Anda di halaman 1dari 29

`

KASUS

G4P3003 38/39 Minggu + THIU+Letsu + PEB U ≥ 35 Thn


+ Obesitas Grade 1 (BMI 35,5)+ Inpartu Kala 1 fase aktif
+ TBJ 3000 gram
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pre Eklampsia
1.1. Definisi
Pre eklampsia berat merupakan salah satu jenis hipertensi pada ibu hamil
setelah usia kandungan > 20 minggu yang ditandai dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan diastolik 110 mmHg atau lebih, protein uria (>300 mg/24 jam
dalam urin), trombositopenia (jumlah platelet ≤ 100.000/mikroliter), pandangan
kabur, gangguan fungsi ginjal secara progresif. Namun saat ini kondisi dari
protein uria sudah tidak lagi dijadikan patokan untuk diagnosa dari keadaan pre
eklampsia. Keadaan pre eklampsia bisa menjadi eklampsia apabila ditemukan
adanya kejang (Dipiro, et al.2015; G. Lambert, et al. 2014).

1.2 Etiologi
Keadaan hipertensi pada masa kehamilan dibedakan menjadi 4 kategori,
yaitu preeklampsia, hipertensi kronik, hipertensi kronik dengan superimposed
preeclampsia, dan hipertensi gestasional. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang
sudah diderita sebelum kehamilan atau hipertensi yang muncul kurang dari 20
minggu usia kehamilan dan bersifat persisting lebih dari 12 minggu pos partum.
Sementara itu, superimposed preeclampsia adalah new onset dari proteinuria yang
muncul setelah 20 minggu usia kehamilan pada pasien sebelum kehamilan sudah
mengidap hipertensi. Hipertensi gestasional adalah keadaan dimana tekanan sistol
140mmHg dan atau diastol 90mmHg setelah 20 minggu usia kehamilan tanpa
adanya proteinuri dan akan hilang 12 minggu post partum (G. Lambert, et al.
2014).
Predisposisi Genetik
Respon imun
Histokompabilitas antigen

Inadekuat invasi trofoblastik dari arteri


spiral maternal
Gangguan Vaskular Maternal
Gangguan Hipertensi
keseimbangan Diabetes
 Aktivitas vasokonstriktor
Simpatik
Iskemia Plasenta

Toksin plasenta endotel

Kerusakan sel endotel


 Endiotelin secara menyeluruh
 Nitrit oksida
 PGI2

Vasospasme Permeabilitas Vaskular

Hipertensi
Proteinuria
Edema

PRE-EKLAMPSIA

1.3 Patofisiologi

(Beckmann, et al., 2010)


1.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari pre eklampsia dapat muncul di beberapa organ tubuh
seperti yang tertera pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Manifestasi Pre Eklampsia pada berbagai Sistem Organ (Peres, G.M, et
al. 2018).
Sistem Organ Gejala
Sistem Saraf Pusat Sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang
(eklampsia)
Sistem renal Proteinuria, oliguria, hipertensi
Sistem Vaskular Hipertensi
Sistem Cardiorespiratori Nyeri dada, dyspnea, saturasi oksigen yang
rendah, edema pulmoner
Sistem Hepatik Fungsi liver yang abnormal, nyeri epigastric,
Nausea
Sistem Hematologik Pendarahan, gangguan koagulasi, shock

1.5 Penatalaksanaan Terapi


Perawatan Ekspektatif pada Preeklamsia Berat
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin stabil.
2. Manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat juga direkomendasikan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersediaperawatan intensif bagi maternal dan neonatal.
3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preeklamsia berat,
pemberian kortikosteroid diekomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin.
4. Pasien dengan preeklamsia berat direkomendasikan untuk melakukan
rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif
(POGI, 2016)

5. Pemberian Magnesium Sulfat untuk Mencegah Kejang


Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
eklamsia. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien
preeklamsia berat dibandingkan diazepam dan fenitoin untuk mencegah
terjadinya kejang/eklamsia atau kejang berulang. Dosis penuh baik intravena
maupun intramuskuler magnesium sulfat direkomendasikan sebagai prevensi
dan terapi eklamsia. Pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia adalah
untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklamsia serta mengurangi
morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal (Sibai, 2005)
Cara kerja magnesium sulfat adalah menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus,
sehingga selain sebagai antilonvulsan magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil -D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat aSulfas Ferrousiksia, dapat menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat
terjadi kejang (Duley, 2005)
6. Antihipertensi
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita hipertensi dengan
gestational, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subkllinis pada
usia kehamilan berapa pun. Antihipertensi pilihan pertama yang
direkomendasikan pada hipertensi berat atau tekanan darah ≥ 160 mmHg dan
diastolik ≥ 110 mmHg adalah nifedipin oral short acting , hidralazine, dan
labetalol parenteral. Altrnatif pemberian antihipertensi yang lain adalah
nitrogliserin, metildopa, labetalol. Beberapa antihipertensi yang dapat
diberikan pada wanita yang mengalami hipertensi gestasional
 Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium Channel Blocker bekerja pada otot polos anteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
kedalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium
channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada
sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat
memberikan efek samping maternal diantaranya takikardi, palpitasi, sakit
kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta
retensi cairan (Alex and Carrol, 2005)
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker untuk
mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah
lebih cepat dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah
awal pemberian nifedipin. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator
arteriol ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan
produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh
pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklamsia berat (Alex and Carrol, 2005). Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15-30 menit,
dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel
blocker dapat meningkatkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini
disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel
blocker (Alex and Carrol, 2005)
 Beta blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
rseptor P1 dibndingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, terutama bila digunakan dalam jangka waktu yang lama
selam kehamilan atau diberikan pada trimester yang pertama, sehingga
peenggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian antihipertensi lainnya
yang tidak efektif. Menurut Cochrane database penggunaan beta-blocker
oral mengurangi resiko hipertensi berat dan kebutuhan tambahan
antihipertensi lainnya yang tidak efektif (Alex and Carrol, 2005)
 Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di system saraf pusat,
adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa
mempunyai safety margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa
bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah
arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,
mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug
induced hepatitis. Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg
peroral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 gr per hari. Efek
obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama
10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan
metildopa adalah intravena 250-500 mg tiap 6 jam maksimum 1 g tiap 6
jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada
jumlah tertentu dan disekresikan di ASI (Barrilleaux, 2002)
7. Kortikosteroid pada sindrom HELLP
 Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki
kadar trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata-rata dan
produksi urin.
 Pemberian kortikosteroid post-partum tidak berpengaruh pada kadar
trombosit
 Pemberian kortikosteroid tidak mempengaruhi morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal/neonatal
 Deksamethason lebih cepat meningkatkan kadar trombosit dibandingkan
betametason

Penatalaksanaa Terapi PEB menurut Panduan Praktik Klinis RS Dr.


Soetomo 2018

(PPK, 2018)
2. Tubektomi
2.1 Definisi
Tubektomi merupakan metode pengikatan atau pemotongan tuba fallopi
agar ovum tidak dapat dibuahi oleh sperma (Gambar 2.1). Tubektomi adalah
tindakan oklusi atau pengambilan sebagian saluran telur wanita untuk mencegah
proses fertilisasi. Setelah tubektomi fertilitas dari pasangan tersebut akan terhenti
secara permanen. Waktu yang terbaik untuk melakukan tubektomi pasca
persalinan yaitu tidak lebih dari 48 jam sesudah melahirkan karena posisi tuba
mudah dicapai oleh sub umbilicus dan rendahnya resiko infeksi (Saifuddin, 2007).

Gambar
2.1

Tindakan Tubektomi

2.2 Syarat Tindakan Tubektomi


Terdapat beberapa syarat untuk menjadi akseptor kontrasepsi mantap MOW
(Metode Operatif Wanita) yaitu :
a. Syarat Sukarela
Meliputi pengetahuan pasangan mengenai cara kontrasepsi lain, risiko dan
keuntungan kontrasepsi mantap, serta sifat permanen metode ini.
b. Syarat Bahagia
Syarat ini dilihat berdasarkan ikatan perkawinan yang sah dan harmonis.
Umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun dengan sekurang-kurangnya 2
orang anak hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2 tahun.
2.3 Pelaksanaan Tubektomi
2.3.1 Tindakan Operasi
Pelaksanaan pelayanan tubektomi dilakukan dengan tindakan operasi, yang
mana terdapat 2 teknik operasi yang dikenal dan sering digunakan dalam
pelayanan tubektomi, yaitu minilaparotomi dan laparoskopi. Teknik ini
menggunakan anestesi lokal dan dilakukan secara benar, kedua teknik tersebut
tidak banyak menimbulkan komplikasi pasca-bedah (Affandi, 2012).
a. Minilaparotomi
Metode ini merupakan penyederhanaan laparotomi terdahulu, hanya
diperlukan sayatan kecil sekitar 3 cm baik pada daerah perut bawah
(suprapubik) maupun subumbilikal (pada lingkar pusat bawah). Tindakan ini
dapat dilakukan terhadap banyak klien, relatif murah, dan dapat dilakukan
oleh dokter yang diberi latihan khusus. Operasi ini aman dan efektif
(Affandi, 2012).
b. Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan tenaga spesialis kebidanan dan penyakit
kandungan yang telah dilatih khusus agar pelaksanaannya aman dan efektif.
Teknik ini dapat dilakukan pada 6-8 minggu pascapersalinan atau setelah
abortus (tanpa komplikasi). Laparoskopi dapat digunakan dengan anastesi
lokal dan diperlakukan sebagai klien rawat jalansetelah pelayanan (Affandi,
2012).

2.3.2 Perawatan Pasca Bedah dan Observasi


Pada masa observasi setiap 15 menit dilakukan pemeriksaan tekanan darah
dan nadi. Bila telah diperbolehkan minum, klien sebaiknya diberi cairan yang
mengandung gula untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Lakukan romberg
sign bila penderita tampak stabil, suruh mengenakan pakaian dan tentukan
pemulihan kesadaran. Apabila semua berjalan dengan baik, klien dapat
dipulangkan (Affandi, 2012).
2.3.3. Komplikasi dan Penanganan

(Affandi, 2012).
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS

Inisial Pasien : Ny. L Berat Badan : 80 kg Gangguan Ginjal : tidak ada


Umur : 35 tahun Tinggi Badan: 155 cm Gangguan Hepar : tidak ada
Status : Menikah LPT : 1,83 m2
Keluhan utama : Pasien merasa perutnya kenceng- kenceng, kelar lendir
darah tanggal 18/5/19 pukul 03.30 WIB
Kronologi Diagnosa
Tanggal/jam Kronologi Diagnosa
18/5/19 09.30 WIB G4P3003 38/39 mgg + THIU+Letsu+ PEB U ≥ 35 thn +
Obesitas grade 1 (BMI 35,5)+ Inp. Kala 1 fase aktif +
tbj 3000 gram
18/5/19 12.00 WIB P404 PP manual AID H-0 + PEB
19/5/19 07.00 WIB P404 PP manual AID H-1 + PEB pro MOW
20/5/19 06.00 WIB Post Sterilisasi H-1 + Post partum Manual AID H-2 +
PEB + U ≥ 35 thn
21/5/19 04.00 WIB P4004 PP Manual AID H-3+ Post sterilisasi H-2+ PEB
+ nyeri
22/5/19 06.00 WIB WIB P4004 PP Manual AID H-4+ Post sterilisasi H-3+
PEB
23/5/19 04.00 WIB P4004 PP Manual AID H-5+ Post sterilisasi H42+ PEB

Alasan MRS : Pasien rujukan dari BPM Istiqomah dengan diagnosa


G4P3003 38/39 mgg THIU Inpartu kala 1 fase aktif
dengan PEB & Sungsang
Riwayat Menstruasi : 3 tahun, siklus 28 hari, teratur, lama 7 hari, nyeri
Riwayat persalinan : 1. 9 bln/BPM Fanda, Surabaya/Laki-laki/3900/13 thn
2. 9 bln/RSUD Soewandhie/Laki-laki/3000/8 tahun
3. 9 bln/BPM Fanda/Perempuan/3000/6 tahun
4. Hamil saat ini
Riwayat Penyakit : Hipertensi saat kehamilan ke 2
Riwayat pengobatan : Obat antihipertensi pasien lupa nama obatnya
Status pasien : BPJS PBI kelas 3

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
18/5/2019 Pasien rujukan dari BPM Istiqomah, datang dari IGD dengan
G4P3003 38/39 mgg + THIU+Letsu+ PEB (TD : 198/118 mmHg;
Nadi : 88 x/menit; Suhu:36,80C; RR:20 x/menit; skala nyeri 2 dengan
fase bukaan 75%,
Pasien melahirkan anak ke 4 jam 09.45, bayi laki-laki/3450 gram
DATA LAB :
Hematologi  Hb 13,5 g/dL; MCV 79,5 fl ; MCHC 34,2 g/dL,
Leukosit 14,07 u/L; Trombosit 342 u/L; PTT 9,6
detik; APTT 23,8 detik
Urine Lengkap  GLU negatif; BIL negatif; SG 1,017; Protein 2+;
URO 1,0; Colour yellow; Clarity 151
Kimia klinik & GDA  SGOT 14 u/L; SGTP 12u/L; BUN 7
mg/dL; Kreatinin 0,46 mg/dL, Albumin 3,8 mg/dL,
GDA 151 mg/d.
Elektrolit  Na 134 mmol/L; K 3,7 mmol/L; Klorida 101 mmol/L
Terapi  Infus RD 5 500 ml/24 jam,
Nifedipin 10 g/8 jam PO, Metildopa 500 mg/8 jam PO, Injeksi
MgSO4 20% 4 gram IV bolus, Inj MgSO4 20% 1 gram/jam IV SP
Asam mefenamat 500 mg/8 jam PO serta SF tablet /12 jam PO
19/6/2019 Pasien tidak ada keluhan (TD :147/100 mmHg; Nadi : 88 x./menit;
Suhu: 36,8 0C; RR: 20x /menit)
Pasien mendapatkan terapi obat asam mefenamat 3x500 mg, SF
tablet 2x1, metildopa 3x500 mg, nifedipin 3x10 mg (TD ≥160/110
mmHg) serta SF tablet /12 jam PO
Pasien konsultasi ke bidang kardiologi jam 07.00 WIB dengan hasil:
Pasien dengan hipertensi st. II (JNC VII) tanpa tanda-tanda acute
decompensated heart failure, dengan saran terapi: metildopa 3x500
mg PO & Nifedipin 3x10 mg PO
Pasien dinaikkan OK IGD jam 15.00 WIB mulai operasi jm 20.00
WIB dengan tindakan operasi MOW post partum tubektomi bilateral
Pasien mendapatkan terapi obat injeksi ketorolak 30 g/8jam IV,
injeksi ranitidin 2x50 mg IV, injeksi metoklopramid 3x10 mg IV,
Nicardipin 10 mg IV SP, Cefazolin 2 gram IV drip, asam mefenamat
3x500 mg PO, serta infus RD 5 1500 mL/24 jam IV.
20/5/2019 Post sterilisasi H-1 + post partum MOW H-2 C
Pukul 12.00 pasien dari IGD pindah ke Ruang Merpati dengan nyeri
jahitan (TD :140/80 mmHg; Nadi : 88 x./menit; Suhu: 37 0C; RR: 20x
/menit, Skala nyeri 2).
Pasien mendapatkan terapi obat metildopa 3x500 mg PO dan asam
mefenamat 3x500 mg PO & SF tablet /12 jam PO
21/5/19 P4004 post manual + H3 Sterilisasi + H-2 PEB+ Nyeri
Pasien nyeri operasi (TD 120/80 mmHg,
Nadi : 80 x./menit; Suhu: 36,60C; RR: 20x /menit, Skala nyeri 1).
Pasien mendapatkan terapi obat asam mefenamat 3x500 mg PO &
SF tablet /12 jam PO
22/5/2019 Pasien ttidak ada keluhan (TD 140/90 mmHg, Nadi : 80 x./menit;
Suhu: 370C; RR: 20x /menit, nyeri teratasi).
Pasien mendapatkan terapi obat asam mefenamat 3x500 mg PO &
SF tablet /12 jam PO, Adalat oros 1x30 mg PO (saran kardiologi
stop metildipa & nifedipin)
23/5/2019 Pasien mengatakan tidak nyaman di daerah jahitan lahir (TD 120/80
mmHg, Nadi : 80 x./menit; Suhu: 36,6 0C; RR: 20x /menit, Skala
nyeri 1)
Pasien mendapatkan terapi obat asam mefenamat 3x500 mg PO &
SF tablet /12 jam PO, Adalat oros 1x30 mg PO
DOKUMEN FARMASI PASIEN
No RM : 1276xxxx Diagnosis : G4P3003 38/39 mgg + THIU+Letsu+ PEB U ≥ 35 thn + Obesitas
Nama/Umur : Ny. L / 35 thn 8 bulan grade 1 (BMI 35,5)+ Inp. Kala 1 fase aktif + tbj 3000 gram
Jenis Kelamin : Perempuan Keluhan Utama : Pasien rujukan dari BPM Istiqomah dengan diagnosa
BB/TB/LPT 80 kg/ 155 cm/ 1,83 m 2 G4P3003 38/39 mgg THIU Inpartu kala 1 fase aktif dengan
PEB & Sungsang dengan keluhan merasa perutnya
kenceng- kenceng keluar lendir darah tanggal 18/5/19 pukul
03.30 WIB
Riwayat Alergi : - Tanggal MRS-KRS : 18 Mei 2019 / 23 Mei 2019 Belum KRS
Alamat : Surabaya Riwayat Penyakit : Hipertensi saat kehamilan ke 2
Riwayat Obat : Obat hipertensi pasien lupa nama obatnya
Dokter DPJP : dr. E. SpOG (K).
Tanggal Pemberian Obat
No. Nama Obat dan Dosis Regimen 18/5 19/5 20/5 21/5 22/5 23/5
(OP)
1. Infus RD 5 500 ml/24 jam √ 1500 ml - - - -
2. Nifedipin 10 g/8 jam PO, TD ≥160/110 mmHg √ √ // - - -
3. Nicardipin 10 mg, 1 ml /jam IV SP (1 ampul= 10 ml) - √ - - - -
4. Metildopa 500 mg/8 jam PO √ √ √ // - -
5. Adalat Oros 1x30 mg PO - - - - √ √
6. Inj MgSO4 20% 4 gram IV bolus pelan √ // - - - -
7. Inj MgSO4 20% 1 gram/jam IV SP √ // - - - -
8. Asam mefenamat 500 mg/8 jam PO √ √ √ √ √ √
9. Ketorolac 30 mg/8 jam IV - √ - - - -
10. Ranitidin 50 mg/12 jam IV - √ - - - -
11. Metoklopramid 10 mg/8 jam IV - √ - - - -
12. Cefazolin 2 gram IV drip - √ - - - -
13. SF tablet /12 jam PO √ √ √ √ √ √
 Operasi (19/5/2019)
Diagnosis prabedah : P4004 post manual AID H-1 + PEB Obat-obat anastesi
Diagnosa pasca bedah: Post tubektomi bilateral Premedikasi: Midazolam 1 mg IM
Tindakan operasi : MOW post partum tubektomi bilateral General anastesi: TIVA
Antibiotik profilaksis cefazolin 2 g 10 ml, pemberian 1 kali inj. IV drip Sedatif : Midazolam IV, Propofol 80 mg IV
Sign in : 20.00 Analgetik: Fentanyl IV
Time out : 20.30 selesai 21.00
Sign out : 21.00
Golongan operasi: sedang, operasi bersih, elektif
Anastesi : GA propofol
Pendarahan ±30 ml
 Riwayat ruangan pasien:
- Tgl 18/5/19 08.00 WIB : IGD VK Obgyn
- Tgl 19/5/19 : IGD Nifas
- Tgl 19/5/19 15.00 WIB: OK IGD mulai operasi pukul 20.00 WIB
- Tgl 19/5/19 22.00 WIB: ROI
- Tgl 20/5/19 12.00 WIB : Irna Obgyn Merpati
DATA KLINIK
TANGGAL
DATA KLINIK Nilai Normal 18/5 19/5 (OP) 20/5 21/5
08.00 13.30 22.00 05.30 07.00 15.00 06.00 12.00 20.00 04.00 12.00 20.00
Suhu 36-37,5 oC 36,8 37 37 36,8 37 37 36,5 37,1 37 36,6 37 37
Nadi < 90 x/menit 88 84 88 88 90 84 80 80 90 80 90 80
RR <20 x/menit 20 20 20 20 20 20 20 20 18 20 20 20
Tekanan Darah 120/80 mmHg 198/118 160/90 156/85 147/100 166/109 140/100 130/70 120/70 130/90 120/80 130/90 130/90
KU/GCS 456 456 456 - 456 456 456 456 456 456 456 456 456
Skala nyeri 0 2 2 - 1 1 1 1 2 1 1 0 0-1
Saturasi O2 98 98 94 98 98 98 92 98 98 98 98 98

Komentar
DATA KLINIK Nilai Normal 22/5 23/5
04.00 12.00 20.00 04.00 06.00  Tekanan darah pasien ≥160/110 mmHg merupakan
Suhu 36-37,5 oC 37 37 36,6 36,6 36,6 manifestasi preeklampsia, pasien juga memiki riwayat
Nadi < 90 x/menit 80 88 80 80 -
hipertensi setelah konsultasi ke bagian kardiologi
RR <20 x/menit 20 20 - 20 -
120/80 mmHg
didiagnosis hipertensi stage 2 (JNC VII) tanpa tanda-tanda
Tekanan darah 140/90 130/70 120/80 120/80 130/90
KU/GCS acute decompensated heart failure
456 456 456 456 456 -
Skala nyeri 0 1 1 0 1 1  Skala nyeri pasien 1-2 karena pasien pasca melahirkan dan
Saturasi O2 98 98 98 98 - pasca operasi MOW post partum tubektomi bilateral
TANGGAL
DATA
NILAI NORMAL KOMENTAR
LABORATORIUM
18/5
HEMATOLOGI
Hb 11,0-14,7103 g/dl 13,5
RBC 3,69-5,46x 106/�l 4,69
HCT 35-47 % 39,5
Nilai MCV pasien kurang dari normal dan nilai
MCV 86,7-102,3 fL 79,5
MCHC lebih dari normal, namun tidak ada
MCH 27,1-32,4 pg 27,2
tanda-tanda anemia pada pasien (Hb normal)
MCHC 29,7-33,1 g/dl 34,2
RDW 12,2-14,8 % 13,1
MPV 9,2-12,0 fL 10,0
Trombosit 150-450 103/μl 342
PTT 9-12 detik 9,6 Tidak adanya tanda-tanda perdarahan, dengan
APTT 23 – 33 detik 23,8 nilai PTT dan APTT pasien normal
Leukosit 3,37-10,0 103/μl 14,07 Nilai leukosit dan neutrofil pasien meningkat di
Neutrofil 39,8-70,5 % 76,6 atas normal, namun data klinik lainnya yaitu
nadi, suhu, dan RR pasien normal sehingga tidak
terjadi infeksi pada pasien
SEKRESI DAN
EKSKRESI
Urine Lengkap
GLU Negatif Negatif
BIL Negatif Negatif
SG 1,003-1,030 1,017
BLD Negatif -
PH 4,5-8,0 6,50
Protein Negatif 2+ Nilai protein urea pasien positif merupakan
URO < 1,0 1,0 manifestasi preeklampsia
Colour Yellow
Clarity Clear
KIMIA KLINIK < 200 mg/dl 151
GDA Kadar gula darah pasien normal
SGOT 0-35 U/L 14
Tidak ada gangguan fungsi hati pada pasien
SGPT 0-35 U/L 12
BUN 7-18 mg/dL 7
Tidak ada gangguan fungsi ginjal pada pasien
Kreatinin 0,5-1,2 mg/dL 0,46
Albumin 3,4 – 5 mg/dl 3,8 Kadar albumin pasien normal
GDA <200 mg/dL 151 Gula darah pasien normal
ELEKTROLIT 136-145 mmol/l 134
Natrium
Kalium 3,5 – 5,1 mmol/l 3,7 Kadar elektrolit pasien normal
Klorida 98 -107 mmol/l 101
DATA LABORATORIUM
ANALISIS TERAPI
Tanggal
Tanggal Regimen Pemantauan
Pemberian Nama Obat Rute Indikasi Komentar dan Alasan
Berhenti Dosis Kefarmasian
Obat
18/5/19 IV 500 ml/24 Sumber Kondisi pasien Pemilihan terapi cairan pasien sudah tepat karena
20/5/19 RD5
jam elektrolit dan pemberian cairan koloid akan mencegah edema pada
selanjutnya kalori pasien karena mencegah cairan keluar dari vaskular.
1500 Infus RD5 (dekstrosa 5% dalam ringer laktat) secara
mg/jam parenteral guna memenuhi kebutuhan kalori dan
elektrolit normal.
Terapi Cairan IV diperlukan untuk pasien yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan cairan atau elektrolit
normal dengan rute oral atau enteral. Glukosa 50-100
gram/hari dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
normal (NCGC, 2013).
Dosis, laju, dan durasi pemberian bersifat individual
dan tergantung pada indikasi pemberian, usia pasien,
berat badan, pengobatan bersamaan dan kondisi klinis
pasien serta hasil laboratorium.
ESO: Respon demam, infeksi pada tempat
penyuntikan, trombosis vena, atau phlebitis yang
meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi, dan
hipervolemia.
18/5/19 20/5/19 Nifedipin PO 3 x 10 mg Antihipertensi Tekanan darah Nifedipin, Adalat Oros (Nifedipin Long Acting) dan
Nicardipin adalah obat antihipertensi golongan
Calcium Channel Blocker dihidropiridin.
Dihidropiridin adalah vasodilator poten pada arteri
koroner dan perifer. Golongan obat ini bekerja dengan
menghambat influks transmembran dari ion kalsium
pada otot jantung dan otot halus pembuluh darah
10 mg (Alldrege et al, 2013; Neal et al, 2015)
19/5/19 20/5/19 Nicardipin IV SP
(1ml/jam) Pemilihan terapi ini sudah tepat karena nifedipin
merupakan salah satu drug of choice pada penanganan
hipertensi emergensi pada wanita hamil, dan tidak ada
data bahwa nifedipin menembus placenta sehingga
tidak membahayakan janin (Lacy, 2009). ESO:
Flushing (10-25%), sakit kepala (10-23%),
22/5/19 23/5/19 Adalat oros PO 1 x 30 mg mual/heartbun (10-12%) (DIH 17th Ed).
Dosis Metildopa yaitu 250-500 mg per oral sehari dua
sampai empat kali (maksimal 2gram/hari). Dosis
Nifedipine yaitu 5-10 mg kapsul, setiap 30
Pasien didiagnosa preeklamsi berat dengan, sehingga
perlu diberikan terapi antihipertensi untuk menurunkan
tekanan darah pasien. Methyldopa merupakan
antihipertensi golongan Alpha2-adrenergik agonis yang
bekerja pada sentral dengan menstimulasi reseptor
alpha-adrenergik dengan false transmitter yang
menghasilkan penurunan aliran simpatetik ke jantung,
18/5/19 21/5/19 Metildopa PO 3 x 500 mg Antihipertensi Tekanan darah
ginjal, dan pembuluh darah perifer (Lacy, 2009).
Methyldopa merupakan drug of choice inisial terapi
antihipertensi oral pada wanita hamil. Dosis yang
disarankan adalah 500-2000 mg per hari terbagi
menjadi 2-4 dosis (McEvoy et al., 2011).
ESO: 1-10%: gelisah, sakit kepala, mulut kering (DIH
17th Ed).
Pasien awal masuk dengan diagnosa preeklampsi berat.
Magnesium Sulfat digunakan pada penaganan
18/5/19 19/5/19 Inj MgSO4 20% IV Bolus 4 gram konservatif preeklamisa (pasien tidak mengalami
kejang). Magnesium sulfat berperan sebagai
vasodilator, pada vaskularisasi perifer dan cerebral,
Mencegah yang dapat mengurangi resistensi perifer dan mengatasi
kejang yang vasokonstriksi, sehingga dapat mencegah terjadinya
Profilaksi kejang /
berhubngan kejang (eklamsi) (Euser & Cipolla, 2009).
eklamsia
dengan Dosis : I.V. 4-5 g infus; diikuti dengan 1-2 g/jam (Lacy
preeklampsai et al., 2009). Dosis pada pasien telah sesuai dengan
18/5/19 19/5/19 Inj MgSO4 20% IV SP 1 gram/jam
literatur.
Pada penggunaan MgSO4 diperlukan perhatian
terhadap efek samping dari MgSO4 yaitu kelemahan
otot, depresi pernapasan (DIH, 2015)

Ketorolac diberikan sebagai analgesik untuk


mengurangi nyeri post operasi (Mc Evoy, 2011). Dosis
ketorolac untuk rute intravena adalah 30 mg sebagai
Analgesik post
19/5/19 20/5/19 Ketorolak IV 30 mg/8jam single dose, atau 30 mg setiap 6 jam dan tidak lebih
operasi
dari 120 mg/hari (IBM, 2018).
ESO: Sakit kepala (17%), dispepsia (12%), mual (12%)
Skala nyeri
(DIH 17th Ed)
Analgesik Skala nyeri pasien 1-2, sehingga diberikan terapi
analgesik asam mefenamat. Asam mefenamat
18/5/19 20/5/19 Asam mefenamat PO 3 x 500 mg digunakan sebagai terapi nyeri post operasi. Digunakan
untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang dengan
durasi <1 minggu (McEvoy, 2011).
19/5/19 20/5/19 Metoklopramid IV 3 x 10 mg Antiemetetik Mual dan muntah Metoclopramide bekerja dengan menghambat reseptor
dopamin dan serotonin pada CTZ serta meningkatkan
motilitas usus dan sfingter tone esofageal bawah (IBM,
2018). Dosis metoclopramide adalah 10 mg Intravena
atau Intramuskular.
Pasien operasi pada tanggal 19/5/2019 diberikan
metoclopramide sebagai antiemetik.
ESO: Lelah, kepenatan, retensi cairan (DIH 17th Ed).
Ranitidine menghambat produksi asam lambung
dengan cara menghambat reseptor H2 (IBM, 2018),
Pemberian ranitidine untuk profilaksis stress ulcer
adalah 50 mg setiap 6 – 8 jam. Maksimal 400 mg
sehari (McEvoy, 2011; IBM, 2018).
Profilaksis
Dalam hal ini interval pemberian ranitidine kepada
stress ulcer
pasien kurang sesuai dengan literatur, namun pasien
19/5/19 20/5/19 Ranitidin Intravena 2 x 50 mg post op / Mual dan muntah
tetap diberikan Ranitidine 50 mg Intravena diberikan
mencegah
setiap 12 jam atau sehari 2x karena pemberian tersebut
mual muntah
sudah cukup efektif sebagi profilaksis stress ulcer
pasien (pasien tidak mual muntah).
ESO: Sakit kepala sekitar (3%); Efek GI: Sembelit,
mual, muntah; Reaksi hipersensitivitas: bronkospasme,
demam, ruam (AHFS).
9/5/19 20/5/19 Cefazolin IV drip 2 mg Antibiotik Tanda SIRS Cefazolin digunakan sebagai profilaksis dengan dosis
(Suhu, RR, TD, 1-2 gram IV drip 15 menit, pada 30-60 menit sebelum
Nadi, Leukosit) insisi dengan lama pemberian maksimal 24 jam.
Pemberian antibiotik profilaksis diulang bila terjadi
perdarahan >1500 ml atau lama operasi > 3 jam
(PPAB, 2018). Cefazoin bekerja drngan mencegah
sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat dan
menghambat transpeptidase dinding sel (Katzung, et.
al., 2012).
ESO: Hipersensitivitas yang ditandai dengan demam,
ruam kulit, nefritis, granulositopenia, anemia hemolitik,
dan anafilaksis (Katzung, et. al., 2012).

SF digunakan sebagai sumber besi pada keadaan


anemia karena defisiensi zat besi (Sweetman, 2008).
Suplemen
Pada pasien tidak ditemukan adanya indikasi anemia.
penambah
Kadar Hb, MCV, Nilai MCV pasien kurang dari normal dan nilai MCHC
18/5/19 - SF tablet PO 2 x 1 tablet darah
MCHC, MCH lebih dari normal, namun tidak ada tanda-tanda anemia
mencegah
pada pasien (Hb normal).
anemia
ESO: Iritasi GI, mual, muntah, konstipasi (>10%) (DIH
17th Ed).
MONITORING

PARAMETER TUJUAN

Elektrolit (Na, Cl, K, Ca) dan glukosa Mengetahui efektivitas nutrisi parenteral
Kadar Hb, MCV, MCH, MCHC Mengetahui efektifitas dai terapi SF dan transfusi PRC

Nadi, RR, Kejang Mengetahui efektivitas dari ranitidin dan metoklopramid


Mengetahui efektivitas dari asam mefenamat dan ketorolak yang digunakan untuk
Skala nyei
mengatasi nyeri
Frekuensi mual dan muntah Mengetahui efektivitas dari ranitidin dan metoklopramid
Mengetahui efektivitas antibiotik cefazolin dan monitoring terjadinya infeksi pasca
Infeksi (suhu, nadi, RR) & Leukosit
operasi
.
ASUHAN KEFARMASIAN

No Tanggal DRP Uraian Masalah Rekomendasi / Saran


1 18/5/19 8. Interaksi Pasien mendapat terapi metildopa 3x 500 mg/8 jam PO sebagai Apoteker mengusulkan agar metildopa dan
obat antihipertensi dan SF tablet tiap 12 jam PO sebagai suplemen penambah SF tidak digunakan bersamaan. SF
(moderate) darah digunakan sebelum makan dan metil dopa
dapat digunakan sesudah makan (jarak
Waktu pemberian obat di RPO
pemberian 2-3jam)
Tanggal 18/5/19-19/5/19 20/5/19 Memonitoring jam penggunaan obat di RPO
00.26 06.00 serta memberikan konseling kepada perawat
Methyldopa 08.26 14.00 terkait waktu penggunaan metildopa dan SF.
16.26 22.00
Ferrous Sulfate 08.00 06.00
20.00 18.00

Penggunaan metildopa dan tablet SF pada tanggal 20/5/19 diberikan pada


waktu yang sama pukul 06.00 WIB. Pemberian dilakukan bersamaan
berpotensi terjadi interaksi obat yaitu SF dapat menurunkan kadar
metildopa di GI track sehingga efektivitas metildopa berkurang
(Micromedex 2018).
Kode
Masalah :
1. Indikasi: 3. Dosis obat 7. Lama pemberian 10. Ketidaksesuaian RM dengan: 14. Kompatibilitas obat
a. Tidak ada indikasi a. Kelebihan (over dosis) 8. Interaksi obat a. Resep 15. Ketersediaan obat/ kegagalan
b. Ada indikasi, tidak ada b. Kurang (under dosis) a. Obat b. Buku injeksi mendapat obat
terapi 4. Interval pemberian b. Makanan / minuman 11. Kesalahan penulisan resep 16. Kepatuhan
c. Kontra indikasi 5. Cara / waktu pemberian c. Hasil laboratorium 12. Stabilitas sediaan injeksi 17. Duplikasi terapi
2. Pemilihan obat 6. Rute pemberian 9. Efek Samping Obat 13. Sterilitas sediaan injeksi 18. Lain-lain……….
KONSELING DAN INFORMASI OBAT

KONSELING PADA KELUARGA PASIEN


Obat Konseling
Nifedipin 3x10 mg tablet Mengontrol tekanan darah pasien. Diminum 3x10 mg setelah makan karena dapat menimbulkan
mual-muntah, tablet tidak boleh dikunyah atau digerus. Efek samping yang dapat muncul yaitu
pusing karena hipotensi. Simpan di suhu ruangan tidak terkena sinar matahari langsung (McEvoy et
al., 2011).
Metildopa 3x500 mg tablet Metildopa digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Diminum 3x500 mg setelah makan. Efek
samping yg dapat terjadi, seperti: pusing, muntah, dan mulut kering (McEvoy, 2011).
SF 1 tablet/12 jam Tablet SF diminum ketika perut kosong untuk memaksimalkan absorbsi obat minimal 1 jam sebelum
makan atau 2 jam sesudah makan (drugs.com)
Asam mefenamat 3x500 mg tablet Asam mefenamat digunakan sesudah makan untuk meminimalkan resiko ESO di saluran cerna.

Obat Konseling
KONSELING PADA PERAWAT
Pasien mendapatkan injeksi MgSO4 4 Dapat digunakan melalui rute iv dan biasa digunakan MgSO4 20%. Rate injeksi tidak boleh melebihi
gram/24 jam IV 1,5ml dari larutan 10% per menit. Sediaan disimpan pada suhu ruangan yang terkontrol, dan dihindarkan
dari beku (ASHP Handbook of Injectable Drug).
Ranitidin 50 mg/12 jam IV Bentuk sediaan: ampu 50 mg/ 2 mL, cara pemberian: IV Ranitidin 50 mg dilarutkan dengan 20 ml NaCl
0,9%; diberikan secara IV, lama pemberian minimal 5 menit, penyimpanan: suhu 4-30°C, BUD: maksimal
24 jam setelah diencerkan, (Trissel et al, 2013).
Injeksi ketorolac 3x10 mg IV Bentuk Sediaan : vial 30 mg/mL
Cara Pemberian (injeksi intravena) berikan dengan bolus IV melebihi waktu minimum 15 detik, dianjutkan
1 hingga 2 menit (Gahart, 2018). Tidak diperlukan pengenceran. Bila diperlukan pengenceran, dapat
digunakan natrium klorida 0,9% atau glukosa 5%. Stabilitas : Segera diberika setelah disiapkan
Cairan infus yang kompatibel : Larutan Ringer, Ringer laktasi, glukosa 5% dan natrium klorida 0,9%.
Injeksi cefazolin 2 gram IV Injeksi Cefazolin 2 g diberikan untuk tujuan antibiotik profilaksis saat proses operasi.Setiap 1 gram atau
fraksi dari serbuk liofilisasi dilarutkan sampai homogen dalam minimal 2,5 ml SWFI. Berikan dalam 3
sampai 5 menit per 1 gram. Penyimpanan : maksimal 24 jam setelah preparasi jika disimpan dalam CRT
atau 10 hari jika disimpan dalam kulkas (Gahart, 2018).
Stabilitas 1 hari, bila ada sisa dibuang atau di rapacking bagian produksi.
Saat pemberian 30-60 menit sebelum insisi, sekali pemberian atau dosis tunggal dalam waktu 15-30 menit
secara drip intravena (di larutkan dalam 100 ml normal saline pada pasien dewasa) dan pemberian di kamar
operasi (PPAB, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Alldrege BK, Corelli RL, Ernst ME, Guglielmo BJ, Jacobson PA, Kradjan WA,
Williams BR. 2013. Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The
Clinical Use of Drugs, 10th Edition. USA: Lippncott Williams & Wilkins.
Beckmann, C.R.B., et al. 2010. Obstretic and Gynecology 6th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Bina Pelayanan Kefarmasian. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, JT (Eds). 2015. Pharmacotherapy a Pathopysiologic Approach, 9th
Edition. United. States: The McGraw-Hill Companies.
Divisi Kedokteran Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi. 2018.
Panduan Praktek Klinis dan Standar Prosedur Operasional Kedokteran
Fetomaternal. Surabaya: Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr.
Soetomo.
G. Lambert, et al. 2014. Preeclampsia: An Update. Acta Anasethesiologica
Belgica, Vol. 65, pp.137-149.
IBM. Micromedex ® Drug Reference. 2018.
Katzung, B.G (Eds). 2012. Basic and Clinical Pharmacology, 12th Edition.
United States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Lacy, Charles. F., 2009. Drug Information Handbook 17th Edition, Lexi Comp.
McEvoy, Gerald K .(2008). AHFS Drug Information Essential. American
Society of Health- System Pharmacists.
NCGC, 2013. Intravenous Fluid Therapy in AdultsiIn Hospital, National
Clinical Guideline Centre.
Peres, G.M, et al. 2018. Review Pre-Eclampsia and Eclampsia : An Update on the
Pharmacological Treatment Applied in Portugal. Journal of Cardiovascular
Development and Disease. Vol. 5, doi:10.3390/jcdd5010003.
Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Pre-eklamsia. Jakarta
PPAB. 2018. Pedoman Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan Terapi.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
www.emedicine.medscape.com diakses pada 20 Mei 2019
www.micromedexsolutions.com diakses pada 20 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai