Anda di halaman 1dari 24

Anti Mikroba

PENGANTAR

Obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri lazim disebut sebagai
antibiotika atau lebih luas lagi, antimikroba. Antibiotika merupakan substansi
kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang lain. Sedangkan antimikroba memiliki arti yang lebih luas
lagi karena juga mencakup substansi kimia yang dihasilkan melalui proses
sintesis di laboratorium.

Sebagian besar antimikroba yang digunakan pada saat ini diproduksi melalui
sintesis kimiawi, oleh sebab itu biasa disebut sebagai antibiotika sintetik.
Dengan demikiian maka perbedaan arti antara antibiotika dan antimikroba pada
saat ini sudah tidak diperdebatkan lagi, karena yang dimaksud adalah substansi
kimiawi yang dapat digunakan untuk mengatasi infeksi bakterial. Dalam tulisan
ini akan dibahas mekanisme utama, sifat-sifat farmakologi, hingga penggunaan
antibiotika atau antimikroba dalam praktek.

TUJUAN

Setelah menyelesaikan kuliah dan diskusi tentang antimikroba, peserta


diharapkan mampu:

1. Memahami fungsi dan peran antibiotika/antimikroba untuk mengatasi


penyakit infeksi
2. Menjelaskan penggolongan antibiotika dan kemoterapetika
3. Menjelaskan mekanisme kerja, hubungan struktur dan aktivitas,
farmakodinamik, farmako-kinetik, efek samping, efek toksis dan
penggunaan antibiotika/antimikroba dalam klinik.
Persiapan
1. Membaca materi kuliah dan buku acuan.
2. Menyiapkan pertanyaan dan permasalahan yang berkaitan dengan
antibiotika dan atau antimikroba untuk didiskusikan di kelas.
Daftar pustaka
1. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD, Cooper, M
(1997) Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 2 ed., nd

Lippincott-Raven, Philadelphia.
2. American Medical Association (1994) AMA Drug Evaluations. Annual
1994. American Medical Association, the United States of America.
3. Brody TM, Larner JL, Minneman KP, Neu HC. (1994) Human
Pharmacology. Molecular to Clinical, 2 ed., Mosby, Baltimore.
nd

4. Katzung, B.G., (Editor), (1998), Basic and Clinical Pharmacology,


7 ed., Appleton & Lange, Connecticut.
th

5. Neal, M.J.,(1997), Medical Pharmacology at a Glance, 3 ed., Blackwell


rd

Scientific Publi-cations, Oxford.


PENDAHULUAN

Definisi

Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisma


secara alamiah. Fungsi utamanya adalah melawan pertumbuhan atau
kehidupan mikroorganisma yang lain, contoh: penisilin, kloramfenikol,
tetrasiklin. Antimikroba adalah semua bahan kemoterapetik yang digunakan
untuk melawan efek mikroorganisma. Sulfonamida, isoniazid, dan kuinin
termasuk dalam kelompok antimikroba.

Klasifikasi

Secara umum antibiotika dan antimikroba dapat dikelompokkan berdasarkan


(1) efek utamanya, yaitu apakah tergolong bersifat bakteriostatik atau
bakterisida, dan (2) mekanisme aksinya. Disebut bersifat bakteriostatik jika
efek utamanya menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan bakterisida jika
efek utamanya membunuh bakteri. Namun demikian pembagian cara ini sering
tidak tepat, karena beberapa antibiotika dapat bersifat bakteriostatik dan
bakterisid sekaligus, tergantung pada konsentrasinya. Berikut adalah
pembagian antibiotika dan antimikroba berdasarkan efek utamanya.
Tabel 1. Pembagian antibiotika berdasarkan aksi utamanya
Bakterisid Bakteriostatik

Penisilin Tetrasiklin
Aminoglikosida Asam fusidat

Sefalosporin Sulfonamida

Kotrimoksazol Kloramfenikol

Isoniazid PAS

Rifampisin Linkomisin

Eritromisin (konsentrasi tinggi) Eritromisin (konsentrasi rendah)

Vankomisin Klindamisin

Mekanisme aksi antimikroba

Secara umum mekanisme aksi antimikroba dapat dikelompokkan dalam


beberapa hal berikut,

1. a. Menghambat sintesis dinding sel


Lapisan terluar dari bakteri, yaitu dinding sel, tersusun atas komponen
peptidoglikan, yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk sel bakteri dan
melindungi bakteri dari pengaruh luar. Adanya dinding sel ini memungkinkan
bakteri untuk menjaga tekanan osmotik internal tetap tinggi. Beberapa jenis
antibiotika seperti penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin
mampu menghambat sintesis dinding sel ini, sehingga sel menjadi lisis dan
akhirnya mati.

Gambar 1. Sintesis dinding sel bakteri. 1) Molekul-molekul alanin


ditambahkan pada karbohidrat tripeptid untuk membentuk calon dinding sel
yang berbentuk “T”. Reaksi ini dihambat oleh D-sikloserin. 2) Calon dinding sel
selanjutnya ditransfer ke membrana plasma oleh suatu pembawa. Proses
transfer ini dihambat oleh vankomisin. 3) Transporter didaur ulang di dalam sel
untuk membawa calon dinding sel yang lain. Fase ini dihambat oleh basitrasin.
4) Calon dinding sel dihubungkan ke struktur dinding sel yang sudah ada, oleh
transpeptidase. Penisilin, sefalosporin, imipenem,
dan aztreonam menghambat transpeptidase. Transpeptidase merupakan satu
dari beberapa ikatan protein penisilin dan bukan satu-satunya tempat aksi
penisilin.
1. b. Mengubah permeabilitas membrana sel atau transport aktif
sepanjang membrana sel
Sitoplasma dikelilingi oleh membrana sitoplasma, yang berfungsi
mempertahankan permeabilitas sel dan mengendalikan komposisi internal sel.
Kematian sel dapat terjadi bila integritas membrana sitoplasma ini terganggu.
Polimiksin, amfoterisin B, nistatin, imidazol, dan kolistin berefek dengan cara
mengubah permeabilitas membrana sel. Namun demikian meskipun antibiotika
tersebut mempunyai toksisitas selektif terhadap sel bakteri, tetapi ternyata juga
sering memberi efek toksik pada sel mamalia. Sebagai contoh: polimiksin dapat
menyebabkan kerusakan tubulus renalis jika diberikan pada dosis yang lebih
besar dari dosis terapetiknya.

1. c. Menghambat sintesis protein


Kloramfenikol, eritromisin, tetrasiklin, antibiotika golongan aminoglikosida, dan
linkomisin menghambat sintesis protein sel bakteri dengan aksi utamanya pada
ribosom bakteri.

1. d. Menghambat sintesis asam nukleat


Beberapa antibiotika seperti misalnya aktinomisin, menghambat sintesis DNA
dengan cara membentuk kompleks dengan DNA, dan selanjutnya memblok
pembentukan mRNA. Asam nalidiksat, trimetroprim, rifampisin, sulfonamida,
pirimetamin, dan novobiosin mengganggu pertumbuhan bakteri juga dengan
cara menghambat sintesis asam nukleat.

Tabel 2. Mekanisme kerja berbagai antibakteri

Mekanisme kerja Contoh

1. Menghambat metabolisme Sulfonamid, trimetoprim, PAS


Penisilin, sefalosporin, basitrasin,
2. Menghambat sintesis dinding sel
vankomisin, karbapenem,
1. Mengganggu keutuhan monobaktam
membran Polimiksin
Aminoglikosida, makrolid, linkomisin,
2. Menghambat sintesis protein
tetrasiklin, kloramfenikol, novobiosin
1. Menghambat sintesis asam Rifampisin, asam nalidiksat
nukleat

Resistensi bakteri terhadap antibakteri

Antibakteri tidak selamanya selalu efektif membunuh bakteri atau menghambat


pertumbuhannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain telah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibakteri tertentu. Resistensi
bakteri dapat berupa (1) drug tolerant, yaitu jika bakteri tetap dapat hidup
setelah pemberian antibakteri, dan (2) drug destroying, yaitu jika bakteri dapat
merusak aktivitas antibakteri, misalnya stafilokokus yang dapat menghasilkan
enzim penisilinase.
Resistensi dapat pula bersifat (1) genetik, jika berasal dari kromosom; dan
(2) non genetik, jika berkaitan dengan bakteri yang tidak sedang melakukan
aktivitas multiplikasi (sebagai contoh: penisilin memberi efek optimal sebagai
antibakteri jika bakteri mengalami multiplikasi secara cepat, dan umumnya
terjadi pada suhu 37 C. Saat bakteri secara aktif mensintesis dinding sel, bakteri
o

tidak akan mati pada pemberian penisilin).


Resistensi bakteri terhadap antibakteri dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme, antara lain yang disebut sebagai plasmid origin, yaitu:
1. Inaktivasi oleh suatu enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Sebagai
contoh, penisilin dan sefalosporin mengandung cincin beta-laktam, yang
dapat diinaktivasi oleh enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri
tertentu.
2. Perubahan tempat aksi antibakteri, misalnya ribosom, dapat berubah
sifatnya karena adanya mutasi gen.
3. Perubahan permeabilitas bakteri terhadap antibiotika, sehingga
dapat mencegah akumulasi obat dalam sel.
4. Memproduksi suatu enzim yang analog dengan enzim
bakteri yang menjadi target obat. Contoh: golongan sulfa yang
berkompetisi dengan PABA (Para Amino Benzoic Acid) dalam
metabolismenya.
Sedangkan resistensinya yang terjadi karena adanya mutasi gen kromosom
bakteri disebut chromosomal origin.
PENISILIN

Sejak pertama kali diteliti oleh Fleming pada tahun 1929 melalui koloni
stafilokokus yang terkontaminasi Penisilium, penisilin menjadi antibiotika
pertama yang digunakan dalam klinik secara luas. Batas antara dosis terapi dan
dosis toksik sangat lebar, sehingga relatif aman dibanding antibiotika yang lain.
Penisilin kurang poten terhadap bakteri gram negatif, dan sebagian besar
dirusak oleh beta-laktamase (penisilinase). Beta-laktamase biasanya dihasilkan
oleh Stafilokokus aureus, beberapa E. coli, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas
aeruginosa.
Secara umum penisilin didistribusikan dengan baik ke seluruh bagian tubuh,
mencapai kadar terapetik di pleura, peritoneal, abses, dan cairan sinovial.
Distribusi ke mata dan otak relatif sedikit, sedangkan kadarnya di urin cukup
tinggi. Kadar penisilin di cairan serebrospinal kurang dari 1% dari nilai plasma
pada kondisi meninges yang tidak inflamasi, dan kadar ini meningkat hinggga
5% kadar dalam plasma, selama proses inflamasi.

Pengelompokan penisilin

Berdasarkan aksinya:
1. Aktif terhadap Gram (+), dirusak oleh beta-laktamase, misal: penisilin G
2. Relatif stabil terhadap asam lambung sehingga dapat diberikan dalam
bentuk oral, misal: penisilin V, ampisilin, kloksasilin
3. Aktif terhadap Gram (+), resisten terhadap stafilokokus penghasil beta-
laktamase, misal: metisilin, nafsilin
4. Relatif aktif terhadap Gram (+) & (-), dirusak oleh beta-laktamase, misal:
tikarsilin, karbenisilin
Berdasarkan spektrum antibakteri:
1. Narrow spectrum, sensitif terhadap beta-laktamase misal: penisilin G
(bensil-penisilin), benzatin penisilin, prokain penisilin, penisilin V
(fenoksimetil-penisilin)
2. Narrow spectrum, resisten terhadap beta-laktamase misal: metisilin,
oksasilin, nafsilin, kloksasilin, dikloksasin
3.Broad spectrum, aminopenisilin misal: ampisilin, amoksisilin
4.Extended spectrum, antipseudomonas, misal: karbenisilin, tikarsilin,
piperasilin
Mekanisme aksi

Penisilin bersifat bakterisidal, dengan efek utama menghambat


sintesis dinding sel bakteri yang sedang aktif membelah, sehingga
dinding sel menjadi lemah, lisis, dan menyebabkan kematian bakteri

Farmakokinetika

Sebagian besar penisilin hanya dapat diberikan per parenteral karena dirusak
oleh asam lambung, kecuali penisilin V, amoksisilin, ampisilin, dan flukloksasilin
yang dapat diberikan per oral. Ampisilin sebaiknya diberikan pada saat perut
kosong atau di antara 2 makan, karena absorpsinya terganggu oleh adanya
makanan dalam lambung.

Di dalam tubuh, penisilin terdistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan
tubuh, dengan penetrasi ke persendian, pleura, dan mata, terutama jika terjadi
radang (inflamasi). Seperti halnya antibiotika pada umumnya, konsentrasi
penisilin di dalam cairan serebrospinal (CSS) dan penetrasinya ke jaringan
tergantung pada ikatan obat pada protein serum. Sebagai contoh protein
binding dari oksasilin dan nafsilin relatif tinggi (>90%), dengan penetrasi ke CSS
yang buruk. Sedangkan protein binding dari ampisilin (± 30%) relatif rendah,
dan penetrasi ke CSS jauh lebih baik.

Penisilin termasuk very low dose-related toxicity (efek toksik obat karena
penambahan dosis, relatif kecil). Dengan demikian, penambahan dosis untuk
meningkatkan konsentrasinya dalam jaringan yang inflamsi jarang
menimbulkan efek samping.
Sebagian besar penisilin mengalami sirkulasi enterohepatik (setelah ekskresi
bilier, diabsorpsi di usus halus dan diekskresi melalui ginjal). Dengan demikian
kadarnya di kandung empedu relatif tinggi, kecuali jika terjadi obstruksi bilier.
Ekskresi penisilin melalui sekresi tubular dapat dihambat oleh probenesid.
Dengan menambahkan probenesid 1 gr tiap 12 jam, kadar penisilin di dalam
darah dapat dipertahankan tetap tinggi, dan ekskresinya di tunda. Keadaan ini
menguntungkan untuk mengatasi infeksi yang memerlukan kadar antibiotika
yang tetap tinggi dalam satu periode waktu.

Efek samping

Hampir semua penisilin dapat memberi risiko efek samping alergi atau
hipersensitivitas, mulai dari yang tipe cepat (dimediasi oleh IgE) seperti
urtikaria, wheezing, dan anafilaksi, hingga yang tipe lambat seperti ruam kulit
dan sindroma serum sickness. Efek samping yang lain dapat berupa nefritis
interstitial, anemia hemolitik, netropenia, pansitopenia, eosinofilia, drug fever,
dan vaskulitis.

Riwayat alergi sebelumnya terhadap penisilin dan derivatnya harus selalu


ditanyakan ke pasien sebelum memberikan terapi dengan penisilin untuk
menghindari risiko efek samping tersebut.

PENISILIN G DAN V

Penisilin G tidak stabil dalam kondisi asam dan secara cepat terhidrolisis di
dalam lambung yang berisi makanan. Penisilin yang tidak dapat terabsorpsi ini
akan dirusak oleh bakteri dalam colon. Oleh sebab itu penisilin G hanya dapat
diberikan per parenteral. Sebaliknya, penisilin V tahan dalam suasana asam dan
diabsorpsi dengan baik di lambung, meskipun terdapat makanan di dalamnya.

Setelah pemberian injeksi i.m, kadar puncak penisilin-G dicapai dalam waktu
15-30 menit tetapi segera turun karena obat secara cepat dieliminasi melalui
ginjal. Waktu paruh (t 1/2 ) sekitar 30 menit. Penisilin-prokain merupakan
campuran equimolar antara penisilin dengan prokain. Dalam bentuk ini kadar
puncak tertunda hingga 1-3 jam.

Kadar penisilin-G dalam serum dan jaringan masih tetap ada hingga 12 jam
pada pemberian 300.000 unit dan hingga bebeerapa hari pada pemberian 2,4
juta unit.

Benzatin penisilin merupakan kombinasi antara 1 mol penisilin dan 2 mol basa
amonium, yang kadarnya masih tetap dapat terdeteksi dalam plasma hingga
15-30 hari.

Penisilin G didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dengan volume


distribusi yang ekuivalen dengan yang terdapat dalam cairan ekstraseluler.
Sekitar 10% dari penisilin-G dieliminasi melalui filtrasi glomeruler sedangkan
yang 90% via sekresi tubuler.

Ekskresi penisilin dapat dicegah oleh adanya probenesid, sehingga dapat


memperpanjang waktu paruhnya. Eliminasi renal penisilin

Penggunaan klinik penisilin

Narrow spectrum, sensitif terhadap beta-laktamase


Terutama efektif terhadap bakteri koken Gram (+), Neisseria, dan Gram (-)
anaerob, tetapi dirusak oleh beta-laktamase. Termasuk dalam kelompok ini
adalah penisilin G dan penisilin V, prokain penisilin G, dan benzathine penisilin
G.

Infeksi yang disebabkan oleh pnemokokus, streptokokus, meningokokus, dan


gonokokus umumnya dapat diatasi dengan pemberian penisilin G 0,6 – 5 Juta
Unit (0,36-3 gr) i.m. Dengan waktu paruh sekitar 0,5 – 1 jam, penisilin G dapat
diberikan tiap 4 – 6 jam melalui infus, untuk infeksi berat yang disebabkan oleh
bakteri di atas. Untuk infeksi ringan pada saluran pernafasan (faringitis,
sinusitis, dan otitis media) yang disebabkan oleh bakteri di atas dapat diatasi
dengan pemberian penisilin V atau fenoksi metil penisilin per oral, 1 – 4 gram
per hari dengan frekuensi pemberian 4 kali sehari selama minimal 5 hari.

Untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus beta-hemolyiticus group A,


dianjurkan untuk memberikan penisilin V, 4 x 500 mg selama 10 hari. Meskipun
dalam 2 – 3 hari gejala faringitisnya mungkin menghilang, tetapi pemberian
harus tetap dilanjutkan selama 10 hari untuk eradikasi streptokokus di sekitar
faring dan nasofaring serta mencegah terjadinya penyakit jantung rematik atau
glomerulonefritis akibat streptokokus beta hemolitikus group A (sebagai
profilaksi).
Jika ketaatan pasien menjadi penyebab kegagalan terapi maka untuk profilaksi
tersebut dapat diberikan benzathine penisilin G, i.m 1,2 juta unit sekali injeksi,
karena durasinya sampai beberapa minggu. Jika terjadi infeksi berulang, dapat
diberikan benzathine penisilin G 1,2 juta unit seminggu sekali selama 3 – 4
minggu.
Extended spectrum, antipseudomonas
Penisilin dari kelompok ini, yaitu karbenisilin dan tikarsilin, aktif terhadap
Pseudomonas & bakteri yang resisten terhadap ampisilin dan merupakan Drug
of Choice (DOC) untuk Pseudomonas aeruginosa.

Sepsis yang disebabkan oleh pseudomonas (misalnya karena luka bakar atau
pada penderita yang terganggu sistem imunitasnya -immunosupressed
patients- dapat diatasi dengan karbenisilin 12– 30 g/hari i.v., atau tikarsilin 200–
300 mg/kgBB/hari, dan biasanya dikombinasi dengan aminoglikosida seperti
gentamisin 5–7 mg/kgBB/hari i.m.

Narrow spectrum, resisten terhadap beta-laktamase


Terutama digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus yang
menghasilkan beta-laktamase. Termasuk dalam kelompok ini adalah metisilin,
oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, dan nafsilin.

Secara mikrobiologis, efek kelima antibiotika tersebut tidak berbeda. Namun


mengingat efek toksik metisilin relatif lebih besar, maka sebaiknya dipilih
kloksasilin atau fluklosasilin yang lebih aman. Diandingkan dengan kloksasilin,
efek gastrointestinal flukloksasilin lebih ringin.

Penisilin dalam kelompok ini relatif stabil dan diabsorpsi dengan baik di
gastrointestinal, highly protein-bound (>95%), sehingga dapat diberikan per
oral pada saat perut kosong, karena absorpsinya terganggu karena adanya
makanan. Untuk infeksi lokal yang disebabkan oleh stafilokokus dapat diberikan
3–4 x 250–500 mg per oral. Untuk infeksi sistemik karena stafilokokus dapat
diberikan nafsilin 8–12 g/hari i.v, diawali dengan 1–2 gr tiap 2–4 jam, masing-
masing selama 20–30 menit dalam infus dekstrosa 5%.

Broad spectrum, aminopenisilin


Efektif terhadap beberapa Gram (-): Hemofilus, Neisseria, E. coli dan P. mirabilis,
tetapi dirusak oleh enzim penisilinase. Tidak terdapat perbedaan efek klinik
antara ampisilin dan amoksisilin pada pemberian parenteral. Pada pemberian
per oral ampisilin dianjurkan diminum pada saat perut kosong (karena
absorpsinya terganggu oleh adanya makanan), dengan frekuensi 4 kali sehari.
Sedangkan amoksisilin dapat diberikan 3 kali sehari, dan absorpsinya dalam
traktus gastrointestinal lebih baik dibanding ampisilin, serta tidak terganggu
oleh adanya makanan maupun pH asam lambung. Di satu sisi ampisilin lebih
murah dibanding amoksisilin, tetapi mengingat frekuensi pemberiannya harus 4
kali sehari, umumnya ketaatan pasien untuk minum obat lebih buruk dibanding
pada pemberian amoksisilin.

Efek samping
 Efek samping penisilin bervariasi mulai dari yang ringan berupa ruam
kulit, reaksi alergi, hingga yang berat seperti erupsi kulit dan syok
anafilaksi. Insidensi reaksi anafilaksi relatif kecil, sekitar 2% di antara
100.000 penderita yang diterapi penisilin. Sedangkan erupsi kulit
morbiliform terjadi pada 3-5% penderita.
 Meskipun jarang dapat pula terjadi netropenia akibat penekanan
pada granulocyte-colony stimulating factor.
 Toksisitas pada ginjal relatif jarang, tetapi dapat pula terjadi nefritis
interstisialis yang umumnya disebabkan oleh metisilin. Gejalanya seperti
demam, macular rash, eosinofilia, proteinuria, hematuria, hingga anuria.
Jika terapi dihentikan, gejala akan menghilang (reversibel).
 Efek samping yang cukup serius seperti enterokolitis pseudomembranosa
dapat pula terjadi.
 Prokain penisilin dapat menyebabkan terjadinya sensasi pada sistema
saraf dan jantung, khususnya bila secara tidak sengaja prokain masuk ke
dalam darah saat pemberian injeksi
SEFALOSPORIN (CEPHALOSPORIN)
Sefalosporin merupakan antibiotika yang bersifat bakterisid yang aksi utamanya
mirip dengan penisilin. Sefalosporin bekerja dengan menghambat pembentukan
dinding sel bakteri pada fase akhir dengan terikat pada satu atau lebih Penicillin
Binding Proteins (PBPs) yang terdapat pada membrana sitoplasma di bawah
dinding sel bakteri.
Sebagian besar sefalosporin tersedia dalam bentuk parenteral. Meskipun
distribusinya cukup luas di seluruh tubuh, hanya beberapa yang dapat
menembus CSS dan mencapai kadar terapetik di otak pada kondisi meningitis.
Semua sefalopsorin, termasuk yang eliminasi utamanya melalui mekanisme
hepatal, memberikan konsentrasi yang cukup di dalam urin untuk terapi infeksi
saluran kencing. Kadar sefalosporin di dalam kandung empedu dapat lebih
tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam plasma. Sefalosporin
aminothiazolyl dapat menembus humor aqueous sehingga bermanfaat untuk
terapi infeksi pada mata. Dalam Tabel 3 dipresentasikan parameter farmako-
kinetika sefalosporin generasi I s/d III.

Sefalosporin umumnya dieliminasi melalui mekanisme renal dengan berbagai


tingkat sekresi tubuler dan filtrasi glomeruler. Tidak demikian halnya dengan
sefoperazon dan seftriakson yang sebagian besar diekskresi melalui rute bilier
(empedu).

Sefalosporin diklasifikasikan menurut generasi berdasarkan aktivitas


antimikrobanya. Sefalosporin Generasi I terutama aktif terhadap kuman Gram
positif dan sedikit Gram negatif, menghambat E. coli, P. mirabilis, dan K.
pneumoniae. Beberapa sefalosporin Generasi II, aktivitasnya meningkat
terhadap Haemophilus dan menghambat lebih banyak kuman Gram negatif.
Dibandingkan dengan Generasi I, aktivitasnya lebih lemah untuk stafilokokus.
Sefalosporin Generasi III makin lemah efeknya terhadap stafilokokus, tetapi
lebih aktif terhadap
streptokokus, Enterobacteriaceae, Nisseria, dan Heamophilus sp. Seftasidim dan
sefoperazone juga menghambat P. aeruginosa.
Tabel 3 Parameter farmakokinetika sefalosporin
Ikatan
SEFALOSPORI T1/2 protein Elimina Dimetaboli
N Oral i.v. (jam) (%) si sme

GENERASI I

– Ya 0,5 70 Ya, T Ya
Sefalotin
Sefazolin – Ya 2,0 85 Ya, T –

Sefaleksin Ya – 1,0 15 Ya, T –

Sefradin Ya Ya 0,5 18 Ya, T –

Sefadroksil Ya – 1,5 20 Ya, T –

Sefaklor Ya – 1,0 25 Ya, T Ya


GENERASI II

– Ya 0,7 70 Ya, T –
Sefamandol
Sefuroksim Ya Ya 1,7 35 Ya, T –

Sefoksitin – Ya 3,5-4,0 > 90 Ya, T –

Sefotetan – Ya 0,8 > 70 Ya, T –

GENERASI III

Ya (aktif)

– Ya 1,0 50 Ya, T

Sefotaksim
Seftizoksim – Ya 1,8 30 Ya, T
empedu(60
%)
Seftriakson – Ya 6-8 90 Ya, T

Moksalaktam – Ya 2,0 60 Ya, G

Sefiksim Ya – 3-4 75 Ya, T

Seftazidim – Ya 1,6-2 15 Ya, G
empedu
Sefoperason – Ya 2,0 85 Ya, T (75%)

G=Glomeruler; T=Tubuler

Sefalosporin Generasi I (First generation cephalosporin)


Spektrum antibakteri yang tergolong sefalosporin Generasi I hampir sama,
dengan sefalotin menghambat sebagian besar bakteri koken gram positif
(kecuali enterokokus), E. coli, Klebsiella, dan P. mirabilis. Sefalosporin Generasi I
digunakan untuk terapi infeksi traktus respiratorius, kulit, traktus urinarius,
selain juga untuk profilaksi pra bedah jantung atau prosedur pemasangan
prosthese pada bedah ortopedi.
Sefalotin tidak diabsorpsi pada pemberian oral dan menimbulkan rasa sangat
nyeri pada pemberian i.m. Oleh sebab itu pemberian dianjurkan i.v. Karena
waktu paruhnya yang sangat pendek, obat ini jarang lagi digunakan pada saat
ini.

Sefazolin daat diberikan baik secara i.m. maupun i.v. dan terdistribusi secara
luas dalam tubuh tetapi tidak menembus cairan serebrospinal. Klirens melalui
filtrasi glomeruler dan sekresi tubuler tanpa dimetabolisme.

Sefaleksin, sefadroksil, dan sefradin diabsorpsi secara baik pada pemberian oral
dengan distribusi luas ke sebagian besar jaringan tubuh termasuk tulang. Obat-
obat ini tidak dimetabolisme, sedangkan eliminasi melalui filtrasi glomeruler
dan sekresi tubuler. Pada keadaan gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis.
Obat yang dapat diberikan per oral, yaitu sefaklor, mengalami metabolisme ke
dalam bentuk inaktif di samping mengalami eliminasi via filtrasi glomeruler dan
sekresi tubuler.

Sefalosporin Generasi II (Second generation cephalosporin)


Sefamandol dan sefonisid lebih baik dari Generasi I khususnya terhadap Gram
negatif Haemophilus sp., E.coli, Klebsiellaa, dan enterobakter yang lain, tetapi
tidak dapat untuk mengatasi Pseudomonas atau Bacteroides. Dalam klinik
digunakan untuk infeksi intraabdominal, pneumonitis aspirasi dan infeksi pada
pelvis.
Sefamandol tidak diabsorpsi per oral dan tidak pula dimetabolisme. Eliminasi
utamanya melalui sekresi tubuler. Demikian pula halnya dengan sefuroksim
yang hanya dapat diberikan secara parenteral.

Pemberian sefoksitin terbatas dalam bentuk i.v. atau i.m. dengan distribusi yang
cukup baik di tubuh, tetapi kadarnya dalam CSS tidak kurang adekuat.

Sefalosporin Generasi III (Third generation cephalosporin)


Seftizoksim, seftriakson, dan sefotaksim dalam klinik digunakan untuk infeksi
nosokomial traktus respratorius, infeksi pada traktus urinarius,, infeksi kulit,
osteomyelitis, dan meningitis (karena dapat menembus CSS).

Sefotaksim sebagian dimetabolisme ke derivat desasetil, yang mempunyai


aktivitas antibakteri lebih rendah dibanding sefotaksim, tetapi lebih besar
daripada sefalosporin generasi I dan II. Metabolitnya memberikan efek sinergis
dengan sefotaksim dalam melawan berbagai mikroorganisme. Eliminasi terjadi
melalui sekresi tubuler dan dihambat oleh probenesid. Pada gagal ginjal, waktu
paruh dari obat induk dan metabolitnya meningkat.

Berbeda dengan sefalosporin yang lain, seftriakson memiliki waktu paruh yang
panjang, yaitu 6-8 jam. Ikatan plasma proteinnya (90%) tergantung pada kadar
obat dalam darah, dengan fraksi terbesar yaitu dalam bentuk bebas dengan
konsentrasi total yang lebih tinggi. Oleh sebab itu seftriakson dapat diberikan 1
kali sehari. Seftriakson tidak dimetabolisme, 60%nya diekskresi di kandung
empedu dan sisanya melalui ginjal. Dosis pemberian perlu disesuaikan jika
terjadi disfungsi hepar dan renal secara bersamaan.

Sefoperason dieliminasi baik oleh empedu (75%) maupun ginjal (25%). Sefiksim
diabsorpsi dengan baik per oral dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam.

Sefalosporin Generasi IV (Fourth generation cephalosporin)


Sepirom dan sefepim adalah sefalosporin generasi IV yang memiliki aktivitas
lebih baik terutama untuk kuman gram positif, menghambat P.aeruginosa dan
tidak terikat pada ß-laktamase tipe 1.
Penggunaan

Sebagai antibiotika spektrum luas (broad spectrum) sefalosporin memiliki rasio


terapetik/toksik yang tinggi, dalam arti bahwa batas antara dosis terapetik dan
dosis toksik sangat lebar. Meskipun efektif untuk berbagai jenis bakteri,
sefalosporin Generasi I dan II jarang digunakan sebagai antibiotika pilihan
pertama (first choice) karena antibiotika lain dengan efikasi yang sama dan jauh
lebih murah tersedia di pasaran. Sedangkan sefalosporin Generasi III telah
banyak dipilih sebagai first choice antibiotics khususnya untuk bakteri gram
negatif. Namun demikian mengingat harganya yang sangat mahal, penggunaan
sefalosporin Generasi III ini nampaknya akan cukup terbatas, khususnya di
negara-negara sedang berkembang.
Pemberian sefalosporin Generasi I secara parenteral banyak dilakukan untuk
profilaksi pada prosedur-prosedur pembedahan, seperti misalnya pemasangan
katup jantung, bedah jantung, bedah rekonstruksi pada aorta, total hip
replacement, bedah gastroduedenal dan traktus biliaris pada pasien risiko
tinggi, dan seksio caesar.
Di antara sefalosporin Generasi I, sefazolin lebih banyak digunakan karena
memberikan kadar obat dalam serum yang lebih tinggi di samping waktu paruh
eliminasinya yang juga lebih panjang. Pemberian dosis tunggal i.v. sesaat
sebelum dilakukan insisi pembedahan memberikan kadar yang cukup dalam
jaringan selama prosedur pembedahan. Pemberian antibiotika berikutnya
biasanya tidak diperlukan, apalagi jika dilakukan lebih dari 24 jam setelah
pembedahan.

Untuk sefalosporin Generasi II, sefoksitin umumnya digunakan untuk infeksi


intraabdominal, yang biasanya disebabkan oleh campuran antara bakteri
enterik gram negatif dan bakteri anaerob, termasuk kelompok Bacteroides
fragilis. Sefoksitin secara tunggal juga sama efektifnya dengan klindamisin
untuk infeksi yang di dapat di komunitas (community acquired infection).
Karena aktivitasnya yang lebih besar terhadap group Bacteroides
fragilis dibanding sefalosporin Generasi I, sefoksitin biasanya juga digunakan
untuk mencegah infeksi setelah apendiktomi atau bedah kolorektal.
Sefalosporin Generasi III memiliki efek yang lebih baik untuk beberapa jenis
meningitis. Sefotaksim dan moksalaktam efektif untuk meningitis yang
disebabkan oleh bakteri enterik Gram negatif, khususnya Eschericia coli,
Klebsiella dan Proteus. Sebagian besar sefalosporin Generasi III seperti
seftizoksim, seftriakson, dan seftazidim efektif terhadap meningitis yang
disebabkan oleh H. influenzae tipe B yang sering terjadi pada anak.
Penggunaan sefalosporin Generasi III umumnya didasarkan pada beberapa
keadaan berikut: (1) Infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten
terhadap antibiotika lain (misalnya penisilin, sefalosporin Generasi I, II), tetapi
masih sensitif terhadap sefalosporin Generasi III; (2) Jika diperlukan terapi
dengan aminoglikosida, tetapi karena pemberian dalam waktu lama akan
memberi risiko ototoksik dan nefrotoksik, maka dipilih sefalosporin Generasi III;
(3)

Efek samping

 Efek samping hampir sama dengan penisilin, tetapi relatif lebih jarang.
Insidensi syok anafilaksi juga rendah. Sekitar 5% individu yang pernah
mengalami reaksi anafilaksi dengan penisilin akan memiliki risiko reaksi
anafilaksi pada pemberian sefalosporin. Sefalosporin sebaiknya tidak
diberikan kepada penderita yang pernah mengalami reaksi
hipersensitivitas tipe cepat dan berat setelah pemberian penisilin.
 Sekitar 1% penderita yang diterapi dengan sefaklor mengalami demam,
nyeri sendi, dan oedema lokal.
 Sefoperazon dan moksalaktam dapat menyebabkan terjadinya reaksi
disulfiram jika pasien mengkonsumsi alkohol dan dapat juga menyebabkan
hipoprotrombinemia.
 Meskipun jarang, nefritis interstisialis bisa saja terjadi.
PENGHAMBAT ß-LACTAMASE

Dalam klinik tersedia kombinasi antara asam klavulanat (clavulanic acid)


dengan amoksisilin atau tikarsilin. Klavulanat diabsorpsi dengan baik di traktus
gastrointestinal dengan kadar puncak dalam plasma dicapai sekitar 1 jam
setelah pemberian per oral. Penggabungan asam klavulanat ke dalam sediaan
amoksisilin tidak berpengaruh terhadap farmakokinetika masing-masing obat.
Absorpsinya juga tidak terganggu dengan adanya susu, makanan, dan antasida
dalam lambung.
Pemberian asam klavulanat beserta tikarsilin secara i.v. akan secara cepat
didistribusikan ke dalam tubuh. Akumulasi obat terjadi pada kadar klirens
kreatinin < 10 ml/mnt. Klavulanat dapat mencapai seluruh bagian tubuh,
dengan kadar terapi yang cukup baik di telinga tengah, jaringan tonsil, sekret
sinus, empedu dan traktus urinarius.

Sulbaktam umumnya dikombinasikan dengan ampisilin untuk penggunaan


parenteral. Obat ini dapat juga dikombinasikan dengan sefoperazon. Profil
farmakokinetika sulbaktam mirip ampisilin, terdistrribusi secara luas di dalam
tubuh termasuk CSS pada kondisi meningitis. Obat ini tidak dimetabolisme dan
75% dosis ditemukan dalam urin. Pada gagal ginjal, waktu paruhnya meningkat
hingga 6 jam pada dewasa dan bayi baru lahir.

VANKOMISIN, TEIKOPLANIN, BASITRASIN


(VANCOMYCIN, TEICHOPLANIN, BACITRACIN)
Vankomisin dan basitrasin juga termasuk penghambat sintesis dinding sel
bakteri. Vankomisin merupakan antibiotika glikopeptida dengan berat molekul
1450. Vankomisin menghambat sintesis dinding sel bakteria dengan cara terikat
pada bagian akhir karboksil bebas dari pentapeptida.

Teikoplanin merupakan produk dari Actinoplanus teichomyceticus. Mekanisme


kerjanya menghambat polimerisasi peptidoglikan melalui interaksinya dengan
akhiran d-Ala-d-Ala dari muramilpentapeptida.
Farmakokinetika

Vankomisin tidak diabsorpsi melalui traktus gastrointestinal dan bersifat iritatif


pada pemberian i.m. Oleh sebab itu cara pemberiannya adalah melalui injeksi
i.v. Vankomisin dapat mencapai berbagai cairan tubuh termasuk empedu,
pleura, perikardium, periteneum dan sinovia serta menembus meninges jika
dalam keadaan inflamasi.

Vankomisin tidak dimetabolisme tetapi dieliminasi melalui filtrasi glomeruler.


Sekitar 90% dari obat dieliminasi melalui urin. Oleh sebab itu penyesuaian dosis
perlu dilakukan pada penerita yang mengalami penurunan fungsi ginjal, yaitu
didasarkan pada klirens kreatinin.

Teikoplanin dapat diberikan secara i.m atau per oral, memiliki waktu paruh yang
panjang, yaitu 50-100 jam. Sama halnya dengan vankomisin, teokoplanin juga
mencapai berbagai cairan tubuh, tetapi untuk mencapai kadar tunak (steady
state) diperlukan dosis pembebanan yang besar. Untuk menghindari efek
toksiknya maka pemberian vankomisin dan teikoplanin harus selalu dimonitor.
Basitrasin tidak dapat diberikan per parenteral karena terlalu toksik dan hanya
dapat diberikan secara topikal.

Penggunaan

Vankomisin dan teikoplanin hanya dianjurkan untuk infeksi berat, khususnya


yang disebabkan oleh stafilokokus pada penderita yang tidak tahan terhadap
penisilin. Kedua obat ini juga cocok pada infeksi stafilokokus yang resisten
terhadap metisilin. Infeksi yang memberi respon baik dengan vankomisin antara
lain adalah pneumonia, endokarditis, emfisema, osteomyelitis dan luka infeksi.
Pemberian per oral hanya dianjurkan untuk enterokolitis pseudomembranosa,
terutama yang disebabkan oleh Clostridium difficile. Karena terapi i.v untuk C.
difficile tidak adekuat maka pada pasien yang tidak bisa minum obat per oral
dianjurkan untuk diberikan metronidazol i.v.
Efek samping
Efek samping vankomisin dan basitrasin dapat dilihat pada Tabel 4 berikut

Tabel 4. Efek samping vankomisin dan basitrasin


Obat Efek samping

 Ototoksik
 Iritasi pada tempat injeksi
 Ruam kulit, hipotensi, nyeri dada
Vankomisin  Nefrotoksik jika diberikan bersama aminoglikosida

Basitrasin Nefrotoksik apabila memasuki sirkulasi sistemik


MAKROLID DAN LINKOSAMID (MACROLIDES AND LINCOSAMIDES)

Antibiotika golongan macrolide bekerja dengan menghambat sintesis protein


bakteri. Macrolide terikat pada ribosome sub unit 50S dan mencegah
pemanjangan rantai peptida. Macrolide bisa bersifat sebagai bakteriostatik atau
bakterisida, tergantung antara lain pada kadar obat serta jenis bakteri yang
dicurigai. Efek bakterisida terjadi pada kadar antibiotika yang lebih tinggi,
kepadatan bakteri yang relatif rendah, dan pertumbuhan bakteri yang cepat.
Aktivitas antibakterinya tergantung pada pH, meningkat pada keadaan netral
atau sedikit alkali.

ERITROMISIN

Merupakan antibiotika golongan makrolida yang didapat dari Streptomyces


erythereus. Terutama efektif untuk bakteri Gram +/-, mikoplasma, klamidia, dan
treponema. Eritromisin menjadi DOC untuk C. diphtheriae, Mycoplasma
pneumoniae, E. hystolitica, dan Chlamydia.
Mekanisme aksi

Eritromisin menghambat sintesis protein, mencegah translokasi rantai


polipeptida dengan meningkatkan diri pada posis P subunit 50s ribosoma.

Farmakokinetika

Eritromisin tersedia dalam bentuk estolat, stearat, etilsuksinat, dan basa.


Absorpsinya melalui traktus gastrointestinal baik, sehingga dapat diberikan per
oral. Eliminasi eritromisin terjadi melalui metabolisme hepatal. Penetrasi ke
dalam jaringan cukup baik dan kadarnya dalam CSS pada keadaan inflamasi
sekitar 25% dari kadarnya dalam darah.

Waktu paruh eritromisin sekitar 1 – 2 jam, dan kadarnya dalam darah


dipertahankan tetap hingga 6 jam. Mengingat ekskresi utamanya adalah
melalui hepar maka penggunaannya pada penderita periodontal hepar
sebaiknya dihindarkan atau jika harus diberikan harus ekstra hati-hati.

Pada anak, eritromisin estolat diabsorpsi lebih baik, jarang menyebabkan


hepatitis, dan lebih ditoleransi dibanding sediaan yang lain. Pada pasien
dewasa, eritromisin estolat tidak lagi dianjurkan karena menyebabkan hepatitis
kholestatik.

Dosis oral pada penderita dewasa adalah 4 x 250 – 500 mg per hari, sedang
pada anak 30– 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian. Dosis yang lebih
besar akan meningkatkan efek iritasi lambung dari eritromisin. Karena efek
iritasinya terhadap lambung, maka sebaiknya diberikan sesudah makan.
Pemberian per parenteral dianjurkan secara i.v, pada vena yang relatif besar,
melalui cairan infus untuk mencegah risiko tromboflebitis, dengan dosis 1 – 4
g/hari (dewasa) atau 50 mg/kgBB/hari (anak). Eritromisin meningkatkan efek &
toksisitas antikoagulan oral, karbamazepin, dan digoksin. Oleh sebab itu
pemberian bersama obat-obat tersebut perlu dihindari.

Efek samping

Efek samping yang sering terjadi adalah GI upset (iritasi lambung). Hepatitis
kolestatik, rash, demam, dan eosinofilia jarang terjadi.

Penggunaan Klinik

Selain untuk C. diphtheriae, Mycoplasma pneumoniae, E. hystolitica,


dan Chlamydia, eritromisin dan antibiotika makrolid lainnya umumnya
digunakan sebagai terapi kedua setelah penisilin pada penderita yang alergi
penisilin.
AZITROMISIN (AZITHROMYCIN)
Dibandingkan dengan eritromisin maka azitromisin lebih stabil dalam
lingkungan asam. Sekitar 37% dosis akan diabsorpsi, dan absorpsinya sangat
dipengaruhi oleh adanya makanan dalam lambung. Kadar obat dalam serum
relatif rendah oleh karena segera terdistribusi di jaringan-jaringan. Kadar
azitromisin tinggi pada sel-sel fagosit, makrofag, dan fibroblas dan dilepaskan
secara pelan-pelan.
Kadar terapetik azitromisin bisa ditemukan pada paru, jaringan genital, dan
hepar. Obat ini dieliminasi dalam bentuk tidak berubah dalam feces dan urin.
Pada usia lanjut atau pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, kadarnya
meningkat secara bermakna.

Indikasi pemberian azitromisin antara lain adalah:

(1) faringitis/tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus species.

(2) bronkhitis kronis eksaserbasi akut yang disebabkan oleh H. influenzae, M.


catarrhalis, Streptococcus pneumoniae;
(3) Pneumonia yang disebabkan oleh S. pneumoniae atau H. influenzae
(4) Infeksi kulit tanpa komplikasi yang disebabkan oleh S. aureus, S. pyognes;
dan
(5) Uretritis dan servisitis yang disebabkan oleh C. trachomatis
KLARITROMISIN (CHLARITHROMYCIN)
Obat ini sekitar 55% diabsorpsi melalui pemberian oral. Adanya makanan dalam
lambung akan meningkatkan absorpsi dan kadar dalam serum bisa melebihi
kadar yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Obat ini
didistribusikan secara luas di dalam tubuh antara lain ke paru, hepar, dan
jaringan lunak. Kadar dalam sel-sel fagosit sekitar 9 kali lebih besar daripada
kadarrnya di dalam serum.

Klaritromisin dimetabolisme menjadi derivat 14-hidroksi yang aktivitas


antibakterinya lebih besar daripada obat induknya. Sekitar 30% akan diekskresi
melalui urin dan sisanya melalui faeces. Waktu paruh eliminasi klaritromisin dan
metabolit aktifnya meningkat pada penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak
dipengaruhi oleh penyakit-penyakit hepar.

Indikasi penggunaan klaritromisin antara lain adalah:


(1) bronkhitis kronis eksaserbasi akut yang disebabkan oleh H. influenzae, M.
catarrhalis, Streptococcus pneumoniae;
(2) faringitis/tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
(3) Sinusitis maksilaris akut yang disebabkan oleh S. pneumoniae pada pasien
yang alergi penisilin

(4) Infeksi kulit tanpa komplikasi yang disebabkan oleh S. aureus atau S.
pyogenes
Klaritromisin tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil karena pada uji
binatang terbukti memberi efek teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga
harus sangat hati-hati mengingat obat ini juga diekskresi melalui air susu ibu.

ROKSITROMISIN (ROXITHROMYCIN)
Roksitromisin diabsorpsi dengan baik di saluran gastrointestinal, memiliki ikatan
yang tinggi dengan protein serum dan waktu paruhnya panjang.

LINKOSAMID (LINCOSAMIDES)
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok linkosamid adalah linkomisin dan
klindamisin. Linkosamid terutama bersifat bakteriostatik, tetapi dapat juga
bakterisid, tergantung pada kadar antibiotika, organisme penyebab dan
besarnya inokulum. Linkosamid aktif terhadap sebagian besar bakteria Gram
positif dan Gram negatif yang anaerobik.

Klindamisin lebih dipilih daripada linkomisin karena memiliki potensi antibakteri


yang lebih besar dan diabsorpsi lebih baik pada pemberian per oral. Obat ini
menjadi alternatif terapi untuk artritis septik dan osteomyelitis yang disebabkan
oleh S. aureus pada penderita umur lebih dari 3 tahun yang alergi terhadap
penisilin maupun sefalosporin.
Kombinasi antara klinidamisin dan pirimetamin bermanfaat untuk terapi
toksoplasmosis pada sistema saraf pusat.

TETRASIKLIN

Tetrasiklin berasal dari spesies streptomises. Sejak diperkenalkannya antibiotika


ini penggunaannya sangat luas, terutama karena harganya yang murah,
spektrumnya luas (broad spectrum), dan absorpsinya dalam traktus
gastrointestinal baik.
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, terutama efektif untuk Gram (+) aerob koken,
kecuali beberapa stafilokokus, streptokokus, & pneumokokus, resisten untuk
Gram (-) aerob, kecuali pseudomonas & enterobacteriaceae. Juga efektif untuk
riketsia, klaidia, dan treponema.

Secara umum antibiotika tetrasiklin terbagi atas 3 kelompok, yaitu yang aksi
pendek (short acting), aksi menengah (intermediate-acting) dan aksi panjang
(long-acting), yang disajikan dalam Tabel 5 berikut
Tabel 5 Nilai farmakokinetika

Absorpsi per Waktu paruh


Antibiotika oral (%) (jam)

SHORT ACTING 58 9

– oksitetrasiklin
77 8
– tetrasiklin

INTERMEDIATE ACTING
66 12
– demeklosilin

LONG ACTING

– Doksisiklin 93 18

– Minosiklin 95 16

Mekanisme aksi

Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri dengan cara terikat pada


ribosom 30s dan mencegah pembentukan rantai peptid.

Farmakokinetika

Absorpsi melalui GI tract umumnya tidak sempurna (± 70%), kecuali doksisiklin


dan minosiklin (± 90%). Pemberian per oral sebaiknya antara 2 makan. Absorpsi
dalam lambung memburuk dengan adanya susu atau antasida dan membentuk
khelat inaktif (tetrasiklin + logam). Waktu paruh antara tetrasiklin yang satu
dengan yang lain berbeda, sebagai contoh waktu paruh tetrasiklin dan
oksitetrasiklin adalah 8 jam, sedangkan minosiklin 12 jam, dan doksisiklin
sekitar 18 jam.

Setelah pemberian per oral, tetrasiklin akan didistribusi secara luas dalam
tubuh, terutama di gigi dan tulang yang sedang berkembang. Akibatnya jika
diberikan pada anak umur kurang dari 8 tahun dapat menimbulkan diskolorisasi
gigi dan hipoplasi enamel serta menghambat pertumbuhan tulang-tulang
panjang.

Penetrasi ke jaringan cukup baik, meskipun tidak terdapat inflamasi, namun


tidak dianjurkan untuk meningitis karena kadarnya di CSS hanya sekitar 10%
dibanding kadarnya dalam darah. Setelah pemberian per oral, kadarnya di
dalam tulang dan gigi cukup tinggi dan mampu mengikat kalsium. Oleh karena
itu tetrasiklin tidak dianjurkan pada anak kurang dari 8 tahun.

Penggunaan Klinik

Dibandingkan dengan tetrasiklin dan oksitetrasiklin, minosiklin dan doksisiklin


mempunyai efek antibakteri yang lebih baik, absorpsi dalam traktus
gastrointestinal juga lebih baik, dan lebih lama berada dalam darah. Dengan
demikian frekuensi pemberian minosiklin dan doksisiklin adalah 2 kali sehari,
dan ini meningkatkan ketaatan penderita untuk minum obat, meskipun
harganya lebih mahal.

Ketidakrasionalan penggunaan tetrasiklin sering terjadi terutama pada


pengobatan infeksi saluran pernafasan akut maupun diare akut non spesifik
yang sebagian besar disebabkan oleh virus. Untuk infeksi saluran pernafasan,
pemberian tetrasiklin hanya dianjurkan jika bakteri penyebabnya adalah M.
pneumoniae, atau penderita bronkhitis kronis yang mengalami eksaserbasi akut
sebagai akibat dari infeksi virus. Sedangkan untuk diare, tetrasiklin sebaiknya
hanya diberikan jika penyebabnya adalah shigela (shigelosis), atau vibrio
cholerae (kolera).
Karena dapat menghambat proliferasi Corynebacterium acnes, maka salah satu
indikasi penggunaan tetrasiklin adalah akne (jerawat0, pada dosis rendah, yaitu
250 – 500 mg sekali sehari. Namun perlu diingat, bahwa pemberian tetrasiklin
yang terlalu sering pada penderita akne akan meningkatkan risiko terjadinya
resistensi bakteri.
Efek samping

Efek samping tetrasiklin meliputi iritasi gastrointestinal (nausa, vomitus), dan


stomatitis. Penekanan pertumbuhan tulang (sementara), dikolorisasi gigi, dan
hipoplasia enamel terutama terjadi pada bayi dan anak < 8 tahun. Diskolorisasi
gigi hanya terjadi jika tetrasiklin diberikan pada periode mineralisasi
pembentukan gigi permanen. Mengingat bahwa tetrasiklin juga dapat
menembus plasenta dan mencapai sirkulasi janin, maka pemberiannya setelah
trimester I kehamilan harus dihindari.

KLORAMFENIKOL (CHLORAMPHENICOL)
Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1947, kloramfenikol yang berasal
dari spesies streptomises telah digunakan secara luas, karena spektrum
antibakterinya yang luas. Namun dalam perkembangannya, penggunaannya
menjadi terbatas karena ternyata menginduksi terjadinya aplasia sumsum
tulang, yang insidensinya diperkirakan sekitar 1 di antara 40.000 – 60.000
pengguna.

Mekanisme aksi

Kloramfenikol berdifusi ke dalam sel bakteri dan terikat pada subunit ribosom
50s sehingga mencegah ikatan asam amino yang mengandung aminoasit tRNA
ke akseptor ribosom 50s. Interaksi antara peptidil transferase dan substrat
asam amino pun gagal sehingga pembentukan peptida tidak terjadi.

Terhadap S. aureus & enterobakteriaceae, kloramfenikol bersifat bakteriostatik,


yaitu dengan menghambat sintesis protein pada tingkat ribosom. Sedangkan
terhadap H. influenzae, S. pneumoniae, N. meningitidis, bersifat bakterisid.
Farmakokinetika

Kloramfenikol diabsorpsi dengan baik dan cepat ditractus gastrointestinal


setelah pemberian per oral. Pada pemberian intravenosa 25 – 50 mg/kgBB/hari,
kadarnya dalam darah lebih rendah dibanding dengan setelah pemberian per
oral.

Distribusi kloramfenikol mencapai semua jaringan dan cairan tubuh, termasuk


sistema saraf pusat dan CSS. Di hepar kloramfenikol diinaktivasi melalui
konjugasi dengan asam glukoronat. Ekskresi kloramfenikol terutama terjadi
melalui filtasi glomeruler, sedang komponen inaktifnya melalui sekresi tubuler.

Penggunaan klinik

Kloramfenikol merupakan DOC untuk tifus abdominalis yang disebabkan oleh


Salmonella. Dosis yang dianjurkan adalah 2 – 3 gram (dewasa) atau 30 – 50
mg/kgBB (anak) per hari, per oral, terbagi dalam 4 dosis, diberikan selama 2 – 3
minggu untuk menghindari relaps.

Meningitis yang disebabkan oleh H. influenzae juga merupakan salah satu


indikasi penggunaan kloramfenikol. Dalam hal ini DOC nya adalah ampisilin,
sedang kloramfenikol adalah sebagai second line drug, jika terjadi resistensi
dengan ampisilin. Karena kadarnya dalam humor aqueous dan vitreous di mata
cukup baik, maka kloramfenikol juga digunakan untuk mengatasi infeksi mata
intraokuler.

Kontraindikasi

Penderita dengan lekopenia, trombositopenia, anemia berat tidak dianjurkan


untuk mendapat kloramfenikol. Wanita hamil sebaiknnya tidak mendapat
kloramfenikol, karena dapat menembus plasenta dan mencapai sirkulasi janin.
Pemberian kloramfenikol juga harus dicegah pada bayi prematur atau umur
kurang dari 2 minggu, karena hepar belum berfungsi sempurna.

Interaksi obat

Kloramfenikol memperpanjang waktu paruh klorpropamid, fenitoin, tolbutamid,


dan derivat warfarin.

Efek samping

Penekanan sumsum tulang (dose-related bone marrow supression) terutama


terjadi pada kelompok risiko tinggi, yaitu (1) pemberian pada dosis tinggi (>
4kg/hari); (2) terapi jangka panjang; (3) kadar kloramfenikol bebas dalam darah
> 20-25 ug/ml; (4) neonatus & penderita penyakit liver.

Untuk menghindari terjadinya penekanan sumsum tulang perlu dilakukan


monitoring terhadap setiap penderita yang mendapat kloramfenikol.
Pemeriksaan darah tepi setiap 2-3 hari sangat dianjurkan. Jika dalam monitoring
ditemukan tanda-tanda penekanan sumsum tulang, dosisi dikurangi atau obat
dihentikan sama sekali. Meskipun jarang yaitu 1 diantara 25.000, dapat pula
terjadi anemia aplastika setelah minum kloramfenikol selama beberapa waktu.

Gray baby syndrome dapat terjadi pada bayi prematur atau umur kurang dari 2
bulan karena (1) hepar belum matur, aktivitas glukoronil transferase untuk
mengkonjugasi kloramfenikol belum adekuat dan (2) ekskresi obat yang tidak
terkonjugasi melalui ginjal belum sempurna sehingga obat terakumulasi dalam
darah. Gray baby syndorme ditandai dengan vomitus, respirasi tidak normal,
sianosis, distensi abdomen, diikuti kolaps vasmotor, hipotermia, dan bayi
menjadi keabu-abuan akhirnya 40% diantaranya meninggal.

METRONIDAZOL
Merupakan antibiotik yang bakterisid untuk Trichomonas vaginalis, Giardia
lamblia, dan Entamoeba hystolitia. Metronidazol aktif terhadap bakteri anaerob
seperti B. fragilis, Bacteroides sp, dan Clostridium.
Farmakokinetika

Absorpsi setelah pemberian oral baik dan tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan dalam lambung. Obat mencapai cairan tubuh, pleura, vagina, dan CSS
(dengan inflasi) dn air susu dimetabolisme di hepar dan ekskresi utama melalui
ginjal.

Penggunaan klinik

Trikhomoiasis: single dose 2 g per oral memberi efek klinik yang sama dengan
dosis 3×250 mg 7 hari; terapi yang sama juga dilakukan terhadap partnernya.
Amoebiasis: 3×250 mg selama 5 hari. Jika disertai amoebasis hepar: 3×750 mg
selama 10 hari. Giardiasis: 3×250 mg (dewasa) atau 3×5 mg/kg BB (anak)
selama 5 hari.

Mengingat bahwa pada hewan uji pemberian metronidazol memberi efek


karsio-genik dan teratogenik, maka penggunaan pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan untuk menghindari efek tersebut.

Efek samping

 Alcohol intolerance, erjadi jika selama minum obat penderita


mengkonsumsi alkohol. Ditandai dengan nausea, vomitus, kejang
abdomen, dan nyeri kepala.
 Gejala gastrointestinal juga sering timbul (nausea, vomitus), oleh sebab
itu dianjurkan diminum sesudah makan.
 Neuropati perifer dapat terjdi pada pemberian dosis yang tinggi.
AMINOGLIKSOIDA

Aminoglikosida berasal dari Streptomyces griceus. Obat-obat yang tergolong


dalam kelompok aminoglikosida antara lain streptomisin, gentamisin, amikasin,
kanamisin, neomisin, dan paramomisin. Struktur kimia tidak berbeda antara
yang satu dengan yang lain, dengan efek utama sebagai bakterisid.
Mekanisme aksi

Pada keadaan aerobik aminoglikosida bersifat bakterisid, tetapi bagaimana


mekanisme sebenarnya, belum diketahui. Mekanisme kerjanya didasarkan pada
studi terhadap streptomisin. Streptomisin memblok sintesis protein bakteri
dengan terikat pada subunit ribosom 30s. Streptomisin yang terikat pada
ribosom ini menyebabkan urutan asam amino yang ada dibaca secara salah
pada rantai peptid bakteri. Protein yang abnormal ini kemudian memberi efek
yang fatal bagi bakteri.

Farmakokinetika

Aminoglikosoida larut di dalam air dan tidak dapat menembus barier jaringan
lipoprotein. Absorpsi di traktur gastrointestinal buruk, sehingga hanya dapat
diberikan per parenteral, kecuali neomicin dan paramomisin yang terdapat
dalam bentuk topikal. Waktu paruhnya berkisar 2-5 jam, eliminasi melalui filtrasi
glomeruler dalam bentuk yang tidak berubah. Penyesuaian dosis perlu
dilakukan untuk usia lanjut dan penderita kelainan ginjal untuk mencegah efek
nefro-toksik akibat akumulasi obat pada ginjal.

Aminoglikosida bersifat narrow toxic-therapeutic margin, yaitu batas antara


kadar terapik dan toksik sangat pendek, sehingga penggunaannya harus hati-
hati dan pemantauan yang terus menerus perlu dilakukan.
Kadar teritinggi dideteksi di korteksi ginjal, endolimfe & perilimfe telinga bagian
dalam, sehingga dapat bersifat nefrotoksik & ototoksik.

Efek samping

 Ototoksik, karena t 1/2 di cairan 5-6 x > besar dari plasma sehingga
dapat merusak bagian vestibuer dan auditori N VIII.
 Efek samping streptomisin & gentamisin terutama pada vestibuler,
sedangkan amikasin, kanamisin, neomisin pada fungsi auditus.
 Tobramisin memberi efek samping pada vestibule dan auditori, tetapi
lebih ringan dibanding gentimisin.
 Nefrotoksik, dimana 8-26% menyebabkan fungsi renal memburuk, namun
bersifat reversible, jika obat dihentikan. Mengingat bahwa neomisin sangat
nefrotoksik maka tidak digunakan secara sistemik, tetapi secara topikal.
GENTAMISIN

Terutama efek untuk Ps. Aeruginosa, E. coli, Proteus, Stafilokokus. Jika fungsi
ginjal normal, dosis per hari adalah 35 mg/kg BB i.m., dibagi dalam 3 dosis.
Efektif dalam kombinasi dengan penisilin, untuk septisemia oleh karena Gram
(-), atau jika ada kecurigaan bakteri anaerob terlibat, dapat dikombinasi dengan
metronidazol.

Untuk meningitis oleh karena Gram (-) diperlukan pemberian intra tekal oleh
karena obat tidak menembus CSS. Karena kadarnya dalam kornea dan humor
aqueous baik, gentamisin banyak digunakan untuk terapi topikal infeksi pada
mata. Pemberian secara topikal pada infeksi kulit dlam waktu lama perlu
dipertimbangkan, karena meningkatkan resiko resistensi.

Efek nefrotoksik gentamisin meningkat jika diberikan bersama sefaloporin atau


diuretika. Efek ototoksik meningkat pada pemberian bersama diuretika. Bukti in
vitro menunjukkan bahwa gentamisin menjadi inaktif oleh adanya karbenisilin,
penisilin, dan sefaleksin, sehingga jangan diicampur.

TOBRAMISIN
Sangat mirip gentamisin, dengan indikasi klinik terutama untuk bakteriemia,
osteomyelitis dan pneumonia karena pseudomonas. Dibandingkan dengan
gentamisin efek nefrotoksisik dan ototoksiknya lebih rendah. Secara in vitro
tobramisin 2-5 kali lebih baik dibandingkan dengan gentamisin khususnya untuk
infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Tobramisin digunakan untuk terapi infeksi berat yang disebabkan oleh basili
Gram negatif, misalnya enterobakter dan P. aeruginosa.
KUINOLON (QUINOLONES)
Sejak diperkenalkannya fluorinated quinolone yang pertama yaitu norfloksasin,
telah dikembangkan beberapa kuinolon baru. Kuinolon baru merupakan
antibiotika sintetik, yang secara struktural berkaitan erat dengan kuinolon
pendahulunya, asam nalidiksat (nalidixic acid). Yang termasuk dalam kelas ini
antara lain adalah siprofloksasin yang memiliki indikasi klinik terlebar.
FLUOROKUINOLON

Mekanisme aksi

Fluorokuinolon masuk ke dalam sel secara difusi pasif. Di dalam sel,


fluorokuinolon menghambat replikasi DNA bakteri dengan mempengaruhi aksi
DNA gyrase. Ini terjadi selama fase pertumbuhan dan reproduksi bakteri.

Semua antibiotika yang termasuk fluorokuinolon bersifat bakterisidal, terutama


efektif untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif seperti
enterobakter dan pseudomonas. Bakteri lain yang juga sensitif adalah H.
influenzae, M. catarrhalis, Legionella, Chlamydia, dan mikobakteria. Obat dalam
golongan ini juga efektif untuk gonorea tetapi tidak untuk sifilis. Tidak
dianjurkan untuk infeksi yang disebabkan oleh pneumokokus atau enterokokus.
Siprofloksasin (Cipprofloxacin)
Merupakan golongan fluorokuinolon yang paling poten dengan spektrum
antibakteri yang sama dengan norfloksasin. Obat ini efektif untuk terapi cystic
fibrosis yang disebabkan oleh pseudomonas. Meskipun efektif untuk berbagai
infeksi sistemik, obat ini tidak dianjurkan untuk infeksi berat yang disebabkan
oleh MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus), enterokokus dan
pneumokokus. Obat ini banyak digunakan sebagai pengganti aminoglikosida
yang relatif lebih toksik. Siprofloksasin mempunyai efek sinergis dengan ß-
laktam.
Norfloksasin (norfloxacin)
Obat ini efektif baik terhadap bakteri Gram negatif (termasuk Pseudomonas
aeruginosa) dan Gram positif untuk terapi infeksi saluran kencing yang disertai
maupun yang tidak disertai komplikasi, dan juga prostatitis, tetapi tidak
digunakan untuk infeksi sistemik.
Ofloksasin (ofloxacin)
Seperti halnya dengan norfloksasin, ofloksasin terutama digunakan untuk terapi
prostatitis yang disebabkan oleh E. coli dan penyakit seksual menular, kecuali
gonorea. Obat ini juga efektif untuk terapi infeksi pada kulit dan traktus
respiratorius bagian bawah.
Farmakokinetika

Hanya sekitar 35-70% norfloksasin diabsorpsi setelah pemberian per oral,


dibandingkan fluorokuinolon yang lain yang sekitar 70-90%. Dari seluruh
fluorokuinolon hanya siprofloksasin dan ofloksasin yang tersedia dalam bentui
injeksi i.v. Absorpsi fluorokuinolon dalam lambung terpengaruh oleh adanya
sukralfat, antasida berisi aluminium dan magnesium atau suplemen yang
mengandung besi atau zinc.

Fluorokuinolon didistribusi secara luas di dalam cairan tubuh. Kadarnya tinggi di


tulang, urine, ginjal, dan jaringan prostat. Kadarnya dalam paru melebihi
kadarnya dalam serum. Penetrasi ke dalam cairan serebrospinal rendah, kecuali
ofloksasin yang kadarnya bisa mencapai 90% kadar dalam serum.
Fluorokuinolon juga terakumulasi di makrofag dan leukosit polimorfonuklear.

Kecuali ofloksasin dan lomefloksasin, hanya sebagian dari fluorokuinolon yang


dimetabolisme menjadi komponen yang kurang aktif sebagai antimikroba. Obat
utama dan metabolit fluorokuinolon diekskresi melalui urin pada kadar yang
cukup tinggi. Waktu paruh obat adalah 3-5 jam, kecuali lomefloksasin yang
mencapai 8 jam. Gagal ginjal akan memperpanjang waktu paruh fluorokuinolon.

Efek samping

Efek samping yang menonjol adalah nausea, sakit


kepala, dizziness dan lightheadedness, dan fototoksik. Oleh sebab itu
penggunaannya pada penderita dengan gangguan sistema saraf pusat seperti
misalnya epilepsi, penggunaannya harus sangat hati-hati. Efek samping
kristaluria juga dilaporkan pada pemberian dosis yang tinggi.
Fluorokuinolon tidak boleh diberikan pada wanita hamil, ibu menyusui dan anak
umur kurang dari 18 tahun karena dari studi pada binatang ditemukan adanya
erosi kartilako artikuler (artropati).

Siprofloksasi dan ofloksasin dapat meningkatkan kadar teofilin dengan


menghambat metabolismenya. Selain itu juga dapat meningkatkan kadar
warfarin, kafein dan siklosporin.

KUINOLON (QUINOLONES).
ASAM NALIDIKSAT (NALIDIXIC ACID) merupakan nonfluorinated quinolone
yang memiliki mekanisme aksi yang sama dengan fluorokuinolon. Obat ini
efektif terhadap bakteri Gram negatif, terutama yang sering menyebabkan
infeksi saluran kencing. Penggunaan klinik obat ini relatif terbatas karena sering
ditemukannya strain yang resisten. Absorpsi pada pemberian oral baik, >90%
terikat pada protein, sedangkan kadar obat bebas dalam darah tidak cukup
adekuat untuk mengatasi infeksi sistemik.
Efek samping obat ini meliputi nausea, vomitus, nyeri abdominal, fototoksik dan
demam. Pemberian lebih dari 2 minggu dapat mempengaruhi fungsi hepar.

NITROFURANTOIN

Karena efek toksik dan termasuk antimikroba spektrum sempit, tidak lagi
digunakan untuk infeksi saluran kencing. Obat ini bersifat bakteriostatik,
terutama efektif untuk E.coli.Sebagian besar bakteri Gram negatif penyebab
infeksi traktus urinarius resisten terhadap obat ini. Saat ini penggunaan
nitrofurantoin sangat terbatas, dan lebih banyak digunakan sebagai antiseptik
pada traktus urinarius.
Obat ini diabsorpsi seccara lengkap setelah pemberian per oral dan ekskresinya
terjadi secara cepat melalui filtrasi glomeruler. Keberadaan obat ini
menyebabkan urin berwarna kecoklatan, yang ini sering mengejutkan penderita
jika tidak diberitahu sebelumnya.

Efek samping nitrofurantoin cukup beragam, mulai dari gangguan


gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Salah satu efek samping yang
cukup serius adalah pneumonitis akut, selain dapat juga menyebabkan fibrosis
pulmoner interstitial, khususnya jika terapi diberikan dalam jangka lama. Efek
samping neurologis juga sering dilaporkan, meliputi sakit kepala, nistagmus,
dan polineuropati..

Nitrofurantoin tidak boleh diberikan pada pasien dengan defisiensi glukosa-6


fosfat dehidrogenase, neonatus dan wanita hamil.

ANTAGONIS FOLAT
Koenzim asam folat diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor RNA
dan DNA) dan komponen lain yang diperlukan untuk pertumbuhan dan replikasi
sel. Jika tidak terdapat asam folat maka sel tidak dapat tumbuh atau membelah
diri. Obat golongan sulfa menghambat sintesis asam folat, sehingga bakteri
tidak dapat tumbuh.

SULFONAMIDA (SULFONAMIDES)
Semua sulfonamida yang digunakan dalam klinik secara struktur merupakan
analog sintetik dari PABA (para aminobenzoic acid). Selain perbedaan dalam
sifat fisik maupun kimia, obat-obat sulfonamida berbeda dari segi sifat
farmakokinetikanya.

Mekanisme aksi

Agar impermeabel terhadap asam folat, beberapa bakteri menggantungkan


hidupnya pada kemampuan untuk mensintesis folat dari PABA, pteridin, dan
glutamat. Sebaliknya, manusia tidak dapat mensintesis asam folat dan oleh
sebab itu harus memperolehnya melalui vitamin atau makanan. Karena
strukturnya mirip dengan PABA , sulfonamida berkompetisi dengan PABA pada
enzim dihidropteroat sintetase, sehingga menghambat sintesis asam folat.

Obat-obat sulfa, termasuk di dalamnya kotrimoksazol (berisi sulfametoksazol


dan trimetoprim) bersifat bakteriostatik. Obat-obat ini aktif terhadap beberapa
enterobakter, klamidia, pneumocystis, dan nokardia.
Farmakokinetika

Sebagian besar obat golongan sulfa diabsorpsi dengan baik setelah pemberian
per oral. Tidak demikian dengan sulfasalazine yang tidak diabsorpsi di traktus
gastrointestinal, sehingga lebih efektif untuk mengatasi penyakit-penyakit
radang usus kronis (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa). Ini terjadi karena
flora intestinum memecah sulfasalazin menjadi sulfapiridin dan 5-aminosalisilat.
Yang terakhir inilah yang memberikan efek sebagai antiinflamasi. Karena risiko
sensitisasi, sulfa tidak diberikan secara topikal.

Sulfa didistribusikan melalui cairan tubuh dan penetrasinya ke CSS baik,


meskipun tidak terdapat inflamasi di meninges. Obat-obat sulfa dapat
menembus barier plasenta dan ditemukan pula di air susu ibu. Sulfa terikat
pada albumin serum dalam sirkulasi.

Sulfa diekskresi melalui filtrasi glomeruler. Oleh sebab itu penekanan fungsi
ginjal akan menyebabkan akumulasi, baik obat utama maupun metabolitnya.

Efek samping

Efek nefrotoksik terjadi karena timbulnya kristaluria, yang ini sebetulnya dapat
dicegah dengan cara minum yang banyak dan alkalinisasi urin. Sediaan obat
yang baru seperti fulfisoksazol dan sulfametoksazol lebih larut dalam pH urin
dibandingkan sulfonamida yang ada, di samping juga lebih kecil risikonya untuk
terjadinya kristaluria.

Reaksi hipersensitivitas seperti ruam, angioedema, dan sindroma Stevens-


Johnson relatif sering terjadi. Untuk sindroma Stevens-Johnson umumnya terjadi
setelah pemberian sulfa aksi panjang. Anemia hemolitik dapat terjadi pada
penderita dengan defisiensi G-6 PD (glucose 6-phosphate dehydrogenase),
selain dapat juga terjadi granulositopenia dan trombositopenia.

Jika diberikan pada bayi baru lahir, sulfa dapat menyebabkan terjadinnya
kernikterus karena sulfa memindahkan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin serum. Akibatnya bilirubin akan berada bebas di dalam darah dan
memasuki sistema saraf sentral.

Sulfa tidak boleh diberikan pada bayi baru lahir dan bayi umur kurang dari 2
bulan, ibu hamil aterm karena risiko terjadinya kern ikterus.

TRIMETOPRIM
Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase bakteri.
Efek antibakterinya sama dengan sulfonamid, tetapi dalam klinik lebih sering
digabung dengan sulfametoksazol menjadi kotrimoksazol.

Mekanisme aksi

Bentuk aktif folat adalah derivat tetrahidro, yang dibentuk melalui reduksi
dihidrofolat reduktase. Reaksi enzim ini dihambat oleh trimetoprim,
menyebabkan berkurangnya koensim folat untuk sintesis purin, pirimidin dan
asam amino.

Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, tetapi


trimetoprim 20-50 kali lebih poten dari sulfonamida. Trimetoprim dapat
digunakan secara sendiri pada infeksi saluran kencing akut ataupun prostatitis
bakterial.

Farmakokinetika
Sifat farmakokinetika trimetoprim mirip dengan sulfametoksazol, tetapi
kadarnya dapat jauh lebih tinggi pada keadaan prostat yang pHnya asam dan
cairan vagina.

Efek samping

Efek samping trimetoprim meliputi anemia megaloblastik, leukopenia dan


granulositopenia.

KOTRIMOKSAZOL (CO-TRIMOXAZOLE)
Kotrimoksazol yang berisi sulfametoksazol dan trimetoprim memberikan efek
antibakteri yang lebih besar dibandingkan jika masing-masing diberikan sendiri.
Kombinasi ini didasarkan antara lain pada kesamaan sifat farmakokinetikanya.
Kombinasi antimikroba ini memperluas spektrum antibakterinya.

Trimetoprim lebih bersifat larut dalam lemak dibandingkan dengan


sulfametoksazol dan mempunyai volume distribusi yang lebih luas. Pemberian 1
bagian trimetoprim dan 5 bagian sulfametoksazol menghasilkan rasio obat
dalam plasma berupa 1 bagian trimetoprim dan 20 bagian sulfametoksazol.
Perbandingan ini memberikan efek yang optimal sebagai antimikroba.
Kotrimoksazol umumnya diberikan dalam bentuk oral. Sediaan injeksi i.v. hanya
diberikan untuk pneumonia berat, yang terutama disebabkan
oleh Pneumocystis carinii.
Indikasi pemberian terutama untuk infeksi pada saluran kencing, karena kadar
trimetoprim ditemukan tinggi di prostat dan cairan vagina.

Efek samping berupa ruam kulit sering terjadi, dan bisa cukup berat pada orang
tua. Nausea, vomitus, glositis dan stomatitis relatif jarang terjadi. Efek samping
lain dapat berupa anemia megaloblastik, leukopenia, dan trombositopenia.
Anemia hemolitik dapat terjadi pada penderita defisiensi G-6 PD.

Pemberian kotrimoksazol akan memperpanjang prothrombin times pada


penderita yang mendapat terapi warfarin

Anda mungkin juga menyukai