Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kerangka Teoritis

II.1.1. Definisi

Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang


disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa. 11

II.1.2. Insidensi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya


berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang
berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
menjadi masalah utama. 13
Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000 populasi). Dari 9.27
kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta (61 per 100.000 populasi) adalah kasus
baru dengan smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan
menduduki peringkat pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden kasus.
Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun 2007
adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi per tahun. Dari jumlah ini, 236.000
merupakan kasus dengan smear positif atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di
Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000 atau 244 per 100.000 populasi per tahun. 14
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus 13, dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang
adalah spondilitis tuberkulosa.10 Lebih kurang 45% pasien dengan keterlibatan spinal

Universitas Sumatera Utara


mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang adalah daerah yang paling sering
terlibat, yaitu 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa
ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa. 15
Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain.
Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang,
diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan
tulang di lengan dan tangan jarang terkena.13
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian
9,13
atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan

tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.13

Insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.9 Pada penelitian oleh Androniku, et al

(2002), terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus vertebra paling sering

melibatkan vertebra torakalis (83%), diikuti vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal

(13%).8

II.1.3. Patogenesa

Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh


Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap
pertama, yang berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di
alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru,
membentuk apa yang disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat
ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.12
Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung
basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini
memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap
mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru,
sedangkan beberapa sel dendritik yang terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di

Universitas Sumatera Utara


kelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria di
paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri, mencegah perkembangan
penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun
begitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat
risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.19

Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis


Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri


secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat terjadi
penyakit akut dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau
tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang
berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat, namun tahap ini dapat
berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana
penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi
ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi, yang
sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat terjadi pada beberapa individu. 12,20

Universitas Sumatera Utara


Spondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik ke tulang
dari fokus infeksi tuberkulosa ekstraspinal.13,21 Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.13
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal yang
memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah
vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s
yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena.13,22
Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis
dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya terkena.
Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya.
Pada orang dewasa, penyakit pada diskus terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi
dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat merupakan
tempat infeksi primer. 21
Seperti yang diuraikan sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara
hematogen merupakan hal utama dalam patogenesis spondilitis tuberkulosa.
Keterlibatan langsung dari suatu tempat paraspinal yang berdekatan jarang dijumpai.
Penyebaran vena retrograde melalui pleksus Batson’s, yang berjalan secara
subchondral pada korpus vertebra dan mengalirkan darah pada vena basivertebral di
tengah korpus vertebra, telah diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal yang
lebih umum diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi melalui jalur arteri.
Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai arteri anterior dan posterior. Di
anterior, arteri lumbal, interkostal atau vertebra yang berdekatan bercabang menjadi
sepasang arteri segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol
anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen intervertebral dan
membentuk jaringan anastomotik kraniokaudal dengan level yang berdekatan. (gambar
2a). Arteri nutrien, yang mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang
berakhir ke aspek anterior dari vertebral end plates. Mycobacteria dapat terperangkap
(tertahan) di arteriol ini. (gambar 2b). Perluasan lebih lanjut dari infeksi akan

Universitas Sumatera Utara


mengganggu korteks dan menyebar ke celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini
menyebabkan sedikit penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika
dibandingkan dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan
perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra dapat hancur dan
menyebabkan kolaps angular. Penyebaran subligamentosa lebih lanjut di bawah
ligamen longitudinalis anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke
multipel korpus vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.5

Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa


Dikutip dari : Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis.
Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru


dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga
menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis
yang avaskular relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga

Universitas Sumatera Utara


diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya
tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis
ataupun karena dehidrasi diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari
end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya end arteritis
yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.13
Bersamaan dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak
dengan pembentukan abses ’dingin’ paravertebral dan/atau keterlibatan epidural. Abses
paraspinal dapat menjadi sangat besar sehingga menekan struktur sekitarnya.5
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang
nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum
longitudinalis anterior.13 Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat
terlihat sebagai abses retrofaring.5

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra
McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic
Journal of Medicine.2004; 71:537-49.
Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang
Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi tulang.
Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang
patologis yaitu : (1) bakteri secara langsung menghancurkan komponen nonseluler
tulang dengan membebaskan asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan proses seluler
yang menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri menghambat sintesis matriks
tulang (gambar 4).23

Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang


Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and
misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

Tidak diketahui secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang menyebabkan


penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan oleh keseimbangan dinamis antara sel
osteoblast yang membentuk matriks tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi

Universitas Sumatera Utara


Mt pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini, menyebabkan
hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan kolaps vertebra. 24
Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam penyakit tulang
mengandung atau memproduksi molekul dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari
24
molekul ini adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones. Chaperones atau
protein stres atau heat-shock protein adalah protein yang disintesis sebagai respon terhadap
stres. Chaperone terlibat dalam berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme,
pertumbuhan, diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi enzim dan
reseptor. Salah satu subgrup chaperone, yaitu chaperonin , kini banyak menjadi fokus
perhatian. Chaperonin terdiri dari dua kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan
chaperonin 10 (cpn10). 25
Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis selain aktivitas
untuk protein-folding intraseluler.24 Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi
tulang. Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.25
Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga
dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60
pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas. 23
Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh
cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten, interleukin-1.
Chaperonin 10 dari Mt juga menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.24 Selain
menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga
menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.25
Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi
tulang pada spondilitis tuberkulosa.26
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas berbentuk kifosis
(angulasi posterior) yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi
dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut
merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.13
Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses dingin
dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di dekatnya.21 Di
regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area

Universitas Sumatera Utara


lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian
besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps;
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal.13,21
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada
pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena
kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis spinalis (karena perluasan langsung dari
infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh
abses, jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung, menyebabkan kompresi
medula spinalis dan defisit neurologis. 13,27,28
Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat
dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter
medula spinalis servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih
penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus
atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa.9

II.1.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan


intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan penyakit dan
durasi infeksi.6 Pasien biasanya muncul dengan kombinasi dari manifestasi sistemik
seperti penurunan berat badan, demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.1,6 Rasa
nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan dengan
aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang terlibat dan paling sering
dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan,
menggambarkan destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat,
atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan spinal dan
weight-bearing, yang disebabkan oleh disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas
spinal, kompresi akar saraf atau fraktur patologis.6
Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan gejala
neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal
dapat menyebabkan gejala penekanan akar saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau
tetraplegia jika tidak ditangani.6
Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada awalnya,
namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan medula spinalis menentukan
level gangguan. Jika tuberkulosis servikal berkembang dan menyebabkan kompresi
medula spinalis atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas
pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses progresif kemudian akan
meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi
tetraplegi.6
Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai,
namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung terjadi.
Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher. Pasien dengan lesi yang
melibatkan vertebra servikal bawah dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat
mencakup tortikolis, suara parau dan defisit neurologis.21
Hampir semua pasien dengan spondilitis tuberkulosa menunjukkan berbagai
derajat deformitas vertebra (kifosis). Defisit neurologis dapat terjadi pada awal perjalanan
penyakit, yang bergantung pada level kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang
melibatkan vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat. Abses
retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi neurologis terjadi pada awal
penyakit dan bervariasi dari kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.21
Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu studi) tidak menunjukkan
bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal, yang menyulitkan diagnosis yang segera.21

II.1.5. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis, bahkan
jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa
juga harus selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi
vertebra.21
Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5.
Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri punggung
dan spasme otot para vertebral. 29

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang
Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008
; 20 (4) : 471-479.

Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif. 13
Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal yang
dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan durasi
infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis,
namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat
menjadi gambaran yang menonjol.6
Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi
end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral.28
Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan
banyak level, relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang
besar, dan penyebaran subligamentosa.2

Universitas Sumatera Utara


Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe.
Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling
bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%). Adanya jaringan lunak paravertertebral
dan destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah,
sedangkan penyempitan diskus memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang
rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah 82.8%
dan 83.9% secara berurutan. (tabel 1) 28

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos Vertebra Pada Spondilitis
Tuberkulosa
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in
tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan diskus dan
osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan
angulasi vertebra pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos
hingga 8 minggu.28,30
Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga
paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin masih
berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling baik menunjukkan perluasan
anatomis dari destruksi tulang, terutama elemen posterior dan juga membantu untuk
mengklarifikasi apakah gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan
jaringan lunak atau tulang. 30
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi adanya
infeksi tulang belakang.31 Magnetic resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk
diagnosis spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada
tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis
dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.28
Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis central
caseating yang menunjukkan intensitas sinyal intermediat pada gambaran T2-weighted.
Spondilitis tuberkulosa menunjukkan derajat edema marrow yang kurang luas
dibandingkan spondilitis piogenik. 32
Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas sinyal dari
vertebra dan diskus intervertebralis yang terlibat pada T1W, T2W dan gambaran

Universitas Sumatera Utara


contrast-enhanced, destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya
keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses,
derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau tanpa kompresi akar saraf atau medula
spinalis dan alignment vertebra.28
Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI 23 pasien spondilitis
tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan menemukan gambaran
sebagai berikut : pembentukan abses paravertebral yang melibatkan banyak level,
penyebaran subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang
terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang terkena pada gambaran
T1.27
Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus vertebra yang
berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan adanya abses paravertebral. Gambaran
MRI dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>80%) adalah disrupsi endplate
(100%,81.4%), jaringan lunak paravertebral (96.8%, 85.3%) dan intensitas sinyal tinggi pada
diskus intervertebralis pada T2W (80.6%, 82.4%). Tanda pada MRI dengan sensitifitas tinggi
namun spesifisitas rendah adalah edema bone marrow (90.3%, 76.5%), bone marrow
enhancement (100%, 42.5%), keterlibatan elemen posterior (93.5%, 76.5%), stenosis kanalis
(87.1%, 26.5%) dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6%, 38.2%). Gambaran MRI
dengan sensitifitas yang rendah namun spesifisitas tinggi adalah enhancement diskus
intervertebralis (63.3%, 84.2%), kolaps vertebra (58.1%, 85.3%), dan deformitas kifosis
(67.7%, 82.4%). Detail sensitifitas dan spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2.
Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis tuberkulosa adalah 100%
dan 88.2% secara berturut-turut.28

Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis Tuberkulosa


Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in
tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis.
Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa


dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan terapi bedah,
maka debridement lesi akan menyediakan materi yang cukup banyak untuk kultur dan
diagnosis. Namun, jika ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada
indikasi untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan dengan
CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan arahan imejing, jarum
halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui dinding otot posterior. Jika didapatkan
cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai
jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh spesimen
jaringan. 6
II.I.6. Penanganan Spondilitis tuberkulosis

Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan
penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas
spinal.6 Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis
menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan
pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis
tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal bergantung

Universitas Sumatera Utara


pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan
keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa
selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi
neurologis.9

II.1.7. Penatalaksanaan Medis/Konservatif


1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi13
2. Istirahat dan Immobilisasi
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips
ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai
13
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium.
Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18
bulan.20

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa


Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada
individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal
memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat
antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang
lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and
American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon
pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya
defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi,
pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif
terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4
jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) ,
rifampicin (R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30

Universitas Sumatera Utara


mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan
4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin. 13,15,21
Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk spondilitis
tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan rifampicin selama
6-9 bulan.13 Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama
pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang
diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH. 18

II.1.8. Penatalaksanaan Bedah


Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif,
pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk
mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga
memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan
yang melindungi basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya
paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan
jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat menyebabkan
perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan
paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga
lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan
dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.6,36
Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum
mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas
spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis
(kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi
diagnsotik.9,15,21
Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia, dan
abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan), faktor
pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang
sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada
foto polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural (kompresi

Universitas Sumatera Utara


medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang
menyakitkan atau kompresi akar saraf).2
Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala
nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan
disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau
kesulitan bernafas.2 Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor
yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan
keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia,
instabilitas vertebra servikalis.21
Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah
perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera.
Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan
membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. (table 6) 37

Tabel 6. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A
new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics.
2008 ; 32 : 127-133.

Universitas Sumatera Utara


II.2. Kerangka Konsepsional

Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Penderita Karakteristik:
Spondilitis - Jenis kelamin
- Usia
- Indeks massa tubuh
- Riwayat penyakit TB paru
- Riwayat penyakit TB ekstra
paru selain spondilitis TB
- Keluhan utama
- Lokasi infeksi
- Defisit neurologis
- Tatalaksana

Definisi Operasional

1. Penderita Spondilitis Tuberkulosis


Adalah semua pasien yang berobat di departemen/SMF Orthopaedi dan
Traumatologi RSUP H.Adam Malik, baik di poliklinik maupun rawat inap, pada
periode Januari 2010- Juni 2013 yang didiagnosis menderita Spondilitis
tuberkulosis

2. Jenis kelamin
Jenis kelamin dikelompokkan menjadi skala ordinal, yaitu pria atau wanita

Universitas Sumatera Utara


3. Usia
Usia adalah usia responden penelitian saat pertama kali didiagnosis dengan
Spondilitis Tuberkulosis. Usia dikelompokkan dalam skala nominal,
berdasarkan kriteria Depkes, yaitu:
a. Balita (0-5 tahun)
b. Kanak-kanak (5-11 tahun)
c. Remaja (12-25 tahun)
d. Dewasa (26-45 tahun)
e. Lansia (46-65 tahun)

4. Indeks massa tubuh


Indeks massa tubuh adala perbandingan antara berat badan dalam satuan
kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan m2. Data berat badan dan
tinggi badan yang diambil adalah data saat pertama kali pasien didiagnosis
menderita spondilitis tuberkulosis.
Besarnya nilai IMT dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu:
a. Underweight (IMT < 18,5)
b. Normoweight (IMT antara 18,5 – 22,9)
c. Overweight (IMT antara 23 – 24,9)
d. Obesitas (IMT lebih dari atau sama dengan 25)

5. Riwayat penyakit TB paru


Riwayat penyakit TB paru adalah parameter yang menjelaskan apakah
responden pernah atau sedang menderita TB paru atau tidak. Diagnosis TB paru
dapat saja ditegakkan secara klinis, pemeriksaan sputum ataupun radiologis,
selama ditegakkan oleh dokter atau dokter spesialis.
Riwayat penyakit TB paru dikelompokkan dalam skala nominal, yaitu:
a. Pernah atau sedang didiagnosis TB paru
b. Tidak pernah didiagnosis TB paru

Universitas Sumatera Utara


6. Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB
Riwayat penyakit TB ekstra adalah parameter yang menjelaskan apakah
responden juga pernah atau sedang menderita infeksi TB di tempat lain selain di
paru dan tulang belakang. Dalam hal ini, infeksi TB dapat berupa pleuritis TB,
limfadenitis TB, meningitis TB, laringitis TB, kolitis TB, atau infeksi TB di
tempat manapun selain paru dan tulang belakang, selama diagnosis ditegakkan
oleh dokter atau dokter spesialis.
Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB dikelompokkan dalam
skala nominal, yaitu:
a. Pernah atau sedang didiagnosis TB ekstra paru selain spondilitis TB
b. Tidak pernah didiagnosis TB ekstraparu selain spondilitis TB

7. Keluhan utama
K eluhan utama adalah keluhan yang dirasakan paling mengganggu hingga
membuat pasien datang berobat. Keluhan utama dikelompokkan ke dalam skala
ordinal, yatu:
a. Nyeri pinggang
b. Benjolan di tulang belakang
c. Abses atau fistel
d. Deformitas

8. Lokasi infeksi
Lokasi infeksi adalah bagian dari vertebra yang mengalami infeksi tuberkulosis.
Lokasi infeksi dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu:
a. Cervical (C1 – C8)
b. Thorakal (Th1 – Th12)
c. Lumbal (L1 – L5)
d. Sakral (S1 – S5)

9. Defisit neurologis

Universitas Sumatera Utara


Defisit neurologis adalah paramaeter yang menjelaskan apakah pasien
menunjukkan kelainan pada fungsi neurologis baik defisit sensorik (kebas, mati
rasa), defisit motorik (kelumpuhan), defisit autonom (inkontinensia, retensio,
anhidrosis), atau ketiganya.
Defisit neurologis dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu:
a. Ada defisit neurologis
b. Tidak ada defisit neurologis

10. Tatalaksana
Tata laksana adalah jenis penatalaksanaan yang diberikan pada pasien, baik
berupa tatalaksana operatif (apapun metode operasinya), ataupun non operatif,
yaitu hanya mengonsumsi obat anti tuberkulosis saja.
Tatalaksana dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu:
a. Tatalaksana operatif
b. Tatalaksana non-operatif

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai