PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan
menjadi dua bagian yaitu BBL sangat rendah bila berat badan lahir kurang
dari 1.500 gram dan BBLR bila berat badan lahir antara 1.501-2.499
gram.1
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan salah
berkembang dengan IUGR sebagai akibat ibu dengan status gizi buruk,
bayi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), persoalan pokok pada BBLR
1
lahir kurang dari 2.000 gram adalah 10 kali lebih besar, kematian bayi
dengan berat badan antara 2.000 gram sampai 2.399 gram 4 kali lebih
penyebab dasar kematian dari dua pertiga kematian neonatus. Sekitar 16%
dari kelahiran hidup atau 20 juta bayi pertahun dilahirkan dengan berat
badan kurang dari 2.500 gram dan 90% berasal dari Negara berkembang.
setiap 10 detik terjadi satu kematian bayi akibat dari penyakit atau infeksi
2
BAB II
LAPORAN KASUS
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Sakit dengan pengantar dari dokter spesialis anak dengan keluhan kuning seluruh
tubuh dialami sejak pasien lahir. Menurut orang tuanya bahwa, pasien lahir tidak
menangis secara spontan. Pasien juga sempat biru dan kemudian diberi oksigen
serta dirawat selama 3 hari di RS. Setelah dibawa pulang oleh orang tuanya
kerumah, pasien mulai terlihat kuning. Awalnya ibu pasien melihat mata pasien
kuning, setelah itu kuning seluruh tubuh dan semakin memberat hingga orang tua
pasien memutuskan untuk membawa pasien ke dokter anak. Bayi bergerak tidak
aktif. Selama dirumah pasien diberi ASI namun menurut ibunya pasien malas
3
Berdasarkan riwayat kelahiran, pasien dilahirkan secara normal, spontan dan
ditolong oleh bidan di RS Bhakti Rahayu. Selama kehamilan, ibu pasien mengaku
mengalami keputihan sejak usia kehamilan 6 bulan. Keputihan tidak gatal dan
tidak berbau. Ibu pasien juga sering muntah pada pagi hari dan banyak. Keluhan
dicabut.
4
eksoftalmus enoftalmus (-), strabismus (-),
lekukan epikantus
kiri)
a. Jantung :
o Perkusi : Redup
5
Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
tambahan (-)
b. Paru :
- Abdomen :
o Perkusi : Timpani
6
- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-).
- Panjang badan : 42 cm
- Lingkar kepala : 30 cm
- BB/U : -3 SD
- BB/PB : -3 SD
- PB/U : -3 SD
V. Diagnosis
VI. Terapi
7
Limfosit 44,0 % 20-40 %
Monosit 40,4 % 2-8 %
Eosinofil 0,1 % 1-3 %
Basofil 6,4 0-1 %
Eritrosit 6,98 x 106/uL 3,5-5,5 x 106/uL
HB 18,3g/dl 14-18 g/dl (P), 12-15 g/dl
(W)
HCT 53,8 % 40-52% (P), 37-43% (W)
MCV 77 fL 80-100 fL
MCH 26,3 pg 27-32 pg
MCHC 34,1 g/dl 32-36 g/dl
Trombosit 334 x 103/uL 150-400 x 103/uL
LED 1 mm/ jam <10 mm/jam (P), <15
mm/jam
IT/Ratio 0,12 <0,2
Bilirubin Total 25,0 mg/dL < 1,5 mg/dL
Bilirubin Direk 20,1 mg/dL < 0,5 mg/dL
Bilirubin Indirek 4,9 mg/dL < 1,1 mg/dL
8
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Dd: Hipotiroid Kongenital
Sindrom down
Atresia bilier
P:
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 10-15 ml/ 2 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-5)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-5)
9
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 10-15 ml/ 2 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-6)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-6)
10
LP: 29 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
Suspek sindrom down
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 12 tpm
-Asi 15-20 ml/ 3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-7)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-7)
11
Nadi : 128 x/menit
RR : 58x/menit
Suhu: 36,7 ◦C
SpO2 : 96%
BB: 1800 gr
LP: 29 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia
Suspek sindrom down
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-8)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-8)
24/5/2019 27 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+), Stop pemberian
kembung (+), reflex hisap belum baik, O2 selama 30
12
instabilisasi suhu (-) menit SpO2 : 87-
O: 89%, bayi tenang
Ku : bayi pasif (+) tidak biru.
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :
Nadi : 122 x/menit
RR : 52x/menit
Suhu: 37 ◦C
SpO2 : 92%
BB: 1800 gr
LP: 30 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia
Suspek sindrom down
Suspek hipotiroid Kongenital (central)
Dd : PJB
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm
13
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-9)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-9)
25/5/2019 28 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+), Hasil lab :
kembung (+), reflex hisap belum baik, Hb : 13,0 g/dL
instabilisasi suhu (-) Leukosit : 6.100
O: Hitung jenis
Ku : bayi pasif (+) leukosit :
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-) Neutrofil: 21,9%
TTV : Limfosit: 30,1%
Nadi : 132 x/menit Monosit: 45,2%
RR : 58x/menit Eosinofil: 0,5%
Suhu: 36,9 ◦C Basofil: 2,3%
SpO2 : 92% Trombosit :
BB: 1800 gr 192.000
LP: 31 cm IT/Ratio: 0,05
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia
14
Hipotiroid Kongenital
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 8 tpm
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-10)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-10)
15
BAB III
DISKUSI
per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara
berkembang.1
Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.
Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau terbukti) infeksi bersama dengan
manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis
plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Definisi
yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat, septikemia
dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College of Chest
16
definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat dengan
keputihan sejak usia kehamilan 6 bulan yang awalnya berwarna putih dengan
kekuningan dan kental, tidak gatal atau berbau. Ibu pasien mengaku telah
riwayat neonatal ditemukan adanya riwayat pasien dengan lahir tidak spontan
menangis, kuning seluruh tubuh, BBLR, premature, serta adanya keluhan malas
minum.
faktor risiko yang terjadi pada ibu, bayi dan lain-lain. Diantaranya dari faktor ibu,
ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih
dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya, cairan ketuban hijau keruh dan
17
sosial ekonomi dan gizi ibu. Faktor risiko pada bayi, prematuritas dan berat lahir
rendah, perawat di rumah Sakit, resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi
yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan, prosedur invasif
untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia, asfiksia neonatorum, cacat
bawaan, tanpa rawat gabung, tidak diberi ASI, pemberian nutrisi parenteral,
perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama, perawatan di
pasien pasif dan terjadi instabilitas suhu badan. Pada kulit ditemukan ikterik
seluruh tubuh, adanya tanda-tanda distres pernafasan yaitu takipnea, pasien juga
pada kulit : pucat, sianosis, ruam, ikterik, sklerema, perdarahan, petekie, pur-pura,
oliguria, anuria.6
18
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil pemeriksaan
darah rutin yang bermakna yaitu leukosit 11.800, neutrofil9.1%, limfosit 44.0%,
monosit 40.4%, eosinofil 0.1%, basofil 6.4% dan pemeriksaan IT/Ration 0.12.
antibiotik. Pengambilan contoh kultur dapat kita ambil dari darah, cairan
serebrospinal, luka, sekret saluran napas atau dari cairan tubuh lain yang
pasien dengan inflamasi akut yang disebabkan oleh infeksi pasca bedah atau
keadaan syok. Masa yang akan datang penggunaan polymerase chain reaction
(PCR) untuk identifikasi secara cepat bakteri patogen dan resistensi kuman pada
Pada kasus ini pasien di terapi dengan antibiotik empiris yaitu ampicilin
dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi
inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen
bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh
19
memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi
yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal
tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.7,8
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis
awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan
pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira –
kira 2 %).9
Ikterus atau “Jaundice” merupakan keadaan klinis pada bayi baru lahir
yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat
akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan
mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau
disebut dengan hiperbilirubinemia.6,10 Istilah hiperbilirubinemia dipakai untuk
ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya.6
Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus fisiologis timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan, yaitu: Bilirubin serum meningkat dengan
kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam, kadar bilirubin serum lebih besar dari
12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm, ikterus
20
persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau bilirubin direk lebih
besar dari 1 mg/dl. Sedangkan beberapa keadaan ikterus yang cenderung
menunjukkan patologik, yaitu: Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam, adanya
tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,letargis, malas
minum, penurunan berat badan bayi yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang
tidak stabil), ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan, ikterus yang disertai:6, 10-12
1. Berat lahir < 2.000 g
2. Masa gestasi < 36 minggu
3. Asfiksia, hipoksia, sindroma gawat nafas pada neonatus
4. Infeksi
5. Trauma lahir pada kepala
6. Hipoglikemia, hiperkarbia
Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis pasien pada usia 2 hari ibu pasien
mengamati adanya kuning pada daerah mata saat pasien dirawat dirumah sakit
setelah lahir selama 3 hari dan dipulangkan. Pada usia 17 hari pasien dibawa oleh
ibu pasien ke rumah sakit dengan keluhan kuning. Berdasarkan teori diatas pada
pasien ini berat badan lahir bayi sangat rendah yaitu 1700 gram, terdapat tanda-
tanda malas minum, suhu tidak stabil, dan gejala gastrointestinal, serta kuning
bertahan setelah 14 hari sehingga menunjukan pasien mengalami ikterus
patologis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan bilirubin total,
bilirubin direk dan bilirubin indirek.
Mendiagnosis suatu ikterus dapat dilakukan secara bertahap dari
anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis ikterus pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat
inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan
dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi.10,11
21
Tampilan ikterus ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi
dalam ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan
untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus
difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi
bayi harus diperiksa pucat, petekie ,ektravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya
dehidrasi. Guna mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka perlu diketahui
daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko yang terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan
dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan
pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat
janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.11
Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia, yaitu mencakup pencegahan, penggunaan farmakologi,
fototerapi, dan transfusi tukar.6,12
a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin
biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa
perlu diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energi.
b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi 2,4
Indikasi terapi sinar adalah:
1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10
mg/dL.
2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
22
Gambar 1. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry12
23
3. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Gambar 2. Kurva pandauan transfusi tukar pada bayi usai kehamilan > atau sama
24
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman
pendengarannya.12
25
Penegakkan diagnosis hipotiroidisme kongenital pada pasien ini
berdasarkan anamnesis dimana anak berusia 18 hari dengan keluhaan kuning
seluruh tubuh, malas minum, sedikit menangis, banyak tidur dan tampak
lemah/hipotoni, serta perut membesar. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan
wajah pasien tampak sembab (miksedema), sclera ikterik, hidung pesek, serta
hipotermi (suhu 36ºC). Berdasarkan teori lebih dari 95% bayi dengan HK tidak
memperlihatkan gejala saat dilahirkan. Namun jika ada, gejala yang ditimbulkan
berupa bayi sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan biasanya
lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan
subnormal, sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan
burik (mottled). Edema genital dan tungkai mungkin ada.15,16,17
Berdasarkan teori bayi dengan HK biasanya tidak menimbulkan gejala yang
khas. Kemungkinan ini disebabkan karena pada bayi baru lahir dengan ibu bukan
penderita kekurangan iodium, tidak menunjukkan gejala yang khas karena bayi
masih dilindungi hormon tiroid ibu melalui plasenta. Hormon T4 maternal dapat
melalui plasenta, sehingga bayi yang tidak dapat membuat hormon tiroid tetapi
akan mempunyai kadar T4 dengan kadar 25-50% dari rata-rata bayi normal. Pada
usia selanjutnya akan terlihat fontanel posterior yang terbuka persisten, letargi,
hipotonia, tangisan yang serak, konstipasi, masalah minum, makroglosia, hernia
umbilical, kutis marmorata, hipotermia, dan ikterik neonatorum yang
berkepanjangan.16,17
Pada kasus ini, pengukuran antropometri pasien berdasarkan berat badan
menurut umur (< -3 SD), panjang badan menurut umur (< -3 SD) dan berat badan
menurut panjang badan (< -3 SD) yang disesuaikan dengan kurva dari WHO
diinterpretasikan sebagai gizi buruk.18 Berdasarkan teori, Tiroksin (3,5,3’5’ –
tetraiodo-L-tironin), hormone yang mengandung yodium, dihasilkan dan disekresi
oleh kelenjar tiroid. Tiroksin berperan sebagai regulator yang penting dari laju
metabolisme dalam tubuh dan berperan untuk otak dan petumbuhan tulang bayi
dan anak usia dini.19 Kurangnya hormone tiroid pada bayi dan masa awal
26
kehidupan, dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan (stunted) dan retardasi
mental.14
Pemeriksaan penunjang kadar hormone tiroid pada pasien ini yaitu menilai
kadar T4 dan TSH. Hasil yang didapatkan yaitu menurunnya kadar T4 dengan
hasilnya yaitu 2,35µg dan kadar TSH normal yaitu 1,049 µlU/mL. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pasien menderita hipotiroid kongenital sekunder atau sentral.
Hipotiroidisme sekunder atau sentral pada saat lahir terjadi akibat defisiensi
thyroid stimulating hormon (TSH). Defisiensi TSH kongenital menjadi masalah
yang jarang terisolasi (disebabkan oleh mutasi pada gen TSH β-subunit), tetapi
paling sering dikaitkan dengan defisiensi hormon pituitari lain, sebagai bagian
dari hipopituitarisme kongenital.17
Pada kasus ini, terapi hipotiroid kongenital sekunder atau sentral ialah dengan
diberikan Thyrax® (Levothyroxine sodium) yang merupakan satu-satunya obat
untuk hipotiroid kongenital. Berdasarkan teori levotiroksin dapat diberikan
sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis awal levotiroksin
10-15µg/kgBB/hari (usia 0-3 bulan).20 Dosis selanjutnya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan TSH dan FT4 berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur.
Pemantauan laboratorium sebaiknya dilakukan pada dua minggu setelah terapi
awal levotiroksin serta pemantauan selanjutnya tiap 1 sampai 3 bulan sampai
umur 12 bulan. Pemeriksaan TSH dan FT4 harus diulangi 4 sampai 6 minggu
setelah perubahan dosis levotiroksin.16,17
Prognosis hipotiroid kongenital bergantung pada diagnosis awal hipotiroid
kongenital. Terapi dini dengan dosis obat yang memadai selama masa bayi dapat
mencegah hambatan pertumbuhan dan kematangan tulang tanpa dipengaruhi oleh
berat ringannya HK. Semua upaya untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal
tidak mungkin berhasil tanpa adanya kepatuhan untuk melakukan evaluasi secara
periodik/ terjadwal. Dalam hal ini edukasi pada setiap kunjungan sangat
mempengaruhi kepatuhan.20
27
osteogenesis (trisomi), translokasi kromosom 21 dan 15, Postzygotic non
disjunction (mosaicism).21
Adanya ekstra kromosom 21 memberikan pengaruh terhadap banyak
sistem organ, sehingga membentuk spektrum fenotip sindrom down yang luas,
yaitu:22
1. Adanya Kromosom 21 q 22,3. Menyebabkan
a. Keterlambatan Mental
b. Gambaran wajah yang khas (Mongoilism).
c. Anomali jari tangan,
d. Kelainan jantung bawaan.
2. Adanya kromosom 21q 22.1-q 22.2, menyebabkan:
a. Kelainan sistem saraf pusat (keterlambatan mental)
b. Kelainan jantung bawaan
Sampai saat ini penyebab non disjunction belum diketahui, namun diduga
diperoleh informasi bahwasanya ibu pasien hamil bayi ini pada usia ibu
menjelang 36 tahun. Berdasarkan teori, Risiko untuk mendapat bayi dengan down
syndrome didapatkan meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya
bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walaubagaimanapun, wanita yang
hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.
datar, wajah mongoloid face/sembab, fisurra palpebralis oblique, jarak pupil lebar, ada
lekukan epikantus, tulang hidung hipoplasia hidung terlihat pesek, ukuran dan
letak telinga yang abnormal, mulut terbuka, peningkatan jaringan sekitar leher,
tangan dan kaki yang pendek dan lebar, hipotoni dan kelemahan otot sehingga
bayi tersebut terlihat letargis. Semua gejala yang didapatkan pada pemeriksaan
28
fisik sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa anak dengan sindroma Down
pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari normal. Diperkirakan
20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.2Secara fenotip
karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 6,23,24,25
29
Kelainan mata lainnya
Sindaktili
Kelainan kaki lainnya
Kelainan mulut lainnya
meliputi :
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test
dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil
pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak.25
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Uji ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan.
Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher
janin. Tujuh dari pada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti
dengan tehnik ini. 25
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah
ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom down dan yang diperhatikan adalah
plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil
yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada
bayi yang dikandung. 25
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis
30
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan
kromososm bayi terutama sindroma down, di mana dengan mengambil
sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal
antara usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua
wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200
kehamilan. 25
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel
tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada
kehamilan minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100
kehamilan. 25
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji
untuk melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18
minggu. Tes ini dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan
hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi. 25
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika.
Karyotyping sangat penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam
translokasi sindrom Down, karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya
diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 25
31
Gambar (7). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan
isochromosome arm 21q tipe [46,XY,i(21)(q10)]10
f. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada
pemeriksaan fisik. 25
Pada kasus ini didiagnosis down syndrome berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan tidak berdasarkan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan
alat untuk pemeriksaan.
idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva:
WHO, 1996.
guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med.
1999;20:864-74
WB Saunders Philadelphia.
5. Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for
7. Aminullah A. Sepsis pada Bayi Baru Lahir. Dalam : Kosim MS, Yunanto
33
8. Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. Dalam: Hegar B,
Trihono PP, Irfan EB, editor. Update in neonatal infections; 2005 Agust
13. Marcdante KJ, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam..
34
16. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan
Indonesia.2017.
17. Batubara JRL, dkk. Buku ajar endokrinologi anak. Edisi 1. Jakarta: UKK
18. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Standar
20. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan
Indonesia.2017.
35
24. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on
May 2019.
2019.
36