PENGANTAR
Obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri lazim disebut sebagai
antibiotika atau lebih luas lagi, antimikroba. Antibiotika merupakan substansi
kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang lain. Sedangkan antimikroba memiliki arti yang lebih luas
lagi karena juga mencakup substansi kimia yang dihasilkan melalui proses
sintesis di laboratorium.
Sebagian besar antimikroba yang digunakan pada saat ini diproduksi melalui
sintesis kimiawi, oleh sebab itu biasa disebut sebagai antibiotika sintetik.
Dengan demikiian maka perbedaan arti antara antibiotika dan antimikroba pada
saat ini sudah tidak diperdebatkan lagi, karena yang dimaksud adalah substansi
kimiawi yang dapat digunakan untuk mengatasi infeksi bakterial. Dalam tulisan
ini akan dibahas mekanisme utama, sifat-sifat farmakologi, hingga penggunaan
antibiotika atau antimikroba dalam praktek.
TUJUAN
Lippincott-Raven, Philadelphia.
2. American Medical Association (1994) AMA Drug Evaluations. Annual
1994. American Medical Association, the United States of America.
3. Brody TM, Larner JL, Minneman KP, Neu HC. (1994) Human
Pharmacology. Molecular to Clinical, 2 ed., Mosby, Baltimore.
nd
Definisi
Klasifikasi
Penisilin Tetrasiklin
Aminoglikosida Asam fusidat
Sefalosporin Sulfonamida
Kotrimoksazol Kloramfenikol
Isoniazid PAS
Rifampisin Linkomisin
Vankomisin Klindamisin
Sejak pertama kali diteliti oleh Fleming pada tahun 1929 melalui koloni
stafilokokus yang terkontaminasi Penisilium, penisilin menjadi antibiotika
pertama yang digunakan dalam klinik secara luas. Batas antara dosis terapi dan
dosis toksik sangat lebar, sehingga relatif aman dibanding antibiotika yang lain.
Penisilin kurang poten terhadap bakteri gram negatif, dan sebagian besar
dirusak oleh beta-laktamase (penisilinase). Beta-laktamase biasanya dihasilkan
oleh Stafilokokus aureus, beberapa E. coli, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas
aeruginosa.
Secara umum penisilin didistribusikan dengan baik ke seluruh bagian tubuh,
mencapai kadar terapetik di pleura, peritoneal, abses, dan cairan sinovial.
Distribusi ke mata dan otak relatif sedikit, sedangkan kadarnya di urin cukup
tinggi. Kadar penisilin di cairan serebrospinal kurang dari 1% dari nilai plasma
pada kondisi meninges yang tidak inflamasi, dan kadar ini meningkat hinggga
5% kadar dalam plasma, selama proses inflamasi.
Pengelompokan penisilin
Berdasarkan aksinya:
1. Aktif terhadap Gram (+), dirusak oleh beta-laktamase, misal: penisilin G
2. Relatif stabil terhadap asam lambung sehingga dapat diberikan dalam
bentuk oral, misal: penisilin V, ampisilin, kloksasilin
3. Aktif terhadap Gram (+), resisten terhadap stafilokokus penghasil beta-
laktamase, misal: metisilin, nafsilin
4. Relatif aktif terhadap Gram (+) & (-), dirusak oleh beta-laktamase, misal:
tikarsilin, karbenisilin
Berdasarkan spektrum antibakteri:
1. Narrow spectrum, sensitif terhadap beta-laktamase misal: penisilin G
(bensil-penisilin), benzatin penisilin, prokain penisilin, penisilin V
(fenoksimetil-penisilin)
2. Narrow spectrum, resisten terhadap beta-laktamase misal: metisilin,
oksasilin, nafsilin, kloksasilin, dikloksasin
3.Broad spectrum, aminopenisilin misal: ampisilin, amoksisilin
4.Extended spectrum, antipseudomonas, misal: karbenisilin, tikarsilin,
piperasilin
Mekanisme aksi
Farmakokinetika
Sebagian besar penisilin hanya dapat diberikan per parenteral karena dirusak
oleh asam lambung, kecuali penisilin V, amoksisilin, ampisilin, dan flukloksasilin
yang dapat diberikan per oral. Ampisilin sebaiknya diberikan pada saat perut
kosong atau di antara 2 makan, karena absorpsinya terganggu oleh adanya
makanan dalam lambung.
Di dalam tubuh, penisilin terdistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan
tubuh, dengan penetrasi ke persendian, pleura, dan mata, terutama jika terjadi
radang (inflamasi). Seperti halnya antibiotika pada umumnya, konsentrasi
penisilin di dalam cairan serebrospinal (CSS) dan penetrasinya ke jaringan
tergantung pada ikatan obat pada protein serum. Sebagai contoh protein
binding dari oksasilin dan nafsilin relatif tinggi (>90%), dengan penetrasi ke CSS
yang buruk. Sedangkan protein binding dari ampisilin (± 30%) relatif rendah,
dan penetrasi ke CSS jauh lebih baik.
Penisilin termasuk very low dose-related toxicity (efek toksik obat karena
penambahan dosis, relatif kecil). Dengan demikian, penambahan dosis untuk
meningkatkan konsentrasinya dalam jaringan yang inflamsi jarang
menimbulkan efek samping.
Sebagian besar penisilin mengalami sirkulasi enterohepatik (setelah ekskresi
bilier, diabsorpsi di usus halus dan diekskresi melalui ginjal). Dengan demikian
kadarnya di kandung empedu relatif tinggi, kecuali jika terjadi obstruksi bilier.
Ekskresi penisilin melalui sekresi tubular dapat dihambat oleh probenesid.
Dengan menambahkan probenesid 1 gr tiap 12 jam, kadar penisilin di dalam
darah dapat dipertahankan tetap tinggi, dan ekskresinya di tunda. Keadaan ini
menguntungkan untuk mengatasi infeksi yang memerlukan kadar antibiotika
yang tetap tinggi dalam satu periode waktu.
Efek samping
Hampir semua penisilin dapat memberi risiko efek samping alergi atau
hipersensitivitas, mulai dari yang tipe cepat (dimediasi oleh IgE) seperti
urtikaria, wheezing, dan anafilaksi, hingga yang tipe lambat seperti ruam kulit
dan sindroma serum sickness. Efek samping yang lain dapat berupa nefritis
interstitial, anemia hemolitik, netropenia, pansitopenia, eosinofilia, drug fever,
dan vaskulitis.
PENISILIN G DAN V
Penisilin G tidak stabil dalam kondisi asam dan secara cepat terhidrolisis di
dalam lambung yang berisi makanan. Penisilin yang tidak dapat terabsorpsi ini
akan dirusak oleh bakteri dalam colon. Oleh sebab itu penisilin G hanya dapat
diberikan per parenteral. Sebaliknya, penisilin V tahan dalam suasana asam dan
diabsorpsi dengan baik di lambung, meskipun terdapat makanan di dalamnya.
Setelah pemberian injeksi i.m, kadar puncak penisilin-G dicapai dalam waktu
15-30 menit tetapi segera turun karena obat secara cepat dieliminasi melalui
ginjal. Waktu paruh (t 1/2 ) sekitar 30 menit. Penisilin-prokain merupakan
campuran equimolar antara penisilin dengan prokain. Dalam bentuk ini kadar
puncak tertunda hingga 1-3 jam.
Kadar penisilin-G dalam serum dan jaringan masih tetap ada hingga 12 jam
pada pemberian 300.000 unit dan hingga bebeerapa hari pada pemberian 2,4
juta unit.
Benzatin penisilin merupakan kombinasi antara 1 mol penisilin dan 2 mol basa
amonium, yang kadarnya masih tetap dapat terdeteksi dalam plasma hingga
15-30 hari.
Sepsis yang disebabkan oleh pseudomonas (misalnya karena luka bakar atau
pada penderita yang terganggu sistem imunitasnya -immunosupressed
patients- dapat diatasi dengan karbenisilin 12– 30 g/hari i.v., atau tikarsilin 200–
300 mg/kgBB/hari, dan biasanya dikombinasi dengan aminoglikosida seperti
gentamisin 5–7 mg/kgBB/hari i.m.
Penisilin dalam kelompok ini relatif stabil dan diabsorpsi dengan baik di
gastrointestinal, highly protein-bound (>95%), sehingga dapat diberikan per
oral pada saat perut kosong, karena absorpsinya terganggu karena adanya
makanan. Untuk infeksi lokal yang disebabkan oleh stafilokokus dapat diberikan
3–4 x 250–500 mg per oral. Untuk infeksi sistemik karena stafilokokus dapat
diberikan nafsilin 8–12 g/hari i.v, diawali dengan 1–2 gr tiap 2–4 jam, masing-
masing selama 20–30 menit dalam infus dekstrosa 5%.
Efek samping
Efek samping penisilin bervariasi mulai dari yang ringan berupa ruam
kulit, reaksi alergi, hingga yang berat seperti erupsi kulit dan syok
anafilaksi. Insidensi reaksi anafilaksi relatif kecil, sekitar 2% di antara
100.000 penderita yang diterapi penisilin. Sedangkan erupsi kulit
morbiliform terjadi pada 3-5% penderita.
Meskipun jarang dapat pula terjadi netropenia akibat penekanan
pada granulocyte-colony stimulating factor.
Toksisitas pada ginjal relatif jarang, tetapi dapat pula terjadi nefritis
interstisialis yang umumnya disebabkan oleh metisilin. Gejalanya seperti
demam, macular rash, eosinofilia, proteinuria, hematuria, hingga anuria.
Jika terapi dihentikan, gejala akan menghilang (reversibel).
Efek samping yang cukup serius seperti enterokolitis pseudomembranosa
dapat pula terjadi.
Prokain penisilin dapat menyebabkan terjadinya sensasi pada sistema
saraf dan jantung, khususnya bila secara tidak sengaja prokain masuk ke
dalam darah saat pemberian injeksi
SEFALOSPORIN (CEPHALOSPORIN)
Sefalosporin merupakan antibiotika yang bersifat bakterisid yang aksi utamanya
mirip dengan penisilin. Sefalosporin bekerja dengan menghambat pembentukan
dinding sel bakteri pada fase akhir dengan terikat pada satu atau lebih Penicillin
Binding Proteins (PBPs) yang terdapat pada membrana sitoplasma di bawah
dinding sel bakteri.
Sebagian besar sefalosporin tersedia dalam bentuk parenteral. Meskipun
distribusinya cukup luas di seluruh tubuh, hanya beberapa yang dapat
menembus CSS dan mencapai kadar terapetik di otak pada kondisi meningitis.
Semua sefalopsorin, termasuk yang eliminasi utamanya melalui mekanisme
hepatal, memberikan konsentrasi yang cukup di dalam urin untuk terapi infeksi
saluran kencing. Kadar sefalosporin di dalam kandung empedu dapat lebih
tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam plasma. Sefalosporin
aminothiazolyl dapat menembus humor aqueous sehingga bermanfaat untuk
terapi infeksi pada mata. Dalam Tabel 3 dipresentasikan parameter farmako-
kinetika sefalosporin generasi I s/d III.
GENERASI I
– Ya 0,5 70 Ya, T Ya
Sefalotin
Sefazolin – Ya 2,0 85 Ya, T –
– Ya 0,7 70 Ya, T –
Sefamandol
Sefuroksim Ya Ya 1,7 35 Ya, T –
GENERASI III
Ya (aktif)
– Ya 1,0 50 Ya, T
–
Sefotaksim
Seftizoksim – Ya 1,8 30 Ya, T
empedu(60
%)
Seftriakson – Ya 6-8 90 Ya, T
–
Moksalaktam – Ya 2,0 60 Ya, G
–
Sefiksim Ya – 3-4 75 Ya, T
–
Seftazidim – Ya 1,6-2 15 Ya, G
empedu
Sefoperason – Ya 2,0 85 Ya, T (75%)
G=Glomeruler; T=Tubuler
Sefazolin daat diberikan baik secara i.m. maupun i.v. dan terdistribusi secara
luas dalam tubuh tetapi tidak menembus cairan serebrospinal. Klirens melalui
filtrasi glomeruler dan sekresi tubuler tanpa dimetabolisme.
Sefaleksin, sefadroksil, dan sefradin diabsorpsi secara baik pada pemberian oral
dengan distribusi luas ke sebagian besar jaringan tubuh termasuk tulang. Obat-
obat ini tidak dimetabolisme, sedangkan eliminasi melalui filtrasi glomeruler
dan sekresi tubuler. Pada keadaan gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis.
Obat yang dapat diberikan per oral, yaitu sefaklor, mengalami metabolisme ke
dalam bentuk inaktif di samping mengalami eliminasi via filtrasi glomeruler dan
sekresi tubuler.
Pemberian sefoksitin terbatas dalam bentuk i.v. atau i.m. dengan distribusi yang
cukup baik di tubuh, tetapi kadarnya dalam CSS tidak kurang adekuat.
Berbeda dengan sefalosporin yang lain, seftriakson memiliki waktu paruh yang
panjang, yaitu 6-8 jam. Ikatan plasma proteinnya (90%) tergantung pada kadar
obat dalam darah, dengan fraksi terbesar yaitu dalam bentuk bebas dengan
konsentrasi total yang lebih tinggi. Oleh sebab itu seftriakson dapat diberikan 1
kali sehari. Seftriakson tidak dimetabolisme, 60%nya diekskresi di kandung
empedu dan sisanya melalui ginjal. Dosis pemberian perlu disesuaikan jika
terjadi disfungsi hepar dan renal secara bersamaan.
Sefoperason dieliminasi baik oleh empedu (75%) maupun ginjal (25%). Sefiksim
diabsorpsi dengan baik per oral dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam.
Efek samping
Efek samping hampir sama dengan penisilin, tetapi relatif lebih jarang.
Insidensi syok anafilaksi juga rendah. Sekitar 5% individu yang pernah
mengalami reaksi anafilaksi dengan penisilin akan memiliki risiko reaksi
anafilaksi pada pemberian sefalosporin. Sefalosporin sebaiknya tidak
diberikan kepada penderita yang pernah mengalami reaksi
hipersensitivitas tipe cepat dan berat setelah pemberian penisilin.
Sekitar 1% penderita yang diterapi dengan sefaklor mengalami demam,
nyeri sendi, dan oedema lokal.
Sefoperazon dan moksalaktam dapat menyebabkan terjadinya reaksi
disulfiram jika pasien mengkonsumsi alkohol dan dapat juga menyebabkan
hipoprotrombinemia.
Meskipun jarang, nefritis interstisialis bisa saja terjadi.
PENGHAMBAT ß-LACTAMASE
Teikoplanin dapat diberikan secara i.m atau per oral, memiliki waktu paruh yang
panjang, yaitu 50-100 jam. Sama halnya dengan vankomisin, teokoplanin juga
mencapai berbagai cairan tubuh, tetapi untuk mencapai kadar tunak (steady
state) diperlukan dosis pembebanan yang besar. Untuk menghindari efek
toksiknya maka pemberian vankomisin dan teikoplanin harus selalu dimonitor.
Basitrasin tidak dapat diberikan per parenteral karena terlalu toksik dan hanya
dapat diberikan secara topikal.
Penggunaan
Ototoksik
Iritasi pada tempat injeksi
Ruam kulit, hipotensi, nyeri dada
Vankomisin Nefrotoksik jika diberikan bersama aminoglikosida
ERITROMISIN
Farmakokinetika
Dosis oral pada penderita dewasa adalah 4 x 250 – 500 mg per hari, sedang
pada anak 30– 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian. Dosis yang lebih
besar akan meningkatkan efek iritasi lambung dari eritromisin. Karena efek
iritasinya terhadap lambung, maka sebaiknya diberikan sesudah makan.
Pemberian per parenteral dianjurkan secara i.v, pada vena yang relatif besar,
melalui cairan infus untuk mencegah risiko tromboflebitis, dengan dosis 1 – 4
g/hari (dewasa) atau 50 mg/kgBB/hari (anak). Eritromisin meningkatkan efek &
toksisitas antikoagulan oral, karbamazepin, dan digoksin. Oleh sebab itu
pemberian bersama obat-obat tersebut perlu dihindari.
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi adalah GI upset (iritasi lambung). Hepatitis
kolestatik, rash, demam, dan eosinofilia jarang terjadi.
Penggunaan Klinik
(4) Infeksi kulit tanpa komplikasi yang disebabkan oleh S. aureus atau S.
pyogenes
Klaritromisin tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil karena pada uji
binatang terbukti memberi efek teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga
harus sangat hati-hati mengingat obat ini juga diekskresi melalui air susu ibu.
ROKSITROMISIN (ROXITHROMYCIN)
Roksitromisin diabsorpsi dengan baik di saluran gastrointestinal, memiliki ikatan
yang tinggi dengan protein serum dan waktu paruhnya panjang.
LINKOSAMID (LINCOSAMIDES)
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok linkosamid adalah linkomisin dan
klindamisin. Linkosamid terutama bersifat bakteriostatik, tetapi dapat juga
bakterisid, tergantung pada kadar antibiotika, organisme penyebab dan
besarnya inokulum. Linkosamid aktif terhadap sebagian besar bakteria Gram
positif dan Gram negatif yang anaerobik.
TETRASIKLIN
Secara umum antibiotika tetrasiklin terbagi atas 3 kelompok, yaitu yang aksi
pendek (short acting), aksi menengah (intermediate-acting) dan aksi panjang
(long-acting), yang disajikan dalam Tabel 5 berikut
Tabel 5 Nilai farmakokinetika
SHORT ACTING 58 9
– oksitetrasiklin
77 8
– tetrasiklin
INTERMEDIATE ACTING
66 12
– demeklosilin
LONG ACTING
– Doksisiklin 93 18
– Minosiklin 95 16
Mekanisme aksi
Farmakokinetika
Setelah pemberian per oral, tetrasiklin akan didistribusi secara luas dalam
tubuh, terutama di gigi dan tulang yang sedang berkembang. Akibatnya jika
diberikan pada anak umur kurang dari 8 tahun dapat menimbulkan diskolorisasi
gigi dan hipoplasi enamel serta menghambat pertumbuhan tulang-tulang
panjang.
Penggunaan Klinik
KLORAMFENIKOL (CHLORAMPHENICOL)
Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1947, kloramfenikol yang berasal
dari spesies streptomises telah digunakan secara luas, karena spektrum
antibakterinya yang luas. Namun dalam perkembangannya, penggunaannya
menjadi terbatas karena ternyata menginduksi terjadinya aplasia sumsum
tulang, yang insidensinya diperkirakan sekitar 1 di antara 40.000 – 60.000
pengguna.
Mekanisme aksi
Kloramfenikol berdifusi ke dalam sel bakteri dan terikat pada subunit ribosom
50s sehingga mencegah ikatan asam amino yang mengandung aminoasit tRNA
ke akseptor ribosom 50s. Interaksi antara peptidil transferase dan substrat
asam amino pun gagal sehingga pembentukan peptida tidak terjadi.
Penggunaan klinik
Kontraindikasi
Interaksi obat
Efek samping
Gray baby syndrome dapat terjadi pada bayi prematur atau umur kurang dari 2
bulan karena (1) hepar belum matur, aktivitas glukoronil transferase untuk
mengkonjugasi kloramfenikol belum adekuat dan (2) ekskresi obat yang tidak
terkonjugasi melalui ginjal belum sempurna sehingga obat terakumulasi dalam
darah. Gray baby syndorme ditandai dengan vomitus, respirasi tidak normal,
sianosis, distensi abdomen, diikuti kolaps vasmotor, hipotermia, dan bayi
menjadi keabu-abuan akhirnya 40% diantaranya meninggal.
METRONIDAZOL
Merupakan antibiotik yang bakterisid untuk Trichomonas vaginalis, Giardia
lamblia, dan Entamoeba hystolitia. Metronidazol aktif terhadap bakteri anaerob
seperti B. fragilis, Bacteroides sp, dan Clostridium.
Farmakokinetika
Absorpsi setelah pemberian oral baik dan tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan dalam lambung. Obat mencapai cairan tubuh, pleura, vagina, dan CSS
(dengan inflasi) dn air susu dimetabolisme di hepar dan ekskresi utama melalui
ginjal.
Penggunaan klinik
Trikhomoiasis: single dose 2 g per oral memberi efek klinik yang sama dengan
dosis 3×250 mg 7 hari; terapi yang sama juga dilakukan terhadap partnernya.
Amoebiasis: 3×250 mg selama 5 hari. Jika disertai amoebasis hepar: 3×750 mg
selama 10 hari. Giardiasis: 3×250 mg (dewasa) atau 3×5 mg/kg BB (anak)
selama 5 hari.
Efek samping
Farmakokinetika
Aminoglikosoida larut di dalam air dan tidak dapat menembus barier jaringan
lipoprotein. Absorpsi di traktur gastrointestinal buruk, sehingga hanya dapat
diberikan per parenteral, kecuali neomicin dan paramomisin yang terdapat
dalam bentuk topikal. Waktu paruhnya berkisar 2-5 jam, eliminasi melalui filtrasi
glomeruler dalam bentuk yang tidak berubah. Penyesuaian dosis perlu
dilakukan untuk usia lanjut dan penderita kelainan ginjal untuk mencegah efek
nefro-toksik akibat akumulasi obat pada ginjal.
Efek samping
Ototoksik, karena t 1/2 di cairan 5-6 x > besar dari plasma sehingga
dapat merusak bagian vestibuer dan auditori N VIII.
Efek samping streptomisin & gentamisin terutama pada vestibuler,
sedangkan amikasin, kanamisin, neomisin pada fungsi auditus.
Tobramisin memberi efek samping pada vestibule dan auditori, tetapi
lebih ringan dibanding gentimisin.
Nefrotoksik, dimana 8-26% menyebabkan fungsi renal memburuk, namun
bersifat reversible, jika obat dihentikan. Mengingat bahwa neomisin sangat
nefrotoksik maka tidak digunakan secara sistemik, tetapi secara topikal.
GENTAMISIN
Terutama efek untuk Ps. Aeruginosa, E. coli, Proteus, Stafilokokus. Jika fungsi
ginjal normal, dosis per hari adalah 35 mg/kg BB i.m., dibagi dalam 3 dosis.
Efektif dalam kombinasi dengan penisilin, untuk septisemia oleh karena Gram
(-), atau jika ada kecurigaan bakteri anaerob terlibat, dapat dikombinasi dengan
metronidazol.
Untuk meningitis oleh karena Gram (-) diperlukan pemberian intra tekal oleh
karena obat tidak menembus CSS. Karena kadarnya dalam kornea dan humor
aqueous baik, gentamisin banyak digunakan untuk terapi topikal infeksi pada
mata. Pemberian secara topikal pada infeksi kulit dlam waktu lama perlu
dipertimbangkan, karena meningkatkan resiko resistensi.
TOBRAMISIN
Sangat mirip gentamisin, dengan indikasi klinik terutama untuk bakteriemia,
osteomyelitis dan pneumonia karena pseudomonas. Dibandingkan dengan
gentamisin efek nefrotoksisik dan ototoksiknya lebih rendah. Secara in vitro
tobramisin 2-5 kali lebih baik dibandingkan dengan gentamisin khususnya untuk
infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Tobramisin digunakan untuk terapi infeksi berat yang disebabkan oleh basili
Gram negatif, misalnya enterobakter dan P. aeruginosa.
KUINOLON (QUINOLONES)
Sejak diperkenalkannya fluorinated quinolone yang pertama yaitu norfloksasin,
telah dikembangkan beberapa kuinolon baru. Kuinolon baru merupakan
antibiotika sintetik, yang secara struktural berkaitan erat dengan kuinolon
pendahulunya, asam nalidiksat (nalidixic acid). Yang termasuk dalam kelas ini
antara lain adalah siprofloksasin yang memiliki indikasi klinik terlebar.
FLUOROKUINOLON
Mekanisme aksi
Efek samping
KUINOLON (QUINOLONES).
ASAM NALIDIKSAT (NALIDIXIC ACID) merupakan nonfluorinated quinolone
yang memiliki mekanisme aksi yang sama dengan fluorokuinolon. Obat ini
efektif terhadap bakteri Gram negatif, terutama yang sering menyebabkan
infeksi saluran kencing. Penggunaan klinik obat ini relatif terbatas karena sering
ditemukannya strain yang resisten. Absorpsi pada pemberian oral baik, >90%
terikat pada protein, sedangkan kadar obat bebas dalam darah tidak cukup
adekuat untuk mengatasi infeksi sistemik.
Efek samping obat ini meliputi nausea, vomitus, nyeri abdominal, fototoksik dan
demam. Pemberian lebih dari 2 minggu dapat mempengaruhi fungsi hepar.
NITROFURANTOIN
Karena efek toksik dan termasuk antimikroba spektrum sempit, tidak lagi
digunakan untuk infeksi saluran kencing. Obat ini bersifat bakteriostatik,
terutama efektif untuk E.coli.Sebagian besar bakteri Gram negatif penyebab
infeksi traktus urinarius resisten terhadap obat ini. Saat ini penggunaan
nitrofurantoin sangat terbatas, dan lebih banyak digunakan sebagai antiseptik
pada traktus urinarius.
Obat ini diabsorpsi seccara lengkap setelah pemberian per oral dan ekskresinya
terjadi secara cepat melalui filtrasi glomeruler. Keberadaan obat ini
menyebabkan urin berwarna kecoklatan, yang ini sering mengejutkan penderita
jika tidak diberitahu sebelumnya.
ANTAGONIS FOLAT
Koenzim asam folat diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor RNA
dan DNA) dan komponen lain yang diperlukan untuk pertumbuhan dan replikasi
sel. Jika tidak terdapat asam folat maka sel tidak dapat tumbuh atau membelah
diri. Obat golongan sulfa menghambat sintesis asam folat, sehingga bakteri
tidak dapat tumbuh.
SULFONAMIDA (SULFONAMIDES)
Semua sulfonamida yang digunakan dalam klinik secara struktur merupakan
analog sintetik dari PABA (para aminobenzoic acid). Selain perbedaan dalam
sifat fisik maupun kimia, obat-obat sulfonamida berbeda dari segi sifat
farmakokinetikanya.
Mekanisme aksi
Sebagian besar obat golongan sulfa diabsorpsi dengan baik setelah pemberian
per oral. Tidak demikian dengan sulfasalazine yang tidak diabsorpsi di traktus
gastrointestinal, sehingga lebih efektif untuk mengatasi penyakit-penyakit
radang usus kronis (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa). Ini terjadi karena
flora intestinum memecah sulfasalazin menjadi sulfapiridin dan 5-aminosalisilat.
Yang terakhir inilah yang memberikan efek sebagai antiinflamasi. Karena risiko
sensitisasi, sulfa tidak diberikan secara topikal.
Sulfa diekskresi melalui filtrasi glomeruler. Oleh sebab itu penekanan fungsi
ginjal akan menyebabkan akumulasi, baik obat utama maupun metabolitnya.
Efek samping
Efek nefrotoksik terjadi karena timbulnya kristaluria, yang ini sebetulnya dapat
dicegah dengan cara minum yang banyak dan alkalinisasi urin. Sediaan obat
yang baru seperti fulfisoksazol dan sulfametoksazol lebih larut dalam pH urin
dibandingkan sulfonamida yang ada, di samping juga lebih kecil risikonya untuk
terjadinya kristaluria.
Jika diberikan pada bayi baru lahir, sulfa dapat menyebabkan terjadinnya
kernikterus karena sulfa memindahkan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin serum. Akibatnya bilirubin akan berada bebas di dalam darah dan
memasuki sistema saraf sentral.
Sulfa tidak boleh diberikan pada bayi baru lahir dan bayi umur kurang dari 2
bulan, ibu hamil aterm karena risiko terjadinya kern ikterus.
TRIMETOPRIM
Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase bakteri.
Efek antibakterinya sama dengan sulfonamid, tetapi dalam klinik lebih sering
digabung dengan sulfametoksazol menjadi kotrimoksazol.
Mekanisme aksi
Bentuk aktif folat adalah derivat tetrahidro, yang dibentuk melalui reduksi
dihidrofolat reduktase. Reaksi enzim ini dihambat oleh trimetoprim,
menyebabkan berkurangnya koensim folat untuk sintesis purin, pirimidin dan
asam amino.
Farmakokinetika
Sifat farmakokinetika trimetoprim mirip dengan sulfametoksazol, tetapi
kadarnya dapat jauh lebih tinggi pada keadaan prostat yang pHnya asam dan
cairan vagina.
Efek samping
KOTRIMOKSAZOL (CO-TRIMOXAZOLE)
Kotrimoksazol yang berisi sulfametoksazol dan trimetoprim memberikan efek
antibakteri yang lebih besar dibandingkan jika masing-masing diberikan sendiri.
Kombinasi ini didasarkan antara lain pada kesamaan sifat farmakokinetikanya.
Kombinasi antimikroba ini memperluas spektrum antibakterinya.
Efek samping berupa ruam kulit sering terjadi, dan bisa cukup berat pada orang
tua. Nausea, vomitus, glositis dan stomatitis relatif jarang terjadi. Efek samping
lain dapat berupa anemia megaloblastik, leukopenia, dan trombositopenia.
Anemia hemolitik dapat terjadi pada penderita defisiensi G-6 PD.