Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
1
pada kulit. Gejala kemerahan biasanya akan muncul pada wajah, lutut, tangan dan
kaki, namun tidak menutup kemungkinan kemerahan muncul didaerah lain.
Daerah yang terkena akan terasa sangat kering, menebal atau keropeng.
Pada orang kulit putih, daerah ini pada mulanya akan berwarna merah muda lalu
berubah menjadi cokelat. Sementara itu pada orang dengan kulit lebih gelap,
eksim akan mempengaruhi pigmen kulit sehingga daerah eksim akan tampak lebih
terang atau lebih gelap.
Oleh karena itu masyarakat mau tidak mau harus sadar akan namanya
kebersihan hidup , mengubah gaya hidup menjadi gaya hidup yang lebih sehat
tentunya . Dan jika mengalami suatu tanda dan gejala penyakit kulit yang sudah
berkepanjangan agar memeriksanya ke dokter sehingga bisa ditangani .
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian dari dermatitis ?
1.2.2 Ada berapa sajakah klasifikasi dari dermatitis sendiri ?
1.2.3 Bagaimana etiologi dermatitis ?
1.2.4 Bagaimanakah pula manefestasi klinis yang sering dialami penderita
dermatitis ?
1.2.5 Bagaimanakah perjalanan dari penyakit dermatitis ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar maahasiswa dan masyarakat lebih memahami dan mengerti
tentang berbagai macam penyakit kulit termasuk dermatitis sendiri .
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian dari dermatitis .
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari dermatitis sendiri .
3. Untuk mengetahui etiologi dermatitis .
4. Untuk mengetahui manefestasi klinis yang sering dialami penderita
dermatitis .
5. Untuk mengetahui perjalanan dari penyakit dermatitis .
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dermatitis
Eksim atau sering disebut eksema, atau dermatitis adalah peradangan
hebat yang menyebabkan pembentukan lepuh atau gelembung kecil (vesikel)
pada kulit hingga akhirnya pecah dan mengeluarkan cairan. Istilah eksim juga
digunakan untuk sekelompok kondisi yang menyebabkan perubahan pola pada
kulit dan menimbulkan perubahan spesifik di bagian permukaan. Istilah ini
diambil dari Bahasa Yunani yang berarti 'mendidih atau mengalir keluar (Mitchell
dan Hepplewhite, 2005)
Dermatitis adalah peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berubah eflo-resensi polimorfik (eritema, edema,papul, vesikel, skuama,
dan keluhan gatal) (Adhi Juanda,2005).
Dermatitis atau lebih dikenal sebagai eksim merupakan penyakit kulit
yang mengalami peradangan kerena bermacam sebab dan timbul dalam berbagai
jenis, terutama kulit yang kering, umumnya berupa pembengkakan, memerah, dan
gatal pada kulit (Widhya, 2011).
3
karet, logam, perhiasan, parfum, kosmetik atau rumput. Kondisi ini dapat
diklasifikasikan menjadi dermatitis kontak alergik dan iritan. Yang terakhir
(iritan) lebih sering terjadi dan muncul karena kulit berkontak dengan bahan-
bahan kimia sementara yang pertama muncul karena terpapar dengan suatu bahan
yang menyebabkan orang tersebut menjadi sensitif. Pada beberapa kasus, kontak
alergi hanya muncul ketika alergen/iritan berpasangan dengan sinar ultraviolet,
dan ini disebut dengan istilah dermatitis fotokontak. Perluasan penyakit yang
sesungguhnya pada suatu individu sangat bervariasi sejalan dengan waktu,
meskipun riwayat alergi berpengaruh dalam menyebabkan seseorang mengalami
kondisi ini. Keadaan ini biasanya hilang tanpa komplikasi dalam waktu 2 sampai
3 minggu, hindari paparan terhadap alergen/iritan yang ada. Komplikasi mungkin
terjadi pada orang yang berkulit gelap, yang mana hal ini dapat menyebabkan
terjadinya perubahan warna kulit (lebih terang atau lebih gelap), dan juga pada
mereka yang menderita infeksi bakteri sekunder.
2.2.2 Neurodermatitis
4
cm. Penyakit ini muncul saat sejumlah pakaian ketat yang kita kenakan
menggores kulit sehingga iritasi. Iritasi ini memicu kita untuk menggaruk bagian
yang terasa gatal. Biasanya muncul pada pergelangan kaki, pergelangan tangan,
lengan dan bagian belakang dari leher. Keadaan ini tidaklah menular tetapi
mempunyai beberapa penyebab yang memungkinkannya. Umumnya kondisi ini
lebih sering terjadi pada wanita, dengan awal kemunculannya pada usia antara 30
dan 50 tahun. Prognosis umumnya baik dengan lesi dan kegatalan akan sembuh
melalui pengobatan, asalkan pasien berhenti memperburuk lesi tersebut. Namun,
dengan memperhitungkan bahwa kondisi ini mempunyai sifat menjadi kronis dan
rekuren dengan sendirinya, maka disarankan untuk melakukan konsultasi dengan
seorang dokter ahli.
5
Meskipun demikian, hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan. Komplikasi yang
sering terjadi antara lain infeksi sekunder bakteri atau jamur. Bertentangan dengan
kepercayaan yang beredar, kondisi ini tidaklah menular dan juga bukan
merupakan sebagai suatu pertanda tidak bersih (meskipun kebersihan yang buruk
dapat membuatnya bertambah parah).
6
2.2.5 Dermatitis Atopik
Dermatitis Atopik, juga dikenal sebagai ekzema atopik, adalah suatu
kondisi medis yang kronis yang ditandai dengan kulit yang kemerahan, kering,
meradang dan gatal, biasanya pada lapisan dalam sendi (seperti siku dan lutut).
Apabila kulit yang meradang memburuk, mungkin akan menjadi lecet atau
terbentuk lepuhan. Kondisi ini dapat memburuk atau membaik seiring dengan
waktu, kadang-kadang hilang ketika orang tersebut telah menjadi remaja. Namun,
penyakit ini dapat kambuh beberapa waktu kemudian. Kebanyakan kasus untuk
penyakit ini biasanya muncul sebelum usia 5 tahun dan terutama terjadi pada
orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan dan di iklim yang kelembabannya
rendah. Penyebab untuk penyakit ini telah diidentifikasi, tetapi perlu diingat
bahwa penyakit ini merupakan faktor keturunan. Sayangnya, penyakit ini tidak
dapat disembuhkan, tapi dapat dikontrol melalui pemakaian obat-obatan dan
menghindari alergen yang potensial. Komplikasi biasanya hanya terjadi apabila
pemakaian obat-obatan tidak dilakukan dengan benar.
2.3 Etiologi
7
kulit. Oleh karena itu, eksim banyak ditemukan pada keluarga dengan riwayat
penyakit alergi atau asma.
Tiap – tiap orang mempunyai pencetus eksim yang berbeda beda. Ada
orang yang setelah memegang sabun atau deterjen akan merasakan gatal yang luar
biasa, ada pula yang disebabkan oleh bahan atau alat rumah tangga yang lain.
Gejala yang timbul pun bervariasi, ada yang gatalnya ringan tetapi rasa panas
yang dominan, ada pula yang sebaliknya. Infeksi saluran nafas bagian atas atau flu
juga bisa menjadi pencetus timbulnya eksim. Stress yang dialami penderita akan
membuat gejala menjadi lebih buruk.
Meskipun penyembuhan eksim sangat sulit dilakukan, namun pada banyak
kasus, pasien dapat mengurangi terjadinya kekambuhan dengan melakukan
pengobatan yang tepat dan menghindari iritan/alergen yang menyebabkan eksim.
Perlu diingat, penyakit ini tidak menular dan tidak akan menyebar dari satu orang
ke orang yang lain.
Penyebab dermatitis kadang–kadang tidak diketahui sebagian besar merupakan
respon kulit terhadap agen-agen yang beraneka ragam, misalnya
8
Menurut Harahap (2000), karena lokalisasinya di tempat yang banyak
berkeringat (hiperhidrosis), diduga keringat sebagai penyebabnya (dishidrotik).
Penderita juga mempunyai riwayat kecenderungan atopy (eksema, asma, hay
fever dan rinitis alergika).
Penyebab dyshidrotic eczema belum diketahui dengan pasti. Dyshidrotic
eczema sering timbul bersamaan dengan penyakit kulit lain misalnya dermatitis
atopik, dermatitis kontak, alergi terhadap bahan metal, infeksi dermatofita, infeksi
bakteri, lingkungan dan stres. Menurut Burdick (2004), ada beberapa faktor yang
mungkin berperan dalam menyebabkan dyshidrotic eczema dan pompholyx,
yaitu:
Faktor genetik : Kembar monozigot dapat secara serentak dipengaruhi
oleh dyshidrotic eczema.
Atopy : Sebanyak 50% pasien dengan dyshidrotic eczema dilaporkan baik
secara personal maupun keluarga mempunyai atopy diatesis (eksema,
asma, hay fever, rinitis alergika)
Serum IgE akan meningkat, sekalipun pasien dan keluarga tidak
mempunyai riwayat atopy.
Dyshidrotic eczema bisa merupakan manifestasi awal dari diatesis atopy.
Sensitif terhadap nikel : Ini mungkin faktor yang signifikan dalam
dyshidrotic eczema namun mempunyai jumlah yang rendah, sedangkan
dalam beberapa studi lain dilaporkan adanya peningkatan terhadap
sensitifitas terhadap nikel.
Diet rendah nikel : Hal ini dilaporkan dapat menurunkan frekuensi dan
keparahan dari dyshidrotic eczema.
Reaksi id : Timbulnya dyshidrotic eczema tidak selalu berhubungan
dengan paparan bahan kimia yang peka atau metal (misalnya kromium,
kobalt, karbomix, fragande mix, diaminodiphenylmethana, parfum,
fragrances dan balsem dari Peru).
Infeksi jamur.
Stres emosi : Merupakan faktor yang paling memungkinkan menyebabkan
dyshidrotic eczema. Banyak pasien melaporkan adanya pompholyx
9
berulang selama periode stres. Perbaikan dyshidrotic eczema
menggunakan biofeedback untuk mengurangi stres.
Faktor lain : Faktor yang dilaporkan bisa menyebabkan dyshidrotic
eczema antara lain rokok, kontrasepsi oral, aspirin dan implan metal.
2.4 Patofisiologi
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan
iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-
bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom,
mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid
keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik
akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi
pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system
kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang
akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan
mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil
gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis
kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator.
Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis
yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.Ada dua jenis bahan
iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan
kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya
pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor
kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai
andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV
yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :
1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini
terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan
kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten
menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan
10
pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk
mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis,
menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel
Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte
Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE
menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah
proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan
molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel
Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein
heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik,
misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen
tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan
antigen (antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk
mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk
mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T
sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh
tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak
berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama
14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut
telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis
kontak alergik.
2. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF
(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi
dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai
macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak
sebagai dermatitis.
11
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-
1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2
berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan
keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan
memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan
beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan
akhirnya menekan atau meredakan peradangan.
12
PATHWAY
13
2.6 Komplikasi
2.7 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan yang baik adalah mengidentifikasi
penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi individual yang
sesuai dengan tahap penyakitnya dan perlindungan pada kulit.
1. Pencegahan
Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis
kontak iritan dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal dapat
dilaksanakan misalnya penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan sarung
tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat bergagang panjang, penggunaan
deterjen.
2. Pengobatan
a. Pengobatan topikal
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan
dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka), bila kering
berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif.
Bila akut berikan kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum
(pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila
14
kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering di
dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus
ringan. Jenis-jenisnya adalah :
1) Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian
topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak alergik.
Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin
disebabkan karena efek langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian
steroid topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-DR sel
Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji antigennya. Juga
menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel T
dihambat. Efek imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam
proses dermatitis kontak dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat
diberikan adalah hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara
pemakaian topikal dengan menggosok secara lembut. Untuk meningkatan
penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup
dengan film plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya
efek samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.
2) Radiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis kontak
melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya fungsi
sel Langerhans dan menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari
sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di
kulit mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI dan HLA-
DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-
psoralen dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis.
Secara imunologis dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis,
menurunkan jumlah sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi
mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui
mekanisme yang diperantarai TNF maka jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans
15
akan sangat berkurang jumlahnya dan sel Langerhans menjadi tolerogenik. UVB
juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.
3) Siklosporin A
Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari
hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada manusia hanya
memberikan efek minimal, mungkin disebabkan oleh kurangnya absorbsi atau
inaktivasi dari obat di epidermis atau dermis.
4) Antibiotika dan antimikotika
Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa
hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi tersebut
dapat diberikan antibiotika (misalnya gentamisin) dan antimikotika (misalnya
clotrimazole) dalam bentuk topikal.
5) Imunosupresif
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus)
dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi sel T
melalui penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya
terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan
tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ ASM 981
merupakan derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi.
Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17-
propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-
valerat 0,1%, namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan
adalah 1%. Efek anti peradangan tidak mengganggu respon imun sistemik dan
penggunaan secara topikal sama efektifnya dengan pemakaian secara oral.
b. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga
pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenis-jenisnya
adalah :
1) Antihistamin
Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek
sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat
16
pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi
antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan
asetilkolin.
2) Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,
intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan prednisolon.
Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan karena berdaya kerja lama. Bila
diberikan dalam waktu singkat maka efek sampingnya akan minimal. Perlu
perhatian khusus pada penderita ulkus peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek
sampingnya terutama pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan
perubahan dari insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan
menghambat proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada
sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat
sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.
3) Siklosporin
Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T penolong
dan menghambat produksi sitokin terutama IL-2, INF-r, IL-1 dan IL-8.
Mengurangi aktivitas sel T, monosit, makrofag dan keratinosit serta menghambat
ekspresi ICAM-1.
4) Pentoksifilin
Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan ekspresi
ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans. Merupakan derivat teobromin yang
memiliki efek menghambat peradangan.
5) FK 506 (Trakolimus)
Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan selular. Menghambat
sekresi IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi sintesis leukotrin pada sel
mast serta pelepasan histamin dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.
6) Ca++ antagonis
Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans. Jenisnya seperti nifedipin
dan amilorid.
17
7) Derivat vitamin D3
Menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin IL-1, IL-2, IL-6 dan
INF-r yang merupakan mediator-mediator poten dari peradangan. Contohnya
adalah kalsitriol.
8) SDZ ASM 981
Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti inflamasi yang tinggi.
Dapat juga diberikan secara topical, pemberian secara oral lebih baik daripada
siklosporin .
18
Menurut Burdick (2004), diagnosis dyshidrotic eczema biasanya
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis semata dan mudah untuk didiagnosis
karena cenderung tidak menyerupai keadaan lainnya. Pemeriksaan kultur bakteri
dan sensitifitas dilakukan jika curiga adanya infeksi sekunder. Sedangkan tes
darah biasanya tidak diusulkan, tapi biasanya IgE-nya meningkat. Dapat juga
dilakukan uji tempel (Patch Test) bila dicurigai adanya dermatitis kontak alergi.
19
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Pengkajian Identitas Klien
Nama :
MR :
Masuk ke RS :
Tanggal Lahir :
Umur :
Jenis kelamin :
Agama :
Alamat :
b. Pengkajian Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan sekarang
c. Pemerikasaan Penunjang
20
Nafsu makan menurun.
Muntah-muntah.
Penurunan berat badan.
Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal, rasa
terbakar atau perih.
3. Pola Eliminasi
Sering berkeringat.
tanyakan pola berkemih dan bowel.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pemenuhan sehari-hari terganggu.
Kelemahan umum, malaise.
Toleransi terhadap aktivitas rendah.
Mudah berkeringat saat melakukan aktivitas ringan
Perubahan pola napas saat melakukan aktivitas.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Kesulitan tidur pada malam hari karena stres.
Mimpi buruk.
6. Pola Persepsi Kognitif
Perubahan dalam konsentrasi dan daya ingat.
Pengetahuan akan penyakitnya.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Perasaan tidak percaya diri atau minder.
Perasaan terisolasi.
8. Pola Hubungan dengan Sesama
Hidup sendiri atau berkeluarga
Frekuensi interaksi berkurang
Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
9. Pola Reproduksi Seksualitas
Gangguan pemenuhan kebutuhan biologis dengan pasangan.
Penggunaan obat KB mempengaruhi hormon.
10. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
21
Emosi tidak stabil
Ansietas, takut akan penyakitnya
Disorientasi, gelisah
11. Pola Sistem Kepercayaan
Perubahan dalam diri klien dalam melakukan ibadah
Agama yang dianut
22
buruk
3.
23
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dermatitis adalah suatu peradangan pada dermis dan epidermis yang
dalam perkembangannya memberikan gambaran klinik berupa efloresensi
polimorf dan pada umumnya memberikan gejala subjektif gatal.
Secara umum penyebab dari dermatitis yaitu : respon kulit terhadap
agen-agen yang beraneka ragam, mis: zat kimia, protein, bakteri adanya respon
alergi.
Secara umum manifestasi klinis dari dermatitis yaitu secara Subyektif
ada tanda–tanda radang akut terutama pruritus ( sebagai pengganti dolor). Selain
itu terdapat pula kenaikan suhu (kalor), kemerahan (rubor), edema atau
pembengkakan dan gangguan fungsi kulit (function laisa). Sedangkan secara
Obyektif, biasanya batas kelainan tidak tegas dan terdapat lesi polimorfi yang
dapat timbul secara serentak atau beturut-turut.
Komplikasi dengan penyakit lain yang dapat terjadi adalah sindrom
pernapasan akut, gangguan ginjal, Infeksi kulit oleh bakteri-bakteri yang lazim
dijumpai terutama staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes
simpleks.
4.2 Saran
Kepada mahasiswa (khususnya mahasiswa perawat) atau pembaca
disarankan agar dapat mengambil pelajaran dari makalah ini sehingga apabila
terdapat tanda dan gejala penyakit dermatitis pada maka kita dapat melakukan
tindakan yang tepat agar penyakit tersebut tidak berlanjut ke arah yang lebih
buruk. Dan disarankan kepada orang tua agar menjaga/menghindarkan anak-anak
dari bahan-bahan yang dapat menyebabkan dermatitis.
24
RHINITIS
25
BAB 1
PENDAHULUAN
26
1.3.3 Untuk mengetahui patofisiologi rhinitis
1.3.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis rhinitis
1.3.5 Untuk mengetahui komplikasi dari rhinitis
1.3.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang rhinitis
1.3.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan rhinitis
27
BAB 2
PEMBAHASAN
2.2 Klasifikasi
2.2.1 Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus
dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu
waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi
pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa
yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
rinitis vasomotor.
28
saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang
mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi
kronis. Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan
setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman.
Berdasarkan waktunya, Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:
1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim semi.Umumnya disebabkan kontak dengan
allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan
angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap.
2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi
sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering
berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-
bauan yang menyengat
29
2. Rinitis Non-Alergika Dengan Sindroma Eosinofilia
Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme
prostaglandin. Pada hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan
eosinofil sebanyak 10-20%. Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung
meler, hidung terasa gatal dan penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).
3. Rinitis Okupasional
Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja. Gejala-
gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan (misalnya
debu kayu, bahan kimia). Penderita juga sering mengalami asma karena
pekerjaan.
4. Rinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi gangguan
keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas,
pemakaian pil KB). Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam
hialuronat di selaput hidung. Gejala rinitis pada kehamilan biasanya mulai
timbul pada bulan kedua, terus berlangsung selama kehamilan dan akan
menghilang pada saat persalinan tiba. Gejala utamanya adalah hidung
tersumbat dan hidung berair.
5. Rinitis Karena Obat-obatan (rinitis medikamentosa)
Obat-obatan yang berhubungan dengan terjadinya rinitis adalah
dekongestan topikal, ACE inhibitor, reserpin, guanetidin, fentolamin,
metildopa, beta-bloker, klorpromazin,gabapentin, penisilamin, aspirin, NSAID,
kokain, estrogen eksogen, pil KB.
6. Rinitis Gustatorius
Rinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu,
terutama makanan yang panas dan pedas.
7. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya
keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih
dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di
hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin-bersin dan hidung
berair. Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik
30
lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas
parasimpatis. faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas, penyakit – penyakit
endokrin, obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral.
2.3 Etiologi
2.3.1 Rinitis Alergi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 %
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi
yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang
respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi
yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan allergen
hingga 1 jam setelahnyaLate Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung
pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
31
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga
tahap besar :
1. Respon Primer,terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non
spesifik
2. Respon Sekunder,reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan
system humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua
system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap
ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system
tersebut maka berlanjut ke respon tersier
3. Respon Tersier ,Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan
Sedangkan klasifikasi yang lebih baru menurut guideline dari ARIA, 2001
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) disdasarkan pada waktu
terjadinya gejala dan keparahannya adalah:
Berdasarkan lamanya terjadi gejala
Klasifikasi Gejala dialami selama
Intermitten Kurang dari 4 hari seminggu,
atau kurang dari 4 minggu
setiap saat kambuh.
Persisten Lebih dari 4 hari seminggu,
atau lebih dari 4 minggu
setiap saat kambuh.
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup
Ringan Tidak mengganggu tidur,
aktivitas harian, olahraga,
sekolah atau pekerjaan. Tidak
ada gejala yang mengganggu.
Sedang sampai Terjadi satu atau lebih kejadian
berat di bawah ini:
Gangguan tidur
gangguan aktivitas
harian, kesenangan, atau
32
olah raga
gangguan pada sekolah
atau pekerjaan
gejala yang mengganggu
2.4 Patofisiologi
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan
pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan
pada individu individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai
33
produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan
selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung
jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan.
Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi.
Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung
terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).
34
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung
atau infeksi sinus.
d. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.
e. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
f. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
g. Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas
berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau,
krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
h. Pada penderita THT ditemukan ronnga hidung sangat lapang, kinka
inferiordan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta
berwarna hijau
2.6 Komplikasi
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
2.7 Pemeriksaan penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
35
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test´).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
2.8 Penatalaksanaan
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal. Hindari
kontak dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan
(alergi makanan). Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin,
dekongestan dan kortikosteroid
a. Antihistamin
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral. Antihistamin
oral dibagi menjadi dua yaitu generasi pertama (nonselektif) dikenal juga sebagai
36
antihistamin sedatif serta generasi kedua (selektif) dikenal juga sebagai
antihistamin nonsedatif.
Efek sedative antihistamin sangat cocok digunakan untuk pasien yang
mengalami gangguan tidur karena rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu efek
samping yang biasa ditimbulkan oleh obat golongan antihistamin adalah efek
antikolinergik seperti mulut kering, susah buang air kecil dan konstipasi.
Penggunaan obat ini perlu diperhatikan untuk pasien yang mengalami kenaikan
tekanan intraokuler, hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum
terpapar allergen. Penggunaan antihistamin harus selalu diperhatikan terutama
mengenai efek sampingnya. Antihistamin generasi kedua memang memberikan
efek sedative yang sangat kecil namun secara ekonomi lebih mahal.
b. Dekongestan
Dekongestan topical dan sistemik merupakan simpatomimetik agen yang
beraksi pada reseptor adrenergic pada mukosa nasal, memproduksi vasokonstriksi.
Topikal dekongestan biasanya digunakan melalui sediaan tetes atau spray.
Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi
secara sistemik (Dipiro, 2005). Penggunaan obat ini dalam jangka waktu yang
lama dapat menimbulkan rhinitis medikamentosa (rhinitis karena penggunaan
obat-obatan). Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan
antara lain rasa terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu
penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi pasien.
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical. Namun
durasinya biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa digunakan adalah
pseudoefedrin. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
walaupun digunakan pada dosis terapinya (Dipiro, 2005). Obat ini harus hati-hati
digunakan untuk pasien-pasien tertentu seperti penderita hipertensi. Saat ini telah
ada produk kombinasi antara antihistamin dan dekongestan. Kombinasi ini
rasional karena mekanismenya berbeda.
37
c. Nasal Steroid
Merupakan obat pilihan untuk rhinitis tipe perennial, dan dapat digunakan
untuk rhinitis seasonal. Nasal steroid diketahui memiliki efek samping yang
sedikit.
Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan
ipatropium bromida.
Operatif : Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior
yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka
nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
Imunoterapi : Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi
dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi
ingestan.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Tannggal masuk rumah sakit :
Penanggung jawab :
Hubungan :
No. MR :
38
b. Riwayat kesehatan.
- Keluhan Utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala sinus dan tenggorokan.
c. Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum.
Klien tampak pilek keluar ingus dari hidung klien.
2. Head to toe.
Telinga.
Inspeksi :
Bentuk dan ukuran : normal.
Tidak terdapat benjolan.
Tidak terdapat serumen.
Tidak terdapat edema.
Hidung.
Inspeksi.
Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung.
39
Tidak terdapat jarinagn parut dalam hidung.
Tidak terdapat deviasi septum.
Tampak pembengkakan dan hiperemis pada konka hidung.
Tidak tampak udem mukosa.
Mukosa hidung hiperemis.
Terdapat secret.
Palpasi.
Tidak terdapat nyeri tekan.
Tidak ada krepitasi.
Tenggorokan.
Inspeksi.
Mukosa lidah dalam batas normal, tidak terdapat gambaran peta.
Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+).
Ovula : tidak ada kelainan.
Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis.
Detritus (-)
Palpasi.
Pembesaran submandibula (-), nyeri tekan (-)
40
menjadi berkurang, dan biasanya klien yang mengalami
hipersensitivitas tidak dapat memakan sembarang makanan,
sehingga mengakibatkan penurunan berat badan pada klien.
c. Pola eliminasi.
Pola perkemihan klien lancer dank lien juga tidak mengalami
masalah pad BAB nya.
41
i. Pola seksualitas dan produksi.
Kebutuhan seksualitas klien tidak terganggu.
42
Indikator: NAFAS
Kemudahan bernafas
Membuka jalan
Tekanan O2 dalam batas
nafas dengan cara
normal
dagu diangkat atau
Tekanan CO2 dalam batas
rahang ditinggikan.
normal
Memposisikan
KEADAAN
pasien agar
PERNAFASAN:
mendapatkan
VENTILASI
ventilasi yang
Nilai pernafasan padaskala
maksimal.
yang ditentukan
Mengidentifikasi
Tingkat kedalaman
pasien berdasarkan
inspirasi
penghirupan nafas
Kemudahan bernafas
yang potensial pada
Pengeluaran dahak dari jalan nafas.
jalan nafas Penghirupan nafas
Pengeluaran udara melalui mulut atau
Tidak adanya nasopharing.
pengumpulan nafas melalui PEMBERSIHAN JALAN
bibir NAFAS
Tidak adanya pernafasan
Menentukan
dangkal
kebutuhan
Tidak adanya dyspnea pada
penyedotan pada
saat
mulut dan/atau
Istirahat
trakea.
Mendengarkan
bunyi nafas sebelum
dan sesudah
penyedotan.
Menginformasikan
pada pasirn dan
43
keluarga mengenai
penyedotan tersebut.
Poemberian obat
penenang.
Melakukan
pencegahan umum:
memakai sarung
tangan, kacamata
debu, dan masker.
Menyisipkan bunyi sengau
TINGKAT untuk memfasilitasi
KENYAMANAN penyedotan pada nasotrake.
2. Gangguan pola tidur Indicator :
berhubungan dengan- Melaporkan perkembangan
penyumbatan pada kepuasan
hidung - Melaporkan perkembangan
psikologi PENINGKATAN TIDUR
- Mengekspresikan perasaan - Anjurkan klien untuk
dengan lingkungan fisik menghindari mengkonsumsi
sekitar makanan dan minuman
yang dapat mengganggu
tidur.
- Ajarkan kepada klien dan
keluarga klien tentang
faktor yang dapat
menimbulkan gangguan
pola tidur
- Fasilitasi pemeliharaan
rutinitas klien sebelum tidur
- Bantu klien membatasi
waktu tidur siang dengan
memberi aktivitas yang
44
meningkatkan keterjagaan,
jika diperlukan.
MANAJEMEN ENERGI
- Tentukan pembatasan
aktivitas fisik pasien
- Monitor pola tidur
- Monitor lokasi
ketidaknyamanan/nyeri
- Bantu pasien membuat
jdwal istirahat
3. Kurangnya PENGETAHUAN: proses - Jelaskan apa dan
pengetahuan
penyakit.Indikator : bagaimana aktivitas yang
berhubungan dengan
ketidak tahuan- menjelaskan proses dibutuhkan untuk
informasi
terjadinyapenyakit membangun energi
- - Monitor intake nutrisi
mendeskripsikanpenyebaba yang adekuat
taufaktor-faktorpendukung
-
mendeskripsikanfaktorresik
o
- MEMPERSIAPKAN
mendeskripsikanakibatpen PERBAIKAN
yakit PENGETAHUAN
- Aktivitas:
mendeskripsikantandadang - Sediakanlingkungan yang
ejala aman
- - Adakanhubungan
mendiskripsikantindakanun - fokuspadamasalahpasien
tukmeminimalkanperkemb yang spesifik
anganpenyakit - bantu
- klienuntukmenyadaraikerent
45
mendeskripsikantindakanp ananuntukkomplikasi
encegahankomplikasi -
berikesempatanpadaklienunt
ukbertanya
PENGETAHUAN :
KEBIASAAN SEHAT 1. Mengajarkan proses
Indikator : penyakit
- Aktivitas:
Mendeskripsikankebiasaan - hargai tingkat
pemenuhannutrisi pengetahuan pasien
- Mendeskripsikan pola- jelaskan perjalanan suatu
tidur bangun yang efektif penyakit
- Mendeskripsikan efek- jelaskan tanda-tanda dan
kesehatan dari penggunaan gejala penyakit
alkohol, zatkimia, kafein - jelaskan proses penyakit
- Mendeskripsikan- identifikasi penyebab yang
keamanan penggunaan mungkin
resep obat-obatan. - sediakan informasi
mengenai kondisi kepada
PENGETAHUAN : pasien
Sumber tindakan.- diskusikan pemikiran yang
Indikator : ketinggalan yang
- Mendeskripsikan tindakan direkomendasikan
dalam keadaan darurat. manajemen
- Mendeskripsikan sumber (terapi/pengobatan)
untuk perlindungan dalam
- jelaskan komplikasi yang
keadaan darurat.
mungkin terjadi
MENGAJARKAN
MENENTUKAN
PENGOBATAN
Aktivitas:
46
- informasikan pada pasien
dari yang umum dan
berbagai jenis nama di
setiap pengobatan
- informasikan pada pasien
maksud dari tindakan
disetiap pengobatan
- informasikan pada pasien
takaran, perjalanan dan
waktu pengobatan
- evaluasi kemampuan pasien
untuk melakukan
pengobatan sendiri
- informasikan pada pasien
akibat dari pengobatan yang
tidak dilakukan.
- instruksikan pada pasien
efek samping dari
pengobatan
47
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di
hidung. (Dipiro, 2005).Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. (
Dorland, 2002 ). Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas Alergen Inhalan,
Alergen Ingestan, Alergen Injektan, Alergen Kontaktan. Dengan masuknya
allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar Respon
Primer, Respon Sekunder, Respon Tersier. Penatalaksanaannya Hindari kontak &
eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal. Hindari kontak dengan
alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan (alergi
makanan).Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan
dan kortikosteroid.
4.2 Saran
penyusun sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan
mutu makalah yang kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat
memberikan informasi yang lebih berguna untuk penyusun khususnya dan
pembaca umumnya.
48