Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

TYPOID

1. Defenisi
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Suddart, 2005 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella
Thypi. ( Arief, 2006 ).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella Typhosa, Salmonella type A.B.C. Penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. (Arief, 2006)
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. Sinonim dari penyakit ini adalah typhoid dan paratyphoid
abdominalis, (Ngastiyah, 2005).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever,
enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Ngastiyah, 2005).

2. Etiologi
a. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora
mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
 antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
 antigen H(flagella)
 antigen V1 dan protein membrane hialin.
b. Salmonella parathypi A
c. salmonella parathypi B
d. Salmonella parathypi C
e. Faces dan Urin dari penderita thypus (Doengoes, Marilyn E, 2002)
3. Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala
awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
 Perasaan tidak enak badan
 Lesu
 Nyeri kepala
 Pusing
 Diare
 Anoreksia
 Batuk
 Nyeri otot (Arif, 2006).
Menyusul gejala klinis yang lain
 Demam
Demam berlangsung 3 minggu
 Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
 Minggu II : Demam terus
 Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur
 Gangguan Pada Saluran Pencernaan
 Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang
disertai tremor
 Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
 Terdapat konstipasi, diare
 Gangguan Kesadaran
 Kesadaran yaitu apatis – somnolen
 Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
(Evelyn C, Pearce, 2002).
 Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam thypoid, akan tetap berlangsung
ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali,
terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
4. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F
yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan
yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi
masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak,
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman
selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.
Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena
membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. (Brunners & Suddart, 2005)
Pathway
5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
 Perdarahan usus
 Perporasi usus
 Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
 Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
 Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
 Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
 Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
 Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
 Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
(Tarwono, Wartonah, 2004)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri
dari :
1) Pemeriksaan Darah Tepi
 Terdapat gambaran leucopenia
 Limfositosis relative
 Ameosinofila pada permulaan sakit
 Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan
2) Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
3) Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif
tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan
darah tergantung dari beberapa faktor :
 Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
 Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
 Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
 Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4) Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid.
(Suriadi dan Yuliani, R., 2001)
7. Penatalaksanaan
1) Perawatan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi
perdarahan.
2) Diet
a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3) Obat-obatan
Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit thypoid. Waktu penyembuhan bisa
makan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol,
trimethoprim sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid
di negara-negara barat. Obat-obat antibiotik adalah
a. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian,
oral atau intravena, selama 14 hari.
b. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol, diberi ampisilin dengan dosis 200
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian intravena saat belum dapat minum obat,
selama 21 hari.
c. amoksisilin amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian
oral/intravena selama 21 hari.
d. kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari.
e. Pada kasus berat, dapat diberi ceftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali
sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
f. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem,
azithromisin dan fluoroquinolon
(Sudoyo, Aru W, 2006)
Asuhan keperawatan

I. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut,
pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan sehingga
makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine
tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan
demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan
merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi
maka segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak
mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410C, muka kemerahan.
2) Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3) Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti
bronchitis.
4) Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
5) Sistem integumen
Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
6) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia,
dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.
7) Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8) Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan
pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus
meningkat.

II. Diagnosa keperawatan


1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan usus halus
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral
yang kurang (mual, muntah)
3. Perubahan nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuhberhubungan dengan mual, muntah,
anoreksia
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
III. Intervensi
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan usus halus
Tujuan : suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil ;
 Tidak demam
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
 Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh tiap 2 – 4 jam.
R/: Mengetahui keadaan umum pasien
 Berikan kompres dingin.
R/: Mengurangi peningkatan suhu tubuh
 Atur suhu ruangan yang nyaman.
R/: Memberikan suasana yang menyenangkan dan menghilangkan ketidaknyamanan.
 Anjurkan untuk banyak minum air putih
R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi dengan asupan
cairan yang banyak
 Kolaborasi pemberian antiviretik, antibiotik
R/: Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik menghambat
pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri
2. Kurangnya volume cairan b/d peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang kurang (mual,
muntah)
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
 Tidak mual
 Tidak demam dan tidak muntah
 Suhu tubuh dalam batas normal

Intervensi:

1) Jelaskan kepada pasien tentag pentingnya cairan

R/: Agar pasien dapat mengetahui tentang pentingnya cairan dan dapat memenuhi kebutuhan
cairan.

2) Monitor dan catat intake dan output cairan

R/: Untuk mengetahui keseimbangan intake da output cairan

3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antiemetic


R/: Untuk mengetahui pemberian dosis yang tepat

4) Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit

R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari
kehilangan cairan

5) Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah

R/: Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok

6) Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan

R/: Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan

7) Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat

R/: Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh

3. Perubahan nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuh b/d mual, muntah, anoreksia

Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil :

1) Tidak demam

2) Mual berkurang

3) Tidak ada muntah

4) Porsi makan tidak dihabiskan

Intervensi:

1) Berikan makanan yang tidak merangsang saluran cerna, dan sajikan dalam keadaan hangat

R/: Untuk menimbulkan selera pasien dan mengembalikan status nutrisi

2) Monitor dan catat makanan yang dihabiskan pasien

R/ : Untuk mengetahui keseimbangan haluaran dan masukan

3) Kaji kemampuan makan klien

R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya

4) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering

R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah

5) Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein


R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat

6) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai

R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien

7) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung
gas/asam, peda

R/: Dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan menurunkan
asupan nutrisi

8) Kolaborasi berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi

R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah

4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan

Tujuan : nyeri hilang/berkuran

Kriteria hasil :

1) Tidak ada keluhan nyeri

2) Wajah tampak tampak rileks

3) TTV dalam batas normal

Intervensi:

1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri

R/: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana
nyeri dipersepsikan.

2) Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.

R/: Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot.

3) Ajarkan tehnik nafas dalam

R/: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri

4) Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas
hiburan yang tepat

R/: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian

5) Kolaborasi obat-obatan analgetik

R/: Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunners & Suddart, 2005, Buku Ajar Keperawatan, Edisi 8, Penerbit EGC, Jakarta.
2. Doengoes, Marilyn E, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
pendokumentasian Tujuan Perawatan Pasien, Edisi III, EGC, Jakarta.
3. Evelyn C, Pearce, 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
4. Nursalam, 2001, Proses Dokumentasi Keperawatan, Edisi I, Salemba Medika, Jakarta.
5. Sudoyo, Aru W, 2006 , Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid III, FKUI, Jakarta.
6. Tarwono, Wartonah, 2004, Kebutuhan Dasar Manusi dan Proses Keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta
7. Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid I. Jakarta: EGC.\
8. Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.
9. Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
10. Suriadi dan Yuliani, R., 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, CV. Sagung Seto, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai