IMMUNOGLOBULIN
Disusun oleh :
PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
IMMUNOGLOBULIN ................................................................................. 1
A. Antigen ......................................................................................... 1
B. Epitop ........................................................................................... 3
C. Antibodi ........................................................................................... 3
D. Struktur Antibodi ......................................................................... 4
E. Kelas – kelas Antibodi .................................................................. 5
F. Mekanisme Sistem Kerja Immunitas ............................................... 6
G. Pertahana Nonspesifik ..................................................................... 7
H. Sistem Pertahanan Spesifik ............................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23
i
IMMUNOGLOBULIN
Manusia dan vertebrata lainnya memiliki system pertahanan tubuh yang berperan
untuk melindungi dirinya dari serangan agen-agen penyebab penyakit. Sistem ini disebut
sebagai sistem kekebalan tubuh atau system imun. Sistem kekebalan vertebrata merupakan
suatu jaringan yang melibatkan banyak molekul dan sel dengan satu tujuan : membedakan
antara unsur dirinya sendiri dan unsur asing. Fungsi utamanya adalah melindungi manusia
dan vertebrata terhadap mikroorganisme (virus, bakteri dan parasit) (Stryer, 2000).
Kekebalan timbul akibat interaksi antara antigen dan antibody. Sistem imun dapat
membedakan substansi yang masuk ke dalam tubuh sebagai “self” dan “nonself” melalui
proses pengenalan yang rumit. Antigen self (dari tubuh orang yang bersangkutan) biasanya
ditoleransi oleh system kekebalan tubuh, sedangkan antigen “nonself” atau dari luar tubuh
diidentifikasi sebagai penyusup dan diserang oleh system kekebalan tubuh. Sistem kekebalan
tubuh dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Ilmu yang mempelajari
system kekebalan tubuh (imunitas) disebut immunologi (Nurcahyo, 2013).
A. ANTIGEN
2
B. EPITOP (ANTIGEN DETERMINANT)
Tiap antibodi mempunyai afinitas spesifik terhadap materi asing yang memicu
sintesis antibodi itu. Reseptor antigen dan antibodi yang hanya mengenali sebagian kecil
antigen yang dapat diakses disebut epitop (epitope) atau determinan antigenik (antigenic
determinant). Satu antigen biasanya memiliki beberapa epitope yag berbeda, masing-
masing mampu menginduksi respon dari limfosit yang mengenali epitop itu. Pengertian
lain dari epitope adalah suatu tempat-tempat tertentu dari suatu imunogen yang sifatnya
aktif, yang akan berikatan dengan antibody atau dengan reseptor spesifik pada
permukaan limfosit T. Epitop merupakan daerah atau sisi pada antigen yang berikatan
dengan sisi pengikatan antigen dari antibody yang spesifik atau dengan sebuah reseptor
sel T. Epitop merupakan molekul glikoprotein yang menempel pada membrane sel dan
berperan sebagai penentu terbentuknya molekul immunoglobulin (antibody).
Berdasarkan jumlah epitope yang terdapat pada permukaan sel antigen, maka dapat
dibedakan ke dalam kelompok:
situs
pengikata Epitop
antigen (determinan
Antibodi A Antigenik)
Antigen
Antibodi B
Antibodi C
C. ANTIBODI
Antibodi terdiri dari unit efektor dan unit pengikatan yang berbeda. Dalam suatu
penelitian mengenai Imunoglobulin G yang merupakan antibodi utama dalam serum
dipecah menjadi fragmen-fragmen yang tetap mempunyai. Pada tahun 1959 Rodney
Porter menunjukkan bahwa immunoglobulin G dapat dipecah menjadi tiga fragmen aktif
yaitu 2 Fab dan 1 Fc. Dua diantara fragmen di atas mengikat antigen. Keduanya disebut
Fab (ab singkatan untuk pengikatan antigen atau “antigen binding”, F untuk fragmen).
Tiap Fab mengandung satu situs pengikatan untuk antigen. Fragmen I lainnya yaitu Fc
yang tidak mengikat antigen tetapi dapat berfungsi sebagai efektor.
Selanjutnya, pada struktur antibodi terdapat dua rantai ringan ( light chain) dan
dua rantai berat (heavy chain). Tiap rantai L (ringan) terikat pada rantai berat (H) dengan
suatu ikatan disulfida dan ratai H saling berikatan dengan paling sedikit satu ikatan
disulfida. Panjang rantai H yang mengandung 446 residu asam amino, kira-kira dua kali
panjang rantai L. Analisis menunjukkan bahwa semua perbedaan urutan asam amino
terdapat pada 108 residu di ujung amino terminal. Jadi rantai panjang, seperti juga rantai
pendek, terdiri dari bagian yang variabel dan bagian yang konstan. Bagian variabel pada
rantai panjang mempunyai panjang yang sama dengan yang di rantai pendek, sedang
bagian yang konstan kira-kira tiga kali panjang bagian konstan pada rantai pendek
(Stryer, 2000, ). Struktur antibodi dapat digambarkan sebagai berikut:
4
E. KELAS-KELAS ANTIBODI
Pada sel B tertentu, antibodi-antibodi yang dihasilkan berbeda dari reseptor sel B
hanya dalam wilayah konstan (C) dari rantai berat. Sebagai ganti dari wilayah
transmembrane dan ekor sitoplasmik, rantai berat mengandung sekuens-sekuens yang
menentukan tempat antibodi didistribusikan dan bagaimana antibodi tersebut
memerantarai pembuangan antigen. Kelima tipe utama wilayah C rantai berat
menentukan lima kelas utama antibodi. (Campbel, 2010). Rantai panjang pada
immunoglobulin G disebut rantai γ, sedangkan pada immunoglobulin A,M,D dan E
disebut α, μ, δ, dan δ berurutan (Styer,2000). Berikut gambaran ke lima kelas antibodi :
5
IgM
Kelas Ig pertama yang dihasilkan setelah paparan awal
(pentamer)
Terhadap antigen; konsentrasinya di dalam darah lantas
menurun
IgA Terdapat dalam sekresi seperti air mata, ludah, mukus, dan
(dimer) ASI
IgE
(monomer) Terdapat dalam darah pada konsentrasi yang rendah
6
G. PERTAHANAN NONSPESIFIK
1. Pertahanan Penghalang (Pertahanan Fisik)
7
Kulit dan membran mukosa yang melapisi saluran pernapasan, pencernaan,
dan genitouriner (kelamin dan ekspresi urine) merupakan pertahanan terdepan
terhadap infeksi dalam pertahanan fisik. Selain itu, pada trakea sel-sel epitel bersilia
dapat menyapu mucus dengan mikroba yang terjerat di dalamnya, sehingga mencegah
mikroba memasuki paru-paru.
2. Pertahanan Kimiawi
Selain peranannya sebagai rintangan fisik, kulit, dan membran mukosa juga
menghadapi patogen dengan pertahanan kimiawi. Pada manusia misalnya, sekresi dari
kelenjar minyak dan keringat akan membuat pH kulit menjadi asam (sekita pH 3-5)
sehingga dapat mencegah kolonisasi banyak mikroba. Kolonisasi mikroba juga
dihambat oleh aktivitas pencucian yang dilakukan oleh air liur (saliva), air mata, dan
sekresi mukosa secara terus menerus membasahi permukaan epithelium yang terpapar
(Campbell, 2010).
Selain itu mampu melindungi tubuh terhadap bakteri gram positif dengan cara
mengahancurkan dinding selnya. Berbagai bahan yang disekresikan getah lambung,
usus, dan empedu mampu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi
banyak mikroorganisme.
Patogen yang masuk kedalam tubuh merupakan subjek yang dideteksi oleh
sel-sel darah putih fagositik (leukosit). Sel-sel ini mengenali mikroba menggunakan
reseptor-reseptor yang sangat mirip dengan reseptor Toll serangga.
8
menyebabkan penghancuran mikroba-mikroba dengan dua cara. Pertama, nitrat oksida
dan gas-gas lain yang dihasilkan didalam lisosom meracuni mikroba-mikroba yang
ditelan. Kedua, lisozim dan enzim-enzim yang lain mendegradasi komponen-
komponen mikroba. Sel-sel fagositik yang paling melimpah dalam tubuh mamalia
adalah neutrofil (Campbell, 2010).
9
4. Pertahanan Humoral (Peptida dan Protein Antimikroba)
5. Respons Peradangan
Rasa nyeri dan pembengkakan yang menyadarkan Anda bahwa ada serpihan
kayu dibawah kulit Anda merupakan hasil dari respons peradangan (inflammatory
response) lokal, perubahan-perubahan yang disebabkan oleh molekul-molekul
pesinyal yang dilepaskan saat terjadi luka atau infeksi. Salah satu molekul pesinyal
peradangan yang penting adalah histamine (histamine), yang disimpan dalam sel tiang
(mast cell), sel-sel jaringan ikat yang menyimpan granula-granula untuk sekresi.
Histamine dilepaskan oleh sel-sel tiang di tempat-tempat kerusakan jaringan memicu
pembuluh-pembuluh darah di dekatnya untuk berdilatasi dan menjadi lebih
permeabel. Peningkatan suplai aliran darah lokal yang dihasilkan akan menyebabkan
kemerahan dan panas yang khas dari inflamasi (membakar). Kapiler-kapiler yang
membengkak karena terisi darah kemudian bocor ke jaringan-jaringan sebelahnya,
sehingga menyebabkan pembengkakan (Campbell, 2010).
10
Dengan memanfaatkan permeabelitas pembuluh yang ditingkatkan untuk
memasuki jaringan yang terluka, sel-sel ini melaksanakan fagositosis tambahan dan
inaktivasi mikroba. Hasilnya adalah akumulasi nanah (pus), cairan kaya sel-sel darah
putih , mikroba mati, dan sisa-sisa sel. Luka kecil menyebabkan inflamasi lokal,
namun kerusakan jaringan atau infeksi parah bisa menimbulkan respons yang sistemik
(seluruh tubuh) seperti produksi sel darah putih yang ditingkatkan. Terluka atau
terinfeksi seringkali menyekresikan molekul-molekul yang merangsang neutrofil
tambahan dari sumsum tulang, pada infeksi yang parah seperti meningitis atau usus
buntu, jumlah sel darah putih dalam darah bisa meningkat beberapa kali lipat dalam
beberapa jam. Respon peradangan sistemik yang lain adalah demam.
11
7. Molekul-Molekul Kekebalan
1. Komplemen
Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit, terdiri atas sejumlah besar
protein yang apabila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan
berperan dalam respons inflamasi fungsi komplemen antara lain untuk :
3. Dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenal
(opsonisasi) dan memakannya.
2. Interferon
Merupakan protein yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi virus, bersifat antivirus,
dan dapat menginduksi sel-sel disekitar sel yang terinfeksi virus, sehingga menjadi
resisten terhadap virus. Interferon merupakan sitokin berupa lipoprotein yang
diproduksi makrofag yang diaktifkan. Interferon merupakan sel pembuluh yang
diproduksi makrofag yang diaktifkan. Interferon merupakan sel pembuluh alami dari
berbagai sel tubuh yang mengandung nucleus, dan dilepas sebagai respons terhadap
infeksi virus.
3. CRP
Merupakan salah satu protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut
sebagai respons imunitas nonspesifik.
4. Kolektin
Merupakan protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat hidrat arang
pada permukaan kuman. Lisozim merupakan protein lisosom yang terdapat dalam
ludah, air mata, dan sekresi mukosa yang merupakan enzim yang dapat melisis sel
mikroba.
12
kemampuan untuk mengenali benda yang dianggap asing. Benda asing yang pertama kali
muncul akan segera dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. System
pertahanan spesifik seringkali mampu memberikan perlindungan yang kuat. System ini
hanya daoat mengenali benda yang sudah pernah masuk ke dalam tubuh sebelumnya. Oleh
karena itu disebut sistem pertahanan spesifik. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam
memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah
terjadinya penyakit di kemudian hari. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan
sistem seluler. Respon imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated
immunity) dan respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut terletak pada
molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun tujuan utamanya sama yaitu
untuk menghilangkan antigen ( Coico, 2003 :75). Respon imun seluler diperlukan untuk
melawan mikroba yang berada di dalam sel (intraseluler) seperti virus dan bakteri. Respon
ini dimediasi oleh limfosit T (sel T) dan berperan mendukung penghancuran mikroba yang
berada di dalam fagosit dan membunuh sel yang terinfeksi. Beberapa sel T juga
berkontribusi dalam eradikasi mikroba ekstraseluler dengan merekrut leukosit yang
menghancurkan patogen dan membantu sel B membuat antibodi yang efektif (Abbas et
al., 2005: 89).
Sistem pertahanan spesifik disebut pula dengan sistem imun yang didapat
(adaptive immunity), dimana sel-sel imun yang berperan penting adalah sel limfosit B dan
limfosit T. Substansi yang dapat merangsang respon imun spesifik disebut dengan antigen.
Sedangkan respon tubuh terhadap masuknya antigen tersebut adalah dengan pembentukan
antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon
13
terhadap adanya antigen. Antibodi bersifat spesifik terhadap jenis tertentu dari suatu
antigen. Sistem pertahanan spesifik dibagi menjadi dua yaitu sistem pertahanan humoral
dan selular
1. Sistem pertahanan humoral
Imunitas humoral adalah sistem yang diperankan oleh sel limfosit B dengan
atau tanpa bantuan sel imun kompeten lainnya. Di dalam imunitas humoral yang
berperan adalah limfosit B atau lebih dikenal dengan sel B. fungsi utamanya adalah
mempertahankan tubuh terhadap reaksi bakteri, virus, dan melakukan netralisasi
toksin. Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripitensi (pulipotent
stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang (bine marrow). limfosit B menyerang
antigen yang ada cairan antar sel .
Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi serum, yang merupakan protein
yang disekresi oleh sel B. Sel B yang diaktifkan, akan mensekresi antibodi, setelah
pengikatan antigen ke membran molekul imunoglobulin (Ig), yaitu reseptor sel B
(BCR), yang diekspresikan oleh sel B tersebut. Sudah diperkirakan bahwa setiap sel B
mengekspresikan sampai 105 BCR dari spesifisitas yang sama. Sekali diikat, sel B
menerima signal untuk memulai mensekresi bentuk imunoglobulin ini, yang
merupakan suatu proses yang menginisiasi respon antibodi yang optimal dengan
maksud untuk mengeliminasi antigen dari hospes.
2. Sistem pertahanan seluler
Imunitas seluler, terutama diperantarai oleh sel T. Tidak seperti sel B, yang
memproduksi antibodi larut yang disirkulasi untuk mengikat antigen spesifik, setiap
sel T, mengekspresikan beberapa reseptor antigen yang identik, yang dinamakan T
cellreceptors (TCR), bersirkulasi langsung di sisi aktif antigen dan membentuk
fungsinya, apabila berinteraksi dengan antigen.
Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan
menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi.
Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada
permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan
molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan
oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis
limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut. Subpopulasi sel T
14
lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC
kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell contact)
a. Sel T
Sel T mempunyai dua peranaan penting dalam sistem kekebalan. Regulator
sel T adalah sel yang merancang respon sistem kerja sama diantara beberapa
beberapa tipe sel imun. Helper sel T yang disebut juga “CD4 positif T cells”
(CD4+ T cells) mempeeringatkan sel B untuk mulai membentuk antibodi.
CD4+ sel T juga dapat mengaktifkan sel T dan sistem imun yang disebut sel
makrofag yang mempengaruhi sel B untuk menentukan antibodi yang
diproduksi. Sel T tertentu yang disebut “CD8 positif T cells” (CD8+ T cells),
dapat menjadi sel pembunuh sel asing dengan menyerang dan menghancurkan
sel yang menginfeksi tersebut. Pembunuh sel T (T cells killer) juga disebut
“cytotoxic T cells” atau CTLs (Cytotoxic lymphocytes).
Progenitor asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus berdiferensiasi
menjadi sel T. Sel T merupakan imunitas selular yang berperan pada sistem
imun spesifik. Sel T terdiri atas sel CD4+, CD8+, sel T naif, NKT, dan
Tr/Treg/Ts/Th3. Sel T naif yang yang terpajan dengan kompleks antigen MHC
dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik, akan berkembang
menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+ dengan fungsi efektor yang
berlainan. Dari timus, sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer.2 Sel naif
yang terpajan dengan antigen akan bekembang menjadi sel Th0 yang
dipengaruhi oleh mekanisme autokrin dari IL-2 untuk berproliferasi yang akan
berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2.8 Sel efektor Th1 yang berperan pada
infeksi dan Th2 yang berperan pada alergi.
Sel Th1
Diferensiasi Th1 terutama dipacu oleh sitokin IL-12 dan IFN-γ dan
terjadi sebagai respon terhadap mikroba yang mengaktifkan sel dendritik,
makrofag, dan sel NK.9 Proses diferensiasi Th1 melibatkan reseptor sel T, IL-
2 dan T-bet, STAT1, STAT4 sebagai faktor transkripsi.8 IL-12 yang dilepas
makrofag dan sel dendritik menginduksi perkembangan Th1 melalui jalur
yang STAT4 dependen. Faktor transkripsi T-bet yang diproduksi sebagai
respons terhadap IFN-γ meningkatkan respons Th1.2 Sitokin terpenting yang
dihasilkan sel Th1 pada fase efektor adalah IFN-γ. IFN-γ akan memacu
15
aktifitas pembunuhan mikroba sel-sel fagosit dengan meningkatkan destruksi
intrasel pada mikroba yang difagositosis. Fungsi pokok efektor Th1 adalah
sebagai pertahanan infeksi dimana proses fagositosis sangat diperlukan. Th1
juga mengeluarkan IL-2 yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin
dan memacu proliferasi dan diferensiasi sel T CD8+. Jadi Th1 berfungsi
sebagai pembantu (helper) untuk pertumbuhan sel limfosit T sitotoksik yang
juga meningkatkan imunitas terhadap mikroba intrasel. Sel-sel Th1
memproduksi LT yang meningkatkan pengambilan dan aktifasi neutrofil.3
Fungsi utama Th1 sebagai pertahanan dalam melawan infeksi terutama oleh
mikroba intraseluler, mekanisme efektor ini terjadi melalui aktivasi makrofag,
sel B, dan sel neutrofil (Baratawidjaja, 2000 : 165)
Sel Th2
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel mast
yang terpajan dengan antigen, Th0 berkembang menjadi sel Th2 yang
merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi.2 Diferensiasi Th2
muncul sebagai respon terhadap alergi dan parasit, melibatkan reseptor sel T,
IL-4, faktor transkripsi GATA-3 dan STAT6. IL-4 menstimulasi produksi IgE
16
yang berfungsi dalam opsonisasi parasit.8 Sehingga Th2 adalah mediator
untuk reaksi alergi dan pertahanan infeksi terhadap parasit. Th2 juga
memproduksi sitokin seperti IL-4, IL-13, dan IL-10 yang bersifat antagonis
terhadap IFN-γ dan menekan aktivasi makrofag. Jadi Th2 kemungkinan
berfungsi sebagai regulator fisiologis pada respon imun dengan menghambat
efek yang mungkin membahayakan dari respon Th1. Pertumbuhan yang
berlebihan dan tak terkontrol dari Th2 berhubungan dengan berkurangnya
imunitas seluler terhadap infeksi mikroba intraseluler (Coico, 2003 :234).
Pada beberapa kondisi, seperti infeksi cacing, IL-4 yang diproduksi sel
mast dibawa ke organ limfoid dan eosinofil, yang ikut terlibat dalam
perkembangan Th2. Kemungkinan lain adalah antigen yang menstimulasi sel
CD4+ mensekresi sejumlah kecil IL-4 dari aktivasi awal sel tersebut. Jika
antigen tetap ada dan dengan konsentrasi yang tinggi, maka konsentrasi lokal
IL-4 berangsur-angsur akan meningkat. Jika antigen tidak memicu inflamasi
dengan disertai produksi IL-12, maka akan menghasilkan peningkatan
diferensiasi sel ke subset Th2. Apabila sel Th2 telah berkembang, maka IL-4
akan memperkuat reaksi dan menghambat perkembangan sel Th1 dan sel Th1
17
Gambar 2. Fungsi Sel-sel Th2
18
Gambar 4. Proses antibodi bekerja untuk melawan antigen
19
Gambar 5. Proses pembentukakn sel plasma untuk memproduksi antibodi
d. Antibodi
Setelah antigen masuk dalam tubuh, maka helper sel T memberi
peringatan pada sel B untuk bertransformasi menjadi plasma sel yang akan
mensintesis molekul antibodi atau imunoglobulin yang dapat bereaksi terhadap
antigen. Imunoglobulin adalah kelompok molekul yang erat hubungannya
dengan glikoprotein yang terdiri dari 82-96% protein dan 4-18% karbohidrat.
Pada dasarnya molekul imunoglobulin mempunyai bentuk ikatan 4 rantai yang
terdiri dari dua rantai kembar yang kuat (H=heavy) dan dua rantai kembar yang
lemah (L=light), dimana kedua bentuk rantai tersebut dihubungkan dengan
molekul disulfida (S2). Didalam rantai ikatan disulfida tersebut bertanggung
jawab terhadap formasi dua jalur ganda yang menguatkan antibodi yang juga
merupakan ciri khas dari molekul antibodi tersebut. Pada ujung terminal amina
dan rantai H dan L terciri dengan sifat yang berubah-ubah (variasi) dari
komposisi asam aminonya, sehingga disebut VH (variasi heavy) dan VL (variasi
light). Bagian yang tetap atau konstant dari rantai L disebut sebagai C L,
sedangkan dari rantai H disebut CH, sedangkan CH sendiri dibagi menjadi sub
20
unit: CH1, CH2, dan CH3. Fungsi dan daerah yang bervariasi tersebut (V) adalah
terlihat dan berperan dalam pengikatan antigen. Sedangkan pada daerah C
adalah berperan untuk menguatkan ikatan dalam molekul dan daerah C ini
terlibat dalam proses sistem biologik sehingga disebut fungsi efektor seperti:
“complement binding” (ikatan komplemen, pasase plasenta dan berikatan
dengan membran sel).
Antibodi yang diproduksi pertama kali oleh sel B adalah IgM, sekali
diproduksi konsentrasi IgM meningkat dengan cepat dalam serum darah. Beberapa
jam setelah IgM diproduksi, sel B mulai memproduksi IgG, yang kemudian
konsentrasi IgG meningkat cepat melebihi konsentrasi IgM. Antibodi IgG ini lebih
kuat untuk melawan kuman patogen karena ukurannya yang kecil, sehingga ia dapat
berpenetrasi kedalam jaringan pada tempat yang penting. Sedangkan aktifitas IgM
terbatas pada saluran darah, tetapi IgM merupakan respon antibodi pertama (antibodi
21
primer) dalam mempertahankan tubuh terhadap antigen sampai cukup terbentuknya
IgG (antibodi sekunder).
Kedua bentuk antibodi tersebut secara terus menerus diproduksi selama ada
antigen dalam tubuh. Antibodi yang diproduksi oleh sel B tersebut akan melekat
pada antigen dan dikeluarkan dari tubuh, dimana antibodi lainnya yang tidak
digunakan di katabolisme dan hancur sendiri. Setiap antibodi mempunyai
kemampuan hidup yang berbeda yaitu: Waktu paroh biologi (biological half life)
dari antibodi: IgG1, IgG2 dan IgG4 adalah 20 hari, IgM selama 10 hari, IgA 6 hari
dan IgD, IgE selama 2 hari.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. 2005. Cellular and Molecular Immunology 5th Edition.
Elsevier Publisher : Philadelphia.
Baratawidjaja, K.G. 2000. Imunologi Dasar Edisi 4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran :
Universitas Indonesia Jakarta.
Campbell, Reece. 2010. Biologi. Jakarta : Erlangga
Coico R., Sunshine G. Benjamini E. 2003 . Imunology. Edisi ke-5. Wiley- Liss Publication :
states of America.
Karp, Gerald. 2005. Cell and Molekular Biologi. United States of America : Willey
International Edition.
Nurcahyo, Heru. 2013. Hand Out Molekul Hormon & Molekul Immunoglobulin. UNY :
Yogyakarta.
Stryer, Lubert. 2000. Biokimia Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
23