Anda di halaman 1dari 3

Topik : Sila ke-4

Fenomena : Penyimpangan Sila ke-4 ditemukan terjadi pada revisi UU MD3.

Pembahasan

UU MD3 adalah undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Undang-undang
ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD, dan DPD.
Hak, kewajiban, kode etik, serta detail dari pelaksanaan tugas juga diatur dalam undang-
undang tersebut. Aturan ini menggantikan UU Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD3 yang
dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum. UU ini terdiri atas 428 Pasal yang
disahkan pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya
disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari 2018.

Pemerintah dan DPR RI sudah menyepakati revisi UU MD3 yang disahkan dalam
Paripurna, tetapi ternyata hal itu menuai kontroversi dari berbagai kalangan lantaran
beberapa isi pasalnya yang dinilai sebagai hak imunitas bagi DPR sebagai antikritik. Padahal,
kritik bertujuan sebagai kontrol agar DPR lebih fungsional.

Terdapat Pasal 122 huruf k UU MD3 yang menyatakan tentang mengambil langkah
hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum,
yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Revisi Pasal 122 huruf k Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang mengatur
tentang penghinaan terhadap anggota DPR RI dinilai sebagai sistem kekebalan anti
masyarakat dan anti kritik. Pasal tersebut menurut beberapa pihak dapat membungkam
daya kritis masyarakat pada masa demokrasi. Menurut Sebastian Salang, Koordinator Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), pasal tersebut sengaja direvisi
sedemikian rupa untuk menjerat siapapun sesuai kepentingan anggota dewan itu sendiri.

Pasal yang sudah direvisi dapat menyebabkan kemunduran demokrasi sekaligus


menjadi ancaman serius bagi demokrasi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers.
Tentu saja itu bertentangan dengan makna dari salah satu isi Pancasila, yaitu sila ke-4. Sila
ke-4 menyatakan tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.

Hakikat dari sila ke-4 adalah demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi yang dimaksud adalah melibatkan segenap bangsa
dalam pemerintahan baik yang tergabung dalam pemerintahan dan kemudian adalah peran
rakyat yang diutamakan. Lalu, permusyawaratan diartikan mengusahakan keputusan secara
bulat, hasil yang mufakat, diambil dengan kesepakatan bersama. Dalam penerapannya,
berarti harus mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Masyarakat menitipkan aspirasi mereka dengan cara memilih anggota DPR sekalipun
mereka tidak mengenal mereka. Masyarakat telah menaruh hormat kepada mereka. Tetapi,
para wakil rakyat tersebut dianggap merugikan masyarakat dengan keputusan mereka atas
pengesahan revisi UU MD3. Wakil rakyat dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadi
atau golongan daripada kepentingan bersama atau masyarakat.

Lalu, terdapat pasal lain hasil revisi UU MD3 selain pasal ‘antikritik’ yang menuai
kontroversi, yaitu Pasal 73, Pasal 84 dan 15, serta Pasal 245.

Pada Pasal 73 sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi membantu memanggil


pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Hasil revisi menambahkan bahwa polisi wajib
memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa. “Dalam hal setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan
yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Pasal 84 dan 15 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR menuai kontroversi
politik karena kursi pimpinan DPR yang awalnya memiliki satu ketua dan empat wakil,
berubah menjadi satu ketua dan lima wakil. Dengan adanya penambahan satu pimpinan ini
akan menjadi jatah pemilik kursi terbanyak menggantikan PDI-P. Pimpinan MPR terdiri atas
satu ketua dan empat wakil sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 15, kini berubah
menjadi satu ketua dan tujuh wakil.

Begitu juga dengan Pasal terakhir yang menuai kontroversi, yaitu Pasal 25 tentang
pemeriksaan anggota DPR. Pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana harus ada
pertimbangan MKD sebelum DPR memberi izin, sementara tahun 2015 MK sudah
memutuskan bahwa pemeriksaan harus dengan seizing presiden, bukan MKD. “Pemanggilan
dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

Pasal-pasal tertentu yang direvisi pada UU MD3 ini dinilai merupakan kriminalisasi
terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR (Pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, Bivitri Susanti). Pasal-pasal tersebut dinilai tidak sesuai dengan hak warga untuk
menyatakan pendapat. Terutama untuk pasal mengenai pemanggilan paksa oleh DPR yang
dapat merusak demokrasi di Indonesia, yang tentunya menyimpang dari demokrasi
Pancasila.

Pasal-pasal hasil revisi yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan adanya hak
istimewa feudal yang diberikan kepada parlemen menggunakan kekuatan kepolisian dan
membatasi/melarang warga untuk dapat memberikan kritik dan saran kepada pemerintah.
Selain itu, para wakil rakyat dibuat menjadi kebal hukum. Sama halnya dengan membiarkan
masyarakat menerima tindakan semena-mena atas hal-hal yang dilakukan oleh wakil rakyat
yang dapat merugikan masyarakat Indonesia. Sudah jelas hal ini menentang demokrasi
Pancasila di Indonesia.

Jokowi juga berpendapat bahwa beliau mengaku hal ini terjadi di luar
pengawasannya atas munculnya pasal-pasal baru yang menimbulkan kontroversi dalam
revisi UU MD3 yang telah disahkan. Beliau juga menyadari situasi di sana memang sangat
dinamis dan cepat sekali walaupun Menteri Hukum HAM Yasonna sudah melaporkan hal-hal
yang terkait dengan pembahasan revisi UU MD3 kepada Jokowi.

Sumber :
http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43397697

http://politik.rmol.co/read/2018/02/17/327045/Pasal-122-Huruf-k-UU-MD3-Mengancam-
Pers-Dan-Masyarakat-

http://www.klikanggaran.com/kebijakan/uu-md3-menghina-pancasila.html

https://beritasampit.co.id/2018/03/03/uu-md3-nodai-demokrasi/

https://nasional.sindonews.com/read/1281892/12/revisi-uu-md3-dinilai-kemunduran-
demokrasi-di-indonesia-1518530103

https://www.merdeka.com/politik/sebut-pembahasan-revisi-uu-md3-berlangsung-cepat-
jokowi-akui-kecolongan.html

“Tujuh Hal yang harus diketahui Soal Revisi UU MD3”. [Online]. [Diunduh 1 Mei 2018].
Tersedia pada: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43397697#orb-banner.

Arubone, Bunaiya Fauzi. 2018. “Pasal 122 Huruf k UU MD3 Mengancam Pers dan
Masyarakat”. [Online]. [Diunduh 1 Mei 2018]. Tersedia pada:
http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43397697#orb-banner

Anda mungkin juga menyukai