Anda di halaman 1dari 127

KETERKAITAN

RUANG TERBUKA HIJAU


DENGAN URBAN HEAT ISLAND
WILAYAH JABOTABEK

SOBRI EFFENDY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
KETERKAITAN
RUANG TERBUKA HIJAU
DENGAN URBAN HEAT ISLAND
WILAYAH JABOTABEK

SOBRI EFFENDY

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul: Keterkaitan


Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK, adalah
karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.

Bogor, November 2007

Sobri Effendy
NRP: G. 226010011
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Disertasi : Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau
dengan Urban Heat Island Wilayah
JABOTABEK

Nama : Sobri Effendy

NIM : G.226010011

Program Studi : Agroklimatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc.


Ketua

Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si. Dr. Ir. Imam Santosa, M.S.
Anggota Anggota

Diketahui,

Program Studi Agroklimatologi, Sekolah Pascasarjana


Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Ketua Dekan

Ujian Tertutup: 2 Oktober 2007 Ujian Terbuka: 27 November 2007


ABSTRACT

SOBRI EFFENDY. The Role of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature
and Urban Heat Island. Exemplified By Jabotabek Area. Under supervision of
AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, and IMAM SANTOSA.

This study attempts to develop a functional relationship between air temperature


and urban green space using Landsat data. It also aims to estimate the contribution of
various forcings, namely, urban green space, population density, urban area, and
automobile densities to urban heat island.
Subsequently, the impact of urban heat island on temperature humidity index will
be assessed quantitatively, followed by surface energy budget analysis of Jabotabek area.
Air temperature series are derived from Landsat data, including the NDVI which is used
as the bases for generating urban green space of the study area. Principal Component
Analysis is utilized in order to establish the relative importance of forcing variables on
urban heat island; in order to simplify the structure of factor loadings a varimax rotation
is carried out.
It is found that air temperature and urban green space for the study area is best
represented by a nonlinear equation when a maximum coefficient determination (R2adj)
and a minimum standard deviation (S) are to be fulfilled. A 50% reduction in urban
green space would bring air temperature to raise between 0.4 to 1.8oC. It is interesting to
note that this study reveals the same percentage increase in urban green space would only
lower the temperature by 0.2 to 0.5oC. Automobile density is found to be the most
important cause of urban heat island in Jakarta, a larger built-up area is the mayor factor
of urban heat island in Bogor, on the other hand, a decreased urban green space is the
most force factor in Tangerang and Bekasi. The analysis surface energy budget indicated
that an increase of 1.0oC in urban heat island would result in a reduction of latent heat
fluxes ranging from 32.7 to 33.2 Wm-2 but an increase of sensible heat fluxes to air
varying from 15.7 to 15.8 Wm-2.

Key words: urban green space, urban heat island, temperature humidity index,
jabotabek
ABSTRAK

SOBRI EFFENDY. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island
Wilayah JABOTABEK. Dibimbing oleh AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, dan
IMAM SANTOSA.

Penelitian bertujuan menentukan bentuk hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH)


dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat; mengkaji kontribusi RTH, kepadatan
populasi, luas Ruang Terbangun (RTB) dan kepadatan kendaraan terhadap fenomena
Urban Heat Island (UHI) dan mengkaji dampak UHI terhadap perubahan indeks
kenyamanan, dan neraca energi permukaan wilayah JABOTABEK, khususnya terhadap
fluks LE (latent heat flux) dan H (sensible heat flux).
Tahapan penelitian meliputi: (1) ekstraksi nilai NDVI dari band 3 dan 4, suhu
udara dari band 6 citra Landsat. Dari nilai NDVI dibangkitkan nilai persen RTH,
selanjutnya menentukan hubungan RTH dan suhu udara (2) Menerapkan regresi
berganda, analisis komponen utama (PCA) dengan rotasi varimax untuk mengungkap
kontribusi terbesar peubah prediktor terhadap UHI; (3) Mengkaji dampak UHI seperti
Temperature Humidity Index (THI) dan neraca energi permukaan perkotaaan.
Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan
terpilih nonlinier untuk seluruh lokasi baik Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang
dan Bekasi. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau
penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50% RTH
menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan penambahan
RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC. Hal ini
membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Peubah yang memberikan
kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi,
padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan ruang terbangun (RTB) pemicu UHI di
Bogor. Peningkatan UHI 1.0oC menyebabkan THI bertambah 4.8 hingga 5.0oC dan
menyebabkan penurunan fluks LE sebesar 32.7 hingga 33.2 Wm-2 sebaliknya
meningkatkan fluks H sebesar 15.7 hingga 15.8 Wm-2.

Kata kunci: ruang terbuka hijau, urban heat island , temperature humidity index,
jabotabek
PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian mulai Juli 2005-
Juli 2007 mengenai keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island
wilayah JABOTABEK, dengan menggunakan data penginderaan jauh.
Terimakasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ahmad Bey selaku pembimbing
utama, kepada Dr. Alinda F.M. Zain atas perkenannya melanjutkan penelitian S3
yang bertema Distribution, stucture and function of urban green space in
Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan
Region (JABOTABEK), serta atas segala bantuan lainnya, juga penghargaan
kepada Dr. Imam Santosa atas dorongan moril dan saran-sarannya.
Penghargaan yang setinggi-tingginya pada pembimbing luar komisi pada
saat ujian kualifikasi: Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. dosen Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Pada saat ujian tertutup Dr. Ir. Lilik
Budi Prasetyo dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan-IPB dan pimpinan sidang tertutup wakil dekan FMIPA Dr.
Hasim, DEA, atas saran dan masukkannya. Serta pada saat ujian sidang terbuka
Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr (Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah-LPPM IPB) dan Dr. Erna Sri Adiningsih (Kepala Pusat
Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN-Jakarta) beserta pimpinan sidang
Dekan FMIPA-IPB, Dr. Hasim, DEA.
Juga penghargaan sebesar-besarnya kepada BPPS-Dirjen Dikti
Departemen Pendidikan RI yang memberikan beasiswa selama enam semester.
Kepada semua pihak yang membantu baik rekan sesama staf dan penunjang di
departemen maupun di lain fakultas di IPB serta di luar IPB. Serta kepada pihak
keluarga yang mendukung dengan doa dan pengertiannya, terutama saat penulisan
disertasi. Akhirnya, semoga apa yang dihasilkan mendapat ridho dari Yang Maha
Kuasa. Amin.
Bogor, November 2007

Sobri Effendy
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera-Selatan pada tanggal 24


November 1964 oleh Ibu yang bernama Haunai dan Ayah (Almarhum) Muhd.
Toyib. Menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN 2, pendidikan menengah
pertama pada SMPN 1 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 1 semuanya di
kota Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, Baturaja, Sumatera Selatan.
Pendidikan tinggi strata satu diterima lewat jalur USMI/PMDK pada tahun
1994 di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi-
FMIPA-IPB. Diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima
sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama hingga sekarang. Pada tahun 1994
hingga 1997 menyelesaikan pendidikan tinggi strata dua di IPB pada program
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).
Pada tahun 2001 diterima di program studi Agroklimatologi-Sekolah
Pascasarjana IPB lewat program BPPS 2001. Mengambil topik disertasi dengan
judul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah
JABOTABEK di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai ketua
dan Dr. Ir. Alinda FM. Zain, M.Si. serta Dr. Ir. Imam santosa, M.S. sebagai
anggota pembimbing.
Selama proses penyelesaian disertasi penulis beserta pembimbing menulis
jurnal terkait, dengan judul: Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Mengendalikan
Suhu Udara dan Urban Heat Island di Jabotabek, pada jurnal terakreditasi
Agromet Indonesia Volume XX No.1 Juni 2006. Serta membawakan makalah
pada seminar: Menuju Jabodetabek Berkelanjutan pada tanggal 6 September 2007
di IPB-ICC (International Convention Center) Bogor dengan judul Keterkaitan
Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Urban Heat Island dan Nereca Energi
Permukaan Wilayah Jabotabek.
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Erna Sri Adiningsih, M.Si.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Albedo (α) Perbandingan jumlah radiasi surya gelombang pendek


yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi
surya gelombang pendek yang diterima permukaan
tersebut. Radiasi gelombang pendek dalam penelitian
ini diekstrak dari kanal visible.

Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan


λ sebesar 11,5 µm nilai tengah dari kanal 6.

Bowen Ratio (β) Perbandingan antara panas terasa (sensible heat flux)
dengan energi untuk menguapkan air permukaan
(latent heat flux), menggambarkan status kelembaban
penutup permukaan.

c Kecepatan cahaya 2.998 x 108 msec-1

CP Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1K-1)

Digital Number (DN) Nilai digital yang menggambarkan suatu tingkat


kecerahan suatu obyek dalam data satelit, dinyatakan
dalam satuan bit, dikenal juga dengan istilah nilai
keabuan (grey value) dengan nilai bit antara 0-255.

ε Emisivitas suatu obyek atau permukaan, menunjukkan


daya emisi/pancar suatu obyek.

εa Emisivitas udara daya emisi udara sebesar 0.938 x 10-5


Ta2 K-2

ea Tekanan uap aktual (kPa)


es Tekanan uap jenuh (kPa)

Fraksi Alfa (Fα) Perbandingan antara fluks panas laten dengan radisi
netto, indikator bagi besar atau kecilnya penggunaan
energi bersih untuk proses penguapan.

GCP Ground Control Point, titik kontrol di bumi yang


dijadikan acuan untuk mengoreksi citra akibat
kesalahan geometrik, biasanya ditentukan titik alami
yang tidak cepat berubah, misal garis pantai atau
bangunan yang bersejarah dan akan tetap
dipertahankan seperti tugu Monas.

h Konstanta Planck (6.26x10-34 J sec)


JABOTABEK Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi adalah suatu
kawasan megapolitan dan menjadi wilayah Kawasan
Strategi Nasional (KSN) bagi Indonesia.

JD Julian Day, jumlah hari dalam satu tahun yang


dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi
data citra satelit pada tahun yang bersangkutan.

KPop Singkatan dari kepadatan populasi, jiwa per km-2.

KKdr Singkatan dari kepadatan kendaraaa dalam satuan unit


km-2

LANDSAT TM Land Satellite Thematic Mapper, satelit komersial


yang dapat digunakan untuk memantau sumberdaya
alam, yang pada awalnya digunakan dalam bidang
geologi umum, namun berkembang pesat dan dapat
diaplikasi pada bidang lain selain geologi.

LANDSAT ETM+ Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus,


merupakan satelit komersial modifikasi dari TM
dengan pengayaan pada kanal 8 (Panchromatic,
dengan resolusi 15 x 15 m).

Latent Heat Flux (LE) Perpindahan panas laten, salah satu komponen neraca
energi yang digunakan untuk menguapkan air di
permukaan lewat proses evapotrasnpirasi, dengan
satuan Wm-2.

N Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0

NDVI Normalized Difference Vegetation Index, salah satu


indeks kehijauan suatu obyek dapat digunakan untuk
memantau tingkat kekeringan dan kerapatan vegetasi.

NIR Near Infra Red, suatu kanal pada satelit Landsat


dengan panjang gelombang 0.76-0.90 μm.

PC Personal Computer, merupakan istilah yang


digunakan bagi seperangkat komputer lengkap dengan
berbagai software untuk mengolah data, angka,
gambar dan ekstrak data satelit.

PCA Principle Component Analysis, sebuah metode


statistika pengubah peubah prediktor yang saling
berkorelasi erat menjadi peubah baru namun mampu
menjelaskan total ragam peubah prediktor asal
semaksimal mungkin, serta saling ortogonal.
Pixel Picture Element, adalah ukuran unit luasan terkecil
dari gambar yang diambil oleh penginderaan jauh, di
mana satu pixel berarti satu data, untuk data Landsat
satu pixel berukuran 30 x 30 m, 60 x 60 m dan 120 x
120 m, tergantung kanal yang digunakan.

raH Tahanan aerodinamik (sm-1) Rosenberg (1974):


raH = 31.9 × u −0.96 u: kecepatan angin normal pada
ketinggian 1.2 m

R Red, sebuah kanal dari satelit Landsat pada cahaya


yang dapat dilihat (visible) dalam warna merah dengan
panjang gelombang 0.63-0.69 μm.

ρ air Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3).

R2adj Coefisien determination adjusted, koefisien


determinasi terkoreksi menunjukkan besarnya ragam
atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh
peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka
makin baik model.

Radiasi Netto (Rn) Energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan
dengan satuan Wm-2.

RH Relative Humidity, kelembaban relatif merupakan


gambaran jumlah kandungan uap air di udara dalam
satuan persen.

RTH perkotaan Ruang Terbuka Hijau Kota (Urban Green Space),


diartikan sebagai bagian dari ruang terbuka wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan
vegetasi (endemik, introduksi) dari tingkat rumput,
semak hingga pohon guna mendukung manfaat
langsung dan taklangsung seperti rasa nyaman, aman,
indah dan sejahtera.
Rural Kawasan pedesaan atau pinggiran merupakan lawan
kata dari urban.

RTB Ruang Terbangun, merupakan istilah yang dipakai


untuk menggambarkan suatu ruangan terbuka yang
diisi oleh selain vegetasi seperti jalan, perkantoran,
perumahan, serta berbagai atribut pelengkap kota, desa
dan lain-lain dengan ciri permukaan keras dan kering.

RSin Radiasi gelombang pendek dari matahari yang masuk


ke permukaan bumi dalam satuan Wm-2.
RSout Radiasi gelombang pendek dari matahari yang keluar
dari permukaan bumi dalam satuan Wm-2.

Rlin Radiasi gelombang panjang yang diterima permukaan


merupakan pantulan dari atmosfer dan awan dalam
satuan Wm-2.

Rlout Radiasi gelombang panjang yang keluar dari


permukaan dalam satuan Wm-2.

S Standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya


penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati
nol), makin baik model.

Sensible Heat Flux (H) Perpindahan panas terasa, salah satu komponen neraca
energi yang digunakan untuk memanaskan udara di
atas permukaan secara konveksi, dengan satuan Wm-2.

Soil Heat Flux (G) Perpindahan panas permukaan tanah, salah satu
komponen neraca energi yang digunakan untuk
memanaskan permukaan dan kedalaman tanah melalui
proses konduksi, dengan satuan Wm-2.

Sub-urban Kawasan perbatas antara urban dan rural dikenal juga


sebagai kota kecil atau kota yang mulai berkembang.

Suhu Permukaan (Ts) Suatu gambaran energi yang terdapat pada suatu
permukaan bumi, dengan satuan oC atau K.

Suhu Kecerahan (TB) Brigthness Temperature, suatu gambaran energi


permukaan yang dihitung berdasarkan tingkat
kecerahan permukaan (obyek yang dikaji), dengan
satuan oC atau K.

Suhu Udara (Ta) Suatu gambaran energi yang terdapat di atmosfer atau
udara dan dapat dirasakan oleh tubuh serta dapat
diukur dengan termometer, dengan satuan oC atau K.

spektral radiance Jumlah energi yang dipancarkan/dipantulkan suatu


Lλ obyek per unit luas dan panjang gelombang tertentu.

spectral irradiance Jumlah energi yang diterima suatu obyek per unit luas.
( ESUN λ )
Td Dew Point Temperature, suhu titik embun yaitu suhu
yang tercapai saat terjadi pengembunan.

σ Tetapan Stefan-Bolztman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)


THI Temperature Humidity Index, suatu indeks dengan
satuan derajat Celsius sebagai besaran yang dapat
dikaitkan dengan tingkat kenyamanan yang dirasakan
populasi manusia di wilayah perkotaan.

Thermal Infrared Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang


memiliki panjang gelombang 10.40 hingga 12.50μm,
dikenal sebagai kanal 6 untuk mengekstrak data suhu
permukaan.

UHI Urban Heat Island, merupakan fenomena di perkotaan


yang menggambarkan peningkatan suhu udara
perkotaan dibandingkan wilayah sekitar kota
(rural/desa), secara visual pada gambar isoterm spasial
di peta seperti sebuah pulau dengan isoterm tertinggi
terjadi diperkotaan.

UCL Urban Cover Layer, suatu lapisan yang menyelimuti


perkotaan dan merupakan batas yang bertindak seperti
selimut penyebab udara menjadi lebih panas di
perkotaan.

Urban Perkotaan, sebuah pusat keramaian dengan berbagai


atribut pelengkap kota seperti jalan, gedung, pusat
perbelanjaan, pemukiman dan lainnya.

Visible Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang


memiliki panjang gelombang berkisar antara 0.3
hingga 0.7 μm pada cahaya tampak biru, hijau dan
merah (sering disingkat sebagai RGB: red, green,
blue).
DAFTAR ISI
No. Text Hal
ABSTRACT……………………………………………………………. i
ABSTRAK…………………………………………………………… ii
PRAKATA……………………………………………………………. iii
RIWAYAT HIDUP iv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN v
DAFTAR ISI …………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiv
I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2. Kerangka Pemikiran................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 3
1.4. Luaran Penelitian.................................................................................... 3
1.5. Kebaruan (Novelty) 4
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 5
2.1. Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI)............... 5
2.2. Keterkaitan RTH dengan UHI............................................................... 6
2.3. Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI...................................... 11
2.4. Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI............................... 12
2.5. Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI................................... 14
2.6. Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi.................................... 15
2.7. Penginderaan Jauh................................................................................. 18
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN .................................. 23
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian................................................................. 23
3.2. Alat dan Bahan........................................................................................ 25
3.3. Metodologi Penelitian............................................................................. 26
3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara.......................... 26
3.3.2. Kontribusi RTH, Kepadatan Populasi, RTB, dan 35
Kepadatan Kendaraan terhadap UHI.....................................................
3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi......................... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 43
4.1. Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat............................................ 44
4.2. Pendugaan Nilai RTH dari Landsat........................................................ 50
4.3. Penentuan Neraca Energi....................................................................... 52
4.4. Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara........................................... 57
4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara....................................... 64
4.5. Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI……..... 67
4.5.a. Pembahasan Fenomena UHI................................................................... 70
4.5.b. Simulasi dan Validasi Model Fenomena UHI.................................... 72
4.6. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi......................... 73
4.6.a. Pembahasan Dampak UHI terhadap THI.............................................. 76
4.6.b. Simulasi dan Validasi Model UHI dan THI....................................... 76
4.6.c. Dampak UHI terhadap Neraca Energi Permukaan............................... 78
4.6.d. Pembahasan Dampak UHI terhadap Fluks LE dan H........................... 80
4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi....................... 83
V. SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 85
5.1. Simpulan............................................................................................... 85
5.2. Saran..................................................................................................... 86
VI. DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 88
LAMPIRAN.......................................................................................... 98
1. Analisis Komponen Utama.................................................................... 98
2. Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan kedua 103
dengan UHI setelah analisis rotasi varimax.................................
3. Hasil Lengkap penentuan hubungan UHI dan THI................................ 104
DAFTAR TABEL
No. Text Hal
1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK...................................... 10
2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK……………………… 10
3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan 12
populasi perdekade wilayah JABOTABEK…………………………….
4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah
JABOTABEK............................................................................................ 13
5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) perdekade wilayah JABOTABEK...... 15

6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah.......................................... 16


7. Selang kenyamanan beberapa negara ..................................................... 17
8. Studi aplikasi citra landsat yang dikaitakan dengan iklim 21
kota............................................................................................................
9. Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara...................... 45
10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi 47
wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004................................

11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK................................................. 52


12. Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model 58
(S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004……………….
13. Nilai kontanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu udara 60
JABOTABEK……………………………………………………………
14. Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar 64
5% di JABOTABEK.................................................................................
15. Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK……………... 68
16. Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total ragamnya 69
untuk empat kota JABOTABEK……………………………………..
17. Kontribusi peubah prediktor dalam persen terhadap 70
UHI………………………………………………………………………
18. Hasil simulasi dan validasi UHI empat kota
JABOTABEK ........................................................................................... 73
19. Nilai kontanta dan koefisien persamaan UHI dan THI
JABOTABEK……………………………………………………………
74
20. Perubahan THI akibat perubahan UHI berdasarkan 75
interpretasi model persamaan JABOTABEK...........................................
21. Hasil simulasi dan validasi THI empat kota 77
JABOTABEK............................................................................................
22. Nilai kontanta dan koefisien persamaan fluks LE, H dan UHI 78
JABOTABEK……………………………………………………………
23. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di empat kota JABOTABEK..... 80
24. Nilai rasio Bowen di empat kota JABOTABEK 81
dibandingkan kota-kota lain......................................................................
25. Rasio nilai LE, H dan G wilayah JABOTABEK...................................... 82
26. Simulasi dan Validasi nilai LE dan H JABOTABEK............................ 83
DAFTAR GAMBAR
No. Text Hal
1. Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI .............................. 2
2. Fenomena UHI di malam hari, suhu udara (garis tebal), 5
suhu permukaan (garis putus-putus).........................................................
3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi 6
di tengah gambar seperti sebuah pulau panas .........................................
4. Fungsi RTH Perkotaan ............................................................................ 7
5. Wilayah studi............................................................................................ 24
6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara............. 27
7. Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi, 39
RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI..........................................
8. Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H...................... 42
9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara………………………… 46
10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat
periode 1991, 1997 dan 2004…………………………………………... 49
11. Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK
Periode 1991, 1997 dan 2004………………………………………… 51
12. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan 53
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta…………………………
13. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan 54
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor…………………………
14 Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
55
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang………………………
15 Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
56
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi…………………………
16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun 59
1991 (a) dan data tahun 1997 (b)………………………………………..
17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991 59
untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil ekstraksi 1997 untuk
data 1991 (b)............................................................................................
18. Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu udara (Ta) pada 61
Tujuh wilayah kajian ...............................................................................
19. Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH wilayah JABOTABEK... 63
20. Persamaan terpilih dampak UHI terhadap THI........................................ 74
21. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta (a dan b) 79
Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f) dan Bekasi (g dan h)……………
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) JABOTABEK berkurang 23% selama


periode 1972-1997. Dalam periode yang sama terjadi peningkatan ruang
terbangun (RTB) sebesar 23% (Zain, 2002). Pengurangan RTH diduga salah
satu penyebab peningkatan suhu udara. Diperlukan penelitian untuk membuktikan
dugaan tersebut.
Peningkatan suhu udara perkotaan merupakan fenomena Urban Heat
Island (UHI), yakni peningkatan suhu udara perkotaan (urban) dibandingkan
wilayah suburban dan rural.
Kajian UHI dengan pendekatan analisis data stasiun cuaca telah dilakukan
oleh Hidayati (1990); Karyoto et al. (1992); Adiningsih (1997) dan Santosa
(1998) didapatkan suhu udara kota Jakarta lebih tinggi 0.02-1.0 oC dibandingkan
wilayah suburban/rural. Dalam studi yang bertema keterkaitan RTH dan UHI di
wilayah JABOTABEK dilakukan analisis dengan menggunakan data
penginderaan jauh. Kelebihan penginderaan jauh dalam hal penyediaan data
spasial rapat dengan akurasi baik serta cakupan wilayah yang luas telah
dibuktikan oleh Streutker (2003). Sehingga keterbatasan jumlah stasiun cuaca
konvensional secara spasial dapat ditutupi dengan penggunaan penginderaan jauh.
Keunggulan lainnya dalam hal tersedianya multikanal, sehingga untuk sekali
pengambilan data dapat dikeluarkan beberapa parameter secara bersamaan,
dengan demikian penentuan hubungan keterkaitan antara RTH dan suhu udara
menjadi potensial sebagai bahan kajian.
Keterkaitan RTH dengan UHI dibuktikan oleh Oke (1998) dan McPherson
(2000), keterkaitan kepadatan populasi dengan UHI dikaji oleh Stalling (2004)
dan Pongracz et al.(2005), keterkaitan peningkatan ruang terbangun (RTB)
dengan UHI dikemukakan oleh Belaid (2003) dan Weng (2003) serta keterkaitan
kepadatan kendaraan dengan UHI diungkap oleh Adiningsih (1997) serta Yani
dan Effendy (2003). Keberadaan RTH, populasi, RTB dan kepadatan kendaraan
masing-masing secara terpisah terbukti sebagai penyebab UHI. Perlu ditelaah
lebih jauh bagaimana kontribusi pengurangan RTH, kepadatan populasi,
2
peningkatan luasan RTB dan kepadatan kendaraan bila dikaji secara bersamaan.
Sehingga dapat ditelaah lebih jauh kontributor paling dominan dari ke empat
peubah yang secara terpisah berperanan besar terhadap UHI.
Dampak UHI secara lokal terhadap perubahan kenyamanan dan neraca
energi diungkap oleh Oke (1997) dan Voogt (2002), untuk wilayah nontropis.
Perlu kajian dampak UHI terhadap Temperature Humidity Index (THI) untuk
mengetahui perubahan kenyamanan dan kajian neraca energi permukaan
perkotaan wilayah tropis, khususnya JABOTABEK. Pemilihan kajian pada
wilayah JABOTABEK berdasarkan pada potensi terjadinya UHI lebih besar dan
sebagai pusat pemerintahan serta sebagai aset nasional bangsa, diharapkan
keluaran hasil penelitian bernilai strategis.

1.2. Kerangka Pemikiran


Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang,
disusunlah kerangka pemikiran kajian kaitan RTH dengan UHI seperti yang
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI


JABOTABEK

Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan kerangka pemikiran penelitian


didasarkan pada keberadaan RTH pada skala mikro memiliki fungsi ekologis
dalam hal mengatur suhu udara, sehingga setiap kebijakkan mengubah RTH akan
mengubah suhu udara. Kajian suhu udara pada wilayah perkotaan merupakan
3
fenomena UHI. Fenomena UHI berdasarkan kajian pustaka disebabkan banyak
faktor, selain RTH. Faktor lain tersebut di antaranya kepadatan populasi (KPop),
luasan RTB dan kepadatan kendaraan (KKdr). Fenomena UHI diyakini
menyebabkan terjadinya perubahan indeks kenyamanan (∆THI) dan juga
perubahan (∆) neraca energi permukaan.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dari kerangka pemikiran
tersebut adalah:
(1) Bagaimanakah bentuk hubungan fungsional antara RTH dan suhu
udara?
(2) Bagaimana kontribusi RTH, peningkatan kepadatan populasi, RTB
dan kepadatan kendaraan terhadap UHI?
(3) Bagaimana dampak UHI terhadap THI dan neraca energi?
Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasar identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian sebagai berikut:
1. Menentukan bentuk hubungan RTH dan suhu udara dengan
menggunakan data Landsat;
2. Mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan
kendaraan terhadap UHI;
3. Mengkaji dampak UHI terhadap THI dan neraca energi.

1.4. Luaran Penelitian


Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema
keterkaitan RTH dengan UHI wilayah JABOTABEK antara lain:
1. Memperkaya pengetahuan bidang klimatologi terapan khususnya
keterkaitan RTH dengan UHI, serta kajian dampak UHI terhadap THI
dan neraca energi permukaan wilayah perkotaan.
2. Mengungkap potensi pemanfaatan penginderaan jauh, khususnya data
Landsat dalam kajian Klimatologi Terapan.
4
3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait tentang
pentingnya mempertahankan luasan RTH dalam menyusun rencana
strategis pengembangan JABOTABEK.

1.5. Kebaruan (novelty)


Sedikitnya ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian
yang berjudul: Keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island Wilayah
JABOTABEK adalah:
(1) Ditemukan keterkaitan RTH dengan suhu udara dalam bentuk
persamaan kuantitatif. Sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan
RTH mutlak bagi suatu kawasan perkotaan agar didapatkan suhu
udara pada batasan nyaman bagi penghuni perkotaan.
(2) Dapat diketahui secara bersamaan bahwa RTH, kepadatan populasi,
RTB dan kepadatan kendaraan berperan cukup besar dan nyata
terhadap fenomena UHI perkotaan. Sehingga dapat diungkap bahwa
setiap fenomena UHI disebabkan oleh peubah prediktor dominan
yang berbeda. Hal ini terjadi akibat berbedanya karakteristik yang
mendominasi setiap kota.
(3) Upaya pengurangan UHI perkotaan secara nyata dapat memulihkan
kondisi kenyamanan perkotaan melalui penurunan nilai indeks THI.
Ketiga hal tersebut diharapkan sedikitnya menyumbang informasi bagi
berbagai pihak terutama bagi kelompok pengkaji kawasan JABOTABEK. Serta
pihak-pihak pemerhati masalah lingkungan perkotaan dan para pengambil
kebijakan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI)


Menurut Voogt (2002) fenomena UHI merupakan gambaran peningkatan
suhu udara urban (perkotaan) pada urban cover layer (UCL) atau lapisan di
bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah rural (pinggiran),
khususnya di malam hari yang tenang dan cerah (Gambar 2). Dinamakan pulau
panas karena bentuk fenomena UHI bila digambarkan secara spasial berbentuk
isoterm seperti sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan
areal sekitarnya (Gambar 3).

Gambar 2. Fenomena UHI di malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal),
suhu permukaan (garis putus-putus)
Sumber: Voogt (2002)
6

Gambar 3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di


tengah gambar seperti sebuah pulau panas
Sumber: Voogt (2002)

Beberapa hasil kajian UHI mencatat bahwa perbedaan suhu udara


perkotaan lebih tinggi 0.02-1oC dibandingkan daerah daerah sekitarnya (daerah
pinggiran/rural) di kota-kota tropis (Hidayati, 1990; Karjoto, et al. , 1992;
Santosa, 1998; Mulyana et al. (2003).
Di negara subtropis fenomena UHI lebih dirasakan pada musim semi dan
musim panas, terutama di malan hari. Suhu udara lebih tinggi sekitar 3-5oC
hingga dapat mencapai 8-10oC sementara di siang hari hanya berbeda 1-2oC.
Hasil ini merupakan kesimpulan dari berbagai riset di negara-negara bagian USA
yang dilakukan Givoni (1998), bahkan di Houston, Texas (USA) oleh Streuker
(2003) hanya mendapatkan peningkatan sebesar 0.8oC periode 1987-1999 pada
siang hari berdasarkan data satelit; di Kota Gothenburg, Swedia oleh Svenson dan
Eliasson (2002) sebesar 4-8oC di saat malam yang tenang dan cerah, sementara
pada kondisi berangin dan berawan peningkatan suhu udara perkotaan hanya
sebesar 2.5oC. Sedangkan di Kota Phoenix (Arizona, USA) suhu udara malam
hari meningkat sebesar 5oC, di siang hari sebesar 3.1oC (Baker, et al. 2003).

2.2. Keterkaitan RTH dengan UHI


Berdasarkan lokasinya RTH di JABOTABEK lebih tepat diartikan sebagai
RTH perkotaan (urban green space), Zain (2002) menambahkan kata urban
karena antara manusia dan RTH JABOTABEK terjalin interaksi yang erat,
7
sehingga RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan (Nurisjah et al., 2005).
Nurisjah et al., (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH publik
maupun RTH privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan
fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi.
Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Fungsi RTH Perkotaan


Sumber: Nurisjah et al., (2005)

Hasil kajian Purnomohadi (1995) terhadap peran RTH dalam pengendalian


kualitas udara di DKI Jakarta mendapakan hasil: RTH mampu menekan emisi
CO, NOx dan Pb (melampaui baku mutu KepMenLH 02/1998) dari sektor
transportasi (90%), industri (7%), sampah kota (3%) dan rumah tangga (< 1%)
masing-masing sebesar 3%, 2% dan menekan emisi Pb sebesar 2% terhadap bobot
emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas
seperti NOx (termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap
panas 300 kali dibandingkan CO2) akan mengurangi dampak pemanasan baik
lokal, maupun regional seperti fenomena UHI.
Kajian Santosa dan Bey (1992) menemukan keberadaan Kebun Raya
Bogor tetap nyaman terjaga dari pengaruh pembangunan fisik dan padatnya lalu
8
lintas kota dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami,
sementara THI di sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga Kebun Raya Bogor
tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah
akibat pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek
penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk
memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga kehadiran RTH membawa
rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi
makhluk hidup di sekitar RTH.
Tipe RTH yang banyak terdapat di Jawa Barat berupa kebun berbagai
tanaman hortikultura di sekitar rumah dikenal dengan istilah home garden
menyebabkan turunnya suhu udara 0.5-1oC serta meningkatkan RH 3-4% di
bandingkan lahan terbuka (Koesmaryono, et al. 2000). Hal ini berarti
keberadaan RTH mampu meredam fenomena UHI serta mempertahankan THI
pada batas nyaman.
Hasil riset lapangan Zain (2002) kawasan JABOTABEK mengidentifikasi
sedikitnya 9 tipe RTH: tanaman di gedung pemerintahan, tanaman di areal pusat
bisnis, tanaman di areal industri, taman, RTH di pemukiman kota, RTH
pemukiman pinggiran kota, pedesaan, areal sawah, serta hutan kota. Masing-
masing tipe berbeda dalam efektivitasnya mengurangi suhu udara, berdasar kajian
Irwan (1994) bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan
vegetasi (rumput, semak dan pohon) dapat mengurangi kebisingan sebesar 6%-
30%, debu sebesar 38%-68%, dan suhu udara di bawah tajuk sebesar 0.1-0.5oC
dibandingkan RTH bergerombol, dan berbentuk jalur. Hal yang sama diungkap
Misawa (1994) tentang efektivitas jalur hijau dengan lebar lebih dari 2 km,
dengan kombinasi vegetasi rumput, semak dan pohon mampu meredam 75% debu
perkotaan.
Namun keberadaan RTH di banyak kota terancam oleh penyebab
pengurangan RTH seperti, meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan
pemukiman, perluasan kota serta industri (Sudha and Ravindranath, 2000),
meledaknya populasi (Oke, 1982; Shosshany and Goldshleger, 2002) serta
urbanisasi (Ghosh, 1998; Murakami, et al., 2005). Akibatnya terjadi fenomena
UHI yang berdampak pada perluasan wilayah tidak nyaman. Hal serupa
9
didapatkan oleh Khomarudin (2005) untuk kota Surabaya dan sekitarnya, dengan
menggunakan data Landsat dan NOAA secara visual akibat perubahan lahan
bervegetasi menjadi lahan perkotaan meningkatkan suhu udara yang berimplikasi
pada meluasnya UHI. Namun hubungan secara empiris lewat persamaan
matematika belum ditemukan.
RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto
sebagai panas laten (latent heat) sehingga meminimalkan penggunaan energi
untuk memanaskan udara (sensible heat). Akibatnya pada lahan bervegetasi
cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu, Moll (1997) merekomendasikan kota
harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara
dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Penghitungan tersebut didasarkan pada
perhitungan neraca energi yaitu konversi radiasi netto lebih banyak digunakan
untuk panas laten, sehingga mengurangi porsi sensible heat, akan efektif bila
luasan RTH 40% dari luasan lokasi kota.
Melalui kombinasi penaungan dan pendinginan udara lewat transpirasi,
RTH dapat digunakan untuk mencegah UHI akibat perkembangan area perkotaan
(Grimmond et al., 1996, Ca et al., 1998, Spronken-Smith dan Oke, 1998). Selama
kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang
diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju
pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2
di atmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak
pemanasan global (McPherson, 2000).
Selain RTH, badan air juga dapat mengontrol UHI, karena energi netto
secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat proses evaporasi, sehingga
energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah menimal,
khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert (1990) di
Jerusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al. (1999).
Hasil penelitian terbaru mengenai luasan (ha) dan proporsi RTH (%)
didasarkan pada analisis citra Landsat disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan 2
sebagai berikut:
10
Tabel 1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK

KABUPATEN / Luas Ruang Terbuka Hijau (ha) Luas Wilayah


KOTA (ha)
1972 1983 1992 2000 2004
Kab. Bogor 269.145 264.479 260.178 230.324 234.945 279.382
Bogor 10.401 9.885 8.060 5.587 4.912 11.342
Kab. Bekasi 66.843 62.530 83.280 71.892 77.904 126.738
Bekasi 16.414 15.836 14.618. 8.977 7.240 22.683
Depok 16.780 18.090 17.533 12.935 9.780 19.991
Kab. Tangerang 62.427 77.551 82.739 60.687 66.601 112.612
Tangerang 9.997 8.219 8.468 5.053 3.820 18.538
DKI Jakarta 32.709 20.012 17.956 10.190 7.166 63.533
Sumber: Agrissantika, et al. (2007)

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa hingga 2005 semua wilayah


kabupaten secara luasan (ha) dan proporsi luasan RTH (%) masih mempunyai
potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam
fenomena UHI. Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki wilayah
kabupaten masih cukup luas, terutama di Kabupaten Bogor luasan RTHnya
234.945 ha atau 85% dari total luas wilayah diikuti Kabupaten Bekasi dan
Tangerang masing-masing 77.904 ha (61%) dan 66.601 ha (59%). Sedangkan
wilayah perkotaan berada pada proporsi di bawah 50%, dengan RTH terendah di
kota DKI Jakarta sebesar 11%.
Tabel 2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK
KABUPATEN / KOTA Proporsi Ruang Terbuka Hijau

1972 1983 1992 2000 2005


Kab. Bogor 96% 95% 93% 82% 84%
Bogor 92% 87% 71% 49% 43%
Kab. Bekasi 53% 49% 66% 57% 61%
Bekasi 72% 70% 64% 40% 32%
Depok 84% 90% 88% 65% 49%
Kab. Tangerang 55% 69% 73% 54% 59%
Tangerang 54% 44% 46% 27% 21%
DKI Jakarta 51% 31% 28% 16% 11%
Sumber: Agrissantika, et al. (2007)
11
2.3. Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI
Peningkatan populasi secara langsung lewat emisi panas tubuh dan secara
tidak langsung melalui aktivitas penghasil gas rumah kaca, terbukti secara lokal
menyebabkan peningkatan suhu udara (Tso, 1996; Jauregui et al. 1997; Tayanc
dan Toros, 1997; Brandsma et al. 2003; Chung et al. 2004; Mihalakakou et al.
2004, Stalling, 2004; Zhou, 2004). Intensitas UHI cenderung meningkat sejalan
dengan peningkatan populasi dan atau luasan perkotaan (Park, 1986; Yamashita et
al., 1989; Chow, 1992; Hogan dan Ferrick, 1998; Magee et al. 1999; Philandras et
al. 1999, Torok et al. 2001; Hinkel et al. 2003.
Di Amerika Utara dan kota-kota di Eropa, Oke (1973) berhasil membuat
model regresi dengan peubah prediktor tunggal ukuran populasi, sebesar 70%
dapat menjelaskan peubah intensitas UHI. Dilanjutkan hasil penelitian Karl et al.
(1988) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1oC setiap
peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Pada skala regional Kukla
et al. (1986) mencatat peningkatan suhu udara perkotaan sebesar 0.12oC per-
dekade pada rentang periode 1941-1980. Sebagai penelitian pionir, Viterito
(1991) menduga peningkatan suhu udara perkotaan secara global di Amerika
Serikat sebesar 0.19oC akibat penambahan populasi 200 ribu jiwa atau lebih pada
tahun 2035.
Besaran UHI hasil penelitian yang dilakukan Pongracz et al. (2005) di 10
o
kota terpadat di Hungaria, Budapest didapatkan antara 1.2-2.1 C dengan
menggunakan hasil ektraks data satelit Terra, dengan sensor MODIS. Pongracz
menyimpulkan fenomena UHI yang terjadi di 10 kota Hungaria, Budapest
disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah penduduk. Besaran (magnitude)
UHI tertinggi 2.1 oC disumbangkan oleh kota terpadat, sedangkan terendah 1.2 oC
tercatat di kota berpopulasi terendah.
Hasil penelitian terbaru di JABOTABEK mengenai populasi dan potensi
kepadatan penduduk dari tahun 1961 hingga 2004 disajikan pada Tabel 3.
12
Tabel 3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan
populasi perdekade wilayah JABOTABEK

Lokasi 1961 1971 1981 1991 2000 2004


Jakarta
Penduduk
(jiwa) 2.906.533 4.576.009 6.555.954 8.729.700 8.385.639 8.725.830
Luas (km2) 592 587 657 661 661 661
Kepadatan
(pop/km2) 4.910 7.796 9.971 10.750 12.681 13.195
Bogor
Penduduk
(jiwa) 1.468.248 1.864.652 2.823.201 4.248.038 5.379.279 5.594.078
Luas (km2) 3.020 3.020 3.021 3.379 3.463 3.463
Kepadatan
(pop/km2) 486 617 935 1.257 1.553 1.615
Tangerang
Penduduk
(jiwa) 850.390 1.066.695 1.515.677 2.93.653 4.107.282 4.682.948
Luas (km2) 1.325 1.325 1.325 1.399 1.414 1.414
Kepadatan
(pop/km2) 642 805 1.144 2.097 2.905 3.312
Bekasi
Penduduk
(jiwa) 692.817 830.721 1.205.108 2.244.292 3.328.127 3.864.525
Luas (km2) 1.600 1.599 1.284 1.484 1.484 1.484
Kepadatan
(pop/km2) 433 520 939 1.512 2.243 2.604
Sumber: Rustiadi, et al. (2007)
Berdasarkan Tabel 3 dan dikaitkan dengan hasil penelitian Oke (1973);
Karl et al. (1988); Kukla et al. (1986); Viterito (1991) serta Pongracz et al.
(2005), maka potensi UHI meningkat lebih besar di Jakarta diikuti Tangerang,
Bekasi dan terendah di Bogor, bila dikaitkan dengan kepadatan populasi setiap
kota.

2.4. Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI


Modifikasi RTH menjadi RTB salah satu penyebab utama terjadinya
fenomena UHI (Lo, et al., 1997). Yamashita dan Sekine (1991) menemukan
bahwa perubahan penggunaan lahan (land use change) dari RTH menjadi RTB
menjadi penyebab terjadi pemanasan secara lokal hingga regional.
Skinner dan Majorowichz (1999) meneliti selama abad 20 telah tejadi
perubahan RTH, khususnya hutan menjadi RTB akibat penebangan berakibat
pada peningkatan suhu udara pada periode yang sama. Sehingga modifikasi RTH
13
menjadi RTB diduga menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan di Cordillera
barat daya Canada hingga Texas. Sedangkan Narisma dan Pitman (2003)
mengobservasi dampak perubahan penutupan lahan menyebabkan peningkatan
suhu udara maksimum pada skala lokal di kawasan Australia.
Analisis dampak perubahan permukaan terhadap UHI secara lokal ditelaah
oleh Kim (1992); Quattrochi dan Ridd (1994); Aseada et al. (1996); Schlatter dan
Wilson (1997); Condella (1998); Unger et al.(2001); Belaid (2003) dan Weng
(2003). Secara umum kajian-kajian tersebut menduga bahwa perubahan
permukaan lahan berdampak pada peningkatan suhu secara lokal hingga 1.7-2.2oC
untuk RTB di musim panas, hingga 5.6oC di pusat RTB pada musim dingin.
Hasil studi di utara China oleh Zhao dan Zeng (2002), di New Orleans
oleh Sailor dan Fan (2002) dan di perkotaan dekat pantai oleh Atkinson (2003)
mencoba mengungkapkan bahwa material bangunan yang banyak dipakai pada
RTB sangat efektif dalam menyerap radiasi surya dan meradiasi energi balik ke
atmosfer dekat permukaan menyebabkan percepatan peningkatan suhu udara di
atasnya. Hal ini terjadi akibat secara bersama-sama, baik albedo, konduktivitas
panas dan kapasitas panas pada RTB mendukung pemanasan udara di atasnya
pada skala kajian lokal, regional dan global.
Hasil penelitian terbaru mengenai dinamika luasan lahan terbangun (RTB)
di kawasan JABOTABEK disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah
JABOTABEK

Tahun Jakarta Bogor Tangerang Bekasi


1961 19 4 30 24
1971 27 5 33 26
1981 35 6 35 28
1991 50 14 38 35
2001 69 28 43 38
2004 73 32 47 42
Sumber: Agrissantika et al. (2007)

Berdasarkan Tabel 4 kawasan potensial mengalami UHI terbesar terjadi di


Jakarta, diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor bila dikaitkan dengan
luasan RTB masing-masing kota.
14
2.5. Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI
Kepadatan kendaraan secara langsung mengemisikan panas lewat proses
pembakaran pada saat kendaraan melaju ataupun macet, bahkan pada saat macet
dapat lebih besar mengemisikan panas dibandingkan pada saat melaju. Secara
tidak langsung kepadatan kendaraan menyumbang fenomena UHI lewat emisi gas
rumah kaca khususnya NOx. Kemampuan NOx dalam menangkap panas sebesar
300 kali lipat diabndingkan gas CO2, karenanya pada skala lokal dan regional
sektor transportasi menjadi emiter terbesar bagi peningkatan UHI. Bila ditinjau
dari skala ruang kajian, maka dampak langsung kepadatan kendaraan terhadap
UHI terjadi pada skala lokal hingga regional, sedangkan dampak tidak langsung
kepadatan kendaraan kontribusinya terhadap pemanasan global dunia
menyumbang 24% secara total dari sektor energi atau terbesar kedua setalah
akitivitas industri. Bahkan di beberapa kota negera berkembang seperti Jakarta,
Surabaya, Bangkok, Manila sektor transportasi memberikan kontribusi paling
utama dari sektor energi terhadap pemanasan global.
Pada kajian yang dilakukan oleh Purnomohadi (1995); Adiningsih (1997),
didapatkan bahwa pengemisi gas rumah kaca terbesar disumbangkan oleh sektor
transportasi perkotaan, khususnya di Jakarta. Sehingga aktivitas transportasi
padat disertai kemacetan secara langsung mengakumulasikan sejumlah panas dan
secara tidak langsung mengemisikan gas rumah kaca ke udara, berdampak
terhadap terakumulasinya panas, sehingga fenomena UHI terjadi di Jakarta.
Pendapat yang sama pada kota lebih kecil dari Jakarta yaitu kota Depok,
didapatkan hasil bahwa fenomena UHI telah terjadi di kawasan Depok. Diduga
faktor penyebab utama fenomena UHI tersebut adalah telah terjadi peningkatan
emisi gas rumah kaca penyebab peningkatan panas perkotaan dengan kontribusi
terbesar dari sektor transportasi darat (Yani dan Effendy, 2003).
Hasil dokumentasi terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber
termasuk data dari Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) tahun 2005
jumlah unit kendaraan serta kepadatan (unit/km2) disajikan pada Tabel 5.
15
Tabel 5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) per-dekade
wilayah JABOTABEK

Lokasi 1961 1971 1981 1991 2001 2004


Jakarta
Kendaraan (unit) 37.855 42.855 47.855 83.445 176.442 234.668
Luas (km2) 592 617 657 661 661 661
Kepadatan
(unit/km2) 64 69 73 126 267 335
Bogor
Kendaraan (unit) 7.078 8.078 9.078 25.008 44.807 58.249
Luas (km2) 3.020 3.020 3.021 3.379 3.463 3.463
Kepadatan
(unit/km2) 2 3 3 7 13 17
Tangerang
Kendaraan (unit) 43.069 103.069 163.069 224.069 289.866 385.522
Luas (km2) 1.325 1.325 1.325 1.399 1.414 1.414
Kepadatan
(unit/km2) 33 78 123 160 205 273
Bekasi
Kendaraan (unit) 9.294 11.294 13.194 32.324 68.331 90.880
Luas (km2) 1.600 1.599 1.284 1.484 1.484 1.484
Kepadatan
(unit/km2) 6 7 10 22 46 61
Sumber: Yani dan Effendy, (2003) dan
DLLAJ Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, 2005

Berdasar Tabel 5, dapat dilihat bahwa wilayah Jakarta yang paling


potensial dalam peningkatan UHI bila dikaitkan dengan tingkat kepadatan
kendaraan. Hasil penelitian 3 tahun terakhir, didapatkan data peningkatan
kendaraan rata-rata sebesar 11% pertahun dengan dominasi kendaraan roda dua
(Ernawi, 2007).

2.6. Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi


Dampak UHI secara lokal di wilayah beriklim dingin dan beriklim panas,
dikemukan oleh Oke (1997), Givoni (1998) dan Voogt (2002). Secara rinci
disajikan pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa dampak UHI terhadap kenyamanan,
penggunaan energi, polusi udara, penggunaan air dan aktivitas biologis bernilai
negatif di wilayah beriklim panas, sedangkan wilayah beriklim dingin UHI
berdampak positif bagi kenyamanan, penggunaan energi dan aktivitas biologis
16
saat musim dingin dan gugur. Dampak positif dirasakan karena suhu udara di
musim dingin dan gugur menjadi tidak sedingin jika tanpa UHI.
Tabel 6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah
Dampak Wilayah iklim dingin Wilayah iklim panas
Kenyamanan Positif di musim dingin dan Negatif sepanjang
gugur; negatif si musim semi tahun
manusia dan panas
Penggunaan Positif di musim dingin dan Negatif sepanjang
energi gugur; negatif si musim semi tahun
dan panas
Polusi udara Negatif Negatif
Penggunaan air Negatif Negatif
Aktivitas biologis Positif Negatif

Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan


pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia.
Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja
produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara
kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI.
Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975), pada wilayah tropis. Mulyana (2003)
mengaplikasikan rumusan tersebut untuk kajian aspek kenyamanan terhadap
perkembangan perkotaan Bandung.
Penggunaan Rumus Nieuwolt di Colombo, Sri Lanka, secara empiris
mengaitkan hubungan THI dan kenyamanan populasi. Pada THI antara 21-24 oC
terdapat 100% populasi menyatakan nyaman, THI antara 25-27oC hanya 50%
populasi merasa nyaman, serta pada THI > 27oC sebanyak 100% populasi
merasa tidak nyaman (Emmanuel, 2005).
Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara
perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai
THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti
pada Tabel 7.
17
Tabel 7. Selang kenyamanan beberapa negara
Negara Selang kenyamanan Pustaka

THI (oC)
Indonesia 20-26 Mom, 1947
Malaysia 21-26 Webb, 1952
India 21-26 Malhotra, 1955
USA bagian utara 20-22 American Society of heating
AC Engineers, 1955
USA bagain selatan 21-25 American Society of heating
AC Engineers, 1955
Daratan Eropa 20-26 McFarlane, 1958
England 14-19 Bedford, 1954

Berdasar Tabel 7 terlihat bahwa wilayah kajian tidak hanya wilayah tropis
seperti Indonesia, Malaysia, dan India, juga negara subtropis (USA bagian Utara,
USA bagian selatan, daratan Eropa dan England). Dari Tabel 7 terlihat untuk
wilayah tropis kisaran kenyamanan berada pada rentang nilai THI 20 hingga 26
o
C, nilai ini konsisten pada kedua negara tropis, kecuali Indonesia. Sedangkan
untuk wilayah subtropis didapatkan variasi yang signifikan. Untuk USA utara
pada kisaran nyaman pada rentang THI begitu sempit 20-22oC. Berbeda dengan
USA selatan antara 21-25oC. Sementara di daratan Eropa hampir sama dengan
Indonesia batas nyaman pada THI 20-26oC, kecuali England batas nyaman pada
nilai THI < 20 yakni 14-19oC. Keragaman ini terjadi terkait dengan latar
belakang lokasi pemukiman responden populasi. Misalnya Inggris wilayah
o
lintang tinggi dengan nilai THI selalu rendah (< 20 C), sehingga tatkala nilai THI
> 20oC semua responden menyatakan sudah tidak nyaman.
Menurut Tapper (2002) Radiasi netto permukaan bumi merupakan
gambaran dari kesetimbangan antara gelombang radiasi pendek yang datang (Rsin)
dikurangi yang pergi (Rsout) ditambah radiasi gelombang panjang yang datang
(Rlin) dikurangi yang pergi (Rlout).
Neraca energi penting dikaji karena dapat dijadikan sebagai penciri
kondisi iklim lokal/regional suatu lokasi, yang memberikan informasi nilai
masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan
udara, fluks pemanasan tanah dan fluks pemanasan laten (untuk evaporasi)
(Sellers et al, 1997; Katlthoff et al, 1999).
18
Ciri kota dibandingkan desa akan sangat berbeda dalam hal konversi
radiasi netto untuk ketiga hal baik sebagai pemanas udara, pemanas permukaan
maupun sebagai penguap air. Khomarudin (2005) mengkaji Kota Surabaya
menemukan ciri neraca energi kota pada besarnya komponen radiasi netto dipakai
untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya. Hal inilah yang diduga
menjadi penyebab makin meluasnya fenomena UHI di perkotaan.
Tiga konsep yang dikembangkan untuk mengkaji penggunaan neraca
energi perkotaan: (1) Konsep Albedo (α) yaitu, rasio antara radiasi gelombang
pendek yang dipantulkan dengan radiasi yang datang pada permukaan.
Permukaan yang terang dan kering dicirikan oleh nilai albedo yang tinggi. (2)
Konsep Rasio Bowen (β) (Ohmura, 1982; Perez et al, 1999) yaitu, rasio antara
fluks untuk memanaskan udara dengan fluks penguapan. Permukaan kering
dicirikan nilai β yang tinggi. (3) Konsep Fraksi Alfa (Fα) dikembangkan oleh
Jarvis (1981) yaitu, rasio antara fluks penguapan dengan radiasi neto. Nilai Fα
indikator besar-kecilnya jumlah energi Rn yang dipakai untuk penguapan.

2.7. Penginderaan Jauh


Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di
Indonesia adalah Landsat (51%), disusul citra SPOT (19%), Foto udara (13%),
Radarsat (9%), JERS (8%), GMS (0.4%), dan jenis citra lain (0.6%), dengan
pengguna dari pemerintah, lembaga perguruan tinggi/peneliti dan pihak swasta
(Hanggono, et al. 2000). Penggunaan Landsat yang relatif tinggi karena beberapa
keunggulannya (EROS, 1995), seperti cakupan datanya yang luas (185 x 185 km)
dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16
hari sehingga terjaga kekontinuan datanya, dengan resolusi (30 x 30 m), cukup
baik bagi kajian karakteristik permukaan dengan data lebih rapat secara spasial,
serta dengan multi spektral, objek yang sama diambil dengan multi kanal
menghasilkan keluaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan
data. Sehingga hubungan dan penyusunan persamaan secara kuantitatif dapat
dilakukan antara RTH dengan suhu udara.
Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan
yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh
19
dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan
untuk mendeteksi pada satelit adalah sensor thermal Infrared.
Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300 K memberikan nilai pancaran
puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm, merupakan kisaran radiasi
infrared. Itulah sebabnya maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan
pada spektrum antara 8–14 μm (Sutanto, 1999).
Hasil riset dalam negeri telah banyak mengungkapkan keunggulan
penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam hal cakupan spasial yang luas,
historis data terjaga serta pengamatan yang tidak terlalu banyak, Risdiyanto
(2001) telah memonitor data cuaca di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data
satelit NOAA, Khomarudin (2005) menduga evapotranspirasi skala regional
menggunakan data satelit penginderaan jauh dipadukan antara data NOAA dan
Landsat TM untuk wilayah Surabaya.
Kajian spesifik menggunakan penginderaan jauh dan teknik model GIS
(Geographic Information System) untuk menganalisa UHI skala lokal dilakukan
oleh Vukovich (1983), Balling dan Brazel (1998), Weng (2001), Streutker (2002)
serta Xu dan Chen (2004). Penggunaan penginderaan jauh pada wilayah
perkotaan untuk mengevaluasi besaran UHI dilakukan oleh Johnson et al. (1994),
Nichol (1996), dan Weng (2003). Klasifikasi tutupan lahan serta kaitannya
dengan UHI dikaji oleh Kim (1992), Lo dan Quattrochi (2003), Hawkins et al.
(2004) dan Weng dan Yang (2004). Semua penelitian mengungkapkan potensi
penggunaan penginderaan jauh untuk menganalisis fenomena UHI mendapatkan
hasil yang baik dan akurat, meskipun tetap harus didukung oleh data observasi
lapang di stasiun klimat sebagai data referensis. Bahkan Yang (2000)
menggunakan penginderaan jauh dengan alasan membutuhkan data spasial yang
rapat dan akurat bagi kajian simulasi keseimbangan neraca energi permukaan
desa-kota di Nebraska timur. Sementara data dari stasiun yang ada dapat
digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkalibrasi hasil pendugaan data dari
ekstraksi Landsat.
Voogt dan Oke (2003) mencatat penggunaan satelit saat ini dengan
peningkatan pada resolusi spektral dan spasial, sehingga detil permukaan
perkotaan penyebab UHI dapat dikaji, serta peningkatan pada resolusi kanal
20
termal digunakan untuk mengkaji iklim wilayah perkotaan. Bahkan BenDor dan
Saaroni (1997) di Tel Aviv, Israel dengan menggunakan spasial kanal termal
dengan resolusi sangat tinggi dapat mengkaji mikrostruktur permukaan kota,
sehingga dapat dilakukan kajian iklim mikro perkotaan.
Penginderaan jauh digunakan juga untuk mengkaji hubungan vegetasi
dengan suhu permukaan oleh Gallo et al. (1993), Friedl dan Davis (1994), Gallo
dan Owen (1999) serta Gallo et al. (2002). Kajian tentang hubungan vegetasi
dengan suhu permukaan menggunakan NDVI dilakukan oleh Nichol (1994),
Gallo dan Tarpley (1996), Owen et al. (1998), Quattrochi dan Ridd (1998).
Kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga
dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu
permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang
membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data
NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan.
Kajian model pendugaan berdasarkan persamaan empiris untuk
menghitung komponen neraca energi, dilakukan oleh Xinmei et al. (1993),
Dibella et al. (2000) dan Pielke Sr, et al. (2002). Hasil kajian neraca energi
cukup akurat bila luasan wilayah kajian mencakup kawasan yang luas (regional)
dengan tutupan lahan homogen misalnya bila mengkaji skala perkebunan yang
luas, areal padang pengembalaan dan kawasan hutan dengan tanaman sejenis,
kawasan kota besar. Sedangkan penggunaan lahan dengan tanaman campuran,
skala kajian yang lokal, dan areal pedesaan didapatkan hasil hitungan komponen
neraca energi yang kurang akurat. Hal ini terjadi karena pengideraan jauh
didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel
dijumpai berbagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan
tertentu yang secara rata-rata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya,
misalkan pixel tersebut dianggap sebagai RTB padahal di dalamnya ada RTH, ada
badan air, namun secara rata-rata lebih dominan RTB.
Pada kurun waktu 11 tahun sejak 1990 hingga tahun 2000 Voogt dan Oke
(2003) membuat intisari tentang kajian iklim perkotaan yang menggunakan
penginderaan jauh, khususnya mengekstrak data Landsat, disajikan pada Tabel 8.
21
Tabel 8. Studi aplikasi citra Landsat yang dikaitkan dengan iklim kota
Peneliti (tahun) Aplikasi
Carnahan and Larson Perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan
(1990) rural
Kim (1992) Model neraca energi urban
Aniello, et al. (1995) Distribusi spasial suhu permukaan urban dan suhu
permukaan vegetasi
Iino dan Hoyano (1996) Model neraca energi perkotaan menggunakan
pengideraan jauh dan GIS
Lougeay, et al. (1996) Pola suhu berkaitan dengan tipe lahan
Nichol (1996) Bentuk spasial suhu permukaan kaitannya dengan
morfologi urban
Gallo dan Owen (1998) Identifikasi multispektral ruang perkotaan untuk
menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi
suhu pada skala besar
Nichol (1998) Pendugaan suhu permukaan dinding dengan remote
sensing menyusun suhu urban secara tiga dimensi
Parlow (1999) Model neraca energi urban menggunakan metode
spektral
Wald and Baleynaud Evaluasi kualitas udara menggunakan metode
(1999) remote sensing
Sumber: Voogt dan Oke (2003)

Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data
Landsat. Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji
karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian
Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji
perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan
kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995)
mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi.
Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan
morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu
urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan
tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas
penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat
diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau
kaitan ouput yang satu dengan output yang lain.
Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi
perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk
22
wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu
udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh
Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan
pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban
dengan pendekatan spektral. Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh
dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis
masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat
dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga
kajian potensi kekeringan dapat dilakukan.
Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan
kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan
Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk
menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan
kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM
dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999). Dari tema ketiga diperoleh hasil
bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap
monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun
pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data
penginderaan jauh.
Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra
Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree
(2006). Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi
Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003
sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles
dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin
luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan
meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan
proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten),
semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.

.
23
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian meliputi dua tahapan: Tahap pertama kajian pustaka dimulai


periode Juni 2005 hingga Desember 2005. Tahap kedua pengumpulan,
pengolahan, analisis, interpretasi, kalibrasi dan verifikasi data serta penulisan
laporan dimulai Januari 2006 hingga Juli 2007 di Laboratorium Meteorologi dan
Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA-
IPB dan di Laboratorium Perencanaan Lanskap-Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian-.IPB. Wilayah kajian melingkupi JABOTABEK (tiga
provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) seperti terlihat pada Gambar 5.
Wilayah JABOTABEK seperti yang tersaji pada Gambar 5 meliputi empat
kota besar Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dan tiga Kabupaten yakni,
Bogor, Tangerang dan Bekasi. Jadi secara administrasi meliputi tujuh wilayah
otonomi (termasuk Depok). Wilayah JABOTABEK meliputi 6 752 km2,
merupakan metropolitan terbesar di Indonesia. Membentang dari pantai utara
hingga pegunungan di selatan. Terbagi menjadi tiga bentuk lahan, pesisir pantai,
dataran dan kawasan perbukitan. Kawasan pesisir pantai dengan topografi landai
berada pada ketinggian 0-25 m dpl di sebelah utara meliputi pantai Utara Jakarta
hingga Jakarta Selatan, kabupaten Bekasi di sebelah Timur dan kabupaten
Tangerang di sebelah barat. Kawasan dataran dengan topografi bergelombang
dengan ketinggian antara 25-200 m dpl meliputi, bagian tengah meliputi kota
Tangerang, Depok dan Bekasi. Serta kawasan perbukitan dengan topografi
berbukit/bergunung dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl sebelah selatan
meliputi kota dan kabupaten Bogor.
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, maka wilayah
kota ditetapkan harus memiliki 30% RTH, dengan proporsi 20% RTH publik dan
10% RTH privat. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal
untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem
hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya
akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Ruang terbuka hijau publik
24
merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah
kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Termasuk
ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman
umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Termasuk ruang
terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pemukiman, perdagangan, jasa,
industri, dan wisata kota, Bogor wilayah kota bagi pemukiman, jasa dan
perdagangan, sehingga mempertahankan RTH pada batas minimal sesuai
ketentuan UU No. 26 tahun 2007. Kota Tangerang diarahkan bagi kawasan
industri, perdagangan, jasa dan pemukiman serta Bekasi bagi pemukiman, jasa
dan perdagangan. Sementara wilayah kabupaten baik Bogor, Tangerang maupun
Bekasi bagi kawasan industri, pertanian tanaman pangan, dan wisata alam secara
tidak langsung akan memiliki luasan RTH lebih dari 30%. Sehingga ciri kota dan
kabupaten didasarkan pada luasan RTH akan semakin nyata.

Gambar 5. Wilayah studi


3.2. Alat dan Bahan
25
Seperangkat PC sebagai instrumen untuk menganalisis dan mengekstrak
data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara dan THI.
Bahan – bahan yang digunakan antara lain:
• Citra Landsat path/raw : 122/64-65 (JABOTABEK) akuisisi 1 Juli 1991, 20
Juli 1997 serta 23 Juli 2004 digunakan sebagai bahan untuk diektraks menjadi
data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara, serta THI.
Sebagai penelitian lanjutan pemilihan Landsat mengikuti penelitian terdahulu
yakni 1972, 1983, 1991, dan 1997. Untuk Landsat 1972 dan 1983 belum
mempunyai kanal termal sehingga ekstraksi suhu permukaan, suhu udara dan
THI tidak dapat dilakukan. Sebagai tambahan data adalah Landsat 2004,
merupakan tahun terakhir dari data Landsat yang tersedia (saat penelitian
berlangsung).
• Tahun 1991 menjadi tahun awal bagi perkembangan pesat wilayah
JABOTABEK sehingga diduga menggambarkan kondisi awal terjadinya
peningkatan suhu udara akibat RTH mulai berkurang. Tahun 1997 merupakan
kondisi terakhir perkembangan pesat JABOTABEK akibat krisis ekonomi
yang melanda. Sedangkan tahun 2004 adalah data terbaru pada periode
pengolahan data penelitian yang dapat diekstrak, diharapkan memberikan
gambaran tentang kondisi terakhir bagi peningkatan suhu udara dan juga laju
pengurangan RTH pasca kebangkitan Indonesia dari krisis ekonomi. Bulan
Juli dipilih, karena pada bulan tersebut kondisi perawanan di JABOTABEK
pada titik terendah sehingga ekstraksi Landsat bagi kajian suhu udara dan
klasifikasi lahan menjadi lebih mudah secara visual dengan akurasi yang lebih
baik.
• Peta spasial administrasi JABOTABEK skala 1: 25.000 digunakan sebagai
bahan cropping atau pemotongan wilayah kajian.
• Data jumlah penduduk dan kendaraan di JABOTABEK periode 1970-2004
digunakan sebagai input data analisis regresi berganda.
• Data suhu udara periode 1970-2004 wilayah JABOTABEK sebagai data
referensi dan kalibrasi hasil estimasi suhu udara luaran ekstrak Landsat, serta
data suhu udara 2005 sebagai bahan verifikasi model. Stasiun yang tersedia di
wilayah JABOTABEK meliputi 12 stasiun iklim:
No. Nama Stasiun Elevasi Posisi Lintang-Bujur
26
(m dpl)
1. Tanjung Priok 2.4 06°06’S-106°53’T
2. Jakarta Obs. 8.0 06°09’S-106°51’T
3. Cengkareng 14.0 06°11’S-106°06’T
4. Halim Perdana Kusuma 26.0 06°16’S-106°49’T
5. Ciledug 26.2 02°54’ S-104o42’T
6. Curug, Tangerang 46.0 06°14’S-106°39’T
7. Cibinong 125.0 06°24’S-106°49’T
8. Atang Sanjaya 161.4 06°33’S-106°46’T
9. Cimanggu 240.0 06°34’S-106°47’T
10. Darmaga 250.0 06°30’S-106°45’T
11. Kampus Baranangsiang 250.0 06°35’S-106°48’T
12. Muara 260.0 06°40’S-106°47’T

3.3. Metodologi Penelitian

Berdasarkan tiga tujuan yang ingin dicapai, maka disusun langkah-langkah


penelitian, dengan uraian sebagai berikut:
3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara

Untuk mempermudah memahami langkah-langkah penelitian maka pada setiap


tahapan disajikan bentuk diagram alir pada Gambar 6 berikut:
27

Citra Landsat

Koreksi citra Peta administrasi

Kanal 3,4 Cropping wilayah JABOTABEK Kanal 6

Kanal 1,2,3

NDVI Neraca Energi Ts

Persamaan NDVI Ta
dan RTH Dugaan Ta Observasi

tidak

RTH bangkitan Kalibrasi

ya

RTH Ta terkalibrasi

tidak Penentuan bentuk hubungan tidak

ya

Persamaan Terpilih

tidak

Validasi

ya

Aplikasi

Gambar 6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara
Pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut:
28
• Data Citra Landsat 5 akuisisi 1 Juli 1991, Landsat 5 akuisisi 20 Juli 1997
serta Landsat 7 akuisisi 23 Juli 2004, dilakukan pemulihan citra (image
restoration) meliputi koreksi radiometrik dari pengaruh atmosfer dengan
cara membentangkan nilai digital number (DN) dikenal juga sebagai grey
value pada nilai terendah pada angka nol dan nilai tertinggi pada angka
255, dengan cara melihat nilai histogram setiap kanal (band). Dari
histogram dapat diketahui nilai terendah pixel yang tidak merespon
spektral atau paling lemah dalam merespon spektral harusnya bernilai nol,
apabila tidak maka nilai penambahan (offset) tersebut dipandang sebagai
hasil dari hamburan atmosfer. Koreksi dilakukan dengan mengurangkan
semua nilai dengan besarnya offset tersebut. Lalu dilakukan koreksi
geometrik agar distorsi saat pengambilan citra dapat dikoreksi dan sesuai
dengan sistem ordinat di bumi. Ada dua cara koreksi geometrik, pertama
dikenal sebagai Regristrasi yakni mengoreksi citra dengan citra yang telah
dikoreksi dan kedua dikenal dengan Rektifikasi yaitu mengoreksi citra
dengan peta sebagai acuan, pada penelitian dipilih cara kedua. Ditentukan
sekitar 10 titik GCP (Ground Control Point) yang tersebar merata
mewakili setiap sudut citra baik atas, bawah, kanan dan kiri serta tengah.
Kemudian bila nilai RMS (Root Mean Square) di bawah 0.5 proses
koreksi selesai. Koreksi terakhir dilakukan penajaman citra (image
enhanchement) meliputi penajaman kontras, pewarnaan semu, dan
penapisan agar mudah melakukan interpretasi secara visual.
• Pemotongan citra dengan menggunakan peta digital administrasi
JABOTABEK 1991, 1997 dan 2004 sesuai dengan data citra yang akan
dipotong.
• Pada kanal 3 dan 4 dilakukan ekstraksi nilai NDVI dengan menerapkan
Rumus:
NDVI=(NIR - R) / (NIR + R).
• Berdasarkan Persamaan yang didapatkan Zain (2002):
Persen RTH = 382.4 NDVI + 20.793, data RTH (%) dibangkitkan sebagai
peubah prediktor.
• Pada kanal 1, 2 dan 3 diekstrak neraca energi sehingga didapatkan nilai-
nilai Rs in, Rs out dan Rl in, Rl out sehingga didapat Rn. Berdasarkan Rn
29
didapatkan G, H dan LE, secara rinci diterangkan pada akhir bab
metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.
• Pada kanal 6 diekstrak nilai suhu permukaan, secara rinci diterangkan pada
akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.
• Berdasarkan suhu permukaan dan fluks energi H diekstrak nilai suhu udara
(Ta). Agar sesuai dengan data observasi dari 12 stasiun iklim dilakukan
kalibrasi terhadap suhu udara hasil ekstraksi, dengan cara analisis regresi.
• Data RTH bangkitan dan Ta yang telah terkalibrasi diekspor menjadi data
tabel untuk diolah lebih lanjut, yakni penentuan bentuk hubungan.
• Penentuan bentuk hubungan suhu udara dan RTH dengan mencari model
persamaan kedua peubah tersebut apakah linier, kuadratik atau kubik.
Sebagai dasar pemilihan model persamaan adalah melihat pola penyebaran
data yang paling mendekati garis model persamaan, nilai koefisien
determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S). Koefisien
determinasi terkoreksi merupakan koefisien determinasi yang telah
memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model,
sehingga dianggap lebih peka. Koefisien determinasi terkoreksi
menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat
dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin
baik model. Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran
besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol),
makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). Setelah persamaan
terpilih dilakukan uji regresi baik konstanta (slope) maupun koefisien
persamaan. Dilanjutkan validasi persaman untuk mengetahui output nilai
dugaan dengan data observasi. Setelah validasi persamaan yang terpilih
dapat diaplikasikan atau direkomendasikan.

Adapun tahapan dan rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan data suhu
udara adalah sebagai berikut:
30
(1) Pendugaan Suhu Permukaan (Surface Temperature)
Estimasi suhu permukaan dari citra Landsat menggunakan kanal enam
pada kisaran panjang gelombang 10.40 hingga 12.50μm, dikenal sebagai kanal
thermal infrared . Meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

(a) Konversi Digital Number (DN) ke nilai Spectral Radiance


Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari
nilai DN, dirumuskan USGS (2003):

⎡ ⎤
Lλ = ⎢
Lmax λ − Lmin λ
( )
⎥ × QCALmax − QCALmin + Lmin λ ..…............................(1)
⎢⎣ QCALmax − QCAlmin ⎥⎦

Keterangan:
Lλ = Spectral radiance pada kanal ke-λ (Wm-2sr-1μm-1)
QCAL = Nilai digital number kanal ke-λ
Lminλ = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-λ
Lmaxλ = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-λi
QCALmin = Minimum pixel value 1 (LPGS Products) 0 (NLAPS Products)
Maksimum pixel value (255)
QCALmax =
(Semua nilai Lmin, Lmax, QCALmin dan QCALmax untuk setiap kanal baik untuk Landsat TM
maupun ETM+ terdapat pada Landsat User Handbook, USGS 2003)

(b) Konversi nilai spectral radiance (Lλ) ke Brightness Temperature (TB)


Persamaan menggunakan dua konstanta kalibrasi, K1= 666.09 Wm-2sr-
1
μm-1 dan K2 = 1282.71K untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K1=
607,76 Wm-2sr-1μm-1 dan K2 = 1260.56K, dirumuskan Planck:
K2 ……………….…...… ...................................... (2)
TB =
⎛ K1 ⎞
ln ⎜ + 1⎟
⎝ Lλ ⎠

(c) Konversi Brightness Temperature (TB) ke suhu permukaan (Ts)


Persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang ditentukan
pertama kali oleh Artis dan Canahan (1982) serta Weng (2001):
31
TB
Ts = .........................................................................(3)
λ TB
1+ x ln ε

Keterangan:
TS = Suhu permukaan (K)
Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan sebesar 11,5 µm nilai tengah
λ =
dari kanal 6
∂ = hc/σ (besarnya =1.438 x 10-2 mK)
h = Konstanta Planck's (6.26x10-34 J sec)
c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m.sec-1)
σ = Konstanta Stefan-Boltzman (1.38 x 10-23 JK-1)
Emisivitas objek, untuk lahan RTH=0.95 sedangkan non-RTH=0.92
ε =
(Weng, 2001)
TB = Suhu kecerahan (brightness temperature)

2. Penentuan Neraca Energi:


(a). Radiasi Netto dan Albedo
Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari
dan gelombang panjang yang datang ke permukaan bumi dengan gelombang
pendek dan gelombang panjang yang keluar. Dituliskan dalam persamaan sebagai
berikut:
Rn = R in − R out + R in − R out .....….................................................(4)
s s l l

Diuraikan menjadi:

Rn = (1 − α ) Rsin + ε aσTa4 0.7(1 + 0.17 N 2 ) − εσTs4 ...................................(5)

Keterangan:
Rn : Radiasi netto (Wm-2)
Rsin : Radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2) ekstraksi Landsat
Rsout : Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2)
Rlin : Radiasi gelombang panjang yang datang (Wm-2)
Rlout : Radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2)
α : Albedo permukaan (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
Ts : Suhu permukaan (K) (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
Ta : Suhu udara (K) (diduga dari ekstraksi Landsat)
ε : Emisivitas permukaan (Weng, 2001)
εa : Emisivitas udara (0.938 x 10-5 Ta2 K-2)
σ : Tetapan Stefan-Bolztman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)
N : Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0

Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan


( R s out ), dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang
32
gelombang pendek. Pada citra Landsat kisaran panjang gelombang pendek
diterima oleh kanal visible (1,2 dan 3). Persamaan yang digunakan mengikuti
persamaan 1 dengan nilai QCAL, Lmin dan Lmax untuk kanal 1,2 dan 3.
Albedo ( α ) merupakan perbandingan radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan permukaan dengan radiasi radiasi gelombang pendek yang datang
pada permukaan tersebut dirumuskan sebagai:

Rs out
α= ...... ……………………………………..................(6)
Rsin

Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2003) dipengaruhi oleh
beberapa parameter seperti: Jarak astronomi bumi-matahari (d), rata-rata nilai
solar spectral irradiance pada kanal tertentu ( ESUN λ ), Spektral Radiance (Lλ),

dan sudut zenith matahari ( Cos θ ), dapat ditentukan dengan menggunakan


persamaan :

π .Lλ .d 2
α= ..........................… ........................................ ....(7)
ESUN λ .Cos θ
Untuk menghitung nilai d2 perlu diketahui JD (Julian Day) artinya jumlah
hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi
data citra satelit pada tahun yang bersangkutan. Persamaan yang digunakan:

d 2 = (1 − 0.01674 × Cos (0.9856( JD − 4)) ) .............................................. (8)


2

Pada data satelit, diketahuinya nilai albedo dan jumlah energi radiasi
gelombang pendek yang di pantulkan oleh suatu permukaan. Sehingga besarnya
Radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan dapat dirumuskan
berdasarkan persamaan berikut:
Rsout
R sin = ………………………...................................................... (9)
α
Satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek masih dinyatakan
dalam satuan Wm-2steradian-1μm-1. Hal ini menyatakanan laju perpindahan energi
(W, Watts) yang terekam oleh sensor per m-2 luas permukaan, untuk 1 steradian
33
(sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per-unit
panjang gelombang dalam satu kali pengukuran.
Langkah selanjutnya mengkonversi Wm-2steradian-1μm-1 menjadi satuan
energi Wm-2, agar dapat dilakukan perhitungan lanjut dengan parameter lainnya.
Untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat
lengkung permukaan bumi, maka nilai radiasi adalah fungsi dari nilai irradians
yang terbebas dari besaran arah dan disebut sebagai radiasi Isotopic. Fungsi
perhitungan adalah integral terhadap dΩ yang menghasilkan persamaan berikut:

E = πd 2 ……………..……........ ........................................................( 10)


Keterangan:
E = Energi (Wm-2 μm-1)
π = 3.14
d = Jarak bumi matahari dalam satuan astronomi.

Untuk menghilangkan unsur panjang gelombang (μm-1) maka perlu


dikalikan dengan nilai tengah panjang gelombang dari masing-masing kanal.
Radiasi gelombang panjang yang dipantulkan (Rlout) dapat diturunkan dari
persamaan Stefan-Boltzman, dimana ε = emisivitas, Ts merupakan Suhu
permukaan objek (K) dan σ =Tetapan Stefan-Boltzmann (5.67x10-8 Wm-2 K-4):

Rlout = εσTs4 .......……….......................................................... (11)

Radiasi gelombang panjang yang datang (Rlin) merupakan emisi dari


atmosfer, uap air dan awan diperhitungkan dengan menggunakan persamaan:
Rlin = ε aσTa 0.7(1 + 0.17 N 2 ) dapat juga menggunakan persamaan Stull (1995):

Rlin = Rl netto− Rlout = 98.5(1 − 0.1σH − 0.3σM − 0.6σL) − Rlout


Di mana σH, σM dan σL adalah persentase penutupan awan tinggi, menengah dan
rendah. Karena data Landsat yang diolah cerah tanpa awan, sehingga persamaan
menjadi:

Rlin = 98.5 − Rlout .........................................................................(12)


Di mana 98.5 adalah konstanta dengan satuan Wm-2.
b. Fluks Panas Tanah (Soil Heat Flux)
Fluks panas tanah adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada
permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah.
34
Secara umum FAO (1998), menghitung nilai G pada saat siang hari sebesar
0.1Rn, sementara Allen et al (2001) dan Chemin (2003) menghitung soil heat
flux dari radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan nilai NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index) sebagai berikut:
G Ts
= (0.0038α + 0.0074α 2 )(1 − 0.98 NDVI 4 ) ……….…………………13)
Rn α
Keterangan:
G : Fluks energi untuk memanaskan permukaan secara konduksi (Wm-2)
Rn : Radiasi netto (Wm-2)
Ts : Suhu permukaan (K) (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
α : Albedo permukaan (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index (diturunkan dari ekstraksi
Landsat)

c. Fluks Panas Udara (Sensible Heat Flux)


Fluks panas udara adalah sejumlah energi dari radiasi netto yang
digunakan untuk memanaskan udara, dikenal sebagai sensible heat flux disingkat
fluks H. Dihitung berdasarkan persamaan neraca energi permukaan Rn = H + G +
H
λE dan persamaan Bowen ratio β = , sehingga diperoleh:
λE
β ( Rn − G )
H= .............…….…. ....... .................................................(14)
1+ β
(d) Fluks Panas Laten
Fluks panas laten adalah sejumlah energi radiasi netto yang digunakan
bagi proses penguapan dari permukaan dikenal sebagai latent heat flux, disingkat
fluks LE. Berdasarkan persamaan Rn = H + G + λE, fluks panas laten dapat
ditentukan nilainya mengikuti rumusan berikut:

λE = Rn − G − H .........................…...…………...…...……………(15)

3. Penentuan Suhu Udara


Suhu udara dapat diduga dari nilai sensible heat flux (Montheith dan
Unsworth 1990):
35
ρairC p (Ts − Ta )
H= ……….............….. .........................................(16)
raH
Berdasarkan persamaan 17, dapat ditentukan persamaan untuk menduga
suhu udara (Ta) sebagai:
⎡ H × raH ⎤
Ta = Ts − ⎢ ⎥ ............................................................................... (17)
⎣⎢ ρ air × C p ⎦⎥
Keterangan:
H = Fluks pemanasan udara (Wm-2)
ρ air = Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3)
CP = Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1K-1)
Ts = Suhu permukaan (K)
Ta = Suhu udara (K)

Tahanan aerodinamik (sm-1) Rosenberg (1974):


raH = 31.9 × u −0.96 u: kecepatan angin normal pada
raH =
ketinggian 1-2 m untuk RTB=1.79 ms-1 dan RTH=1.41 ms-1

3.3.2. Kontribusi RTH, Kepadatan Populasi, RTB, dan Kepadatan


Kendaraan terhadap UHI

Tahap ini dilakukan untuk menguji apakah fenomena UHI dominan disebabkan
oleh RTH atau selain RTH, dengan menggunakan model persamaan regresi
berganda. Nilai UHI didapatkan dari persamaan berikut:
UHI = (Taurban -Tasuburban/rural dalam oC) ……………………………….(18)
Di mana:
Peubah UHI dianalisis dari empat kota:
• Taurban meliputi: Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
• Tasuburban meliputi kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi
Sehingga dapat dilihat intensitas UHI terbesar pada empat wilayah kota, dengan
pembanding wilayah kabupaten (rata-rata nilai tiga kabupaten) yang sama.
Penentuan peubah prediktor RTH(%), kepadatan populasi (KPop), luasan ruang
terbangun (RTB:%) dan kepadatan kendaraan (KKdr) berdasarkan hasil kajian
pustaka bahwa secara terpisah ke-empat peubah tersebut mempunyai keterkaitan
yang erat dengan UHI.
Adapun bentuk model persamaan regresi berganda sebagai berikut:
Yi=f(X1i , X2i, ..., Xni, εi) ......................................................(19)
Di mana Yi merupakan peubah respon (UHI), merupakan fungsi dari
peubah prediktor (X) satu hingga ke n (n=4), dan εi (sisaan atau error). Adapun
penentuan bentuk akhir persamaan regresi ditetapkan melalui langkah-langkah
pengujian:
36
a. Uji plot tebaran data (scatterplot matrix) dilakukan secara simultan
sehingga tidak hanya pola hubungan antara Y dengan masing-masing
Xi tetapi juga pola hubungan antar peubah Xi. Plot kebebasan antar Xi
pada regresi berganda perlu diketahui apakah peubah-peubah bebasnya
tidak saling berkorelasi (multicolinearity). Karena ada korelasi nyata
antara peubah prediktor dilakukan metode Principal Components
Analysis (PCA) sebuah metode statistika yang mengubah peubah-
peubah prediktor asal menjadi peubah prediktor baru, lebih sederhana
karena jumlah peubah lebih sedikit, namun mampu menjelaskan total
ragam peubah-peubah prediktor asal semaksimal mungkin, dikenal
oleh Hotelling (1935). Kemudian dilakukan rotasi varimax, untuk
mengetahui kontribusi peubah prediktor.
b. Langkah-langkah analisis komponen utama meliputi delapan tahap
(Haan, 1979; Siswadi dan Raharjo, 1998; von Storch and Zwiers,
1999) sebagai berikut:
1. Penghitungan matriks korelasi R peubah asal (RTH, KPop, RTB dan
KKdr yang berbeda besaran satuannya) dengan rumusan:

( x' x)
R= …………………………......………......(20)
(n − 1)

di mana: R : matrix korelasi


x : matrix data asal yang sudah distandardisasi
x’ : matrix transpose (berbentuk vektor)
n : banyaknya data tiap variabel

2. Penghitungan akar ciri (eigen value) λ j dengan rumusan:

R − λjI = 0 ..................................................................(21)

di mana: R : ordo matrix korelasi


λj : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen j
I : matrix identitas yang berordo sama
│R- λjI│ : determinasi dari matrix R- λjI

3. Penghitungan persentase keragaman peubah asal ke-i yang


diterangkan oleh komponen utama ke-j

2
s XiZj = aij2λ j × 100% ............................................................(22)
37

di mana:
s2XiZj : ragam dari peubah asal x ke-i yang dijelaskan
oleh komponen utama (PCA) ke-j
a2ij : elemen ke-i dari vektor eigen ke-j
λj : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen j

4. Penentuan komponen utama penting, dengan dasar bila nilai akar


ciri > 1 atau bila persentase keragaman kumulatif mencapai ≥ 80% .

5. Penghitungan koefisien korelasi (factor loading), dengan rumusan:

Lij = Aλ0j.5 ................................................................ .....(23)

di mana:
Lij : matrix loading (koefisien korelasi) antara peubah
asal x ke-i dengan PCA ke-j
A : matrix eigen (matrix yang elemen-elemen
merupakan elemen vektor eigen
λj0.5 : matrix akar nilai akar ciri (eigen value) ke-j

6. Rotasi koefisien korelasi berdasarkan persamaan:

L* = LT ..........................................................................(24)

di mana:
L* : matrix loading (korelasi) yang telah dirotasi
L : matrix loading asal
T : matriz orthogonal dengan sifat T’T=I
I (matrix Identitas) atau matrix ortogonal yang
merotasi matrix L

7. Penghitungan koefisien pembobot (characteristic vector) a 'j dengan


persamaan:

( R − λ j I )a j = 0 .............................................................(25)
di mana:
R : matrix korelasi
λj : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen ke-j
I : matrix identitas yang berordo sama
aj : koefisien pembobot untuk komponen ke-j

8. Penentuan skor komponen utama Z, dengan rumusan:

Z = AX .........................................................................(26)
38
di mana:
Z : matrix PCA
A : matrix akar ciri (nilai eigen)
X : matrix data asal

Delapan tahapan tersebut dilakukan dengan bantuan PC, secara lengkap analisis
komponen utama diuraikan pada Lampiran 1.
c. Menentukan persamaan antara peubah respon dengan peubah prediktor
yakni antara UHI dengan peubah prediktor hasil rotasi serta uji
paramater baik konstanta maupun koefisien persamaan. Menghitung
kontributusi dominan setiap peubah prediktor terhadap UHI, pada ke
empat kota. Sehinga diperoleh gambaran tantang karakteristik setiap
kota.
d. Simulasi dan validasi, bertujuan untuk melihat kecenderungan UHI di
masa mendatang yaitu tahun 2005, 2015 dan 2025. Untuk simulasi
tahun 2005 dapat dilakukan sekaligus validasi dengan membandingkan
antara nilai simulasi hasil dugaan yang didapatkan dari persamaan
dengan hasil pengukuran (observasi lapang) pada lokasi dan tahun
yang sama. Validasi dilakukan dengan cara visual dengan
membandingkan nilai dugaan dengan nilai observasi pada sistem
ordinat sumbu x dan y, serta ditentukan besarnya korelasi atau
koefisien determinasi antara keduanya. Bila hasil validasi baik
dicirikan oleh besarnya nilai korelasi atau koefisien determinasi maka
persamaan terpilih dapat diaplikasikan dan direkomendasikan pada
berbagai pihak terkait.
Secara grafis uraian metodologi tujuan dua disajikan pada Gambar 7.
39
Penentuan Peubah Respon dan
Prediktor

UHI RTH KPop RTB KKdr

(Y) (X1 ) (X2 ) (X3 ) (X4 )

Uji
korelasi
ya

PCA dan Rotasi Varimax


tidak

Peubah prediktor hasil rotasi

tidak

Regresi Berganda

Kontribusi prediktor terhadap UHI

Simulasi dan Validasi

ya

Aplikasi dan Rekomendasi

Gambar 7. Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi,


RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI

3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi

Untuk mencapai tujuan ketiga, selain melakukan kajian terhadap dampak


fenomena UHI terhadap indeks kenyamanan (THI dalam oC), dan neraca energi
khususnya untuk latent heat flux atau menguapkan air ke atmosfer (fluks LE
dalam Wm-2) dan sensible heat flux untuk memanaskan udara secara konveksi
(fluks H dalam Wm-2).
Untuk mendapatkan data THI diturunkan dari data kelembaban udara (RH) dan
suhu udara mengikuti persamaan-persamaan sebagai berikut:
1. Pendugaan Kelembaban Relatif (RH)
40
Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di
dalam udara. Umumnya kelembaban udara dinyatakan dengan kelembaban relatif
(RH), dengan persamaan:
ea
RH = × 100 …....………............................................................(27)
es
Keterangan:
RH = Kelembaban relatif (%)
ea = Tekanan uap aktual (kPa)
es = Tekanan uap jenuh (kPa)

Tekanan uap jenuh (es) merupakan fungsi dari suhu udara (Allen, et.al
,1998), secara empiris dapat dituliskan:

⎡ 17.27Ta ⎤
es = 0.6108 exp ⎢ ⎥ ..................................................................(28)
⎣ Ta + 237.3 ⎦
Keterangan:
Ta = Suhu udara (oC)
es = Tekanan uap jenuh (kPa)

Tekanan uap aktual (ea) dapat dihitung dari titik embun (Td) yang secara
empiris dapat dituliskan sesuai persamaan 29, dengan Ta diganti Td.

⎡ 17.27Td ⎤
ea = 0.6108 exp ⎢ ⎥ .................................................................(29)
⎣ Td + 237.3 ⎦

2. Pendugaan THI (Temperature Humidity Index)


Penentuan THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembaban
(RH) dengan persamaan (Nieuwolt 1975):
( RH × Ta )
THI = 0,8Ta + ...................................................................(30)
500
Keterangan:
THI = Temperature Humidity Indeks (oC)
Ta = Suhu udara (oC)
RH = Kelembaban relatif udara (%)
3. Pendugaan Neraca Energi Permukaan
41
Prosedur untuk mendapatkan neraca energi (lihat pada prosedur ekstraksi
citra Landsat kanal 1,2 dan 3) menggunakan persamaan 4 hingga 16.
Setelah radiasi netto didapatkan, dilanjutkan dengan penghitungan setiap
bagian energi berturut-turut G (untuk memenasakan permukaan secara konduksi),
H (untuk memanaskan udara secara konveksi) dan LE (untuk menguapkan air
permukaan).

4. Penentuan Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi


Untuk mendapatkan bentuk hubungan dampak UHI terhadap THI dan
neraca energi adalah dengan analisis regresi. Penentuan persamaan terpilih
dengan melihat nilai koefisien determinasi dan standar deviasi model persamaan.
Dilanjutkan simulasi dan validasi persaman untuk melihat kecenderungan nilai
THI dan fluks LE dan H di masa mendatang (2015 dan 2025) sekaligus
membandingkan output nilai dugaan dengan data observasi atau membandingkan
dengan hasil penelitian lain untuk tahun 2005. Bila hasil validasi dianggap baik
persamaan dapat diaplikasikan dan direkomendasikan kepada berbagai pihak
terkait.
Metodologi untuk mencapai tujuan ketiga secara grafis disajikan pada
Gambar 8.
42
Kajian dampak Peubah
UHI prediktor(X1 )

Ekstrak nilai Ekstraks neraca


RH energi

Penentuan fluks
Rumus THI
LE dan H

THI LE H
(Y1 ) (Y2 ) (Y3 )

Menentukan bentuk hubungan


UHI dan THI serta LE dan H

tidak
Persamaan terpilih

Simulasi dan Validasi

ya

Aplikasi dan Rekomendasi

Gambar 8. Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H


43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan tentang hasil yang diperoleh berdasarkan pada tiga
tujuan kajian yang hendak dicapai. Ringkasan uraian hasil dan pembahasan dapat
disarikan sebagai berikut:
(1) Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan
persamaan terpilih nonlinier. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih
mempunyai pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan atau
penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau berkurangnya suhu udara
dengan laju yang tidak sama. Setiap pengurangan RTH menyebabkan peningkatan
suhu udara lebih besar dibandingkan dengan penambahan RTH. Hasil ini
membuktikan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Ditemukan pula
bahwa setiap penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau
naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan
wilayah kabupaten.
(2) Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh
pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, banyaknya kendaraan untuk
Jakarta dan perluasan RTB pemicu UHI di Bogor. Ke-empat peubah prediktor
(RTH, populasi, RTB dan kendaraan) terbukti secara bersamaan mempunyai
kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor. Kontribusi ke-
empat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan peubah di luar
keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut.
(3a) Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola
berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI.
Peningkatan UHI 0.2-1.0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam,
setelahnya terjadi peningkatan THI makin landai. Upaya pengurangan UHI hanya
sebesar 0.4oC berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan
peningkatan UHI 1.2oC. Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan
membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi
bagi peningkatan kenyamanan kota.
(3b) Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier.
Setiap peningkatan UHI menyebabkan pengurangan penggunaan radiasi netto
untuk fluks LE (latent heat flux) sebaliknya menambah penggunaan radiasi netto
untuk fluks H (sensible heat flux). Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI
menyebabkan berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan (LE)
sebaliknya meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara (H).
Indikator yang dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan
44
RTH menjadi RTB adalah nilai Rasio Bowen makin besar sementara nilai Fraksi
Alfa makin kecil, pertanda makin berkurangnya RTH.

4.1. Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat


Suhu udara dugaan yang diektrak dari Landsat tahun 1991, 1997 dan
2004 merupakan nilai suhu udara pada tujuh wilayah kajian, yakni Jakarta, kota
Bogor, kabupaten Bogor, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi dan
kabupaten Bekasi. Nilai suhu udara yang diekstrak merupakan gambaran suhu
udara yang terekam pada saat pukul 10.00 WIB, saat pengambilan citra Landsat
tepatnya saat akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004.
Suhu udara terendah dari suhu udara dugaan hasil ekstrak Landsat 1991,
1997 dan 2004 menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada
hasil pengukuran di 12 stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang
sama, yakni stasiun Tanjung Priok, Jakarta Obs., Cengkareng, Halim Perdana
Kusuma, Ciledug, Curug, Tangerang, Cibinong, Atang Sanjaya, Cimanggu,
Darmaga, Kampus Baranangsiang dan Muara. Begitupula untuk suhu tertinggi
didapatkan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Sehingga mutlak dilakukan
kalibrasi, agar data hasil ekstrak Landsat sesuai dengan data observasi.
Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor
suhu dugaan hasil ektraks Landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil
observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK. Metode yang diterapkan adalah
mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah berbentuk linier,
kuadratik atau kubik dengan dasar nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj)
dan standar deviasi model (S). Koefisien determinasi yang disesuaikan
merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel
yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka dibandingkan
koefisien determinasi saja. Koefisien determinasi yang disesuaikan menunjukkan
besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah
prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model. Sebaliknya standar
deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil
nilai S (mendekati nol), makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). Hasil
analisis persamaan terpilih disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut:
Tabel 9. Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara
45
Parameter STK TAHUN KETERANGAN
1991 1997 2004
Hubungan Linier
R2adj 93% 90% 95%
S 0.53 0.62 0.46
Hubungan Kuadratik
R2adj 94% 93% 96%
S 0.49 0.52 0.39
Hubungan Kubik
R2adj 94% 93% 98% terpilih
S 0.47 0.52 0.30

Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 1991, 1997 dan 2004
persamaan kalibrasi yang digunakan adalah hubungan kubik karena memiliki nilai
koefisien determinasi (R2adj) tertinggi dan jumlah kuadrat sisa (S) terendah.
Adapun bentuk model persamaan terpilih disajikan secara grafik pada Gambar 9.
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa untuk ketiga tahun data, secara
konsisten bentuk persamaan yang menghasilkan kriteria terbaik, yaitu R2adj
tertinggi dan S terendah pada persamaan non-linier kubik. Meskipun hasilnya
memadai dan baik namun bila dicermati sebaran data pada Gambar 9 tersebut
cenderung nilai hasil digaan ekstraksi Landsat pada ketiga tahun data dominan
berada di bawah garis persamaan. Kecenderungan seperti ini dikenal dengan
dugaan yang under estimated. Sehingga kalibrasi nilai dugaan mutlak dilakukan
agar hasil dugaan sesuai dengan hasil observasi.
46

Gambar 9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara

Setelah dilakukan kalibrasi maka data suhu terkalibrasi dapat dilihat


pada Tabel 10 sebagai berikut:
47
Tabel 10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi
wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004

No. Kisaran Suhu Rataan Suhu Kisaran Suhu Rataan Suhu


Udara Sebelum Udara Sebelum Udara Setelah Udara Setelah
Kalibrasi Kalibrasi Kalibrasi Kalibrasi
(oC) o
( C) (oC) (oC)
Tahun 1991
1. 19.7-31.9 25.8 26.2-30.7 26.7
Tahun 1997
2. 18.7-33.5 26.1 26.6-33.0 27.2
Tahun 2004
3. 18.9-33.3 26.5 26.0-32.4 27.5

Dari Tabel 10 dapat dijelaskan sebagai berikut:


• Nilai kisaran suhu udara terendah dan tertinggi sebelum dikalibrasi dengan
data hasil observasi pada waktu yang sama dengan pengambilan citra,
terlihat pada selang yang lebih lebar. Nilai terendah tahun 1991 mencapai
19.7, tahun 1997 tercatat 18.7 dan 2004 sebesar 18.9oC, sedangkan
tertinggi tercatat di tahun 1991 sebesar 31.9, tahun 1997 mencapai 33.5
sedangkan tahun 2004 tercatat sebesar 33.3oC. Nilai ini perlu dikoreksi
karena tidak sesuai dengan suhu hasil observasi. Ketidaksesuaian dengan
hasil observasi disebabkan adanya pengaruh pada saat pengambilan citra.
Sebagai contoh akibat adanya awan berdampak pada suhu udara yang
lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti seng berdampak
pada suhu terukur lebih tinggi.
• Suhu udara setelah kalibrasi berada pada kisaran yang sesuai hasil
observasi di 12 stasiun cuaca yang tersebar di kawasan JABOTABEK
dengan nilai berkisar antara 26.2-30.7oC untuk tahun 1991, antara 26.6-
33.0oC ditahun 1997 dan antara 26.0-32.4oC.
• Nilai suhu udara rataan sebelum dikalibrasi juga lebih rendah dari nilai
rata-rata hasil observasi sehingga sebelum dikalibrasi suhu udara rataan
dari data tahun 1991 sebesar 25.8, tahun 1997 meningkat menjadi 26.1 dan
tahun 2004 kembali meningkat menjadi sebesar 26.5oC. Berdasarkan data
tersebut maka dapat dinilai bahwa suhu udara dugaan rata-rata dari
ekstraksi data Landsat dari tiga tahun data terjadi under estimated bila
48
dibandingkan dengan nilai observasi hal ini terlihat pada Gambar 9,
sebaran titik pada ketiga tahun data lebih dominan berada di bawah garis
persamaan. Nilai suhu udara rataan setelah dikalibrasi sesuai dengan nilai
rataan hasil observasi yaitu sebesar 26.7 pada tahun 1991, menjadi 27.2
pada tahun 1997 meningkat menjadi 27.5oC di tahun 2004.

Untuk lebih memperjelas distribusi atau sebaran suhu udara pada setiap
lokasi, maka suhu terkalibrasi disajikan secara spasial pada Gambar 10. Tahun
1991 sebaran nilai suhu terendah (warna putih) paling luas dan mendominasi
wilayah JABOTABEK, terutama di sebelah utara (adanya badan air) dan sebelah
selatan (kabupaten dan kota Bogor, sebagai indikasi masih luasnya RTH) pada
tahun tersebut. Warna putih makin berkurang di tahun 1997 dan 2004, hanya
terlihat di sebelah selatan (kabupaten Bogor) yaitu lahan dengan RTH hutan dan
sedikit di sebelah timur (badan air) tepatnya di kabuapetn Bekasi.
Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada tahun 1991 warna merah tua indikasi
bagi nilai suhu udara tertinggi, tersebar di empat kota DKI Jakarta dengan luasan
terbesar, disusul Tangerang, Bekasi dan luasan paling rendah kota Bogor.
Landsat 1997 terlihat warna merah terang makin meluas ke arah kabupaten,
namun paling merah tua atau suhu tertinggi tetap berada pada empat kota. Hal
yang sama terjadi pada Landsat 2004, dengan luasan warna merah makin melebar
ke kabupaten Bekasi dan Tangerang bahkan mulai menyebar ke selatan ke arah
kabuapetn Bogor. Meskipun demikian pada tahun 2004, suhu tertinggi 32.4oC
(warna merah tua) terdapat di empat kota besar dengan luasan terbesar di DKI
Jakarta, disusul kota Bekasi, dan Tangerang serta di kawasan selatan di kota
Bogor
49

(a) 1991

(b) 1997

(c) 2004

Gambar 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat
periode 1991, 1997 dan 2004
50
4.2. Pendugaan Nilai RTH dari Landsat
Persamaan Zain (2002) untuk menduga nilai persen RTH dari nilai NDVI
digunakan untuk membangkitkan data persentase RTH wilayah JABOTABEK.
Maka didapatkan nilai persentase RTH setiap lokasi berdasarkan nilai NDVI.
Metode yang digunakan adalah mencari bentuk persamaan antara peubah
prediktor (NDVI) yang didapatkan dari pengolahan data Landsat sedangkan data
persentase RTH diduga dari data foto udara di lokasi yang sama. Adapun
persamaan yang dihasilkan Zain (2002) untuk wilayah JABOTABEK seperti yang
telah diuraikan pada bab Metodologi.
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa pada saat nilai NDVI sama
dengan satu didapatkan nilai presentase RTH 100%, nilai NDVI 0 setara dengan
nilai persen RTH 21%, sedangkan pada saat nilai NDVI= 0.05 hingga -1 setara
dengan presentase RTH sebesar 0% dengan kata lain merupakan RTB atau lahan
terbuka (dapat berupa lahan kosong atau lahan urban).
Sebaran nilai RTH dalam persen secara spasial dalam bentuk peta hasil
ekstraksi citra Landsat disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11
dapat diuraikan sebagai berikut:

• Nilai RTH berkisar antara 0-100%. Nilai RTH 0% terlihat pada


gambar dengan warna merah tua terdapat di empat kota, DKI
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Warna merah tua yang
mengindikasikan RTH 0% makin melebar pada tahun 2004
dibandingkan 1997 dan 1991.
• Nilai RTH 100% dengan warna hijau gelap terdapat di sebelah
barat di kabupaten Tangerang, sebelah timur di kabupaten Bekasi
dan di selatan di kabupaten Bogor dengan luasan makin mengecil
pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1997 dan 1991.
• Nilai rataan RTH(%) pada tiga tahun data disajikan pada Tabel 11.
51

(a) 1991

(b) 1997

Gambar 11. Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK


Periode 1991, 1997 dan 2004
52

Tabel 11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK

Tahun RTHmin(%) RTHmax(%) RTHrataan(%) STD


1991 0 100 61 11.5
1997 0 100 57 10.3
2004 0 100 50 09.6
Sumber: hasil olahan data Landsat

Berdasar Tabel 11 didapatkan rataan RTH makin menurun dari tahun


1991 sebesar 61%, pada tahun 1997 turun sebesar 4% menjadi 57% dan pada
tahun 2004 kembali berkurang 7% menjadi 50%.

4.3. Penentuan Neraca Energi


Neraca energi yang didapatkan dari hasil kuantifikasi citra landsat dapat
menjelaskan kontribusi nergi netto dari matahari yang dipakai untuk tiga
kebutuhan, yaitu pemanasan udara (fluks H) yang banyak mempengaruhi suhu
udara, pemanasan permukaan (fluks G), serta fluks untuk menguapkan air (LE).
Hasil secara keseluruhan disajikan pada Gambar 9-12, dalam bentuk boxplot.
Penyajian dalam bentuk boxplot lebih efisien dalam memvisualkan data
dalam satu tampilan gambar terdapat lima data penyajian, data median (50%
data), median atas (75% data), median bawah (25% data), data maksimum
(tertinggi) dan data terendah (minimum), bahkan ada informasi data pencilan
(outlier).
Kondisi Fluks H yang digunakan untuk memanaskan udara (terukur oleh
termometer). Fluks G mepakan prioritas penggunaan pertama bagi radiasi netto
di lahan RTB disusul oleh penggunaan untuk fluks H, hal inilah yang
menyebabkan tingginya suhu pemukaan dan suhu udara di lahan RTB
dibandingkan lahan RTH. Sebaliknya fluks LE merupakan prioritas pertama
penggunaan radiasi netto di lahan RTH untuk proses penguapan akibat lahan ini
banyak mengandung air pada permukaannnya. Penjelasan ini dipertegas Gambar
12-15 di empat lokasi Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Dari Gambar 12
untuk wilayah Jakarta, Gambar 13 untuk Bogor, Gambar 14 untuk Tangerang dan
Gambar 15 untuk Bekasi menunjukkan pola yang sama.
53

a. Rn, H, G dan LE RTB-JKT91 b. Rn, H, G dan LE RTH-JKT91

c. Rn, H, G dan LE RTB-JKT97 d. Rn, H, G dan LE RTH-JKT97

e. Rn, H, G dan LE RTB-JKT04 f. Rn, H, G dan LE RTH-JKT04

Gambar 12. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta
54

a. Rn, H, G dan LE RTB-BGR91 b. Rn, H, G dan LE RTH-BGR91

c. Rn, H, G dan LE RTB-BGR97 d. Rn, H, G dan LE RTH-BGR97

e. Rn, H, G dan LE RTB-BGR04 f. Rn, H, G dan LE RTH-BGR04

Gambar 13. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor
55

a. Rn, H, G dan LE RTB-TGR91 b. Rn, H, G dan LE RTH-TGR91

c. Rn, H, G dan LE RTB-TGR97 d. Rn, H, G dan LE RTH-TGR97

e. Rn, H, G dan LE RTB-TGR04 f. Rn, H, G dan LE RTH-TGR04

Gambar 14. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang
56

a. Rn, H, G dan LE RTB-BKS91 b. Rn, H, G dan LE RTH-BKS91

c. Rn, H, G dan LE RTB-BKS97 d. Rn, H, G dan LE RTH-BKS97

e. Rn, H, G dan LE RTB-BKS04 f. Rn, H, G dan LE RTH-BKS04

Gambar 15. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi

Dari Gambar 12-15 pada ke empat lokasi terlihat bahwa tipe lahan RTH
menyimpan energi radiasi netto lebih besar dibandingkan dengan nilai radiasi
netto yang disimpan tipe lahan RTB. Hal ini menunjukkan adanya penggunaan
radiasi selain komponen fluks G, H dan LE yaitu fluks P yang digunakan
tumbuhan berklorofil untuk melakukan fotosintesis. Komponen P ini jarang
57
diperhitungkan dalam konsep neraca energi, karena nilai penggunaan fluks P
dianggap kecil dan dapat diabaikan. Meskipun pada kenyataannya pada lahan
RTH yang didominasi vegetasi tetap melakukan aktivitas fotosíntesis dan
menyebabkan nilai radiasi netto pada tipe lahan RTH relatif lebih besar.
Gambaran penggunaan komponen radiasi netto untuk fluks G pemanasan
pemukaan, fluks H (pemanasan udara) dan fluks LE (penguapan air permukaan)
dapat secara rinci dilihat pada Gambar 12-15 di ke empat lokasi menunjukkan
kecenderungan yang sama di mana Rn di lahan RTH penggunaan terbesar untuk
fluks penguapan air (LE). Sedangkan penggunaan Rn di lahan RTB baik di
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi mempunyai pola yang sama dalam hal
prioritas utama untuk fluks G dan H, sehingga fenomena urban heat island terjadi.

4.4. Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara

Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dan suhu udara pada tahun
1991, 1997 dan 2004 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kubik. Bentuk
persamaan non-linier kubik dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai
koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) tertinggi serta nilai standar deviasi model
(S) terendah. Secara rinci hasil analisis disajikan pada Tabel 12.
Berdasarkan Tabel 12 tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan
yang sama pada ketiga tahun data baik 1991, 1997 dan 2004. Semua persamaan
antara RTH dan suhu udara, secara konsisten nilai koefisien determinasi tertinggi
dan nilai standar deviasi model terendah terdapat pada persamaan non-linier
kubik.
Analisis lanjut berupa validasi model, untuk memastikan model mana
yang paling baik dalam menduga nilai sebenarnya (nilai observasi lapang).
Validasi model persamaan dilakukan cara membandingkan antara hasil keluaran
model dengan menggunakan data di luar data penyusunan model persamaan
dengan hasil pengukuran lapangan. Kedua data disajikan secara grafis dengan
sumbu x merupakan nilai keluaran model dan sumbu y merupakan nilai hasil
pengukuran lapang. Kemudian dilakukan uji statistika untuk mengetahui
besarnya nilai korelasi atau nilai koefisien determinasi antara kedua peubah
58
tersebut. Makin besar nilai korelasi atau nilai kuadrat korelasi (koefisien
determinasi) maka makin baik model yang diuji.
Tabel 12. Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model
(S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004

No WILAYAH LINIER KUADRATIK KUBIK


R2adj S R2adj S R2adj S
Tahun 1991
1. JAKARTA 85 0.15 95 0.08 98 0.03
2. KOTA BOGOR 87 0.15 95 0.08 99 0.02
3. KAB BOGOR 84 0.15 95 0.05 99 0.02
4. KOTA TANGERANG 87 0.15 95 0.11 98 0.02
5. KAB TANGERANG 87 0.12 94 0.05 91 0.02
6. KOTA BEKASI 85 0.09 95 0.07 96 0.04
7. KAB BEKASI 87 0.12 94 0.05 96 0.04
Tahun 1997
1. JAKARTA 86 0.14 96 0.07 99 0.04
2. KOTA BOGOR 88 0.17 96 0.05 99 0.03
3. KAB BOGOR 85 0.17 95 0.04 99 0.02
4. KOTA TANGERANG 88 0.14 96 0.10 99 0.03
5. KAB TANGERANG 88 0.11 95 0.04 99 0.02
6. KOTA BEKASI 86 0.08 96 0.06 99 0.02
7. KAB BEKASI 88 0.11 95 0.07 99 0.03
Tahun 2004
1. JAKARTA 85 0.11 97 0.05 98 0,04
2. KOTA BOGOR 89 0.16 97 0.04 99 0,01
3. KAB BOGOR 86 0.16 96 0.03 99 0,01
4. KOTA TANGERANG 89 0.13 97 0.09 99 0,01
5. KAB TANGERANG 89 0.10 96 0.03 99 0,01
6. KOTA BEKASI 87 0.07 97 0.05 99 0,02
7. KAB BEKASI 89 0.10 96 0.03 99 0,02

Hasil validasi model persamaan hasil ektraksi Landsat 2004, mampu


menduga sebesar 98% data suhu udara hasil ekstraksi Landsat 1991 mendekati
nilai aktual 1991 dan menduga sebesar 98% suhu udara hasil ekstraksi Landsat
1997 mendekati nilai aktual 1997 disajikan secara grafis pada Gambar 16.
Sedangkan validasi model hasil ekstraksi Landsat 1991 ketika divalidasi
untuk data 1997 hanya sebesar 78% data dugaan mendekati aktual selebihnya
59
under estimate serta hasil validasi model hasil ekstraksi Landsat 1997 untuk data
1991 hanya sebesar 77% data dugaan mendekati data aktual 1991 selebihnya
terjadi over estimate disajikan pada Gambar 17.

(a) (b)
Gambar 16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun
1991 (a) dan data tahun 1997 (b)

(a) (b)
Gambar 17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991
untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil
ekstraksi 1997 untuk data 1991 (b)

Berdasarkan hasil validasi model, ditetapkan model persamaan antara


RTH dan suhu udara adalah model persamaan hasil ektraksi data Landsat tahun
2004. Adapun bentuk model persamaan terpilih untuk wilayah JABOTABEK
antara RTH dan suhu udara, secara umum dapat dituliskan sebagai:

Y=bo – b1X + b2X2 – b3X3

Di mana Y merupakan suhu udara (oC) dan X merupakan RTH (%), uji regresi
nilai konstanta bo dan koefisien b1, b2 dan b3 disajikan pada Tabel 13.
60
Tabel 13. Nilai konstanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu
udara JABOTABEK

No. Wilayah Nilai konstanta dan koefisien


bo b1 b2 b3
1. Jakarta 27.5** 7,4x10 ** 2,2x10 ** 4,0x10-6**
-3 -4

2. Kota Bogor 27,4** 8,2x10-3** 1,5x10-4** 2,0x10-6**


3. Kab. Bogor 27,2** 8,4x10-3** 1,5x10-4** 2,0x10-6**
4. Kota Tangerang 27,4** 1,6x10-2** 2,7x10-4** 3,0x10-6**
5. Kab. Tangerang 27,2** 1,2x10-2** 2,0x10-4** 2,0x10-6**
6. Kota Bekasi 27,3** 4,8x10-3** 2,8x10-4** 1,0x10-6**
7. Kab. Bekasi 27,2** 3,8x10-3** 4,9x10-4** 1,0x10-6**
Keterangan: angka yang diikuti tanda ** , sangat nyata pada taraf α=1%

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa nilai bo sebagai konstanta persamaan


merupakan nilai suhu udara secara alami bila tanpa pengaruh RTH. Jakarta
sebagai kota terbesar memiliki nilai tertinggi sebesar 27.5, diikuti kota Bogor dan
Tangerang dengan nilai sebesar 27.4, lalu kota Bekasi sebesar 27.3 serta ketiga
wilayah kabupaten dengan nilai suhu udara alami terendah dengan besaran yang
sama, yaitu sebesar 27.2oC. Sementara nilai b1, b2 dan b3 merupakan koefisien
bagi RTH, RTH kuadrat dan RTH kubik, juga memiliki besaran koefisien yang
sama kecuali untuk kota dan kabupaten Tangerang pada koefisien b1.
Bentuk persamaan dalam bentuk grafis disajikan pada Gambar 18 untuk
kota Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi. Berdasar Gambar
18 makin memperjelas arti nilai bo sebagai titik potong dengan sumbu Y atau
dapat dikatakan nilai suhu udara saat RTH bernilai 0%. Persamaan hanya
berlaku untuk kisaran RTH 0 hingga 80%. Pada nilai RTH 80% hingga 100%
nilai suhu udara relatif sama. Nilai suhu udara di Jakarta pada saat RTH mencapai
80% adalah sebesar 26.5oC nilai ini besarnya sama dengan nilai suhu udara rata-
rata wilayah Indonesia dengan ketinggian 0 m dpl (di atas permukaan laut). Nilai
yang sama untuk kota Bogor dan Tangerang, sementara kota Bekasi dan
kabupaten Bogor sebesar 26.4 serta kabupaten Tangerang dan Bekasi sebesar
26.3oC.
Tidak mudah untuk membuat interpretasi persamaan terpilih secara
langsung. Untuk itu disajikan grafik perubahan RTH dan dampaknya terhadap
perubahan suhu udara untuk ketujuh wilayah kajian, disajikan pada Gambar 19.
61

(a) Jakarta

(b) Kota Bogor (c) Kab. Bogor

(d) Kota Tangerang (e) Kab. Tangerang

(f) Kota Bekasi (g) Kab. Bekasi

Gambar 18. Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu


udara (Ta) pada tujuh wilayah kajian
62
Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa peningkatan suhu udara terjadi saat
RTH berkurang, sebaliknya pada saat penambahan RTH terjadi penurunan suhu
udara. Hal menarik adalah laju kenaikan suhu udara lebih tajam dibandingkan
laju penurunannya, hal ini menunjukkan resiko pengurangan RTH terhadap
peningkatan suhu udara, lebih besar dibandingkan upaya penambahan RTH. Hal
ini menjadi masukan yang sangat berharga bagi pengambil kebijakan tata kota,
bahwa setiap pengurangan RTH menyebabkan konsekuensi bagi peningkatan
suhu udara dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan upaya
penambahan RTH. Sehingga harus lebih berhati-hati dalam setiap keputusan
mengalihfungsikan RTH menjadi ruang terbangun (RTB). Atau dapat dikatakan
bahwa upaya untuk mempertahakan luasan RTH memerlukan pengorbanan yang
lebih besar dibandingkan dengan upaya penambahan RTH, namun memberikan
hasil yang lebih baik dalam hal mempertahankan nilai suhu udara pada kisaran
rata-rata yang nyaman bagi sebuah kota.
Tanda panah pada Gambar 19, menunjukkan mulai terjadi peningkatan
tajam. Terlihat untuk Jakarta peningkatan suhu udara dengan laju tajam pada saat
RTH berkurang sebesar 30%. Untuk Bogor baik kota maupun kabupaten pada
pengurangan RTH 30%, kota dan kabupaten Tangerang pada saat nilai RTH
berkurang 15% dan 20% serta kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH
sebesar 35%. Secara rata-rata nilai pengurangan RTH pada titik kritis (tanda
panah) untuk kawasan JABOTABEK sebesar 28%. Bila nilai 28% dilampaui
menyebabkan laju peningkatan suhu udara lebih tajam. Laju kenaikan suhu udara
yang tajam mengindikasikan perubahan suhu yang terjadi setiap pengurangan
RTH lebih besar dua kali lipat dibandingkan laju yang landai. Sedangkan
pengurangan RTH dari 0-28% berakibat pada laju peningkatan suhu udara landai.
Peningkatan yang landai indikasi bagi peningkatan suhu udara yang lebih kecil.
Penyajian secara kuantitatif setiap perubahan RTH 5% untuk ketujuh
wilayah di JABOTABEK disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 dapat
diperjelas titik kritis (tanda panah) pengurangan RTH pada angka yang dicetak
tebal. Untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor pada pengurangan RTH 30%,
kota dan kabupaten Tangerang pada pengurangan RTH sebesar 15 dan 20% serta
kota dan kabupaten Bekasi pada pengurangan RTH sebesar 35%.
63

(a) Jakarta

(b) Kota Bogor (c) Kab. Bogor

(d) Kota Tangerang (e) Kab. Tangerang

(f) Kota Bekasi (g) Kab. Bekasi

Gambar 19. Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH


Wilayah JABOTABEK
64
Tabel 14. Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar
5% di JABOTABEK

No ∆RTH ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC) ∆Ta(oC)


(%) JKT Kota Kab. Kota Kab Kota Kab.
BGR BGR TGR TGR BKS BKS
1 -50 1.4 1.0 1.0 1.8 1.3 0.5 0.4
2 -45 1.1 0.9 0.9 1.5 1.1 0.4 0.4
3 -40 0.9 0.7 0.7 1.3 0.9 0.3 0.3
4 -35 0.7 0.6 0.6 1.0 0.8 0.2 0.2
5 -30 0.5 0.4 0.4 0.8 0.6 0.2 0.2
6 -25 0.4 0.3 0.3 0.6 0.5 0.2 0.1
7 -20 0.3 0.2 0.2 0.4 0.3 0.1 0.1
8 -15 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1
9 -10 0.1 0.1 0.1 0.2 0.1 0.1 0.0
10 -5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0
11 0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
12 +5 0.0 0.0 0.0 -0.1 -0.1 0.0 0.0
13 +10 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 0.0
14 +15 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.1 -0.1 -0.1
15 +20 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.1 -0.1
16 +25 -0.1 -0.1 -0.2 -0.3 -0.2 -0.1 -0.1
17 +30 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.2 -0.2 -0.1
18 +35 -0.2 -0.2 -0.2 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
19 +40 -0.2 -0.2 -0.2 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
20 +45 -0.3 -0.2 -0.3 -0.4 -0.3 -0.3 -0.2
21 +50 -0.3 -0.3 -0.3 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2

4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara

Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu


udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum
pendinginan Newton (Holman and White, 1992) yang dapat dinyatakan secara
matematis sebagai:
q = hA(To − T1 )
di mana, q adalah laju transfer panas melalui konveksi, h koefisien transfer panas
melalui konveksi, A luasan permukaan yang dikaji, To suhu udara pada kondisi
awal, T1 suhu udara pada kondisi akhir. Bila dikaji nilai perubahan suhu udara
rumusan tersebut dapat dituliskan kembali sebagai:
q
ΔT =
hA
65
Pada saat nilai q kita asumsikan tetap dan luasan (A) RTH berkurang maka
nilai perubahan suhu udara menjadi besar, hal ini berarti suhu akhir lebih besar
dari pada suhu awal, sehingga pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu
udara. Sementara pada saat terjadi penambahan RTH nilai A pada rumus di atas
menjadi lebih besar yang membawa dampak terhadap makin kecilnya ∆T atau
nilai suhu udara akhir mendekati nilai awal, dengan kata lain suhu udara
mengalami pendinginan akibat penambahan RTH.
Sedangkan penyebab laju penambahan suhu akibat pengurangan RTH
mempunyai laju lebih besar (tajam) dibandingkan laju pendinginan suhu udara
akibat panambahan RTH adalah disebabkan pada saat RTH bertambah proses
penutupan lahan urban dengan vegetasi baru tidak serta merta tertutup atau setara
dengan penutupan RTH yang sudah ada. Diperlukan proses pertumbuhan yang
memerlukan waktu tahunan untuk mencapai fase dewasa atau menaungi
permukaan. Sehingga laju pendingan berjalan lebih lambat, terindikasi pada nilai
suhu akhir berkurang sedikit dibandingkan suhu udara mula-mula, yaitu setiap
penambahan RTH 50% suhu udara berkurang sebesar 0.2 hingga 0.5oC.
Sedangkan pada saat terjadi pengurangan RTH maka serta merta permukaan lahan
urban terbuka dari naungan dalam waktu relatif singkat berakibat pada laju
transfer panas ke udara di atasnya lewat konveksi juga menjadi lebih cepat.
Akibatnya nilai perubahan suhu (∆T) menjadi besar berdampak pada laju
pemanasan suhu udara lebih besar dengan indikasi nilai suhu udara akhir
bertambah banyak dibandingkan suhu udara mula-mula, yakni setiap pengurangan
RTH 50% suhu udara bertambah sebesar 0.4-1.8oC.
Perbandingan laju penambahan/pengurangan suhu udara akibat
pengurangan/penambahan RTH untuk ke empat kota, laju terbesar baik
penambahan maupun pengurangan suhu udara terjadi di Tangerang, disusul
Jakarta, Bogor dan Bekasi. Tangerang merupakan kota yang permukaannya lebih
kering (luasan badan air lebih kecil dibandingkan dengan Bekasi, Jakarta dan
Bogor) sehingga laju penambahan dan pengurangan suhu udara menjadi lebih
cepat terindikasi pada ∆T yang lebih besar dibandingkan tiga kota lainnya.
Pada permukaan yang relatif kering radiasi netto dominan digunakan
untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya dibandingkan untuk
66
penguapan. Sehingga udara menjadi lebih cepat panas pada saat RTH berkurang
dan cepat dingin pada saat RTH bertambah. Pendapat ini didukung oleh hasil
penelitian Oke, et al., (1991) dan Voogt (2002).
Sebaliknya Bogor dan Bekasi, mempunyai permukaan yang lebih basah
karena banyak vegetasi (Bogor) dan lebih banyak badan air (Bekasi). Dampak
permukaan yang lebih basah adalah laju pemanasan dan pendinginan udara
menjadi lebih kecil, seperti yang terlihat untuk kota Bekasi setiap RTH bertambah
50% suhu berkurang 0.3oC dan setiap RTH berkurang 50% suhu udara meningkat
0.5oC, bandingkan dengan Tangerang (suhu berkurang 0.5oC dan meningkat
sebesar 1.8oC), Jakarta (suhu berkurang 0.3oC dan meningkat sebesar 1.4oC) serta
Bogor (suhu berkurang 0.3oC dan meningkat sebesar 1.0oC). Hal ini
menunjukkan pentingnya mempertahankan bahkan menambah luasan RTH dan
badan air, karena udara cenderung menjadi lebih lembab. Udara lembab menjadi
penyebab peningkatan atau penurunan suhu udara menjadi lebih kecil pada setiap
pengurangan atau penambahan RTH dibandingkan udara kering.
Sementara perbandingan antara wilayah kota dan kabupaten, baik yang
terjadi di Tangerang maupun Bekasi mempunyai kecenderungan yang sama, yakni
laju pendinginan udara di kota menjadi lebih besar pada setiap penambahan
persentase RTH yang sama bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Begitu
pula laju pemanasan, lebih besar terjadi di kota untuk setiap pengurangan
persentase RTH yang sama, bila dibandingkan dengan wilayah kabupaten.
Contoh untuk kota dan kabupaten Tangerang setiap penambahan RTH 50% terjadi
pengurangan suhu udara sebesar 0.5oC (di kota) dan 0.4oC (di kabupaten). Setiap
pengurangan RTH 50% terjadi penambahan suhu udara sebesar 1.8oC (di kota)
dan 1.3oC (di kabupaten). Hal yang sama terjadi di Bekasi, hal ini disebabkan
pengurangan RTH di kota lebih besar dibandingkan RTH kabupaten. Perubahan
permukaan dari RTH yang relatif basah menjadi RTB yang relatif kering di
perkotaan berdampak makin keringnya udara di atas perkotaan. Akibatnya setiap
pengurangan atau penambahan RTH berdampak lebih besar pada peningkatan
atau penurunan suhu udara. Hal ini terjadi karena udara kering merupakan
konservator panas yang buruk, cenderung cepat panas dan cepat dingin dengan
pengurangan dan penambahan RTH.
67
Namun terdapat pengecualian untuk Bogor, di mana wilayah kota dan
kabupaten mempunyai kecenderungan nilai yang sama, diduga keberadaan Kebun
Raya Bogor sebagai RTH memberikan kontribusi positif bagi meredam panasnya
perkotaan. Hasil ini didukung hasil penelitian Santosa dan Bey (1992) tentang
dampak keberadaan Kebun Raya bagi kenyamanan iklim mikro perkotaan.
Titik kritis pengurangan RTH untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor
sebesar 30%, artinya setiap pengurangan RTH melampuai batas tersebut maka
akan terjadi kenaikan suhu udara dengan laju yang besar atau dua kali lipat
dibandingkan dengan pengurangan RTH di bawah 30%. Hal yang sama berlaku
untuk kota dan kabupaten Tangerang pada batas kritis pengurangan RTH yang
lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara kota dan kabupaten Bekasi pada batas
kritis yang lebih besar hingga 35%. Secara rata-rata wilayah JABOTABEK
mempunyai titik kritis pengurangan RTH sebesar 28%. Hasil ini memberikan
tambahan informasi bahwa kajian keterkaitan RTH dan suhu udara dengan asumsi
hanya RTH yang berpengaruh terhadap suhu udara, ditemukan titik kritis
pengurangan RTH sebesar 28% atau mendekati 30% sesuai dengan acuan yang
ditetapkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. wilayah kota
ditetapkan harus memiliki 30% RTH, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10%
RTH privat. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

4.5. Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI

Hasil analisis korelasi antara sesama peubah prediktor dan antara peubah
prediktor dengan peubah respon (UHI) baik di Jakarta, Bogor, Tangerang dan
Bekasi, disajikan pada Tabel 156. Berdasar Tabel 15 terlihat bahwa antar peubah
prediktor terdapat korelasi sangat nyata (multicolinearity). Karena itu analisis
dilanjutkan dengan analisis komponen utama (PCA), untuk mengatasi masalah
multicolinearity. Berdasarkan Tabel 15 terlihat pula bahwa korelasi UHI dengan
keempat peubah prediktor juga relatif besar antara 71-87%.
Hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 16. Berdasar Tabel 16 jumlah peubah
baru (komponen utama) diputuskan pada dua peubah baru, namun mampu
menjelaskan keragaman total peubah asal dengan maksimal yakni sebesar 99%.
Tabel 15. Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK
68
Peubah UHI RTH Kepadatan RTB
Populasi
Kota Jakarta
RTH -0.870**
Kepadatan 0.768** -0.966**
Populasi
RTB 0.869** -1.000** 0.967**
Kepadatan 0.871** -0.971** 0.855** 0.970**
Kendaraan
Kota Bogor
RTH -0.781**
Kepadatan 0.719** -0.928**
Populasi
RTB 0.721** -0.978** 0.935**
Kepadatan 0.713** -0.972** 0.962** 0.992**
Kendaraan
Kota Tangerang
RTH -0.834**
Kepadatan 0.785** -0.953**
Populasi
RTB 0.788** -0.969** 0.956**
Kepadatan 0.766** -0.938** 0.975** 0.984**
Kendaraan
Kota Bekasi
RTH -0.871**
Kepadatan 0.768** -0.890**
Populasi
RTB 0.836** -0.981** 0.921**
Kepadatan 0.772** -0.828** 0.976** 0.846**
Kendaraan
Keterangan:
** : sangat nyata pada taraf α=1 %

Pada analisis PCA korelasi peubah baru komponen utama pertama yaitu, (Z’1)
saling ortogonal dengan komponen utama kedua (Z’2), membuat setiap peubah
asal dibuat maksimal pada komponen utama pertama dan minimal pada
komponen utama kedua, sehingga secara total kontribusi setiap peubah asal dibuat
intermediat. Sebagai contoh berdasarkan Tabel 9 untuk Jakarta pada peubah
kendaraan pada komponen utama pertama diurutan pertama sebesar 86%,
sedangkan pada komponen utama kedua peubah kendaraan berada pada urutan
keempat (terakhir) sebesar 52%, sehingga secara rata-rata kontribusi kendaraan
terhadap UHI pada besaran yang intermediat. Hal sama terjadi pada ketiga
peubah prediktor yang lain. Sehingga untuk mendapatkan kontribusi peubah asal
yang paling dominan terhadap UHI, analisis dilanjutkan dengan rotasi varimax.
Tabel 16. Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total
ragamnya untuk empat kota JABOTABEK

Peubah Z’1 Z’2 Total


69
Kota Jakarta
KKdr 86 -52
RTH -72 70
RTB 71 -71
KPop 52 -86
Ragam 2.0211 1.9742 3.9953
Persen Ragam 50 49 99
Kota Bogor
RTH -82 56
RTB 81 -56
KKdr 76 -65
KPop 57 -82
Ragam 2.2315 1.7365 3.9680
Persen Ragam 56 43 99
Kota Tangerang
KKdr 82 -57
KPop 77 -62
RTB 72 -68
RTH -58 81
Ragam 2.1315 1.8223 3.9538
Persen Ragam 53 46 99
Kota Bekasi
RTH -87 48
RTB 85 -52
KPop 59 -81
KKdr 46 -89
Ragam 2.0366 1.9325 3.9691
Persen Ragam 51 48 99

Hasil analisis rotasi varimax mampu membuat kontribusi setiap peubah asal
terlihat saling mendominasi, meskipun perbedaan dominasi tidak berbeda jauh.
Secara rinci bentuk persamaan regresi berganda dan besarnya kontribusi prediktor
terhadap UHI disajikan pada Lampiran 2 dan hasil singkatnya disajikan pada
Tabel 17.

Tabel 17. Kontribusi peubah prediktor dalam persen terhadap UHI

No. PEUBAH JKT BGR TGR BKS RATAAN


1 RTH 20 14 19 23 19.0
2. KPop 17 13 16 19 16.3
3. RTB 19 15 18 22 18.5
4. KKdr 22 14 16 17 17.3
5 Total 78 56 69 81 71.0

Berdasarkan Tabel 17, terlihat untuk Jakarta, peningkatan UHI dipicu


meningkatnya kepadatan kendaraan (22%), diikuti oleh peubah pengurangan RTH
(20%), penambahan RTB (19%) dan kepadatan populasi (17%). Sementara
70
fenomena UHI di Bogor dominasi dipicu oleh makin luasnya RTB (15%), diikuti
oleh pengurangan RTH dan padatnya kendaraan masing-masing sebesar 14% serta
padatnya populasi (13%).
Fenomena UHI di Tangerang kontribusi terbesar akibat pengurangan RTH
sebesar 19%, diikuti perluasan RTB (18%) serta padatnya populasi dan kendaraan
masing-masing sebesar 16%. Begitupun fenomena UHI di Bekasi dipicu oleh
berkurangnya keberadaan RTH sebesar 23%, diikuti perluasan RTB (22%),
padatnya populasi (19%) dan padatnya kendaraan (17%).

4.5.a. Pembahasan Fenomena UHI


Berdasarkan Tabel 17, nilai dominasi peubah prediktor terhadap UHI,
secara persentase relatif tidak berbeda jauh, hal ini disebabkan korelasi antar
peubah prediktor sangat nyata, sehingga metode rotasi varimax hanya mampu
menonjolkan dominasi peubah yang satu dari yang lain dengan perbedaan relatif
kecil.
Berdasarkan Tabel 17, terlihat untuk Jakarta, peningkatan UHI seiring dengan
meningkatnya kepadatan kendaraan, diikuti oleh peubah pengurangan RTH,
penambahan RTB dan kepadatan populasi. Padatnya kendaraan mendominasi
UHI di Jakarta didukung oleh hasil analisis Ernawi (2007) bahwa laju peningkatan
kendaraan kota Jakarta untuk berbagai jenis kendaraan bermotor meningkat
dengan laju 11% pertahun, peningkatan untuk dua tahun terakhir didominasi oleh
kendaraan roda dua. Sektor transportasi perkotaan pada beberapa kajian
(Purnomohadi, 1995; Adiningsih, 1997) pengemisi gas rumah kaca terbesar.
Emisi gas rumah kaca dari transportasi baik dengan bahan bakar solar maupun
bensin adalah NOx. NOx merupakan gas rumah kaca yang mempunyai daya 300
kali lipat dalam menyerap panas dibandingkan gas CO2, akibatnya pada skala
lokal hingga regional, akitivitas transportasi menjadi pengemisi terbesar dari
sektor energi mengalahkan sektor industri. Hal lain yang memperbesar dampak
aktivitas transportasi adalah kepadatan disertai kemacetan secara langsung
mengakumulasikan sejumlah panas dan secara tidak langsung mengemisikan gas
rumah kaca (NOx) ke udara dalam jumlah yang lebih besar sehingga secara total
mengalahkan peubah lain sebagai penyebab UHI Jakarta, hal serupa terjadi di
Depok hasil kajian Yani dan Effendy, 2003.
Fenomena UHI di Bogor dominasi dipicu oleh makin luasnya RTB, hal ini
didukung oleh Carolita et al (2002) dan Sitorus et al (2005) di wilayah
JABOTABEK ditemukan bahwa RTH Bogor berupa ladang dan tegalan banyak
beralih fungsi menjadi areal pemukiman, perdagangan dan jasa serta atribut
perkotaan lainnya. Sehingga konsisten dengan penelitian ini perluasan ruang
terbangun (RTB) menjadi kontribusi dominan bagi fenomena UHI di Bogor.
Fenomena UHI di Tangerang kontribusi terbesar akibat pengurangan RTH,
berbeda dengan Bogor, berkurangnya RTH di Tangerang beralih menjadi kawasan
industri, pemukiman dan perdagangan dan jasa. Tipe RTH yang banyak beralih
fungsi berupa lahan persawahan (Sitorus et al., 2005), hal serupa yang terjadi di
Bekasi. Fenomena UHI di Bekasi dipicu oleh berkurangnya keberadaan RTH
beralih menjadi pemukiman, jasa dan perdagangan. Tipe RTH yang banyak
beralih fungsi berupa lahan persawahan (Sitorus et al., 2005).
Total korelasi ke-empat prediktor tertinggi terdapat di Bekasi (81%) disusul
Jakarta (78%), Tangerang (69%) dan terendah di Bogor (56%). Rendahnya
71
korelasi di Bogor disebabkan terdapat peubah lain penyebab UHI, yaitu
ketinggian (altitude). Kawasan kota Bogor di kelilingi wilayah kabupaten yang
mempunyai ketinggian 50 m hingga 3 000 m di atas permukaan laut. Laju
penurunan suhu adiabatik kering menunjukkan bahwa setiap peningkatan
ketinggian tempat 100 m dpl suhu akan berkurang sebesar 0.65oC. Laju
penurunan suhu dengan bertambahnya ketinggian tempat lebih dominan
mempengaruhi fenomena UHI di Bogor dibandingkan ke-empat peubah yang
dikaji. Sehingga faktor ketinggian tempat menjadi penyebab rendahnya total
korelasi ke-empat peubah prediktor (RTH, kepadatan populasi, RTB dan
kendaraan) terhadap UHI di kota Bogor.
Secara rata-rata pengurangan RTH merupakan faktor dominan penyebab UHI di
ke empat kota diikuti oleh RTB, KKdr serta terakhir Kpop. Penelitian ini
menunjukkan bahwa keempat peubah prediktor, seperti pengurangan RTH,
perluasan RTB, KKdr dan Kpop secara bersama memberikan kontribusi terhadap
UHI perkotaan rata-rata sebesar 71% dengan kisaran 56 hingga 81%. Tidak
maksimalnya nilai total korelasi keempat prediktor terhadap UHI,
mengindikasikan adanya faktor lain berperan terhadap UHI. Faktor lain selain
keempat peubah prediktor tersebut diduga ketinggian tempat dari permukaan laut
(altitude) khususnya untuk kota Bogor dengan kisaran ketinggian 200-450 m dpl.

4.5.b. Simulasi dan Validasi Model Fenomena UHI


Untuk mendapatkan gambaran tentang kelayakan model persamaan UHI
dan empat peubah prediktor RTH, kepadatan populasi, luasan RTB dan kepadatan
kendaraan, dilakukan simulasi dan validasi. Hasil simulasi UHI di empat kota
JABOTABEK disajikan pada Tabel 18, untuk melihat kecenderungan di masa
datang (simulasi tahun 2015 dan 2025) serta untuk validasi (simulasi 2005).
Berdasar Tabel 18 didapatkan hasil validasi model dengan membandingkan
nilai simulasi 2005 dengan hasil observasi. Didapatkan hasil memadai di mana
nilai simulasi pada kisaran nilai UHI hasil observasi, misal untuk Jakarta hasil
simulasi sebesar 1.2 oC sedangkan hasil observasi berkisar 1.1-1.3 oC.
Hasil simulasi untuk tahun 2015 hingga 2025 didapatkan besaran
(magnitude) UHI tertinggi tetap akan terjadi di Jakarta, disusul Tangerang, Bekasi
dan Bogor. Hal ini terjadi karena asumsi laju pengurangan RTH, peningkatan
populasi, perluasan RTB dan kepadatan kendaraan pertahun tertinggi terjadi di
Jakarta.

Tabel 18. Hasil simulasi dan validasi UHI empat kota


JABOTABEK
No. KOTA UHI (oC) UHI (oC)
SIMULASI* OBSERVASI**
1 Jakarta
2005 1.2 1.1-1.3
2015 1.5
2025 1.8
2 Bogor
2005 0.8 0.7-0.9
2015 1.0
72
2025 1.2
3 Tangerang
2005 1.1 1.1-1.3
2015 1.4
2025 1.7
4 Bekasi
2005 1.1 1.0-1.2
2015 1.3
2025 1.6
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
** nilai UHI rata-rata hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI 2005 di empat kota ( Jakarta,
Bogor, Tangerang, dan Bekasi)

4.6. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi


Dampak UHI terhadap THI atau indeks kenyamanan ditentukan
berdasarkan analisis regresi. Uraian analisis pemilihan persamaan hubungan
antara UHI dan THI secara lengkap disajikan pada (Lampiran 3). Penentuan
persamaan terpilih berdasarkan pada pola sebaran data, nilai koefisien determinasi
terkoreksi tertinggi dan nilai standar deviasi model terendah.
Model persamaan terpilih untuk empat kota di JABOTABEK dapat
dituliskan secara umum sebagai:

Y=bo + b1X-b2X2+b3X3

Di mana Y adalah THI(oC), X sebagai UHI(oC) dan bo adalah konstanta


persamaan serta b1, b2 dan b3, adalah koefisien-koefisien persamaan. Hasil uji
regresi terhadap konstanta dan koefisien persamaan disajikan secara tabular pada
Tabel 19. Konstanta bo merupakan nilai THI saat UHI bernilai 0 atau saat UHI
tidak berpengaruh terhadap THI, terlihat Jakarta dan Bogor sebesar 20.8,
sedangkan Tangerang dan Bekasi sebesar 20.7oC. Nilai ini merupakan nilai pada
kisaran nyaman bagi manusia pada kehidupan alami tanpa penggunaan AC.
Tabel 19. Nilai konstanta dan koefisien persamaan THI dan UHI
JABOTABEK

No. Wilayah Nilai konstanta dan koefisien


bo b1 b2 b3
1. Jakarta 20.8** 10.0** 6.6** 1.6**
2. Kota Bogor 20.8** 9.7** 6.5** 1.6**
3. Kota Tangerang 20.7** 9.8** 6.5** 1.6**
4. Kota Bekasi 20.7** 9.9** 6.5** 1.6**
Keterangan: angka yan diikuti tanda ** : sangat nyata pada taraf α=1%
73

Secara grafis model persamaan dampak UHI terhadap THI disajikan pada
Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa laju peningkatan THI (nilai
kenyamanan) mengalami laju cepat pada saat perubahan UHI dari 0 hingga 1.0oC.
Setelah UHI meningkat melebihi nilai 1.0oC (tanda panah pada gambar)
peningkatan THI mulai landai. Interpretasi model persamaan UHI dan THI secara
kuantitatif disajikan secara tabular pada Tabel 20.

(a) Jakarta (b). Bogor

(c). Tangerang (d). Bekasi

Gambar 20. Persamaan terpilih dampak UHI terhadap THI

Tabel 20. Perubahan THI akibat perubahan UHI berdasarkan


intepretasi model persamaan JABOTABEK

No ∆UHI ∆THI (oC) ∆THI (oC) ∆THI (oC) ∆THI (oC)


(oC) JKT BGR TGR BKS
1 1.6 5.7 5.4 5.6 5.8
2 1.4 5.5 5.2 5.4 5.5
3 1.2 5.3 5.0 5.2 5.3
4 1.0 5.0 4.8 4.9 5.0
74
5 0.8 4.6 4.4 4.5 4.6
6 0.6 4.0 3.8 3.9 3.9
7 0.4 3.0 2.9 3.0 3.0
8 0.2 1.7 1.7 1.7 1.7
9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
10 -0.2 -2.3 -2.2 -2.2 -2.3
11 -0.4 -5.2 -5.0 -5.1 -5.1

Berdasarkan Tabel 20 terlihat pada angka yang dicetak tebal, bahwa


setelah peningkatan UHI sebesar 1.0oC terjadi peningkatan THI mulai melandai
jika dibandingkan dengan peningkatan THI pada perubahan UHI sebesar 0.2
hingga 1.0oC. Laju peningkatan THI setelah 1.0oC hanya 0.2 hingga 0.3oC setiap
kenaikan UHI 0.2oC, sedangkan sebelumnya peningkatan THI berkisar antara 0.4
hingga 1.7 oC.
Interpretasi model persamaan hubungan UHI dan THI JABOTABEK
berdasar Tabel 20 adalah, THI kota Jakarta bertambah dengan meningkatnya UHI
dengan laju non-linier, penambahan UHI 0.2 hingga 1.6oC menyebabkan
peningkatan THI 1.7 hingga 5.7oC, sedangkan di Bogor, peningkatan THI 1.7
hingga 5.4oC, di Tangerang peningkatan THI sebesar 1.7 hingga 5.6oC, serta
Bekasi peningkatan THI sebesar 1.7 hingga 5.8oC. Sebaliknya pada pengurangan
UHI diikuti dengan penurunan nilai THI di mana pengurangan UHI sebesar 0.4oC
menyebabkan penurunan nilai THI yang cukup besar setara dengan nilai saat UHI
meningkat 1.2oC. Artinya setiap upaya penekanan dampak UHI menghasilkan
nilai THI yang sangat nyata berkurang, makin kecil nilai THI makin nyaman bagi
setiap populasi.

4.6.a. Pembahasan Dampak UHI terhadap THI


Berdasarkan hasil pada empat kota JABOTABEK secara konsisten
didapatkan bentuk hubungan non-linier kubik, berbanding lurus, di mana setiap
kenaikan UHI berdampak pada kenaikan nilai THI, dan berlaku sebaliknya. Laju
peningkatan THI paling besar pada saat perubahan UHI dari 0.2-1.0oC. Setelah
peningkatan UHI 1.0oC peningkatan nilai THI mulai landai. Sebaliknya
75
pengurangan UHI menyebabkan penurunan tajam nilai THI, di mana pengurangan
UHI sebesar 0.4oC berdampak setara dengan penambahan UHI sebesar 1.2oC.
Hal ini indikasi pentingnya penurunan UHI dengan cara menekan peningkatan
suhu perkotaan, sehingga besaran UHI menjadi lebih rendah. Upaya menekan
peningkatan suhu perkotaan dapat dilakukan dengan penambahan luasan RTH
atau badan air, pembatasan laju urbanisasi (kepadatan populasi), menekan
perluasan RTB secara horisontal dan menekan kepadatan kendaraan.
Peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan peningkatan THI sebesar
4.8oC (Bogor), 4.9oC (Tangerang) dan 5.0oC (Jakarta dan Bekasi). Peningkatan
THI di Bogor paling rendah disebabkan keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai
salah satu bentuk RTH mempunyai fungsi peredam dampak UHI kota Bogor,
hasil ini didukung oleh temuan Santosa dan Bey (1992). Pada tahun kajian
dilakukan keberadaan Kebun Raya memberikan dampak terhadap kenyamanan
kota.
Namum saat ini dengan laju peningkatan UHI yang diikuti peningkatan
THI di kota Bogor hampir mendekati tiga kota JABOTABEK lainnya. Sehingga
dampak UHI kota mengancam kelestarian kebun Raya Bogor itu sendiri,
berdasarkan fakta pada saat kemarau air dari sungai Ciliwung mengecil diikuti
dengan pengeringan saluran irigasi dalam lokasi kebun Raya Bogor (Yusuf, et al.,
2007).

4.6.b. Simulasi dan Validasi Model UHI dan THI


Untuk menilai kecenderungan di masa mendatang dan sekaligus
melakukan validasi terhadap model persamaan yang didapatkan antara THI dan
UHI di empat kota JABOTABEK, dilakukan simulasi dan validasi terhadap nilai
UHI pada tahun 2005, 2015 dan 2025. Adapun hasil simulasi dan validasi
disajikan pada Tabel 21.
Berdasarkan Tabel 21 hasil validasi model didapatkan hasil yang baik, di
mana nilai simulasi tahun 2005 berada pada nilai kisaran hasil perhitungan
berdasarkan observasi pada tahun yang sama. Nilai THI yang didapatkan
berdasarkan simulasi dengan asumsi semua peubah prediktor yang mempangaruhi
76
UHI seperti RTH, populasi, RTB, dan kendaraan meningkat dengan laju yang
sama dengan periode data 1970-2004.
Semua nilai simulasi baik 2005 maupun tahun 2015 dan 2025 di empat
kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi bila dikaitkan dengan rasa nyaman
pada populasi manusia berada pada tingkat cukup nyaman (nilai THI antara 25-
27). Diduga bila laju perubahan ke-empat prediktor tidak segera diatasi maka
dapat dipastikan semua wilayah akan menjadi tidak nyaman atau dengan kata lain
nilai THI melampaui angka 27.

Tabel 21. Hasil simulasi dan validasi THI empat kota


JABOTABEK

No. KOTA THI (oC) THI (oC)


SIMULASI* OBSERVASI**
1 Jakarta
2005 26.0 25.5-26.1
2015 26.3
2025 26.6
2 Bogor
2005 25.2 25.0-25.3
2015 25.6
2025 25.8
3 Tangerang
2005 25.3 25.2-25.6
2015 25.8
2025 26.0
4 Bekasi
2005 25.2 25.1-25.5
2015 25.7
2025 26.0
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
** nilai THI hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI 2005 di empat kota( Jakarta, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi)

4.6.c. Dampak UHI terhadap Neraca Energi Permukaan

Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H untuk ke empat
kota JABOTABEK menghasilkan model persamaan linier. Bentuk persamaan
regresi terpilih dampak UHI terhadap fluks LE dan H dapat dituliskan sebagai:
77
Y = bo – b1X ..............( model UHI dan fluks LE)
Y = bo + b1X ............. (model UHI dan fluks H)

Di mana Y adalah masing-masing sebagai fluks LE dan H dalam Wm-2


sedangkan X adalah UHI (oC), serta bo sebagai konstanta model, yakni nilai fluks
LE atau fluks H pada saat UHI bernilai nol, dan b1 sebagai koefisien model
persamaan. Secara rinci nilai konstanta dan koefisien model serta hasil uji regresi
disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai konstanta dan koefisien persamaan fluks LE, H dan
UHI JABOTABEK

No. Wilayah Nilai konstanta dan koefisien


bo (LE) bo (H) b1(LE) b1(H)
1. Jakarta 122.3** 32.7** 51.8** 15.7**
2. Kota Bogor 122.7** 33.0** 51.6** 15.7**
3. Kota Tangerang 122.5** 32.9** 51.9** 15.7**
4. Kota Bekasi 123.3** 33.2** 51.8** 15.8**
Keterangan: angka yang diikuti tanda ** : sangat nyata pada taraf α=1%

Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H dalam bentuk gambar
disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 terlihat model persamaan
terpilih antara fluks LE dan H dengan UHI untuk keempat kota dalam bentuk
linier. Model persamaan fluks LE dan UHI berbentuk linier berbanding terbalik
antara fluks LE dan UHI, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti dengan
pengurangan nilai fluks LE. Hal sebaliknya pada model persamaan fluks H dan
UHI, berbentuk linier berbanding lurus, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti
oleh kenaikan penggunaan fluks H, indikasi bagi makin hangatnya udara di atas
permukaan perkotaan.

(a) (b)
78

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)
Gambar 21. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta
(a dan b) Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f)
dan Bekasi (g dan h)

4.6.d. Pembahasan Dampak UHI terhadap Fluks LE dan H


Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan untuk fluks LE digunakan
sebagai energi untuk menguapkan air permukaan dan fluks H dipakai untuk
memanaskan udara secara konveksi. Hasil yang didapatkan di empat kota
JABOTABEK ditampilkan dalam bentuk tabular berikut:
Tabel 23. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di empat kota
JABOTABEK

Peubah Peubah Respon Peubah Respon


Prediktor Jakarta Bogor
79
∆UHI (oC) ∆LE ∆H ∆LE ∆H
(Wm-2) (Wm-2) (Wm-2) (Wm-2)
1.0 32.7 15.7 33.0 15.7
Peubah Peubah Respon Peubah Respon
Prediktor Tangerang Bekasi
∆UHI (oC) ∆LE ∆H ∆LE ∆H
(Wm-2) (Wm-2) (Wm-2) (Wm-2)
1.0 32.9 15.7 33.2 15.8

Berdasarkan Tabel 23, peningkatan fenomena UHI di Jakarta sebesar


o
1.0 C menyebabkan penurunan penggunaan energi netto untuk mengevaporasikan
sejumlah air permukaan (latent heat flux; LE) sebesar 32.7 Wm-2 sebaliknya
terjadi peningkatan untuk memanaskan udara (sensible heat flux; H) sebesar 15.7
Wm-2, hal ini mengindikasikan peningkatan UHI menyebabkan penggunaan
energi akan semakin besar bagi pemanasan udara, sebaliknya makin berkurang
untuk menguapkan air. Hal serupa terjadi di kota Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan penurunan nilai fluks LE terbesar
di Bekasi diikuti Bogor, Tangerang dan Jakarta, masing-masing sebesar 33.2,
33.0, 32.9 dan 32.7 Wm-2 dan Fluks H digunakan untuk memanaskan udara
secara konveksi terbesar di Bekasi, diikuti Bogor, Jakarta dan Tangerang masing-
masing sebesar 15.8 dan 25.7 Wm-2.
Untuk menilai karakteristik permukaan apakah memiliki RTH atau badan
air dengan indikator permukaan lebih basah atau permukaan lebih kering akibat
luasnya RTB, digunakan konsep Rasio Bowen (β), Ohmura (1982) dan Perez et
al. (1999), yaitu rasio antara fluks untuk memanaskan udara (H) dengan fluks
untuk penguapan (LE).
Permukaan yang kering dicirikan oleh nilai β yang tinggi (>1) sebaliknya
bila nilai β rendah (< 1) sebagai indikasi permukaan lokasi kajian masih terdapat
RTH dan atau badan air. Nilai rasio Bowen untuk keempat kota disajikan pada
Tabel 24.
Tabel 24. Nilai Rasio Bowen (β) di empat kota JABOTABEK
dibandingkan kota-kota lain

No. Kota Rasio Bowen (β)


1. Jakarta (kemarau) 0.86
2. Bogor (kemarau) 0.84
3. Tangerang (kemarau) 0.85
80
4. Bekasi (kemarau) 0.85
5. Palu (kemarau) * 1.05
6. Nagoya (summer)** 1.10
7. Mexico*** 0.88
8. New Zealand (summer)**** 1.09
Keterangan: * (Nur, 2004) ** Kato dan Yamaguchi (2005)
***Oke et al. (1999) dan ****Spronken-Smith (2002)

Berdasar Tabel 24 kota Jakarta memiliki nilai Rasio Bowen terbesar yaitu
0.86 dibandingkan ketiga kota JABOTABEK. Semua nilai lebih kecil dari satu
sebagai indikasi bahwa keberadaan RTH atau badan air masih cukup memadai.
Nilai Rasio Bowen untuk kota Bogor terendah dibandingkan ketiga kota
JABOTABEK, sebagai indikasi keberadaan RTH masih lebih baik (Oke, 1983).
Hasil ini terbukti kebenarannya, berdasarkan hasil kajian Agrissantika, et al.
(2007) didapatkan nilai RTH untuk kota Bogor, Bekasi, Tangerang dan Jakarta
untuk tahun 2005 masing-masing sebesar 43%, 32%, 21% dan 11%.
Perubahan RTH menjadi RTB di perkotaan berakibat pada permukaan
menjadi lebih kering. Permukaan yang kering menjadi penyebab penggunaan
radiasi netto lebih besar digunakan bagi peningkatan panas terasa, yang berakibat
pada makin meningkatnya suhu udara. Kota Palu merupakan wilayah tropis
terkering di Indonesia memiliki nilai Rasio Bowen lebih besar dari satu. Nilai ini
hampir sama dengan nilai Rasio Bowen kota-kota di subtropis pada musim panas
seperti Nagoya dan New Zealand. Indikasi nilai Rasio Bowen di atas satu adalah
kurangnya RTH atau badan air pada permukaan kota, sehingga radiasi netto lebih
besar digunakan bagi pemanasan udara.
Sementara kota Mexico yang juga negara tropis nilai Rasio Bowen sebesar
0.88 lebih besar 0.02 dibandingkan nilai rasio Bowen kota Jakarta. Hal ini
mengindikasikan keberadaan RTH di kota Mexico relatif lebih rendah
dibandingkan RTH kota Jakarta.
Untuk melihat rasio nilai latent heat flux, sensible heat flux dan soil heat
flux terhadap radiasi netto (Rn) yang diterima permukaan maka dilakukan
penghitungan. Hasil perhitungan rasio LE, H dan G terhadap Rn disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25. Rasio nilai LE, H dan G kota JABOTABEK
81
No. Kota LE/Rn atau H/Rn G/Rn
Fraksi Alfa (α)
1. Jakarta 0.50 0.41 0.09
2. Bogor 0.52 0.39 0.09
3. Tangerang 0.50 0.41 0.09
4. Bekasi 0.51 0.40 0.09
5. Palu* 0.44 0.46 0.10
* sumber: Nur (2004)

Rasio antara fluks LE dengan radiasi netto dikenal juga sebagai Fraksi
Alfa (α) oleh Jarvis (1981). Fraksi Alfa merupakan indikator kemampuan
vegetasi atau RTH untuk memanfaatkan energi tersedia dalam proses
evapotranspirasi atau penguapan. Berdasarkan Tabel 25 rasio LE/Rn atau Fraksi
Alfa kota Bogor sebesar 52%, diikuti Bekasi 51%, Jakarta dan Tangerang masing-
masing sebesar 50%, dibandingkan dengan Palu hanya 44%. Nilai α yang besar
indikasi bagi kemampuan permukaan dalam memanfaatkan radiasi netto untuk
penguapan masih baik, akibat permukaan masih relatif besar tertutupi RTH atau
badan air.
Hal sebaliknya terjadi pada rasio H/Rn, yaitu bagian energi netto yang
digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan secara konveksi. Kota
Palu terbesar pertama sebesar 46%, diikuti oleh Jakarta dan Tangerang 41%,
Bekasi 40% dan terendah kota Bogor hanya sebesar 39%. Makin besar nilai rasio
H/Rn indikasi bagi makin besarnya nilai suhu udara, dan sebaliknya.
Sementara rasio G/Rn untuk neraca energi yang dihitung pada siang hari
nilainya berkisar 9 hingga 10%. Hasil perhitungan pada penelitian di kota
JABOTABEK dan kota Palu ini sesuai dengan hasil perhitungan FAO (1998),
nilai G pada saat siang hari sebesar 0.1Rn, hal serupa ditemukan Kato dan
Yamaguchi (2005) bahwa nilai fluks G sebesar cgRn, di mana cg merupakan
kontanta permukaan yang nilainya tergantung pada nilai kapasitas dan
konduktivitas panas permukaan. Untuk permukaan kota cg didapatkan sebesar
0.7-1.0. Sehingga besarnya fluks G atau soil heat flux atau rasio antara fluks G
dan Rn di perkotaan subtropis berkisar antara 7 hingga 10%.
82
4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi
Untuk menilai kecenderungan nilai fluks LE dan H di masa mendatang
dan sekaligus melakukan vealidasi terhadap model persamaan yang didapatkan
antara fluks LE, H dan UHI di empat kota JABOTABEK. Maka dilakukan
simulasi dan validasi model persamaan dengan hasil seperti yang disajikan pada
Tabel 26.
Tabel 26. Simulasi dan validasi nilai LE dan H JABOTABEK
No. KOTA Simulasi* Simulasi*
Fluks LE(Wm-2) Fluks H(Wm-2)
1 Jakarta
2005 83.0 (82.2-83.5) 70.7 (70.3-70.9)
2015 73.8 75.1
2025 64.6 79.5
2 Bogor
2005 95.3 (95.0-95.6) 68.9 (68.7-69.0)
2015 88.8 73.6
2025 82.3 78.3
3 Tangerang
2005 86.3 (85.7-86.5) 69.2(69.0-69.8)
2015 76.4 73.9
2025 66.6 78.6
4 Bekasi
2005 87.8 (87.5-88.0) 68.7(68.4-68.9)
2015 78.8 73.0
2025 69.7 77.3
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
Angka dalam kurung ( ) nilai fluks LE dan H hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI
2005 di empat kota( Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Berdasar Tabel 26 terlihat kecenderungan nilai fluks LE makin berkurang


sebagai contoh untuk fluks LE Jakarta, 83.0 Wm-2 pada tahun 2005, menjadi 73.8
Wm-2 pada 2015 dan hanya 64.6 Wm-2 pada 2025. Begitupun yang terjadi di tiga
kota lainnya, hal ini merupakan indikasi peningkatan UHI menyebabkan
penggunaan energi penguapan (LE) makin berkurang, sehingga memperbesar
penggunaan energi panas terasa (H), 70.7 Wm-2 pada 2005 menjadi 75.1 Wm-2 di
tahun 2015 dan sebesar 79.5 Wm-2 pada tahun 2025.
Pengurangan nilai fluks LE dan makin bertambahnya fluks H, merupakan
indikator telah terjadi perubahan RTH menjadi RTB, sehingga karakteristik
permukaan semula lebih basah menjadi lebih kering. Kondisi kering
menyebabkan penguapan menjadi berkurang, sehingga energi radiasi netto
digunakan lebih besar untuk memanaskan udara (fluks H).
83
Validasi dilakukan dengan membandingkan nilai hasil perhitungan fluks
LE dan H berdasarkan data hasil observasi. Nilai perhitungan berdasarkan
observasi berupa angka dalam kurung mendampingi angka simulasi 2005. Hasil
yang didapat cukup baik di mana angka simulasi berada pada kisaran nilai
observasi untuk ke empat kota JABOTABEK.
84
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan


persamaan terpilih nonlinier untuk Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang
serta Bekasi. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih mempunyai pola
hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan RTH menyebabkan
peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Setiap pengurangan 50% RTH
menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan
penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC.
Hasil ini membuktikan akan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Titik
kritis pengurangan RTH untuk wilayah JABOTABEK sebesar 28%, bila nilai
tersebut terlampaui maka terjadi kenaikan suhu udara dengan laju yang tajam (dua
kali lebih besar dibandingkan perubahan awal). Ditemukan pula bahwa setiap
penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau naiknya suhu udara
dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten.
Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh
pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk
Jakarta dan perluasan urban pemicu UHI di Bogor. Secara rata-rata pengurangan
RTH menjadi faktor dominan penyebab UHI pada keempat kota JABOTABEK,
diikuti oleh makin luasnya RTB, kepadatan kendaraan (KKdr) serta kepadatan
populasi (Kpop). Ke-empat peubah prediktor tersebut secara bersamaan terbukti
mempunyai kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor.
Kontribusi ke-empat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan
peubah di luar keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut.
Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola
berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI.
Peningkatan UHI 0.2-1.0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam, setelah-
nya terjadi peningkatan THI makin landai. Upaya pengurangan UHI hanya
sebesar 0.4oC berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan
peningkatan UHI 1.2oC. Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan
85
membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi
bagi peningkatan kenyamanan kota.
Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier.
Setiap peningkatan UHI sebesar 1.0oC menyebabkan pengurangan penggunaan
radiasi netto untuk fluks LE (latent heat flux) sebesar 32.7-33.2 Wm-2 sebaliknya
menambah penggunaan radiasi netto untuk fluks H (sensible heat flux) sebesar
15.7-15.8 Wm-2. Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI menyebabkan
berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan (LE) sebaliknya
meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara (H). Indikator yang
dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan RTH menjadi
RTB adalah nilai rasio Bowen makin besar dan nilai fraksi Alfa makin kecil
pertanda makin berkurangnya RTH.
Penggunaan data penginderaan jauh untuk menutupi kekurangan kerapatan
stasiun cuaca, dinilai mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di
masa-masa mendatang. Tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu
pada stasiun-stasiun cuaca sebagai bahan referensis atau rujukan, yang dapat
digunakan untuk mengkalibrasi atau memvalidasi model-model pendugaan
berdasarkan ekstrasi data penginderaan jauh.

5.2. Saran

Untuk mengurangi peningkatan UHI sudah saatnya melakukan secara


bersamaan terhadap ke-empat faktor pemicu UHI. Sehingga upaya menekan UHI
tidak hanya menambah luasan RTH, tetapi juga membatasi laju urbanisasi, RTB
ke arah horisontal dan jumlah kendaraan.
Penambahan luasan RTH melalui mekanisme penerapan UU No. 26 tahun
2007 dengan ancaman pidana dan denda bagi pelanggar ketentuan luasan RTH
minimal yang ditetapkan untuk setiap kawasan perkotaan, dan penghargaan bagi
pelaksana dinilai akan efektif bila disertai penegakkan hukum yang berwibawa
tanpa pilih kasih dan pengawasan pelaksanaan di lapang secara rutin dan kontinu.
Pengawasan pelaksanaan UU ini hendaknya melibatkan segenap individu
termasuk masyarakat dan LSM yang ada. Serta dibuka akses pengaduan yang
mempermudah setiap ditemukan pelanggaran di lapangan.
86
Pembatasan laju urbanisasi akan efektif bila dilakukan peningkatan potensi
desa menjadi kota kecil atau kawasan budidaya. Kota kecil atau kawasan
budidaya yang tersedia siap menyerap tenaga kerja dengan fasilitas memadai
sehingga tidak semua orang tertarik ke kota.
Penataan RTB ke arah vertikal bagi pengembang-pengembang pemukiman
di wilayah JABOTABEK sudah harus dilaksanakan sehingga tekanan alih fungsi
RTH makin berkurang. Pembatasan RTB ke arah horisontal juga memberikan
ruang yang cukup bagi ketersedian RTH baik RTH publik yang diupayakan oleh
pemerintah kota/kabupaten, maupun RTH privat pada setiap lahan milik
masyarakat dan swasta. Sehingga setiap individu dapat menyediakan sekitar
30% RTH dari total lahan yang dimiliki.
Penyediaan transportasi publik yang nyaman perlu terus diupayakan agar
menekan penggunaan kendaraan pribadi. Di samping membuat aturan perpajakan
yang memberatkan bagi pemilik kendaraan pribadi dengan kepemilikan
kendaraan pribadi bila melampaui jumlah tertentu.
87
VI. DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, E.S. 1997. Perkembangan perkotaan dan dampaknya terhadap


kualitas udara dan iklim di Jakarta dan sekitarnya. Majalah Lapan No. 68:
38-52.

Agrissantika, T., E. Rustiadi dan D.P.T. Baskoro. 2007. Model dinamika spasial
ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan
JABODETABEK). Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek
Berkelanjutan. IPB ICC. Bogor.

Allen, et al., 1998. Crop evapotranspiration - guidelines for computing crop water
requirements - FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Allen, et al. 2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right
Management and Compliance with Multi State Water Compacts. Univ. of
Idaho, Kimberly, ID 83341.

Asaeda, T. and A.Wake. 1996. Heat storage of pavement and its effect on the
lower atmosphere. Atmospheric Environment 30(3): 413-427.

Atkinson, B.W. 2003. Numerical modelling of urban heat island intensity.


Boundary-Layer Meteorology 109(3): 285-310.

Baker, L.A. et al. 2002. Urbanization and warming of Phoenix (Arizona,


USA):impacts, feedbacks and mitigation. Urban Ecosystem 6: 193-203.
Kluwer Academic Publisher. Netherlands.

Balling, R.C., and S.W. Brazel. 1988. High resolution surface temperature
patterns in a complex urban terrain. Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing 54(9): 1289-1293.

Belaid, M.A. 2003. Urban-rural land use change detection and analysis using
GIS and technologies. 2nd FIG Regional Conference, Marrakech, Morocco,
December 2-5.

BenDor, E. and H. Saaroni. 1997. Airborne video thermal radiometry as a tool


for monitoring microscale structures of the urban heat island. International
Journal of Remote Sensing 18(14): 3039-3053.

Brandsma, T., G.P. Können, H.R.A. Wessels. 2003. Emperical estimation of the
effect of urban heat advection on the temperature series of The
Netherlands. International Journal of Climatology 23(7): 829-845.

Ca, V.T., T. Asaeda, and E.M. Abu. 1998. Reductions in air conditioning energy
caused by a nearby park. Energy and Buildings 29(1): 83-92.
88
Carolita, I., A.M. Zain, E. Rustiadi dan B.H. Trisasonko. 2002. The Land use
pattern changes of JABOTABEK region. Jurnal IRSA. IRSA International
Conference 4th. Bali 20-21 Juli 2002.

Chemin, Y.H. 2003. Fusion of Spatiotemporal Remotely Sensed


Evapotranspiration by Data Assimilation for Irrigation Performance.
Asian Institute of Technologies Bangkok, Thailand.

Chow, S.D. 1992. The urban climate of Shanghai. Atmospheric Environment,


Part B Urban Atmosphere. 26(1): 9-15.

Chung, U., J. Choi, and J.I. Yun, 2004. Urbanization effect on the observed
change in mean monthly temperatures between 1951-1980 and 1971-2000
in Korea.Climatic Change 66(1-2): 127-136.

Condella, V. 1998. Climate islands. Earth 7(1): 54-56.

Dibella, CM., C.M. Rebella and J.M. Paruelo. 2000. Evapotranspiration using
NOAA AVHRR imagery in Pampa Region of Argentina. Int. J. Remote
Sensing (21) 4: 791-797.

Draper, N.R. and H. Smith. 1992. Applied regression analysis (second edition).
Alih bahasa. Sumantri, B. PT Gramedia. Jakarta.

Emmanuel, R. 2005. Thermal confort implications of urbanization in a warm-


humid city: the Colombo Metropolitan Region (CMR), Sri Lanka. Building
and Environment (40): 1591-1601. Elsevier, Ltd.

Ernawi, I.S. 2007. Implikasi UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 terhadap
pembangunan JABODETABEK yang berkelanjutan. Seminar Menuju
JABODETABEK Berkelanjutan, Bogor 6 September 2007.

EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls,
USA, South Dakota. October 31-November 2, 1995.

FAO. 1998. Crop evapotranspiration guidelines for computing crop water


requirements. FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and
Agriculture Organization of The United Nation. Rome.

Gallo, K.P., A.L. Mcnab, T.R. Karl, J.F. Brown, J.J. Hood, and J.D. Tarpley.
1993. The use of a vegetation index for assessment of the urban heat-
island effect. International Journal of Remote Sensing 14(11): 2223-2230.

Gallo, K.P, and J.D. Tarpley. 1996. The comparison of vegetation index and
surface temperature composites for urban heat island analysis.
International Journal of Remote Sensing 17(15): 3071-3076.
89
Gallo, K.P and T.W. Owen. 1999. Satellite-based adjustments for the urban heat
island temperature bias. Journal of Applied Meteorology 38(6): 806-813.

Gallo, K.P, J.O. Adegoke, T.W. Owen, and C.D. Elvidge. 2002. Satellite-based
detection of global urban heat- island temperature influence. Journal of
Geophysical Research-Atmospheres 107(D24): 4776pp.

Ghosh, S. 1998. Perspectives on the environment new opinion. Int.J.Breute et al.


(Eds.) Urban Ecology. Springer, Berlin. 25-30pp.

Givoni, B. 1998. Climate considerations in building and urban design. Int.


Thomson Publishing, Inc. USA. 464pp.

Grimmond, C.S.B., C. Souch, and M.D. Hubble. 1996. Influence of tree cover on
summertime surface energy balance fluxes, San Gabriel Valley, Los
Angeles. Climate Research 6(1): 45-57.

Haan, C.T. 1979. Statistical methods in Hydrology. The Iowa State University
Press. Iowa.

Hanggono A., K. Bambang, Suhud, A. Rasjid dan S. Murad. 2000. Pemanfaatan


data satelit penginderaan jauh di Indoensia pada tahun 2000. Jakarta.
Seminar Internasional 11-12 April 2000.

Hardegree, L. C. 2006. Spatial Characteristics Of The Remotely-Sensed Surface


Urban Heat Island In Baton Rouge, LA: 1988-2003. [A Dissertation]
Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana State University and
Agricultural and Mechanical College.

Hawkins, T.W., W.L. Stefanov, W. Bigler, and E.M. Saffell. 2004. The role of
rural variability in urban heat island determination for Phoenix, Arizona.
Journal of Applied Meteorology 43(3): 476-486.

Hidayati , R. 1990. Kajian prilaku iklim Jakarta. Perubahan dan Perbedaan


dengan daerah Sekitarnya. [Tesis] Pascasarjana-IPB. Tidak Dipublikasikan.

Hinkel, K.M., F.E. Nelson, A.F. Klene, and J.H. Bell. 2003. The urban heat
island in winter at Barrow, Alaska. International Journal of Climatology
23(15): 1889-1905.

Hogan, A.W. and M.G. Ferrick. 1998. Observations in non-urban heat islands.
Journal of Applied Meteorology 37(2): 232-236.

Holman, J.P and P.R.S.White. 1992. Heat Trensfer. 7th Ed. in SI unit. McGraw-
Hill Inc. UK. 713pp.

Hotteling. 1936. Relation between two sets of variates. Biometrika. 28: 321-377.
90
Irwan, Z.D. 1994. Peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas
lingkungan kota: studi kasus lokasi pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi]
Program Pascasarjana-IPB.Bogor

Jarvis, PG. 1981. Stomata conductance, gaseous exchange and transpiration. In


J. Grace (eds) Plant and their atmospheric environment. Blackwell
Scientific Publications. London. 21stSymposium of the British Ecological
Society. 175-200pp.

Jauregui, E. 1997. Heat island development in Mexico City. Atmospheric


Environment 31(22): 3821-3831.

Johnson, G.L., J.M. Davis, T.R. Karl, A.L McNab, K.P. Gallo, J.D. Tarpley, P.
Bloomfield. 1994. Estimating urban temperature bias using polar-
orbiting satellite data. Journal of Applied Meteorology 33(3): 358-369.

Kalthoff N, et al. 1999. Analisis of energy balance components as function of


orography and land use and comparison of result with the distribution of
variables influencing local climate. Theor. Appl. Climatol. 62: 65-84.

Karjoto, et al. 1992. Kota sebagai pusat panas (City as an Urban Heat Island).
Prosiding Seminar Sehari Iklim Perkotaan. PERHIMPI. Jakarta.

Kato, S and Y. Yamaguchi. 2005. Analysis of urban heat island effect using
ASTER and ETM+ Data: Separation of anthropogenic heat discharge and
natural heat radiation from sensible heat flux. Remote Sensing of
Environment 99: 44-54.

Karl, T.R., H.F. Diaz and G. Kukla. 1988. Urbanization: Its detection and effect
in the United States climate record. Journal of Climate 1: 1099-1123.

Khomarudin, M.R. 2005. Pendugaan evapotranspirasi skala regional


menggunakan data Satelit penginderaan jauh [Thesis]. Sekolah Pasca
Sarjana. IPB. Bogor.

Kim, H.H., 1992: Urban Heat Island. International Journal of Remote Sensing
13(12), 2319- 2336.

Koesmaryono, Y., et al. 2000. Home garden as a complex agroecosystem facing


global change: study on microclimate at some home garden types in
Indonesia. Case at desa Sukatani, Sukaraja, Subdistrict, Bogor.
Departemen Geomet-FMIPA-IPB and BIOTROP. Bogor.

Kukla, G., J. Gavin and T.R. Karl. 1986. Urban Warming. Journal of Climate
and Applied Meteorology 25(9): 1265-1270.

Lo, C.P. and D.A. Quattrochi. 2003. Land use and land cover change, urban heat island
phenomenon, and health implications: A remote sensing approach.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(9): 1053-1063.
91
Lo, C.P. , and J.C. Luvall. 1997. Application of high-resolution thermal infrared
remote sensing and GIS to assess the urban heat island effect.
International Journal of Remote Sensing 18(2): 287-304.

Magee, N., J. Curtis, and G. Wendler. 1999. The urban heat island effect at
Fairbanks, Alaska. Theoretical and Applied Climatology 64(1-2): 39-47.

McPherson, G.E. 2000. Urban Forests and Climate Change. Global Climate
Change and the Urban Forest. Franklin Press, Inc., Baton Rouge, LA. 58-
69pp.

Mihalakakou, G., M. Santamouris, N. Papanikolaou, C. Cartalis, and A.


Tsangrassoulis. 2004. Simulation of the urban heat island phenomenon in
Mediterranean climates. Pure and Applied Geophysics 161(2): 429-451.

Misawa, A. 1994. Studi-studi dasar struktur tanaman sabuk penyangga tepi jalan
bagi preservasi lingkungan kehidupan. Chiba University, Tokyo, Japan.

Moll, G. 1997. America’s Urban Forests: Growing Concerns. American


Forests 103(3): 15-18.

Monteith, J.L. and Unsworth M.H. 1990. Principles of environmental physics.


2nd. Edward Arnold. London.

Mulyana et al. 2003. Aplikasi iklim terhadap perkembangan urban,


metropolitan Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim –
LAPAN. Bandung.

Murakami A., A.M. Zain, K. Takeuchi, A. Tsunekare dan S. Yakota. 2005.


Trends in urbanization and pattern of land use in the Asian mega cities
Jakarta, Bangkok, and Metro Manila. Landscape and Urban Planning.
2005(70): 251-259. Elsevier.

Nieuwolt, S. 1975. Ttropical climatology, an introduction to the climate low


latitude. John Willey & Sons. New York.

Nichol, J.E. 1994. A GIS-based approach to microclimate monitoring in


Singapore’s high-rise housing estates. Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing 60(10): 1225-1232.

Nichol, J.E. 1996. High Resolution surface temperature patterns related to


urban morphology in a tropical city: a satellite-based study. Journal of
Applied Meteorology 35(1): 135-146.

Nur, M.S. 2004. Neraca Energi dan Air di kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Provinsi Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Tidak dipublikasikan. Sekolah
Pascasarjana-IPB.
92
Nurisjah, S., Setiahadi, A.M. Zain dan Qadarian. 2005. Ruang terbuka hijau
wilayah perkotaan. Makalah diskusi Pengembangan Sistem RTH di
Perkotaan. Bappeda Bogor. 8 pp.

Ohmura, A. 1982. Objectives criteria for rejecting data for Bowen Ratio flux
calculation. J. Apll.Meteorol. 21: 595-598.
Oke, T.R. 1973. City size and the urban heat island. Atmospheric Environment
7(8): 769-779.

Oke, TR. 1982. The energetic basis of urban heat island. J. of the Royal
Meteorol. Society. 108(455): 1-24.

Oke, TR. et al. 1991. Simulation of surface urban heat island under ideal
condition at night. Part2: Diagnosis of causation. Bound. Layer Meteorol.
56: 339-358.

Oke, T.R. 1997. Urban climate and global change, in Applied Climatology:
Priciples and Practices, eds A Perry & R Thompson. London, 273-287pp.

Oke, T.R., A. Spronken-Smith, E. Jauregui, and C.S.B. Grimmond. 1998. The


energy balance of central Mexico City during the dry season. Atmospheric
Envirionment 33(24-25): 3919-3930.

Owen T.W, T.N. Carlson, and R.R. Gillies. 1998. An assessment of satellite
remotelysensed land cover parameters in quantitatively describing the
climatic effect of urbanization. International Journal of Remote Sensing
19(9): 1663-1681.

Park, H.S. 1986. Features of the heat island in Seoul and its surrounding cities.
Atmospheric Environment 20(10): 1859-1866.

Philandras, C.M., D.A. Metaxas, and P.T. Nastos. 1999. Climate variability and
urbanization in Athens. Theoretical and Applied Climatology 63(1-2):
65-72.

Perez, PJ., F. Castellvi, M. Ibanez and J.I. Rosell. 1999. Assessment of reliability
of Bowen ratio method for partioning fluxes. Agric. For. Meterol. 97: 141-
150.

Pielke Sr. et al. 2002. The influence of land-use change and landscape dynamics
on the climate system: relevante to climate-change policy beyond the
radiative efect of greenhaous gases. Phil. Trans. R. Soc. Lond. A(360):
1705-1719.

Pongracz, R et al. 2005. Remotely sensed thermal information applied to urban


climate analysis. Advances in Space Research. Article in press. Elsivier
Ltd.
93
Purnomohadi, S. 1995. Peran ruang terbuka hijau dalam pengendalian kualitas
udara di DKI Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB.Bogor.

Quattrochi, D.A. 1994. Measurement and analysis of thermal energy responses


from discrete urban surfaces using remote sensing data. International
Journal of Remote Sensing 15(10): 1991-2022.

Quattrochi, D.A. and M.K. Ridd. 1998. Analysis of vegetation within a semi-arid
urban environment using high spatial resolution airborne thermal infrared
remote sensing data. Atmospheric Environment 32(1): 19-33.

Quattrochi, et al. 2000. A Decision support information system for urban


landscape management using thermal infrared data. Photogrametric
Engineering and Remote Sensing. 66(10): 1195-1207.

Risdiyanto, I. 2001. Weather monitoring model based on satellite data. [Thesis]


MIT- program. Pascasarjana-IPB.

Rosenberg, N.J. 1974. Microclimate: The Biological Environment. John Willey


and Sons. New York.

Rustiadi, E., D.R. Panulu dan S. Saefulhakim. 2002. Analisis kecenderungan dan
dampak sub-urbanisasi di wilayah JABOTABEK. Suatu upaya
pengembangan model pengembangan wilayah metropolitan. P4W-Instiut
Pertanian Bogor. Bogor.

Rustiadi, E. et al. 2007. Analisis spasial permasalahan pembangunan kawasan


Jabodetabek. Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek Berkelanjutan.
IPB ICC. Bogor.

Santosa, I dan Bey, A. 1992. Kenyamanan Kebun Raya Bogor sebagai tempat
rekreasi ditinjau dari segi iklim mikro dan kualitas udara. LPPM-IPB dan
Dirjen Dikti DepDikBud RI. Bogor.

Santosa, I. 1998. Pulau panas (heat island) Wilayah JABOTABEK. Jurusan


Geofisika dan Meterologi-FMIPA-IPB. Bogor.

Sailor, D.J. and H.L Fan. 2002. Modeling the diurnal variability of effective
albedo for cities. Atmospheric Environment 36(4): 713-725.

Schlatter, T. and C. Wilson. 1997. Heat islands. Weather wise 49(46).

Shafir, H. and P. Alpert. 1990. On the urban orographic rainfall anomaly in


Jerusalem-A numerical study. Atmospheric Environment, Part B-Urban
Temperature 24(3): 365-375.

Seller, PJ. et al. 1997. Modeling the exchange of energy, water and carbon
between continents and the atmosphere. Science 275: 502-509.
94
Shoshany, M and N. Goldshleger. 2002. Land-use and population density
change in Israel 1950-1990: analysis of regional and local trends. Land-
use policy 19: 123-133. Pergamon Press Ltd.

Siswadi dan B. Suharjo. 1998. Analisa eksplorasi data peubah ganda. Jurusan
Matematika. FMIPA-IPB. 87 halaman.

Sitorus, J., E. Rustiadi, dan M. Ardiansyah. 2005. Analisis pola spasial


perubahan penggunaan lahan dan suburbanisasi di kawasan JABOTABEK
periode 1992-2000. Jurnal LAPAN 2005. 6-20 pp.

Skinner, W.R. and J.A. Majorowicz. 1999. Regional climatic warming and
associated twentieth century land-cover changes in north-western North
America. ClimateResearch 12(1), 39-52.

Spronken-Smith, R.A. and T.R. Oke. 1998. The thermal regime of urban parks
in two cities with different summer climates. International Journal of
Remote Sensing 19(11): 2085-2104.

Stallings, J.A. 2004. Characteristics of urban lightning hazards for Atlanta,


Georgia. Climatic Change 66(1-2): 137-150.

Streutker, D.R. 2003. Satellite-measured growth of urban heat island of


Houston, Texas. Elsevier Science 18pp.

Stull, R.B. 1995. Meteorology Today for Scientists and Engineers, a Technical
Companion Book. West Publishing Company Co. USA. 385 pp.

Sutanto. 1999. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Svensson, M.K and I. Eliasson. 2002. Diurnal air temperature in built-up areas
in relation to urban planning. Landscape & urban planning. Elsevier 61:
37-54.

Tapper, N. 2002. Modifying earth’s heat balance: forcing for climate change on
earth,lecture 5 in Monash University. http://www.monash.edu.au/download
in April 29th 2002

Tayanc, M. and H. Toros. 1997. Urbanization effects on regional climate change


in the case of four large cities of Turkey. Climate Change 6(1): 59-69.

Torok, S. J., C.J.G. Morris, C. Skinner, and N. Plummer. 2001. Urban heat island
features of southeast Australian towns. Australian Meteorological
Magazine50(1): 1-13.

Tso, C.P. 1996. A survey of urban heat island studies in two tropical cities.
Atmospheric Environment 30(3): 507-519.
95
Unger, J., Z. Sumeghy, A. Gulyas, Z. Bottyan, and L. Mucsi. 2001. Land-use and
meteorological aspects of the urban heat island. Meteorological
Applications 8(2): 189-194.

USGS. 2003. Landsat 7 science data users handbook


http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbook/handbook_htmls. [31 Juli 2004]

Viterito, A. 1991. Future warming for United States cities. Population and
Environment 13(2): 101-111.

von Storch, H dan F.W. Zweirs. 1999. Statistical analysis in climate research.
Cambridge Univ. Press. Cambridge.

Voogt, J.A. 2002. Urban heat island: causes and consequences of global
environmental change. John Wiley and Sons, Ltd. Chichester. 660-666pp.

Voogt, J.A and T.R Oke. 2003. Thermal remote sensing of urban climates.
Remote Sensing of Environment (86): 370-384

Vukovich, F.M. 1983. An analysis of the ground temperature and reflectivity


pattern about St. Louis, Missouri, using HCMM satellite data. Journal of
Climate and Applied Meteorology 22(4): 560-571.

Weng, Q. 2001. A remote sensing –GIS evaluation of urban expansion and its
impact on surface temperatue in the Zhujiang Delta. Int. J. Remote sensing,
2001. 22(10): 1999-2014.

Weng, Q.H. 2003. Fractal analysis of satellite-detected urban heat island effect.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(5): 555-566.

Weng, Q.H., and S.H Yang. 2004. Managing the adverse thermal effects of
urban development in a densely populated Chinese city. Journal of
Environmental Management 70(2): 145-156.

Xinmei H, Lyons TJ, Smith RCG, Hacker JM, and Schwerdtfeger P. 1993.
Estimation of surface energy balance from radiant surface temperature and
NOAA AVHRR Sensor reflectances over agricultural and native vegetation.
J. Appl. Meteorol. (32): 1441-1449.

Xu H.Q. and B.Q. Chen. 2004. Remote sensing of the urban heat island and its
changes in Xiamen City of SE China. Journal of Environmental Sciences-
China 16(2): 276-281.

Yamashita, S. and K. Sekine, 1991: Some studies on the earth’s surface conditions
relating to the urban heat island. Energy and Buildings 15(1-2), 279-288.
96
Yamashita, S, K. Sekine, M. Shoda, K. Yamashita, and Y. Hara. 1986. On
relationships between heat island and sky view factor in the cities of Tama
River basin, Japan. Atmospheric Environment 20(4): 681-686.

Yang, L.M. 2000. Integration of a numerical model and remotely sensed data to
study urban/rural land surface climate processes. Computers and
Geosciences 26(4): 451-468.

Yani, M dan S. Effendy. 2003. Assessment of carbon emission from industries


and transportation, a case study at Depok City, Java. Environmental
research center-Bogor Agricultural University and Osaka Gas Foundation of
International Cultural Exchange.

Yusuf, K., R. Mashudi, dan N. Isnaeni. 2007. Pengembangan Ruang Terbuka


Hijau (RTH) kota sebagai salah satu upaya pembangunan kota Bogor yang
berkelanjutan. Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek Berkelanjutan.
IPB ICC. Bogor.

Zain, A.F.M. 2002. Distribution, stucture and function of urban green space in
Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan
Region (JABOTABEK). [Doctoral Degree Program]. Departement of
Agricultural and Environmental Biology. The University of Tokyo.

Zhao M. and X.M. Zeng. 2002. A theoretical analysis on the local climate
change induced by the change of land use. Advances in Atmospheric
Sciences 19(1): 45-63.

Zhou, L.M., R.E. Dickinson, Y.H. Tian, J.Y. Fang, Q.X. Li, R.K. Kaufmann, C.J.
Tucker, R.B. Myeni. 2004. Evidence for a significant urbanization effect
on climate in China. Proceedings of the National Academy of Sciences of
the United States of America 101(26): 9540-9544.
97

LAMPIRAN
98
Lampiran 1. Analisis Komponen Utama

Analisis komponen utama atau dikenal sebagai Principal Components


Analysis (PCA) sebuah metode statistika yang mengubah peubah-peubah
prediktor menjadi peubah prediktor baru yang lebih sedikit namun mampu
menjelaskan total ragam peubah-peubah prediktor semaksimal mungkin, dikenal
pertama kali oleh Pearson (1902) dan Hotelling (1935), serta diterapkan pada
kajian meteorologi oleh Lorenz (1956).
Analisis PCA diaplikasi apabila terdapat korelasi antar peubah prediktor.
Dengan menerapkan metode PCA, permasalahan multicorenial (ada korelasi antar
peubah prediktor dalam analisis regresi) dapat diatasi. Dilanjutkan dengan rotasi
varimax sebuah rotasi yang dilakukan oleh matrix orthogonal untuk melihat
kontribusi dominan setiap peubah prediktor awal dan peubah baru yang
terbentuk, karenanya analisis ini dinamakan pula sebagai metode Emperical
Orthogonal Functin (EOF).
Analisis komponen utama biasanya digunakan untuk: 1) mengidentifikasi
peubah baru yang mendasari data peubah ganda, 2) mengurangi dimensi
himpunan peubah asal yang biasanya banyak dan saling berkorelasi menjadi
peubah-peubah baru yang tidak berkorelasi, dengan mempertahankan sebanyak
mungkin keragaman data asal, 3) menghilangkan peubah-peubah asal yang
mempunyai sumbangan informasi relatif kecil. Lebih lanjut dijelaskan, peubah
baru tersebut disebut komponen utama yang mempunyai ciri-ciri: 1) merupakan
kombinasi linier terbobot dari peubab-peubah asal, 2) jumlah kuadrat koefisien
dalam kombinasi linier tersebut bernilai satu, 3) tidak berkorelasi (orthogonal),
dan 4) mempunyai ragam berurutan dari yang terbesar ke yang terkecil. Jadi
tujuan utama analisis komponen utama adalah menjelaskan sebanyak mungkin
( ≥ 80%) jumlah ragam data asal dengan sesedikit mungkin komponen utama.
Menurut Haan (1979) jika peubah asal X yang berukuran p ditransformasi
menjadi peubah Z yang berukuran j, yang disebut komponen utama, dalam bentuk
notasi matriks dituliskan sebagai:
Z = AX ...................................................................................................(1)
dengan A adalah matriks yang melakukan transformasi peubah asal X, maka
vektor komponen utama Z dapat ditentukan.
99
Komponen utama pertama adalah kombinasi linier terbobot peubah asal
yang menunjukkan keragaman data terbesar, dan ditulis sebagai:
z1 = a11 x1 + a12 x2 + ... + a1 p x p ................................................................(2)

atau:
z1 = a1 ' x
dengan a1 ' adalah koefisien pembobot (characteristic vector), yaitu vektor
normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama pertama bernilai
maksimum. Keragaman komponen utama pertama dirumuskan sebagai:

p p
s z21 = ∑∑ ai1a j1sij ....................................................................................(3)
i =1 j =1

atau:

s z21 = a1' Sa1

dengan S adalah matriks kovarians jika bila semua peubah yang dikaji memiliki
besaran yang sama.
Komponen utama yang kedua merupakan kombinasi linier terbobot
peubah asal yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Komponen
utama kedua memaksimumkan sisa keragaman data setelah komponen utama
pertama, dituliskan sebagai:
z2 = a21 x1 + a22 x2 + ... + a2 p x p ..................................................................(4)
atau:
z2 = a2' x

dengan a2' adalah pembobot, yang dipilih sedemikian rupa sehingga keragaman
komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap koefisien pembobot a1 '
dan keragaman komponen kedua ditulis sebagai:
p p
s z22 = ∑∑ ai 2 a j 2 sij
i =1 j =1
.....................................................................................(5)

atau:
s z22 = a2' Sa2

Agar ragam komponen kedua maksimum dan ortogonal terhadap koefisien


pembobot a1 ' harus dipilih dengan batasan:
100

a2' a2 = 1
a1' a 2 = 0 ...................................................................................................(6)

Sehingga z1 dan z2 tidak berkorelasi.

Secara umum komponen utama ke-j dapat dituliskan sebagai:

z j = a j1 x1 + a j 2 x2 + ... + a jp x p ...................................................................(7)
atau:

z j = a 'j x

Koefisien pembobot a 'j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman
komponen utama ke-j maksimum, serta ortogonal terhadap koefisien pembobot ai'
dari komponen utama ke-i. Ragam komponen utama ke-j adalah:

s zj2 = a 'j Sa j ...............................................................................................(8)

dengan batasan:

a 'j a j = 1
ai' a j = 0
Untuk i=j dan i,j=1,2,3,4 ...., p.

Jika peubah-peubah asal memiliki satuan atau besaran yang berbeda maka
digunakan matriks korelasi R. Jika digunakan matriks korelasi maka nilai-nilai
peubah asal ditransformasikan menjadi nilai-nilai baku, yakni:

( xij − x j )
X ij = .......................................................................................(9)
s xj
Koefisien pembobot a 'j dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan

berikut:

( S − λ j I )a j = 0 ...................................................................................... (10)

dengan λ j adalah akar ciri (characterstic root) atau dikenal sebagai eigen value
ke-j. persamaan 10 akan menghasilkan vektor a j ≠ 0 jika dipenuhi syarat:
S − λjI = 0 .
101
Jika persamaan 10 digandakan dengan vektor a j akan menghasilkan:

a 'j Sa j = a 'j λ j Ia j a 'j Sa j = λ j

sZj2 = λ j ..................................................................................................(11)

Dengan demikian ragam komponen utama ke-j adalah akar ciri ke-j matriks
peragam S. Jumlah akar ciri dari persamaan 10 adalah sebanyak p untuk
i=1,2,3,...,p peubah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p .

Teras matriks S adalah sama dengan penjumlahan dari akar ciri:

p
trS = ∑ λ j ............................................................................................(12)
j =1

Jika digunakan matriks korelasi, maka persamaan ciri untuk mencari koefisien
pembobot a j berubah menjadi:

( R − λ j I )a j = 0 .....................................................................................(13)

Persamaan ini akan menghasilkan a j ≠ 0 jika dipenuhi syarat R − λjI = 0 .

Jumlah akar ciri yang diperoleh sebanyak p buah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p .

Teras matriks R merupakan penjumlahan akar cirinya.


Besarnya persamaan komponen utama ke-j diukur dengan besarnya
keragaman total yang dapat diterangkan oleh komponen utama ke-j, yakni
sebesar:
λj
x100% ..........................................................................................(14)
trR

Keragaman peubah asal yang diterangkan masing-masing komponen utama


adalah:

2
s XiZj = aij2λ j .............................................................................................(15)

Persentase keragaman peubah ke-i yang diterangkan oleh komponen utama ke-j
adalah:

2
s XiZj = aij2λ j x 100% ................................................................................ (16)
102

Nilai tersebut dapat memperlihatkan pengelompokan peubah asal, jika semakin


besar nilai yang didapat maka semakin dekat hubungan antara peubah asal dengan
komponen utama bersangkutan.
Ukuran yang sering dipakai untuk menilai keeratan hubungan antara
peubah asal dan komponen utama adalah koefisien korelasi yang dikenal sebagai
factor loading:
Lij = Aλ0j.5 ..............................................................................................(17)

Jika matriks kovarian atau peragam S yang digunakan, maka factor loadingnya
menjadi:
Aλ0.5
Lij = .............................................................................................(18)
S xi
Karena nilai factor loading sering intermediat sehingga sulit mencari peubab yang
dominan maka dilakukan rotasi. Metode rotasi yang umum digunakan adalah
rotasi varimax yang ditemukan oleh Kaiser (1958). Adapun tujuan dilakukan
rotasi varimax untuk mencapai struktur sederhana yang dilakukan dengan
memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan mempunyai korelasi
mendekati satu dengan sebuah faktor, dan mendekati nol pada faktor yang lain.
Factor loading yang telah dirotasi didapat dari hubungan:
L* = LT ..................................................................................................(19)
untuk L * factor loading yang telah dirotasi, L adalah factor loading yang belum
dirotasi dan T adalah matriks orthogonal yang memiliki sifat T’T=I dengan I
matriks identitas.
Untuk menentukan jumlah komponen utama yang akan dipilih biasanya
digunakan persentase keragaman kumulatif atau nilai akar ciri dari komponen
utama. Biasanya dengan pertimbangan bila persentase keragaman kumulatif
mencapai ≥ 80% atau nilai akar ciri komponen utamanya > 1.
103
Lampiran 2. Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan
kedua dengan UHI setelah analisis rotasi varimax

Untuk Jakarta dengan persamaan sebagai berikut:


UHI (oC) = 0.517 + 0.428 W’1 – 0.254 W’2
Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah dari
W’1 dan W’2 sebesar 78% disumbang oleh:
1. Kepadatan kendaraan sebesar 22%
2. RTH sebesar 20%
3. Luasan RTB sebesar 19%
4. Kepadatan populasi sebesar 17%

Untuk Bogor dengan persamaan sebagai berikut:


UHI (oC) = 0.394 + 0.241 Z’1 – 0.181 Z’2
Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1
dan Z’2 sebesar 56% disumbang oleh:
1. RTB sebesar 15%
2. RTH sebesar 14%
3. Kendaraan sebesar 14%
4. Populasi sebesar 13%

Untuk Tangerang dengan persamaan sebagai berikut:


UHI (oC) = 0.332 + 0.177 Z’1 - 0.261 Z’2
Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1
dan Z’2 RTH sebesar 69 % disumbang oleh:
1. RTH sebesar 19%
2. RTB sebesar 18%
3. Populasi sebesar 16%
4. Kendaraan sebesar 16%

Untuk Bekasi dengan persamaan sebagai berikut:


UHI (oC) = 0.437 + 0.373 Z’1 - 0.248 Z’2
Total kontribusi setiap peubah prediktor terhadap peubah UHI adalah: dari Z’1dan
Z’2 RTH sebesar 81 % disumbang oleh:
1. RTH sebesar 23%
2. RTB sebesar 22%
3. Populasi sebesar 19%
4. Kendaraan sebesar 17%
104
Lampiran 3. Hasil lengkap penentuan hubungan UHI dan THI

(a) Regresi linier JAKARTA:


Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC)
The regression equation is
THI-JKT = 22.29 + 2.947 UHI-JKT(oC)
S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 9 2.5264

(b) Regresi nonlinier (KUADRATIK) JAKARTA


Polynomial Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC)

The regression equation is


THI-JKT = 21.17 + 7.195 UHI-JKT(oC) - 2.493 UHI-JKT(oC)**2

S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000

(c) Regresi nonlinier (KUBIK) JAKARTA


Polynomial Regression Analysis: THI-JKT versus UHI-JKT(oC)

The regression equation is


THI-JKT = 20.76 + 9.979 UHI-JKT(oC) - 6.571 UHI-JKT(oC)**2
+ 1.584 UHI-JKT(oC)**3
S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000
Cubic 1 0.7376 25.77 0.000
105

(d) Regresi linier BOGOR:


Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC)

The regression equation is


THI-BGR = 22.14 + 2.947 UHI-BGR(oC)
S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264

(e) Regresi nonlinier (KUADRATIK) BOGOR


Polynomial Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC)

The regression equation is


THI-BGR = 21.11 + 7.091 UHI-BGR(oC) - 2.493 UHI-BGR(oC)**2
S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000

(f) Regresi nonlinier (KUBIK) BOGOR


Polynomial Regression Analysis: THI-BGR versus UHI-BGR(oC)
The regression equation is
THI-BGR = 20.75 + 9.706 UHI-BGR(oC) - 6.471 UHI-BGR(oC)**2
+ 1.584 UHI-BGR(oC)**3
S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000
Cubic 1 0.7376 25.77 0.000
106
(g) Regresi linier TANGERANG:
Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC)
The regression equation is
THI-TGR = 22.17 + 2.947 UHI-TGR(oC)
S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264

(h) Regresi nonlinier (KUADRATIK) TANGERANG:


Polynomial Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC)
The regression equation is
THI-TGR = 21.11 + 7.130 UHI-TGR(oC) - 2.493 UHI-TGR(oC)**2
S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000

(i)Regresi nonlinier KUBIK) TANGERANG:


Polynomial Regression Analysis: THI-TGR versus UHI-TGR(oC)
The regression equation is
THI-TGR = 20.73 + 9.809 UHI-TGR(oC) - 6.509 UHI-TGR(oC)**2
+ 1.584 UHI-TGR(oC)**3
S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000
Cubic 1 0.7376 25.77 0.000
107
(j) Regresi linier BEKASI
Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC)
The regression equation is
THI-BKS = 22.21 + 2.947 UHI-BKS(oC)
S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264

(k) Regresi non-linier (KUADRATIK) BEKASI


Polynomial Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC)
The regression equation is
THI-BKS = 21.12 + 7.170 UHI-BKS(oC) - 2.493 UHI-BKS(oC)**2
S = 0.225332 R-Sq = 98.2% R-Sq(adj) = 98.1%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000

(l) Regresi nonlinier (KUBIK) BEKASI:


Polynomial Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC)
The regression equation is
THI-BKS = 20.72 + 9.914 UHI-BKS(oC) - 6.547 UHI-BKS(oC)**2
+ 1.584 UHI-BKS(oC)**3
S = 0.169172 R-Sq = 99.0% R-Sq(adj) = 98.9%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264

Sequential Analysis of Variance


Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000
Cubic 1 0.7376 25.77 0.000

Anda mungkin juga menyukai