Anatomi – Fisiologi
Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan mudah
digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain, melindungi organ-
organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta menentukan
sikap tubuh. Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal
5, sacral 5 dan coccygeus 4).
Setiap vertebra terdiri dari:
1. Corpus/body
2. Pedikel
3. Prosessus artikularis superior dan inferior
4. Prosessus transversus
5. Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang
berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
1. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus.
2. Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
1. Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
2. Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
3. Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.
4. Lig intertransversale.
5. Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
6. Lig supra dan interspinosus.
Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi
cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et
al. 2000).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and
Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung
pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang
dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn,
E. Doengoes, 1999).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang
dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).
D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah
perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi
karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara
duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi
medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9
yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari
tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan mendadak
sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini
umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih,
triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat
hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena
tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya
terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut
dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi
gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang
sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan
pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
G. Fase Penyembuhan Tulang
1. Tahap pembentukan hematom
Dalam 24 jam perta ma mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk kearea
fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematom yang berkembang menjadi
jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari , hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-
benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi
fibroblast dan osteoblast yang akan menhasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain
sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus,
tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar frakmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang
melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoclas,
kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
I. Penatalaksanaan Medis
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:
1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang
belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat
mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang
mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan:
1. Fraktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
C = “Circulation”
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak
diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
a) kesadaran menurun
b) warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%
c) nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan
mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau abdomend
diatasi dengan memakai MAST.
D = “ Disability”
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menentukan:
a) Kesadaran
Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
A-“Alert”
V-“bereaksi pada vokal stimuli”
P-“bereaksi pada pain stimuli”
U-“unresponsive”
b) Pupil
c) Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau “seconder
survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan
intrakranial, dengan demikian kita harus menilai ulang :
Oksigenisasi
Ventilasi
Perfusi
Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O
A-“alkohol”
I-“injury atau infeksi”
U-“uremia”
E-“ epilepsi”
O-“ opium “ atau other drag
Dapat juga “don”t forget them”
D “diabetes”
F “ fever”
T “trauma”
E = “Eksposure”
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti
untuk menghindari hipotermi.
4. SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah
dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah
anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari kepala
sampai ke ujung kaki.
Pengkajian secondary survey meliputi :
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah
dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil,
ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
Intervensi keperawatan :
1) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan
mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3) Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial,
karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4) Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat
pnemonia.
5) Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
6) Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
7) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai
ekspektoran.
8) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk
mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9) Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan.
11) Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional : mencegah sekret tertahan
b. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan
pengobatan individu.
2) Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau
kompensasi.
Rencana tindakan :
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang
kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang
disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka
rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan
meningkatkan koping dengan batasan tersebut.
3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki
mekanika tubuh.
4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis
dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Nyeri akut b.d adanya cedera
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1) Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2) Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3) Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan
relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Rencana tindakan :
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau
memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan
dan evaluasi terhadap terapi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler
dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan
atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk
menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot
dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang
terkena.
4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau
atau diraih klien.
Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan
meningkatkan proses penyembuhan.
6) Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang
tepat.
Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien
Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit
dan dirawat.
8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan
spasme.
9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
d. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat
teratasi.
Kriteria hasil :
1) Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan
sesuai indikasi.
2) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi
Rencana tindakan :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin
disebabkan oleh alat traksi/ gibs.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
3) Ubah posisi dengan sering
4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.
e. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus
dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin
tidak ada selama syok spinal.
2) Observasi adanya distensi perut.
3) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan
gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
4) Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan :
1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu
diperlukan.
2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine
3) Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal
4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea
suprapubis.
g. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status
kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2) Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3) Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang
2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas
pengetahuan.
3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi
4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan
penyembuhan.
5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk
mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.
6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.
Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan
sumber – sumber untuk mengatasi masalah.
h. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4) Menunjukan teknik aktivitas
Rencana tindakan :
1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan
fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali
perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.
3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas
yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.
4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai,
dan mempertahankan masa otot.
Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot
5) Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial
Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan
i. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.
Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.
Rencana Tindakan :
1) Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah
dengan bahasanya sendiri.
Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan
2) Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual
rendah.
Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali
berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.
6. REEVALUSI PASIEN
Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru
yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan trauma
tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan dapat
mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati monitor
kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc /kg BB/ jam
pada anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya, karena
menunjukkan perfusi jaringan.
7. PENANGGULANGAN DEFINITIF
Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep “total care“ sehingga semua masalah
dapat diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company,
Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott
Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta