SOBRI EFFENDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
KETERKAITAN
RUANG TERBUKA HIJAU
DENGAN URBAN HEAT ISLAND
WILAYAH JABOTABEK
SOBRI EFFENDY
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Sobri Effendy
NRP: G. 226010011
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Disertasi : Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau
dengan Urban Heat Island Wilayah
JABOTABEK
NIM : G.226010011
Disetujui,
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si. Dr. Ir. Imam Santosa, M.S.
Anggota Anggota
Diketahui,
Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Ketua Dekan
SOBRI EFFENDY. The Role of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature
and Urban Heat Island. Exemplified By Jabotabek Area. Under supervision of
AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, and IMAM SANTOSA.
Key words: urban green space, urban heat island, temperature humidity index,
jabotabek
ABSTRAK
SOBRI EFFENDY. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island
Wilayah JABOTABEK. Dibimbing oleh AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, dan
IMAM SANTOSA.
Kata kunci: ruang terbuka hijau, urban heat island , temperature humidity index,
jabotabek
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian mulai Juli 2005-
Juli 2007 mengenai keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island
wilayah JABOTABEK, dengan menggunakan data penginderaan jauh.
Terimakasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ahmad Bey selaku pembimbing
utama, kepada Dr. Alinda F.M. Zain atas perkenannya melanjutkan penelitian S3
yang bertema Distribution, stucture and function of urban green space in
Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan
Region (JABOTABEK), serta atas segala bantuan lainnya, juga penghargaan
kepada Dr. Imam Santosa atas dorongan moril dan saran-sarannya.
Penghargaan yang setinggi-tingginya pada pembimbing luar komisi pada
saat ujian kualifikasi: Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. dosen Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Pada saat ujian tertutup Dr. Ir. Lilik
Budi Prasetyo dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan-IPB dan pimpinan sidang tertutup wakil dekan FMIPA Dr.
Hasim, DEA, atas saran dan masukkannya. Serta pada saat ujian sidang terbuka
Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr (Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah-LPPM IPB) dan Dr. Erna Sri Adiningsih (Kepala Pusat
Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN-Jakarta) beserta pimpinan sidang
Dekan FMIPA-IPB, Dr. Hasim, DEA.
Juga penghargaan sebesar-besarnya kepada BPPS-Dirjen Dikti
Departemen Pendidikan RI yang memberikan beasiswa selama enam semester.
Kepada semua pihak yang membantu baik rekan sesama staf dan penunjang di
departemen maupun di lain fakultas di IPB serta di luar IPB. Serta kepada pihak
keluarga yang mendukung dengan doa dan pengertiannya, terutama saat penulisan
disertasi. Akhirnya, semoga apa yang dihasilkan mendapat ridho dari Yang Maha
Kuasa. Amin.
Bogor, November 2007
Sobri Effendy
RIWAYAT HIDUP
Bowen Ratio (β) Perbandingan antara panas terasa (sensible heat flux)
dengan energi untuk menguapkan air permukaan
(latent heat flux), menggambarkan status kelembaban
penutup permukaan.
Fraksi Alfa (Fα) Perbandingan antara fluks panas laten dengan radisi
netto, indikator bagi besar atau kecilnya penggunaan
energi bersih untuk proses penguapan.
Latent Heat Flux (LE) Perpindahan panas laten, salah satu komponen neraca
energi yang digunakan untuk menguapkan air di
permukaan lewat proses evapotrasnpirasi, dengan
satuan Wm-2.
Radiasi Netto (Rn) Energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan
dengan satuan Wm-2.
Sensible Heat Flux (H) Perpindahan panas terasa, salah satu komponen neraca
energi yang digunakan untuk memanaskan udara di
atas permukaan secara konveksi, dengan satuan Wm-2.
Soil Heat Flux (G) Perpindahan panas permukaan tanah, salah satu
komponen neraca energi yang digunakan untuk
memanaskan permukaan dan kedalaman tanah melalui
proses konduksi, dengan satuan Wm-2.
Suhu Permukaan (Ts) Suatu gambaran energi yang terdapat pada suatu
permukaan bumi, dengan satuan oC atau K.
Suhu Udara (Ta) Suatu gambaran energi yang terdapat di atmosfer atau
udara dan dapat dirasakan oleh tubuh serta dapat
diukur dengan termometer, dengan satuan oC atau K.
spectral irradiance Jumlah energi yang diterima suatu obyek per unit luas.
( ESUN λ )
Td Dew Point Temperature, suhu titik embun yaitu suhu
yang tercapai saat terjadi pengembunan.
Gambar 2. Fenomena UHI di malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal),
suhu permukaan (garis putus-putus)
Sumber: Voogt (2002)
6
THI (oC)
Indonesia 20-26 Mom, 1947
Malaysia 21-26 Webb, 1952
India 21-26 Malhotra, 1955
USA bagian utara 20-22 American Society of heating
AC Engineers, 1955
USA bagain selatan 21-25 American Society of heating
AC Engineers, 1955
Daratan Eropa 20-26 McFarlane, 1958
England 14-19 Bedford, 1954
Berdasar Tabel 7 terlihat bahwa wilayah kajian tidak hanya wilayah tropis
seperti Indonesia, Malaysia, dan India, juga negara subtropis (USA bagian Utara,
USA bagian selatan, daratan Eropa dan England). Dari Tabel 7 terlihat untuk
wilayah tropis kisaran kenyamanan berada pada rentang nilai THI 20 hingga 26
o
C, nilai ini konsisten pada kedua negara tropis, kecuali Indonesia. Sedangkan
untuk wilayah subtropis didapatkan variasi yang signifikan. Untuk USA utara
pada kisaran nyaman pada rentang THI begitu sempit 20-22oC. Berbeda dengan
USA selatan antara 21-25oC. Sementara di daratan Eropa hampir sama dengan
Indonesia batas nyaman pada THI 20-26oC, kecuali England batas nyaman pada
nilai THI < 20 yakni 14-19oC. Keragaman ini terjadi terkait dengan latar
belakang lokasi pemukiman responden populasi. Misalnya Inggris wilayah
o
lintang tinggi dengan nilai THI selalu rendah (< 20 C), sehingga tatkala nilai THI
> 20oC semua responden menyatakan sudah tidak nyaman.
Menurut Tapper (2002) Radiasi netto permukaan bumi merupakan
gambaran dari kesetimbangan antara gelombang radiasi pendek yang datang (Rsin)
dikurangi yang pergi (Rsout) ditambah radiasi gelombang panjang yang datang
(Rlin) dikurangi yang pergi (Rlout).
Neraca energi penting dikaji karena dapat dijadikan sebagai penciri
kondisi iklim lokal/regional suatu lokasi, yang memberikan informasi nilai
masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan
udara, fluks pemanasan tanah dan fluks pemanasan laten (untuk evaporasi)
(Sellers et al, 1997; Katlthoff et al, 1999).
18
Ciri kota dibandingkan desa akan sangat berbeda dalam hal konversi
radiasi netto untuk ketiga hal baik sebagai pemanas udara, pemanas permukaan
maupun sebagai penguap air. Khomarudin (2005) mengkaji Kota Surabaya
menemukan ciri neraca energi kota pada besarnya komponen radiasi netto dipakai
untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya. Hal inilah yang diduga
menjadi penyebab makin meluasnya fenomena UHI di perkotaan.
Tiga konsep yang dikembangkan untuk mengkaji penggunaan neraca
energi perkotaan: (1) Konsep Albedo (α) yaitu, rasio antara radiasi gelombang
pendek yang dipantulkan dengan radiasi yang datang pada permukaan.
Permukaan yang terang dan kering dicirikan oleh nilai albedo yang tinggi. (2)
Konsep Rasio Bowen (β) (Ohmura, 1982; Perez et al, 1999) yaitu, rasio antara
fluks untuk memanaskan udara dengan fluks penguapan. Permukaan kering
dicirikan nilai β yang tinggi. (3) Konsep Fraksi Alfa (Fα) dikembangkan oleh
Jarvis (1981) yaitu, rasio antara fluks penguapan dengan radiasi neto. Nilai Fα
indikator besar-kecilnya jumlah energi Rn yang dipakai untuk penguapan.
Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data
Landsat. Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji
karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian
Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji
perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan
kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995)
mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi.
Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan
morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu
urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan
tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas
penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat
diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau
kaitan ouput yang satu dengan output yang lain.
Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi
perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk
22
wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu
udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh
Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan
pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban
dengan pendekatan spektral. Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh
dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis
masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat
dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga
kajian potensi kekeringan dapat dilakukan.
Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan
kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan
Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk
menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan
kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM
dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999). Dari tema ketiga diperoleh hasil
bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap
monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun
pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data
penginderaan jauh.
Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra
Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree
(2006). Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi
Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003
sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles
dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin
luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan
meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan
proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten),
semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.
.
23
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN
Citra Landsat
Kanal 1,2,3
Persamaan NDVI Ta
dan RTH Dugaan Ta Observasi
tidak
ya
RTH Ta terkalibrasi
ya
Persamaan Terpilih
tidak
Validasi
ya
Aplikasi
Gambar 6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara
Pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut:
28
• Data Citra Landsat 5 akuisisi 1 Juli 1991, Landsat 5 akuisisi 20 Juli 1997
serta Landsat 7 akuisisi 23 Juli 2004, dilakukan pemulihan citra (image
restoration) meliputi koreksi radiometrik dari pengaruh atmosfer dengan
cara membentangkan nilai digital number (DN) dikenal juga sebagai grey
value pada nilai terendah pada angka nol dan nilai tertinggi pada angka
255, dengan cara melihat nilai histogram setiap kanal (band). Dari
histogram dapat diketahui nilai terendah pixel yang tidak merespon
spektral atau paling lemah dalam merespon spektral harusnya bernilai nol,
apabila tidak maka nilai penambahan (offset) tersebut dipandang sebagai
hasil dari hamburan atmosfer. Koreksi dilakukan dengan mengurangkan
semua nilai dengan besarnya offset tersebut. Lalu dilakukan koreksi
geometrik agar distorsi saat pengambilan citra dapat dikoreksi dan sesuai
dengan sistem ordinat di bumi. Ada dua cara koreksi geometrik, pertama
dikenal sebagai Regristrasi yakni mengoreksi citra dengan citra yang telah
dikoreksi dan kedua dikenal dengan Rektifikasi yaitu mengoreksi citra
dengan peta sebagai acuan, pada penelitian dipilih cara kedua. Ditentukan
sekitar 10 titik GCP (Ground Control Point) yang tersebar merata
mewakili setiap sudut citra baik atas, bawah, kanan dan kiri serta tengah.
Kemudian bila nilai RMS (Root Mean Square) di bawah 0.5 proses
koreksi selesai. Koreksi terakhir dilakukan penajaman citra (image
enhanchement) meliputi penajaman kontras, pewarnaan semu, dan
penapisan agar mudah melakukan interpretasi secara visual.
• Pemotongan citra dengan menggunakan peta digital administrasi
JABOTABEK 1991, 1997 dan 2004 sesuai dengan data citra yang akan
dipotong.
• Pada kanal 3 dan 4 dilakukan ekstraksi nilai NDVI dengan menerapkan
Rumus:
NDVI=(NIR - R) / (NIR + R).
• Berdasarkan Persamaan yang didapatkan Zain (2002):
Persen RTH = 382.4 NDVI + 20.793, data RTH (%) dibangkitkan sebagai
peubah prediktor.
• Pada kanal 1, 2 dan 3 diekstrak neraca energi sehingga didapatkan nilai-
nilai Rs in, Rs out dan Rl in, Rl out sehingga didapat Rn. Berdasarkan Rn
29
didapatkan G, H dan LE, secara rinci diterangkan pada akhir bab
metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.
• Pada kanal 6 diekstrak nilai suhu permukaan, secara rinci diterangkan pada
akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.
• Berdasarkan suhu permukaan dan fluks energi H diekstrak nilai suhu udara
(Ta). Agar sesuai dengan data observasi dari 12 stasiun iklim dilakukan
kalibrasi terhadap suhu udara hasil ekstraksi, dengan cara analisis regresi.
• Data RTH bangkitan dan Ta yang telah terkalibrasi diekspor menjadi data
tabel untuk diolah lebih lanjut, yakni penentuan bentuk hubungan.
• Penentuan bentuk hubungan suhu udara dan RTH dengan mencari model
persamaan kedua peubah tersebut apakah linier, kuadratik atau kubik.
Sebagai dasar pemilihan model persamaan adalah melihat pola penyebaran
data yang paling mendekati garis model persamaan, nilai koefisien
determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S). Koefisien
determinasi terkoreksi merupakan koefisien determinasi yang telah
memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model,
sehingga dianggap lebih peka. Koefisien determinasi terkoreksi
menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat
dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin
baik model. Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran
besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol),
makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). Setelah persamaan
terpilih dilakukan uji regresi baik konstanta (slope) maupun koefisien
persamaan. Dilanjutkan validasi persaman untuk mengetahui output nilai
dugaan dengan data observasi. Setelah validasi persamaan yang terpilih
dapat diaplikasikan atau direkomendasikan.
Adapun tahapan dan rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan data suhu
udara adalah sebagai berikut:
30
(1) Pendugaan Suhu Permukaan (Surface Temperature)
Estimasi suhu permukaan dari citra Landsat menggunakan kanal enam
pada kisaran panjang gelombang 10.40 hingga 12.50μm, dikenal sebagai kanal
thermal infrared . Meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
⎡ ⎤
Lλ = ⎢
Lmax λ − Lmin λ
( )
⎥ × QCALmax − QCALmin + Lmin λ ..…............................(1)
⎢⎣ QCALmax − QCAlmin ⎥⎦
Keterangan:
Lλ = Spectral radiance pada kanal ke-λ (Wm-2sr-1μm-1)
QCAL = Nilai digital number kanal ke-λ
Lminλ = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-λ
Lmaxλ = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-λi
QCALmin = Minimum pixel value 1 (LPGS Products) 0 (NLAPS Products)
Maksimum pixel value (255)
QCALmax =
(Semua nilai Lmin, Lmax, QCALmin dan QCALmax untuk setiap kanal baik untuk Landsat TM
maupun ETM+ terdapat pada Landsat User Handbook, USGS 2003)
Diuraikan menjadi:
Keterangan:
Rn : Radiasi netto (Wm-2)
Rsin : Radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2) ekstraksi Landsat
Rsout : Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2)
Rlin : Radiasi gelombang panjang yang datang (Wm-2)
Rlout : Radiasi gelombang panjang yang keluar (Wm-2)
α : Albedo permukaan (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
Ts : Suhu permukaan (K) (diturunkan dari ekstraksi Landsat)
Ta : Suhu udara (K) (diduga dari ekstraksi Landsat)
ε : Emisivitas permukaan (Weng, 2001)
εa : Emisivitas udara (0.938 x 10-5 Ta2 K-2)
σ : Tetapan Stefan-Bolztman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4)
N : Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0
Rs out
α= ...... ……………………………………..................(6)
Rsin
Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2003) dipengaruhi oleh
beberapa parameter seperti: Jarak astronomi bumi-matahari (d), rata-rata nilai
solar spectral irradiance pada kanal tertentu ( ESUN λ ), Spektral Radiance (Lλ),
π .Lλ .d 2
α= ..........................… ........................................ ....(7)
ESUN λ .Cos θ
Untuk menghitung nilai d2 perlu diketahui JD (Julian Day) artinya jumlah
hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi
data citra satelit pada tahun yang bersangkutan. Persamaan yang digunakan:
Pada data satelit, diketahuinya nilai albedo dan jumlah energi radiasi
gelombang pendek yang di pantulkan oleh suatu permukaan. Sehingga besarnya
Radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan dapat dirumuskan
berdasarkan persamaan berikut:
Rsout
R sin = ………………………...................................................... (9)
α
Satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek masih dinyatakan
dalam satuan Wm-2steradian-1μm-1. Hal ini menyatakanan laju perpindahan energi
(W, Watts) yang terekam oleh sensor per m-2 luas permukaan, untuk 1 steradian
33
(sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per-unit
panjang gelombang dalam satu kali pengukuran.
Langkah selanjutnya mengkonversi Wm-2steradian-1μm-1 menjadi satuan
energi Wm-2, agar dapat dilakukan perhitungan lanjut dengan parameter lainnya.
Untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat
lengkung permukaan bumi, maka nilai radiasi adalah fungsi dari nilai irradians
yang terbebas dari besaran arah dan disebut sebagai radiasi Isotopic. Fungsi
perhitungan adalah integral terhadap dΩ yang menghasilkan persamaan berikut:
λE = Rn − G − H .........................…...…………...…...……………(15)
Tahap ini dilakukan untuk menguji apakah fenomena UHI dominan disebabkan
oleh RTH atau selain RTH, dengan menggunakan model persamaan regresi
berganda. Nilai UHI didapatkan dari persamaan berikut:
UHI = (Taurban -Tasuburban/rural dalam oC) ……………………………….(18)
Di mana:
Peubah UHI dianalisis dari empat kota:
• Taurban meliputi: Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
• Tasuburban meliputi kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi
Sehingga dapat dilihat intensitas UHI terbesar pada empat wilayah kota, dengan
pembanding wilayah kabupaten (rata-rata nilai tiga kabupaten) yang sama.
Penentuan peubah prediktor RTH(%), kepadatan populasi (KPop), luasan ruang
terbangun (RTB:%) dan kepadatan kendaraan (KKdr) berdasarkan hasil kajian
pustaka bahwa secara terpisah ke-empat peubah tersebut mempunyai keterkaitan
yang erat dengan UHI.
Adapun bentuk model persamaan regresi berganda sebagai berikut:
Yi=f(X1i , X2i, ..., Xni, εi) ......................................................(19)
Di mana Yi merupakan peubah respon (UHI), merupakan fungsi dari
peubah prediktor (X) satu hingga ke n (n=4), dan εi (sisaan atau error). Adapun
penentuan bentuk akhir persamaan regresi ditetapkan melalui langkah-langkah
pengujian:
36
a. Uji plot tebaran data (scatterplot matrix) dilakukan secara simultan
sehingga tidak hanya pola hubungan antara Y dengan masing-masing
Xi tetapi juga pola hubungan antar peubah Xi. Plot kebebasan antar Xi
pada regresi berganda perlu diketahui apakah peubah-peubah bebasnya
tidak saling berkorelasi (multicolinearity). Karena ada korelasi nyata
antara peubah prediktor dilakukan metode Principal Components
Analysis (PCA) sebuah metode statistika yang mengubah peubah-
peubah prediktor asal menjadi peubah prediktor baru, lebih sederhana
karena jumlah peubah lebih sedikit, namun mampu menjelaskan total
ragam peubah-peubah prediktor asal semaksimal mungkin, dikenal
oleh Hotelling (1935). Kemudian dilakukan rotasi varimax, untuk
mengetahui kontribusi peubah prediktor.
b. Langkah-langkah analisis komponen utama meliputi delapan tahap
(Haan, 1979; Siswadi dan Raharjo, 1998; von Storch and Zwiers,
1999) sebagai berikut:
1. Penghitungan matriks korelasi R peubah asal (RTH, KPop, RTB dan
KKdr yang berbeda besaran satuannya) dengan rumusan:
( x' x)
R= …………………………......………......(20)
(n − 1)
R − λjI = 0 ..................................................................(21)
2
s XiZj = aij2λ j × 100% ............................................................(22)
37
di mana:
s2XiZj : ragam dari peubah asal x ke-i yang dijelaskan
oleh komponen utama (PCA) ke-j
a2ij : elemen ke-i dari vektor eigen ke-j
λj : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen j
di mana:
Lij : matrix loading (koefisien korelasi) antara peubah
asal x ke-i dengan PCA ke-j
A : matrix eigen (matrix yang elemen-elemen
merupakan elemen vektor eigen
λj0.5 : matrix akar nilai akar ciri (eigen value) ke-j
L* = LT ..........................................................................(24)
di mana:
L* : matrix loading (korelasi) yang telah dirotasi
L : matrix loading asal
T : matriz orthogonal dengan sifat T’T=I
I (matrix Identitas) atau matrix ortogonal yang
merotasi matrix L
( R − λ j I )a j = 0 .............................................................(25)
di mana:
R : matrix korelasi
λj : nilai akar ciri (eigen value) untuk komponen ke-j
I : matrix identitas yang berordo sama
aj : koefisien pembobot untuk komponen ke-j
Z = AX .........................................................................(26)
38
di mana:
Z : matrix PCA
A : matrix akar ciri (nilai eigen)
X : matrix data asal
Delapan tahapan tersebut dilakukan dengan bantuan PC, secara lengkap analisis
komponen utama diuraikan pada Lampiran 1.
c. Menentukan persamaan antara peubah respon dengan peubah prediktor
yakni antara UHI dengan peubah prediktor hasil rotasi serta uji
paramater baik konstanta maupun koefisien persamaan. Menghitung
kontributusi dominan setiap peubah prediktor terhadap UHI, pada ke
empat kota. Sehinga diperoleh gambaran tantang karakteristik setiap
kota.
d. Simulasi dan validasi, bertujuan untuk melihat kecenderungan UHI di
masa mendatang yaitu tahun 2005, 2015 dan 2025. Untuk simulasi
tahun 2005 dapat dilakukan sekaligus validasi dengan membandingkan
antara nilai simulasi hasil dugaan yang didapatkan dari persamaan
dengan hasil pengukuran (observasi lapang) pada lokasi dan tahun
yang sama. Validasi dilakukan dengan cara visual dengan
membandingkan nilai dugaan dengan nilai observasi pada sistem
ordinat sumbu x dan y, serta ditentukan besarnya korelasi atau
koefisien determinasi antara keduanya. Bila hasil validasi baik
dicirikan oleh besarnya nilai korelasi atau koefisien determinasi maka
persamaan terpilih dapat diaplikasikan dan direkomendasikan pada
berbagai pihak terkait.
Secara grafis uraian metodologi tujuan dua disajikan pada Gambar 7.
39
Penentuan Peubah Respon dan
Prediktor
Uji
korelasi
ya
tidak
Regresi Berganda
ya
Tekanan uap jenuh (es) merupakan fungsi dari suhu udara (Allen, et.al
,1998), secara empiris dapat dituliskan:
⎡ 17.27Ta ⎤
es = 0.6108 exp ⎢ ⎥ ..................................................................(28)
⎣ Ta + 237.3 ⎦
Keterangan:
Ta = Suhu udara (oC)
es = Tekanan uap jenuh (kPa)
Tekanan uap aktual (ea) dapat dihitung dari titik embun (Td) yang secara
empiris dapat dituliskan sesuai persamaan 29, dengan Ta diganti Td.
⎡ 17.27Td ⎤
ea = 0.6108 exp ⎢ ⎥ .................................................................(29)
⎣ Td + 237.3 ⎦
Penentuan fluks
Rumus THI
LE dan H
THI LE H
(Y1 ) (Y2 ) (Y3 )
tidak
Persamaan terpilih
ya
Pada bab ini diuraikan tentang hasil yang diperoleh berdasarkan pada tiga
tujuan kajian yang hendak dicapai. Ringkasan uraian hasil dan pembahasan dapat
disarikan sebagai berikut:
(1) Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan
persamaan terpilih nonlinier. Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih
mempunyai pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan atau
penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau berkurangnya suhu udara
dengan laju yang tidak sama. Setiap pengurangan RTH menyebabkan peningkatan
suhu udara lebih besar dibandingkan dengan penambahan RTH. Hasil ini
membuktikan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH. Ditemukan pula
bahwa setiap penambahan atau pengurangan RTH berakibat pada turun atau
naiknya suhu udara dengan nilai relatif besar di wilayah perkotaan dibandingkan
wilayah kabupaten.
(2) Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh
pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, banyaknya kendaraan untuk
Jakarta dan perluasan RTB pemicu UHI di Bogor. Ke-empat peubah prediktor
(RTH, populasi, RTB dan kendaraan) terbukti secara bersamaan mempunyai
kontribusi nyata dan relatif tinggi terhadap UHI, kecuali Bogor. Kontribusi ke-
empat prediktor di Bogor lebih rendah akibat adanya peranan peubah di luar
keempat prediktor yaitu ketinggian tempat dari permukaan laut.
(3a) Dampak UHI terhadap THI berupa persamaan non-linier, dengan pola
berbanding lurus, setiap peningkatan UHI menyebabkan kenaikan nilai THI.
Peningkatan UHI 0.2-1.0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam,
setelahnya terjadi peningkatan THI makin landai. Upaya pengurangan UHI hanya
sebesar 0.4oC berdampak pada makin rendahnya nilai THI setara dengan
peningkatan UHI 1.2oC. Hasil ini membuktikan pengurangan UHI diperkotaan
membawa perubahan yang nyata terhadap THI. Menurunnya nilai THI indikasi
bagi peningkatan kenyamanan kota.
(3b) Dampak UHI terhadap neraca energi permukaan berupa persamaan linier.
Setiap peningkatan UHI menyebabkan pengurangan penggunaan radiasi netto
untuk fluks LE (latent heat flux) sebaliknya menambah penggunaan radiasi netto
untuk fluks H (sensible heat flux). Berdasarkan hasil tersebut dampak UHI
menyebabkan berkurangnya penggunaan radiasi netto untuk penguapan (LE)
sebaliknya meningkatkan penggunaan energi untuk pemanasan udara (H).
Indikator yang dapat dikaji dari perubahan penggunaan energi akibat perubahan
44
RTH menjadi RTB adalah nilai Rasio Bowen makin besar sementara nilai Fraksi
Alfa makin kecil, pertanda makin berkurangnya RTH.
Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 1991, 1997 dan 2004
persamaan kalibrasi yang digunakan adalah hubungan kubik karena memiliki nilai
koefisien determinasi (R2adj) tertinggi dan jumlah kuadrat sisa (S) terendah.
Adapun bentuk model persamaan terpilih disajikan secara grafik pada Gambar 9.
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa untuk ketiga tahun data, secara
konsisten bentuk persamaan yang menghasilkan kriteria terbaik, yaitu R2adj
tertinggi dan S terendah pada persamaan non-linier kubik. Meskipun hasilnya
memadai dan baik namun bila dicermati sebaran data pada Gambar 9 tersebut
cenderung nilai hasil digaan ekstraksi Landsat pada ketiga tahun data dominan
berada di bawah garis persamaan. Kecenderungan seperti ini dikenal dengan
dugaan yang under estimated. Sehingga kalibrasi nilai dugaan mutlak dilakukan
agar hasil dugaan sesuai dengan hasil observasi.
46
Untuk lebih memperjelas distribusi atau sebaran suhu udara pada setiap
lokasi, maka suhu terkalibrasi disajikan secara spasial pada Gambar 10. Tahun
1991 sebaran nilai suhu terendah (warna putih) paling luas dan mendominasi
wilayah JABOTABEK, terutama di sebelah utara (adanya badan air) dan sebelah
selatan (kabupaten dan kota Bogor, sebagai indikasi masih luasnya RTH) pada
tahun tersebut. Warna putih makin berkurang di tahun 1997 dan 2004, hanya
terlihat di sebelah selatan (kabupaten Bogor) yaitu lahan dengan RTH hutan dan
sedikit di sebelah timur (badan air) tepatnya di kabuapetn Bekasi.
Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada tahun 1991 warna merah tua indikasi
bagi nilai suhu udara tertinggi, tersebar di empat kota DKI Jakarta dengan luasan
terbesar, disusul Tangerang, Bekasi dan luasan paling rendah kota Bogor.
Landsat 1997 terlihat warna merah terang makin meluas ke arah kabupaten,
namun paling merah tua atau suhu tertinggi tetap berada pada empat kota. Hal
yang sama terjadi pada Landsat 2004, dengan luasan warna merah makin melebar
ke kabupaten Bekasi dan Tangerang bahkan mulai menyebar ke selatan ke arah
kabuapetn Bogor. Meskipun demikian pada tahun 2004, suhu tertinggi 32.4oC
(warna merah tua) terdapat di empat kota besar dengan luasan terbesar di DKI
Jakarta, disusul kota Bekasi, dan Tangerang serta di kawasan selatan di kota
Bogor
49
(a) 1991
(b) 1997
(c) 2004
Gambar 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat
periode 1991, 1997 dan 2004
50
4.2. Pendugaan Nilai RTH dari Landsat
Persamaan Zain (2002) untuk menduga nilai persen RTH dari nilai NDVI
digunakan untuk membangkitkan data persentase RTH wilayah JABOTABEK.
Maka didapatkan nilai persentase RTH setiap lokasi berdasarkan nilai NDVI.
Metode yang digunakan adalah mencari bentuk persamaan antara peubah
prediktor (NDVI) yang didapatkan dari pengolahan data Landsat sedangkan data
persentase RTH diduga dari data foto udara di lokasi yang sama. Adapun
persamaan yang dihasilkan Zain (2002) untuk wilayah JABOTABEK seperti yang
telah diuraikan pada bab Metodologi.
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa pada saat nilai NDVI sama
dengan satu didapatkan nilai presentase RTH 100%, nilai NDVI 0 setara dengan
nilai persen RTH 21%, sedangkan pada saat nilai NDVI= 0.05 hingga -1 setara
dengan presentase RTH sebesar 0% dengan kata lain merupakan RTB atau lahan
terbuka (dapat berupa lahan kosong atau lahan urban).
Sebaran nilai RTH dalam persen secara spasial dalam bentuk peta hasil
ekstraksi citra Landsat disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11
dapat diuraikan sebagai berikut:
(a) 1991
(b) 1997
Gambar 12. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta
54
Gambar 13. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor
55
Gambar 14. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang
56
Gambar 15. Perubahan radiasi neto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan
(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan
RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi
Dari Gambar 12-15 pada ke empat lokasi terlihat bahwa tipe lahan RTH
menyimpan energi radiasi netto lebih besar dibandingkan dengan nilai radiasi
netto yang disimpan tipe lahan RTB. Hal ini menunjukkan adanya penggunaan
radiasi selain komponen fluks G, H dan LE yaitu fluks P yang digunakan
tumbuhan berklorofil untuk melakukan fotosintesis. Komponen P ini jarang
57
diperhitungkan dalam konsep neraca energi, karena nilai penggunaan fluks P
dianggap kecil dan dapat diabaikan. Meskipun pada kenyataannya pada lahan
RTH yang didominasi vegetasi tetap melakukan aktivitas fotosíntesis dan
menyebabkan nilai radiasi netto pada tipe lahan RTH relatif lebih besar.
Gambaran penggunaan komponen radiasi netto untuk fluks G pemanasan
pemukaan, fluks H (pemanasan udara) dan fluks LE (penguapan air permukaan)
dapat secara rinci dilihat pada Gambar 12-15 di ke empat lokasi menunjukkan
kecenderungan yang sama di mana Rn di lahan RTH penggunaan terbesar untuk
fluks penguapan air (LE). Sedangkan penggunaan Rn di lahan RTB baik di
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi mempunyai pola yang sama dalam hal
prioritas utama untuk fluks G dan H, sehingga fenomena urban heat island terjadi.
Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dan suhu udara pada tahun
1991, 1997 dan 2004 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kubik. Bentuk
persamaan non-linier kubik dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai
koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) tertinggi serta nilai standar deviasi model
(S) terendah. Secara rinci hasil analisis disajikan pada Tabel 12.
Berdasarkan Tabel 12 tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan
yang sama pada ketiga tahun data baik 1991, 1997 dan 2004. Semua persamaan
antara RTH dan suhu udara, secara konsisten nilai koefisien determinasi tertinggi
dan nilai standar deviasi model terendah terdapat pada persamaan non-linier
kubik.
Analisis lanjut berupa validasi model, untuk memastikan model mana
yang paling baik dalam menduga nilai sebenarnya (nilai observasi lapang).
Validasi model persamaan dilakukan cara membandingkan antara hasil keluaran
model dengan menggunakan data di luar data penyusunan model persamaan
dengan hasil pengukuran lapangan. Kedua data disajikan secara grafis dengan
sumbu x merupakan nilai keluaran model dan sumbu y merupakan nilai hasil
pengukuran lapang. Kemudian dilakukan uji statistika untuk mengetahui
besarnya nilai korelasi atau nilai koefisien determinasi antara kedua peubah
58
tersebut. Makin besar nilai korelasi atau nilai kuadrat korelasi (koefisien
determinasi) maka makin baik model yang diuji.
Tabel 12. Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model
(S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004
(a) (b)
Gambar 16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun
1991 (a) dan data tahun 1997 (b)
(a) (b)
Gambar 17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991
untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil
ekstraksi 1997 untuk data 1991 (b)
Di mana Y merupakan suhu udara (oC) dan X merupakan RTH (%), uji regresi
nilai konstanta bo dan koefisien b1, b2 dan b3 disajikan pada Tabel 13.
60
Tabel 13. Nilai konstanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu
udara JABOTABEK
(a) Jakarta
(a) Jakarta
Hasil analisis korelasi antara sesama peubah prediktor dan antara peubah
prediktor dengan peubah respon (UHI) baik di Jakarta, Bogor, Tangerang dan
Bekasi, disajikan pada Tabel 156. Berdasar Tabel 15 terlihat bahwa antar peubah
prediktor terdapat korelasi sangat nyata (multicolinearity). Karena itu analisis
dilanjutkan dengan analisis komponen utama (PCA), untuk mengatasi masalah
multicolinearity. Berdasarkan Tabel 15 terlihat pula bahwa korelasi UHI dengan
keempat peubah prediktor juga relatif besar antara 71-87%.
Hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 16. Berdasar Tabel 16 jumlah peubah
baru (komponen utama) diputuskan pada dua peubah baru, namun mampu
menjelaskan keragaman total peubah asal dengan maksimal yakni sebesar 99%.
Tabel 15. Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK
68
Peubah UHI RTH Kepadatan RTB
Populasi
Kota Jakarta
RTH -0.870**
Kepadatan 0.768** -0.966**
Populasi
RTB 0.869** -1.000** 0.967**
Kepadatan 0.871** -0.971** 0.855** 0.970**
Kendaraan
Kota Bogor
RTH -0.781**
Kepadatan 0.719** -0.928**
Populasi
RTB 0.721** -0.978** 0.935**
Kepadatan 0.713** -0.972** 0.962** 0.992**
Kendaraan
Kota Tangerang
RTH -0.834**
Kepadatan 0.785** -0.953**
Populasi
RTB 0.788** -0.969** 0.956**
Kepadatan 0.766** -0.938** 0.975** 0.984**
Kendaraan
Kota Bekasi
RTH -0.871**
Kepadatan 0.768** -0.890**
Populasi
RTB 0.836** -0.981** 0.921**
Kepadatan 0.772** -0.828** 0.976** 0.846**
Kendaraan
Keterangan:
** : sangat nyata pada taraf α=1 %
Pada analisis PCA korelasi peubah baru komponen utama pertama yaitu, (Z’1)
saling ortogonal dengan komponen utama kedua (Z’2), membuat setiap peubah
asal dibuat maksimal pada komponen utama pertama dan minimal pada
komponen utama kedua, sehingga secara total kontribusi setiap peubah asal dibuat
intermediat. Sebagai contoh berdasarkan Tabel 9 untuk Jakarta pada peubah
kendaraan pada komponen utama pertama diurutan pertama sebesar 86%,
sedangkan pada komponen utama kedua peubah kendaraan berada pada urutan
keempat (terakhir) sebesar 52%, sehingga secara rata-rata kontribusi kendaraan
terhadap UHI pada besaran yang intermediat. Hal sama terjadi pada ketiga
peubah prediktor yang lain. Sehingga untuk mendapatkan kontribusi peubah asal
yang paling dominan terhadap UHI, analisis dilanjutkan dengan rotasi varimax.
Tabel 16. Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total
ragamnya untuk empat kota JABOTABEK
Hasil analisis rotasi varimax mampu membuat kontribusi setiap peubah asal
terlihat saling mendominasi, meskipun perbedaan dominasi tidak berbeda jauh.
Secara rinci bentuk persamaan regresi berganda dan besarnya kontribusi prediktor
terhadap UHI disajikan pada Lampiran 2 dan hasil singkatnya disajikan pada
Tabel 17.
Y=bo + b1X-b2X2+b3X3
Secara grafis model persamaan dampak UHI terhadap THI disajikan pada
Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa laju peningkatan THI (nilai
kenyamanan) mengalami laju cepat pada saat perubahan UHI dari 0 hingga 1.0oC.
Setelah UHI meningkat melebihi nilai 1.0oC (tanda panah pada gambar)
peningkatan THI mulai landai. Interpretasi model persamaan UHI dan THI secara
kuantitatif disajikan secara tabular pada Tabel 20.
Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H untuk ke empat
kota JABOTABEK menghasilkan model persamaan linier. Bentuk persamaan
regresi terpilih dampak UHI terhadap fluks LE dan H dapat dituliskan sebagai:
77
Y = bo – b1X ..............( model UHI dan fluks LE)
Y = bo + b1X ............. (model UHI dan fluks H)
Hasil kajian regresi dampak UHI terhadap fluks LE dan H dalam bentuk gambar
disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 terlihat model persamaan
terpilih antara fluks LE dan H dengan UHI untuk keempat kota dalam bentuk
linier. Model persamaan fluks LE dan UHI berbentuk linier berbanding terbalik
antara fluks LE dan UHI, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti dengan
pengurangan nilai fluks LE. Hal sebaliknya pada model persamaan fluks H dan
UHI, berbentuk linier berbanding lurus, sehingga setiap peningkatan UHI diikuti
oleh kenaikan penggunaan fluks H, indikasi bagi makin hangatnya udara di atas
permukaan perkotaan.
(a) (b)
78
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
Gambar 21. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta
(a dan b) Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f)
dan Bekasi (g dan h)
Berdasar Tabel 24 kota Jakarta memiliki nilai Rasio Bowen terbesar yaitu
0.86 dibandingkan ketiga kota JABOTABEK. Semua nilai lebih kecil dari satu
sebagai indikasi bahwa keberadaan RTH atau badan air masih cukup memadai.
Nilai Rasio Bowen untuk kota Bogor terendah dibandingkan ketiga kota
JABOTABEK, sebagai indikasi keberadaan RTH masih lebih baik (Oke, 1983).
Hasil ini terbukti kebenarannya, berdasarkan hasil kajian Agrissantika, et al.
(2007) didapatkan nilai RTH untuk kota Bogor, Bekasi, Tangerang dan Jakarta
untuk tahun 2005 masing-masing sebesar 43%, 32%, 21% dan 11%.
Perubahan RTH menjadi RTB di perkotaan berakibat pada permukaan
menjadi lebih kering. Permukaan yang kering menjadi penyebab penggunaan
radiasi netto lebih besar digunakan bagi peningkatan panas terasa, yang berakibat
pada makin meningkatnya suhu udara. Kota Palu merupakan wilayah tropis
terkering di Indonesia memiliki nilai Rasio Bowen lebih besar dari satu. Nilai ini
hampir sama dengan nilai Rasio Bowen kota-kota di subtropis pada musim panas
seperti Nagoya dan New Zealand. Indikasi nilai Rasio Bowen di atas satu adalah
kurangnya RTH atau badan air pada permukaan kota, sehingga radiasi netto lebih
besar digunakan bagi pemanasan udara.
Sementara kota Mexico yang juga negara tropis nilai Rasio Bowen sebesar
0.88 lebih besar 0.02 dibandingkan nilai rasio Bowen kota Jakarta. Hal ini
mengindikasikan keberadaan RTH di kota Mexico relatif lebih rendah
dibandingkan RTH kota Jakarta.
Untuk melihat rasio nilai latent heat flux, sensible heat flux dan soil heat
flux terhadap radiasi netto (Rn) yang diterima permukaan maka dilakukan
penghitungan. Hasil perhitungan rasio LE, H dan G terhadap Rn disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25. Rasio nilai LE, H dan G kota JABOTABEK
81
No. Kota LE/Rn atau H/Rn G/Rn
Fraksi Alfa (α)
1. Jakarta 0.50 0.41 0.09
2. Bogor 0.52 0.39 0.09
3. Tangerang 0.50 0.41 0.09
4. Bekasi 0.51 0.40 0.09
5. Palu* 0.44 0.46 0.10
* sumber: Nur (2004)
Rasio antara fluks LE dengan radiasi netto dikenal juga sebagai Fraksi
Alfa (α) oleh Jarvis (1981). Fraksi Alfa merupakan indikator kemampuan
vegetasi atau RTH untuk memanfaatkan energi tersedia dalam proses
evapotranspirasi atau penguapan. Berdasarkan Tabel 25 rasio LE/Rn atau Fraksi
Alfa kota Bogor sebesar 52%, diikuti Bekasi 51%, Jakarta dan Tangerang masing-
masing sebesar 50%, dibandingkan dengan Palu hanya 44%. Nilai α yang besar
indikasi bagi kemampuan permukaan dalam memanfaatkan radiasi netto untuk
penguapan masih baik, akibat permukaan masih relatif besar tertutupi RTH atau
badan air.
Hal sebaliknya terjadi pada rasio H/Rn, yaitu bagian energi netto yang
digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan secara konveksi. Kota
Palu terbesar pertama sebesar 46%, diikuti oleh Jakarta dan Tangerang 41%,
Bekasi 40% dan terendah kota Bogor hanya sebesar 39%. Makin besar nilai rasio
H/Rn indikasi bagi makin besarnya nilai suhu udara, dan sebaliknya.
Sementara rasio G/Rn untuk neraca energi yang dihitung pada siang hari
nilainya berkisar 9 hingga 10%. Hasil perhitungan pada penelitian di kota
JABOTABEK dan kota Palu ini sesuai dengan hasil perhitungan FAO (1998),
nilai G pada saat siang hari sebesar 0.1Rn, hal serupa ditemukan Kato dan
Yamaguchi (2005) bahwa nilai fluks G sebesar cgRn, di mana cg merupakan
kontanta permukaan yang nilainya tergantung pada nilai kapasitas dan
konduktivitas panas permukaan. Untuk permukaan kota cg didapatkan sebesar
0.7-1.0. Sehingga besarnya fluks G atau soil heat flux atau rasio antara fluks G
dan Rn di perkotaan subtropis berkisar antara 7 hingga 10%.
82
4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi
Untuk menilai kecenderungan nilai fluks LE dan H di masa mendatang
dan sekaligus melakukan vealidasi terhadap model persamaan yang didapatkan
antara fluks LE, H dan UHI di empat kota JABOTABEK. Maka dilakukan
simulasi dan validasi model persamaan dengan hasil seperti yang disajikan pada
Tabel 26.
Tabel 26. Simulasi dan validasi nilai LE dan H JABOTABEK
No. KOTA Simulasi* Simulasi*
Fluks LE(Wm-2) Fluks H(Wm-2)
1 Jakarta
2005 83.0 (82.2-83.5) 70.7 (70.3-70.9)
2015 73.8 75.1
2025 64.6 79.5
2 Bogor
2005 95.3 (95.0-95.6) 68.9 (68.7-69.0)
2015 88.8 73.6
2025 82.3 78.3
3 Tangerang
2005 86.3 (85.7-86.5) 69.2(69.0-69.8)
2015 76.4 73.9
2025 66.6 78.6
4 Bekasi
2005 87.8 (87.5-88.0) 68.7(68.4-68.9)
2015 78.8 73.0
2025 69.7 77.3
* nilai didapatkan dari penggunaan model persamaan kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
Angka dalam kurung ( ) nilai fluks LE dan H hasil penghitungan data stasiun selama bulan JULI
2005 di empat kota( Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
5.1. Simpulan
5.2. Saran
Agrissantika, T., E. Rustiadi dan D.P.T. Baskoro. 2007. Model dinamika spasial
ruang terbangun dan ruang terbuka hijau (studi kasus kawasan
JABODETABEK). Makalah pada Seminar Menuju Jabodetabek
Berkelanjutan. IPB ICC. Bogor.
Allen, et al., 1998. Crop evapotranspiration - guidelines for computing crop water
requirements - FAO irrigation and drainage paper 56. FAO-Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Allen, et al. 2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right
Management and Compliance with Multi State Water Compacts. Univ. of
Idaho, Kimberly, ID 83341.
Asaeda, T. and A.Wake. 1996. Heat storage of pavement and its effect on the
lower atmosphere. Atmospheric Environment 30(3): 413-427.
Balling, R.C., and S.W. Brazel. 1988. High resolution surface temperature
patterns in a complex urban terrain. Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing 54(9): 1289-1293.
Belaid, M.A. 2003. Urban-rural land use change detection and analysis using
GIS and technologies. 2nd FIG Regional Conference, Marrakech, Morocco,
December 2-5.
Brandsma, T., G.P. Können, H.R.A. Wessels. 2003. Emperical estimation of the
effect of urban heat advection on the temperature series of The
Netherlands. International Journal of Climatology 23(7): 829-845.
Ca, V.T., T. Asaeda, and E.M. Abu. 1998. Reductions in air conditioning energy
caused by a nearby park. Energy and Buildings 29(1): 83-92.
88
Carolita, I., A.M. Zain, E. Rustiadi dan B.H. Trisasonko. 2002. The Land use
pattern changes of JABOTABEK region. Jurnal IRSA. IRSA International
Conference 4th. Bali 20-21 Juli 2002.
Chung, U., J. Choi, and J.I. Yun, 2004. Urbanization effect on the observed
change in mean monthly temperatures between 1951-1980 and 1971-2000
in Korea.Climatic Change 66(1-2): 127-136.
Dibella, CM., C.M. Rebella and J.M. Paruelo. 2000. Evapotranspiration using
NOAA AVHRR imagery in Pampa Region of Argentina. Int. J. Remote
Sensing (21) 4: 791-797.
Draper, N.R. and H. Smith. 1992. Applied regression analysis (second edition).
Alih bahasa. Sumantri, B. PT Gramedia. Jakarta.
Ernawi, I.S. 2007. Implikasi UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 terhadap
pembangunan JABODETABEK yang berkelanjutan. Seminar Menuju
JABODETABEK Berkelanjutan, Bogor 6 September 2007.
EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls,
USA, South Dakota. October 31-November 2, 1995.
Gallo, K.P., A.L. Mcnab, T.R. Karl, J.F. Brown, J.J. Hood, and J.D. Tarpley.
1993. The use of a vegetation index for assessment of the urban heat-
island effect. International Journal of Remote Sensing 14(11): 2223-2230.
Gallo, K.P, and J.D. Tarpley. 1996. The comparison of vegetation index and
surface temperature composites for urban heat island analysis.
International Journal of Remote Sensing 17(15): 3071-3076.
89
Gallo, K.P and T.W. Owen. 1999. Satellite-based adjustments for the urban heat
island temperature bias. Journal of Applied Meteorology 38(6): 806-813.
Gallo, K.P, J.O. Adegoke, T.W. Owen, and C.D. Elvidge. 2002. Satellite-based
detection of global urban heat- island temperature influence. Journal of
Geophysical Research-Atmospheres 107(D24): 4776pp.
Grimmond, C.S.B., C. Souch, and M.D. Hubble. 1996. Influence of tree cover on
summertime surface energy balance fluxes, San Gabriel Valley, Los
Angeles. Climate Research 6(1): 45-57.
Haan, C.T. 1979. Statistical methods in Hydrology. The Iowa State University
Press. Iowa.
Hawkins, T.W., W.L. Stefanov, W. Bigler, and E.M. Saffell. 2004. The role of
rural variability in urban heat island determination for Phoenix, Arizona.
Journal of Applied Meteorology 43(3): 476-486.
Hinkel, K.M., F.E. Nelson, A.F. Klene, and J.H. Bell. 2003. The urban heat
island in winter at Barrow, Alaska. International Journal of Climatology
23(15): 1889-1905.
Hogan, A.W. and M.G. Ferrick. 1998. Observations in non-urban heat islands.
Journal of Applied Meteorology 37(2): 232-236.
Holman, J.P and P.R.S.White. 1992. Heat Trensfer. 7th Ed. in SI unit. McGraw-
Hill Inc. UK. 713pp.
Hotteling. 1936. Relation between two sets of variates. Biometrika. 28: 321-377.
90
Irwan, Z.D. 1994. Peranan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas
lingkungan kota: studi kasus lokasi pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi]
Program Pascasarjana-IPB.Bogor
Johnson, G.L., J.M. Davis, T.R. Karl, A.L McNab, K.P. Gallo, J.D. Tarpley, P.
Bloomfield. 1994. Estimating urban temperature bias using polar-
orbiting satellite data. Journal of Applied Meteorology 33(3): 358-369.
Karjoto, et al. 1992. Kota sebagai pusat panas (City as an Urban Heat Island).
Prosiding Seminar Sehari Iklim Perkotaan. PERHIMPI. Jakarta.
Kato, S and Y. Yamaguchi. 2005. Analysis of urban heat island effect using
ASTER and ETM+ Data: Separation of anthropogenic heat discharge and
natural heat radiation from sensible heat flux. Remote Sensing of
Environment 99: 44-54.
Karl, T.R., H.F. Diaz and G. Kukla. 1988. Urbanization: Its detection and effect
in the United States climate record. Journal of Climate 1: 1099-1123.
Kim, H.H., 1992: Urban Heat Island. International Journal of Remote Sensing
13(12), 2319- 2336.
Kukla, G., J. Gavin and T.R. Karl. 1986. Urban Warming. Journal of Climate
and Applied Meteorology 25(9): 1265-1270.
Lo, C.P. and D.A. Quattrochi. 2003. Land use and land cover change, urban heat island
phenomenon, and health implications: A remote sensing approach.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(9): 1053-1063.
91
Lo, C.P. , and J.C. Luvall. 1997. Application of high-resolution thermal infrared
remote sensing and GIS to assess the urban heat island effect.
International Journal of Remote Sensing 18(2): 287-304.
Magee, N., J. Curtis, and G. Wendler. 1999. The urban heat island effect at
Fairbanks, Alaska. Theoretical and Applied Climatology 64(1-2): 39-47.
McPherson, G.E. 2000. Urban Forests and Climate Change. Global Climate
Change and the Urban Forest. Franklin Press, Inc., Baton Rouge, LA. 58-
69pp.
Misawa, A. 1994. Studi-studi dasar struktur tanaman sabuk penyangga tepi jalan
bagi preservasi lingkungan kehidupan. Chiba University, Tokyo, Japan.
Nur, M.S. 2004. Neraca Energi dan Air di kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Provinsi Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Tidak dipublikasikan. Sekolah
Pascasarjana-IPB.
92
Nurisjah, S., Setiahadi, A.M. Zain dan Qadarian. 2005. Ruang terbuka hijau
wilayah perkotaan. Makalah diskusi Pengembangan Sistem RTH di
Perkotaan. Bappeda Bogor. 8 pp.
Ohmura, A. 1982. Objectives criteria for rejecting data for Bowen Ratio flux
calculation. J. Apll.Meteorol. 21: 595-598.
Oke, T.R. 1973. City size and the urban heat island. Atmospheric Environment
7(8): 769-779.
Oke, TR. 1982. The energetic basis of urban heat island. J. of the Royal
Meteorol. Society. 108(455): 1-24.
Oke, TR. et al. 1991. Simulation of surface urban heat island under ideal
condition at night. Part2: Diagnosis of causation. Bound. Layer Meteorol.
56: 339-358.
Oke, T.R. 1997. Urban climate and global change, in Applied Climatology:
Priciples and Practices, eds A Perry & R Thompson. London, 273-287pp.
Owen T.W, T.N. Carlson, and R.R. Gillies. 1998. An assessment of satellite
remotelysensed land cover parameters in quantitatively describing the
climatic effect of urbanization. International Journal of Remote Sensing
19(9): 1663-1681.
Park, H.S. 1986. Features of the heat island in Seoul and its surrounding cities.
Atmospheric Environment 20(10): 1859-1866.
Philandras, C.M., D.A. Metaxas, and P.T. Nastos. 1999. Climate variability and
urbanization in Athens. Theoretical and Applied Climatology 63(1-2):
65-72.
Perez, PJ., F. Castellvi, M. Ibanez and J.I. Rosell. 1999. Assessment of reliability
of Bowen ratio method for partioning fluxes. Agric. For. Meterol. 97: 141-
150.
Pielke Sr. et al. 2002. The influence of land-use change and landscape dynamics
on the climate system: relevante to climate-change policy beyond the
radiative efect of greenhaous gases. Phil. Trans. R. Soc. Lond. A(360):
1705-1719.
Quattrochi, D.A. and M.K. Ridd. 1998. Analysis of vegetation within a semi-arid
urban environment using high spatial resolution airborne thermal infrared
remote sensing data. Atmospheric Environment 32(1): 19-33.
Rustiadi, E., D.R. Panulu dan S. Saefulhakim. 2002. Analisis kecenderungan dan
dampak sub-urbanisasi di wilayah JABOTABEK. Suatu upaya
pengembangan model pengembangan wilayah metropolitan. P4W-Instiut
Pertanian Bogor. Bogor.
Santosa, I dan Bey, A. 1992. Kenyamanan Kebun Raya Bogor sebagai tempat
rekreasi ditinjau dari segi iklim mikro dan kualitas udara. LPPM-IPB dan
Dirjen Dikti DepDikBud RI. Bogor.
Sailor, D.J. and H.L Fan. 2002. Modeling the diurnal variability of effective
albedo for cities. Atmospheric Environment 36(4): 713-725.
Seller, PJ. et al. 1997. Modeling the exchange of energy, water and carbon
between continents and the atmosphere. Science 275: 502-509.
94
Shoshany, M and N. Goldshleger. 2002. Land-use and population density
change in Israel 1950-1990: analysis of regional and local trends. Land-
use policy 19: 123-133. Pergamon Press Ltd.
Siswadi dan B. Suharjo. 1998. Analisa eksplorasi data peubah ganda. Jurusan
Matematika. FMIPA-IPB. 87 halaman.
Skinner, W.R. and J.A. Majorowicz. 1999. Regional climatic warming and
associated twentieth century land-cover changes in north-western North
America. ClimateResearch 12(1), 39-52.
Spronken-Smith, R.A. and T.R. Oke. 1998. The thermal regime of urban parks
in two cities with different summer climates. International Journal of
Remote Sensing 19(11): 2085-2104.
Stull, R.B. 1995. Meteorology Today for Scientists and Engineers, a Technical
Companion Book. West Publishing Company Co. USA. 385 pp.
Sutanto. 1999. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Svensson, M.K and I. Eliasson. 2002. Diurnal air temperature in built-up areas
in relation to urban planning. Landscape & urban planning. Elsevier 61:
37-54.
Tapper, N. 2002. Modifying earth’s heat balance: forcing for climate change on
earth,lecture 5 in Monash University. http://www.monash.edu.au/download
in April 29th 2002
Torok, S. J., C.J.G. Morris, C. Skinner, and N. Plummer. 2001. Urban heat island
features of southeast Australian towns. Australian Meteorological
Magazine50(1): 1-13.
Tso, C.P. 1996. A survey of urban heat island studies in two tropical cities.
Atmospheric Environment 30(3): 507-519.
95
Unger, J., Z. Sumeghy, A. Gulyas, Z. Bottyan, and L. Mucsi. 2001. Land-use and
meteorological aspects of the urban heat island. Meteorological
Applications 8(2): 189-194.
Viterito, A. 1991. Future warming for United States cities. Population and
Environment 13(2): 101-111.
von Storch, H dan F.W. Zweirs. 1999. Statistical analysis in climate research.
Cambridge Univ. Press. Cambridge.
Voogt, J.A. 2002. Urban heat island: causes and consequences of global
environmental change. John Wiley and Sons, Ltd. Chichester. 660-666pp.
Voogt, J.A and T.R Oke. 2003. Thermal remote sensing of urban climates.
Remote Sensing of Environment (86): 370-384
Weng, Q. 2001. A remote sensing –GIS evaluation of urban expansion and its
impact on surface temperatue in the Zhujiang Delta. Int. J. Remote sensing,
2001. 22(10): 1999-2014.
Weng, Q.H. 2003. Fractal analysis of satellite-detected urban heat island effect.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 69(5): 555-566.
Weng, Q.H., and S.H Yang. 2004. Managing the adverse thermal effects of
urban development in a densely populated Chinese city. Journal of
Environmental Management 70(2): 145-156.
Xinmei H, Lyons TJ, Smith RCG, Hacker JM, and Schwerdtfeger P. 1993.
Estimation of surface energy balance from radiant surface temperature and
NOAA AVHRR Sensor reflectances over agricultural and native vegetation.
J. Appl. Meteorol. (32): 1441-1449.
Xu H.Q. and B.Q. Chen. 2004. Remote sensing of the urban heat island and its
changes in Xiamen City of SE China. Journal of Environmental Sciences-
China 16(2): 276-281.
Yamashita, S. and K. Sekine, 1991: Some studies on the earth’s surface conditions
relating to the urban heat island. Energy and Buildings 15(1-2), 279-288.
96
Yamashita, S, K. Sekine, M. Shoda, K. Yamashita, and Y. Hara. 1986. On
relationships between heat island and sky view factor in the cities of Tama
River basin, Japan. Atmospheric Environment 20(4): 681-686.
Yang, L.M. 2000. Integration of a numerical model and remotely sensed data to
study urban/rural land surface climate processes. Computers and
Geosciences 26(4): 451-468.
Zain, A.F.M. 2002. Distribution, stucture and function of urban green space in
Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan
Region (JABOTABEK). [Doctoral Degree Program]. Departement of
Agricultural and Environmental Biology. The University of Tokyo.
Zhao M. and X.M. Zeng. 2002. A theoretical analysis on the local climate
change induced by the change of land use. Advances in Atmospheric
Sciences 19(1): 45-63.
Zhou, L.M., R.E. Dickinson, Y.H. Tian, J.Y. Fang, Q.X. Li, R.K. Kaufmann, C.J.
Tucker, R.B. Myeni. 2004. Evidence for a significant urbanization effect
on climate in China. Proceedings of the National Academy of Sciences of
the United States of America 101(26): 9540-9544.
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1. Analisis Komponen Utama
atau:
z1 = a1 ' x
dengan a1 ' adalah koefisien pembobot (characteristic vector), yaitu vektor
normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama pertama bernilai
maksimum. Keragaman komponen utama pertama dirumuskan sebagai:
p p
s z21 = ∑∑ ai1a j1sij ....................................................................................(3)
i =1 j =1
atau:
dengan S adalah matriks kovarians jika bila semua peubah yang dikaji memiliki
besaran yang sama.
Komponen utama yang kedua merupakan kombinasi linier terbobot
peubah asal yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Komponen
utama kedua memaksimumkan sisa keragaman data setelah komponen utama
pertama, dituliskan sebagai:
z2 = a21 x1 + a22 x2 + ... + a2 p x p ..................................................................(4)
atau:
z2 = a2' x
dengan a2' adalah pembobot, yang dipilih sedemikian rupa sehingga keragaman
komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap koefisien pembobot a1 '
dan keragaman komponen kedua ditulis sebagai:
p p
s z22 = ∑∑ ai 2 a j 2 sij
i =1 j =1
.....................................................................................(5)
atau:
s z22 = a2' Sa2
a2' a2 = 1
a1' a 2 = 0 ...................................................................................................(6)
z j = a j1 x1 + a j 2 x2 + ... + a jp x p ...................................................................(7)
atau:
z j = a 'j x
Koefisien pembobot a 'j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman
komponen utama ke-j maksimum, serta ortogonal terhadap koefisien pembobot ai'
dari komponen utama ke-i. Ragam komponen utama ke-j adalah:
dengan batasan:
a 'j a j = 1
ai' a j = 0
Untuk i=j dan i,j=1,2,3,4 ...., p.
Jika peubah-peubah asal memiliki satuan atau besaran yang berbeda maka
digunakan matriks korelasi R. Jika digunakan matriks korelasi maka nilai-nilai
peubah asal ditransformasikan menjadi nilai-nilai baku, yakni:
( xij − x j )
X ij = .......................................................................................(9)
s xj
Koefisien pembobot a 'j dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan
berikut:
( S − λ j I )a j = 0 ...................................................................................... (10)
dengan λ j adalah akar ciri (characterstic root) atau dikenal sebagai eigen value
ke-j. persamaan 10 akan menghasilkan vektor a j ≠ 0 jika dipenuhi syarat:
S − λjI = 0 .
101
Jika persamaan 10 digandakan dengan vektor a j akan menghasilkan:
sZj2 = λ j ..................................................................................................(11)
Dengan demikian ragam komponen utama ke-j adalah akar ciri ke-j matriks
peragam S. Jumlah akar ciri dari persamaan 10 adalah sebanyak p untuk
i=1,2,3,...,p peubah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p .
p
trS = ∑ λ j ............................................................................................(12)
j =1
Jika digunakan matriks korelasi, maka persamaan ciri untuk mencari koefisien
pembobot a j berubah menjadi:
( R − λ j I )a j = 0 .....................................................................................(13)
Jumlah akar ciri yang diperoleh sebanyak p buah dengan sifat λ1 > λ2 >...> λ p .
2
s XiZj = aij2λ j .............................................................................................(15)
Persentase keragaman peubah ke-i yang diterangkan oleh komponen utama ke-j
adalah:
2
s XiZj = aij2λ j x 100% ................................................................................ (16)
102
Jika matriks kovarian atau peragam S yang digunakan, maka factor loadingnya
menjadi:
Aλ0.5
Lij = .............................................................................................(18)
S xi
Karena nilai factor loading sering intermediat sehingga sulit mencari peubab yang
dominan maka dilakukan rotasi. Metode rotasi yang umum digunakan adalah
rotasi varimax yang ditemukan oleh Kaiser (1958). Adapun tujuan dilakukan
rotasi varimax untuk mencapai struktur sederhana yang dilakukan dengan
memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan mempunyai korelasi
mendekati satu dengan sebuah faktor, dan mendekati nol pada faktor yang lain.
Factor loading yang telah dirotasi didapat dari hubungan:
L* = LT ..................................................................................................(19)
untuk L * factor loading yang telah dirotasi, L adalah factor loading yang belum
dirotasi dan T adalah matriks orthogonal yang memiliki sifat T’T=I dengan I
matriks identitas.
Untuk menentukan jumlah komponen utama yang akan dipilih biasanya
digunakan persentase keragaman kumulatif atau nilai akar ciri dari komponen
utama. Biasanya dengan pertimbangan bila persentase keragaman kumulatif
mencapai ≥ 80% atau nilai akar ciri komponen utamanya > 1.
103
Lampiran 2. Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan
kedua dengan UHI setelah analisis rotasi varimax
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 9 2.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 80.8646 228.83 0.000
Quadratic 1 10.0370 197.68 0.000
Cubic 1 0.7376 25.77 0.000
107
(j) Regresi linier BEKASI
Regression Analysis: THI-BKS versus UHI-BKS(oC)
The regression equation is
THI-BKS = 22.21 + 2.947 UHI-BKS(oC)
S = 0.594465 R-Sq = 87.4% R-Sq(adj) = 87.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 80.8646 80.8646 228.83 0.000
Error 33 11.6618 0.3534
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 90.9016 45.4508 895.15 0.000
Error 32 1.6248 0.0508
Total 34 92.5264
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 91.6392 30.5464 1067.34 0.000
Error 31 0.8872 0.0286
Total 34 92.5264