Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan

kurang 2.500 gram, tanpa memandang usia kehamilan. BBLR dibedakan

menjadi dua bagian yaitu BBL sangat rendah bila berat badan lahir kurang

dari 1.500 gram dan BBLR bila berat badan lahir antara 1.501-2.499

gram.1

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan salah

satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kematian perinatal dan

neonatal. Berat badan lahir rendah (BBLR) di bedakan dalam 2 kategori

yaitu : BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu)

atau BBLR karena intrauterin growth retardation(IUGR) yaitu bayi cukup

bulan tetapi berat kurang untuk usiannya. Banyak BBLR di negara

berkembang dengan IUGR sebagai akibat ibu dengan status gizi buruk,

anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum

konsepsi atau ketika hamil.2

Menurut badan kesehatan (WHO), salah satu penyebab kematian

bayi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), persoalan pokok pada BBLR

adalah angka kematian perinatalnya sangat tinggi dibanding angka

kematian perinatal pada bayi normal. Penelitian Puffer (1993)

menunjukkan bahwa resiko kematian perinatal bayi dengan berat badan

1
lahir kurang dari 2.000 gram adalah 10 kali lebih besar, kematian bayi

dengan berat badan antara 2.000 gram sampai 2.399 gram 4 kali lebih

besar dibanding dengan kematian perinatal bayi dengan berat badan

normal. Angka kejadian BBLR dianggap sebagai indikator kesehatan

masyarakat karena erat hubunganya dengan angka kematian, kesakitan dan

kejadian gizi kurang di kemudian hari. Menurut WHO, BBLR merupakan

penyebab dasar kematian dari dua pertiga kematian neonatus. Sekitar 16%

dari kelahiran hidup atau 20 juta bayi pertahun dilahirkan dengan berat

badan kurang dari 2.500 gram dan 90% berasal dari Negara berkembang.

Peneliti lainya menyebutkan bahwa dinegara berkembang di perkirakan

setiap 10 detik terjadi satu kematian bayi akibat dari penyakit atau infeksi

yang berhubungan dengan BBLR.3

2
BAB II

LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

 Nama : By. Tutupoho


 Umur : 17 hari
 Jenis kelamin : Perempuan
 BBL : 1700 gram, PBL : 50 cm
 Alamat : Kebun Cengkeh
 Anak : Keempat
 Tanggal lahir : 27 april 2019

II. ANAMNESIS : Alloanamnesis (21 Mei 2019)

Keluhan utama : Kuning seluruh tubuh

Anamnesis terpimpin : Seorang bayi Perempuan usia 17 hari masuk Rumah

Sakit dengan pengantar dari dokter spesialis anak dengan keluhan kuning seluruh

tubuh dialami sejak pasien lahir. Menurut orang tuanya bahwa, pasien lahir tidak

menangis secara spontan. Pasien juga sempat biru dan kemudian diberi oksigen

serta dirawat selama 3 hari di RS. Setelah dibawa pulang oleh orang tuanya

kerumah, pasien mulai terlihat kuning. Awalnya ibu pasien melihat mata pasien

kuning, setelah itu kuning seluruh tubuh dan semakin memberat hingga orang tua

pasien memutuskan untuk membawa pasien ke dokter anak. Bayi bergerak tidak

aktif. Selama dirumah pasien diberi ASI namun menurut ibunya pasien malas

minum. BAB/BAK langsung setelah bayi lahir.

3
Berdasarkan riwayat kelahiran, pasien dilahirkan secara normal, spontan dan

ditolong oleh bidan di RS Bhakti Rahayu. Selama kehamilan, ibu pasien mengaku

mengalami keputihan sejak usia kehamilan 6 bulan. Keputihan tidak gatal dan

tidak berbau. Ibu pasien juga sering muntah pada pagi hari dan banyak. Keluhan

seperti ini baru pertama kali dialami ibu pasien.

Berdasarkan riwayat imunisasi, diketahui mendapat imunisasi Hb0 di RS.

Berdasarkan riwayat sosioekonomi, diketahui bahwa orang tua pasien dari

keluarga yang mampu ( pekerjaaan sebagai PNS).

III. Pemeriksaan Fisik

- Kesadaran : Compos Mentis

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Nadi : 124 x/menit, reguler, isi cukup,


Pernafasan : 58 x/menit, reguler, abdominothorakal,
Suhu : 38,50 C
- Kepala : Bulat, tidak ada tanda-tanda trauma, ubun-ubun

besar belum menutup , microsefal, sutura sagitalis

terpisah/ melebar, oksiput datar.

- Rambut : Hitam, lurus, distribusi merata, dan tidak mudah

dicabut.

- Wajah : Mongoloid / Sembab

- Mata : simetris, pupil isokor +|+, refleks cahaya langsung

+|+, refleks cahaya tidak langsung +|+,

4
eksoftalmus enoftalmus (-), strabismus (-),

nistagmus (-), palpebra normal, konjungtiva:

anemia -|-, sklera : ikterik -|-, lensa kekeruhan -|-.

Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),

fisurra palpebralis oblique, jarak pupil lebar, ada

lekukan epikantus

- Telinga : Ukuran, bentuk dan letak asimetris ( telinga kanan

lebih besar dan lebuh tinggi dibandingkan telinga

kiri)

- Hidung : Deviasi septum nasi (-), sekret -|-, darah -|-,

pernafasan cuping hidung +|+, pesek

- Lidah : Makroglosia (-/-), bibir kering (+)

- Thorax : Pengembangan dada simetris

a. Jantung :

o Inspeksi : ictus cordis tampak

o Palpasi : ictus cordis teraba

o Perkusi : Redup

 Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra

5
 Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra

 Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra

 Batas kiri bawah : ICS V linea medioclavicularis

o Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, bunyi jantung

tambahan (-)

b. Paru :

o Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan-kiri

o Palpasi : Fremitus raba (+/+), nyeri tekan -

o Perkusi : Sonor (+/+)

o Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan :

rhonki (-/-), wheezing (-/-)

- Abdomen :

o Inspeksi : Tampak abdomen cembung

o Auskultasi : Bising usus (+) dan lemah, BU terdengar 10

kali/menit, kesan normal

o Perkusi : Timpani

o Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)

- Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

6
- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-).

IV. Pemeriksaan Antropometri

- Berat badan Lahir : 2000 gram,

BB saat di tempat praktek dokter: 1700 gram.

- Panjang badan : 42 cm

- Lingkar kepala : 30 cm

- BB/U : -3 SD

- BB/PB : -3 SD

- PB/U : -3 SD

- Status gizi : Gizi buruk

V. Diagnosis

Sepsis + Hiperbilirubinemia + Hipotiroid kongenital + sindrom down

VI. Terapi

Oksigen canul 0,5 lpm k/p


IVFD D10% 10 tpm
Inj. Ampicilin 2x100mg iv/12 jam
Inj. Gentamisin 1x10mg iv/24 jam
ASI 5-7,5 ml

Data Laboratorium tanggal 15/5/2019 :

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Leukosit 11,8 x 103/uL 5-10 x 103 /uL
Neutrofil 9,1 % 50-70 %

7
Limfosit 44,0 % 20-40 %
Monosit 40,4 % 2-8 %
Eosinofil 0,1 % 1-3 %
Basofil 6,4 0-1 %
Eritrosit 6,98 x 106/uL 3,5-5,5 x 106/uL
HB 18,3g/dl 14-18 g/dl (P), 12-15 g/dl
(W)
HCT 53,8 % 40-52% (P), 37-43% (W)
MCV 77 fL 80-100 fL
MCH 26,3 pg 27-32 pg
MCHC 34,1 g/dl 32-36 g/dl
Trombosit 334 x 103/uL 150-400 x 103/uL
LED 1 mm/ jam <10 mm/jam (P), <15
mm/jam
IT/Ratio 0,12 <0,2
Bilirubin Total 25,0 mg/dL < 1,5 mg/dL
Bilirubin Direk 20,1 mg/dL < 0,5 mg/dL
Bilirubin Indirek 4,9 mg/dL < 1,1 mg/dL

Data kunjungan rawat inap pasien :

Tanggal Usia SOAP Keterangan


20/5/2019 23 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi lemah, kuning, Lab :
kembung (+), reflex hisap belum baik, TSHs : 1.049
instabilisasi suhu (+) T4 : 2.35
O:
Ku : bayi pasif (+)
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :
Nadi : 112 x/menit
RR : 49x/menit
Suhu: 36,8 ◦C
SpO2 : 95% dengan bantuan O2
BB: 1800 gr
LP: 30 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) sedang
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler

8
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Dd: Hipotiroid Kongenital
Sindrom down
Atresia bilier
P:
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 10-15 ml/ 2 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-5)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-5)

21/5/2019 24 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+),


kembung (+), reflex hisap belum baik,
instabilisasi suhu (-)
O:
Ku : bayi pasif (+)
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :
Nadi : 123 x/menit
RR : 44x/menit
Suhu: 36,9 ◦C
SpO2 : 92%
BB: 1800 gr
LP: 29 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :

9
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 10-15 ml/ 2 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-6)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-6)

22/5/2019 25 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+),


kembung (+), reflex hisap belum baik,
instabilisasi suhu (+)
O:
Ku : bayi pasif (+)
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :
Nadi : 128 x/menit
RR : 40x/menit
Suhu: 37 ◦C
SpO2 : 94%
BB: 1800 gr

10
LP: 29 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Post dehidrasi
Hiperbilirubinemia
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
Suspek sindrom down
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 12 tpm
-Asi 15-20 ml/ 3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-7)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-7)

23/5/2019 26 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+),


kembung (+), reflex hisap belum baik,
instabilisasi suhu (-)
O:
Ku : bayi pasif (+)
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :

11
Nadi : 128 x/menit
RR : 58x/menit
Suhu: 36,7 ◦C
SpO2 : 96%
BB: 1800 gr
LP: 29 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia
Suspek sindrom down
Suspek Hipotiroid Kongenital (central)
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-8)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-8)

24/5/2019 27 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+), Stop pemberian
kembung (+), reflex hisap belum baik, O2 selama 30

12
instabilisasi suhu (-) menit SpO2 : 87-
O: 89%, bayi tenang
Ku : bayi pasif (+) tidak biru.
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-)
TTV :
Nadi : 122 x/menit
RR : 52x/menit
Suhu: 37 ◦C
SpO2 : 92%
BB: 1800 gr
LP: 30 cm
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia
Suspek sindrom down
Suspek hipotiroid Kongenital (central)
Dd : PJB
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 10 tpm

13
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-9)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-9)

25/5/2019 28 hari S : Bayi rawat inkubator, bayi kuning (+), Hasil lab :
kembung (+), reflex hisap belum baik, Hb : 13,0 g/dL
instabilisasi suhu (-) Leukosit : 6.100
O: Hitung jenis
Ku : bayi pasif (+) leukosit :
Pucat (-), ikterik (+), sianosis (-) Neutrofil: 21,9%
TTV : Limfosit: 30,1%
Nadi : 132 x/menit Monosit: 45,2%
RR : 58x/menit Eosinofil: 0,5%
Suhu: 36,9 ◦C Basofil: 2,3%
SpO2 : 92% Trombosit :
BB: 1800 gr 192.000
LP: 31 cm IT/Ratio: 0,05
LK: 31 cm
PB : 42 cm
Thoraks :
Bentuk : Normochest
Retraksi : (+) berat
Krepitasi : (-)
Bunyi napas dasar: vesikuler
Bunyi napas tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+)
Cor : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen:
Bentuk : cembung
Bising usus: (+), kesan normal
Bab : (+), tinja warna kuning pucat, cair,
sedikit
Bak : (+)
Ekstremitas: Akral kering hangat, CRT < 2
detik, deformitas (-).
A : Sepsis
Pneumonia
Hiperbilirubinemia

14
Hipotiroid Kongenital
P:
-O2 0,5 lpm
-IVFD D 10% 8 tpm
-Asi 15-20 ml/ 2-3 jam
-Injeksi ampicillin 2 x 100 mg /iv (H-10)
-Injeksi gentamicin 1 x 10 mg/iv (H-10)

15
BAB III

DISKUSI

Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di

bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health

Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan

angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34

per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara

berkembang.1

Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.

Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau terbukti) infeksi bersama dengan

manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis

plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Definisi

yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat, septikemia

dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College of Chest

Physicians/Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) mengembangkan

16
definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat dengan

mempertimbangkan sepsis dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi dan

produk mikroba yang mungkin saja tidak berhubungan dengan terdapatnya

mikroba dalam aliran darah.2,3

Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan sepsis neonatorum berdasarkan

anamesis didapatkan riwayat maternal, ibu pasien memiliki keluhan adanya

keputihan sejak usia kehamilan 6 bulan yang awalnya berwarna putih dengan

konsistensi encer, namun lama kelamaan keputihan tersebut menjadi putih

kekuningan dan kental, tidak gatal atau berbau. Ibu pasien mengaku telah

mendapatkan pengobatan dengan antibiotik oleh dokter kandungan atas keluhan

tersebut namun keluhan tidak mengalami perbaikan. Selain itu berdasarkan

riwayat neonatal ditemukan adanya riwayat pasien dengan lahir tidak spontan

menangis, kuning seluruh tubuh, BBLR, premature, serta adanya keluhan malas

minum.

Berdasarkan teori, terjadinya sepsis neonatorum dapat dipengaruhi oleh

faktor risiko yang terjadi pada ibu, bayi dan lain-lain. Diantaranya dari faktor ibu,

ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih

dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai

korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya, infeksi dan

demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran

kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal

oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya, cairan ketuban hijau keruh dan

berbau., kehamilan multipel, persalinan dan kehamilan kurang bulan, Faktor

17
sosial ekonomi dan gizi ibu. Faktor risiko pada bayi, prematuritas dan berat lahir

rendah, perawat di rumah Sakit, resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi

yang mengalami fetal distress dan trauma pada proses persalinan, prosedur invasif

seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan,

akses vena sentral, kateter intratorakal, bayi dengan galaktosemia (predisposisi

untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia, asfiksia neonatorum, cacat

bawaan, tanpa rawat gabung, tidak diberi ASI, pemberian nutrisi parenteral,

perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama, perawatan di

bangsal bayi baru lahir yang overcrowded, buruknya kebersihan di NICU.4,5

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak letargi,

pasien pasif dan terjadi instabilitas suhu badan. Pada kulit ditemukan ikterik

seluruh tubuh, adanya tanda-tanda distres pernafasan yaitu takipnea, pasien juga

memiliki keluhan malas minum, dan perut kembung.

Berdasarkan teori, pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum :

letargi, penurunan aktifitas, iritabel, pada instabilitas suhu : Hipo/hipertermia,

pada kulit : pucat, sianosis, ruam, ikterik, sklerema, perdarahan, petekie, pur-pura,

ekimosis, kardiovaskuler : gangguan nadi, takikardia, bradikardia, hipotensi,

gangguan perfusi, pada respiratori : distres pernafasan, takipnea, bradipnea, apnea,

nafas reguler, neurologi : iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, hipo/hipertoni,

ubun-ubun membonjol, kaku kuduk, gastrointestinal : feeding intolerance-malas

minum, muntah, gastrik aspirat, diare, perut kembung, hepatomegali, ginjal :

oliguria, anuria.6

18
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil pemeriksaan

darah rutin yang bermakna yaitu leukosit 11.800, neutrofil9.1%, limfosit 44.0%,

monosit 40.4%, eosinofil 0.1%, basofil 6.4% dan pemeriksaan IT/Ration 0.12.

Berdasarkan teori pada pemeriksaan laboratorium, kultur darah perlu

dilakukan sebelum pemberian antibiotik namun prosedur pemeriksaan tersebut

jangan menghambat pemberian antibiotik. Identifikasi mikroorganisma dalam

darah sebaiknya dilakukan setidaknya dua kultur darah sebelum pemberian

antibiotik. Pengambilan contoh kultur dapat kita ambil dari darah, cairan

serebrospinal, luka, sekret saluran napas atau dari cairan tubuh lain yang

merupakan sumber infeksi. Pemeriksaan prokalsitonin kadang diperlukan pada

pasien dengan inflamasi akut yang disebabkan oleh infeksi pasca bedah atau

keadaan syok. Masa yang akan datang penggunaan polymerase chain reaction

(PCR) untuk identifikasi secara cepat bakteri patogen dan resistensi kuman pada

pasien-pasien yang diduga sepsis.7-8

Pada kasus ini pasien di terapi dengan antibiotik empiris yaitu ampicilin

2x100 mg, gentamisin 1x10 mg.

Berdasarkan teori, terapi antimikroba merupakan modalitas yang sangat

penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai

dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi

inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen

bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh

karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan

antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem

19
memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi

yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal

multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam

berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi,

tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.7,8

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi

bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan

meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%

kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada

bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis

awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan

pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira –

kira 2 %).9

Ikterus atau “Jaundice” merupakan keadaan klinis pada bayi baru lahir
yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat
akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan
mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau
disebut dengan hiperbilirubinemia.6,10 Istilah hiperbilirubinemia dipakai untuk
ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya.6
Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus fisiologis timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan, yaitu: Bilirubin serum meningkat dengan
kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam, kadar bilirubin serum lebih besar dari
12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm, ikterus

20
persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau bilirubin direk lebih
besar dari 1 mg/dl. Sedangkan beberapa keadaan ikterus yang cenderung
menunjukkan patologik, yaitu: Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam, adanya
tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,letargis, malas
minum, penurunan berat badan bayi yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang
tidak stabil), ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan, ikterus yang disertai:6, 10-12
1. Berat lahir < 2.000 g
2. Masa gestasi < 36 minggu
3. Asfiksia, hipoksia, sindroma gawat nafas pada neonatus
4. Infeksi
5. Trauma lahir pada kepala
6. Hipoglikemia, hiperkarbia

Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis pasien pada usia 2 hari ibu pasien
mengamati adanya kuning pada daerah mata saat pasien dirawat dirumah sakit
setelah lahir selama 3 hari dan dipulangkan. Pada usia 17 hari pasien dibawa oleh
ibu pasien ke rumah sakit dengan keluhan kuning. Berdasarkan teori diatas pada
pasien ini berat badan lahir bayi sangat rendah yaitu 1700 gram, terdapat tanda-
tanda malas minum, suhu tidak stabil, dan gejala gastrointestinal, serta kuning
bertahan setelah 14 hari sehingga menunjukan pasien mengalami ikterus
patologis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan bilirubin total,
bilirubin direk dan bilirubin indirek.
Mendiagnosis suatu ikterus dapat dilakukan secara bertahap dari
anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis ikterus pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat
inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan
dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi.10,11

21
Tampilan ikterus ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi
dalam ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan
untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus
difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi
bayi harus diperiksa pucat, petekie ,ektravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya
dehidrasi. Guna mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka perlu diketahui
daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko yang terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan
dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan
pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat
janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.11

Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia, yaitu mencakup pencegahan, penggunaan farmakologi,
fototerapi, dan transfusi tukar.6,12
a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin
biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa
perlu diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energi.
b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi 2,4
Indikasi terapi sinar adalah:
1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10
mg/dL.
2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.

22
Gambar 1. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry12

1. Sebagai patokan digunakan kadar bilirubin total

2. Pada bayi usia kehamilan 35-37 minggu diperbolehkan untuk melakukan


foto terapi pada kadar bilirubin toral sekitar medium risk line. Merupakan
pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang
lebih rendah pada bayi-bayi yang mendekati usia kehamilan 35 minggu
dan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia
mendekati 37 minggu.
3. Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah
bila kadar bilirubin serum total 2-3mg/dL dibawah garis yang ditunjukkan,
namun bayi-bayo yang memiliki faktor resiko foto terapi sebaiknya tidak
dilakukan dirumah
Foto terapi intensif adalah fototerapi yang menggunakan sinar blue-green
spectrum ( panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang
30 uW/cm2. Bila bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi
yang mendapat fototerapi.

c. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:10


1. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
2. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL

23
3. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Gambar 2. Kurva pandauan transfusi tukar pada bayi usai kehamilan > atau sama

dengan 35 minggu berdasarkan America Association of Pediatry12

Tabel 1. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum


Terapi Sinar Tranfusi Tukar
Usia Bayi Sehat Faktor Resiko Bayi Sehat Faktor resiko
mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L
Hari 1
Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220

Hari 2 15 260 13 220 19 330 15 260


Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

Ikterus akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui


sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada
masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa
neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan
minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan
ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis
disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan

24
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman
pendengarannya.12

Hipotiroid kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya


kelenjar tiroid yang didapat sejak lahir. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi
atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium.
Hormon Tiroid yaitu Tiroksin yang terdiri dari Tri-iodotironin (T3) dan Tetra-
iodotironin (T4), merupakan hormone yang diproduksi oleh kelenjar tiroid
(kelenjar gondok). Pembentukannya memerlukan mikronutrien iodium. Hormon
ini berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan
tulang, kerja jantung, syaraf, serta pertumbuhan dan perkembangan otak. Dengan
demikian hormone ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang sedang
tumbuh. Kekurangan hormone tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan (cebol/stunted) dan retardasi mental
(keterbelakangan mental).13,14
Bayi HK yang baru lahir dari ibu bukan penderita kekurangan iodium,
tidak menunjukkan gejala yang khas sehingga sering tidak terdiagnosis. Hal ini
terjadi karena bayi masih dilindungi hormon tiroid ibu melalui plasenta. Di daerah
endemik kekurangan iodium (daerah GAKI), ibu rentan menderita kekurangan
iodium dan hormon tiroid sehingga tidak bisa melindungi bayinya. Bayi akan
menunjukkan gejala lebih berat yaitu kretin endemik. Oleh karena itu, dianjurkan
untuk dilakukan skrining terhadap ibu hamil di daerah GAKI menggunakan
spesimen urin untuk mengetahui kekurangan iodium.14 Lebih dari 95% bayi
dengan HK tidak memperlihatkan gejala saat dilahirkan. Kalaupun ada sangat
samar dan tidak khas. Tanpa pengobatan, gejala akan semakin tampak dengan
bertambahnya usia. Gejala dan tanda yang dapat muncul ialah letargi (aktivitas
menurun) icterus (kuning), makroglosi (lidah besar), hernia umbilikalis (bodong),
hidung pesek, konstipasi, kulit kering, skin mottling (cutis marmorata), mudah
tersedak, suara serak, hipotoni (tonus otot menurun), ubun-ubun melebar, perut
bunci, mudah kedinginan (intoleransi terhadap dingin), miksedema (wajah
sembab), serta udem scrotum.14

25
Penegakkan diagnosis hipotiroidisme kongenital pada pasien ini
berdasarkan anamnesis dimana anak berusia 18 hari dengan keluhaan kuning
seluruh tubuh, malas minum, sedikit menangis, banyak tidur dan tampak
lemah/hipotoni, serta perut membesar. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan
wajah pasien tampak sembab (miksedema), sclera ikterik, hidung pesek, serta
hipotermi (suhu 36ºC). Berdasarkan teori lebih dari 95% bayi dengan HK tidak
memperlihatkan gejala saat dilahirkan. Namun jika ada, gejala yang ditimbulkan
berupa bayi sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan biasanya
lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan
subnormal, sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan
burik (mottled). Edema genital dan tungkai mungkin ada.15,16,17
Berdasarkan teori bayi dengan HK biasanya tidak menimbulkan gejala yang
khas. Kemungkinan ini disebabkan karena pada bayi baru lahir dengan ibu bukan
penderita kekurangan iodium, tidak menunjukkan gejala yang khas karena bayi
masih dilindungi hormon tiroid ibu melalui plasenta. Hormon T4 maternal dapat
melalui plasenta, sehingga bayi yang tidak dapat membuat hormon tiroid tetapi
akan mempunyai kadar T4 dengan kadar 25-50% dari rata-rata bayi normal. Pada
usia selanjutnya akan terlihat fontanel posterior yang terbuka persisten, letargi,
hipotonia, tangisan yang serak, konstipasi, masalah minum, makroglosia, hernia
umbilical, kutis marmorata, hipotermia, dan ikterik neonatorum yang
berkepanjangan.16,17
Pada kasus ini, pengukuran antropometri pasien berdasarkan berat badan
menurut umur (< -3 SD), panjang badan menurut umur (< -3 SD) dan berat badan
menurut panjang badan (< -3 SD) yang disesuaikan dengan kurva dari WHO
diinterpretasikan sebagai gizi buruk.18 Berdasarkan teori, Tiroksin (3,5,3’5’ –
tetraiodo-L-tironin), hormone yang mengandung yodium, dihasilkan dan disekresi
oleh kelenjar tiroid. Tiroksin berperan sebagai regulator yang penting dari laju
metabolisme dalam tubuh dan berperan untuk otak dan petumbuhan tulang bayi
dan anak usia dini.19 Kurangnya hormone tiroid pada bayi dan masa awal

26
kehidupan, dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan (stunted) dan retardasi
mental.14
Pemeriksaan penunjang kadar hormone tiroid pada pasien ini yaitu menilai
kadar T4 dan TSH. Hasil yang didapatkan yaitu menurunnya kadar T4 dengan
hasilnya yaitu 2,35µg dan kadar TSH normal yaitu 1,049 µlU/mL. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pasien menderita hipotiroid kongenital sekunder atau sentral.
Hipotiroidisme sekunder atau sentral pada saat lahir terjadi akibat defisiensi
thyroid stimulating hormon (TSH). Defisiensi TSH kongenital menjadi masalah
yang jarang terisolasi (disebabkan oleh mutasi pada gen TSH β-subunit), tetapi
paling sering dikaitkan dengan defisiensi hormon pituitari lain, sebagai bagian
dari hipopituitarisme kongenital.17
Pada kasus ini, terapi hipotiroid kongenital sekunder atau sentral ialah dengan
diberikan Thyrax® (Levothyroxine sodium) yang merupakan satu-satunya obat
untuk hipotiroid kongenital. Berdasarkan teori levotiroksin dapat diberikan
sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis awal levotiroksin
10-15µg/kgBB/hari (usia 0-3 bulan).20 Dosis selanjutnya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan TSH dan FT4 berkala dengan dosis perkiraan sesuai umur.
Pemantauan laboratorium sebaiknya dilakukan pada dua minggu setelah terapi
awal levotiroksin serta pemantauan selanjutnya tiap 1 sampai 3 bulan sampai
umur 12 bulan. Pemeriksaan TSH dan FT4 harus diulangi 4 sampai 6 minggu
setelah perubahan dosis levotiroksin.16,17
Prognosis hipotiroid kongenital bergantung pada diagnosis awal hipotiroid
kongenital. Terapi dini dengan dosis obat yang memadai selama masa bayi dapat
mencegah hambatan pertumbuhan dan kematangan tulang tanpa dipengaruhi oleh
berat ringannya HK. Semua upaya untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal
tidak mungkin berhasil tanpa adanya kepatuhan untuk melakukan evaluasi secara
periodik/ terjadwal. Dalam hal ini edukasi pada setiap kunjungan sangat
mempengaruhi kepatuhan.20

Down syndrome merupakan kelainan kromosom terletak pada kromosom


21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan ialah : Non disjunction sewaktu

27
osteogenesis (trisomi), translokasi kromosom 21 dan 15, Postzygotic non
disjunction (mosaicism).21
Adanya ekstra kromosom 21 memberikan pengaruh terhadap banyak
sistem organ, sehingga membentuk spektrum fenotip sindrom down yang luas,
yaitu:22
1. Adanya Kromosom 21 q 22,3. Menyebabkan
a. Keterlambatan Mental
b. Gambaran wajah yang khas (Mongoilism).
c. Anomali jari tangan,
d. Kelainan jantung bawaan.
2. Adanya kromosom 21q 22.1-q 22.2, menyebabkan:
a. Kelainan sistem saraf pusat (keterlambatan mental)
b. Kelainan jantung bawaan
Sampai saat ini penyebab non disjunction belum diketahui, namun diduga

penyebabnya adalah genetik, radiasi, infeksi, autoimun, dan usia ibu.23

Pasien didiagnosis down syndrome karena berdasarkan anamnesis

diperoleh informasi bahwasanya ibu pasien hamil bayi ini pada usia ibu

menjelang 36 tahun. Berdasarkan teori, Risiko untuk mendapat bayi dengan down

syndrome didapatkan meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya

bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walaubagaimanapun, wanita yang

hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan sutura sagitalis terpisah/ melebar, oksiput

datar, wajah mongoloid face/sembab, fisurra palpebralis oblique, jarak pupil lebar, ada

lekukan epikantus, tulang hidung hipoplasia hidung terlihat pesek, ukuran dan

letak telinga yang abnormal, mulut terbuka, peningkatan jaringan sekitar leher,

tangan dan kaki yang pendek dan lebar, hipotoni dan kelemahan otot sehingga

bayi tersebut terlihat letargis. Semua gejala yang didapatkan pada pemeriksaan

28
fisik sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa anak dengan sindroma Down

pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari normal. Diperkirakan

20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.2Secara fenotip

karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 6,23,24,25

 Sutura sagitalis yang terpisah


 Fisura palpebralis yang oblique
 Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
 “plantar crease” jari kaki I dan II
 Hiperfleksibilitas
 Peningkatan jaringan sekitar leher
 Bentuk palatum yang abnormal
 Tulang Hidung hipoplasia
 Kelemahan otot
 Hipotonia
 Bercak Brushfield pada mata
 Mulut terbuka
 Lidah terjulur
 Lekukan epikantus
 “single palmar crease” pada tangan kiri
 ”single palmar crease” pada tangan kanan
 “Brachyclinodactily” tangan kiri
 “Brachyclinodactily” tangan kanan
 Jarak pupil yang lebar
 Tangan yang pendek dan lebar
 Oksiput yang datar
 Ukuran telinga yang abnormal
 Kaki yang pendek dan lebar
 Bentuk atau struktur telinga abnormal
 Letak telinga yang abnormal
 Kelainan tangan lainnya

29
 Kelainan mata lainnya
 Sindaktili
 Kelainan kaki lainnya
 Kelainan mulut lainnya

Berdasarkan teori, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

mendeteksi adanya kelainan bawaan dalam kandungan seperti down syndrome

meliputi :

a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test
dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil
pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down atau tidak.25
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Uji ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan.
Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher
janin. Tujuh dari pada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat dikenal pasti
dengan tehnik ini. 25
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah
ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom down dan yang diperhatikan adalah
plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil
yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada
bayi yang dikandung. 25

b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis

30
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan
kromososm bayi terutama sindroma down, di mana dengan mengambil
sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal
antara usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua
wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200
kehamilan. 25
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel
tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada
kehamilan minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100
kehamilan. 25
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji
untuk melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18
minggu. Tes ini dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan
hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi. 25
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika.
Karyotyping sangat penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam
translokasi sindrom Down, karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya
diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 25

Gambar (6). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21)10

31
Gambar (7). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan
isochromosome arm 21q tipe [46,XY,i(21)(q10)]10

f. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada
pemeriksaan fisik. 25
Pada kasus ini didiagnosis down syndrome berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan tidak berdasarkan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan
alat untuk pemeriksaan.

Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40

tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan

berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan

idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum

ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma

Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

32
1. WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva:

WHO, 1996.

2. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine

Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and

guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med.

1999;20:864-74

3. Popovich MJ, Trenoswjka E. Management sepsis in ICU. In: Popovich MJ

eds. International anaesthesiology clinics. 2nd ed. London: Lippincot

Williams&Wilkins; 2009. p.55-6

4. Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD,

Cherry JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926.

WB Saunders Philadelphia.

5. Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for

neonatal sepsis. Obst Gynecol 87:188-94. 1996.

6. Kosim MS, Yunanto A, Dewa R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar

Neonatologi. Edisi 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta. 2014.

7. Aminullah A. Sepsis pada Bayi Baru Lahir. Dalam : Kosim MS, Yunanto

A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Edisi

Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2008. h. 170-87.

33
8. Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. Dalam: Hegar B,

Trihono PP, Irfan EB, editor. Update in neonatal infections; 2005 Agust

12-14; Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak;2005.

9. Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the

future. Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future

treatment. BMJ 2003;326:262-266.

10. Blackburn, ST. Bilirubin metabolism. Maternal, fetal & neonatal

physiology, a clinical perspective. 3th Edition. Saunders: 2007. p:214-3

11. Kliegman, Robert M. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia dalam :

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of

Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia: Pennsylvania, 2004.

12. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia.

Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More

Weeks Of Gestation. Pediatrics, 2004. p:297-316.

13. Marcdante KJ, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi keenam..

Jakarta : Saunderss Elseviaer-IDAI. 2014.

14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman skrining hipotiroid

kongenital/SHK. Jakarta: 2014.

15. Agrawal P, et al. Congenital hypothyroidism. Indian Journal of

Endocrinology and Metabolism . Maret-April 2015: 19 (2)

34
16. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan

tatalaksana hipotiroid kongenital. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia.2017.

17. Batubara JRL, dkk. Buku ajar endokrinologi anak. Edisi 1. Jakarta: UKK

Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. 2010.

18. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Standar

antropometri penialaian status gizi anak. Jakarta:2011.

19. Windarti W. Etiologi hipotiroid konegnital. (Thesis). Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta: 2014.

20. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan

tatalaksana hipotiroid kongenital. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia.2017.

21. Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sindrom Down.

Dalam : Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Hassan R., Alatas H. :

editor. 1985; 217-9

22. Departemen Kesehatan Republik Iindonesia. Pelayanan Kesehatan Di

Rumah Sakit. Jakarta , 2009 : 89

23. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia,

Universitas Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270

35
24. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at

http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on

May 2019.

25. Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at

http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on May

2019.

36

Anda mungkin juga menyukai