KELAM
KELAM
Kau baik Ayu? Semakin cantikah dirimu? Aku mengirimmu surat ini karna tadi aku pergi ke rumah
pamanmu dan dia bilang kalau kau sudah pergi ke Jogja. Harusnya aku tidak bilang tadi, tapi waktu itu,
karna aku yakin surat ini akan sampai padamu tiga hari setelah aku tulis.
Aku sudah pulang dari Inggris kamis malam. Kau tahu? Tak lama lagi aku bakal di angkat jadi dosen
disana, mereka bilang kalau aku orang asia yang unik, tapi aku merasa biasa- biasa saja. Aku yakin saat
aku dibilang unik, itu terjadi karna perbedaan yang ada pada warna kulit dan tinggi tubuh. Kawan-
kawanku itu tingginya hampir semenara Eifel yang di Paris, tapi mereka selalu bisa merendah di hadapan
semua orang, mereka juga memiliki rasa toleransi yang tinggi walaupun tak sedikit yang membenciku
karna aku seorang kulit hitam dan manis, sebabnya aku jadi semakin percaya diri untuk menunjukan
bahwa aku orang Indonesia.
Aku pulang ke Indonesia karna ada libur di sana, aku kira di Indonesia tidak libur, ternyata libur juga,
berapa bulan liburmu? Aku dua bulan, tapi bulan depan harus berangkat lagi karna harus
mempersiapkan berkas-berkas yang akan ku gunakan untuk tugas akhirku. Jadi, kapan kita bertemu?
Oh iya, kalau perhitunganku gak salah saat surat ini kau terima, itu adalah hari ulang tahunmu. Selamat
ulang tahun Ayu, semoga yang kau semogakan menjadi kenyataan. Mau apa hadiahnya? Nanti kalau kita
bertemu, mau apa kau? Dunia ini? Akan kuberikan seluruh dunia untukmu.
Mau bikin janji? Aku janji gak akan ingkar, kalau aku ingkar, aku janji lagi. Janjinya masing-masing dari kita
harus datang di acara kelulusan, baik kau atau aku. Gimana? Aku bawa kau ke Inggris gampang, tenang
saja.
Sudah dulu ya, aku tunggu balasanmu dari manapun itu, mimpi juga bisa. Aku rindu kamu.
Bagja.-
"Aku baik. Aku ke Jogja karna kangen kampung halaman, eh sudah dikampung malah kangen Bandung.
Aku libur dua bulan, tapi minggu depan juga aku pulang ke Bandung. Terimakasih Aamiin. Aku mau apa
yang kau beri. Ayo ajak aku bertemu Ratu Elizabeth, tapi sebelum itu aku mau diajak ke Ciwidey dong
sama kamu!"
"Bagaimana kuliahmu?"
"Ya, terlebih tak seperti empat tahun lalu, dulu saat jadi maba¹, aku menemukan dirimu yang sedang
sarapan di kantin."
"Sebenarnya kuliah itu bukan tentang belajar saja, tapi about learning."
"Ya sama dong artinya gitu-gitu aja. Kenapa kamu kirim surat? Biasanya juga telepon atau WhatsApp."
"Katanya ...."
"Katanya apa?"
"Daaah!"
Ayu itu pacarku sudah menjalin hubungan selama 3 tahun, dia mempunyai darah biru keturunan dari
kraton Jogja. Aku bertemu dengannya saat dia masuk kampus yang sama denganku, dia merupakan anak
jurusan Kimia Farmasi sedangkan aku anak Arsitektur. Dia merupakan adik tingkatku di salah satu
Perguruan Tinggi Negri di Bandung, sebelum akhirnya aku dapat beasiswa S-2 di Inggris. Pertemuanku
dengannya terjadi saat aku semester 4 dan dia Mahasiswa baru.
Aku mengungkapkan rasaku kepada Ayu sehari sebelum keberangkatanku. Waktu itu aku sangat gugup,
aku tahu Ayu akan kecewa karna sehari sesudah itu dia akan ditinggal pergi olehku jauh. Sangat jauh.
Tapi, dia menerima ajakanku untuk menjalin suatu hubungan, dia juga menerima kalau aku akan pergi
meninggalkannya.
"Tapi aku tak bisa menjalin hubungan jarak jauh." Katanya sendu.
"Maksudnya?"
"Aku takut kalau kamu berpaling dariku, wanita itu suka pria yang dewasa dan cerdas."
"Kenapa?"
"Agar tak ada yang mau kepadaku."
"Kok?"
"Aku takut kau pergi meninggalkanku dan tak kembali." Dia menutup mukanya dengan kedua tangan
seakan mengucapkan hal berat.
"Cinta itu tahu kemana dia harus datang dan pulang, sekarang cintaku tahu kalau kedatangannya
kepadamu." Aku membuka tangan Ayu dengan sangat pelan kemudian kusimpan dipahanya.
"Hati-hati di sana. Palu hanya akan memukul paku yang menonjol." Maksudnya orang-orang akan
memperhatikan seseorang yang berbeda.
Ayu menatapku, dimatanya aku lihat kilas balik masa-masa aku mendekatinya.
"Nduk, sudah malam!" Kata bu'de, jam menujukan pukul delapan malam.
"Iya bu!"
"Enggak bu, mau pulang ini juga!" Aku sedikit berteriak karna Bu'de ada di ruang keluarga sedangkan aku
dan Ayu ada di ruang tamu. Mungkin saat aku menyatakan cintaku kepada Ayu Bu'de mendengarnya.
Sedangkan Pa'de sudah tidur. Aku cukup sering ketempat tinggal Ayu, makanya Paman dan Bibinya
mengenalku.
Ayu tinggal di rumah Pamannya selama dia menempuh pendidikannya di Bandung. Di dalam Rumah,
anggotanya murni orang Jawa. Pamannya merupakan pimpinan perusahaan yang sangat besar di
Bandung. Terkenal sederhana. Rumahnya saja hanya berukuran 100 meter persegi.
"Telepon dari Ayu?" Katanya yang sembari melototiku dan berkacak pinggang.
"Iya Pak." Aku menjawab sambil mengeringkan tangan dengan cara di usap ke handuk yang
menggantung.
"Kenapa?" Aku mulai berbicara dengan nada tinggi,"Bapak mau mengkaitkan dengan kisah Hayam
Wuruk?"
"Kau tahu bagaimana nasib kerajaan Sunda? itu terjadi karna gilanya kekuasaan orang Jawa."
"Itu tak akan terjadi padaku, aku seorang laki-laki dan Ayu asalnya dari Jogja."
"Tetap saja kau tak boleh berhubungan dengan Ayu!" Bapak menyentak lalu mencekikku dan
mendorongku ke dinding.
"Kau itu, Bapak sekolahkan tinggi-tinggi agar bermoral tau tata kerama bicara dengan orang tua. Jangan
sombong kalau bicara!" Sembari melepaskan cekikannya.
"Bapak sama saja seperti tiga tahun yang lalu." Maksudnya bapak melakukan hal yang sama setelah tahu
bahwa aku pacaran dengan Ayu.
"Berhenti kau bicara !" Tiba-tiba sebuah telapak tangan melayang ke pipiku.
Bapakku merupakan pensiunan Guru. Dia memilih pensiun muda dan aku tak tahu alasannya. Dulu,
waktu pertama kali aku pacaran dengan Ayu dia mendukungku, tapi entah kenapa beberapa bulan
kemudian dia mulai keberatan dengan hubunganku bersama Ayu. Alasannya sih, karna mitos bahwa
orang Sunda pantang untuk menikah dengan Jawa. Setiap aku habis teleponan dengan Ayu, kalau ada
Bapak selalu saja yang dibicarakan itu. Aku tak tahu kenapa Bapak jadi seperti itu.
Kaki dan hatiku membawaku bergegas menuju kamarku, untuk memakai jaket dan celana panjang.
"Keluar sebentar!"
"Jangan pulang!"
"Akan!"
Aku membawa motorku melaju melewati riuh kota Bandung, Bandungku tempat semua perasaanku
meluap. Rasa-rasanya Bandung lebih mengerti apa yang aku rasakan sekarang ketimbang orang
terdekatku sekalipun.
Ragaku berniat untuk mengunjungi Bibiku, rumahnya agak jauh dari rumahku. Bibiku adalah orang
Sunda asli, kalau ada kesempatan dia akan mengunjungiku atau aku yang mengunjunginya, aku selalu
mempunyai waktu untuk belajar Bahasa Sunda yang santun darinya, tapi kalau sedang mengobrol suka
pakai Bahasa Indonesia. Umurnya baru kepala empat, punya anak dua dan suami satu. Dia merupakan
Dosen Pendidikan Bahasa Sunda di perguruan tinggi swasta di Bandung.
Saat aku sampai di Rumah Bibiku, aku melihat ia sedang berbincang dengan aku tak tau siapa, mereka
berbincang diatas kursi yang ada di teras ditemani yang sepertinya teh hangat. Mungkin juga kopi.
"Waalaikumsalam." Bibi dan teman bicaranya menjawab salamku. Kemudian aku menghampirinya dan
bersalaman dengannya.
Annisa menurutku dia perempuan. Umurnya mungkin sama dengan Ayu, lalu dia manis menurutku dan
pastinya mungkin dia punya pacar. Dengan rambutnya yang sebahu, kurasa dia adalah primadona di
kampusnya. Ya, jujur saja aku suka, tapi hanya suka melihat penampilannya. Tak berharap
menginginkannya.
"Annisa."
"Nah Annisa, ini keponakan Bibi namanya Bagja, kamu bisa memanggilnya ...."
"Iya."
"Masuk sana!"
Rumah bibiku merupakan rumah seukuran seratus meter persegi yang di dalamnya terpajang seratus
juta buku. Aku tak becanda, keponakan Bibi selain aku juga bicara begitu, soalnya saat memasuki ruang
tamu yang kau temukan selain kursi, ya lemari yang penuh dengan buku-buku, lemari itu dijadikan
pembatas antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Di dindingnya tertulis "Perintah pertama yang
diterima oleh Muhammad adalah Bacalah!" Tulisan ini cukup untuk membuat para tamu yang menunggu
Bibiku setidaknya membaca satu buku walau satu halaman. Terkadang ada juga orang-orang yang
sengaja datang hanya untuk meminjam buku dan kadang juga tak di kembalikan. Tak apa, selama isi yang
ada didalam bukunya masih bisa di amalkan, kata Bibiku.
"Kang, Annisa pulang dulu ya?" Suara Annisa mengagetkanku yang sedang membaca buku.
"Hati-hati ya." Aku tersenyum kepadanya. Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk mengajakku
bersalaman. Aku juga menyodorkan tanganku tapi tiba-tiba Annisa mencium tanganku.
"Waalaikumsalam."
Tak lama dari itu Bibi masuk dan duduk berhadapan denganku.
"Gimana kamu kuliahnya?" Tanya Bibi, biasa basa-basi.
"Maksudnya?"
"Iya."
"Ha ha. Waktu itu kau bilang orang Inggris yang pinter, karna umur lima tahun sudah pandai Bahasa
Inggris."
"Kenapa sih gak turutin aja kemauannya? Waktu kamu kecil apapun yang kamu mau, selalu di kabulkan
Bapakmu."
"Aku hanya ingin mengikuti kata hatiku. Tidak semua keinginan waktu kecilku tepenuhi, sampai saat ini
ada keinginan besarku yang belum bisa Bapak berikan."
"Ibumu maksudmu? Dia juga mengikuti kata hatinya. Lihat sekarang yang terjadi? Kau besar tanpa
dirinya."
"Apa wajar seseorang melarang cinta hanya karna mitos yang ada?"
"Kalau kamu jadi anakku, Bibi akan bebaskan semua keinginanmu asal kau tahu batasannya. Mungkin
Bapakmu membuat batasan baru, yaitu jangan sekali-kali menikah dengan orang Jawa dan kau tahu
batasannya." Bibi melanjutkan pembicaraannya.
"Iya Bi."
"Sudah makan?"
"Siap!"
Aku diajak menuju dapur, tapi katanya tunggu dulu sebentar mau masak dulu. Aku cukup lama
menunggu, sampai akhirnya beliau memanggilku dan menyuruhku untuk memotong bawang yang akan
digunakannya untuk memasak, sementara Bibi memotong sayurannya. Aku nurut karna lapar. Tak lama
dari itu, aku kembali ke meja makan dengan Bibi yang membawa nasi goreng.
"Biasa, masakan Bibi dari dulu paling enak. Ya, walau nasi goreng."
"Nyindir nih, Bibi belum belanja soalnya. Lagian kenapa gak WA atau telepon dulu kalau mau kesini."
"Makan dong!"
"Iya. Bismillahirrahmanirrahim."
Saat makan tak ada satupun kata yang keluar. Di keluargaku tepatnya keluarga besar, ketika makan tidak
diperbolehkan untuk bicara dan kalau ada yang bicara maka akan ada aba-aba berupa nyanyian "Kalau
makan jangan bersuara!" Maka wajib hukumnya untuk diam. Aku mengerti, yang paling utama sih karna
takut kalau apa yang ada di mulut kita itu keluar dan berhamburan ke makanan yang ada didepan kita,
alasan yang keduanya sih karena takut tersedak. Aku juga tak mengerti kenapa harus nyanyi?
"Aku tadi mancing ikan dapet gede, yang ini ikanku." Aku berbicara kepada sepupuku saat makan
bersama dengan keluargaku sambil menunjukan ikan goreng, waktu itu umurku baru tujuh tahun.
"Iya gitu?"
"Kalau makan jangan bersuara!" Tiba-tiba Bapak bernyanyi seperti itu, lalu anggota keluarga yang lain
memperhatikanku.
"Iya, yang ukurannya sedang ini dapat bapakku, kalau yang ini dapat bapakmu, payah dia." Kataku
berbisik kepada sepupuku sambil mengunyah makanan.
Tak lama dari itu, tiba-tiba aku merasakan sakit di tenggorokanku seperti ada jarum yang masuk.
"Air! Air!" Teriakku. Satu keluarga heboh, ada yang memberiku minum, ada juga yang membentuk
bulatan nasi. Aku menelan nasi yang di bulatkan, lalu rasa sakit itu hilang. Mulai dari sana aku tak pernah
bicara ketika makan.
Selesai makan dengan Bibi, aku membereskan piring dan membawanya ke kamar mandi. Di rumah bibi,
mencuci piring itu tidak sambil berdiri tapi sambil jongkok dan piring yang ku cuci bukan punyaku saja,
tapi juga piring kemarin.
"Bapakmu nanti makan apa?" Bibi menghampiriku yang sedang capek setelah cuci piring.
"Pagi-pagi buta aku sudah masak nasi, lauknya ya telur saja yang kemarin aku beli. Gas juga masih ada."
"Enggak. Tadinya sih mau makan bareng Bapak, tapi tahu sendiri kan?"
"Emang apa yang sudah Ayu berikan padamu sampai kau mati-matian menginginkannya?"
"Kepercayaan."
"Maksudnya?"
"Ya kan Bibi udah punya anak, buah cinta Bibi dengan Paman. Aku? Waktu itu cintanya juga belum
tumbuh, tapi Ayu sangat mempercayaiku, bisa saja Ayu menganggapku mempermainkannya karna baru
berpacaran sudah ditinggal."
"Ha ha, bisa aja kamu. Nanti sebelum dibawa ke bapakmu bawa dulu kesini!"
"Laksanakan!"
"Bi?"
"Iya?"
"Kau mirip orang Sunda." Lalu setelah itu Bibi pergi meninggalkanku, aku tak tau kemana dia.
Hampir satu setengah jam aku menunggu Bibi dan aku tak tahu dia pergi kemana, yang kudengar hanya
suara angin yang bertiup pada pohon sawo depan rumah Bibi. Aku bosan, aku mencarinya kedapur dan
aku menemukan Ia yang baru selesai mencuci.
"Iya, silahkan." Aneh sekali, Bibi seperti mempersilahkanku untuk pulang, biasanya juga tidak.
"Iya."
Aku bergegas pulang menuju kediamanku, saat Bapak bilang jangan pulang sebetulnya pintu rumah
selalu terbuka untukku. Aku menyusuri kota Bandung dengan berat kepala, bahwa kenyataannya di
otakku hanya ada pemikiran tentang Ayu dan Ibuku. Aku tak tahu kenapa pemikiran itu bisa muncul
ketika aku berada di Bandung terlebih saat aku bertemu dengan orang yang kurasa ada sesuatunya
dengan mereka. Harusnya sih aku berpikiran biasa saja karna pada waktunya aku juga akan tahu
segalanya. Aku merasa aku berada dalam suatu tekanan, dimana suatu waktu bisa membuat hidupku
pecah, dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berjalan mengikuti garis yang sudah ditentukan.
Dalam perjalanan pulangku, yang kutemukan hanyalah kesunyian yang sepertinya merayap bersamaan
dengan udara yang masuk ketubuhku dan akhirnya sampai kedalam otakku, bahkan bisa meresap sampai
ke jiwaku. Ingin rasanya hari itu aku tak pulang ke rumah, untuk mencari tahu berbagai alasan tentang
hal yang selalu kupertanyakan didalam keningku, tapi nyatanya ragaku tak pernah sinkron dengan hatiku,
aku masih saja pulang ke kediamanku yang senyap.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Saat kubuka pintu, aku melihat bapak sedang duduk di kursi dekat telepon, dan memegang gagang
telepon, dia memang sedang bercakap lewat telepon sebelum akhirnya menjawab salamku dulu serta
menahan teleponnya.
"Apa katanya?"
"Sudah makan kamu? Itu Bapak tadi beli lauk, ada di meja makan."
"Sudah. Aku masuk kamar dulu."
Bapak melanjutkan obrolannya dengan lawan bicaranya, sedangkan aku memilih untuk menjatuhkan
ragaku diatas peristirahatan yang selalu menemaniku diatas segala suasana, tapi berbeda dengan jiwaku
yang sepertinya membrontak agar bisa mengeluarkan keluh kesahnya. Rasanya dulu Bandung begitu
indah, tapi sekarang Bandung seperti membuat suatu tekanan kepadaku, hampir-hampir saja Bandung
yang kucintai ini membuat rubuh otakku.
Aku lahir dengan mata tertutup dan akan meninggal dengan mata tertutup, lalu kenapa aku tak menutup
mataku? Rasa-rasanya atas segala masalah didunia ini yang menekan otakku, tidur adalah solusinya.
Menurutku begitu, pendapatmu silahkan tanamkan sendiri didalam otakmu.
Benar saja, ketika aku terbangun dari tidurku, aku merasa seperti bayi yang baru lahir , tapi lahir di umur
24 tahun dengan dunia yang sudah seram. Aku pergi keluar kamar untuk mencari Bapakku, tapi tak ada
sosoknya kutemukan dimanapun. Tiba-tiba telepon berdering, itu telepon dari Ayu.
"Hallo, Assalamualaikum. Bisa bicara dengan Bagja?" Mungkin ayu mengira yang mengangakat telepon
adalah Bapakku.
"Dunia itu tak jahat, dia memberikanku sebuah kebahagiaan berupa dirimu."
"Ada urusan.".
"Iya Bu? yang masih mudanya tak ada. Denganku saja yang sedang mencintaimu."
"Ha ha."
Kami ngobrol cukup ngaler ngidul, aku bahkan hanya tertawa karna mendengar suara Ayu yang
menurutku lucu. Dia meninggalkan nama dan ciri-ciri yang menunjukan bahwa dia bangsawan saat
bersamaku, baik di telepon atau saat bertemu langsung.
"Aku adalah aku dan kau adalah kau, lalu KUA adalah pemikiran setelah kita bisa menerima kenyataan
dari masing-masing diri kita." Kataku, ketika waktu itu bermain bersamanya ke Gunung Tngkuban Perahu
di daerah Lembang.
"Bukan itu, kisahnya dengan si Tumang. Kenyataannya dia bisa menerima si Tumang yang seekor Anjing
dan ...."
"Dan apa?"
"Ketika si Tumang mati. Dia tak pergi kemana-mana, hatinya kembali ke Dayang Sumbi."
"Tapi setidaknya dia kembali kepada Dayang Sumbi dan mengalir ditubuh Dayang Sumbi."
"Ngapain?"
Ayu itu selalu saja bisa membuatku bahagia bahakan hanya dengan hal-hal yang sederhana.
"Boleh."
Ayu jangan tanya aku tak merindukanmu, aku bahkan tak tahu caranya untuk berhenti memikirkanmu.
Bahkan, kalau kata manusia yang suka berbohong, kau itu selalu ada disetiap langkahku atau aku boleh
jujur, kau selalu ada dihati dan pikiranku. Kadang tekanan yang kurasakan akan bertambah ketika
komunikasi ku dengan Ayu harus terhenti, kupingku rasanya ingin terus menurus mengecap suara Ayu
yang manis. Ayu, aku tak tahu apa yang kau lakukan kepadaku, luar biasanya dirimu membuatku merasa
sangat kegirangan dan bagiku, biasanya dirimu adalah sesuatu yang harus kubanggakan.
Kau tahu Ayu? Saat pertama kali kau menatapku, aku menangkap udara yang tak tega membiarkan
dirimu berlalu, udara itu bersemayam di otakku untuk selanjutnya memproyeksikan matamu yang sendu
itu ke dalam mimpiku. Sempat mataku memotret dirimu sedang tertawa bersama temanmu, dan kupikir
dunia sedang ikut tertawa juga. Sekarang kau sudah menjadi milikku, kau selalu tertawa bersamaku, tapi
dunia malah memberi tekanan, yaitu rasa takut akan kehilangan.
Saat pertama kali aku mencoba berkenalan denganmu, kau bahkan sudah membuatku jatuh cinta. Saat
itu senyummu sudah menjadi bagian dari semestaku, bahkan nada bicaramu sudah menjadi lagu yang
enak untuk kupingku. Sekarang senyummu, menjadi pondasi yang kuat untuk hubungan kita, dan
matamu menjadi atapnya. Aku tak pernah paham dengan cara kerja cinta, sederhana mungkin aku tak
ingin merasa kehilangan.
Pagi itu aku sudah menunggu Ayu di luar stasiun, aku duduk ditemani oleh secangkir kopi dan bakwan,
itu terjadi karna bangunku kesiangan dan tak sarapan. Setelah itu, ternyata aku kepagian, bahkan aku
belum melihat Ayu berdidiri menungguku seperti biasanya. Aku menghirup udara dingin Bandung
beraroma Kapal Api yang nikmat, melihat anak kecil yang disuapi bubur oleh Ibunya. Aku menghampiri
mereka.
"Assalamualaikum bu!"
"Waalaikumsalam."
"Nyuapin bu?"
"Iya."
"Mau juga dong bu!" Aku spontan berbicara seperti itu.
"Heh!"
"Abdurrahman."
"Bismillah, Abdurrahman cing nyaah ka kolot." Artinya Bismillah Abdurrahman semoga sayang orang tua.
Aku menyuapi anak itu dan aku tersenyum melihatnya.
"Oh, Ibu ma baru turun dari kereta. Beli sarapan dulu di kantin, mau duduk malah nangis ini. Akhirnya
ibu kasih makan sambil berdiri. Makasih doanya."
"Nunggu jemputan."
"Oh iya."
Aku kembali duduk ditempat semula. Aku merasa sangat senang melihat seorang Ibu yang bisa menyuapi
anaknya sendiri, kadang aku merasa ingin di suapi Ibu, Ibu siapapun itu.
"Kau nanti menyuapi anakmu sendiri." Suara perempuan yang di laki-kan melewat di telingaku. Aku
kaget karna Ayu sudah berada disampingku, suaranya agak dibesar-besarkan.
"Hai! Maaf ya Hapenya lowbatt jadi gak komunikasi." Ayu memelukku dalam udara dingin yang
menyelimutinya, tapi tak lama-lama malu banyak yang melihatnya, bahkan aku tak sempat membalas
peluknya. Sepintas itu seperti badan Ayu yang mendorong badanku, tapi aku bisa merasakan tangannya
merangkulku.
"Sini pake jaket aku!" Aku memberi jaket yang ku kenakan kepada Ayu.
"Pakein dong!"
Akhirnya ia memakainya sendiri, dia membawa tas kecil karna mungkin hanya seminggu di Jogja.
"Kalau aku memanggilnya hijau tai kuda." Kata Ayu yang baru selesai mengenakan jaket yang warnanya
hijau army.
"Kemana?"
"Ciwidey!"
Diriku merasa sedang dikendarai oleh rasa senang bertemu dengan Ayu. Membuat Bandung iri itu
mudah bagiku, membawa Ayu membelahnya saja aku sudah bangga. Bahkan aku kira motor yang
kutunggangi juga merasa senang.
"Kenapa?"
"Mau dipeluk!"
"Malu ah banyak orang." Karna aku lihat sudah cukup banyak orang yang melakukan aktivitas.
Kami sampai dirumah Paman Ayu, tiba-tiba Ayu melepas jaket yang tadi kupinjamkan, udah hangat
katanya. Kemudian Ia membuka tasnya dan mengeluarkan jaket kepunyaannya sendiri dia tersenyum.
Aku kedinginan.
Di depan rumahnya terdapat kursi yang biasa aku gunakan untuk mengobrol dengan Ayu dan akan
pindah ke ruang tamu jika kondisinya tidak kondusif. Di halaman rumahnya juga ditanami berbagai
tanaman yang biasa digunakan Bu'de untuk keperluannya, baik perutnya maupun yang lainnya.
Ayu bertemu dengan Bu'de dan langsung memeluknya, katanya sama-sama kangen. Bu'de menyapaku
dan aku mengangguk membalasnya. Dia mengajakku masuk ke dalam rumah, menuntunku yang
memberi kesan memaksa. Padahal gak dipaksa juga memang mau masuk. Dia membawaku masuk
langsung ke dapur, aku lihat Bu'de dan Pak'de serta kedua anaknya yang sudah menunggu Ayu di atas
meja makan. Mereka mengajakku untuk sarapan, tapi aku menolaknya karna sudah sarapan di Stasiun
tadi. Bukannya tak sopan, tapi selama tiga tahun aku menjalin hubungan dengan Ayu, aku selalu melihat
tatapan sinis dari keluarga Pamannya dan aku rasa Ayu juga merasakannya. Tatapan itulah yang
membuatku tak enak.
Akhirnya kuputuskan untuk menunggu di ruang tamu sembari memakan kacang rebus yang sempat aku
beli tadi di stasiun. Tak lama kemudian, Ayu datang membawa piring berisi Kupat Tahu. Dia duduk di
sampingku.
"Buatmu!" Katanya.
"Sudah."
"Ok. Bentar yaaa!" Lalu aku pergi ke dapur untuk bertanya kepada Bu'de tentang sarapan Ayu. Katanya
belum, mau sarapan denganku.
"Kau belum sarapan ya?" Aku berdiri di dekat Ayu yang sedang duduk.
"Sarapan dulu ya!" Kemudian aku membelai halus rambutnya, lalu mendongakkan badan agar wajahku
terlihat oleh Ayu yang sedang duduk."Aku sudah." Kemudian tersenyum kepadanya.
"Iya Ja!"
Untuk menghindari perasan takutku, takut kalau-kalau Ayu akan malu makan sebab dilihat olehku, aku
beranjak keluar rumah.Di temani rebus yang tadi belum usai kusantap. Mataku mengecap udara
Bandung yang menurutku mendukung untuk tidur pagi. Siangnya tidur lagi. Malamnya lihat TV sampai
pagi. Yang kulakukan diluar hanyalah menghitung krikil yang ada di halaman rumah Ayu, entahlah apa
yang kulakukan tapi menurutku itu menyenangkan. Bagian yang tidak menyenangkannya, lupa berapa
krikil yang sudah ku hitung.
"Aku sudah sering lihat kamu seperti itu, tapi motivasimu apa?" Ayu berkacak pinggang menyenderkan
dirinya ke kusen pintu melihatku sedang berjongkok di berandanya.
"Senang saja, kadang hal yang kecil di dunia ini sangat berarti. Aku tak tau arti dari batu ini, tapi aku
yakin sesuatu telah terjadi kepadanya di masa lampau."
"Ha ha, kemarin kau bilang ingin menghitung saksi bisu yang melihat cinta kita." Ayu menghampiriku lalu
tersenyum dan mengangkatku agar bisa berdiri bersamanya.
"Aku lupa. Tapi, menurutku semua benda didunia ini saksi untuk cinta kita, jantung kita sekalipun." Aku
berbicara kepada Ayu yang sudah sejajar denganku dan menatap matanya.
"Masuk atau mau diluar?" Aku menawar kepada Ayu,"Sudah makannya?" Tanyaku.
"Sudah. Ayo!"
"Iya!"
Di ruang tamu yang sunyi, Aku dan Ayu mengobrol sangat asik ia memintaku mengajarinya bahasa
Sunda yang dia kira akan berguna nanti, tapi aku menolaknya karna menurutku sudah 3 tahun dia di
Bandung dan keluargaku rata-rata menggunakan Bahasa Indonesia. Rupa-Rupanya, ia meminta itu karna
katanya takut gugup jika nanti aku mempertemukannya dengan keluargaku. Ayu memang belum pernah
bertemu dengan keluargaku, entah kapan aku akan membawanya, tapi diumur Ayu yang masih 21 tahun
aku merasa sudah cukup untuk membawanya bertemu minimal dengan Bibiku dulu lah. Nanti Ayu, sabar
dulu ya.
Setelah itu, tiba-tiba sunyi ketika Pak'de datang yang akan berangkat kerja. Kami berdua bersalaman
dengannya.
"Nanti kita salamannya di kursi pelaminan." Ayu menggodaku setelah Pak'de berlalu.
"Nanti kau bersaksi, mau menjagaku untuk seumur hidupmu!" Dia berbisik, aku tak tahu alasannya
melakukan itu.
"Kalau umurku tak sebatas itu? Maksudnya aku meninggal sebelum aku menikah."
"Gak papa. Semasa aku hidup, bertemu denganmu adalah hal yang membuatku bahagia."
"Benar gitu?"
"Iya, aku saja yang bahagia tapi kau sedih nantinya. Jadi gak jadi deh mati muda, takut kau bersedih."
"Nggak. Sudahlah."
Aku menemukan Ayu dengan posisi paling lucu menurutku, dia memajukan bibir bawahnya seolah dia
sedang tak suka dengan keadaan yang sedang terjadi sekarang. Aku membetulkan bibirnya dan mencubit
pipinya, lalu mencium keningnya dan membelai rambutnya. Itu ciuman ku yang pertama.
Ia terdiam seolah tak percaya dengan yang telah ku lakukan kepadanya barusan. Dia kemudian
memelukku, sangat erat, dan beruntungnya kali ini aku bisa membalasnya. Tapi hanya sebentar sebelum
Bu'de memanggilnya.
"Sana bantu dulu!" Aku tersenyum kepadanya sambil memegang dagunya lalu memainkannya sedikit.
"Aku menunggu disini." Kataku, untuk membuat Ia merasa bahwa aku tak akan pergi. Ayu mengangguk
lalu pergi.
Lalu yang kudengar hanya suara keributan di dapur, tapi aku tak mengindahkannya karna tak sopan
katanya. Terlebih aku tak mengerti bahasa Jawa. Lebih baik diam dan tenang.
"Kenapa?"
"Serius?"
"Telepon?"
"Iya mau."
"Selamat tidur."Aku tersenyum membelai rambutnya, kemudian berdiri dan pakai jaket, niatnya sih
mau salam dengan Bu'de, tapi Ayu mencekalku, artinya gak usah.
Ragaku pergi meninggalkan kediamannya, tapi hatiku masih disana, masih Ayu genggam erat. Otakku
masih pergi ke dapurnya, membuat persepsi sendiri tentang apa yang terjadi. Tapi, waktu-waktu
membawaku pergi jauh untuk tidak kembali lagi dalam keadaan seperti itu.
Sebetulnya aku tidak ingin pulang dari sana, bairpun Ayu mau tidur, aku akan tunggu sampai dia
bangun. Tapi, ya sudahlah. Ayu yang memintaku.
Perasaanku, membawa diriku untuk pergi ke salah satu tempat nongkrong yang kurang terkenal-lah di
Bandung. Aku tak ada niat untuk masuk kesana, aku hanya berniat untuk mengunjungi tempat
nongkrongku semasa kuliah di Bandung, kepada lelaki separuh baya yang kadang aku panggil akang,
uwa, atau mamang, tapi lebih akrabnya memanggilnya Pak Umar sesuai nama aslinya. Konon katanya,
beliau dulunya adalah salah seorang yang sangat punya andil besar dalam pembangunan tempat
nongkrong tersebut. Tugasnya jadi pawang hujan. Tak heran kalau aku masuk warungnya suka wangi
dufa, menyan, dan sebagainya, tapi gorengan buatan dia nomer satu di Bandung atau di lidahku saja.
Kadang juga aku sering curhat kepadanya tentang cinta, dan dia menanggapinya seperti orang yang
memang paham tentang cinta.
"Pak kenapa orang sunda gak boleh menikah dengan orang jawa?"
"Jawa."
"Ibu?"
"Sunda."
"Itu boleh?"
"Emang boleh, tadi kamu nanyanya gak boleh." Pak umar nampak santai menjawabnya.
"Oh ...."
Begitulah Pak Umar kadang dia suka memakai baju surjan dihari hari tertentu, terlebih hari kamis dan
jum'at. Dulu waktu masih kuliah di Bandung, aku sering pergi kesana sendirian hanya untuk menikmati
air putih hangat dan bakwan kalau masih ada, lebih seringnya hanya minum air putih hangat dan selalu
bayar. Walaupun Pak Umar selalu memberiku gratisan untuk setiap cangkirnya, tapi aku tetap merasa tak
enak.
"Iya pak."
"Kenapa air hangat terus?"
"Gak ngopi gitu?" Dulu waktu di Bandung aku belum minum kopi, aku minum kopi setelah kuliah di
Inggris.
"Ha ha, aneh budak teh." Artinya "Ha ha, aneh anak ini."
Ada rasa yang tak bisa ku jelaskan ketika ku minum air hangat, kadang dia membawa otakku pergi
entah kemana hingga lupa akan dunia dan tak ingin pulang.
Kali ini aku datang ke Pak Umar untuk bersilaturahmi, sekaligus ingin minum air putih hangat yang ku
rindukan. Tapi aku sungguh heran, bahkan aku tak bisa menemukan warungnya disana, aku keliling di
daerah tersebut barangkali aku yang lupa, tapi tetap tidak ada disana. Lalu kemudian aku bertanya-tanya
kepada petugas kebersihan di sana, katanya lebih dari sebulan yang lalu ada penggusuran ke warung-
warung yang tak punya izin untuk didirikan, tapi katanya tetap saja ada yang bandel untuk mendirikan
warung lagi, mungkin karna itu sumber kehidupannya. Nah, kalau Pak Umar memilih untuk tidak kembali
tak mau memperpanjang masalah kata si petugas disana. Kemudian aku meminta alamat rumah Pak
Umar kepadanya, tapi dia bilangnya kalau Pak Umar pulang kampung dan ingin mendirikan angkringan
sekitar Malioboro, Jogjakarta.
Aku sungguh tak menyangka, bahwa ini akan terjadi. Maksudnya, menurutku sesuatu yang melekat di
daerah tersebut tak bisa dilepaskan begitu saja hanya dengan alasan ingin menata kota. Tak begitu. Jadi
yang bisa kulakukan sekarang hanya pulang ke rumahku, nerakaku yang kalau ada telepon atau pesan
dari Ayu berubah jadi surga. Kan dia bidadarinya.
Kepulanganku di hantui oleh perasaan yang bisa dikatakan baik enggak, buruk tidak juga. Aku juga
pulang tidak dengan buah tangan yang mungkin Bapak harapkan dari kepergianku. Dia ingin lontong
sayur, aku tadi bilangnya nyari sarapan. Tapi sekarang sudah siang, mungkin kebanyakan mereka yang
berjualan sudah tutup. Jadi alasan apa yang harus kugunakan untuk menutupi kebohonganku? Mesin
motor baru di service, ban motor baru di ganti. Yasudah nanti saja, aku pikirkan di rumah.
"Assalamualaikum!" Aku berlagak seperti orang tergesa-gesa,"Pak! Pak!" Aku mencari-cari Bapak,
padahal itu pura pura.
"Hilang dimana?"
"Alhamdulillah ketemu Pak. Bingung tadi muter-muter dijalan nyari dompet, sampe siang gini. Jadi gak
sempat beli sarapan. Maaf ya!" Tentunya aku berbohong demi menutupi kenyataan bahwa aku bertemu
Ayu.
"Yasudah gak papa, bapak beli bubur kok. Kamu cari sarapan gih!"
"Nanggung pak, nanti saja makan siang." Kacangku saja belum di olah lambung kata hatiku itu, " Aku ke
kamar dulu ya!"
Bukan kebiasaanku berbohong, aku hanya berkata yang tidak, ketika menurut instingku akan di marah.
Atau paling buruk di coret dari kartu keluarga. Selebihnya aku anak yang jujur, termasuk pengakuan
bahwa aku pernah mukul anak tetangga sampai tak sadarkan diri. Sebabnya sih sepele, karna main bola.
Ya namanya juga dulu, waktu anak-anak. Aku gak pernah mengulanginya kok, setahu bapak itu juga.
Dari dulu, aku selalu melakukan apapun sesuai kata hatiku, walaupun menurut otakku itu tidak masuk di
akal. Tapi senangnya, otakku bisa tiba-tiba sinkron dengan hatiku ketika melakukannya. Mungkin juga
otakku terpaksa untuk menerimanya.
Seperti halnya cita-citaku. Kalau dulu kelas 1 SD aku ditanya ingin jadi apa ketika sudah besar, presiden
tentu jawabannya. 3 SD ingin jadi pesepakbola handal. Lalu kelas 4 SD berubah jadi astronot karna sudah
menerima kenyataan tentang Tata Surya. Kelas 7 SMP aku ingin jadi dokter karna mengikuti kegiatan
PMR. 10 SMA-nya Ingin jadi Guru. Kuliah S-1 mau cepat-cepat lulus katanya ingin berguna bagi bangsa.
Sekarang, aku hanya ingin membulatkan pikiranku, untuk menerima bahwa bumi itu bulat. Bumi itu bisa
membawaku berada dipuncak lalu tiba-tiba bisa berada di posisi paling bawah dan gelap. Mimpiku
mungkin seluas semesta, tapi aku ingin seperti bumi, kecil tapi sangat berarti. Mana mungkin akan ada
Tata Surya tanpa bumi, toh kita yang memahaminya saja tinggal di bumi.
Aku ingin terlihat seperti orang bodoh, daripada harus pura-pura pintar. Aku menerima jika disebut
bodoh, dan akan merasa terhormat kalau-kalau ada orang yang menyebutku pintar.