Anda di halaman 1dari 42

Biografi Ir.

Soekarno, Presiden Pertama RI

Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 meninggal
di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang
menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah
Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada
tanggal 17 Agustus 1945.

Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial,


yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat -
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara
dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang
duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno
diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang
sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai
berasal dari Buleleng, Bali.

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14
tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak
Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana
sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan
para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno
kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB)
di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan
Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij.

Masa pergerakan nasional


Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas
Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan
memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali
pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno
baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa penjajahan Jepang


Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr.
Syamsuddin yang kurang begitu populer.Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang
memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno,
Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga
untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa
Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI,
Tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain
lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan
Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945
dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa
Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung
oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada
tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan
pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap
keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal
Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri.Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat
Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus
romusha.

Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik
Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya.
Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan,
maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan
Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden
Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet
yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang
mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak
jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet.
Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada
tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang
menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih
mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan
munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip
Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U
Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang
membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami
konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah,
yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk
dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin
negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy
(Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh.
Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitika n Indonesia.
Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok
Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa
jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit hingga meninggal


Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah
mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar,
Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan
ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat
penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Biografi Moh. Hatta, Wakil Presiden Pertama RI

Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 12 Agustus 1902; meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun)
adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator
kemerdekaan Indonesia.

Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak
perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.

Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan
perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran,
bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran
Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke
Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini,
Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, Namaku
Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kimpoi
lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat
bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga
lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku, rutuk Hatta lewat
Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman
sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal
Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat
kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya
sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang
mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick
man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Perangko Satu
Abad Bung Hatta diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 2002

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai
Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian
pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra.

Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat
Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama
Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.

Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama
Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak
Proklamator Indonesia.

Kehidupan pribadi
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung,
Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala
Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama
dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek.
Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan
Mohamad Athar Baridjambek.
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan
kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan
hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran
beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut sebagai salah seorang The Founding
Fathers of Indonesia.

Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai
dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung
Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat
perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang
maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.

Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang
mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir).
Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah
salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda.
Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh
sewaktu beliau berada di Indoensia. Beliau pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921)
dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda / Eropa
yang bernafas demokrasi dan keterbukaan.

Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif
di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda
Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini
dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah :  kemerdekaan bagi Indonesia . Dalam
organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin tahan banting karena
banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi. Walau mendapat tekanan,
organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini
dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia
(PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan
Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya
dari Belanda beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno
tahun 1927.
Biografi Jendral Besar Soedirman

Jendral Besar Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir di Bodas Karangjati, Rembang,
Purbalingga, 24 Januari 1916. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara
sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun
ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap
bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di
Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu
tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan
Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan
yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia
yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda
Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh
pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan
bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela
kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II
Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya
walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada
prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia
disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini


memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal
berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah,
Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi
Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di
Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga
bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela


Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan
Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan
tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca
kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian
diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui
Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar
TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember
1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh
pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana
lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang,
ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran
dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh
Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12
Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan
Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris
mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan
Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta
sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang
sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang
berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda.
Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat
keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap
tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya
karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan
tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya.
Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain,
dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-
hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan
dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan
gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya
selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah
mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang
mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih
relatif muda, 34 tahun.

Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai
Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Berikut Ini Data Lengkap Tengtang Jendral Besar Soedirman

Nama: Jenderal Sudirman


Lahir: Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916
Meninggal: Magelang, 29 Januari 1950

Agama: Islam
Pendidikan Fomal:
- Sekolah Taman Siswa
- HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara:
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Pekerjaan:
Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
Pengalaman Organisasi:
Kepanduan Hizbul Wathan
Jabatan di Militer:
- Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
- Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
- Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan:
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Meniggal:
Magelang, 29 Januari 1950
Dimakamkan:
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta
Biografi Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar,


Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan
nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Asal-usul Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir)
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang
berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar,[rujukan?]
lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas
Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan


ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu
Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat
dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Selama perang ini kerugian
pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan pengasingan


1. 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock dari Batavia.Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri
Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".

2. 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa


mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan
itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu
juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

3. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den
Bosch.
4. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.

5. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado
dan ditawan di benteng Amsterdam.

6. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

7. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu
ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon
atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah
Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu
sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang
Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang
artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki


Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto,
Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah
Sodewo.
Biografi Ki Hajar Dewantara

Nama: Ki Hajar Dewantara


Gelar: Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Dasar Hukum: Kepres No.305 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959
Lahir: Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat: Yogyakarta, 28 April 1959
Makam: Yogyakarta
R.M. Suwardi Suryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara,
lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Sesudah menamatkan Sekolah Dasar, ia
melanjutkan pelajaran ke STOVIA di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Sesudah itu, ia
bekerja sebagai wartawan, membantu beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, dan Utusan Hindia. Bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangunkusumo, pada tanggal 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Pada tahun 1913 ia ikut membentuk Komite
Bumiputra. Melalui komite itu dilancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dan penjajahan Prancis.
Karangannya yang berjudul Als Ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda),
berisi sindiran dan kecaman yang pedas. Akibatnya, pada bulan Agustus 1913 ia dibuang ke
negeri Belanda. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran, sehingga ia berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang
pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 didirikannya Taman Siswa, sebuah perguruan yang
bercorak nasional. Kepada anak didik ditanamkan rasa kebangsaan agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Banyak rintangan yang
dihadapi dalam membina Taman Siswa, antara lain adanya Ordonansi Sekolah Liar yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Tetapi, berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara,
ordonansi itu dicabut kembali.

Pada masa Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan
Ki Hajar Dewantara. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
pada tahun 1943, ia duduk sebagai salah seorang pemimpinnya di samping Ir. Sukarno, Drs.
Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Jabatan yang pernah dipegangnya setelah
Indonesia merdeka ialah Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri Taman Siswa.
Ajarannya yang terkenal ialah Tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa
sung tulada, artinya: di belakang memberi dorongan, di tengah memberi teladan.
Ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Hari
lahir Ki Hajar Dewantara, tanggal 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Biografi Raden Ajeng Kartini

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa,
putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkimpoian itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah
Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa,
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-
catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa
kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah
sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-
Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia
25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun


1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Kontroversi
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon,
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial
Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang
tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah
agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada
pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah
perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah
memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro
mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat
derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

Buku-Buku
Habis Gelap Terbitlah Terang
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Panggil Aku Kartini Saja
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Aku Mau Feminisme dan Nasionalisme.
Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama
asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri
di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .

Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau
kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92
tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa.

Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. "Tuanku
Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra.
Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada
mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan
tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang
memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).
Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama
lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku
Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun
gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan
Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku
Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut "Perjanjian Masang". Tetapi perjanjian
itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul


kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka
Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra
Barat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan
musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol
dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi
pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor
Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak
Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Palakat Panjang", Tapi Tuanku Imam curiga.

Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima
perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah
tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol
akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya
dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief
menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping
bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena
"diundang" kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman
Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai
kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu
dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah
yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-
41).

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian
damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den
Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Perjanjian
Masang", karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-
Qur'an)).

Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi
atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah
melenceng dari ajaran agama. "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah
kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh
kita. Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB
(hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan
Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17
Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang
penjajahan[3]. — seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi:
Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda
adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean,
Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama
Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo,
Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura).
Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan
menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837
tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu
Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut
Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Biografi Pahlawan Cut Nyak Dien

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan
yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah
satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan
berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir
hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini,
juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku
Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah
Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh
yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat.
Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga
para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara
menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari,
didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat,
didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan
tawakal.Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat
dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan.
Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang
mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan
Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan
dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair
bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat
menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir
(Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri,
pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya
berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam
suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal
jiwa patriotnya.Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di
garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku
Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan
keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar
semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di
medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang
menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang
dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan
perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih
berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus
bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut
balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus
melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan
menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya
benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal
banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.Perlawanan terhadap Belanda kian hebat.
Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet
Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah
mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku
Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya,
mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak
taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya
untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan
serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang
masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali
sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah
surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang
yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan
walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu
bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu
berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.Keterlibatan Tjoet Njak Dien
dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh.
Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin
yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita
dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah
dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita
melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka
mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka
menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara
akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut,
kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin
tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai
menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi
yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus
panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang
serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot
Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya.
Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya
jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak
ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah
tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan
inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van
Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih
nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.Tapi walaupun di dalam tawanan,
dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk.
Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan
Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun.
Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari
tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua
pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan
perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang
digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak
menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang
Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena
mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia
menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia.
Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan
pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat
Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat
bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an
berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien,
seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang,
Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag
1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet
Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan
seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga
banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para
wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap
Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang
memegang peranan penting dalam berbagai sector.
Biografi Kapitan Pattimura

Nama Lengkap : Kapitan Pattimura

Nama Asli: Thomas Matulessy

Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun 1783

Meninggal:
Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817

Perjuangan : Perlawannya terhadap penjajah Belanda pada tahun 1783. Perlawannya terhadap
penjajahanBelanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga
bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun
beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung
padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut
jiwanya.Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak
mau kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau
bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak
pernah menggodanya.
Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada hidup bebas
sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia
yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang
perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara
resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai
oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh
Belanda.

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798,
wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan
Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas
militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris
di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan
Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk
tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain
sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat
untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di
Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Biografi Sultan Hasanuddin - Ayam Jantan Dari Timur

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di
Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat
tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal
dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia
24 tahun (tahun 1655).

Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias Ayam Jantan dari
Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial belanda. Sultan
Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa
ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun
1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah
Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil
di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.
Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan taklukan dari
Kerajaan Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Aru
Palaka berhasil meloloskan diri dan perang tersebut berakhir dengan perdamaian. Akan
tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang
merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis
dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Aru palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang Kerajaan Gowa. Sultan
Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian
Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin
kembali melakukan serangan terhadap Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka
Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai
Belanda. Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan
Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional kepadanya dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.
Biografi Pangeran Antasari

Nama Pahlawan : Pangeran Antasari


Lahir : Banjarmasin, 1797
Wafat : Bayan Begak, 11 Oktober 1862
Makam : Banjarmasin.

Perjuangan : Perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda dimulai saat Belanda


mengangkat Tamjidillah sebgai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat.
Rakyat Banjar dan keluarga besar Kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut
agar Pangeran Hidayatullah, sebagai pewaris takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan
Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran
Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda.
Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk.
Pangeran Antasari jugat menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang
Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti Laetnan
Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat
Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.
Pada Tahun 1861, Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat. Pangeran antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia
diangkat oleh rakyat sebagai Panembahan Amiruddin Khafilatul Mu’min, sehingga kualitas
peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama. Sayang, Pangeran Antasari
akhirnya wafat tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah
di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu, ia sedang menyiapkan serangan besar-besaran
terhadap Belanda.Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan Surat
Keputusan Presiden RI, No.06/TK/1968, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional Kepadanya
DAFTAR ISI

Hal

1. Ir. SOEKARNO ………………………………………………………… 1

2. MOH. HATTA ………………………………………………………… 5

3. SOEDIRMAN ………………………………………………………… 8

4. DIPONEGORO ………………………………………………………… 12

5. KI HAJAR DEWANTARA ………………………………………… 15

6. RADEN AJENG KARTINI ………………………………………… 17

7. IMAM BONJOL ………………………………………………………… 20

8. CUT NYAK DIEN ………………………………………………………… 24

9. PATTIMURA ………………………………………………………… 28

10. HASANUDDIN ………………………………………………………… 30

11. ANTASARI ………………………………………………………… 32


PAHLAWAN NASIONAL

Disusun Oleh

MUHAMMAD MAULIDI SURUR FAHMI

Kelas VI

MINU HASYIM ASYARI


Jl. Akses Tol 63A Tawangsari Kejapanan Gempol

1. Pengertian Ragam Hias.

Ragam hias disebut juga ornamen, merupakan salah satu bentuk karya seni
rupa yang sudah berkembang sejak zaman prasejarah. Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki banyak ragam hias. Ragam hias di Indonesia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu lingkungan alam, flora dan fauna serta manusia yang hidup di
dalamnya. Keinginan untuk menghias merupakan naluri atau insting manusia. Faktor
kepercayaan turut mendukung berkembangnya ragam hias karena adanya
Perlambangan di balik gambar. Ragam hias memiliki makna karena disepakati oleh
masyarakat penggunanya. Menggambar ragam hias dapat dilakukan dengan cara
stilasi (digayakan) yang meliputi penyederhanaan bentuk dan perubahan bentuk
(deformasi).

2. Motif Ragam Hias.


Ragam hias merupakan karya seni rupa yang diambil dari bentuk-bentuk flora
(vegetal), fauna (animal), figural (manusia), dan bentuk geometris. Ragam hias
tersebut dapat diterapkan pada media dua dan tiga dimensi.
a. Ragam Hias Flora.
Flora sebagai sumber objek motif ragam hias dapat dijumpai hampir di seluruh
pulau di Indonesia. Ragam hias dengan motif flora (vegetal) mudah dijumpai pada
barang-barang seni, seperti batik, ukiran, kain sulam, kain tenun, dan bordir.
b. Ragam Hias Fauna.

Ragam hias fauna (animal) merupakan bentuk gambar motif yang diambil dari
hewan tertentu. Hewan sebagai wujud ragam hias pada umumnya telah mengalami
perubahan bentuk atau gaya. Beberapa hewan yang biasa dipakai sebagai objek ragam
hias adalah kupu-kupu, burung, kadal, gajah, dan ikan. Ragam hias motif fauna telah
mengalami deformasi namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. Ragam hias fauna
dapat dikombinasikan dengan motif flora dengan bentuk yang digayakan.

Motif ragam hias daerah di Indonesia banyak menggunakan hewan sebagai


objek ragam hias. Daerah-daerah tersebut seperti Yogyakarta, Bali, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Motif ragam hias fauna tersebut dapat dijumpai
pada hasil karya batik, ukiran, sulaman, anyaman, tenun, dan kain bordir Ragam hias
bentuk fauna dapat dijadikan sarana untuk memperkenalkan kearifan lokal daerah
tertentu di Indonesia seperti burung cendrawasih di Papua, komodo di Nusa Tenggara
Timur, dan gajah di Lampung.
c. Ragam Hias Geometris.

Ragam hias geometris merupakan motif hias yang dikembangkan dari bentuk-
bentuk geometris dan kemudian digayakan sesuai dengan selera dan imajinasi
pembuatnya. Gaya ragam hias geometris dapat dijumpai di seluruh daerah di
Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Ragam hias
geometris dapat dibuat dengan menggabungkan bentuk-bentuk geometris ke dalam
satu motif ragam hias.
d. Ragam Hias Figuratif.

Bentuk ragam hias figuratif berupa objek manusia yang digambar dengan
mendapatkan penggayaan bentuk. Ragam hias figuratif biasanya terdapat pada bahan
tekstil maupun bahan kayu, yang proses pembuatannya dapat dilakukan dengan cara
menggambar.
TUGAS SBK

MOTIF RAGAM HIAS

Disusun Oleh

MUHAMMAD MAULIDI SURUR FAHMI

MUHAMMAD AGIEL BAIHAQI

Kelas VII E

SMP NEGERI 1 BEJI


Jl. Wicaksono No 22A Gunung Gangsir Beji

Anda mungkin juga menyukai