Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan dalam sistem kemasyarakatan apalagi setelah adanya
pemisahan antara rumah tangga pribadi, rumah tangga raja dan rumah tangga negara atau
dengan kata lain sudah mulai terbentuknya negara, upeti yang semula hanya untuk
kepentingan raja mulai mendapat tempat sebagai pendapatan negara.1 Seiring dengan
perkembangan zaman, pajak telah menjadi primadona sebagai sektor yang memberikan
penerimaan terbesar bagi negara serta merupakan salah satu sumber dana utama dalam
melakukan pembangunan termasuk di negara Indonesia.
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terhutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali,
yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.2
Pajak pada mulanya merupakan upeti atau pemberian secara cuma-cuma, namun
sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh
masyarakat kepada seorang raja atau penguasa. Pada masa dahulu rakyat/masyarakat
memberikan pajak atau upeti berupa benda natura seperti padi, ternak dan hasil tanam
lainnya seperti pisang, kelapa dan sebagainya. Pemberian tersebut dilakukan karena
kedudukan raja yang tinggi dalam struktur kemasyarakatan pada waktu itu.3 Dalam
perkembangannya sifat upeti tidak hanya diberikan untuk kepentingan raja/penguasa, tetapi
sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri yaitu upeti yang diberikan digunakan
sebagai alat untuk meminta perlindungan keamanan, maupun untuk melakukan kepentingan
umum lainnya. Dengan kata lain upeti/pajak sudah mempunyai kepentingan yang bertimbal
balik.
Besarnya peran yang diberikan oleh pajak sebagai sumber dana dalam pembangunan
nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang ada dalam masyarakat

1
Erly Suandi, Hukum Pajak, edisi 4, cetakan 2, Salemba Empat, Jakarta, 2008, Hlm. 1. 2
2
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, PT. Eresco, Bandung, 1987, Hlm.2
3
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2004, Hlm.1
2

sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan bangsa ini. Salah satu
sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta
perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah jenis Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).4 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut
pajak.5
Dasar hukum pemungutan atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikeluarkan pada tanggal 29 Mei 1997. Bagi mereka
yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajib menyetorkan kepada negara melalui
pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).6
Dalam perkembangannya sesuai juga dengan perubahan yang terjadi dalam
kehidupan dan perekonomian bangsa Indonesia, maka pada tahun 2000, dilakukan
penyempurnaan terhadap Undang-Undang BPHTB dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang BPHTB.
Salah satu hal pokok yang dirubah adalah dengan diperluasnya cakupan objek pajak
untuk mengantisipasi terjadinya perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam bentuk
terminologi yang baru. BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan
dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak baru
kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak.7
Notaris sebagai pejabat umum dalam melakukan pekerjaannya sebagai pembuat akta,
tidak bisa lepas dari kewajiban administrasi perpajakan yang secara langsung berhadapan
dengan calon wajib pajak. Notaris sebagai perpanjangan tangan pemerintah diharapkan dapat
membantu upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan pajak sesuai pelaksanaan
tugas dan wewenangnya, diantaranya memastikan klien sebagai wajib pajak telah membayar
ke dalam kas negara sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh klien seperti

4
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I,PT. Raja
Grafindo, Jakarta 2003, Hlm. 6
5
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati, Perpajakan Indonesia, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2009, Hlm. 677
6
Indonesia, Memori Penjelasan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
7
Marihot Pahala Siahaan, Op.cit, Hlm. 57
3

dalam proses pengalihan hak atas tanah. Walaupun mengenai hal tersebut tidak masuk dalam
kewenangan notaris baik secara umum maupun secara khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam proses pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan berkaitan dengan beberapa macam pajak yaitu Pajak Penghasilan (PPh) bagi
mereka yang memberikan hak atas tanah dan atau bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan.
Berdasarkan uraian-uraian yang tersebut, penyusun tertarik untuk membahas
permasalahan tentang “Perkembangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang diangkat dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ?
2. Bagaimana peran notaris sebagai pejabat pembuat akta tanah dalam pemungutan bea
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB) sebelum penandatanganan akta
pengalihan hak atas tanah ?

C. Tujuan
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan
dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkembangan bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan.
2. Untuk mengetahui peran notaris sebagai pejabat pembuat akta tanah dalam pemungutan
bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB) sebelum penandatanganan
akta pengalihan hak atas tanah.

D. Landasan Teori
1. Teori Pemungutan Pajak
a. Teori Asuransi8

8
http://hukum-pajak.blogspot.com/2010/04/teori-pemungutan-pajak.html, diakses terakhir pada
tanggal 13 Juni 2019
4

Asuransi sebagai salah satu teori pemungutan pajak , suatu negara dalam melaksanakan tugasnya,
mencakup pula tugasnya untuk melindungi jiwa raga dan harta benda per individu. Oleh karena
itu, negara diibaratkan dengan perusahaan asuransi. Maka keselamatan dan keamanan jiwanya
dilindungi oleh negara. Dalam asuransi yang wajib dibayarkan adalah premi, sedangkan dalam
suatu negara yang wajib dibayarkan oleh masing-masing individu adalah pajak. Teori
asuransi ini sebagai teori pemungutan pajak sudah tidak lagi digunakan, apabila premi
diartikan sama dengan pajak. kurang tepat, karena premi dalam teori ini seharusnya sama
dengan retribusi yang kontra-prestasinya dapat dirasakan secara langsung
oleh pemberi premi. Sedangkan pajak,kontra-prestasinya tidak dapat dirasakan secara
langsung sebagaimana pengertian dari pajak sendiri.
b. Teori Kepentingan 9
Menurut Teori ini, pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu, yang
diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin banyak individu mengeyam atau menikmati
jasa dari pekerjaan pemerintah , makin besar pula pajaknya. Walaupun teori ini masih
berlaku pada retribusi,akan tetapi sulit untuk dipertahankan karena seseorang yang
miskin dan pengangguran yang banyak memperoleh bantuan
dari pemerintah dan menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, justru mereka
malah enggan membayar pajak.
c. Teori Daya Pikul10
Teori ini mengemukakan bahwa semua orang dalam pembebanan pajak harus
sama beratnya, artinya pajak harus dibayarkan sesuai dengan daya pikul masing masing
individu. Definisi dari daya pikul berbeda-beda, akan tetapi substansinya sama,menurut
Prof.W.J de langen yaitu besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan
kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak kebutuhan primer
(biaya hidup yang sangat mendasar). Menurut Mr.A.J.Cohan Stuat adalah daya pikul itu
diumpakan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri
sebelum dicoba untuk dibebani dengan bebanyang lain. Dalam hal ini, untuk mengukur
daya pikul digunakan dua pendekatan yaitu :

9
Ibid.,
10
https://www.akuntansilengkap.com/pajak/8-teori-dan-asas-pemungutan-pajak/, diakses terakhir pada tanggal
13 Juni 2019
5

1) Unsur obyektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang.
2) Unsur subyektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang
harus dipenuhi.
d. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti11
Teori ini didasari paham organisasi Negara (organische staatsleer) yang mengajarkan
bahwa Negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan
termasuk keputusan dibidang pajak. Menurut sifat ini maka Negara mempunyai hak
mutlak untuk memungut pajakdan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya.
e. Teori Daya Beli12
Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara yang dimaksudkan untuk
memelihara masyarakat pada negara yang bersangkutan. Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton,
teori ini memiliki sifat yang universal dan berlaku diseluruh dunia. Dengan kata lain, kemaslahatan suatu
masyarakat akan tetap terjamin dengan adanya pembayaran pajak berdasarkan teori gaya belli ini.
f. Teori Kedaulatan Negara13
Teori ini juga sebagai reaksi dari kedaulatan rakyat, tetapi melangsungkan teori
kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Menurut paham ini, negaralah sumber
dalam negara. Dari itu negara (dalam arti government=pemerintah) dianggap mempunyai
hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan property dari warganya.Warga negara
bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran
negara. Mereka taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu adalah
kehendak negara. Hal ini terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche Publizisten Schule,
yang memberikan konstruksi pada kekuasaan raja Jerman yang mutlak, pada suasana
teori kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena mendapat dukungan yang
besar dari 3 golongan yaitu:
1) Armee (angkatan perang).
2) Junkertum (golongan idustrialis).

11
https://www.scribd.com/doc/168485383/2-Teori-Teori-Pemungutan-Pajak-Dan-Pembagian-Pajak, diakses
terakhir pada tanggal 14 Juni 2019
12
Ibid.,
13
Ibid.,
6

3) Golongan Birokrasi (staf pegawai negara).


Sehingga praktis rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan tidak memiliki
kedaulatan. Oleh karena itu menurut sarjana-sarjana D.P.S kedaulatan bulat pada rakyat.
Tetapi wewenang tertinggi tersebut berada pada negara. Sebenarnya negara hanyalah alat,
bukan yang memiliki kedaulatan. Jadi ajaran kedaulatan negara ini adalah penjelamaan
baru dari kedaulatan raja. Karena pelaksanaan kedaulatan adalah negara, dan negara
adalah abstrak maka kedaulatan ada pada raja.
g. Teori Perjanjian14
Perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah
perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-
masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terkait untuk
mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian
sama dengan perundang-undangan, tetapihanya berlaku khusus untuk para pembuatnya
saja. Secara hukum, perjanjian dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum
memberikan sanksi pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi)
2. Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalan kajian hukum
tata Negara dan hukum administrasi. Sebegitu pentingnya kewenangan ini sehingga
F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek menyatakan: "Het Begrip bevoegdheid is dan ook een
kembegrip in he staats-en administratief recht".15Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu
pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata Negara dan hakum
administrasi.
Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan "authority" dalam bahasa
inggris dan “bevoegdheid" dalam Bahasa Belanda. Authority dalam Black's Law
Dictionary diartikan sebagai Legal Power; a right to command or to act; the right and
power of publik officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of
their public duties.16 (kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk

14
Ibid.,
15
Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama.
Yogyakarta, 2008, hlm 65.
16
Ibid.,
7

memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan
hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).
Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya teidiri dari tiga
komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum:17
a. Komponen pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum.
b. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu dapat ditunjukkan dasar
hukumnya.
c. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar
umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu)
Sejalan dengan pilar utama Negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits
beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan hukum
administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintah yaitu : atribusi
dan delegasi; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk
memperoleh wewenang.18
Demikian juga pada setiap perbuatan pemerintah diisyaratkan harus bertumpu
pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah, seorang pejabat atau
badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.
Kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat atau bagi setiap badan.
Kewenangan yang sah bila ditinjau dari sumber darimana kewenangan itu lahir atau
diperoleh maka terdapat tiga kategori kewenangan. yaitu Atribut, Delegatif dan Mandat,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:19
a. Kewenangan Atribut
Kewenangan atribut biasanya digariskan atau berasal dari adanya pembagian
kekuasaan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan kewenangan
atributif ini pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera
dalam peraturan dasarnya. Terhadap kewenangan atributif mengenai tanggung jawab

17
Ibid., hlm. 66
18
Ibid, hlm 70.
19
Ibid., hlm. 70-75
8

dan tanggung gugat berada pada pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam
peraturan dasanya.
b. Kewenangan Delegatif
Kewenangan Delegatif bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada
organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal kewenangan
delegatif tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi wewenang
tersebut dan beralih pada delegataris.
c. Kewenangan Mandat
Kewenangan Mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses atau
prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau
badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan
dan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas.
Dalam kaitannya dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu dinyatakan oleh
J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, bahwa:
a. With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent
legislative body. The power is intial (originair), which is to say that is not derived
from a previously non sexistent powers and assigns them to an authority.
b. Delegations is the transfer of an acquird attribution of power from one administrative
authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can
exercise power its own name.
c. With mandate, there is no transfer, but the mendate giver (mandans) assigns power to
the other body mandataris) to make decisions or take action in its name.
Brouwer berpendapat pada atribusi, kewenangan diberikan kepada suatu badan
administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang
tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikamnya
kepada yang berkompeten.
Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang
satu kepada yang lainnya, sehingga delegator/ delegans (badan yang telah memberikan
kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak
terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan
9

kewenangan kepada badan lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau
mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan yang mendasar yang lain antara kewenangan atribusi dan delagasi.
Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam
kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-
besaran, akan tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum
menentukan mengenai kemungkinan delegasi.
Konsep kewenangan dalam hukum administrasi Negara berkaitan dengan asas
legalitas, dimana asas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
bahan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan disetiap negara
hukum terutama bagi negara-negara hukum yang menganut system hukum eropa
continental. Asas ini dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de
wet).20 Asas ini dikenal juga didalam hukum pidana (nullum delictum sine previa lege
peonale yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-undang).21 Didalam hukum
administrasii negara asas legalitas ini mempunyai makna dat het bestuur aan wet is
onderworpnen, yaknı bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang. Asas ini
menupakan sebuah prinsip dalam negara hukum.
Berkaitan dengan peran notaris sebagai pejabat pembuat akta tanah dalam
pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB) sebelum
penandatanganan akta pengalihan hak atas tanah merupakan kewenangan atribut yang
biasanya digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, notaris memiliki kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris yaitu memberikan penyuluhan hukum yang telah diatur
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris kepada para pihak
yang bersangkutan terkait dengan akta yang dibuatnya sehingga notaris atau Pejabat
Pembuat Akta Tanah dapat melaksanakan penandatanganan akta pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah proses pembayaran pajak selesai dilakukan

20
Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik,
UNY Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 89
21
Ibid.,
10

E. Metode Pendekatan
Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan antara lain :
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual adalah suatu pendekatan beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.Dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam
membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang diteliti.
b. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Hal yang dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan
sebagai dasar awal melakukan analisis.22 Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu
hukum yang diteliti. pendekatan ini juga tergantung pada fokus penelitian, pendekatan ini
fokusnya berbeda untuk kepentingan yang berbeda.

22
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cet.1,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 185
11

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Sejarah berlakunya BPHTB seperti yang telah diketahui bahwa sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia atau
yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), setiap pemindahan hak atas
harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonansi
Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Obyek Bea Balik Nama (BBN) menurut
ordonansi tersebut adalah pemindahan hak yang dilakukan dengan pembuatan akta
berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1834 Nomor 27.
Berlakunya UUPA membawa konsekuensi, bahwa pungutan Bea Balik Nama (BBN)
atas harta tetap berupa tanah tidak dapat dilaksanakan, karena pungutan tersebut
melekat pada hukum tanah berdasarkan Buku II KUH Perdata. Sedangkan Buku II KUH
Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
telah dicabut oleh UUPA. Dengan demikian sejak berlakunya UUPA, Bea Balik Nama
(BBN) atas tanah tidak dipungut lagi. Maka dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum
dalam upaya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria yang bersifat nasional
dan memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan bagi rakyat Indonesia, dan
untuk menggantikan pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah, maka
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk memberlakukan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB disahkan pada tanggal 29
Mei 1997 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1998 dan mencabut Ordonansi Bea Balik
Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Pada masa awal berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ini, keadaan
perekonomian negara Indonesia sedang dalam keadaan yang memerlukan pembenahan
secara menyeluruh di segala sektor. Dengan pertimbangan usulan dari berbagai pihak
terutama pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
12

tanah dan bangunan seperti Real Estate Indonesia ditambah lagi dengan keadaan
perekonomian yang sedang kurang kondusif maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditangguhkan
pemberlakuannya selama 6 (enam) bulan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1997
tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
BPHTB.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998, dan dengan demikian maka pemberlakuan terhadap aturan tentang
BPHTB berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 1998. Seiring dengan perkembangan yang terjadi
dalam masyarakat, maka terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan penyempurnaan untuk
menghadapi perubahan yang cepat yang terjadi dalam masyarakat. Terhadap penyempurnaan
tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB.
Adapun tujuan pembentukan Undang-Undang tentang BPHTB, yaitu23 perlunya
diadakan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah
pernah dilaksanakan dan dilakukan sebagai upaya kemandirian bangsa untuk memenuhi
pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya dalam menyelenggarakan pemerintahan
umum dan pembangunan. Salah satu hal pokok yang di ubah adalah dengan diperluasnya
cakupan obyek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan
dalam bentuk terminologi yang baru.
Berdasarkan pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1997 maka pokok-pokok perubahan yang dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 adalah:24
1. Memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan dalam bentuk terminologi yang baru;
2. Meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi
bagi pejabat dan wajib pajak yang melanggar;

23
Marihot Pahalamana Siahaan, Op. Cit. Hlm 44
24
Ibid.,Hlm. 52-53
13

3. Memberikan kemudahan dan perlindungan hukum kepada wajib pajak dalam


melaksanakan kewajibannya, dan
4. Menyesuaikan ketentuan BPHTB dengan ketentuan yang berkaitan dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.

Adapun beberapa hal penting yang diubah dengan berlakunya Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2000 adalah berikut ini:25
1. Mempertegas dasar hukum jenis hak atas tanah dan atau bangunan yang diatur di
luar UUPA, yaitu dengan secara tegas menetapkan bahwa hak yang merupakan
objek pajak, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Sususn. Hal ini dilakukan dengan memasukkannya pada batang tubuh
undang-undang, yaitu pada Pasal 1.
2. Menambah objek pajak baru dengan memasukkan perolehan hak kaena waris
sebagai objek pajak. Semula perolehan hak karena waris ini sesuai dengan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 merupakan perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang bukan merupakan objek pajak BPHTB (tidak dikenakan BPHTB).
3. Mengakomodasi bentuk transaksi ekonomi akibat perkembangan dunia usaha dan
menetapkan perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai akibat tiga bentuk
perkembangan dunia usaha, yaitu penggabungan usaha, peleburan usaha, dan
pemerkaran usaha sebagai objek pajak. Semula ketiga jenis perkembangan usaha
tersebut tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997.
4. Menyesuaikan pasal-pasal terkait dengan penetapan objek pajak baru
sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 di atas.
5. Pengenaan objek waris diatur dengan peraturan pemerintah dan tidak diatur
tersendiri (secara khusus) dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
6. Dasar pengenaan pajak dan saat terutangnya pajak sisesuaikan terutama dengan
masuknya empat jenis objek pajak baru di atas.
7. Harga transaksi lelang yang terdapat pada risalah lelang langsung digunakan
sebagai dasar pengenaan pajak tanpa perlu membandingkannya dengan NJOP.
Hal ini berarti atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena lelang dimana
NJOP lebih besar daripada harga transaksi lelang tidak perlu lagi dimintakan
pengurangan oleh pihak yang memperoleh hak karena lelang tersebut.
8. Penetapan besarannya NPOPTKP yang semula ditetapkan secara nasional
(berlaku sama untuk semua daerah di Indonesia) diubah menjadi berlaku secara
ragional, dimana besarnya NPOPTKP berbeda antar daerah, kota dan kabupaten
yang ada di Indonesia.
9. NPOPTKP ditetapkan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. NPOPTKP dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan selain karena
hibah dan waris, ditetapkan setinggi-tingginya Rp.60.000.000,00; dan
b. NPOPTKP dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris
dan hibah wasiat kepada keturunan sedarah dalam garis keturunan lurus satu

25
Ibid.,Hlm. 53-54
14

derajat ke atas atau satu derajat ke bawah, termasuk suami atau istri,
ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 300.000.000,00.
10. Ketentuan tentang pengurangan diatur dengan jelas dalam batang tubuh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000. Semula ketentuan ini hanya diatur dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Ada empat hal yang dapat
menjadi alas an wajib pajak mengajukan pengurangan pajak terutang, yaitu:
a. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak;
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu;
c. Kondisi wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter;
d. Penggunaan untuk kepentingan social atau pendidikan.
11. Kepastian tetap berlakunya peraturan pelaksanaan yang sudah ada, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000

Undang-Undang mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB)
berkaitan erat dengan di berlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 dimana pelaksanaannya berhubungan dengan kebijakan mengenai struktur pemerintah
pusat dan daerah. Dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2),
kewenangan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menjadi pajak
daerah. Khususnya di Kota Mataram, kewenangan pengelolaan BPHTB berada pada
Pemerintah Kota Mataram yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Adapun yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud meliputi:
1. Pemindahan hak karena :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. hibah wasiat;
e. waris;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
h. penunjukan pembeli dalam lelang;
15

i. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;


j. penggabungan usaha;
k. peleburan usaha;
l. pemekaran usaha; atau
m. hadiah.
2. Pemberian hak baru karena :
a. kelanjutan pelepasan hak; atau
b. diluar pelepasan hak.
Adapun enam hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB. yaitu terdiri dari :
1. Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah, hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi juga hak atas
sebagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
5. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan
penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Undang-Undang BPHTB lebih lanjut menentukan ada tiga kemungkinan perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan yang menjadi objek pajak, yaitu perolehan hak atas tanah
16

termasuk tanaman di atasnya, perolehan hak atas tanah dan bangunan, serta perolehan hak
atas bangunan. Perolehan hak atas tanah sangat umum ditemui dalam praktik sehari-hari
yaitu perolehan hak atas tanah sawah, lading, kavling siap bangun, dan tanah kosong lainnya.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan juga sangat banyak dilakukan oleh masyarakat,
misalnya perolehan hak karena jual beli, hibah, waris, dan sebagainya atas rumah tinggal,
pabrik,kantor, mal, san sebagainya.
Mungkin yang jarang ditemui dalam praktek adalah perolehan hak atas bangunan
(saja). di beberapa tempat (bandung) dapat ditemui keadaan dimana seseorang
dimungkinkan untuk membangun rumah di atas tanah milik negara yang disewanya dari
pemerintah daerah setempat. Hak sewa tanah milik negara tersebut dapat dialihkan pada
pihak lain dan bangunan rumah yang ada di atasnya dijual kepada pihak lain yang
menginginkan bangunan dan hak sewa atas tanah tersebut. Pada contoh ini, yang terjadi
adalah perolehan hak atas banunan rumah tersebut saja, sementara hak atas tanah tidak
beralih karena tetap sebagai tanah negara.26
Selanjutnya ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BPHTB jo. Pasal 5 Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa yang
menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, ini menunjukan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak.
Badan atau badan hukum adalah organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya yang
pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai personal atau
sebagai orang, dimana subjek pajak terrsebut dikenakan kewajiban untuk membayar pajak.
Sebagaimana undang-undang pajak lainnya, selalu ada pengecualian pengenaan pajak
atas perbuatan atau keadaan yang seharusnya dikenakan pajak. Pada BPHTB juga terdapat
beberapa perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Pengecualian
objek pajak ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 jo.
Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang

26
Ibid.,Hlm.58
17

menentukan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh:27
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan hukum karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6. Orang pribadi atau badan, yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

B. Peran Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) Sebelum Penandatanganan
Akta Pengalihan Hak Atas Tanah.
Dalam menjalankan profesinya, notaris memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat yang diatur dalam UUJN. Pejabat umum diartikan sebagai jabatan yang diserahi
tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti
itu diberikan kepada notaris.28
Notaris juga memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan
Pertanahan yang diatur dalam Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Kewenangan tersebut adalah sepanjang mengenai hak atas tanah yang belum memiliki status
hak, peralihan haknya dapat dibuat berdasarkan akta Notaris. Penyerahan hak atas tanah
tersebut selalu diikuti dengan adanya jual beli bangunan rumah tinggal berikut segala sesuatu
yang telah ada dan/atau kemudian hari akan didirikan dan ditanam diatas tanah tersebut, yang
menurut sifatnya, peruntukkannya ataupun penetapan Undang-Undang dianggap sebagai

27
Ibid.,Hlm.66-67
28
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama,
Surabaya , 2009, Hlm. 27
18

benda tetap. Sehingga akta yang dibuat oleh Notaris atau PPAT adalah akta pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat yang
mempunyai fungsi khusus untuk mewakili negara yang berstatus sebagai pejabat umum.
Sebagai pejabat umum, PPAT diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik dalam
perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan
pengertian PPAT dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pembuat Akta
Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.
Berdasarkan pengertian-pengertian dalam peraturan-peraturan tersebut, jelaslah
bahwa PPAT adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik.
Tugas pokok PPAT sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan
Pembuat Akta Tanah adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Berkaitan dengan pembuatan akta pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
tersebut tidak terlepas dari administrasi perpajakan antara lain PPh Final dalam Pasal 4 ayat
(2) dan BPHTB. Sebelum akta tersebut dibuat, notaris harus memberikan penyuluhan dan
penjelasan mengenai beban-beban pajak tersebut yang akan timbul yang wajib dibayar oleh
masing-masing pihak. Sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN.
Akta pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dibuat oleh notaris atau
PPAT adalah sebagai suatu kelengkapan yang dibutuhkan oleh seseorang sebagai bukti
perolehan kepemilikan hak atas tanahnya dalam rangka permohonan penerbitan Sertipikat
hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat. Namun, sebelum
membuat akta pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan terlebih dahulu Notaris atau
PPAT harus memperhatikan beberapa administrasi perpajakan yang menjadi kewajiban para
19

pihak berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah tersebut sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku. Pada dasarnya dalam perhitungan pajak wajib pajak seharusnya
melakukan perhitungan sendiri sesuai dengan sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia
yaitu self assessment.
Namun kadang kala Notaris atau PPAT setelah memberikan penyuluhan dan
penjelasan, diminta bantuannya untuk melakukan perhitungan tersebut. Notaris selain
memberikan penyuluhan dan penjelasan serta membantu masyarakat menghitung pajak yang
menjadi beban para pihak, notaris atau PPAT juga sering diminta bantuannya untuk
membayarkan dan melakukan validasi PPh dan BPHTB atas pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan dalam kaitan pembuatan akta penyerahan hak tersebut.
Peran notaris atau PPAT dalam pemungutan pajak atas tanah dan atau bangunan yaitu
sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dalam bidang perpajakan. Peran notaris atau
PPAT sebagai pintu gerbang penerbitan NPWP baru yang dibuat berdasarkan domisili wajib
pajak, dalam hal ini jika para pihak dalam akta tersebut belum memiliki NPWP. NPWP
dibutuhkan karena formulir Surat Setoran Pajak Penghasilan maupun formulir pembayaran
BPHTB selain identitas obyek pajak, juga dicantumkan identitas subyek pajak yaitu nama,
alamat dan NPWP wajib pajak.
Notaris atau PPAT memiliki peran yang signifikan dalam pemungutan pajak yaitu
dalam rangka membantu pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak untuk
mengumpulkan pajak dari wajib pajak dan secara spesifik dalam hal memberikan data yang
akutan kepada Direktorat Jendral Pajak. Pemberian data yang akurat tersebut, yang semuanya
tertera dalam akta yang dibuat oleh Notaris atau PPAT, berikut pemberian Laporan
Pembuatan Akta setiap bulannya kepada Direktorat Jendral Pajak yang dilakukan oleh
Notaris atau PPAT. Peran notaris atau PPAT sebagai penyuluh hukum kepada wajib pajak
agar wajib pajak lebih patuh lagi dan lebih jujur dalam hal Nilai transaksi yang dilakukan
dalam pengalihan hak. Pembayaran PPh dan BPHTB sebelum penandatanganan akta
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan berfungsi sebagai pengaman bagi notaris atau
PPAT.
Tanggung jawab notaris atau PPAT sebagai pepanjangan tangan dari pemerintah
dalam bidang perpajakan sangatlah berat, sebab disamping produk yang dihasilkan
merupakan produk yang memiliki konsekuensi di bidang hukum, notaris juga berkewajiban
20

mengamankan pemasukan uang negara di bidang hukum yaitu PPh dan BPHTB. Dalam hal
pembuatan akta pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dituntut kehati-hatian dan
tanggung jawab notaris sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah di garis terdepan,
diharapkan notaris tidak ikut serta dalam mengatur soal kesepakatan harga diantara penjual
dan pembeli. Kehati-hatian tersebut juga merupakan cerminan dari kewajiban yang dituntut
untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak
terkait dalam perbuatan hukum yang tercantum di dalam Pasal 16 UUJN.
21

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam perkembangannya, sesuai juga dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan
dan perekonomian bangsa Indonesia, pada tahun 2000 dilakukan penyempurnaan
terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang salah satu hal pokok yang dirubah adalah dengan
diperluasnya cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dalam bentuk terminologi yang baru. Dan dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), kewenangan pengelolaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menjadi pajak daerah. Khususnya di Kota
Mataram, kewenangan pengelolaan BPHTB berada pada Pemerintah Kota Mataram yang
diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
2. Peran notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pemungutan Pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebelum penandatangan akta pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan yaitu memberikan penyuluhan hukum yang telah diatur
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris kepada para pihak
yang bersangkutan terkait dengan akta yang dibuatnya sehingga notaris atau Pejabat
Pembuat Akta Tanah dapat melaksanakan penandatanganan akta pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah proses pembayaran pajak selesai dilakukan. Peran
tersebut memiliki besar pengaruh untuk negara dalam rangka meningkatkan sumber
penerimaan negara yang berasal dari pajak yang sebenarnya bukan merupakan
kewenangan utama seorang notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana
diuraikan dalam UUJN.
22

B. Saran
1. Diharapkan agar pemerintah khususnya di Kota Mataram dapat meningkat kesadaran
hukum masyarakat terutama dalam rangka memperoleh kepastian hukum tentang alas hak
atas tanah yang dikuasai dan diusahainya, juga terkait dengan kewajiban wajib pajak. Hal
ini dapat ditingkatkan dengan adanya penyuluhan maupun sosialisasi terkait dengan
kewajiban masyarakat dalam memenuhi kewajiban pajaknya, sehingga masyarakat atau
wajib pajak lebih memahami peran dan kewajibannya dalam perpajakan. Dan diharapkan
dengan adanya penegakan hukum dan keadilan dalam bidang pajak, dapat juga
menegakkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat karena hukumlah yang
menentukan bagaimana kita seharusnya hidup dalam masyarakat yang dicita-citakan.
2. Notaris PPAT diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam membantu upaya
pemerintah meningkatkan pendapatan pajak sesuai pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
diantaranya dengan memastikan klien sebagai wajib pajak telah membayar ke dalam kas
negara sebagai akibat dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh klien tersebut walaupun
mengenai hal tersebut tidak masuk dalam kewenangan notaris baik secara umum maupun
secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN, juga mengkaji dan
memberikan masukan bagi pembangunan supremasi hukum dan peraturan perundang-
undangan di bidang pajak.

Anda mungkin juga menyukai