Anda di halaman 1dari 23

ARTIKEL

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


SYOK HIPOVOLEMIK

Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas GADAR II dari Dosen


Rudiyanto.,S.Kep.,Ns

Oleh:

AYU CHANDANI

2015.02.056

PROGRAM STUDI S1KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2019
A. Latar Belakang

Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit


tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat, untuk itu perlu adanya
standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu
penanganan gawat darurat dengan respons time yang cepat dan tepat
(KepMenKes, 2009). Sebagai salah satu penyedia layanan pertolongan,
dokter dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat
agar dapat menangani kasus-kasus kegawatdaruratan (Herkutanto, 2007;
Napitupulu, 2015).
Salah satu kasus kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan
segera adalah syok. Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan
sebagai tidak adekuatnya transpor oksigen ke jaringan yang disebabkan
oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat
berupa penurunan tahanan vaskuler sistemik, berkurangnya darah balik,
penurunan pengisian ventrikel, dan sangat kecilnya curah jantung.
Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme
terjadinya, syok dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu syok
hipovolemik, syok distributif, syok obstruktif, dan syok kardiogenik
(Hardisman, 2013).
Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan
darah secara akut (syok hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu
penyebab kematian tertinggi di negara-negara dengan mobilitas penduduk
yang tinggi. Salah satu penyebab terjadinya syok hemoragik tersebut
diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut World Health
Organization (WHO) cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya
menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia. Angka kematian
pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit
dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka
kematian akibat trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit
dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 36% (Diantoro, 2014).
Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan
karena kasus obstetri, angka kematian akibat syok hipovolemik
mencapai 500.000 per tahun dan 99% kematian tersebut terjadi di
negara berkembang. Sebagian besar penderita syok hipovolemik akibat
perdarahan meninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan
karena tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Diare
pada balita juga merupakan salah satu penyebab terjadinya syok
hipovolemik. Menurut WHO, angka kematian akibat diare yang disertai
syok hipovolemik pada balita di Brazil mencapai 800.000 jiwa.
Sebagian besar penderita meninggal karena tidak mendapat penanganan
pada waktu yang tepat (Diantoro, 2014). Sedangkan insiden diare yang
menyebabkan syok hipovolemik pada balita di Indonesia 6,7%. Lima
provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua
(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten
(8,0%) (Riskesdas, 2013).
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif
yang berlebihan dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi
cardiac output, dan memperburuk keadaan syok. Walaupun oksigenasi
dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat
merugikan bagi pasien yang menderita syok hipovolemik (Kolecki dkk,
2014). Pemberian cairan merupakan salah satu hal yang paling umum
yang dikelola setiap hari di unit perawatan rumah sakit dan Intensive
Care Unit (ICU), dan itu adalah prinsip inti untuk mengelola pasien
dengan syok hipovolemik (Yildiz, 2013; Annane, 2013).
Apabila syok hipovolemik berkepanjangan tanpa penanganan
yang baik maka mekanisme kompensasi akan gagal mempertahankan
curah jantung dan isi sekuncup yang adekuat sehingga menimbulkan
gangguan sirkulasi/perfusi jaringan, hipotensi, dan kegagalan organ.
Pada keadaan ini kondisi pasien sangat buruk dan tingkat mortalitas
sangat tinggi. Apabila syok hipovolemik tidak ditangani segera akan
menimbulkan kerusakan permanen dan bahkan kematian. Perlu
pemahaman yang baik mengenai syok dan penanganannya guna
menghindari kerusakan organ lebih lanjut (Danusantoso, 2014).
B. Pembahasan
1. Definisi syok hipovolemik

Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan


oksigenasi jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh
hilangnya volume intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah
atau medis (Greenberg, 2005).

Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan


sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan
kapasitas pembuluh darah total. Hypovolemic shock merupakan syok
yang disebabkan oleh kehilangan cairan intravascular yang umumnya
berupa darah atau plasma. Kehilangan darah oleh luka yang terbuka
merupakan salah satu penyebab yang umum, namun kehilangan darah
yang tidak terlihat dapat ditemukan di abdominal, jaringan
retroperitoneal, atau jaringan di sekitar retakan tulang. Sedangkan
kehilangan plasma protein dapat diasosiasikan dengan penyakit seperti
pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan anafilaksis

2. Etiologi

Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok


hipovolemik dapat disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau
cairan dan elektrolit (Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et al. (2009),
penyebab syok hipovolemik, antara lain:

1) Kehilangan darah

a. Hematom subkapsular hati

b. Aneurisma aorta pecah

c. Perdarahan gastrointestinal

d. Trauma
2) Kehilangan plasma

a. Luka bakar luas

b. Pankreatitis

c. Deskuamasi kulit

d. Sindrom Dumping

3) Kehilangan cairan ekstraselular

a. Muntah (vomitus)

b. Dehidrasi

c. Diare

d. Terapi diuretik yang agresif

e. Diabetes insipidus

f. Insufisiensi adrenal

3. Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme


kompensasi tubuh yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan
sirkulasi viseral untuk menjaga aliran darah yang cukup ke ginjal,
jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya volume sirkulasi akut
yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak jantung sebagai
usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus, takikardi
adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur (American College of
Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan


vaskular perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
menurunkan tekanan nadi tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi
organ. Hormon-hormon lainnya yang bersifat vasoaktif dilepaskan ke
sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin, bradikinin, dan
sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya. Substansi-substansi ini
mempunyai pengaruh besar terhadap mikrosirkulasi dan permeabilitas
vaskular (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian


darah vena dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi
volume darah dalam sistem vena yang tidak berperan dalam pengaturan
tekanan vena sistemik. Namun kompensasi mekanisme ini terbatas.
Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac output dan
perfusi end-organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang


tidak memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan
untuk proses metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada
tahap awal, terjadi kompensasi dengan proses pergantian menjadi
metabolisme anaerobik yang mengakibatkan pembentukan asam laktat
dan berkembang menjadi asidosis metabolik. Bila syok berkepanjangan
dan pengaliran substrat esensial untuk pembentukan ATP tidak
memadai, maka membran sel akan kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun akan
hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural


pertama dari hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria,
robeknya lisosom, dan lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-
elemen struktur intraseluler lainnya. Natrium dan air masuk ke dalam
sel dan terjadilah pembengkakan sel. Penumpukan kalium intraseluler
juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka akan terjadi kerusakan
seluler yang progresif, penambahan pembengkakan jaringan, dan
kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on
Trauma, 2008).
4. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik


akibat non-perdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada
sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok (Baren et al.,
2009). Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena
pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan
terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya
dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor
yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler
lambat (Hardisman, 2013).

Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok


hipovolemik yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa
terjadi perubahan tekanan darah (Strickler, 2010). Keparahan dari syok
hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan volume
dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan
individu sebelumnya (Kelley, 2005).

Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi


ringan, sedang dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume
darah 20%, vasokonstriksi dimulai dan distribusi aliran darah mulai
terhambat. Pada syok sedang, yaitu kehilangan volume darah 20-40%,
terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti ginjal, limpa, dan
pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume darah lebih dari
40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley, 2005).
Tabel 2.1 Gejala Klinis Syok Hipovolemik

Ringan Sedang Berat

Ekstremitas dingin Sama, ditambah: Sama, ditambah:


Waktu pengisian kapiler Takikardia Hemodinamik tidak stabil
meningkat Takipnea Takikardia bergejala
Diaporesis Oliguria Hipotensi
Vena kolaps Hipotensi ortostatik Perubahan kesadaran
Cemas

Sumber: Baren et al., 2009.


Perubahan dari syok hipovolemik ringan menjadi berat dapat
terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien lanjut
dan yang memiliki penyakit berat (Baren et al., 2009).

5. Diagnosa

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa


ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan
(Baren et al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada
kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan
tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan
tekanan vena sentral (Leksana, 2015).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis


adanya syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian
dan frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan
pada ujung-ujung jari, suhu dan turgor kulit (Hardisman, 2013).
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok
hipovolemik dapat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:

Tabel 2.2 Klasifikasi Syok Hipovolemik

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan darah (ml) <750 750-1500 1500-2000 >2000


Kehilangan darah
<15% 15-30% 30-40% >40%
(%EBV)
Denyut nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140
Tekanan darah N N ↓ ↓
Tekanan nadi N/↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi napas 14-20 20-30 30-35 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 sangat sedikit
sedikit agak cemas, bingung,
Status mental
cemas cemas bingung letargi

Sumber: American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008.


Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena
adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia.
Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem
saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan
frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah
sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak
banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik
dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang
seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya
berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi
dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan
penatalaksanaan (Harisman, 2013).
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis
selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada
hipovolemik dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan
laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada keadaan syok
hipovolemik, antara lain (Schub dan March, 2014):

1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan


hemoglobin, hematokrit dan platelet.
2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan
adanya disfungsi ginjal.
3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
4. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.
5. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen.
6. AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
7. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan
berikut, antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):

1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.


2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan
gastrointestinal.
3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

6. Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom


gawat napas akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan
multiorgan, hingga kematian (Greenberg, 2005).

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi


penilaian ABC, yaitu pada airway dan breathing, pastikan jalan napas
paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Pemberian
oksigen tambahan dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang perlu
diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses
intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008).

Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter


intravena ukuran besar (minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi
terbaik untuk intravena perifer pada orang dewasa adalah vena di
lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan
pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah
sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh darah diambil
untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan
laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan


resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti
volume darah yang hilang dan mengembalikan perfusi organ (Kelley,
2005). Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan
secepatnya. Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi
yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat.
Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013).

Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit


diprediksi dalam evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat
menjadi panduan untuk menentukan kehilangan volume darah yang
harus digantikan. Adalah sangat penting untuk menilai respon pasien
terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi
yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi
perifer serta kembalinya tekanan darah yang normal (American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-
tanda hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi
darah (Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk
mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah


kehilangan perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan
ketersediaan darah. Jika pasien sampai di IGD dengan derajat syok
yang berat dan golongan darah spesifik tidak tersedia, maka dapat
diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah spesifik
biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005).

Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok


hipovolemik. Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup
sensitif dari perfusi ginjal karena menandakan aliran darah ke ginjal
yang adekuat. Jumlah produksi urin yang normal sekitar 0,5
ml/kgBB/jam pada orang dewasa (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008). Defisit basa juga dapat digunakan untuk
evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada pasien
syok hipovolemik (Privette dan Dicker, 2013).
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SYOK
HIPOVOLEMIK

1. Pengkajian

Primery Airway

a. Kaji kepatenan jalan napas.


b. Kaji kebersihan jalan napas apakah ada tanda-tanda penyumbatan
saluran napas, benda asing, fraktur wajah, rahang atau laring.
c. Kaji suara napas pasien.( jika suara napas terdengar bunyi adanya cairan
atau gurgling, snoring, crowing, atau wheezing )

Breathing
a. Kaji tanda-tanda umum distres pernapasan seperti Takipnea, berkeringat,
sianosis.
b. Kaji ventilasi pernapasan, apakah adekuat atau tidak.
c. Kaji jumlah pernapasan ( jika lebih dari 24 kali per menit merupakan
gejala yang signifikan )
d. Kaji saturasi oksigen.
e. Kaji suara napas pasien apakah terdengar ronchi, rales.

Circulation

a. Kaji tanda –tanda kehilangan cairan dengan pengukuran TTV pasien


meliputi : Nadi ( jika >100 kali per menit merupakan tanda signifikan,
tekanan darah ( jika tekanan darah < 90 mmHg merupakan prognosis
jelek), suhu dan pernapasan ( jika terjadi peningkatan 20 – 30 kali per
menit.
b. Kaji warna kulit,apakah pucat atau sianosis.
c. Kaji produsi urine ( kemungkinan dapat terjadi oliguria bahkan anuria ).
Disability
a. Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien syok. Kaji

tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.( Alert , Verbal, Pain,

Unrespons ). Exposure

b. Cari adanya cidera, luka pada bagian tubuh seperti kaki yaitu angkat

celana pasien kea rah lutut dan periksa apakah ada luka atau cidera,

terutama luka pada bagian tengkuk atau leher belakang.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


asupan makanan tidak adekuat , mual muntah.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya eksudat
dialveoli akibat edema paru.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kongesti
sistemik, kerusakan transpor oksigen, hipervolemia, hipoventilasi,
gangguanaliran arteri, gangguan aliran vena
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak seimbangan
perfusi-ventilasi, perubahan membran kapiler alveoli karena adanya
penumpukancairan di rongga paru
5. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/
tahanan
6. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan
imobilitas
7. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan
kurang informasi.
8. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit, ancaman atau perubahan
padastatus kesehatan
3. Intervensi Keperawatan
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
asupan makanan tidak adekuat , mual muntah
Kriteria Hasil :
- Status Gizi : Asupan Gizi : Keadekuatan pola asupan zat gizi yang
biasanya
- Selera Makan : Keinginan untuk makan dalam keadaan sakit atau
sedang menjalani pengobatan
Intervensi :
a. Ketahui makanan kesukaan pasien
Rasional : makanan kesukaan biasanya meningkatkan selera makan
b. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
Rasional : Kandungan nutrisi yang tepat untuk meningkatkan energy
klien beraktivitas
c. Berikan informasi mengenai kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
Rasional : agar klien dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan energy
secara mandiri
d. Kolaborasi dengan ahli gizi (jika perlu) jumlah kalori dan jenis zat
gizi yang dibutuhkan
Rasional : pemenuhan nutrisi klien secara tepat melalui gizi klinik

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya


eksudat di alveoli akibat edema paru.
Kriteria Hasil:
- Bernapas dengan mudah dan tanpa dispnea
- Menunjukkan kapasitas ventilasi yang membaik
- Melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi:
a. Instruksikan dan/ atau awasi latihan pernapasan dan pernapasan
terkontrol
Rasional : untuk meningkatkan pernapasan disfragmatik yang
tepat, ekspansi sisi, dan perbaikan mobilitas dinding dada.
b. Instruksikan pasien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk
Rasional : Batuk yang tidak terkontrol melelehkan dan in efektif
dapat menimbulkan frustasi
c. Observasi TTV
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien
d. Dorong postur tubuh yang baik untuk ekspansi paru maksimum.
Rasional : Posisi tubuh yang tepat dapat membantu ekspansi
paru maksimum
e. Bantu klien dalam memilih aktivitas yang tepat sesuai kemampuan.
Rasional : Aktivitas yang dapat ditoleransi agar tidak memperberat
kondisi klien
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kongesti
sistemik, kerusakan transpor oksigen, hipervolemia, hipoventilasi,
gangguan aliran arteri, gangguan aliran vena
Kriteria Hasil :
- Perfusi jaringan : perifer : keadekuatan aliran darah melalui pembuluh
darah kecil ekstremitas untuk mempertahankan fungsi jaringan
Intervensi :
a. Kaji secara komprehensif sirkulasi perifer (edema, CFR, warna, suhu,
nadi perifer)
Rasional : untuk membantu penegakan diagnosa dan pemberian
intervensi yang tepat
b. Letakkan ekstremitas pada posisi menggantung, jika perlu
Rasional : untuk mencegah edema pada area luka
c. Pantau parestesia (kebas, kesemutan, hiperestesia, dan hipoestesia)
Rasional : untuk mengetahui tingkat sensasi perifer
d. Lakukan modalitas terapi kompresi, jika perlu
Rasional : untuk memperbaiki aliran darah arteri dan vena
e. Kolaborasi pemberian obat anti trombosit atau antikoagulan, jika
perlu
Rasional : untuk mencegah pembekuan darah atau terbentuknya
emboli
4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak seimbangan
perfusi-ventilasi, perubahan membran kapiler alveoli karena adanya
penumpukan cairan di rongga paru
Kriteria Hasil :
- Terlihat adekuatnya ventilasi dan oksigenasi dari jaringan dimana
dalam batas-batas normal dan bebas dari gejala respiratory distress
- Berpartisipasi dalam pengobatan
Intervensi :
a. Auskultasi suara pernafasan, catat adanya wheezing
Rasional : Menandakan adanya kongestif paru/pengumpulan sekresi
b. Ajarkan klien untuk batuk secara efektif dan bernafas dalam
Rasional : Membersihkan jalan nafas dan memudahkan
pertukaran oksigen
c. Support klien untuk merubah posisi
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia
d. Atur posisi tidur dengan bagian kepala ditinggikan 200 - 300, semi
fowler, beri bantal pada siku
Rasional : Mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan
pengembangan paru secara maksimal
e. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Meningkatkan konsentrasi oksigen alveoli dimana
dapat mengurangi hipoksemia jaringan
5) Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan/tahanan
Kriteria Hasil :
- Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional,
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh, menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan
aktivitas.
Intervensi:
a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio,
koran, kunjungan Teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
Rasional : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang
sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.
c. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
Rasional : Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
d. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
Rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri
sesuai kondisi keterbatasan klien.
e. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia) Mempertahankan hidrasi
adekuat, mencegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
f. Berikan diet TKTP.
Rasional : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
g. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Rasional : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual.
6) Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan
imobilitas
Kriteria Hasil :
- Ketahanan : Kapasitas untuk menyelesaikan aktivitas
- Penghematan energi : tindakan individu untuk mengelola energi
untuk memulai dan menyelesaikan aktivitas
Intervensi :
a. Kaji penyebab kelemahan
Rasional : untuk pemberian intervensi yang tepat mengatasi penyebab
b. Pantau TTV sebelum, selama dan setelah aktivitas
Rasional : untuk melihat aktivitas yang dapat ditoleransi oleh dan
tidak dapat ditoleransi misalnya nyeri dada, pucat, vertigo, dispnea.
c. Anjurkan periode untuk istirahat dan aktivitas secara bergantian.
Rasional : untuk pengaturan energi sehingga energi cukup untuk
beraktivitas
d. Bantu klien melakukan Range of Motion
Rasional : untuk melatih fleksibiltas sendi
e. Kolaborasi pengobatan pereda nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri
merupakan salah satu penyebab
Rasional : agar nyeri tidak mengganggu aktivitas
7) Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan
dengan kurang informasi
Kriteria hasil :
- Pengetahuan tentang proses penyakit : Tingkat pemahaman
yang ditunjukkan tentang proses penyakit
Intervensi :
a. Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Rasional : mengetahui apa yang diketahui pasien tentang
penyakitnya.
b. Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien
Rasional : supaya pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan
penyakitnya.
c. Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada
yang belum dimengerti
Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan
keluarga pasien setelah di beri penjelasan tantang
penyakitnya.·
d. Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
Rasional : memberikan rasa percaya diri pasien dalam
kesembuhan sakitnya
8) Ansietas berhubungan dengan proses penyakit, ancaman atau
perubahan pada status kesehatan
Kriteria hasil:
- Ansietas berkurang
- Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas
Intervensi :
a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : faktor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap
ancaman diri, potensial siklus ansietas, dan dapat
mempengaruhi upaya medic untuk mengontrol ansietas.
b. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara
verbal pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
Rasional : membantu pasien menurunkan ansietas dan
memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata.
c. Berikan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi,dan
prognosis.
Rasional: menurunkan ansietas sehubungan dengan
ketidaktahuan/harapan yang akan datang dan memberikan dasar
fakta untuk membuat pilihan informasi tentang pengobatan.
d. Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya di
alami selama prosedur.
Rasional: memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat
membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat
meningkatkan kerjasama dalam program terapi, kerjasama
penuh penting untuk keberhasilan hasil setelah prosedur
e. Ajarkan teknik relaksasi misalnya imajinasi terbinbing, visualisasi.
Rasional : memfokuskan perhatian pasien, membantu
menurunkan Ansietas dan meningkatkan proses penyembuhan

C. Kesimpulan

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan


hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang menuju ke organ-organ vital tubuh,
sehingga mengakibatkan disfungsi organ dalam tubuh. Salah satunya adalah
syok hipovolemik, syok hipovolemik. Syok hipovolemik merupakan syok
yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini
dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik). Perdarahan akan
menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan
aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah
jantung (heart pulse rate). Ketika heart pulse rate turun, ketahanan vaskular
sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna
menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan
lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan
energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi
tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Jika
hal ini terus berlanjut maka satu persatu organ tubuh akan mati dan berujung
dapat menyebabkan kematian.

D. Saran

Bagi korban yang terkena syok, utamanya syok yang bersifat


hipovolemik harus mendapatkan penangana secara langsung, Karena jika
tidak dapat ditangani secara cepat dan tepat, maka satu persatu organ
mengalami disfungsi dan mati sehingga berujung pada kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Cemy Nur. 2012. Syok dan Penangannya.


Friska Widyawati, 2017. Keperawatan Gawat Darurat (Syok
Hipovolemik).Makalah. Dikutip dari
https://www.academia.edu/35320142/MAKALAH_KEPERAWA
TAN_GAWAT_DARURAT_SYOK_HIPOVOLEMIK . 02 April
2019

Kakunsi, Yane D., Killing, Maykel, and Deetje, Supit. Hubungan pengetahuan
perawat dengan penanganan pasien syokhipovolemik di ugd rsud
pohuwato. Buletin Sariputra. 2015;5(3):90-96.
Rahayu Sri.2010.Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu
Keperawatan.2(2):93-96

Anda mungkin juga menyukai