Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Endometriosis”. Referat ini
kami buat sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD
SIDOARJO.

Dengan rasa hormat kami juga menyampaikan banyak terima kasih dari semua pihak atas
bantuan, terutama kepada:

1. Dr, Wahyu Sp.OG selaku pembimbing tugas referat di SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUD Sidoarjo
2. Teman sejawat saya, kelompok “J4” dan “N4” dokter muda kepaniteraan klinik RSUD
Sidoarjo

Kami menyadari referat ini masih ada kekurangan dan masih jauh dari sempurna, sehingga
kami mohon kritik dan sarannya. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
bersama. Amin.

Sidoarjo, 30 Januari 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN…………………………………….……………………..3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………….…………………4
A. Definisi……………………………………………….……………….….4
B. Anatomi Endometrium…………………………………………………7
B. Epidemiologi……………………………………………………….….....8
C. Sistem Klasifikasi………………………………………………….….....9
D. Patogenesis………………………………………………………….…...10
E. Faktor Resiko……………………………………………………………18
. F. Gejala klinis……………………………………………………….……..19
G. Diagnosis…………………………………………..……………………..22
BAB III TATALAKSANA…………………….……………………………………..24

A. Medical Management of Pain…………………………………………..24


B. Surgical Therapy…………………………………………………..........28
C. Surgical Management of Infertility Associated with Endometriosis…29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..30

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Endometriosis adalah suatu penyakit ginekologis yang bersifat kronis dan

menyerang 10% dari wanita usia reproduktif. Endometriosis pertama kali diidentifikasi

oleh Von Rokitansky pada abad ke 19. Insiden terjadinya endometriosis sulit untuk diukur,

pada sebagian besar wanita dengan endometriosis tidak ditemukan gejala yang spesifik,

selain itu modalitas pencitraan memiliki sensitivitas yang rendah. Wanita dengan

endometriosis memiliki gejala asimptomatis, subfertil, dan sering mengalami nyeri

panggul dengan derajat nyeri yang bervariasi. Fokus utama dalam investigasi dan

pengobatan endometriosis harus ditujukan pada resolusi dari gejala yang timbul.

(Prawirohardjo, 2011)

Gejala yang asimptomatis, mengakibatkan adanya kemungkinan prevalensi yang

lebih besar lagi. Sebagai contoh hingga 40% wanita yang melakukan prosedur sterilisasi

tuba dengan metode laparoskopi ditemukan menderita endometriosis tanpa disadari.

(Bieber & Sanfilipo, 2006)

Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka

kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan antara semua

operasi pelvic. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, dan lebih sering

didapatkan pada wanita-wanita dari golongan social-ekonomi yang kuat. Yang menarik

perhatian ialah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin

pada umur muda dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara

siklus yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memengang peranan dalam

terjadinya endometriosis.

3
Namun, karena endometriosis bersifat kronis, klinisi harus mengembangkan

rencana jangka panjang dari manajemen tiap pasien dalam mengatasi gejala yang

dirasakan, dan tujuan jangka panjang untuk kesuburan dan peningkatan kualitas hidup.

(Cunningham, 2008)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih

berfungsi terdapat di luar kavum uteri. (Prawirohardjo, 2011)

Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronik bersifat jinak dan oestrogen-

dependent yang menyerang 10% wanita usia reproduktif dan 35-50% wanita yang

menderita nyeri pelvis dan infertil. Definisi endometriosis bersifat histologis dan

membutuhkan indentifikasi atau penemuan dari jaringan endometrium dan jaringan stroma

di luar dari uterus. (Beckmann, Ling, & Barzansky, 2010)

Gambar II.1 Lokasi implan endometriosis


(Sumber: Beckmann, C., Ling, F., & Barzansky, B. (2010). Obstetric and Gynecology.
Philadelphia: American College of Obstetric and Gynecologist)

5
Mengenai lokasi, endometriosis telah ditemukan hampir di semua tempat pada

tubuh wanita, namun endometriosis lebih sering terjadi di kavum pelvis. Area yang paling

sering terkena adalah area ovarium diikuti dengan kavum douglas, ligament uterosacral,

plika vesikouterina, permukaan serosa dari uterus, tuba fallopi, ligamentum rotundum, dan

septum rectovaginal. (Acien & Velasco, 2013)

Tabel II.1 Lokasi tersering Endometriosis

(Sumber: Schrager, S., Falleroni, J., & Edgoose, J. (2013). Evaluation and Treatment for Endometriosis.
American Family Physician, 107-113.)

Endometriosis juga bisa berlokasi didalam traktur genitalia dan menyebar ke

serviks dan vagina, terutama pada dinding posterior vagina, yang terkait dengan septum

rektovaginal yang sering menjadi lokasi terjadinya endometriosis. Endometriosis juga bisa

terdapat di daerah perineum(terutama daerah bekas episiotomi) dan kelenjar bartholin.

(Acien & Velasco, 2013)

6
Gambar II.2 : Lokasi Endometriosis

(Sumber: Cunningham, F. (2008). Williams Gynecology. McGraw-Hill Companies.)

Lokasi endometriosis yang tidak biasa akan diikuti dengan gejala yang atipikal,

sebagai contoh adalah wanita dengan endometriosis pada traktus urinarius akan

mengeluhkan gejala irritative voiding symptom dan hematuria , sedangkan endometriosis

yang berlokasi di rectosigmoid gejalanya berupa perdarahan perektal dan lesi pada pleura

diasosiasikan dengan menstrual pneumothorax atau hemoptysis. (Cunningham, 2008)

B. Anatomi Endometrium
Endometrium terdiri dari epitel prismatik tunggal berlapis dengan atau tanpa silia

(tergantung pada seberapa jauh sepanjang siklus menstruasi) dan lamina nya basal, kelenjar

rahim, dan khusus, yang kaya sel jaringan ikat (stroma) yang berisi pasokan yang kaya

pembuluh darah. (Embryologi, 2017)

7
Gambar II.3 : Struktur Anatomi Endometrium
(Sumber: Embryologi. (2017, March Tuesday). Retrieved from Human Embryology
Embryogenesis: http://www.embryology.ch/anglais/gnidation/role01.html)

C. Epidemiologi
Prevalensi endometriosis pada populasi general cenderung sulit untuk dievaluasi

secara akurat karena beberapa wanita yang menderita endometriosis hampir tidak memiliki

gejala yang bermakna. Penelitian-penelitan yang telah dilakukan sebelumnya memberi

estimasi, sekitar 10% wanita pada usia reproduktif menderita endometriosis.

Endometriosis terdiagnosis pada 20-40% wanita yang mengalami inferitilitas, dan 70-90%

pada wanita yang mengeluhkan nyeri panggul kronis. (Schrager, Falleroni, & Edgoose,

2013)

Di Amerika Serikat, endometriosis merupakan penyebab ketiga terbanyak rawat

inap rumah sakit akibat kasus ginekologik, diestimasikan bahwa terjadi kerugian sebesar

8
$2801 untuk biaya pengobatan dan $1023 akibat menurunnya produktivitas kerja per

pasien yang menderita endometriosis. (Schrager, Falleroni, & Edgoose, 2013)

D. Sistem Klasifikasi
Metode primer dalam mendiagnosis endometriosis adalah melalui gambaran

laparoskopi, dengan atau tanpa konfirasi hasil histologi PA. Luasnya endometriosis dapat

bervariasi antara tiap individu, berbagai upaya telah dibuat untuk mengembangkan sistem

klasifikasi terstandar yang secara objektif menilai sejauh mana endometriosis. Klasifikasi

Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For

Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe,

lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.(lupaa)

Namun, kelemahan dari sistem pembagian ini adalah derajat beratnya klasifikasi

endometriosis tidak selalu merujuk beratnya derajat nyeri yang ditimbulkan ataupun efek

infertilitasnya. (Prawirohardjo, 2011)

Endometriosis diklasifkasi menjadi 4 stage( I-Minimal, II-Mild, III-Moderate, IV-

severe) tergantung dari lokasi, luas, dan kedalaman implan endometriosis, adanya atau

keparahan perlengketan, dan adanya endometrioma. Kebanyakan wanita menderita

endometriosis stage I atau II yang berupa implant superfisial dan perlengketan ringan.

Endometriosis stage III dan IV dikarakteristikan berupa kista coklat dan perlengketan yang

berat. Stage endometriosis tidak berkorelasi dengan beratnya gejala. (Medicine, 2017)

9
Gambar II.4 Sistem Klasifikasi Endometriosis
(Sumber: Medicine, A. S. (2017, 02 26). ASRM. Retrieved from ASRM:
https://www.asrm.org/Endometriosis_booklet/)

E. Patogenesis
o Retrograde Menstruation

Teori awal yang paling diterima secara luas merupakan teori retrograsi

menstruasi melalui tuba fallopi dengan penyebaran jaringan endometrium pada

rongga peritoneum. Jaringan endometrium yang mengalami rekfluks, menempel

10
dan menginvasi lapisan mesotelium peritoneal dan membentuk supply darah, lalu

implan jaringan endometrium akan menetap dan tumbuh (Cunningham, 2008)

o Coelomic Metaplasia

Teori ini mengatakan bahwa lapisan parietal peritoneum merupakan

jaringan pluripoten yang bisa mengalami transformasi metaplastik menjadi jaringan

yang serupa dengan jaringan endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor

dari endometrium yaitu duktus mullerian, keduanya berasal dari epithelium

coelomic, maka teori metaplasia dapat menjelaskan perkembangan dari

endometriosis ovarium. Selain itu, teori ini juga telah diperluas untuk mencakup

peritoneum karena kemampuan proliferasi dari lapisan mesothel peritoneum.

(Cunningham, 2008)

Teori ini sesuai dengan kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi,

seperti di wanita premenarke dan postmenopause. Namun, tidak adanya

endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel coelomic membantahkan

teori ini (Cunningham, 2008)

o Hormon

Salah satu faktor yang secara defintif telah ditetapkan berperan dalam

perkembangan dari endometriosis adalah hormon estrogen. Meskipun sebagian

besar hormon estrogen pada wanita diproduksi oleh ovarium, banyak jaringan

perifer yang diketahui memproduksi estrogen melalui proses aromatase dari

androgen ovarium dan adrenal. (Cunningham, 2008)

Implan endometriosis telah terbukti mengekspresikan enzim aromatase dan

17 – hydroxysteroid dehydrogenase type 1, enzim-enzim ini bertanggung jawab

11
untuk konversi androstenedion menjadi estron, dan estron menjadi estradiol, dan

hormon yang berfungsi untuk menginaktivasi estrogen yaitu 17 –hydroxysteroid

dehydrogenase type 2 sangat sedikit jumlahnya atau tidak diproduksi oleh implant

endometriosis tersebut. Kombinasi enzimatik ini akan memastikan bahwa implan

akan terekspos pada lingkungan yang bersifat estrogenik.. Selain itu estrogen yang

diproduksi secara lokal di dalam lesi endometriosis akan mengatur efek biologis

mereka didalam jaringan yang sama atau sel dimana mereka diproduksi , proses

yang dinamakan sebagai intracrinology. (Cunningham, 2008)

Sebaliknya, endometrium normal tidak mengekspresikan aromatase dan

memiliki level dari 17-hydroxysteroid dehydrogenase type 2 yang tinggi sebagai

respon dari hormone progesterone. Sebagai akibatnya, progesteron bersifat

antagonis terhadap efek estrogen pada endometrium normal selama fase luteal dari

siklus menstruasi. Endometriosis bermanifestasi dalam suatu kondisi yang resisten

terhadap progesteron, dimana mencegah atenuasi dari stimulasi estrogen di jaringan

tersebut. (Cunningham, 2008).

Progesteron secara umum meng counter efek proliferasi estrogen pada

endometrium normal , banyak peneliti mempercayai bahwa pada endometriosis

terjadi resistensi endometrium terhada efek progesteron, atau kurangnya reseptor

progesteron pada lesi endometriosis. (Sourial & Tempest, 2014)

12
Gambar II.5: Mekanisme Hormonal dan Produksi E2

Sumber: Cunningham, F. (2008). Williams Gynecology. McGraw-Hill Companies.

Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan penginduksi aktivitas aromatase yang

paling poten pada sel-sel endometrial, bekerja melalui reseptor subtipe

prostaglandin EP2. Estradiol diproduksi sebagai respon dari tingginya aktivitas

aromatase, yang selanjutnya menambah produksi dari PGE2 dengan menstimulasi

enzim COX-2 di sel endotel uterus. Hal ini menyebabkan feedback positif yang

mempotensiasi efek estrogen dalam proloferasi dari endometriosis. (Cunningham,

2008)

13
o Stres Oksidatif dan inflamasi

Peningkatan oksidasi dari lipoprotein telah dikaitkan dengan pathogenesis

endometriosis, dimana Reactive Oxygen Species(ROS) menyebabkan peroksidase

lipid yang mengarah pada kerusakan sel DNA. Keberadaan air dan elektrolit dalam

peningkatan volume cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis menjadi

sumber ROS. Pasien-pasien ini juga mengalami peningkatan kadar besi yang tinggi

dalam cairan peritoneum yang dihasilkan oleh pemecahan hemoglobin dan akan

menimbulkan reaksi redoks. Rilisnya produk-produk proinflamasi dari ROS akan

menyebabkan inflamasi yang mengarah pada penarikkan limfosit dan makrofag

yang memproduksi sitokin yang akan mendorong pertumbuhan endotel. (Sourial &

Tempest, 2014)

Makrofag bertindak sebagai sel "scavenger" pada berbagai jaringan, dan kadarnya

meningkat pada peritenum wanita dengan endometriosis. Walaupun meningkatnya

populasi makrofag secara logika tujuannya adalah menekan proliferasi

endometrium, makrofag pada wanita dengan endometriosis mempunyai efek

stimulasi pada jaringan endometrium nya. Dalam sebuah penelitian, monosit yang

diambil dari wanita dengan endometriosis meningkatkan proliferasi in vitro

jaringan endometrium yang di kultur, dimana monosit dari wanita yang tidak

menderita endometriosis memiliki efek yang berlawanan. (Cunningham, 2008)

o Teori Limfatik dan Vaskular

Temuan endometriosis di lokasi-lokasi yang tidak biasa , seperti di

perineum, mendukung teori ini. Area retroperitoneal memiliki saluran limfatik

14
yang melimpah, dengan demikian, pada kasus-kasus dimana tidak ditemukan

implan peritoneal, namun terdapat lesi di retroperitoneal, kemungkinan telah terjadi

penyebaran melaluli pembuluh limfa. Selain itu, kecendrungan adenocarcinoma

endometrial untuk menyebar lewat jalur limfatik mengindikasikan bahwa jaringan

endometrium dapat dengan mudahnya ditransportasikan melalui rute ini

(Cunningham, 2008)

Gambar II.6 Pathogenesis Endometriosis

(Sumber: Sourial, S., & Tempest, N. (2014). Theories on the Pathogenesis of Endometriosis. International
Journal of Reproductive Medicine, 1-9)

15
o Disfungsi Imun

Meskipun sebagian besar wanita mengalami menstruasi retrograd, yang

mungkin memainkan peran dalam pembentukan implan endometriosis. Jaringan

menstruasi dan endometrium yang direfluks ke dalam rongga peritoneum biasanya

dibersihkan oleh sel-sel imun seperti makrofag, sel natural killer (NK), dan limfosit.

Untuk alasan ini, disfungsi sistem kekebalan tubuh adalah salah satu kemungkinan

mekanisme untuk genesis endometriosis setelah terjadi menstruasi retrograde.

(Cunningham, 2008)

Wanita dengan endometriosis memiliki kadar makrofag yang lebih tinggi,

rendahnya imunitas seluler dan fungsi sel NK yang ditekan. Regurgitasi dari sel

endometrium ke rongga peritoneum memicu respon inflamasi, meningkatkan

aktivasi makrofag dan leukosit secara local. Respon inflamasi ini dapat

menyebabkan defek dari “immune-surveillance” yang mencegah eliminasi dari

sisa-sisa debris post menstruasi dan justru menyebabkan terjadinya implantasi dan

tumbuhnya jaringan endometrium di tempat yang tidak semestinya. (Sourial &

Tempest, 2014)

o Genetik

Pola penurunan penyakit endometriosis terlihat berperan secara genetik. Resiko

menjadi 7 kali lebih besar bila ditemukan endometriosis pada ibu atau saudara

kandung

16
o Stem cell ~ Penyebaran Limfogen & Hematogen

Regenerasi dinding endometrium setelah menstruasi, reepitelisasi setelah

melahirkan atau kuret, mendukung teori stem cell. Karena lapisan basal dari

endometrium tidak ikut luruh saat menstruasi, maka stem cell diduga berada di

dalam lapisan basalis dari endometrium. Stem cell dikarakteristik kan dengan

kemampuan untuk memperbaharui diri sendiri dan mampu berdiferensiasi menjadi

1 atau beberapa tipe sel. Brosens et al mengasumsi bahwa perdarahan uterus pada

bayi perempuan pada masa neonatal mengandung banyak progenitor sel

endometrium, beberapa dari sel-sel ini mungkin terdeposit dan bertahan di cavum

peritoneum setelah terjadi aliran perdarahan retrograde dan akan teraktivasi pada

usia dewasa karena respon hormon ovarium (Sourial & Tempest, 2014)

Leyendecker et al mengungkapkan bahwa wanita dengan endometriosis secara

abnormal juga meluruhkan jaringan dari membran basalis endometrium yang

menginisiasi deposit endometrium pada lokasi-lokasi tertentu dikarenakan

menstruasi retrograde. Observasi pada baboon yang di injeksi lapisan basalis

endometrium yang kaya akan stem cell pada cavum pelvis menyebabkan 100%

terjadinya endometriosis juga mendukung teori Leyendecker.

Jika lapisan basalis mengandung stem cell, mereka cenderung dapat bertahan dan

menginisiasi deposit endometrium pada cavum pelvis dibanding lapisan

fungsional. Dikarenakan kemampuan alami untuk beregenerasi, stem cell ini dapat

tumbuh menjadi implan endometrium. Dengan fakta bahwa wanita dengan

endoetriosis mungkin meluruhkan lebih banyak lapisan basalis yang mengandung

stem cell dibanding wanita normal.

17
Secara alternatif, stem cell ini bisa ditransport lewat kelenjar limfatik atau

pembuluh darah hingga menetap di lokasi ektopik. Faktanya beberapa stem cell

endometrium juga berasal dari sum-sum tulang mendukung teori penyebaran

hematogen. Penelitian terbaru

F. Faktor Resiko
Telah diketahui bahwa resiko seorang wanita terkena endometriosis 6 kali lipat

lebih besar jika terdapat keluarga derajat pertama yang menderita endometriosis. Menarke

yang terlalu dini dan menopause yang lebih lama akan meningkatkan resiko terjadinya

endometriosis dikarenakan paparan terhadap estrogen meningkat. (Schrager, Falleroni, &

Edgoose, 2013)

Indeks massa tubuh yang rendah, konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi juga

dikaitkan dengan tingginya resiko terjadinya endometriosis, lalu kontrasepsi oral dan

olahraga yang teratur lebih dari 4 jam dalam 1 minggu bisa menurunkan resiko. (Schrager,

Falleroni, & Edgoose, 2013)

Wanita dengan postur tinggi dan kurus tampak lebih sering menderita

endometriosis, hal ini sesuai dengan tingginya kadar estradiol yang dihasilkan pada fase

folikuler siklus menstruasi. Faktor gaya hidup seperti merokok, olahraga, konsumsi

alkohol dan kafein telah dikaitkan dengan resiko endometriosis. Diketahui bahwa,

merokok dapat menyebabkan kondisi hipoestrogenik, kondisi yang berkebalikan dengan

endometriosis yang sangat bergantung dengan hormone estrogen yang tinggi.

Merokok akan menurunkan kadar estrogen di sirkulasi, obesitas diasosiasikan

dengan tingginya kadar estrogen, dan konsentrasi plasma estradiol meningkat dengan

18
konsumsi alkohol dalam jumlah moderat, walaupun resikonya tidak bersifat linier dengan

jumlah alkohol yang dikonsumsi.

Kesimpulannya adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya

endometriosis adalah menarke dini, keluarga derajat pertama yang menderita

endometriosis, menopause terlambat, BMI rendah, konsumsi alkohol dan kafein.

G. Gejala klinis & Differential Diagnosis


Gejala tersering adalah nyeri pelvic dan infertilitas, tapi pada kebanyakan pasien

tidak mengeluhkan adanya gejala. Cyclic pain merupakan salah satu tanda dari

endometriosis, termasuk dismenorea sekunder( dimulai sebelum menstruasi dan puncak

nyerinya pada saat dimana fluksus menstruasi paling banyak keluar). Keparahan dari gejala

tidak selalu berkorelasi dengan derajat keparahan penyakit. Infertilitas disebabkan karena

distorsi anatomis dari struktur organ-organ di rongga pelvis akibat perlengketan dan

luasnya endometriosis, tapi dapat juga terjadi tanpa sebab yang jelas pada endometriosis

yang masih minimal. (Norwitz & Schorge, 2013)

Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia, dyschezia dan atau

infertilitas. Menurut penelitian kasus control di Amerika Serikat, gejala seperti nyeri

abdomen, dysmenorrhea, menorrhagia, dan dyspareunia mempunyai hubungan dengan

endometriosis. Sebanyak 83% wanita dengan endometriosis mengeluhkan salah satu atau

lebih gejala tersebut, sedangkan hanya 29% wanita tanpa endometriosis yang mengeluhkan

gejala tersebut.

Dalam sebuah penelitian restrospektif di Brazil pada 892 pasien post laparoskopi yang

telah dikonfirmasi menderita endometriosis secara histologi , prevalensi keluhan berupa

19
nyeri haid sebesar 62%, nyeri pelvik kronik 57%, dispareuni 55%, dan infertilitas 40%.

(Bellelis & Dias, 2010)

 Dismenorea

Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin

dalam rongga peritoneum, akibat perdarahan lokal pada sarang endometriosis ke

dalam syaraf rongga panggul. (Prawirohardjo, 2011)

 Nyeri pelvik

Akibat perlengketan , lama lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik yang

kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul , punggung, paha dan

bahkan menjalar ke rektum dan diare. Dua per tiga dari perempuan yang menderita

endometriosis mengalami rasa nyeri intramenstrual. (Prawirohardjo, 2011)

 Dispareunia

Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh disekitar

kavum douglas dan ligamentum sakrouterina dan terjadi perlengketan sehingga

uterus dalam posisi retrofleksi. (Prawirohardjo, 2011)

 Diskezia

Keluhan sakit buang air besar bila endometriosis sudah tumbuh dalam

dinding rektosigmoid dan terjadi hematokezia pada saat siklus haid.

(Prawirohardjo, 2011)

 Subfertilitas

Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan endometriosis dapat

mengganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum

untuk bertemu dengan sperma. (Prawirohardjo, 2011)

20
Endometriosis selalu dihubungkan dengan infertilitas. Namun, penyebab

pasti terjadinya infertilitas pada endometriosis masih belum diketahui. Beberapa

pasien dengan endometriosis dapat hamil tanpa hambatan, namun beberapa

penderita lainnya membutuhkan waktu lama untuk hamil. (Senapati & Barnhart,

2012)

Endometriosis meningkatkan volume cairan peritoneal, peningkatan

konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin, IL-1, TNF dan protease.

Cairan peritoneum mengandung inhibitor penangkap ovum yang menghambat

interaksi normal fimbrial cumulus. Perubahan ini dapat memberikan efek buruk

bagi oosit, sperma, embrio, dan fungsi tuba. (Prawirohardjo, 2011)

Antibodi IgG ,IgA, dan limfosit dapat meningkat di endometrium

perempuan yang terkena endometriosis. Abnormalitas ini dapat mengubah

reseptivitas endometrium dan implantasi embrio. Autoantibodi terhadap antigen

endometrium meningkat dalam serum, implant endometrium, dan cairan

peritoneum dari penderita endometriosis. Pada penderita endometriosis dapat

terjadi gangguan hormonal(hiperprolaktinemia) dan ovulasi , termasuk sindroma

Luteinizing Unruptured Follicle(LUF), defek fase luteal, pertumbuhan folikel

abnormal, dan lonjakan LH dini. (Prawirohardjo, 2011).

21
Tabel II.7: Differential Diagnosis dari Endometriosis Berdasarkan Gejala
(Sumber: Mounsey, A., & Wilgus, A. (2006). Diagnosis and Management of Endometriosis.
American Family of Physician, 1-9.)

H. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penggunaan spekulum dan
pemeriksaan bimanual, dapat membantu dalam diagnosis. Seringkali, tidak ada kelainan
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien dengan endometriosis, dan pemeriksaan
spekulum jarang membantu untuk membuat diagnosis.
 Ultrasonography(USG)

Merupakan teknik pemeriksaan lini pertama untuk suspek endometriosis. USG

dapat mendeteksi adanya kista ovarium, dan berbagai kelainan di rongga pelvis

(Endometriosis: Diagnostic and Management, 2010)

USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis(kista

endometriosis) > 1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik

endometriosis ataupun perlengketan. Dengan menggunakan USG transvaginal

22
dapat dilihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan bentuk kistik dan

adanya interval eko didalam kista (Prawirohardjo, 2011)

 Serum CA -125

Serum CA-125 adalah petanda tumor yang sering digunakan pada kanker ovarium.

Pada endometriosis juga terjadi peningkatan kadar CA-125. Namun, pemeriksaan

ini mempunyai nilai sensitifitas yang rendah. (Prawirohardjo, 2011)

Dalam semua meta analisis dari 23 penelitian yang menginvestigasi kadar serum

CA-125 pada wanita-wanita yang terlah dikonfirmasi melalui operasi menderita

endometriosis, sensitivitas pemeriksaan ini hanya 28% dengan spesifisitas 90%.

(Endometriosis: Diagnostic and Management, 2010)

 Bedah Laparoskopi

Laparoskopi merupakan alat diagnostik gold standard untuk mendiagnosis

endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi aktif

yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih

dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium dapat terbentuk

kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya berwarna cokelat kehitaman

sehingga kista cokelat. Sering endometriosis ditemukan pada laparoskopik

diagnostik, tetapi pasien tidak merasa ada keluhan. (Prawirohardjo, 2011)

Bedah laparoskopi bukan merupakan prioritas pada tiap pasien dengan keluhan

nyeri panggul. Walaupun laparoskopi dikategorikan sebagai prosedur yang

minimal invasif, laparoskopi masih dalam kategori pembedahan dan memiliki

resiko-resiko seperti perforasi usus dan buli-buli dan cedera vaskular.

(Endometriosis: Diagnostic and Management, 2010)

23
BAB III
TATALAKSANA

A. Pengobatan
Endometriosis merupakan penyakit kronik dan inflamasi yang progresif dengan gejala

yang didominasi oleh keluhan nyeri. Luasnya lokasi endometriosis tidak berkaitan dengan

frekuensi dan keparahan dari gejala, dan penyebab mengapa demikian masih belum

diketahui. Oleh karena itu, terapi dengan obat-obatan secara tidak langsung ditujukan untuk

meredakan nyeri,karena sampai saat ini obat untuk menyembuhkan endometriosis belum

ditemukan, maka obat-obatan ini bisa digunakan sampai usia menopause atau sampai

terjadinya kehamilan. (Endometriosis: Diagnostic and Management, 2010)

 Progestin Oral

Estrogen menstimulasi pertumbuhan endometrium, sejak kontrasepsi oral

mengandung estrogen dan progestin, progestin sendiri telah digunakan untuk

mengatasi nyeri kronik pada pasien endometriosis. (Endometriosis: Diagnostic and

Management, 2010)

Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan menyebabkan

desisualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti dengan atrofi. Progestin

bisa dianggap sebagai pilihan utama terhadap penanganan endometriosis karena

efektif mengurangi rasa sakit seperti danazol,lebih murah tetapi mempunyai efek

samping lebih ringan danpada danazol. (Prawirohardjo, 2011)

Medroxyprogesterone Acetate (MPL) adalah hal yang paling sering diteliti dan

sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri, dimulai dengan dosis 30 mg per hari

24
dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan respons klinis dan pola perdarahan.

(Prawirohardjo, 2011)

 Depot Progestin

DMPA di injeksi secara intramuscular, secara luas digunakan untuk KB dan telah

diteliti dapat meringankan nyeri endometriosis. MPA yang diberikan secara

intramuscular dosisnya sebesar 150 mg setiap 3 bulan. Dalam bentuk depot, MPA

akan menunda kembalinya menstruasi normal dan ovulasi sehingga tidak boleh

digunakan pada wanita yang ingin segera hamil setelah menghentikan terapi ini.

(Cunningham, 2008)

DMPA menekan sekresi gonadotropin dan steroidogenesis ovarium, dan

secaralangsung mempengaruuhi perkembangan dari endometrium. DMPA

diasosiasikan dengan peningkatan resiko hilangnya mineral tulang dan harus

dihindari pada wanita dengan faktor resiko osteoporosis atau yang menderita

osteoporosis. (Beckmann, Ling, & Barzansky, 2010)

 Kombinasi Estrogen & Progesteron

Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi dosis

rendah. Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6 -12bulan) merupakan pilihan

pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi kehamilan palsu

dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan endometrium. Kombinasi

pil kontrasepsi apa pun daiam dosis rendah yang mengandung 30 - 35 mikrogram

etinilestradiol yang digunakan secara terus menerus bisa menjadi efektif terhadap

penanganan endometriosis. Tujuan pengobatan itu sendiri adalah induksi

amenorea, dengan pemberian berlanjut selama 6 - 12 bulan Membaiknya gejala

25
dismenorea dan nyeri panggul dirasakan oleh 60 – 95% pasien Tingkat kambuh

pada tahun pertama terjadi sekitar 17 – 18%. Kontrasepsi oral merupakan

pengobatan dengan biaya lebih rendah dibandingkan dengan lainnya dan bisa

sangat membantu terhadap penanganan endometriosis jangka panjang.

(Prawirohardjo, 2011)

 Danazol

Danazol suatu tumnan 17 alpha ethinyltestosteron yang menyebabkan

meningkatnya level androgen dalam jumlah yang tinggi dan estrogen dalam jumlah

yang rendah sehingga menekan berkembangnya endometriosis dan timbul

amenorea yang diproduksi untuk mencegah implan baru pada uterus sampai ke

rongga peritoneal. (Prawirohardjo, 2011)

Walaupun efektif untuk mengatasi nyeri endometriosis, danazol memiliki efek

samping androgenic yaitu peningkatan berat badan, jerawat, hirsutsm, atrofi

payudara, dan virilisasi namun sangat jarang.

 GnRH Agonis

Untuk pasien endometriosis yang tidak merespon terhadap progestin atau terjadi

kekambuhan setelah sebelumnya menunjukkan perbaikan, pengobatan dengan

GnRH agonis harus dipertimbangkan sebagai lini ke dua dan pengobatan dengan

GnRH harus disertai dengan HT(Hormonal Therapy) berupa 1 mg 17beta-estradiol

atau yang setara.

Karena endometriosis merupakan penyakit yang tergantung dengan estrogen, maka

GnRH agonis yang dapat menyebabkan kondisi hipoestrogenisme akan efektif

dalam meredakan nyeri pelvic akibat endometriosis.

26
Namun, penggunaan GnRH saja tanpa disertai hormonal therapy akan

mengakibatkan munculnya efek samping defisiensi estrogen yaitu hot flushes,

insomnia, vagina kering, menurunnya libido, dan penurunan kepadatan massa

tulang yang tidak selalu reversible. (Endometriosis: Diagnostic and Management,

2010)

 Gestrinon

Gestrinon adalah 19 nortesteron termasuk androgenik, antiprogestagenik, dan anti

gonadotropik. Gestrinon bekerja sentral dan perifer untuk meningkatkan kadar

testosteron dan mengurangi kadar Sex Hormone Binding Globwline (SHBG),

menurunkan nilai serum estradiol ke tingkat folikular awal (antiestrogenik),

mengurangi kadar Luteinizing Hormone (LH), dan menghalangi lonjakan LH.

Amenorea sendiri terjadi pada 50 – 100% perempuan. Gestrinon diberikan dengan

dosis 2,5 - 10 mg, dua sampai tiga kali seminggu, selama enam bulan. Efek

sampingnya sama dengan danazol tapi lebih jarang.

 Aromatase Inhibitor

Fungsinya menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18 estrogen.

Aromatase P450 banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ

reproduksi seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri.

B. Terapi pembedahan

Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek endometriosis itu sendiri,

yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista. Pembedahan bertujuan menghilang- kan gejala,

27
meningkatkan kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista endome- triosis, serta

menahan laju kekambuhan.

 Pembedahan Konservatif

Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan

melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi.

Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter, ataupun laser.

Sementara itu kista endometriosis <3 cm di drainase dan di kauter dinding kista,

kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang

sehat. Penanganan pembedahan dapat dilakukan secara laparotomi ataupun

laparoskopi. Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan lama

rawatan yang pendek, nyeri pascaoperatif minimal, Iebih sedikit perlengketan, dan

visualisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintik endometriosis.

Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan yang masih muda,

menginginkan keturunan, memerlukan hormon reproduksi, mengingat

endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat pro- gresif, tidak

cenderung ganas, dan akan regresi bila menopause.2

 Pembedahan Radikal

Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi. Ditujukan pada

perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah konsewatif gagal

dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah pembedahan radikal diberikan

terapi substitusi hormon

 Pembedahan Simtomatis

28
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectonty atau LUNA

(laser Uterosacval Nerue Ablation).

C. Manajemen terapi bedah untuk infertilitas

Pengobatan infertilitas oleh endometriosis berupa pengambilan jaringan endometrium

secara operatif dengan adhesiolisis dengan tujuan mengembalikan struktur anatomi

normal. Laparoskopi merupakan teknik operasi yang dipilih untuk mengatasi infertilitas.

Tujuannya adalah membuang lesi endometrium sebanyak-banyaknya, mengembalikan

struktur anatomi normal dengan adhesiolisis dan mengoptimalisasi ovarium dan

memelihara kondisi tuba. (Endometriosis: Diagnostic and Management, 2010)

29
DAFTAR PUSTAKA

Acien, P., & Velasco, I. (2013). Endometriosis: A disease That Remains Enigmatic. ISRN
Obstetric and Gynecology, 1-12.
Beckmann, C., Ling, F., & Barzansky, B. (2010). Obstetric and Gynecology. Philadelphia:
American College of Obstetric and Gynecologist.
Bellelis, P., & Dias, A. (2010). Epidemiological and Cinical Aspects of Pelvic Endometriosis - A
Case Series. Rev Assoc Med Bras, 467-471.
Bieber, E., & Sanfilipo, J. (2006). Clinical Gynecology. Philadelphia: Elsevier.
Cunningham, F. (2008). Williams Gynecology. McGraw-Hill Companies.
Embryologi. (2017, March Tuesday). Retrieved from Human Embryology Embryogenesis:
http://www.embryology.ch/anglais/gnidation/role01.html
Endometriosis: Diagnostic and Management. (2010). Journal of Obstetric and Gynaecology
Canada.
Irmansyah, F. (2017, March 1). Penanganan Terkini Endometriosis. Retrieved from Rumah
Sakit Pusat Pertamina:
http://materiseminar.rspp.co.id/materi/Penanganan%20Terkini%20Nyeri%20Endometrio
sis_dr_frizar.pdf
Medicine, A. S. (2017, 02 26). ASRM. Retrieved from ASRM:
https://www.asrm.org/Endometriosis_booklet/
Mounsey, A., & Wilgus, A. (2006). Diagnosis and Management of Endometriosis. American
Family of Physician, 1-9.
Norwitz, E., & Schorge, J. (2013). Obstetric and Gynecology at a Glance . Malden: Willey-
Blackwell.
Prawirohardjo, S. (2011). Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Jakarta.
Schrager, S., Falleroni, J., & Edgoose, J. (2013). Evaluation and Treatment for Endometriosis.
American Family Physician, 107-113.
Senapati, S., & Barnhart, K. (2012). Managing Endometriosis Associated Infertility. Clin Obstet
Gynecol, 1-8.
Sourial, S., & Tempest, N. (2014). Theories on the Pathogenesis of Endometriosis. International
Journal of Reproductive Medicine, 1-9.

30
31

Anda mungkin juga menyukai