Anda di halaman 1dari 33

Bismillahirrahmanirrahim

Seharusnya bagi setiap orang yang sudah mukallaf memelihara lidahnya dari
setiap kata, kecuali kata atau ucapan yang jelas ada gunanya. Kapan
ditemukan bahwa berkata-kata atau berdiam diri sama saja manfaatnya maka
disunatkan untuk tidak berbicara. Sebab kadang-kadang ucapan yang mubah itu
tidak dapat direm (distop), sampai melewati batasnya sehingga menjadi
ucapan yang makruh atau haram.

Alloh berfirman:
Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir ( Surat Qof (50) : ayat 18 )

Sesungguhnya Tuhanmu benar-beanr mengawasi ( Surat Al Fajr (89) : ayat 14)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :
Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat maka hendaklah
(bila berkata) berkata yang baik atau diam saja. ( Riwayat Bukhari dan
Muslim )

Seorang sahabat Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

Aku bertanya kepada Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam, wahai Rosululloh, siapa diantara
kaum muslimin yang paling afdhol?? Rosululloh bersabda (menjawab) : Orang
yang dapat memelihara tangan dan lidahnya? (Riwayat Bukhari dan Muslim )

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu dari Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam:

Barangsiapa dapat memelihara sesuatu yang ada antara dua tulang rahangnya
(yakni mulut) dan sesuatu yang ada antara dua kakinya (yakni kehormatannya)
karena (syari'at yang) ku(bawa) niscaya baginya kujamin masuk sorga.
(Riwayat Bukhari)

Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya ia mendengar Nabi saw. :

Sesungguhnya seorang hamba (Alloh) yang asal bicara tanpa dipikirkan baik
buruknya, dapat tergelincir ke jurang neraka yang dalamnya lebih dari jarak
antara masyrik dengan maghrib. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :
Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kalimat yang mendapat
ridho dari Alloh, (walaupun) tidak dianggapnya berarti apa yang
diutarakannya itu, Alloh akan mengangkatnya beberapa derajat sebab
ucapannya itu. Dan sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kalimat
yang dimurkai Alloh Ta'ala (walaupun) tidak diutarakannya dengan suatu
maksud yang berarti, Alloh akan menurunkannya ke jahannam dengan sebab
ucapannya itu.(Riwayat Bukhari)

Dari Sufyan bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, Ia berkata:

Aku berkata (kepada Rosululloh), "Wahai Rosululloh beritahukan kepadaku


suatu perkara yang harus kupegang selalu". Ia bersabda, "Ucapkanlah,
Rabbiyallooh, (Tuhanku adalah Alloh), kemudian istiqomah (pertahankalah)
pendirian itu".
Aku berkata lagi, "Wahai Rosululloh, apakah yang sangat ditakutkan bagiku
?" Maka Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam mengambil lidahnya sendiri kemudian ia bersabda,
"Inilah dia". (Riwayat Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Dari Ibnu Umar RAdhiyallahu 'anhu ia berkata, Rosululloh Shallallah 'alahi wasallam bersabda:

Jangan banyak berbicara selain dari mengingat (dzikir) kepada Alloh. Sebab
banyak bicara selain dari menyebut nama Alloh (dzikrulloh) mengeraskan
hati. Dan sesungguhnya orang yang jauh dari Alloh Ta'ala ialah (orang yang
berhati keras). (Riwayat Tirmidzi)

Dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu dari NabiShallahu 'alaihi wasallam :
Apabila anak Adam (seorang manusia) sudah berada pada waktu pagi, karena
semua anggota badan menganggap lidah sebagai anggota yang hina, maka
mereka berkata kepadanya: (wahai lidah) taqwalah kepada Alloh (selama kau)
berada pada kami, karena kami hanya mendapat akibat daripadamu. Jika kamu
lurus kamipun menjadi lurus dan jika kamu bengkok kami pun menjadi bengkok.
(Riwayat Tirmidzi)
KEADILAN KATA-KATA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN GENERAL SEMANTIC

Oleh: Fikri Mahmud

Suatu ketika Rasulullah saw. duduk-duduk bersama isterinya Aishah, Beliau


memuji isterinya yang bernama Sofiah, kata-kata pujian itu rupanya
membangkitkan perasaan cemburu bagi Aishah. Aishah lansung saja berkata: Apa
sebenarnya yang menawan hatimu wahai Rasulullah? Dia tidak lebih dari wanita
cebol!!. Itu saja kata-kata yang diucapkan oleh Aishah dan tidak lebih. Tiba-tiba
Rasul memberi penjelasan: Apa yang telah engkau katakan wahai Aishah?
Andaikan kata-katamu itu engkau campurkan dengan air laut, maka rusaklah laut
itu, -sama ada warna mahupun baunya. (Khalid, 1984: 154)

Rasulullah menyedari akan bahaya lidah dan ancaman kata-kata, sama ada
yang diucapkan dengan sungguh-sungguh, mahupun olok-olok. Beliau bersikap
tegas terhadap kata-kata yang dilontarkan kepada orang lain, -kata-kata yang
menusuk hati dan melukai perasaan; sehingga Rasul berkata: Dan adakalanya
seorang hamba mengeluarkan kalimat yang menyebabkan murka Allah dengan
tidak diperhatikan, tiba-tiba ia telah terjerumus kedalam neraka jahannam
(Bukhori). Kata-kata yang tidak disengaja yang begitu saja dilontarkan tanpa
pertimbangan dapat mengurangi martabat seseorang dan merendahkan harga
dirinya. Disinilah terjadinya ketidakadilan, atau kezaliman. Itulah sebabnya
Rasulullah selalu memperingatkan tentang bahaya lidah. Mahukah engkau aku
tunjukkan kunci segala amal kebajikan?, tanya Rasul kepada Muaz bin Jabal. Ya
wahai Rasululah, jawab Muaz. Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda:
Jagalah ini!!. Wahai Rasulullah !, kata Muaz, apakah kami akan disiksa kerana kata-
kata yang kami ucapkan?. Semoga engkau selamat oh Muaz! Adakah yang
menjerumuskan orang kedalam api neraka selain buah ucapan lidah mereka?,
jawab Rasul.(At-Tirmizi).

Mengapa bahaya lidah yang menyebabkan orang masuk neraka, sehingga


Rasul memperingatkannya dengan extra hati-hati? Sebuah penelitian
mengungkapkan bahawa ternyata 70% waktu bangun kita digunakan untuk
berkomunikasi. Komunikasi ada dimana-mana; di rumah, di sekolah, di pejabat, di
pasar, di mesjid, di dalam bas, dan sebagainya. Begitu pentingnya menjaga lidah,
sampai-sampai Rasul berkata: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, maka hendaklah ia mengucapkan kata-kata yang baik, atau diam
saja(Bukhori&Muslim). Al-Quran menjelaskan bahawa kata-kata sebesar apapun
yang kita ucapkan, tidak terlepas daripada pengawasan. Tiada satu ucapan pun
yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir
(Q.S.50: 18).

KEADILAN KATA-KATA
Al-Quran memerintahkan kita supaya berlaku adil dalam mengucapkan kata-
kata terhadap siapa pun. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil(Q.S.6: 152). Apa yang dimaksud dengan keadilan kata-kata?

Keadilan kata-kata, kata Khalid Muhammad Khalid, bererti jangan hendaknya


kata-katamu sampai menyakiti hati tanpa memperdulikan siapakah orangnya;
walupun kata-kata itu benar dan nyata sebagaimana halnya cacat dan keganjilan
yang terdapat pada diri seseorang, maka kata-kata yang demikian itu bererti
memperkosa keadilan dan berusaha menyingkirkan keadilan. (Khalid, 1984: 155)

Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi, Bagaimana kiranya


kalau yang saya katakan itu memang benar-benar ada padanya?. Beliau
menjawab: Kalau memang benar bererti engkau mengumpat; bila tidak, maka
engkau berdusta. (Muslim) Dalam kesempatan lain Rasul memperingatkan bahawa,
Orang muslim itu ialah orang yang selamat kaum muslimin daripada kejahatan
lidahnya dan tangannya. (Muttafaqun alaih). Menyakiti orang lain dengan tangan
adalah perbuatan aniaya, begitu juga menyakiti orang lain dengan lidah, -itu pun
perbuatan zalim. Ini melanggar prinsif keadilan. Itulah sebabnya Rasul melarang
membicarakan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan seseorang, walaupun
apa yang kita perkatakan itu benar-benar ada dan terdapat padanya, yang dalam
istilah agama disebut ghibah (mengumpat). Tentu saja dalam hal ini ada
pengecualian; Misalnya menjelaskan ciri-ciri seseorang kepada orang yang belum
kenal dan belum pernah berjumpa dengannya, atau menyebut keburukan
seseorang kerana untuk mengambil pelajaran (Itibar) daripadanya, atau untuk
memberikan kesaksian dimuka mahkamah, dan sebagainya. (An-Nawawi,II: 413).
Ini dibolehkan dalam agama; kerana yang demikian itu memang sudah pada
tempatnya pula kita melakukannya dan itu pun termasuk juga kedalam adil.
Bukankah adil itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana didefinisikan
orang?

Ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Daud as. untuk memutuskan


perkara diantara manusia, Ia berkata: Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara)
diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, kerana ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Q.S.38: 26). Didalam ayat itu ada dua
hal yang mesti diperhatikan: pertama, mengambil keputusan hukum dengan adil;
dan kedua, jangan mengikuti hawa nafsu. Ini diperingatkan oleh Allah swt , kerana
seringkali penguasa memerintah dan menetapkan hukum atas dasar seleranya
peribadi (hawa nafsu), sehingga menimbulkan ketidakadilan.

Sebenarnya ayat diatas tidak menyebut istilah adil, melainkan al-haq yang
lebih sering diterjemahkan dengan kebenaran (fahkum baynan-Nasi bil-haq). Tetapi
yang dimaksud dengan al-haq -dalam konteks hukum- memang adil itu. Itulah
sebabnya Team Penterjemah Al-Quran dan Terjemahannya serta mufassir lain,
menafsirkan al-haq tadi dengan adil. Jadi, keadilah hukum itu adalah mengikuti dan
menetapkan perkara dengan kebenaran. Adil dalam ayat tersebut (atau al-haq)
dipertentangkan dengan hawa nafsu; maka tindakan tidak adil itu adalah tindakan
yang mengikuti hawa nafsu. Dalam bahasa ilmiah sekarang, hawa nafsu itu adalah
egoisme, kepentingan peribadi atau golongan, atau subyektivisme.(Rahardjo,
1994:23).

Bila untuk standar keadilan hukum Allah swt. menggunakan kata al-haq
(kebenaran), maka untuk standar keadilan kata-kata Allah menggunakan istilah
Qawlan Sadidan, sebagaimana yang terdapat pada ayat: Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah qawlan sadidan, niscaya
Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-
dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
ia telah mendapat kemenangan yang besar.(Q.S.33:70-71).

Apa arti Qawlan Sadidan? Al-Quran dan Terjemahannya menafsirkan dengan


perkataan yang benar. Ini sejalan dengan Dr. Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr.
Muhammad Muhsin Khan, dari Islamic University Al-Madinah Al-Munawwarah, yang
menterje-mahkannya kedalam Bahasa Inggeris sebagai the truth. Sedangkan Ibnu
Katsir menjelaskan makna qawlan sadidan itu dengan: ay mustaqman l Iwijja fhi
wal inhirf (iaitu perkataan yang lurus, tidak berbelit-belit, dan tidak ada padanya
penyelewengan makna).

Jika pada ayat diatas kita diperintahkan supaya mengucapkan qawlan


sadidan, maka pada ayat lain kita dilarang mengatakan Qawlaz-Zur. maka jauhilah
olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah qawlaz-Zur.(Q.S.22:30).
Qawlaz-Zur oleh Al-Quran dan Terjemahannya ditafsirkan dengan perkataan-
perkataan dusta, atau lying speech seperti yang diterjemahkan oleh Al-Hilali dan
Khan. Dr. Muhammmad Hasan Al-Himshi menjelaskan maksud Qawlaz-zur itu
sebagai qawlal-bathili wal-kazibi al-qobih (perkataan yang bathil dan bohong lagi
keji). Maka Qawlan Sadidan bertentangan dengan Qawlaz-Zur.

Dari dua ayat diatas dapat kita pahami bahwa keadilan kata-kata itu adalah:
berkata benar, tidak bohong; lurus, tidak berbelit-belit; jujur, tidak
menyelewengkan kata; lugas (bersahaja) dan tidak keji.

Lalu apa yang dimaksud dengan benar dalam keadilan kata-kata itu? Yang
pertama, adalah sesuai dengan kriteria kebenaran itu sendiri. Bagi umat Islam
ucapan yang benar adalah ucapan yang sesuai dan dibenarkan oleh Al-Quran dan
Sunnah, serta ilmu pengetahuan. Tidak hanya berdasarkan hawa nafsu, seperti
pada keadilan hukum tadi. Ghibah diatas misalnya, walaupun yang kita perkatakan
itu memang benar-benar ada terdapat pada orang tersebut, tetapi dilarang
melakukannya oleh Al-Quran dan Sunnah. Maka ghibah itu tidak dibenarkan dan
melanggar prinsif keadilan. Contoh lain adalah mencaci tuhan-tuhan orang yang
berbeda agama dengan kita, seperti yang terdapat di dalam Al-Quran: Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampau batas tanpa
pengetahuan (Q.S.6:108). Maka melakukan hal itu tidak benar dan tidak adil.
Masih banyak lagi contoh yang lain, tetapi cukuplah disini kita katakan bahawa,
tidak semua yang kita lihat itu boleh kita perkatakan, walaupun hal itu benar-benar
ada dan dapat dibuktikan kebenaran adanya.
Yang kedua, tidak bohong. Bohong adalah mengatakan sesuatu yang
bertolak belakang dengan keadaan yang sebenar. Berita yang tidak didukung oleh
fakta adalah berita bohong. Masyarakat dapat menjadi resah bila ada orang-orang
yang menebar fitnah, dan pada gilirannya akan menimbulkan perilaku yang
bertentangan dengan hukum dan prinsif keadilan. Rasul bersabda: Jauhilah dusta,
kerana dusta membawa kamu kepada dosa, dan dosa membawa kamu kepada
neraka. Lazimkanlah berkata jujur, kerana jujur membawa kamu kepada kebajikan,
dan kebajikan membawa kamu kepada sorga (Muttafaqun alaih). Al-Quran
melaknat orang-orang yang banyak berbohong: Kecelakaan yang besarlah bagi
tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa (Q.S.45:7).

Ketika Abu Darda bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah, mungkinkah seorang


mukmin mencuri?, Nabi menjawab: Ya, kadang-kadang. Ia bertanya lagi:
Mungkinkah ia berzina?. Kata Nabi: Mungkin saja. Abu Darda bertanya lagi:
Mungkinkah ia berdusta?, ketika itu Nabi menjawab dengan ayat Al-Quran:
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang pendusta
(Q.S.16:105).

Ketiga, tidak menyelewengkan kata. Menyelewengkan kata dan memberinya


makna lain dari pengertian yang sebenar, oleh Ibnu Katsir disebut Inhirf. Orang
Indonesia menamainya Pelesetan (dari kata peleset, memeleset artinya: tidak
mengenai sasaran, tidak mengenai yang dituju). Terkadang orang menciptakan
istilah-istilah yang diberi makna lain, sehingga terjadi penyalahgunaan kata. Kata
pendekar, misalnya, yang makna aslinya adalah orang yang pandai bersilat dan
gagah berani, dipelesetkan untuk menyebut (mencemuh) orang yang tubuhnya
pendek dan kekar. Pertentangan politik sering membuat orang memelesetkan
makna kata. Ketika Presiden Soeharto mundur, di Indonesia muncul istilah-istilah
baru yang merupakan pelesetan dari makna sebelumnya. TOSHIBA, jenama
barangan elektronik buatan Jepun, dipelesetkan menjadi kependekan dari Tommy,
Sigit, dan Bambang, iaitu putra-putra Soeharto yang memanfaatkan fasilitas
bapaknya untuk mengumpulkan kekayaan. TIMOR, jenama outo mobil di Indonesia,
dipelesetkan menjadi Tommy Itu Memang Orang Rakus. Kini di Malaysia orang
tidak segan-segan lagi memelesetkan kata-kata. BN (Barisan Nasional) misalnya,
dipelesetkan menjadi Babi Najis (maaf!). UMNO (United Malays National
Organization)dipelesetkan menjadi Untuk M (maaf, nama seseorang) Neraka Only.
RTM (Radio dan Televisyen Malaysia) dipelesetkan menjadi Radio dan Televisyen M
(nama seseorang). Dan PAS (Parti Islam Se-Malaysia) dipelesetkan pula menjadi
Parti Ajaran Sesat. Jika anda masuk ke tandas-tandas awam, akan anda jumpai
pelesetan-pelesetan kata seperti itu. Pemelesetan kata sehingga merubah makna
dari yang semestinya adalah tidak dibenarkan didalam Agama dan melanggar
prinsif keadilan.

Bila kita amati semenjak daripada awal tulisan ini, ternyata "keadilan kata-
kata" itu tidak terlepas daripada "moral" atau "akhlak". Maka kata-kata yang adil
adalah kata-kata yang bermoral, yang disampaikan dengan memperhatikan
tatakrama (etiket) berbicara yang telah ditetapkan oleh Agama Islam;
menyesuaikan kata dengan kondisi yang dihadapi dan kepada siapa kata-kata itu
disampaikan. Oleh kerana itu, kita jumpai di dalam Al-Qur'an: kepada anak yatim,
misalnya, atau orang-orang yang kurang sempurna akalnya dan tidak
berpengetahuan, kita disuruh supaya mengucapkan kata-kata yang baik (qawlan
ma'rufan), "dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik" (Q.S.4:5);
kepada orang tua kita disuruh supaya mengucapkan kata-kata yang mulia (qawlan
kariman), "dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" (Q.S.17:23);
kepada orang-orang munafik pun kita diperintahkan supaya mengucapkan
perkataan yang menyentuh jiwa mereka (qawlan balighan),"dan katakanlah kepada
mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka" (Q.S.4:63); bahkan, kepada
orang yang zalim seperti Fir'aun sekalipun, kita disuruh mengucapkan kata-kata
yang lembut dan santun (qawlan layyinan), "...maka berbicaralah kamu berdua
(Musa dan Harun) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut" (Q.S.20:44).

Ketika seorang lelaki datang menemui Al-Ma'mun, Khalifah ke-7 Bani


Abbasiah, bermaksud menyuruhnya berbuat baik dan melarangnya daripada
perbuatan munkar, lelaki itu mengucapkan kata-kata kasar kepadanya, dengan
cara yang kurang beradab. Al-Ma'mun yang memiliki pengetahuan luas, berkata:
Aduhai! Berkata lembutlah sedikit! Sesungguhnya Allah telah mengutus orang yang
lebih baik daripada engkau kepada orang yang lebih jahat daripada aku, dan
diperintahkannya supaya berkata lembut; Diutusnya Musa dan Harun, -keduanya
lebih baik daripada engkau, kepada Fir'aun yang lebih jahat daripada aku, Allah
mewasiatkan kepada keduanya: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut" (Q.S.20:43-44).(Al-Qardhawi, 1994:212-213).

Maka sangatlah menghairankan, kini banyak para ulama, muballigh, dan


golongan intelektual muslim yang tidak memperhatikan moral dalam berbicara.
Ceramah agama yang semestinya digunakan untuk mengajak ummat kepada sikap
beragama yang baik, berubah menjadi caci-maki dan menebar kebencian
dikalangan sesama muslim sendiri. Mereka seolah-olah lupa kepada misi Rasul,
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Umat
macam manakah yang akan terbina bila keadaan tetap seperti ini?

Al-Qur'an mengatakan bahwa berbicara yang benar, menyampaikan pesan-pesan


yang benar adalah prasyarat untuk kebaikan (kemashlahatan) amal perbuatan dan
perilaku kita di dunia ini. Kalau kita ingin menjadi orang yang baik, maka
perbaikilah lebih dahulu kata-kata yang kita ucapkan, berbicaralah dengan benar
dan jujur. Bila kita ingin memperbaiki masyarakat, kita harus menyampaikan pesan
yang benar. Dengan perkataan lain, masyarakat akan menjadi rosak bila pesan
komunikasi tidak benar, bila orang menyembunyikan kebenaran, bila orang
menebar fitnah, dan bila orang tidak lagi memperhatikan moral dalam berbicara,
dan sebagainya.

NASIHAT GENERAL SEMANTICS

General Semantic adalah teori yang menunjukkan karakteristik bahasa dan


menjelaskan kesalahan dalam menggunakan bahasa, serta menelaah bagaimana
berbicara dengan tepat, bagaimana menyesuaikan kata dengan keadaan
sebenarnya, dan bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang
menyebabkan kekeliruan dan kesalah-fahaman.

Alfred Korzybski, orang pertama yang meletakkan dasar teori General


Semantics, dalam bukunya Science and Sanity, mengatakan bahwa penyakit jiwa -
individual mahupun sosial- timbul kerana menggunakan bahasa yang tidak benar.
Makin gila seseorang, makin cenderung ia menggunakan kata-kata yang salah atau
kata-kata yang menutupi kebenaran (Rakhmat, 1991: 78). Korzybski
mengungkapkan asumsi dasar teori general semantics: bahasa seringkali tidak
lengkap mewakili apa yang nyata, kata-kata hanya menangkap sebahagian saja
dari aspek yang nyata itu. Oleh kerana kemampuan bahasa sangat terbatas untuk
mengungkapkan apa yang kita lihat, maka kita menyalahgunakan bahasa
(Rakhmat, 1993: 282). Dengan perkataan lain, bahasa yang kita pergunakan untuk
menjelaskan sesuatu itu sering tidak benar, laporan kita sering subyektif;
kerananya kita sering memperkatakan sesuatu itu dengan tidak adil.

Wendell Johnson dan Hakayawa, kemudian menterjemahkan gagasan-


gagasan Korzybski dan mempopularkan general semantics. Untuk menghindari
kesalahan di dalam menggunakan bahasa, mereka menganjurkan beberapa
nasehat yang antara lain kita salinkan berikut ini (dikutip dari Rakhmat dengan
beberapa penyesuaian):

Pertama, Berhati-hati Menggunakan Abstraksi

Abstraksi adalah proses memilih unsur-unsur realiti untuk membezakannya


dari hal-hal yang lain. Ketika kita mengadakan kategorisasi (menggolong-
golongkan atau menyusun sesuatu berdasarkan kaedah atau standar yang kita
tetapkan), kita menempatkan realiti kedalam kategori tertentu. Untuk membuat
kategori, kita hanya memperhatikan sebahagian daripada sifat-sifat objek saja.
(yang sesuai dengan kaedah atau standar yang kita tetapkan tadi). Jadi, laporan
kita tentang sesuatu itu tidak lengkap, kita hanya menyebut sebahagian sifat-
sifatnya saja yang kita anggap penting menurut kita, -berdasarkan kategori yang
kita tetapkan. Oleh kerana itu cenderung tidak adil, atau subyektif.

Abstraksi menyebabkan cara-cara penggunaan bahasa yang tidak cermat.


Kata-kata yang kita pergunakan berada pada tingkat abstraksi yang bermacam-
macam. Makin tinggi abstraksi kata, makin sukar kata itu diverifikasi (diperiksa
kebanarannya) di dalam realiti, dan makin ambigu (tidak jelas) makna kata itu.
Tiga buah diantaranya adalah: Dead Level Abstracting, Undue Identification, dan
Two-valued Evaluation.

Dead Level Abstracting (Abstraksi Kaku) terjadi apabila kita berhenti pada
tingkat abstraksi tertentu: abstraksi tinggi, atau rendah. Kata-kata yang
berabstraksi tinggi seperti: kemerdekaan, keadilan, kebenaran, pembangunan, dan
sebagainya- mengandung makna yang luas, sehingga tidak jelas apa yang
dimaksudkannya. Kita sukar untuk membenarkan atau menyalahkannya. Ahli
Politik senang menggunakan kata-kata abstrak untuk menarik perhatian,
memperoleh dukungan, dan menyembunyikan fakta. Ketika mereka berkata: Kami
berjuang untuk membela kepentingan rakyat, siapa yang dimaksud rakyat:
penduduk desa, pegawai, atau pendukung pemerintah? Terbukti apabila ada orang
yang berani melancarkan kritik, ia tidak akan dibela; ia bukan rakyat, ia musuh
rakyat.

Untuk menghindari Dead Level Abstracting, general semantics


menasihatkan: Berilah contoh-contoh. Tetapi bila kita hanya memberi contoh-
contoh, kita berada pada tingkat abstraksi terendah pula. Ini menyulitkan
pengambilan kesimpulan. Oleh karena itu, contoh-contoh tadi harus disimpulkan
pula dengan kata-kata yang abstrak.

Undue Identification (Identifikasi yang tidak layak), adalah menempatkan


banyak objek dalam satu kategori. Istilah lain untuk itu adalah overgeneralisasi.
Ketika seseorang berkata: Perempuan semuanya materialistik, Lelaki tidak ada
yang jujur, Melayu semuanya pemalas, dan sebagainya, ia telah melakukan
overgeneralisasi. Untuk menghindarkan ini, general semantics menyarankan
indexing. Kita meletakkan indeks pada setiap kata: Perempuan-1, perempuan-2,
perempuan-3, dan sebagainya. Dengan demikian kita diingatkan bahawa mereka
memiliki sifat-sifat yang sama dan berbeza sekaligus. Ketika seorang muballigh
mengatakan, Film-film di TV merusak akhlak, ia telah mengadakan
overgeneralisasi. Ia telah berlaku tidak adil; terbukti banyak juga film yang
mendidik. Untuk menghindari kesalahan itu, ia harus memberikan indeks dan
menjelaskan film yang mana yang dia maksudkan: film-1, film-2, film-3, dan
sebagainya.

Two-valued Evaluation (Penilaian dua nilai), terjadi bila kita hanya


menggunakan dua kata untuk menjelaskan keadaan. Sedangkan keadaan itu
sendiri tidak selalu hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, kawan-lawan, dan
sebagainya. Kita jatuh pada kesalahan ini apabila kita berkata, if you are not for,
you against me (Bila engkau tidak setuju, engkau musuhku). Untuk menghindari
kesalahan ini, general semantics menyarankan penilaian multi nilai (Multi-valued
Evaluation). Gunakanlah kata-kata yang menunjukkan gradasi: sangat Islami, agak
Islami, kurang Islami, hampir tidak Islami, dan lain sebagainya. Pertentangan
politik di negara ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Two-valiued Evaluation tadi.

Kedua, Berhati-hati Dengan Dimensi Waktu

Bahasa itu statis (tetap, tidak berubah keadaannya), sedangkan realiti


dinamis (selalu berubah-ubah). Ketika anda bereaksi kepada satu kata, anda sering
menganggap makna kata itu masih sama. Sepuluh tahun yang lalu anda berjumpa
dengan Amir. Sekarang anda membicarakan dia, seakan-akan anda membicarakan
Amir yang lalu. Amir telah banyak berubah. Dua puluh tahun yang lalu, Emy adalah
anak ingusan. Kini ia adalah gadis yang menawan. Dua puluh tahun lagi ia adalah
wanita menjelang menopause. Tiga puluh tahun lagi ia nenek yang bongkok dan
batuk-batuk. Kita tetap saja menyebutnya Emy. Untuk mengatasi ini, general
semantics menganjurkan dating (pemberian tarikh): Amir1970, Amir1980,
Amir1990, Amir2000, dan sebagainya. Dating memaksa individu untuk mengikuti
faktor perubahan, untuk menilai lingkungan, untuk membuat ucapan verbal yang
cocok dengan fakta kehidupan yang ada saat ini, kata William Arnold dan James
McCroskey.

Ketiga, Jangan Mengacaukan Kata Dengan Rujukannya.

Kata itu bukan rujukan, kata hanya mewakili rujukan. "Kita hidup dalam dua
macam dunia yang tidak boleh dikacaubalaukan", kata Irving J. Lee, "dunia kata
dan dunia bukan kata". Dunia kata hanya kumpulan lambang-lambang yang
mengungkapkan reaksi kita kepada realiti dan bukan realiti itu sendiri. Kita
menyalahgunakan bahasa bila kita memandang seakan-akan pernyataan kita
adalah lukisan objektif daripada realiti, seakan-akan kata yang kita ucapkan adalah
realiti itu sendiri.

Kita menyebut Jeruk ini manis, Ruangan ini panas, Melayu haprak, dan
sebagainya. Menurut Wendell Johnson, dengan kata-kata seperti itu kita
mengansumsikan bahwa jeruk itulah yang manis, padahal sebetulnya perasaan
kitalah yang menilai manis; orang lain mungkin merasakannya masam. Bukan
ruangan itu yang panas, tetapi kita yang merasakan panas. Kata-kata yang kita
ucapakan sering merupakan proyeksi tidak sadar daripada diri kita sendiri. Untuk
menghindari kesalahan ini, general semantics menyarankan penambahan menurut
saya di ujung ayat. Jadi, jika anda tetap juga hendak mengatakan , Pemerintahan
kita kafir, jangan lupa menambahkan diujungnya menurut saya. Bos kita bongkak!,
teriak anda. Tidak, Bos kita tidak bongkak. Bos kita bongkak menurut anda.
Mahasiswa anti establishment, kata si Fulan. Tidak, kami hanya melakukan check
and balance, teriak Mahasiswa.

Keempat, Jangan Mengacaukan Pengamatan Dengan Kesimpulan.

Ketika melihat fakta, kita membuat pernyataan untuk melukiskan fakta itu.
Pernyataan itu kita sebut pengamatan. Tetapi, apabila kita menghubungkan hal-hal
yang diamati itu dengan sesuatu yang tidak dapat diamati, dengan pemikiran atau
pendapat kita, maka kita telah membuat kesimpulan. Pengamatan dapat diuji,
diverifikasi; oleh karena itu, menggunakan kata-kata berabstraksi rendah.
Sebaliknya, kesimpulan tidak dapat diuji secara empiris (dengan alat indera); oleh
karena itu, menggunakan kata-kata berabstraksi tinggi.

Apabila anda berjumpa dengan Syafri, setelah itu anda berkata: Baju Syafri
sudah kehilangan warna. Sebahagian rambutnya sudah memutih. Suaranya agak
keras, anda membuat pengamatan. Tetapi, apabila anda berkata: Syafri kurang
begitu memperhatikan pakaiannya. Ia sudah tua. Gaya bicaranya kasar dan
menyinggung perasaan. Ini bukan pengamatan; ini kesimpulan. Boleh jadi Syafri
baru pulang dari bekerja dan tidak sempat mengganti pakaiannya. Orang boleh jadi
beruban pada usia muda. Anda menganggapnya berbicara kasar, hanya kerana
anda terbiasa berbicara dengan suara lembut dan pelan.
Kita sudah salah ketika menganggap kesimpulan sebagai pengamatan. Lebih
salah lagi kalau mengambil keputusan berdasarkan kesimpulan dan beranggapan
bahawa kita melakukannya berdasarkan pengamatan. Mungkin anda melihat
kejanggalan di dalam kes Al-Maunah, lalu anda mengatakan bahawa kes tersebut
hanyalah sandiwara saja. Atau, anda melihat PAS mengharamkan wanita mengikuti
musabaqah tilawatil Quran, melarang wanita bekerja malam, melarang wanita
cantik bekerja, dan seterusnya, setelah itu anda mengatakan bahawa PAS akan
menjadikan Malaysia seperti Afghanistan di bawah pemerintahan Thaliban. Anda
telah salah, anda bukan membuat pengamatan, tetapi membuat kesimpulan. Anda
sudah tidak adil. Bayangkan, betapa seringnya kita membuat kesimpulan atau
penilaian terhadap objek pengamatan kita setiap hari.

PENUTUP

Ternyata tidaklah mudah menegakkan keadilan kata-kata. Kita mesti terlebih


dahulu menyingkirkan godaan hawa nasfu kita, meninggalkan egoisme kita, dan
kepentingan peribadi atau golongan kita. Wajar kalau Rasul sangat memperhatikan
bahaya lidah itu. Apabila kita ingin menciptakan masyarakat yang harmoni, tidak
hanya cukup dengan menegakkan keadilan hukum saja; namun haruslah dibarengi
dengan keadilan kata-kata. Jika keadilan hukum tidak ditegakkan dalam suatu
masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi rusak, kacau-balau; akan
menimbulkan tindakan sewenang-wenang dan perbuatan anarki. Begitu juga bila
keadilan kata-kata tidak ditegakkan.

Apabila komunikasi di zaman Nabi hanya dilakukan orang dengan lisan,


maka wajarlah jika beliau memperingatkan akan bahaya lidah. Tetapi, dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kata-kata tidak hanya
disampaikan dengan lidah, namun juga mengalir melalui mata pena, muncul dilayar
monitor, surat khabar, majalah, dan sebagainya. Maka, esensi daripada peringatan
Nabi itu sebenarnya bukanlah lidah itu sendiri, tetapi adalah kata-kata, dengan cara
apapun ia disampaikan. Oleh kerana itu, segala fitnah, berita bohong, mengumpat,
mencela, dan sebagainya, mesti kita hentikan. Media massa, TV, Radio, Surat
Khabar, Majalah dan seumpamanya, haruslah mendukung menegakkan keadilan
kata-kata itu. Berat, memang! Tetapi, itulah tugas yang mesti kita emban selaku
khalifah diatas bumi ini.
Rabu, 15 April 2009
MENJAGA LIDAH
Seorang guru tengah menjelaskan kepada para muridnya tentang kekuatan kata-kata
terhadap reaksi seseorang. Seorang muridnya berdiri dan memprotes, “Saya tidak setuju,
Guru. Mana mungkin kata-kata punya efek besar terhadap diri kita!” Sang Guru
membentak, “Duduk! Dasar anak bodoh!” Muka murid itu merah padam, malu bercampur
marah, “Saya tidak menyangka Guru bisa berkata sekasar itu.” Sang guru berkata dengan
suara lembut, “Maafkan saya yang terbawa perasaan. Saya benar-benar menyesal.” Murid
itu pun menjadi tenang. Kemudian sang guru berkata lagi, “Lihat, hanya diperlukan
beberapa kata untuk membangkitkan amarahmu dan dibutuhkan beberapa kata juga untuk
menenangkan dirimu. Itulah kekuatan kata-kata!”

Tidak sedikit masalah yang terjadi dalam hidup kita bersumber dari ketidakmampuan kita
memilih kata-kata yang keluar dari mulut. Firman Tuhan hari ini mengingatkan, betapa
berbahayanya jika kita tidak mampu menguasai lidah kita; tidak bijak memilih dan memilah
perkataan yang terucap. Yakobus membandingkan lidah dengan api, yang walaupun kecil,
dapat membakar hutan yang besar (ayat 5). Api bisa bermanfaat, tetapi juga bisa
menghanguskan. Seperti itulah lidah.

Maka, betapa pentingnya kita mengendalikan lidah. Berkata-kata hanya kalau itu
bermanfaat, membawa berkat—meneduhkan, menghibur, menguatkan, memotivasi.
Sebaliknya, kalau kita tahu itu tidak ada faedahnya apa-apa, tidak jelas kebenarannya,
bahkan mungkin menyakiti orang lain, mendemotivasi, membuat perpecahan dan
memanaskan suasana, lebih baik kita tidak usah berbicara. Dalam situasi demikian, diam
berarti emas.

MENGGAPAI KETENANGAN DAN KEMATANGAN HIDUP BISA DIMULAI DENGAN


MENGENDALIKAN LIDAH

Terberkati dengan artikel di atas? Ayo dong bagikan ke teman-teman yang lain biar jadi berkat. Kalo
kamu punya facebook / twiter/ email klik pilihan di bawah ini. GBU

Share |

Diposkan oleh Yuliana di 03.08

Label: Renungan tentang karakter, Renungan untuk orang tua (reflection for Parents
Keistimewaan Al Qur-an
1. Keistimewaan Tilawah
Al Qur-än adalah sebuah kitab yang harus dibaca, bahkan dianjurkan untuk dijadikan bacaan
harian. Membacanya saja dinilai oleh Allah sebagai ibadah. Pahala yang Allah berikan bukan
dihitung per kata atau per ayat, namun per huruf. Rasülulläh SAW menjelaskan,

Lä aqülu Alif Läm Mïm harfun, waläkin Alïfun harfun wa Lämun harfun wa Mïmun harfun.
Rawähu at Tirmidziyy

“Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu hurif, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf,
dan Mim satu huruf.” (HR. At Tirmidzi)

2. Keistimewaan Tadabbur
Al Qur-än benar-benar menjadi ruh (penggerak) bagi kemajuan kehidupan manusia manakala
selalu dibaca dan ditadabburkan makna yang terkandung dalam setiap ayat-ayatnya. Allah
SWT berfirman,

Wa kadzälika awhaynä ilayka rühan min amrinä mä kunta tadrï mal kitäbu wa lal ïmänu wa
läkin ja’alnähu nüran nahdï bihï man nasyää-u min ábdinä. Wa innaka latahdï ilä siräthin
mustaqïm.

“Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu sebuah Ruh (Al Qur-än) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab itu dan tidak pula mengetahui apakah
iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al Qur-än itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa
yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syürä 42: 52)

Kitäbun anzalnähu ilayka mubärakun liyadabbarü äyätihï waliyatadzakkara ulul albäb.

“Sebuah kitab yang Kami turunkan dengan berkah agar mereka mentadabburkan ayat-ayatnya
dan agar menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Säd 38: 29)

3. Keistimewaan Hafalan
Al Qur-än selain dibaca atau direnungkan juga perlu dihafal, dipindahkan dari tulisan ke
dalam dada, karena hal ini merupakan cirri khas orang-orang yang diberi ilmu, juga sebagai
tolok ukur keimanan dalam hati seseorang. Allah SWT berfirman:

Bal huwa äyätun bayyinätun fï sudüril ladzïna ütul ílm. Wa mä yajhadu bi-äyätinä illaz
zälimïn.

“Sebenarnya al Qur-än itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada-dada orang-orang yang
diberi ilmu, dan tidaklah mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS
al Ánkabüt 29: 49)
Rasulullah SAW bersabda,
Innalladzïna laysa fï jaufihi syay-un minal Qur-äni kal baytil kharib.
Rawähu at Tirmidziyy

Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya tidak terdapat sebagian ayat daripada al Qur-an
bagaikan rumah yang tidak ada penghuninya. HR. At Tirmidzi

Perintah Menjaga Bacaan Al Qur-an


Persis sebagaimana yang Diajarkan Turun Temurun dari Rasulullah
Pada hakekatnya tilawah bukanlah hal yang sederhana. Sehingga dalam bertilawah seorang
qari’ (pembaca) dituntut menjaga keaslian (asolah) bacaan Al Qur-an seperti yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril. Allah berfirman:

Fa-idzä qara-nal Qur-änu fattabi’ qur-änah.

“Apabila kami telah membacakannya, maka ikutilah bacaannya.”


(QS. al Qiyämah 75: 18 )

Karena itu Rasul SAW menunjuk dan memberi kepercayaan kepada beberapa orang sahabat
untuk mengajarkannya, yakni Muádz bin Jabbal, Ubay bin Kaáb, dan Salim Maula Abi
Hudzaifah. Para sahabat kemudian mengajarkannya kepada tabiín. Dan demikian seterusnya.
Al Qur-an diajarkan secara turun temurun dalam keadaan asli tanpa terkurangi huruf-
hurufnya, kalimat-kalimatnya, bahkan sampai teknis bacaannya. Untuk menjaga keaslian
itulah ulama menjaga sanad Al Qur-an (runtutan/silsilah para pengajar pengajar al Qur-an
sejak zaman Rasul SAW sampai sekarang). Maka tidak heran kalau Imam Al Jazari
mewajibkan kepada setiap muslim untuk membaca dengan tajwid, karena hal ini merupakan
penjagaan terhadap keaslian al Qur-an. Beliau mengatakan dalam Mandzumah al Jazariyyah-
nya,

Wal akhdu bit tajwïdi hatmun läzim, man lam yujawwidul Qur-änu ätsim, li-annahu bihil
ilähu anzalä, wa häkadzä minhu ilaynä wasalä.

“Membaca (al Qur-an) dengan tajwid hukumnya wajib, barang siapa yang tidak membacanya
dengan tajwid ia berdosa, karena dengan tajwidlah Allah menurunkan Al Qur-an. Dan
demikianlah, al Qur-an sampai kepada kita dari-Nya.”

Karena itulah, metode yang asasi dan asli dalam mempelajari al Qur-an dengan TALAQQI,
yaitu mempelajari Al Qur-an melalui seorang guru langsung berhadap-hadapan, dimulai dari
al Fätihah sampai surat an Näs.
Mengingat terbatasnya jumlah orang-orang yang menguasai Al Qur-an, terutama dalam hal
tilawah, maka ulama ahli qira-ah meletakkan kaidah-kaidah cara membaca yang baik dan
benar. Itulah yang disebut Ilmu Tajwid. Terdapat sedikitnya sembilan poin penting yang perlu
dipelajari dalam Ilmu Tajwid yaitu:

1. Makhärij Huruf dan Sifatnya


2. Hukum Nun Mati dan Tanwin (Mencakup bacaan Izhhar dan Iqlab)
3. Hukum Mim Mati
4. Hukum Lam Ta’rif (Alif lam)
5. Hukum Mad (Bacaan Panjang)
6. Hukum Tafkhim (Tebal) dan Tarqiq (tipis)
7. Idgham
8. Waqaf (Berbagai Tanda Waqaf) dan Rumusnya dalam Al Qur-an
9. Beberapa istilah istilah tertentu dalam bacaanAl Qur-an

Disarikan dari Muqaddimah Pedoman Tahsin Al Qur-an


Oleh: Al Ustadz Abdul Aziz Adul Ra’uf, Al Hafizh, Lc.

TJ seputar masalah belajar Al Qur-an yang saya copas dari milis lain

Tanya:
Assalamualaikum wr.wb

karena keawaman diriku ini...


mOhon siapapun di forum ini entah moderator atau anggota tolong bisa menjelaskan kepada saya
bagaimana cara membaca al-Qur'an yang baik dan benar?

metode apa yang terbaik pake Iqra' anak TPA atau metode Al-BArqy?

Jawab:
Barakallahu fikum atas pertanyaannya.

Saya akan coba jelaskan mengenai metode-metode mana yang tepat dalam belajar Al Qur-an.
Terus terang, saya belum mengerti tentang metode Al Barqi. Namun setahu saya, metode yang
PALING TEPAT adalah dengan cara TALAQQI, yaitu dengan cara belajar langsung secara
TATAP MUKA dengan orang yang mengajarkan Al Qur-an. Karena demikianlah Rasulullah
diajarkan tentang Al Qur-an oleh Allah melalui perantara yaitu Malaikat Jibril AS. Silakan baca
topik: Pentingnya Belajar Membaca Al Qur-an.

Metode Iqra- juga bagus. Setahu saya, penggagas metode ini juga seorang hafidz Qur-an yang
insya Allah memiliki jalur belajar/sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW. Hanya saja perlu
diperhatikan di sini bahwa metode ini bersifat standar. Artinya, asalkan bisa memenuhi hukum-
hukum bacaan itu sudah cukup. Di samping buku Iqra, Al Ustadz As'ad Humam (penggagas
metode ini) juga menerbitkan buku Tajwid yang menjelaskan secara rinci mengenai hukum-
hukum dalam bacaan Al Qur-an. Ringkas, praktis, dan mudah dipahami.

Rasulullah SAW bersabda:


Belajarlah Al Qur-an dengan lidah dan lisan orang Arab.

Maksudnya, apabila kita ingin belajar Al Qur-an, sangat dianjurkan sekaligus belajar melafalkan
huruf (makhraj) persis sesuai dengan lidah Arab. Bila perlu, dengan ustadz yang memiliki jalur
belajar langsung di neger-negeri Arab/Timur Tengah. Memang tidak mudah -terutama dalam hal
pengucapan/makhraj huruf-, namun jika serius ingin belajar, kendala apapun bukan masalah.
Demikian penjelasan singkat saya, mudah-mudahan bisa memberikan manfaat. Wallahu a'lam
bish shawwab.

Tanya:
kemudian ada berapa madzhab baca al-Qur'an di negeri kita ini? karena terkadang lain
ustadz/kiai lain pula cara mengajarinya...

Jawab:
Sebenarnya madzhab baca Qur-an di negeri kita ini sama dengan yang ada di Timur Tengah,
yaitu ada 7 yang dikenal dengan Sab'atul Harf. Hanya saja mayoritas terbesar bangsa kita
menganut Madzhab An'Ashim. Hanya tempat-tempat tertentu yang menggunakan madzhab
selain itu. Itupun biasanya di pondok-pondok pesantren dan komunitas/kelompok kecil yang
berada di dekatnya. Barangkali ada di antara teman-teman yang bisa menunjukkan tempatnya?
Saya sendiri kurang tahu tepatnya.

Perbedaan cara pengajaran antara ustadz satu dengan ustadz lain juga disebabkan oleh beberapa
faktor:
a. Pengaruh bahasa ibu/dialek daerah. Jangan heran bila masih sering dijumpai di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, terdapat makhraj "tradisional" seperti an-ngamta ngalaihim, al qoringah, al
waqingah, wal ngasri....
b. Terkait dengan poin a, sebagai akibat kurang diperhatikannya masalah pentingnya makharijul
huruf (cara pengucapan).
c. Jauh dekatnya sanad belajar dari timur tengah . Semakin jauh sanadnya, makin besar
kemungkinan terdistrorsi oleh dialek daerah.
d. Perbedaan asal/sumber perolehan ilmu. Sehingga ada salah satu kiai/ustadz yang tidak
mengajarkan cara pengucapan tertentu, namun diajarkan oleh ustadz yang lain.

Untuk itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya kepada siapapun yang mengajarkan Al
Qur-an kepada kita, saya anjurkan Anda untuk berguru kepada seorang hafidz yang memiliki
sanad belajar yang jelas. Umumnya setiap hafidz memiliki silsilah belajar yang demikian
panjang hingga sampai pada Rasulullah SAW.

Wallahu a'lam bish shawwab.


;
Menjaga Lidah
Menjaga Lidah

Ketika nabi saw. isra’ dan mi’raj, Allah swt. memperlihatkan kepada beliau banyak tamsilan dari
kehidupan umatnya. Di antara yang dilihat Nabi saw adalah, sebuah batu kecil yang keluar darinya
seeker unta dengan mudahnya. Namun, ketika sudah berada di luar, badannya semakin mengembang,
dan iapun ingin masuk ke dalam batu tempatnya semula. Akan tetapi, setiap kali dicobanya, ia tetap
tidak bisa. Sehingga, Nabi saw. pun bertanya kepada Jibril tentang apa maksudnya unta yang keluar dari
batu kecil itu.
Malaikat Jibril menjelaskan, bahwa itulah tamsilan umatmu yang dengan mudah mengeluarkan kata-
kata, namun ketika orang lain sudah tersinggung dan merasa tersakiti dengan perkataannya itu, dia ingin
mencabut kembali ucapannya. Namun, ketika itu sudah tidak bsia lagi, karena orang lain sudah terlanjur
sakit dan terluka karena ucapannya.
Begitulah pengajaran yang ingin disampaikan Allah kepada kita umat Muhammad, tentang pentingnya
menjaga lidah dan perkataan. Sehingga, persoalan menjaga lidah, Allah isyaratkan ketika Nabi saw.
masih dalam perjalanan isra’ yaitu ketika masih di bumi sebelum mi’raj ke langit dan menjemput
perintah shalat. Hal itu memberikan isyarat, bahwa sebelum seseorang pandai shalat, hendaklah
terlebih dahulu dia bisa menjaga lidah dan ucapannya. Bukankah seorang anak yang ketika lahir, hal
yang pertama kita ajarkan adalah bagaimana berbicara dan berhasa yang baik. Belum lagi kita ajarkan
shalat yang benar, kecuali setelah berumur tujuh tahun atau lebih.
Pada prinsipnya, manusia sangat mengetahui betapa pentingnya menjaga lidah. Bahkan, sekiranya
tanpa diperintahkan Allah pun, agaknya manusia juga akan menyadari pentingnya menjaga dan
memelihara lidah. Bukankah banyak ungkapan bijak yang ditemui dalam setiap masyarakat tentang
persolan lidah? Lihat misalnya ungkapan berikut, “Lidah tidak bertulang” (ajaran untuk tidak
mempermainkannya sesuka hati), “Mulutmu harimaumu” (betapa banyak mulut yang membuat
seseorang binasa, oleh karena itu berhati-hatilah jika berbicara), “Mangango dulu kok kamangecek (fakir
dulu sebelum bicara), “Luka pedang pedang bisa diobati, luka hati ke mana obat hendak dicari” (betapa
sulitnya mengobati hati yang terluka karena suatu ucapan, karena luka karena lidah akan lama
membekasnya di dalam hati).
Di dalam al-Qur’an, lidah Allah sebut dengan nama lisan yang juga berarti bahasa. Sebab, antara lidah
dan bahasa adalah dua hal yang tidak terpisahkan, lidah melahirklan bahasa dan bahasa lahir dari kreasi
lidah. Namun demikian, di dalam al-Qur’an ditemukan bahwa ketika kata lisan disebutkan Allah, maka
tema pembicaraan biasanya selalu terkait dengan salah satu dua hal. Pertama, pujian, rahmat, kasih
sayang, kehormatan, kedudukanan yang tinggi, kemuliaan dan seterusnya. Kedua, celaan, kutukan,
kesulitan dan seterusnya. Hal itu memberikan isyarat bahwa lidah manusia hanya akan berpeluang
mengantarkan manusia kepada dua hal tersebut; kebaikan atau kejahatan. Berikut akan kita lihat kedua
aspek tersebut.
Pertama, pujian, kehormatan, kemudahan, rahmat, sorga dan kedudukan yang tinggi. Di antaranya:
a. Surat Maryam [19]: 50
ْْ ِ‫سانَْ لَ ُه ْْم َو َج َع ْلنَا َرحْ َم ِتنَا م‬
‫ن لَ ُه ْْم َو َو َه ْبنَا‬ َ ‫صدْقْ ِل‬
ِ ‫ع ِليًّا‬
َ
Artinya: “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka
buah tutur yang baik lagi tinggi.”
Penyebutan kata lisan (lidah) pada ayat di atas terkait dengan rahmat (kasih sayang) baik dari Allah
maupun dari manusia. Adalah hal yang sangat lazim dan wajar jika manusia yang mampu menjaga
lidahnya dengan baik, mampu berhasa dengan baik, benar, sopan dan santun, tentulah Allah dan semua
orang akan menyukainya
b. Surat asy-Syu’ara’ [26]: 84
ْْ ‫سانَْ لِي َواجْ َع‬
‫ل‬ َ ‫صدْقْ ِل‬ ِ ‫ْاْلخِ ِرينَْ فِي‬
Artinya: “dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.”
Penyebutan kata lisan dalam ayat di atas dalam artian permohonan agar menjadi buah tutur atau buah
bibir orang lain di kemudian hari. Adalah sangat logis, jika manusia yang mampu menjaga lidahnya akan
dikenang manusia lain sebagai orang baik. Sebaliknya, bahwa manusia yang tidak mampu menjaga
lidahnya dengan baik akan sangat mudah dilupakan, dan kalaupun disebut tentu pembicaraan orang-
orang tentang dirinya adalah terkait dengan keburukanya.
c. Surat asy-Syu’ara’ [26]: 195-197
ْ‫سان‬ َ ْ‫( ُمبِين‬195)ُْ‫(اْل َ َّولِينَْ ُزب ُِْر لَفِي َوإِنَّه‬196)ْ
َ ‫ع َربِيْ بِ ِل‬ ْ ‫ن أ َ َولَ ْم‬ ْْ َ ‫علَ َما ُْء يَ ْعلَ َم ْهُ أ‬
ْْ ‫ن َءايَةْ لَ ُه ْْم يَ ُك‬ ُ ‫ل بَنِي‬
َْ ‫(إِس َْرائِي‬197)
Artinya: “Dengan bahasa Arab yang jelas (195). Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar (tersebut)
dalam Kitab-kitab orang yang dahulu (196). Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa
para ulama Bani Israil mengetahuinya?(197).”
Dalam ayat di atas, penyebutan kata lisan dikaitkan dengan pembicaraan tentang ulama yang
merupakan sekelompok elit masyarakat yang sangat dihormati dan dimuliakan. Adalah sebuah isyarat
Allah, bahwa yang mampu menjaga lidahnya akan diberikan kedudukan mulia, bahkan akan berpeluang
menjadi ulama yang disegani. Adalah Abdullah Gymnastiar (AA Gym), seorang da’i atau ulama yang
sangat popular dan dihormati serta diidolakan terutama oleh kaum ibu Indonesia. Ketenarannya
melebihi pakar-pakar agama Islam yang sangat luas dan dalam ilmunya sekalipun, bahkan yang meraih
gelar doktor di Timur Tengah sekalipun. Rahasia utama dari kesuksesan AA Gym adalah gaya bicaranya
yang santun, lembut dan menyentuh serta kemampuannya dalam merangkai kata dengan baik dan
menarik. Begitulah lidah yang baik dan terjaga.
d. Surat al-Qashash [28]:34
‫ن َوأَخِ ي‬ ُْ ‫َارو‬
ُ ‫ح ه َُْو ه‬
ُْ ‫ص‬ َ ‫ِي فَأ َ ْرس ِْل ْهُ ِل‬
َ ‫سانا مِ نِي أ َ ْف‬ َْ ‫ص ِدقُنِي ِردْءا َمع‬ َ ُ‫َاف ِإنِي ي‬ ُْ ‫ن أَخ‬ ْْ َ ‫ُون أ‬
ِْ ‫يُك َِذب‬
Artinya: “Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai
pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan
mendustakanku".
Ayat di atas menceritakan permohonan nabi Musa as. kepada Allah swt. agar mengangkat Harun as.
sebagai menteri dan pembantunya sekaligus sebagai juru bicaranya dalam menghadapi Fir’aun. Alasan
yang dikemukan nabi Musa adalah bahwa Harun memiliki lidah yang bagus serta kemampuan bicara
yang baik.
Begitulah isyarat Allah, bahwa yang mampu menjaga lidah dan berbahasa dengan baik dan benar, Allah
akan memberikannya kedudukan yang tinggi di antara manusia seperti menjadi menteri, juru bicara,
senator, mediator juru kempanye dan seterusnya. Bukankah sudah menjadi sunnatullah bahwa yang
selalu tampil berbicara mewakili orang banyak adalah yang memiliki kemampuan bahasa yang baik?
Bukankah yang menjadi jubirnya presiden adalah orang-orang yang bagus dalam berbahasa dan
berargumentasi? Begitulah seterusnya.
e. Surat ad-Dukhan [44] : 58
َ ‫يَتَذَ َّك ُرونَْ لَ َعلَّ ُه ْْم بِ ِل‬
‫سانِكَْ يَس َّْرنَاْهُ فَإِنَّ َما‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat
pelajaran.”
Lisan pada ayat diatas disebutkan bersama kata yusra yang berarti kemudahan. Begitulah, hukum Allah
yang sudah tetap bahwa yang menjaga lidah dengan baik, yang mampu berbahasa dengan santun, maka
dia akan memperoleh banyak kemudahan dalam hidupnya. Sebab, ke manapun dia pergi dan di
manapun dia berada, tentulah semua orang akan dengan senang hati menerima. Akan berbeda halnya
dengan orang yang selalu menyakiti orang lain dengan lidah dan ucapannya, akan menemui banyak
kesulitan dan kesempitan dalam hidupnya. Sebab, semua orang akan menjauh dan menghindarkan diri
darinya.
Kedua, Celaan, kutukan, murka, kesulitan dan seterusnya. Di antaranya:
a. Surat al-Ma’idah [5]: 78
َْ‫ن َكف َُروا الَّذِينَْ لُعِن‬ ْْ ِ‫ل بَنِي م‬ َْ ‫علَى ِإس َْرائِي‬ َ ‫ان‬ِْ ‫س‬ َ ‫سى َد ُاو َْد ِل‬ ِْ ‫ص ْوا بِ َما ذَلِكَْ َم ْريَ َْم اب‬
َ ‫ْن َوعِي‬ َ ‫ع‬ َ ‫يَ ْعتَدُونَْ َوكَانُوا‬
Artinya: “Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam.
Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Kata lisan dalam ayat di atas terkait dengan pembicaraan tentang kutukan dan laknat. Itulah isyarat
Allah, bahwa yang tidak mampu menjaga lidahnya dengan baik, tentu akan dicela dan dimurkai, baik
oleh Allah maupun manusia. Tentu sudah menjadi konsekwensi logis dalam kehidupan manusia di dunia
ini. Karena tidak akan mungkin manusia yang kasar, bengis, “judes” akan disayang dan dipuji manusia.
b. Surat Maryam [19]: 97-98
‫سانِكَْ يَس َّْرنَاْهُ فَإِنَّ َما‬ َْ ‫ِر ْال ُمتَّقِينَْ بِ ِْه ِلتُبَش‬
َ ‫ِر بِ ِل‬ َْ ‫(لُدًّا قَ ْوما بِ ِْه َوت ُ ْنذ‬97)ْ‫ن قَ ْبلَ ُه ْْم أ َ ْهلَ ْكنَا َو َك ْم‬
ْْ ِ‫َل قَ ْرنْ م‬ ْْ ِ‫(ر ْكزا لَ ُه ْْم ت َ ْس َم ُْع أ َ ْْو أ َ َحدْ م‬98)
ْْ ‫ن مِ ْن ُه ْْم تُحِ سْ ه‬ ِ

Artinya: “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat
memberi kabar gembira dengan Al Qur'an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu
memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang (97). Dan berapa banyak telah Kami
binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorangpun dari mereka atau kamu
dengar suara mereka yang samar-samar? (98).”
Ayat di atas menyebutkan kata lisan dengan mengaitkan pembicaraan dengan kehancuran banyak kaum
dan generasi. Memang begitulah sifat lidah yang tidak terjaga dengan baik, ia sangat berpeluang
mengantarkan seseorang atau sekelompok orang kepada jurang kehancuran dan kebinasaan. Itulah arti
ungkapan “Mulutmu adalah harimaumu yang akan menerkam dan membinasakanmu”. Semoga kita
termasuk orang yang mampu menjagai lidah. Amin.
s = Preman?
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâmْ Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda:

ْ‫ِي َح ْبلَ ْهُ أ َ َح ُد ُك ْْم يَأ ْ ُخذَْ َْل َ ْن‬


َْ ‫طبْ بِ ُح ْز َم ِْة فَيَأْت‬
َ ‫علَى َح‬ َ ‫ف فَيَبِ ْيعَ َها‬
َ ‫ظ ْه ِرِْه‬ ْ ‫ن لَ ْه ُ َخيْرْ َوجْ َه ْه ُ بِ َها‬
َّْ ‫للاُ فَيَ ُك‬ ْْ َ ‫ل أ‬
ْْ ِ‫ن م‬ َْ َ ‫اس يَ ْسأ‬
َْ َّ‫الن‬، ‫ َمنَعُ ْوْهُ أ َ ْْو ْوْهُ ََأَعْط‬.

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas
punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya
(kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka
memberinya atau tidak memberinya".

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, ketika bulan Ramadhan tiba jalan-jalan penuh dengan
peminta-minta. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu muda yang gendong bayi, nenek-nenek, bapak-
bapak yang renta, sampai mereka yang cacat fisiknya. Entah siapa yang mengkoordinir, tiba-
tiba mereka muncul di tengah-tengah kita, tersebar di berbagai titik dan berkumpul di dekat
masjid serta lampu merah.

Sayaْ tidakْ menyangkaْ jugaْ kalauْ ternyataْ budayaْ mengemisْ iniْ ’diimport’ْ oleh masyarakat
Arab Saudi dari kita. Menjelang musim haji begitu banyak pengemis berkeliaran di sekitar
masjid Nabawi dan Makkah. Pengemis di Makkah lebih banyak daripada di Madinah.
SepanjangْjalanْsayaْmenujuْMasjidilْHaramْdariْmaktab,ْberbagaiْ”jenis” pengemis tampil di
sana, mulai dari yang tidak punya kaki, tidak punya tangan, tidak punya kaki dan tangan, dan
ada juga yang lengkap anggota tubuhnya tapi mengejar-ngejar jamaah untuk minta duit. Selain
itu,ْ kalauْ pengemisْ Indonesiaْ ’malu-malu’ْ menunjukan uang yang ia dapatkan dari hasil
”kerjanya”,ْtapiْpengemisْdiْsanaْjustruْmemamerkanْtumpukanْuangْhasilْpemberianْjamaahْ
yangْ ’kasihan’ْ padanyaْdenganْ terang-terangan. Dan uniknya lagi, kalau pengemis Indonesia
menerima uang dengan sikap pasif, tapi kalau pengemis sana justru secara agresif merebut
uang dari tangan jamaah yang mau memberi.

Pengemis di sana barangkali tahu kalau doktrin yang disuntikan kepada jamaah haji, khususnya
dari Indonesia, adalah bila menemukan tukang minta-minta berikan sebagian uangmu. Doktrin
ini sama seperti kalau bulan Ramadhan harus banyak-banyak bersedekah. Ini tidak salah, tapi
sangat berlebihan. Budaya memberi tanpa pandang bulu ini ternyata menimbulkan sifat
pemalas dan mental peminta di kalangan umat Islam. Sebab banyak dari masyarakat kita yang
marginal secara sosial tapi mampu bertahan hidup dengan bekerja tanpa harus menjadi
pengemis. Perhatikanlah secara seksama, banyak para pemulung yang ternyata sudah
berumur sangat tua. Mereka memilih cara bertahan hidup dengan cara memulung, bukan
mengemis. Lihat juga tukang sapu di jalalan, ternyata tidak sedikit yang wanita tua, yang
seharusnya di umur seperti itu sudah bisa menikmati hidup dan bermain dengan cucu. Sekali-
kali juga pandanglah tukang koran di lampu merah, selain anak kecil atau remaja, ternyata ada
juga kakek-kakek di antara mereka. Semua ini menunjukkan bahwa mengemis itu adalah
budaya, dan bukan karena dampak akibat ketidakadilan sosial.

Ketika saya sedang berada di Singapura, saya menemukan hal menarik lainnya berkaitan
dengan mengemis. Ternyata di sana banyak orang tua yang sudah sangat sepuh bekerja di
tempat-tempatْ yangْ”kurangْ layak”ْ untukْ orangْseumuranْ mereka,ْ misalnyaْsebagaiْ penjagaْ
toilet umum, sopir taksi, pelayan restoran, bahkan cleaning service di mal. Pemerintahnya (dan
mungkin juga rakyatnya) telah berhasil membangun mental kemandirian, bahwa umur dan
kekurangan tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadi tukang minta-minta.

Umat Islam perlu membangun mental kemandirian ini, karena Rasulullah saw sudah mewanti-
wantinya 1400 tahun yang lalu. Sebab mental meminta itu bisa bergeser menjadi mental
pemalak. Seperti pengalaman saya ketika dikejar lima orang pengemis gara-gara saya memberi
salah satu dari mereka uang sebesar 1 Real, dan teman-temannya mengejarْsayaْuntukْ”mintaْ
jatah”ْyangْsama.ْSayaْbaruْ”selamat”ْdariْpengejaranْiniْsetelahْmasukْkeْwartel,ْdanْkelimaْ
pengemis itu diusir oleh pemilik wartel. Ternyata di Tanah Suci, perbedaan antara pengemis
dan preman di sana sedemikian tipis. Hanya mungkin profesi preman di sana tidak pernah
mendapatْ”status”ْdariْmasyarakat.ْWallahu’alam.
KEUTAMAAN SEDEKAH
February 20th, 2010 • Related • Filed Under

Salah satu amalan yang paling mulia di dalam Islam adalah sedekah. Sedekah adalah ibadah
dengan perbuatan berbagi antar sesama atas yang kita miliki secara syah dan halal. Sedekah
adalah keinginan membantu orang lain karena merasakan berat dan pedihnya penderitaan orang
lain sehingga timbul keinginan untuk membantu. Keinginan untuk berbagi ini merupakan sifat
mulia yang meniru sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah subhanahu wata’ala adalah Maha
pemberi. Kita dianjurkan untuk berbuat baik sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berbuat
baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ayat Qashas ayat 77:

” Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu ”

Karena utamanya perbuatan sedekah ini sehingga banyak terminologi atau istilah-istilah dalam
Islam menggunkan kata sedekah. Misalnya amal perbuatan baik disebut dengan sedekah.
Pemberian yang diwajibkan terhadap ummat Islam untuk memuliakan dan mensucikan seseorang
disebut zakat, dalam al Qura’an diistilahkan juga dengan sedekah.

Firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat At-Taubah ayat 103:

” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “.

Ayat tersebut diatas menjelaskan perintah untuk memungut zakat bagi muslim yang telah cukup
batas kekayaanya sehingga diwajibkan untuk membayar zakat.

Dalam hal ini zakat juga disebut sebagai sedekah, yaitu sedekah harta.

Setiap perbuatan kebajikan yang kita buat dibandingkan dengan sedekah sebagai kebajikan
tertinggi. Seperti Hadits dari riwayat Bukhari Muslim berikut ini:

” Berbuat Adil diantara dua orang adalah sedekah, menolong orang mengangkatkan barangnya
keatas kendaraannya atau engkau membawakan barang-barangnya, adalah sedekah, setiap
perkataan yang baik adalah sedekah, dan setiap langkah kaki yang dilangkahkan pergi sholat
adalah sedekah, dan membuang duri dijalan adalah sedekah “.

Setiap kebajikan yang kita lakukan seperti hadits diatas dibandingkan dengan sedekah.
Adapun pemberian sebagian harta kita kepada orang lain karena terasa beratnya beban yang
ditanggung orang lain dan hendak meringankan beban yang diderita oleh orang lain adalah
kebajikan tertinggi.

Firman Allah dalam Al-Qur’an menjelaskan kepada kita:


” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”. [QS: Ali Imran ayat 92]

Apapun kebajikan atau perbuatan baik yang kita lakukan tidak akan sampai kepada Allah
sebelum kita mampu memberikan sebagian harta yang kita cintai.

Kebajikan yang bagaimana yang bernilai disisi Allah tersebut selain memberikan sedekah pada
orang lain?
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 Allah berfirman:

” Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa “.

Dalam ayat diatas Allah ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa bukanlah suatu perbuatan
rutinitas kita sehari-hari beribadah dengan menghadapkan wajah ke Timur dan kebarat tetapi
tidak dengan niat yang ikhlas kepada allah merupakan suatu kebajikan tetapi kebajikan disini
berarti jauh lebih dalam lagi yaitu beriman dengan sesungguhnya terhadap yang mesti diimani,
membantu orang dengan memberikan sebagian harta, termasuk zakat, menepati janji, sabar,
sholat dengan sungguh-sungguh kepada Allah itulah yang dinamakan kebajikan yang benar dan
dilakukan oleh orang yang benar. Dan orang seperti itulah yang disebut dengan orang yang
bertaqwa.

Dan semua itu tidak akan ada gunanya jika kita tidak dapat membuktikan kita bahwa kita
bersungguh dan ikhlas melakukan dengan cara memberikan sebagian harta yang kita cintai.

Marilah kita renungkan ayat-ayat surat Al-Balad berikut ini:


10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan
11. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
12. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
13. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,
14. atau memberi makan pada hari kelaparan,
15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
16. atau kepada orang miskin yang sangat fakir.

Surat Al-Balad ayat 10 sampai 16

Hidup di dunia ini diciptakan dua jalan. Pertama hidup senang tetapi tidak banyak bernilai. Yang
kedua hidup susah tetapi bernilai. Jalan hidup susah mendaki lagi sukar itulah yang seharusnya
ditempuh oleh manusia, itulah jalan yang benar, itulah jalan yang bernilai. Tetapi sedikit orang
yang mau menempuh jalan itu. Jalan itu penuh banyak pengorbanan. Yaitu jalan yang penuh
pengabdian sosial. Jalan yang penuh makna kepedulian sosial bagi sesama yang susah dan penuh
penderitaan. Yaitu jalan berkorban untuk membebaskan budak, memberi makan orang kelaparan,
menyantuni anak yatim, dan membiayai fakir dan miskin.

Dan dalam Surat Al-Ma’un dijelaskan siapakah orang yang pendusta agama itu?
Yaitu orang yang tidak peduli pada fakir miskin, dan menelantarkan anak yatim.

Dua surat yang tersebut diatas sangat kental maknanya kepada kepedulian sosial bagi sesama
muslim. Bagi yang fakir, miskin, anak yatim dan anak terlantar.

Semoga kita dapat mengambil Ibroh dan Hikmahnya. Amiin, ya Rabbal ‘Alamiin.

Sedekah keutamaan dan macam-macamnya


(2)

Share

SEDEKAH, KEUTAMAAN DAN MACAM-MACAMNYA (2/akhir)

oleh : Ali Bin Muhammad ad-Dihami

SEDEKAH-SEDEKAH YANG PALING UTAMA

Pertama: Sedekah tersembunyi, karena amalan ini adalah yang paling dekat dengan keikhlasan
dibanding dengan cara terang-terangan. Mengenai hal itu, Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫﴾ سورة التوبة‬٢٧١﴿ ‫ِي َوإِن ت ُ ْخفُوهَا َوتُؤْ تُوهَا ْالفُقَ َراء فَ ُه َو َخي ٌْر لُّ ُك ْم‬ َّ ‫إِن ت ُ ْبد ُواْ ال‬
ِ ‫صدَقَا‬
َ ‫ت فَنِ ِع َّما ه‬

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu
lebih baik bagimu. (QS.2:271)
Disini diberitakan bahwa bagi orang yang bersedekah kepada orang fakir secara sembunyi-
sembunyi lebih baik dibanding menampakkan dan mengumumkannya. Allah Ta’ala menekankan
pengaitan cara tersembunyi dengan mendatangi –khususnya- orang-orang fakir, dan tidak
mengatakan, “Sekiranya kalian menyembunyikannya maka itu baik bagi kalian.” Karena diantara
pengamalan sedekah ada yang tidak memungkinkan menyembunyikannya, seperti persiapan
pasukan perang, membangun jembatan, irigasi sungai, dsb. Sedang mendatangi orang-orang fakir
secara diam-diam dan menutup-nutupinya, maka hal itu memiliki berbagai keuntungan,
(diantaranya) menutup-nutupinya, tidak membuat malu di hadapan orang, tidak
menempatkannya sebagai tontonan, sementara menjadikan orang melihat bahwa (posisi)
tangannya sebagai tangan yang dibawah, orang menjadi tahu bahwa dia tidak memiliki sesuatu
apapun, dan bersikap zuhud dalam pergaulan dan interaksinya. Dan ini merupakan nilai tambah
dalam konteks sikap ihsan terhadapnya melalui amalan sedekah dengan penuh ketulusan, tidak
ingin dilihat orang dan tidak mengharap pujian orang. Karenanya sedekah kepada orang fakir
secara tersembunyi lebih baik daripada secara terang-terangan di hadapan orang. Sebab itu Nabi
memuji sedekah secara diam-diam, dan memberikan apresiasi terhadap pelakunya. Dan beliau
mengabarkan bahwa pelakunya termasuk salah satu dari tujuh orang yang berada dalam naungan
‘arsy Allah pada hari kiamat nanti. Karena ini pula Allah Ta’ala mengaruniakan berbagai
kebaikan bagi orang yang bersedekah dan mengabarkan pula bahwa Allah Ta’ala mengampuni
segala kesalahannya disebabkan sedekahnya. (Dikutip dari Thariq Hijratain).

Kedua: Sedekahnya orang sehat dan kuat lebih utama dari wasiat harta orang yang telah
meninggal dunia atau sedekahnya orang sakit, ringkasnya sebagaimana dalam sabda beliau :

‫وم قُ ْلت ِلفُالَ ٍن َكذَا‬ ْ ‫ َوالَ ت ُ ْم ِه ْل َحتَّى إذَا بَلَغ‬، ‫ تَأ ْ ُم ُل ْال ِغنَى َوت َْخشَى ْالفَ ْق َر‬، ‫ص ِحي ٌح ش َِحي ٌح‬
َ ُ‫َت ْال ُح ْلق‬ َ َ‫صدَّقَ َوأَ ْنت‬
َّ َ ‫صدَقَ ِة أ َ ْن ت‬ َ ‫« أَ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬
» ‫ أالَ َوقَدْ ِلفُالَ ٍن َكذَا‬، ‫َو ِلفُالَ ٍن َكذَا‬

“Seutama-utamanya sedekah adalah engkau bersedekah saat engkau dalam keadaan sehat, kikir,
takut akan kefaqiran serta sedang mengharap kekayaan. Dan janganlah menunda-nundanya
hingga ruhmu telah mencapai kerongkongan, barulah engkau berwasiat, ‘Untuk si fulan sekian,
dan untuk si fulan sekian.” Ketahuilah sebenarnya harta itu telah menjadi milik si fulan (ahli
warisnya, pent.).” (Terdapat dalam ash-Shahihain).

Ketiga: Sedekah setelah menunaikan perkara wajib, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla :

‫﴾ سورة التوبة‬٢٧١﴿ ‫ِي َوإِن ت ُ ْخفُوهَا َوتُؤْ تُوهَا ْالفُقَ َراء فَ ُه َو َخي ٌْر لُّ ُك ْم‬ َّ ‫إِن ت ُ ْبد ُواْ ال‬
ِ ‫صدَقَا‬
َ ‫ت فَنِ ِع َّما ه‬

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu
lebih baik bagimu. (QS.2:271)

Sabda Nabi :

َ ‫صدَقَةَ إِالَّ َع ْن‬


» ‫ظ ْه ِر ِغنًى‬ َ َ‫« ال‬

“Tidak ada sedekah kecuali dari harta yang lebih.” (HR. Al-Bukhari).
Diriwayat lain :

َ ‫صدَقَ ِة َع ْن‬
» ‫ظ ْه ِر ِغنًى‬ َّ ‫« َوخَ ي ُْر ال‬

“Sebaik-baik sedekah adalah dari harta yang lebih.” (HR. Al-Bukhari).

Keempat: Pengorbanan seseorang sebatas kesanggupan dan kemampuannya, sementara ia dalam


keadaan kekurangan dan butuh, sebagaimana sabda beliau :

» ‫صدَقَ ِة ُج ْهدُ ْال ُم ِق ِل َوا ْبدَأْ ِب َم ْن تَعُو ُل‬ َ ‫« أ َ ْف‬


َّ ‫ض ُل ال‬

“Sedekah yang paling utama adalah pengorbanan orang yang kekurangan, dan mulailah dari
orang yang berada di bawah tanggunganmu.” (HR. Abu Dawud).

Beliau bersabda :

َ‫ض َما ِل ِه فَأ َ َخذ‬ َ ‫صدَّقَ بِأ َ َح ِد ِه َما َوا ْن‬


ِ ‫طلَقَ َر ُج ٌل إِلَى ع ُْر‬ ِ ‫« َسبَقَ د ِْر َه ٌم ِمائَةَ أ َ ْل‬
َ ‫ َو َكي‬: ‫ قَالُوا‬، ‫ف د ِْره ٍَم‬
ِ ‫ َكانَ ِل َر ُج ٍل د ِْر َه َم‬: ‫ قَا َل‬، ‫ْف‬
َ َ‫ان ت‬
» ‫صدَّقَ ِب َها‬ َ َ ‫ف د ِْره ٍَم فَت‬ ِ ‫ِم ْنهُ ِمائَةَ أ َ ْل‬

“Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana bisa?” Beliau bersabda, “Seseorang (hanya) mempunyai dua dirham,
lalu dia sedekahkan salah satunya. Sedang salah seorang lainnya mempunyai harta banyak,
kemudian dia mengambiil seratus ribu dirham darinya lalu menyedekahkannya.” (HR. An-
Nasa’i, Shahih al-Jami’).

Al-Baghawi Rahimahullah berpendapat, “Baiknya bagi seseorang bahwa ia bersedekah dengan


kelebihan hartanya, menyisakan untuk dirinya makanan yang cukup untuk menghindari fitnah
kefaqiran, dan kemungkinan penyesalan yang datang setelahnya atas apa yang telah
diperbuatnya, sehingga dapat mengugurkan ganjarannya. Namun demikian Nabi tidak
memungkiri atas apa yang terjadi pada diri Abu Bakar yang mengeluarkan seluruh hartanya,
selama diketahui hal itu terlahir dari kuatnya keyakinan dan tingginya ketawakkalan serta ia
tidak takut akan fitnahnya, sebagaimana yang dikuatirkan orang lain. Sedang orang yang sedekah
sementara keluarganya membutuhkannya, atau ia memiliki hutang dan tidak ada harta yang
dimilikinya selain itu, maka membayar utang dan menafkakasn keluarganya adalah lebih utama
dalam keadaan ini. Kecuali orang itu dikenal kesabarannya, lalu ia lebih mendahulukan orang
lain daripada dirinya, sekalipun ia sanggat membutuhkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Bakar, demikian pula dengan itsarnya para sahabat Anshar kepada saudaranya dari kalangan
Muhajirin maka Allah memuji mereka dengan firman-Nya :

‫﴾ سورة الحشر‬٩﴿ … ٌ‫صة‬ َ ‫… َويُؤْ ثِ ُرونَ َعلَى أَنفُ ِس ِه ْم َولَ ْو َكانَ ِب ِه ْم َخ‬
َ ‫صا‬

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (QS.59:9)

Kelima: Nafkah untuk anak-anaknya, sebagaimana dalam sabda beliau :


» ً‫صدَقَة‬ ْ ‫الر ُج ُل ِإذَا أ َ ْنفَقَ النَّفَقَةَ َعلَى أ َ ْه ِل ِه يَحْ ت َ ِسبُ َها كَان‬
َ ُ‫َت لَه‬ َّ «

“Apabila seorang memberi nafkah kepada keluarganya demi untuk mencari pahalanya (dari
Allah), maka menjadi sedekah baginya.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Sabda beliau :

َ ‫ أ َ ْف‬، َ‫َار أ َ ْنفَ ْقت َهُ َعلَى أَ ْهلِك‬


‫ضلُ َها‬ َ ‫َار أَ ْنفَ ْقتَهُ فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬
ٌ ‫ َودِين‬، ِ‫َّللا‬ َ ‫َار أ َ ْع‬
ٌ ‫ َودِين‬، ‫ط ْيتَهُ فِي َرقَبَ ٍة‬ َ ‫َار أ َ ْع‬
ٌ ‫ َودِين‬، ‫ط ْيتَهُ ِم ْس ِكينًا‬ َ ‫« أ َ ْربَعَةُ دَنَا ِن‬
ٌ ‫ دِين‬: ‫ير‬
» َ‫َار الَّذِي أَ ْنفَ ْقتَهُ َعلَى أ ْهلِك‬
َ ُ ‫الدِين‬

“Empat dinar; satu dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar yang engkau
berikan untuk memerdekan seorang budak, satu dinar yang engkau berikan di jalan Allah, dan
satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka satu dinar yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu paling besar pahalanya..” (HR. Muslim).

Keenam: Sedekah kepada sanak famili terdekat.

Dahulu Abu Thalhah adalah seorang sahabat Anshar yang paling banyak hartanya. Saat itu harta
yang paling disukainya adalah Bairuha’ (nama sebuah kebun, pent.), yang terletak menghadap
masjid. Rasulullah sering memasukinya dan minum airnya yang sedap di dalamnya. Anas
berkata : Ketika turun ayat ini :

َ ‫لَن تَنَالُواْ ْال ِب َّر َحتَّى تُن ِفقُواْ ِم َّما ت ُ ِحبُّونَ َو َما تُن ِفقُواْ ِمن‬
‫﴾ سورة آل عمران‬٩٢﴿ ‫ش ْيءٍ فَإ ِ َّن َّللاَ ِب ِه َع ِلي ٌم‬

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya. (QS.3:92)

Maka Abu Thalhah berdiri menghampiri Rasulullah , lalu berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman :

َ ‫لَن تَنَالُواْ ْالبِ َّر َحتَّى تُن ِفقُواْ ِم َّما ت ُ ِح ُّبونَ َو َما تُن ِفقُواْ ِمن‬
‫ش ْيءٍ فَإ ِ َّن َّللاَ ِب ِه َع ِلي ٌم‬

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya.

Sesungguhnya hartaku yang paling kusukai adalah Bairuha’, dan (kebun) itu sebagai sedekah
semata-mata karena Allah Ta’ala. Aku berharap (menjadi) kebaikan dan simpanan di sisi Allah
Ta’ala. Maka taruhlah dia, wahai Rasulullah, ditempat yang sesuai menurutmu!. Rasulullah
bersabda: “Alangkah menakjubkan! harta yang beruntung, dan aku sudah mendengar apa yang
kamu ucapkan, dan aku berpendapat agar kamu memberikannya untuk para kerabat dekat.”
Maka Abu Thalhah berkata, “Akan kulakukan wahai Rasulullah!.” Lalu dia membagi-bagikanya
kepada para sanak famili dan anak-anak pamannya.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Sabda beliau :
» ٌ‫صلَة‬
ِ ‫صدَقَةٌ َو‬ َّ ‫صدَقَةٌ َوهِى َعلَى ذِى‬
ِ ‫الر ِح ِم ثْنَت‬
َ ‫َان‬ ِ ‫صدَقَةُ َعلَى ْال ِم ْس ِك‬
َ ‫ين‬ َّ ‫« ال‬

“Sedekah yang diberikan kepada orang miskin mendapat satu pahala, sedangkan sedekah yang
diberikan kepada sanak famili mendapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturahmi.”
(HR. Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Lebih khusus lagi sanak famili –setelah keluarga yang harus engkau nafkahkan- yang dua ini :

1. Berstatus yatim. Berdasarkan firman-Nya Jalla wa ‘Ala :

ْ ِ‫﴾ أ َ ْو إ‬١٣﴿ ‫﴾ فَكُّ َرقَبَ ٍة‬١٢﴿ ُ‫﴾ َو َما أَد َْراكَ َما ْالعَقَبَة‬١١﴿ َ‫فَالَ ا ْقت َ َح َم ْالعَقَبَة‬
‫﴾ أ َ ْو‬١٥﴿ ‫﴾ يَتِيما ً ذَا َم ْق َربَ ٍة‬١٤﴿ ‫طعَا ٌم فِي يَ ْو ٍم ذِي َم ْسغَبَ ٍة‬
‫﴾ سورة البلد‬١٦﴿ ‫ِم ْس ِكينا ً ذَا َمتْ َر َب ٍة‬

011. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar?. 012. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? 013. (yaitu) melepaskan
budak dari perbudakan, 014. atau memberi makan pada hari kelaparan, 015. (kepada) anak
yatim yang ada hubungan kerabat, 016. atau orang miskin yang sangat fakir. (QS.90:11-16)

1. Kedua: Sanak famili dekat yang menyimpan permusuhan dan menyembunyikannya.


Maka beliau bersabda:

» ِ‫الر ِح ِم ْالكَا ِشح‬


َّ ‫صدَقَ ِة َعلَى ذِي‬ َ ‫« أَ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬

“Seutama-utamanya sedekah adalah (yang diberikan) kepada sanak famili yang memusuhi.”
(HR. Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan terdapat di Shahih al-Jami’).

Ketujuh: Sedekah kepada tetangga; Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkan melalui firman-
Nya:

ِ ُ‫ار ْال ُجن‬


‫﴾ سورة النساء‬٣٦﴿ … ‫ب‬ ِ ‫ار ذِي ْالقُ ْربَى َو ْال َج‬
ِ ‫َو ْال َج‬

Tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh … (QS.4:36)

Demikian pula Nabi mewasiatkan kepada Abu Dzar dengan sabdanya :

َ ‫طبَ ْخت َم َرقَةً فَأ َ ْكثِ ْر َما َءهَا َوتَعَا َهدْ ِج‬
» ‫يرانَك ِم ْن َها‬ َ ‫« إذَا‬

“Sekiranya kamu masak kuah, maka perbanyaklah airnya. Dan bagilah tetanggamu.” (HR.
Muslim).

Kedelapan: Sedekah kepada sahabat dan rekan di jalan Allah; berdasarkan sabda beliau :

ْ َ ‫الر ُج ُل َعلَى أ‬
‫ص َحابِ ِه فِي‬ َّ ُ‫َار يُ ْن ِفقُه‬ َ ‫الر ُج ُل َعلَى دَابَّتِ ِه فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬
ٌ ‫َّللاِ َودِين‬ َّ ُ‫َار يُ ْن ِفقُه‬
ٌ ‫الر ُج ُل َعلَى ِعيَا ِل ِه َودِين‬
َّ ُ‫ار يُ ْن ِفقُه‬ ِ ‫ض ُل الدِين‬
ٌ َ‫َار دِين‬ َ ‫« أَ ْف‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
» ِ‫َّللا‬ َ
“Seutama-utama dinar, adalah dinar yang belanjakan untuk keluarganya, dinar yang
dibelanjakan untuk (perawatan) binatang untuk berperang di jalan Allah, dan dinar yang
dibelanjakan untuk sahabat-sahabatnya di jalan Allah.” (HR. Muslim).

Kesembilan: Yang dibelanjakan dalam jihad di jalan Allah, baik jihad terhadap orang-orang
kafir ataupun terhadap orang-orang munafik; karena sesungguhnya hal itu termasuk
pembelanjaan harta yang paling agung. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hal
tersebut di ayat yang lain di dalam Al-Qur`an. Dia mengedepankan jihad harta atas jihad diri di
kebanyakan ayat dan diantara firman-Nya :

‫﴾ سورة التوبة‬٤١﴿ َ‫سبِي ِل َّللاِ ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّ ُك ْم إِن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
َ ‫ا ْن ِف ُرواْ ِخفَافا ً َوثِقَاالً َو َجا ِهد ُواْ بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأَنفُ ِس ُك ْم فِي‬

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (QS.9:41)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menerangkan kriteria orang-orang beriman yang


sempurna dengan mensifatkan mereka dengan ash-shidq.

َّ ‫َّللاِ أ ُ ْولَئِكَ ُه ُم ال‬


‫﴾ سورة‬١٥﴿ َ‫صا ِدقُون‬ َ ‫سو ِل ِه ث ُ َّم لَ ْم يَ ْرتَابُوا َو َجا َهد ُوا بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأَنفُ ِس ِه ْم فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َّ ِ‫ِإنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ الَّذِينَ آ َمنُوا ب‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬
‫الحجرات‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS.49:15)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Rasul-Nya dan para sahabatnya ridhwanullah ‘Alaihim
dengan hal tersebut dalam firman-Nya :

ٍ ‫﴾ أ َ َعدَّ َّللاُ لَ ُه ْم َجنَّا‬٨٨﴿ َ‫سو ُل َوالَّذِينَ آ َمنُواْ َمعَهُ َجا َهدُواْ بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأَنفُ ِس ِه ْم َوأ ُ ْولَـئِكَ َل ُه ُم ْال َخي َْراتُ َوأ ُ ْولَـئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬
‫ت‬ َّ ‫لَـ ِك ِن‬
ُ ‫الر‬
ْ ْ
‫﴾ سورة التوبة‬٨٩﴿ ‫ار خَا ِلدِينَ فِي َها ذَلِكَ الفَ ْو ُز ال َع ِظي ُم‬ ُ ‫تَجْ ِري ِمن تَحْ تِ َها األ َ ْن َه‬

088. Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta
dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah
(pula) orang-orang yang beruntung. 089. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar. (QS.9:88-89)

Beliau bersabda :

َ ‫ط ُروقَةُ فَحْ ٍل فِي‬


َّ ‫سبِي ِل‬
» ِ‫َّللا‬ ُ ‫ أ َ ْو‬،ِ‫َّللا‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ ِظ ُّل فُ ْس‬:ِ‫صدَقَات‬
َ ‫طاطٍ فِي‬ َ ‫« أ َ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬

“Seutama-utamanya sedekah adalah kemah berteduh (untuk para mujahid) di jalan Allah, atau
pemberian pelayan di jalan Allah, atau hewan tunggangan di jalan Allah.” (HR. Ahmad, at-
Tirmidzi, Shahih al-Jami’).
Beliau bersabda :

» ‫َّللاِ فَ َقدْ غَزَ ا‬


َّ ‫س ِبي ِل‬ ِ ‫« َم ْن َج َّهزَ غ‬
َ ‫َازيًا فِي‬

“Barangsiapa yang menyediakan perlengkapan perang di jalan Allah, maka dia telah
berperang.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Namun untuk diketahui bersama bahwa seutama-utamanya sedekah untuk jihad di jalan Allah
adalah saat-saat dibutuhkan dan kekurangan di kalangan muslimin, sebagaimana kondisi kita saat
ini.

Adapun jika di waktu berkecukupan dan kemenangan di pihak kaum muslimin, maka tidak
diragukan lagi bahwa sedekah kala tersebut adalah baik, namun tidak menyamai ganjaran dalam
situasi yang pertama.

ً‫ظ ُم دَ َر َجة‬َ ‫ض الَ يَ ْست َ ِوي ِمن ُكم َّم ْن أَن َفقَ ِمن قَ ْب ِل ْالفَتْحِ َوقَات َ َل أ ُ ْولَئِكَ أَ ْع‬ ِ ‫ت َواأل َ ْر‬ِ ‫س َم َاوا‬َّ ‫اث ال‬ُ ‫ير‬
َ ‫َّللاِ َو ِ ََّّللِ ِم‬ َ ‫َو َما لَ ُك ْم أَالَّ تُن ِفقُوا فِي‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
ُ‫ضا ِعفَه‬ َ
َ ُ‫سنا في‬ ً ً
َ ‫َّللاَ ق ْرضا َح‬ َ َّ ‫ض‬ ْ َّ َ
ُ ‫﴾ َمن ذا الذِي يُق ِر‬١٠﴿ ‫ير‬ ُ
ٌ ِ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملونَ َخب‬ ْ َّ َ‫ِمنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا ِمن بَ ْعد ُ َوقاتَلوا َوكال َو َعد‬
َّ ‫َّللاُ ال ُح ْسنَى َو‬ ًّ ُ ُ َ
‫﴾ سورة الحديد‬١١﴿ ‫لَهُ َولَهُ أَجْ ٌر ك َِري ٌم‬

010. Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal
Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang
yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi
derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.
Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. 011. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak, (QS.57:10-11)

Sesungguhnya orang yang berinfak dan berperang, dalam situasi aqidah yang tersudutkan,
jumlah para penolong sedikit, kondisi yang tidak kondusif, tidak ada kelapangan harta. Berbeda
dengan orang yang berinfak dan berperang, sementara aqidah dalam keadaan aman, para
penolong berjumlah banyak, target kemenangan dan penguasaan serta keberhasilan tampak di
berbagai daerah. Demikian itu terkait dengan (tujuan) langsung ke Allah secara murni, sempurna
dan tidak samar di dalamnya. Kepercayaan yang dalam, merasa tenang hanya dengan Allah
semata, jauh dari segala sebab zahir. Dan setiap realitas menjadi dekat, tidak didapati
pertolongan pada upaya kebaikan, melainkan dari apa yang berasal langsung dari akidahnya.
Inilah yang menjadikan usaha kebaikan mendapatkan banyak penolong-penolong, hingga harus
benar terlebih dahulu niatnya dan memurnikannya semurni para pendahulu. (Fi Zhilalil Qur’an).

Kesepuluh: Sedekah jariyah, yaitu amalan yang masih menetap pasca meninggalnya seorang
hamba, dan terus mengalir pahala baginya. Berdasarkan sabda beliau :

َ ‫اريَ ٍة أَ ْو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه أَ ْو َولَ ٍد‬


»ُ‫صا ِلحٍ يَدْعُو لَه‬ َ : ‫ط َع َع ْنهُ َع َملُهُ إِالَّ ِم ْن ثَالَث َ ٍة‬
ِ ‫صدَقَ ٍة َج‬ َ ‫سانُ ا ْن َق‬ ِ َ‫« إِذَا َمات‬
َ ‫اإل ْن‬
“Apabila seorang manusia meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara,
(yaitu) sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang senantiasa
mendoakannya.” (HR. Muslim).

BENTUK-BENTUK SEDEKAH JARIYAH

Untuk anda beberapa bentuk-bentuk sedekah jariyah yang terdapat dalam nash-nashnya :

1. Memberi air minum dan penggalian sumur-sumur. Berdasarkan sabda beliau :

ِ ‫ي ْال َم‬
» ‫اء‬ ُ ‫س ْق‬
َ ‫صدَقَ ِة‬ َ ‫« أ َ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬

“Sebaik-baik sedekah adalah memberi air minum.” (HR. Muslim).

2. Memberi makan. Sesunggunya Nabi ketika ditanya bagaimana islam yang baik itu. Beliau
menjawab :

َّ ‫ام َوت َ ْق َرأ ُ ال‬


ْ ‫سالَ َم َعلَى َم ْن َع َر ْفتَ َو َم ْن لَ ْم ت َ ْع ِر‬
»‫ف‬ َ ‫ط َع‬ ْ ُ‫« ت‬
َّ ‫ط ِع ُم ال‬

“Engkau beri makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal maupun yang
tidak kamu kenal.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

3. Membangun masjid. berdasarkan sabda beliau :

» ‫َّللاُ لَهُ بَ ْيتًا فِي ْال َجنَّ ِة‬ َّ َ‫« َم ْن َبنَى َمس ِْجدًا يَ ْبت َ ِغي بِ ِه َوجْ ه‬
َّ ‫ بَنَى‬، ِ‫َّللا‬

“Barangsiapa yang membangun masjid demi mencari wajah Allah, niscaya Allah bangunkan
rumah baginya di surga” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda :

ِ ‫ َو َم ْن بَنَى َمس ِْجدًا َك َم ْف َح‬، ‫ إِالَّ آ َج َرهُ هللاُ َي ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬، ‫طائِ ٍر‬
‫ص‬ َ َ‫ َوال‬، ‫ َوالَ إِ ْن ٍس‬، ‫ ِم ْن ِج ٍن‬، ‫ لَ ْم يَ ْش َربْ ِم ْنهُ َك ِبد ٌ َح َّرى‬، ‫« َم ْن َحفَ َر َما ًء‬
»‫ َبنَى هللاُ لَهُ َب ْيتًا فِي ْال َجنَّ ِة‬، ‫صغ ََر‬
ْ َ ‫ أ َ ْو أ‬، ٍ‫طاة‬
َ َ‫ق‬

“Barangsiapa yang menggali sumur, (kemudian) tidaklah setiap yang memiliki ruh, baik dari
kalangan manusia, jin, dan burung yang minum dari sumur tersebut, melainkan Allah (pasti)
akan membalasnya kelak di hari Kiamat.” Dan barangsiapa yang membangun masjid karena
Allah (semata), sekalipun (hanya) sebesar lubang bertelur burung tekukur, niscaya Allah
bangunkan rumah baginya di surga” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

4. Berinfak dalam menyebarkan ilmu, dan membagikan mushhaf al-Qur`an, serta


membangunkan tempat-tempat singgah bagi para musafir yang membutuhkan pertolongan. Dan
yang setaraf dengannya seperti anak yatim, para janda, dsb. Dari Abu Hurairah Berkata, Beliu
bersabda :
‫ص َحفًا َو َّرثَهُ أ َ ْو َمس ِْجدًا بَنَاهُ أ َ ْو بَ ْيتًا‬ َ ‫سنَاتِ ِه بَ ْعدَ َم ْوتِ ِه ِع ْل ًما َعلَّ َمهُ َونَش ََرهُ َو َولَدًا‬
ْ ‫صا ِل ًحا ت ََر َكهُ َو ُم‬ َ ‫« ِإ َّن ِم َّما يَ ْل َح ُق ْال ُمؤْ ِمنَ ِم ْن َع َم ِل ِه َو َح‬
ْ ُ ْ
»‫ص َّحتِ ِه َو َحيَاتِ ِه يَل َحقهُ ِمن بَ ْع ِد َم ْوتِ ِه‬ ْ ْ َ
ِ ‫صدَقة أخ َر َج َها ِمن َما ِل ِه فِي‬ ً َ َ ‫سبِي ِل بَنَاهُ أ َ ْو نَ ْه ًرا أَجْ َراهُ أ َ ْو‬
َّ ‫ِالب ِْن ال‬

“Sesungguhnya termasuk amalan dan kebaikan orang mukmin yng masih mengalir pasca
kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, atau anak shalih yang
ditinggalkannya, atau mushhaf al-Qur`an yang diwariskannya, atau masjid yang dibangunnya,
atau rumah singgah bagi para musafir yang dibangunnya, atau sungai yang dialirkannya, atau
sedekah yang dkeluarkan dari hartanya saat sehatnya dan di masa hidupnya, (semua itu) masih
mengalir kepadanya pasca kematiannya. ” (HR. Ibnu Majah; Shahih at-Targhib).

Sekedar untuk diketahui oleh saudaraku, bahwa sedekah di waktu-waktu tertentu lebih utama
daripada di masa yang lainnya, seperti sedekah di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Abbas :

‫ضانَ ِحينَ يَ ْلقَاهُ ِجب ِْري ُل َو َكانَ يَ ْلقَاهُ فِي ُك ِل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن‬ َ ‫اس َو َكانَ أَجْ َودُ َما يَ ُكونُ فِي َر َم‬ ِ َّ‫سلَّ َم أَجْ َودَ الن‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫« َكانَ َر‬
» ‫سلَ ِة‬ ْ
َ ‫الريحِ ال ُم ْر‬
ِ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ْر‬
ِ ‫ي‬‫خ‬َ ْ
‫ال‬ ‫ب‬ ُ ‫د‬ ‫و‬
ِ َ َ َ ْ‫ج‬َ ‫أ‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ َّ
‫َّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ َّ
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ َ‫آن‬‫ر‬ْ ُ ‫ق‬ ْ
‫ال‬ ُ ‫ه‬ ‫س‬
ُ ‫ار‬
ِ َ ‫د‬ُ ‫ي‬َ ‫ف‬ َ‫ضان‬
َ ‫َر َم‬

“Nabi adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan,
saat beliau ditemui Jibril untuk membacakan kepadanya Al Qur`an. Jibril menemui setiap
malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya Al Qur`an. Rasulullah Shallallahu
`Alahi Wa Sallam ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang
berhembus.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Demikian pula sedekah di sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah, karena sesungguhnya
Nabi bersabda :

‫َّللاِ قَا َل َو َال‬ َ ‫َّللاِ َو َال ْال ِج َهاد ُ فِي‬


َّ ‫س ِبي ِل‬ ُ ‫َّام ْال َع ْش ِر قَالُوا يَا َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫َّللاِ ِم ْن َه ِذ ِه ْاألَي َِّام يَ ْعنِي أَي‬ َّ ‫« َما ِم ْن أَي ٍَّام ْال َع َم ُل ال‬
َّ ‫صا ِل ُح فِي َها أ َ َحبُّ ِإلَى‬
» ٍ‫ش ْيء‬ َ ِ‫َّللاِ إِ َّال َر ُج ٌل خ ََر َج بِنَف ِس ِه َو َما ِل ِه فل ْم يَ ْر ِج ْع ِمن ذلِكَ ب‬
َ ْ َ َ ْ َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ْال ِج َهاد ُ فِي‬

“Tiada hari-hari dimana amal shalih di dalamnya lebih disukai oleh Allah daripada hari-hari
sekarang yaitu sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhjjah).” Sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah meskipun jihad fi sabilillah?” Jawab Nabi, “Meskipun jihad fi sabilillah, kecuali jika
seseorang yang keluar (jihad) dengan (mengorbankan) jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali
dengan apa pun.” (HR. Al-Bukhari).

Anda telah mengetahui bahwa sedekah merupakan amalan paling utama untuk mendekatkan diri
kepada Allah.

Juga diantara waktu-waktu utama, yaitu pada hari dimana manusia dalam keadaan kesukaran dan
sangat membutuhkan serta kefakiran yang nyata, sebagaimana firman-Nya Subhnahu wa Ta’ala
:

ْ ِ‫﴾ أ َ ْو إ‬١٣﴿ ‫﴾ فَكُّ َرقَبَ ٍة‬١٢﴿ ُ‫﴾ َو َما أَد َْراكَ َما ْالعَقَبَة‬١١﴿ َ‫فَالَ ا ْقت َ َح َم ْالعَقَبَة‬
‫﴾ سورة البلد‬١٤﴿ ‫طعَا ٌم فِي يَ ْو ٍم ذِي َم ْسغَبَ ٍة‬
011. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar?. 012. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? 013. (yaitu) melepaskan
budak dari perbudakan, 014. atau memberi makan pada hari kelaparan. (QS.90:11-14)

Maka termasuk bagian dari nikmat Allah ‘Azza wa Jalla atas seorang hamba adalah dikaruniakan
harta baginya. Dan termasuk kesempurnaan suatu kenikmatan padanya, apabila hal itu
membantunya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.”

َّ ‫صا ِل ُح ِل ْل َم ْر ِء ال‬
» ِ‫صا ِلح‬ َّ ‫« نِ ْع َم ْال َما ُل ال‬
“Sebaik-baik harta yang shalih (baik) yang berada pada seorang yang shalih (pula)” (HR. Al-
Bukhari).

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga
dan para sahabatnya. selesai

sumber:‫الصدقة فضائلها وأنواعها‬

Salurkan Infaq anda untuk Proyek Sosial Terjemahan Buku Islam

Anda mungkin juga menyukai