Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I

LATAR BELAKANG

DAN

POKOK PERMASALAHAN

Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia selalu berusaha untuk menghindar dan keluar dari

konflik, meskipun konflik atau persengketaan tersebut tidak mungkin dihilangkan

dari realitas kehidupan manusia. Sehingga dalam menjalani hidup, senantiasa

manusia menghadapi sejumlah tantangan dan kepentingan yang berbeda-beda satu

sama lain. Akibatnya tidak bisa dihindari munculnya perbedaan dan pertentangan

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Keragaman, perbedaan pandangan dan

kepentingan merupakan potensi konflik.1

Pencarian pola penyelesaian sengketa atas konflik yang terjadi terus

dilakukan manusia, dalam rangka memenuhi keinginan fitrahnya untuk hidup

damai, adil dan sejahtera. Secara konvensional, penyelesaian sengketa diselesaikan

melalui proses litigasi (melalui pengadilan), dimana posisi para pihak berlawanan

satu dengan yang lainnya dan proses ini akan memakan waktu yang lama. Sistem

1
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta:
Kencana, 2011), hal. 119.
2

peradilan dinilai terlalu bertele-tele, membutuhkan waktu yang lama, dan tidak

efisien.Selain itu, putusan pengadilan justru tidak memuaskan para pihak.2

Sehingga dalam penyelesaian sengketa terhadap suatu konflik terdapat

solusi lain yaitu melalui nonlitigasi (di luar pengadilan), alternatif ini didasarkan

atas kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa

baik tanpa bantuan pihak ketiga netral ataupun dengan bantuan pihak ketiga netral.3

Proses penyelesaian sengketa ini disebut dengan Alternative Dispute Resolution

(ADR). Penyelesaian sengketa yang seringkali diutamakan yaitu melalui

perdamaian yang dapat ditempuh dengan proses mediasi dengan melibatkan pihak

ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif serta

mampu membantu dalam situasi konflik.4

Penyelesaian sengketa dapat di tempuh melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

memiliki tugas dan wewenang melaksanakan penanganan dan penyelesaian

sengketa konsumen, dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, melakukan

pengawasan pencantuman klausula baku, dan menerima pengaduan baik tertulis

maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen.

2
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hal. 4.
3
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
hal. 2.
4
Nurnaningsih, Op.Cit., hal. 28.
3

Disisi lain terkait dengan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) dalam penyelesaian sengketa maka didukung pula dengan konsep teori

hukum yang menjadi penunjang Peran BPSK dalam penanganan penyelesaian

sengketa, dimana BPSK dalam hal ini adalah Ketua Majelis dan menangani

penyelesaian sengketa sangat diupayakan untuk dapat berlaku adil baik terhadap

Konsumen ataupun Pelaku Usaha. Karena hingga saat ini terkait dengan aspek

keadilan sangat sulit sekali untuk dapat di aplikasikan mengingat banyaknya

kepentingan-kepentingan dari para pemegang kekuasaan. Oleh karena itu konsep

teori hukum dalam hal ini akan menunjukkan bahwa keadilan memang menjadi

pondasi dalam setiap penerapan penyelesaian sengketa yang mengutamakan

perdamaian melalui non litigasi (di luar pengadilan).

Teori hukum merupakan salah satu studi tentang sifat dari hal-hal yang

penting dalam hukum yang lazim terdapat dalam system-sistem hukum, dimana

salah satu objek kajiannya adalah pembahasan mengenai unsur-unsur dasar dari

hukum yang membuat hukum berbeda dari aturan standar lain yang bukan hukum.

tujuannya ialah untuk membedakan mana yang merupakan system hukum, dan

mana yang bukan system hukum.5

Pokok Permasalahan

1. Apa saja teori hukum yang berkaitan dengan peran BPSK dalam Penyelesaian

Sengketa Konsumen dan pelaku usaha ?

5
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum (Jakarta: Kencana, 2013), hal.
2.
4

2. Bagaimana peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam

menangani sengketa sebagai bentuk upaya perlindungan hukum kepada

konsumen melalui konsep teori Plato Hukum Sebagai Sarana Keadilan?

3. Bagaimana efektifitas penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) berdasarkan Penerapan Teori Perlindungan Hukum?


5

BAB II

Teori-Teori Hukum Terkait Dengan Peran Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Dalam

Penyelesaian Sengketa

Teori Keadilan
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Socrates, maka Plato sang

murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang

hukum. Namun, berbeda haluan dengan Socrates Plato justru melangkah lebih jauh.

Plato, justru mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis di bawah

pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan

asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Plato, kesempurnaan

individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara dibawah kendali para guru

moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat.

Menurut Plato, pengungkapan kebaikan hanya diterima oleh kaum aristokrat itu.

Menurut Plato, kaum aristokrat (para filsuf) merupakan orang-orang bijaksana,

maka di bawah pemerintahan mereka dimungkinakan adanya partisipasi semua

orang dalam gagasan keadilan.6

Kondisi ini memungkinkan keadilan tercapai secara sempurna. Bila ini

yang terjadi maka hukum tidak diperlukan. Keadilan bisa tercipta tanpa hukum,

6
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dkk., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 40.
6

karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai, kaum arif bijaksana

yang pasti mewujudkan theoria ( pengetahuan dan pengertian sebaiknya) dalam

tindakan. Ini diungkapkan Plato dalam buku The Republic. Dengan kata lain,

aristokrasi sebagai negara idela Plato, adalah bentuk negara yang pemerintahannya

dipegang oleh kaum arif bijaksana, yaitu para filsuf. Kaum bijak bertindak sebagai

guru sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan.7

Tapi seiring dengan merosotnya negara, baik ke dalam bentuk timokrasi,

ketidakadilan itu tampil dalam bentuk ambisi para pemimpin mengejar

kemewahan, kehormatan, dan kekayaan bagi diri sendiri. Dalam wujud oligarki,

situasi ketidakadilan itu berwujud monopoli penguasaan sumberdaya dari orang

kaya yang serakah. Wujud demokrasi, keadilan mewajah dalam bentuk

kepemimpinan orang-orang tidak terdidik (bukan aristokrat). Sedangkan dalam

tirani, ketidakadilan itu menyeruak dalam bentuk kesewenang-wenangan. Di

sinilah hukum dibutuhkan sebagai sarana keadilan. Jadi dapat dikatakan hukum

dalam teori Plato adalah instrument untuk menghadirkan keadilan di tengah situasi

ketidakadilan.8

Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian: (i).

Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh

situasi ketidakadilan, (ii). Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab,

supaya tidak muncul kekacauan hukum, (iii). Setiap UU harus didahului preambule

tentang motif dan tujuan UU tersebut, (iv). Tugas hukum adalah membimbing para

7
Ibid., hal. 41.
8
Ibid.
7

warga (lewat UU) pada suatu hidup yang sempurna, (v). Orang yang melanggar

UU harus dihukum.9

Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan individual

dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian yang benar mengenai

keadilan individual, terlebih dahulu harus ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan

itu dalam negara, untuk itu Plato mengatakan:

“let us enquire first what it is the cities, then we will examine it in the single

man, looking for the likeness of the larger in the shape of the smaller”

Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan berarti bahwa keadilan

individual identik dengan keadilan dalam negara. Hanya saja Plato melihat bahwa

keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada

bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu

masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut

kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.10

Konsep dasar pemikiran Aristoteles terkait teori keadilan bahwa keadilan

harus dipahami dalam pengertian kesamaan. Sehingga dalam pemikirannya

Aristoteles menghadirkan perdebatan seputar keadilan. Sehingga, dia membedakan

keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama

9
Ibid.
10
Bahder Johan Nasution, “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik
Sampai Pemikiran Modern”, Yustisia, Vol. 3, No. 2, Mei - Agustus 2014, hal. 120.
8

berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.

Adapun yang dimaksud dengan keadilan distributif dan korektif yaitu:11

a. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah

bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang

adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni

nilainya bagi masyarakat.

b. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.

Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan

korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang

dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang

sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan

akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah

terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.

Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan

sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.

11
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), hal. 25.
9

Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo menyimpulkan bahwa:12


Sekalipun hukum itu dihadapkan kepada pertanyaanpertanyaan yang
praktis, yaitu tentang bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagikan dalam
masyarakat, tetapi ia tidak bisa terlepas dari pemikiran yang lebih abstrak yang
menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tentang “mana yang adil” dan “apa keadilan
itu”. Tatanan sosial, sistem sosial, dan hukum, tidak bisa langsung menggarap hal
tersebut tanpa diputuskan lebih dahulu tentang konsep keadilan oleh masyarakat
yang bersangkutan. Kita juga mengetahui bahwa keputusan ini tidak bisa dilakukan
oleh subsistem sosial, melainkan oleh subsistem budaya, seperti ditunjukan dalam
bagian sibernetika di muka.

Teori Perlindungan Hukum

Terkait dengan konsep teori perlindungan hukum, maka yang dimaksud

dengan perlindungan hukum ialah:

Perlindungan hukum secara gramatikal “perlindungan” berasal dari kata


“lindung” yang berarti mendapatkan dirinya di bawah sesuai supaya jangan
kelihatan. Arti perlindungan adalah segala upaya yang diakukan untuk melindungi
subyek tertentu, juga dapat diartikan sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu
yang mengancam.13
Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah:

Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang


dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.14
Salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan perlindungan kepada

warga masyarakat, terutama yang ada pada posisi yang lemah akibat hubungan

hukum atau kedudukan yang tidak seimbang. Demikian halnya dengan adanya

12
Satjipto Rahardjo dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori
Keadilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence) (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 223.
13
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 74.
14
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53.
10

perlindungan pada konsumen. Menurut Philipus M. Hadjon ada dua kekuasan yang

selalu menjadi perhatian:15

Kekuasaan Pemerintahana dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungannya


dengan kekuasaan, permasalahan perlindungan hukum adalah menyangkut
perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap yang memerintah
(pemerintah). Sedangkan permasalahan perlindungan ekonomi adalah
perlindungan terhadap si lemah terhadap si kuat.
Kata perlindungan hukum yang dilakukan pemerintah atau penguasa,

Philipus M. Hadjon, membedakan dalam dua macam, yaitu:16

Pertama, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan


pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan
tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasarkandiskresi dan kedua, perlindungan yang resprensif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.
Lebih jauh Philipus M. Hadjon mengemukakan konsep teori perlindungan

hukum, yaitu:17

Selain itu perlindungan hukum juga menjadi suatu standar bahwa hukum
itu akan efektif berlaku di tengah-tengah masyarakat yang heterogen seperti yang
ada di Indonesia. Dengan demkian prinsip perlindungan hukum bagi rakyat adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan prinsip negara
hukum. Karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

15
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila, Simposium
Politik, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum (Surabaya: Lustrum VII Universitas Airlangga,
1994), hal. 1.
16
Philipus M. Hadjon dalam Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 54.
17
Philipus M. Hadjon dalam Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Surabaya: Bina
Ilmu, 2002), hal. 38.
11

BAB III

Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

dalam Menangani Sengketa Sebagai Bentuk Upaya

Perlindungan Hukum Kepada Konsumen Melalui Konsep

Teori Hukum Keadilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu

Badan/Lembaga independent, badan publik yang mempunyai tugas dan wewenang

antara lain melaksanakan penanganan dan penyelesaianan sengketa konsumen secara

Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase, memberikan konsultasi perlindungan konsumen,

melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, melaporkan kepada

penyidik umum, menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, memanggil

pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran, memanggil dan menghadirkan

saksi serta menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar

Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.18

Lebih jauh mengenai BPSK bahwa timbulnya perkara-perkara arbitrase

maupun perkara-perkara yang penyelesaiannya melalui mediasi dapat juga bersumber

dari persengketaan antar konsumen dengan pelaku usaha, sehubungan dengan hal itu

saat ini pemerintah sudah membentuk suatu lembaga yang disebut Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK), yang merupakan suatu lembaga nonstructural yang

18
Zainul Akhyar, Harpani Matnuh dkk., “Peran Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) Kota
Banjarmasin”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 10, November 2015, hal. 774.
12

bertugas untuk menyelasaikan sengketa konsumen antar konsumen dengan pelaku

usaha. BPSK adalah sebagai konsekuensi yuridis dari adanya Undang-undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.BPSK berkedudukan di kabupaten/kota.

Dasar hukum pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 49 ayat

(1)19 UUPK jo. Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.

Adapun bentuk penyelesaian BPSK dilakukan dengan cara mediasi, konsiliasi,

atau arbitrase. Akan tetapi, tata cara penyelenggaraannya di atur tersendiri dalam

keputusan menteri perindustrian dan perdagangan. Untuk arbitrase, para pihak diberi

pilihan apakah akan menggunakan arbitrase berdasarkan UUPK atau arbitrase

berdasarkan UUPSA. Kesepakatan yang dicapai di mediasi atau konsiliasi atau

arbitrase dibuat dalam perjanjian tertulis dan dikuatkan dengan putusan majelis BPSK.

Sifat kesepakatan ini adalah final dan mengikat.20

Perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan

konsumen dalam memilih, menentukan dam menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

Atas dasar itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

memberikan batasan dan jaminan terkait peningkatan harkat dan martabat konsumen

meliputi peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian dan kemandirian konsumen

untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan peran pelaku usaha yang

profesional dan menghargai hak dan kewajiban sebagai pelaku usaha. Konsekuensinya

19
Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
20
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 331.
13

adalah dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 mencantumkan mengenai hak dan

kewajiban dari pelaku usaha dan konsumen, hal tersebut bertujuan untuk memberikan

perlindungan terhadap konsumen dengan berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang ada keterkaitannya dengan dunia

usaha yang mengglobal.21

Terdapat dua hal penting yang berkaitan dengan BPSK, yaitu:22

1) Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan Alternatif

penyelesaian melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut dengan BPSK,

selain melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

kedudukan konsumen.

2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha bukanlah

suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan

penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan

penyelesaian sengketa melalui badan peradilan.

Sengketa Perlindungan Konsumen dapat diselesaikan di luar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela para pihak atau melalui pengadilan. Penyelesaian

sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan penanganan dan

21
Hesti Dwi Atuti, “Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)”, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. I, No. 02, Edisi Juli-Desember 2015, hal
575.
22
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2005), hal. 73.
14

penyelesaian konsumen dengan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Upaya

penyelesaian melalui pengadilan ditempuh apabila penyelesaian sengketa di luar

pengadilan melalui BPSK tidak berhasil.23

Dengan demikian, penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi juga

berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan melalui prosedur mediasi sesuai

PERMA No. 1 Tahun 2008, sehingga dalam Pasal 4 PERMA tersebut, penyelesaian

sengketa ini dikecualikan dari kewajiban menempuh proses mediasi sebagaimana

dalam PERMA tersebut.24

Terkait dengan pembahasan tersebut maka Keberadaan BPSK dapat menjadi

bagian dari Pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh

pelaku usaha, karena sengketa di antara konsumen dengan pelaku usaha biasanya

nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengektanya di pengadilan

karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan

dituntut.

ANALISA TEORI KEADILAN

Dengan adanya pemerataan keadilan yang diterapkan dalam proses

penyelesaian sengketa melalui BPSK, maka dukungan dari teori keadilan menjadi

sangat efektif, mengingat tidak menutup kemungkinan ketika para majelis BPSK

melakukan penyelesaian sengketa Antara konsumen dan pelaku usaha seringkali letak

kesalahan ada pada pihak konsumen, padahal ketika ditelisisk lebih dalam bahwa

faktor penyebab konsumen mengajukan aduan ke BPSK dikarenakan hak-haknya

23
Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
24
Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 139.
15

sebagai konsumen tidak terpenuhi oleh pelaku usaha. Terkait dengan hak-hak

konsumen, yaitu:25

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

25
Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
16

Semisal dalam mendapatkan informasi seorang pelaku usaha seringkali tidak

jujur dalam memasarkan barang dagangannya membuat promosi-promosi berlebih atas

barang dagangannya, bahkan seringkali konsumen yang awam terhadap hukum justru

mendapat perlakuan yang tidak wajar, sehingga ketika mengalami kerugian si

konsumen tersebut melayangkan pengaduan melalui BPSK karena tidak mampu

melakukan pembelaan terhadap dirinya.

Disinilah peran BPSK dalam menerapkan teori keadilan sangat dibutuhkan,

jangan sampai tugas dan kewenangannya disalahgunakan oleh para majelis BPSK,

mengingat banyaknya kepentingan dari para elit penguasa yang memang tindakan apa

saja dapat mereka lakukan. Sehingga, sebagaimana teori yang telah di paparkan di atas

bahwasanya teori keadilan menurut Plato:26

bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat selaras


kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam
suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut kemampuan
fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya. Lebih lanjut Plato mengemukakan;
bahwa dengan merosotnya negara, baik ke dalam bentuk timokrasi, ketidakadilan itu
tampil dalam bentuk ambisi para pemimpin mengejar kemewahan, kehormatan, dan
kekayaan bagi diri sendiri. Dalam wujud oligarki, situasi ketidakadilan itu berwujud
monopoli penguasaan sumberdaya dari orang kaya yang serakah. Wujud demokrasi,
keadilan mewajah dalam bentuk kepemimpinan orang-orang tidak terdidik (bukan
aristokrat). Sedangkan dalam tirani, ketidakadilan itu menyeruak dalam bentuk
kesewenang-wenangan.
Selaras dengan teori Keadilan Plato, maka Aristoteles dalam teori keadilannya

mengemukakan:27

Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha
memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu

26
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dkk.,Op.Cit. hal. 41.
27
Carl Joachim Friedrich, Op.Cit., hal. 27.
17

kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si
pelaku.
Dari konsep teori keadilan yang diungkapkan oleh Plato dan Aristoteles, maka

tentu ini menjadi salah satu pondasi dasar ketika para majelis BPSK menjalankan

perannya sebagai penengah dalam tercapainya kesepakatan para pencari keadilan yan

gdalam hal ini ialah seorang konsumen dan pelaku usaha. Jangan nantinya bertindak

tidak atas didasarkan pada konsep keadilan sebagaimana mestinya. Agar masyarakat

khususnya berperan sebagai konsumen tidak merasa bahwa hak-hak mereka telah

dilanggar dan tidak diberikan sebagaimana mestinsya sesuai dengan ketentuan aturan

hukum yang berlaku.

Oleh sebab itu Fungsi strategis dari BPSK adalah sebagai instrument hukun

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu melalui konsiliasi, mediasi dan

arbitrase dan melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku

usaha. Dengan asas murah, mudah dan cepat nantinya diaplikasikan dengan benar dan

sewajarnya di publik.

Selain itu Kapabilitas Majelis BPSK yang berlatar belakang keterwakilan unsur

pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan

penyelesaian sengketa. Keterpaduan 3 (tiga) unsur tersebut diharapkan akan dapat

memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa, bukan hanya bagi

konsumen termasuk juga bagi pelaku usaha, karena majelis BPSK akan mengarahkan

menurut sudut pandang masing-masing unsur perwakilan.28

28
Hesti Dwi Atuti, Op.Cit., hal. 578.
18

BAB IV

Efektifitas Penyelesaian Sengketa antara Konsumen dan

Pelaku Usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) Berdasarkan Penerapan Teori Perlindungan

Hukum

Penyelesaian sengketa konsumen telah diatur dalam beberapa Undang-Undang

dan sebaiknya di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di level daerah

diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan

sengketa konsumen, tanpa harus melakukan pengurusan di pusat. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan kemudahan kepada konsumen untuk melakukan upaya hukum yang

tidak menguras energy, biaya dan pikirannya.29

Sehingga untuk dapat mengukur tingkat efektifitas penyelesaian sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK), maka terlebih dahulu para pihak mengetahui tugas dan wewenang dari majelis

BPSK, agar nantinya para pihak tidak miss dalam komunikasi dengan para mejelis

BPSK, sebagai berikut:30

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,dengan cara

melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

29
Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana, 2018), hal.
118.
30
Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
19

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam Undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengeketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindunagn konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang

tidakbersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen;

l. Memberikan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindunagnan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan Undang-undang ini.


20

Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) dalam memainkan perannya

di bidang perlindungan konsumen menganut lima asas, yaitu:31

1. Asas-asas manfaat;

2. Keadilan;

3. Keseimbangan;

4. Keamanaan dan keselamatan konsumen; serta

5. Kepastian hukum.

Di dalam penjelasan pasal ini, ditegaskan bahwa perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama dalam konteks pembangunan nasional. Dari

kelima asas perlindungan konsumen pada Pasal 2 UUPK tersebut, dapat dikatakan

bahwa perlindungan konsumen ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi

yang berbeda, satu sisi merupakan sisi konsumen, sedangkan sisi yang lalinnya sisi

pelaku usaha, dan tidak mungkin hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan

kedua sisinya sekaligus.32

Kecuali dalam asas keempat, yaitu asas keamanan dan keselamatan konsumen,

menunjukkan bahwa perwujudakn kepentingan ini tidak boleh semata-mata

dimanipulasi motif “prinsip ekonomi pelaku usaha” (mendapatkan keuntungan yang

maksimal dengan biaya seminimal mungkin). Artinya tidak dibenarkan motif semata-

mata untuk memupuk keuntungan (laba) dengan mengabaikan keamanan dan

keselamatan konsumen dalam menginsumsi produk barang dan/atau jasa.33

31
Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
32
Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 118.
33
Ibid.
21

Melalui kelima asas tersebut, terdapat komitmen Undang-Undang

Perlindungan Konsumen untuk mewujudkan tujuan perlindungan konsumen, yaitu:34

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. Menumbugkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

Oleh karena itu, penyelesaian sengketa konsumen diusahakan dapat dilakukan

secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win

solution). Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa di luar pengadilan khususnya

34
Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
22

di BPSK memiliki kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dari yang

paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks.35

ANALISA TEORI PERLINDUNGAN HUKUM

Mengenai Efektifitas Penyelesaian Sengketa antara Konsumen dan Pelaku

Usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Berdasarkan Teori

Perlindungan Hukum seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya

bahwasanya Philipus M. Hadjon mengungkapkan:

Perlindungan hukum menjadi suatu standar bahwa hukum itu akan efektif
berlaku di tengah-tengah masyarakat yang heterogen seperti yang ada di Indonesia.
Dengan demkian prinsip perlindungan hukum bagi rakyat adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan prinsip negara hukum. Karena
menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.
Terkait dengan teori perlindungan hukum dalam efektifitas peran BPSK,

berdasarkan aturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya

menitikberatkan pada perlindungan kepada konsumen semata, akan tetapi pada

pelaku usaha juga. Namun, yang seringkali terlihat bahwasanya konsumen sering

menjadi pihak yang dirugikan oleh pelaku usaha, karena memang yang bertindak

sebagai konsumen, seringkali orang-orang yang tidak mengetahui atau awam

terhadap hukum, terutama terkait dengan haknya sebagai konsumen. Oleh karena

itulah pelaku usaha sering memanfaatkan keadaan tersebut dengan melakukan

tindakan-tindakan yang dapat merugikan konsumen.

35
Mia Hadiati, Mariske Myeke Tampi, “Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Di D.K.I. Jakarta”, Jurnal Hukum
PRIORIS, Vol. 6, No. 1, Tahun 2017, hal. 70.
23

Sehingga dalam konteks dirugikannya konsumen, disinilah letak peran dari

lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah dengan tujuan memberikan

perlindungan hukum kepada seluruh elemen masyarakat, seperti yang diungkapkan

oleh Philipus M. Hadjon bahwa memang hak masyarkat ialah untuk dapat

dilindungi harkat dan martabatnyanya. Agar siapapun, dimanapun dan dalam

keadaan apapun sebagai warga masyarakat dalam suatu negara tetap memiliki hak

untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negaranya.

Lebih jauh Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari

Salmond bahwa:36

Hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai


kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah
mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari
suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah:
Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan

hukum yang diberikan kepada konsumen dalam hal ini merupakan gambaran dari

36
Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum Salmond dalam http://digilib.iain-
palangkaraya.ac.id/449/6/File%203%20BAB%20II%20Landasan%20Teori.pdf, diakses pada tanggal
20 Mei 2019.
24

bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Selain itu, fungsi hukum juga untuk

memberikan perlindungan kepada warga masyarakatnya, terutama warga

masyarakat yang ada pada posisi lemah akibat hubungan hukum atau kedudukan

yang tidak seimbang. Demikian halnya dengan Perlindungan hukum adalah suatu

perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum.

Terkait dengan teori perlindungan hukum, maka terkait pula dengan

konteks perlindungan terhadap konsumen dalam hal penyelesaian sengketa oleh

BPSK oleh karena itu, adapun bidang-bidang yang termasuk dalam perlindungan

konsumen, yaitu:37

a. Keselamatan fisik;

b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;

c. Standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan

ganti kerugian;

f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi; dan

g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-

obatan dan kosmetik.

37
Titus Alam Sinaga, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum atas Layanan Pdam
Tirta Siak Kota Pekanbaru Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen”, JOM Fakultas Hukum, Vol. III, No. 2, Oktober 2016, hal. 5.
25

Jadi, teori perlindungan hukum dalam efektifitas penyelesaian sengketa

dilakukan oleh BPSK pada dasarnya telah diterapkan sebagaimana tugas dan

wewenangnya, karena pada dasarnya dibentuknya BPSK dengan tujuan agar

masyarakat khususnya konsumen dan pelaku usaha diberikan wadah untuk dapat

menyelesaikan sengketanya dengan proses atau jalan damai dengan diberi

perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Namun tidak menutup kemungkinan

terdapat upaya-upaya pembelaan yang dilakukan oleh beberapa pihak khususnya

pihak pelaku usaha dalam melindungi dirinya agar tidak mengalami kerugian dan

tidak dijatuhkan sanksi berupa ganti kerugian kepada konsumen sehingga

dilakukannya upaya-upaya menentang hukum dengan power yang dimiliki.


26

BAB V

Kesimpulan

1. Dalam pokok permasalahan utama, penulis memberikan uraian terkait dengan

teori-teori hukum yang menyangkut peran Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) dalam penyelesaian sengketa. Pada dasarnya secara umum teori

yang seringkali digunakan dan sangat memiliki keterkaitan erat dengan tugas,

fungsi dan wewenang BPSK, yaitu teori keadilan dan teori perlindungan hukum.

Kedua teori ini memang memiliki hubungan satu dengan lainnya artinya Antara

keadilan dan perlindungan hukum terkait namun, dalam penerapannya teori

keadilan lebih ditekankan pada aspek kesetaraan atau kesamaan dalam tindakan

hukum yang diberikan oleh aparat yang diamanahkan olehpemerintah dalam hal

penanganan penyelesaian sengketa.

2. Pokok permasalahan kedua, terkait dengan Peran Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) dalam menangani sengketa sebagai bentuk upaya perlindungan

hukum kepada konsumen melalui konsep teori hukum keadilan, bahwa penerapan

teori keadilan merupakan pondasi dasar ketika para majelis BPSK menjalankan

perannya sebagai penengah dalam tercapainya kesepakatan para pencari keadilan

yang dalam hal ini ialah konsumen dan pelaku usaha. Sehingga nantinya seluruh

instrument yang berperan di BPSK bertindak tidak atas dasar konsep keadilan yang

sebenarnya. Agar masyarakat khususnya yang berperan sebagai konsumen tidak


27

merasa bahwa hak-hak mereka telah dilanggar dan tidak diberikan sebagaimana

mestinsya sesuai dengan ketentuan aturan hukum yang berlaku.

3. Pokok permasalahan ketiga terkait dengan efektifitas penyelesaian sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

berdasarkan penerapan teori perlindungan hukum bahwa pada dasarnya telah

diterapkan sebagaimana tugas dan wewenangnya, karena dibentuknya BPSK

dengan tujuan agar masyarakat khususnya konsumen dan pelaku usaha diberikan

wadah untuk dapat menyelesaikan sengketanya dengan proses atau jalan damai

dengan diberi perlindungan hukum sebagaimana mestinya.


28

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dkk., Teori Hukum Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004.

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 2005.

Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Jakarta: Kencana,
2013.

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di


Pengadilan. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.

Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana, 2018.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum Nasional.
Jakarta: Kencana, 2011.

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Satjipto Rahardjo dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori
Keadilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis
Prudence). Jakarta: Kencana, 2009.

Philipus M. Hadjon dalam Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya:


Bina Ilmu, 2002

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila,


Simposium Politik, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum. Surabaya:
Lustrum VII Universitas Airlangga, 1994.
29

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung:


PT Citra Aditya Bakti, 2008.

UNDANG-UNDANG

Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. LN


RI. No. 3821. Tahun 1999.

JURNAL

Bahder Johan Nasution, “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran
Klasik Sampai Pemikiran Modern”, Yustisia, Vol. 3, No. 2, Mei - Agustus
2014.

Hesti Dwi Atuti, “Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Badan


Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. I, No.
02, Edisi Juli-Desember 2015.

Mia Hadiati, Mariske Myeke Tampi, “Efektivitas Mediasi dalam Penyelesaian


Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Di
D.K.I. Jakarta”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 6, No. 1, Tahun 2017.

Zainul Akhyar, Harpani Matnuh dkk., “Peran Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK)
Kota Banjarmasin”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 10,
November 2015.

Titus Alam Sinaga, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum atas Layanan
Pdam Tirta Siak Kota Pekanbaru Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, JOM Fakultas Hukum, Vol.
III, No. 2, Oktober 2016.

INTERNET

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum Salmond dalam


http://digilib.iain-palangkaraya .ac.id/449/6/ File%203%20BAB %20II%20L
andasan% 20Teori.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2019.

Anda mungkin juga menyukai