Fermentasi. PAU
Bioteknologi IPB, Rajawali Press. Jakarta

Kumalaningsih, S. dan Hidayat. 1997. Teknologi Industri. Universitas Brawijaya.


Malang

Kumon, S. and Tetsuya K. 1991. Amino Acids. Central Research Laboratories.


Miwon Company. Japan

Kuswanto, K.R dan Sudarmadji, S. 1990. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan
Gizi. UGM. Yogyakarta

Maga, J.A and Tu, A.T. 1994. Food Additive Toxicology. Marcell Dekker, Inc. New
York

Mc. cabe, L. W.; C. S. Julian; and H. Peta. 1994. Unit Operation and Chemical
Engineering. Mc Graw. Hill Book Co, Singapore

Pelczar, J., Reid, Chan. 1992. Microbiology 2nd. John and Willey Sons, Inc. New
York

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta

Sa’id, G. 1991. Biondustri Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Meiyatama Sarana


perkasa. Jakarta

Samuel,A.1995. Monosodium Glutamat (MSG), <http://www.holisticmed.com/


msg/msg-basics.txt>. Tanggal akses 13 September 2006

Sardjoko. 1991. Bioteknologi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Smith, J. E., 1992. Biotechnology. 2nd Edition. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta

Standen, A. M., H.F. Ketta., and D.F.Othmer. 1993. Kitkothmer Encyclopedia of


Chemical Technology, 2nd Edition, Vol.2. Intercom Publisher, New York.

Sudarmadji, S.B., Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta
Standbury,P.f and A.Whitaker.1994.Pricipled of Fermentation Technology. Pergamon
Press, New York

Susanto, T dan N. Sucipto.1994. Teknologi Pengolahan Hasil pertanian. Bina Ilmu,


Surabaya.

Suratmah. 1997. Ilmu Pangan dan Gizi. Liberty. Yogyakarta

Tranggono, Sutardi, Haryadi, Suparmo, Murdiati, A., Sudarmadji, S., Rahayu, K.,
Naruki, S. dan Astuti, M. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). Proyek
Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank Dunia XVII) – PAU
Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Winarno, F.G. 1990. Teknologi Fermentasi. Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas


bersama Antar Universitas, PAU Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Introduction to Carrageenan - Structure
Primary structure

The basic structure of carrageenan is a linear polysaccharide made up of a repeating


dissacharide sequence of α-D-galactopyranose linked 1,3 called the A residue and β-D-
galactopyranose residues linked through positions 1,4 (B residues). Carrageenans are
distinguished from agars in that the B units in carrageenan are in the D form whereas they are
in the L form in agar's.

Kappa Carrageenan

The regular backbone structure of The basic structure of carrageenan is disrupted by a more
or less ordered distribution of sulphate hemi ester groups. Carrageenan can also contain some
methoxy and pyruvate groups.

The original classification of carrageenan was determined by the fractionation of the


polysaccharide with potassium chloride.The fraction that was soluble in 0.25M KCl was
called lambda carrageenan and the fraction that was insoluble was called kappa carrageenan.
Rees and his co-workers later altered this so that kappa and lambda carrageenan referred to
idealised specific disaccharides.

Iota Carrageenan

Gelling in carrageenan is caused by helix formation and this can only occur in repeat
structures where the B residue is in a 1-C-4 conformation. Lambda carrageenan has both its
sugar residues in a 4-C-1 conformation and does not form gels. All the gelling types of
carrageenan which include κ and ι all contain a 3,6 anhydro bridge on the B unit which forces
the sugar to flip from a 4-C-1 conformation to a 1-C-4 conformation and can then form cross-
link networks and gels.

Some types of seaweed species contains relatively pure carrageenan fractions Eucheuma
Cottonii contains largely κ carrageenan and μ carrageenan which may be converted to kappa
carrageenan by alkali treatment. Eucheuma Spinosum contains a similarly high level of ι
carrageenan with some ν carrageenan precursor. Furcellaran contains a strong gelling type
carrageenan which is very much like kappa carrageenan. Other seaweed types, such as
chondrus crispus and Gigartina types contain not only a mix of κ and λ type carrageenans but
also a type of carrageenan polymer that is essentially a block copolymer of different
carrageenan types. This gives the carrageenan made from Gigartina or Chondrus weed
species quite different properties from those made from the Eucheuma type species from
South east Asia. you will also see later that the differences in structure also enable quite
different processing conditions to be utilised for the different weed types.

Lambda Carrageenan

REGULATORY “SHOW STOPPERS”

Legally defined product standards set boundaries for TSV products that must be met. Failure to comply
means that product cannot be sold to customers or jurisdictions where the standards apply. Click links to access
documents or portals to these standards.

EU - European Union standards for E407a (Processed Eucheuma Seaweed ) and E407 (Carrageenan) (e.g.
Commission Directive 98/86/EC Nov 1998 & 95/2/EC February 1995)

JECFA - FAO/WHO Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) standards for Processed Eucheuma
Seaweed and Carrageenan.

Codex FAO Food and Nutrition Papers 52 Add 9, June 2001) JECFA Specifications.

USFDA – United States Food & Drug Administration standards (USFDA 21 CFR 172:620)

HACCP Hazard Analytical Control Points requirements

ISO 9001 : 2000, Quality Management System


ISO 14001:2004, Environmental Management System

ISO 22000 : 2005, Food Safety Management, Requirement for any organizations in the Food Chain

OHSAS 18001 - Occupational Health and Safety Management Systems Requirements.

REGULATORY GUIDELINES

It is recognized that many standards in TSV are “commercial standards” that are best left to definition between
buyers and sellers. In such cases standards should not be imposed but guidelines can be of use.

PNCS - Philippine National Carrageenan Standard (under development). This is also proposed as the basis for a
BIMP-EAGA harmonized standard. It is not be an attempt to force unwanted additional constraints on BIMP-
EAGA carrageenan producers. Rather, it is a tool for harmonizing constraints imposed by legal standards from
around the world and ensuring that TSV products that conform to the BIMP-EAGA standard will be acceptable to
all major markets.

CAC/GL 60-2006 : Principle for Traceability/ Product Tracing as a Tool within a Food Inspection and
Certification System

CAC/GL 38-2001 Rev.1-2005: Guidelines for Generic Official Certificates Formats and the Production and
Issuance of Certificates

Basic manufacturing practices for raw-dried seaweed and semi-refined carrageenan from Eucheuma and
Kappaphycus. SEAPlant.net Monograph no. HB2G 1008 V2 BMP. This is meant as a starting point toward
developing Good Manufacturing Practice guidelines especially for process steps that occur near seaweed sources
and fall into the category of “post-harvest treatment”.

Anda mungkin juga menyukai