Anda di halaman 1dari 9

Journal Reading: Case Report

Intertriginious Eruption Induced by


Terbinafine: A Review of Baboon Syndrome

Pembimbing:
Dr. dr. Linda Juliani Wijayadi, Sp.KK

Disusun oleh:
Kevin King 406182046
Rika Sukma Pratiwi 406182081

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
PERIODE 20MEI 2019 – 30JUNI 2019
Laporan Kasus
Intertriginious eruption induced by terbinafine: a review of baboon syndrome
Shahbaz A. Janjua1, MD, DDERM, Zrinjka Pastar2, MD, PhD, Nadia
Iftikhar3, MRCP, FCPS, and Sadia Ammad4, MD, MSc DERM

1
Ayza Skin & Research Center, Lalamusa,
Pakistan, 2Health Centre, Ministry of
Defense, Republic of Croatia, Zagreb,
Croatia, 3Department of Dermatology,
Military Hospital, Rawalpindi, Pakistan, and
4
The Practice Heart of Hounslow,
Hounslow, London, UK

Correspondence
Shahbaz A. Janjua, MD DDERM
Special Dermatologist
Ayza Skin & Research Center
Lalamusa, 50200
Pakistan
E-mail: shahbaz.janjua@teledem.org

Conflict of interest: None.

Presentasi kasus
Seorang laki-laki berusia 60 tahun yang dinyatakan sehat memiliki erupsi
eritematosa ringan sejak 1 minggu, yang melibatkan bokong dan area fleksura
termasuk aksila dan selangkangan. Riwayat medisnya signifikan untuk tinea pedis
yang baru didiagnosis, dimana pasien diresepkan tablet terbinafine HCl 125 mg dua
kali sehari selama 2 minggu sekitar 10 hari sebelumnya. Pada hari ketiga memulai
pengobatan dengan terbinafine, ruam fleksor tercatat mempengaruhi aksila.
Meskipun ruam, ia terus meminum obat selama beberapa hari, tetapi karena ruam
memburuk dan berkembang serta melibatkan pangkal paha dan paha bagian dalam,
ia berkonsultasi dengan dokter umum yang segera menghentikan pengobatan
pasien dan merujuknya ke dokter spesialis kulit.
Pemeriksaan fisik menunjukkan erupsi eritematosa simetris yang melibatkan
aksila, sisi badan tubuh, lekukan midsternal, fossa antecubital, lipat paha, dan
daerah perianal dan gluteal. Tampak sebagai bercak merah kehitaman yang besar
dan berbatas tegas dengan pertemuan sentral (gambar 1). Terdapat deskuamasi
superfisial perifer terutama di sekitar aksila (gambar 1). Tidak ada peninggian pada
batas di bagian perifer, dan kerokan superfisial dari beberapa sisi yang terkena tidak
menunjukkan elemen jamur pada mikroskop dari sampel yang diberi dengan kalium
hidroksida. Pasien dinyatakan sehat, dan tidak ada riwayat infeksi saluran
pernafasan atas, faringitis, atau demam. Pasien belum minum obat lain akhir ini
kecuali terbinafine. Menurut riwayat catatan medis, pasien belum pernah
diresepkan untuk penggunaan topikal dan/atau oral terbinafin sebelumnya. Tidak
ada riwayat pribadi dan/atau riwayat diatesis atopik atau hipersensitivitas obat lain.
Pemeriksaan darah rutin dan urinalisis pasien tidak ada yang bermakna. Titer
antistreptolisin juga dalam batas normal. Patch tests, dilakukan dengan terbinafine
HCl, yang disiapkan dalam petrolatum, dan air sebagai medium, pada konsentrasi
yang berbeda (5, 10, dan 30% sesuai dengan pedoman dari International Contact
Dermatitis Research Group) tetap negatif setelah 48 dan 72 jam. Pemeriksaan
histopatologis biopsi dari area yang terkena menunjukkan campuran, terutama
infiltrat perivaskular mononuklear dalam dermis.
Setelah korelasi klinikopatologis, diagnosis sindrom babon terkait obat/drug
related baboon syndrome (BS) atau simetris exantema intertriginosa dan fleksural
terkait obat/symmetrical drug related intertriginous and flexural exanthema
(SDRIFE) dibuat. Tes provokasi obat ditolak oleh pasien. Pasien dirawat dengan
kompres saline dan steroid topikal ringan. Erupsi tampak menghilang dengan
deskuamasi ketika pasien melakukan pemeriksaan lanjutan setelah 1 minggu.

Diskusi
Sebagian besar erupsi obat kutaneus muncul sebagai eksantema dan dapat meniru
berbagai gangguan kulit, tetapi tidak biasanya reaksi obat muncul sebagai erupsi
intertriginosa. BS adalah bentuk khusus dari dermatitis kontak alergi yang diinduksi
secara sistemik yang muncul sebagai eritema kutaneus pada daerah intertriginosa
setelah terpapar alergen kontak tertentu atau pada obat tertentu pada individu yang
sebelumnya sensitisasi atau tidak sensitisasi.1,2 Manifestasi klinis utama termasuk
asimtomatik eritema simetris berbatas tegas pada daerah gluteal/perianal, paha
bagian dalam atas (menyerupai pantat babun), dan lipatan fleksor atau intertriginosa
termasuk aksila, sisi leher, dan paha.1,2 Periode latensi biasanya berkisar dari
beberapa jam hingga beberapa hari setelah terpapar agen penyebab. BS secara
prognosotik adalah erupsi obat yang jinak yang menghilang tanpa pengobatan
khusus dalam beberapa hari setelah penghentian agen penyebab.1,2 Reaksi khas ini
pada awalnya diamati dengan merkuri, nikel, dan ampisilin pada tahun 1983 pada
pasien yang sudah peka terhadap alergen penyebab.3-5 Kemudian, pola reaksi ini
dilaporkan dengan logam lain, obat-obatan, dan produk terkait dengan atau tanpa
sensitisasi sebelumnya. Lebih dari 100 kasus telah dijelaskan dalam literatur sejak
saat itu. Beberapa agen lain yang dilaporkan menyebabkan BS termasuk antibiotik
beta-laktam, antihipertensi, dan agen biologis dan kemoterapi.6-9 Pada tahun 2004,
Häusermann et al, mengusulkan bahwa BS yang terkait dengan obat yang diinduksi
secara sistemik juga dapat terjadi tanpa sensitisasi kutaneus sebelumnya.
Table 1 Diagnostic criteria for symmetrical drug-related intertriginous and
flexural exanthema proposed by Häusermann et al 10
1 Exposure to a systemically administered drug either at the first or repeated
dose (exluding contact allergens)
2 Sharply demarcated erythema of the gluteal/perianal area and/or V-shaped
erythema of the inguinal/perigenital area
3 Involvement of at least one other intertriginous/flexural localization
4 Symmetry of affected areas
5 Absence of systemic symptoms and signs

Akronim SDRIFE digunakan untuk menggambarkan kasus BS terkait obat,


dan kriteria diagnostik berikut diusulkan (tabel I): (1) paparan obat yang diberikan
secara sistemik baik pada dosis pertama atau berulang (tidak termasuk alergen
kontak); (2) eritema yang ditandai dengan jelas pada daerah gluteal/perianal
dan/atau eritema berbentuk V pada daerah inguinal/perigenital; (3) keterlibatan
setidaknya pada lokalisasi intertriginosa/fleksor lainnya; (4) daerah yang terkena
simetris; dan (5) tidak adanya gejala dan tanda sistemik.
Pada tahun 2009. Özkaya menyarankan subklasifikasi BS, berdasarkan agen
penyebab dan status sensitisasi sebelumnya:11 (1) kontak BS yang diinduksi alergen
(tidak termasuk obat); (2) kontak BS yang diinduksi oleh obat alergi; dan (3) BS
yang diinduksi oleh obat alergenik non-kontak.
Penting untuk dicatat bahwa BS yang diinduksi obat alergennon-kontak sama
dengan SDRIFE.11
Mekanisme imunologi dan patogenetik yang menghasilkan BS belum
ditentukan, tetapi diyakini sebagai reaksi imun tipe tertunda yang diperantarai sel-
T, reaksi sekunder dari dermatitis kontak sistemik atau bentuk yang tidak biasa dari
cutaneous recall phenomenon.12,13 Individu yang terkena mungkin sudah
tersensitisasi oleh kontak sebelumnya dengan topikal atau alergen terkait kimia.
Diagnosis BS sebagian besar didasarkan pada manifestasi klinis dan dari
riwayat. Tes temple/Patch tests dan uji tusukan/prick tests dengan pembacaan
tertunda dan tes intradermal dengan pembacaan tertunda digunakan untuk
menyelidiki efek samping obat kutaneus yang disebabkan terutama oleh reaksi
hipersenstiivitas tertunda. Namun, nilai prediksinya tergantung pada fitur klinis dari
reaksi yang merugikan dan obat tertentu yang diuji. Berbagai konsentrasi obat diuji
sesuai dengan pedoman International Contact Dermatitis Research Group.14,15 Juga
telah ditunjukkan bahwa ada hasil variabel dari tes alergi untuk obat yang berbeda
seperti tes intradermal tertunda positif (dilaporkan untuk penisilin V, allopurinol);
tes patch positif (untuk eritromisin, mitomisin, nistatin, pseudoefedrin); tes
transformasi limfosit positif (untuk eritromisin); dan tes provokasi obat positif
(untuk klindamisin, simetidin, kortikosteroid, terbinafin, dan valasiklovir).
Provokasi mungkin bermanfaat bagi mereka yang penyebabnya tidak pasti.8,12
Diagnosis banding meliputi eritema perineum yang dimediasi toksin
berulang, nekrolisis epidermal toksik onset dini, kandida intertriginosa, tekstil atau
dermatitis kontak alergi yang berhubungan dengan aroma, dan dermatitis
seboroik.12
Manajemen didasarkan pada penghindaran agen penyebab. Eksantema
menghilang dalam beberapa hari setelah penghentian obat.12,16 Kompres salin dan
steroid topikal ringan mungkin disarankan, dan tidak diperlukan perawatan khusus.
Dalam studi kasus kami, seperti ditunjukan di atas, agen penyebab yang
menyebabkan BS terkait obat (SDRIFE) yaitu terbinafine, yang biasanya dianggap
sebagai salah satu agen anti-jamur yang paling aman dan dapat ditoleransi dengan
baik. Ini adalah obat fungisida, yang menghambat squalene epoxidase yang
kemudian menurunkan sintesis ergosterol, sehingga menyebabkan kematian sel
jamur.17,18 Pemberian oral terbinafine jarang menyebabkan erupsi psoriasiform atau
eksaserbasi psoriasis, pustulosis eksantematosa generalisata akut, presipitasi, dan
eksaserbasi kulit dan lupus eritematosus sitemik. Reaksi obat yang serius seperti
sindrom stenvens johnson dan nekrolisis epidermal toksik yang sangat jarang
terjadi dengan terbinafine.
Beberapa kasus BS atau SDRIFE yang berkaitan dengan obat telah
dilaporkan dalam literatur sebagai erupsi obat kutaneus intertriginosa yang tidak
biasa yang dikaitkan dengan terbinafine.25 Kasus kami semakin menambah
hubungan yang menyarankan perlunya menyoroti reaksi obat yang tidak biasa
dalam dermatologis serta dalam literatur farmakologis. Kami juga
mempertimbangkan diferensial diagnosis intertrigo terutama dalam kasus atipikal
dan resisten. Oleh karena itu, anamnesis yang cermat terkait dengan obat yang baru,
wajib dilakukan dalam kasus tersebut.

Referensi
1. Wolf R, Brenner S, Krakowski A. Intertriginous drug eruption. Acta Derm
Venereol 1992; 72: 441–442
2. Dhingra B, Grover C. Baboon syndrome. Indian Pediatr 2007; 44: 937.
3. Andersen KE, Hjorth N, Menne T. The baboon syndrome: systemically-
induced allergic contact dermatitis. Contact Dermatitis 1984; 10: 97–100.
4. Nakayama H, Niki F, Shono M, et al. Mercury exanthem. Contact Dermatitis
1983; 9: 411–417.
5. Audicana M, Bernedo N, Gonzalez I, et al. An unusual case of baboon
syndrome due to mercury present in a homeopathic medicine. Contact
Dermatitis 2001; 45: 185.
6. Handisurya A, Stingl G, Wohrl S. SDRIFE (baboon € syndrome) induced by
penicillin. Clin Exp Dermatol 2009; 34: 355–357.
7. Arnold AW, Hausermann P, Bach S, et al. Recurrent flexural exanthema
(SDRIFE or baboon syndrome) after administration of two different iodinated
radio contrast media. Dermatology 2007; 214: 89–93.
8. Lugovic-Mihic L, Duvancic T, Vucic M, et al. SDRIFE (baboon syndrome)
due to paracetamol: case report. Acta Dermatovenerol Croat 2013; 21: 113–
117.
9. Wolf R, Orion E, Matz H. The baboon syndrome or intertriginous drug
eruption: a report of eleven cases and a second look at its pathomechanism.
Dermatol Online J 2003; 9: 2.
10. Hausermann P, Harr T, Bircher AJ. Baboon syndrome resulting from systemic
drugs: is there strife between SDRIFE and allergic contact dermatitis
syndrome? Contact Dermatitis 2004; 51: 297–310.
11. Ozkaya E. Current understanding of Baboon syndrome. Expert Rev Dermatol
2009; 4: 163–175.
12. Tan SC, Tan JW. Symmetrical drug-related intertriginous and flexural
exanthema. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2011; 11: 313–318.
13. Yawalkar N, Egli F, Hari Y, et al. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-
induced cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30: 847–855.
14. Lachapelle J-M. The spectrum of diseases for which patch testing is
recommended. In: Lachapelle J-M, Maibach HI, eds. Patch Testing and Prick
Testing: A Practical Guide. Official Publication of the ICDRG, 2nd edn.
Berlin: Springer-Verlag, 2009: 7–31.
15. Lachapelle JM, Ale SI, Freeman S, et al. Proposal for a revised international
standard series of patch tests. Contact Dermatitis 1997; 36: 121–123.
16. Miyahara A, Kawashima H, Okubo Y, et al. A new proposal for a clinical-
oriented subclassification of baboon syndrome and a review of baboon
syndrome. Asian Pac J Allergy Immunol 2011; 29: 150–160.
17. Newland JG, Abdel-Rahman SM. Update on terbinafine with a focus on
dermatophytoses. Clin Cosmet Investig Dermatol 2009; 2: 49–63.
18. Margarido LC. Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. Sao
Paulo Med J 2014; 132: 127.
19. Hall M, Monka C, Krupp P, et al. Safety of oral terbinafine: results of a
postmarketing surveillance study in 25,884 patients. Arch Dermatol 1997; 133:
1213–1219.
20. Gupta AK, Lynde CW, Lauzon GJ, et al. Cutaneous adverse effects associated
with terbinafine therapy: 10 case reports and a review of the literature. Br J
Dermatol 1998; 138: 529–532.
21. Hall AP, Tate B. Acute generalized exanthematous pustulosis associated with
oral terbinafine. Australas J Dermatol 2000; 41: 42–45.
22. Munn SE, Russell Jones R. Terbinafine and fixed drug eruption. Br J Dermatol
1995; 133: 815–816.
23. Wagner G, Sachse MM. Drug-induced subacute cutaneous lupus
erythematosus: repeated occurrence following treatment with terbinafine.
Hautarzt 2014; 65: 548–552. [In German].
24. Rzany B, Mockenhaupt M, Gehring W, et al. StevensJohnson syndrome after
terbinafine therapy. J Am Acad Dermatol 1994; 30: 509.
25. Weiss JM, Mockenhaupt M, Schopf E, et al. Reproducible drug exanthema to
terbinafine with characteristic distribution of baboon syndrome. Hautarzt 2001;
52: 1104–1106. [In German]

Anda mungkin juga menyukai