PERTANIAN ORGANIK
“KOMPOS”
Oleh :
Nama : Sherli Amriyanti
Nim : 135040201111023
Kelas :A
Kelompok : Kamis 10.30-12.10
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MALANG
2016
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian organik menjadi hal yang saat sedang dikembangkan dengan
pesat. Hal ini dilatarbelakangi dengan masalah dimana semakin jenuhnya
pemberian pupuk yang berasal dari industri. Tanah semakin kering, semakin
miskin kandungan hara organik yang pada akhirnya merugikan petani dan
pertanian saat ini. Atas dasar itulah diperlukan upaya dalam peningkatan
kebutuhan bahan organik bagi tanaman. Salah satunya adalah dengan
memanfaatkan sisa-sisa bahan organik untuk diolah menjadi kompos. Kompos
merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan, jerami,
kotoran hewan, dan sampah kota. Proses dipercepat melalui bantuan manusia.
Secara garis besar membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan bakteri
(mikroorganisme) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang
dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain.
Proses yang terjadi adalah dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan
organik molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan
CO2 dan H2O serta penguraian lanjutan yaitu transformasi ke dalam mineral
atau dari ikatan organik menjadi anorganik. Proses penguraian tersebut
mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang sukar larut
menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung
unsur hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal,
menyediakan unsur secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas
dan mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah.
Kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk
melakukan aktivitas pada tanah dan, meningkatkan meningkatkan kapasitas
tukar kation. Hal yang terpenting adalah kompos justru memperbaiki sifat
tanah dan lingkungan, (Djuamani,2005).
Oleh karena itu, pertanian organik merupakan salah satu upaya dalam
mewujudkan pertanian sistem berkelanjutan dengan
2
menerapkan teknologi atau teknik yang menyesuaikan agar ekosistem tetap
berjalan seperti apa adanya dan tidak menggangu keseimbangan lingkungan.
1.2 Tujuan
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk
hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk
organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik
mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan
organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen
(jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah
ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah
kota (sampah).
4
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan seperti
unggas, sapi, kerbau dan kambing. Secara umum pupuk kandang
dibedakan berdasarkan kotoran hewan yang kencing dan tidak kencing.
Contoh hewan yang kencing adalah sapi, kambing dan kerbau. Hewan
yang tidak kencing kebanyakan dari jenis unggas seperti ayam, itik dan
bebek. Karateristik kotoran hewan yang kencing waktu penguraiannya
relatif lebih lama, kandungan nitrogen lebih rendah, namun kaya akan
fosfor dan kalium. Sedangkan karakteristik kotoran hewan yang tidak
kencing waktu penguraiannya lebih cepat, kandungan nitrogen tinggi,
namun kurang kaya fospor dan kalium. Pupuk kandang banyak dipakai
sebagai pupuk dasar tanaman karena ketersediaannya yang melimpah dan
proses pembuatannya gampang. Pupuk kandang tidak memerlukan proses
pembuatan yang panjang seperti kompos. Kotoran hewan cukup
didiamkan sampai keadaannya kering dan matang sebelum diaplikasikan
ke lahan (Indriani,2000).
c. Pupuk kompos
Pupuk kompos adalah pupuk yang dihasilkan dari pelapukan bahan
organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai.
Organisme pengurai atau dekomposer bisa berupa mikroorganisme
ataupun makroorganisme. Mikroorganisme dekomposer bisa berupa
bakteri, jamur atau kapang. Sedangkan makroorganisme dekomposer yang
paling populer adalah cacing tanah. Dilihat dari proses pembuatannya, ada
dua metode membuat pupuk kompos yaitu proses aerob (melibatkan
udara) dan proses anaerob (tidak melibatkan udara) (Indriani,2000).
d. Pupuk hayati organik
Pupuk hayati merupakan pupuk yang terdiri dari organisme hidup
yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan
menghasilkan nutrisi penting bagi tanaman. Pupuk hayati bekerja tidak
seperti pupuk organik biasa yang bisa langsung meningkatkan kesuburan
tanah dengan menyediakan nutrisi untuk tanaman. Pupuk ini secara alami
menyediakan nutrisi melalui proses gradual dengan cara memfikasi unsur
N dari atmosfer, melarutkan fosfor dan mensintesis zat-zat lain yang
dibutuhkan tanaman. Jadi, dengan pupuk hayati siklus penyuburan tanah
akan berlangsung terus menerus dan secara berkelanjutan. Pupuk hayati
5
dibuat dengan mengisolasi bakteri-bakteri tertentu seperti Azotobacter
choococumyang berfungsi mengikat unsur unusr N, Bacillus
megaterium bakteri yang bisa melarutkan unsur P dan Bacillus
mucilaginous yang bisa melarutkan unsur K. Mikroorganisme tersebut bisa
didapatkan di tanah-tanah hutan, pegunungan atau sumber-sumber lain
(Indriani,2000)
6
aerobik hanya 60-80% dari seluruh kandungan karbon yang ada. Hasil
perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4,
H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik, CH4, CO2,
NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi
sempurna, serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru maupun
humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total, reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O) + O2 => CO2+ H2O + hasil antara + nutrien+ humus + sel + energi
Bahan organik
- Berwarna coklat
- Berstruktur gembur
- Berkonsitensi gembur
- Berbau daun dan lapuk
7
- Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah
- Suhu kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan
- Tidak berbau.
1.
8
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum pembuatan kompos dilakukan di daerah Lowokwaru,
Malang. Pelaksanaan pembuatan dilakukan pada hari minggu 20 Maret
2016 lalu dilakukan pengamatan selama 4 kali dalam seminggu setelah
pembuatan.
Alat :
1. Ember : sebagai wadah pembuatan pupuk kompos
2. Pisau : untuk memotong bahan
3. Sekop : untuk mengaduk bahan
4. Timbangan : untuk menimbang bahan
5. Kamera : untuk dokumentasi
Bahan :
1. Kotoran Sapi 3 kg : sebagai bahan pengamatan
2. Sisa Sayuran 4 kg : sebagai bahan pengamatan
3. EM4 100 ml : untuk mempercepat proses dekomposisi
Setelah tercampur diberikan EM4 yang sudah dilarutkan dengan air sebanyak
100 ml
9
3.3.2. Pembuatan Kompos Anaerob
Setelah tercampur diberikan EM4 yang sudah dilarutkan dengan air sebanyak
100 ml
10
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Pengamatan kompos aerob (tabel)
Tanggal
Suhu Warna Tekstur Aroma
Pengamatan
Pengamatan 1
Beraroma
Minggu, 27 25°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
Maret 2016
Pengamatan 2
Beraroma
Minggu, 3 25°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
April 2016
Pengamatan 3
Beraroma
Minggu, 10 24°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
April 2016
Pengamatan 4
Beraroma
Minggu, 17 24°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
April 2016
Tanggal
Suhu Warna Tekstur Aroma
Pengamatan
Pengamatan 1
Beraroma
Minggu, 27 Maret 25°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
2016
Pengamatan 2
Beraroma
Minggu, 3 April 25°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
2016
Pengamatan 3
Beraroma
Minggu, 10 April 24°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
2016
Pengamatan 4
Beraroma
Minggu, 17 April 24°C Coklat kehitaman Kasar
(Berbau)
2016
11
4.1.3 Grafik perbandingan antara kompos aerob dan anaerob
a. Aerob
25.2
25
24.8
24.6
24.4
24.2
24 Aerob
23.8
23.6
23.4
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
b. Anaerob
25.2
25
24.8
24.6
24.4
24.2
Column2
24
23.8
23.6
23.4
Minggu 1 minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
25.2
25
24.8
24.6
24.4
24.2 Anaerob
24 Aerob
23.8
23.6
23.4
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
4.1.4 Dokumentasi
Aerob Anaerob
12
4.2 Pembahasan
Hasil pengomposan pada aerob dan anaerob yang telah dilakukan
selama 4 minggu adalah sama, yaitu tidak terjadi perubahan warna, tekstur
tetap coklat kehitaman dan kasar dan kompos menjadi beraroma. Suhu pada
pengamatan minggu ke 1 dan minggu ke 2 yaitu 25oC sedangkan pada
pengamatan minggu ke 3 dan minggu ke 4 mengalami penurunan sebesar
24oC. Menurut Kunaepah (2008) bakteri asam laktat yang merupakan
komponen yang dominan dalam EM4 mempunyai suhu optimal 40 o C dan
jika suhu pengomposan diatas 40o C akan memperlambat kecepatan
penurunan C/N sehingga pengomposan menjadi semakin lama. Berdasarka
Yuniwati (2012) pada penelitiannya kompos yang baik memiliki ciri-ciri
warna coklat kehitaman, tidak beraroma, tekstur lunak dan pH 5 dengan suhu
optimal 40o C-45o C (Rahman, 1989). Sedangkan kelembaban yang baik
dalam pengomposan harus disesuaikan dengan bahan yang digunakan, hal ini
berlaku pada pengomposan aerob maupun anaerob, dan semakin banyak
mikroorganisme dalam proses pengomposan, kompos yang dihasilkan
semakin baik dan cepat.
Berdasarkan literatur tersebut, dapat diketahui bahwa pengomposan
yang telah dilakukan selama 4 minggu (4 kali pengamatan) tidak berhasil
karena hasil yang kompos akhir tidak sesuai dan tidak terjadi perubahan
warna, aroma, tekstur, dan suhu yang optimal pada proses pengomposan.
Ketidak berhasilan ini kemungkinan terjadi karena kurang berkembangnya
13
mikroorganisme karena tidak mendapatkan nutrisi untuk berkembang biak
karena mikrorganisme membutuhkan nutrisi berupa penambahan gula/molase
sebagai sumber energi untuk melakukan dekomposisi pada bahan-bahan
kompos agar menjadi lunak dan tercampur rata, suhu pengomposan yang
kurang optimal, kurang lembab, jenis bahan kompos yang digunakan semakin
keras bahan maka akan semakin susah untuk menguraikan bahan tersebut.
Konsentrasi EM4 juga dapat mempengaruhi proses dekomposisi karena EM4
mengandung mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan,
semakin tinggi konsentrasi EM4 pengomposan akan lebih cepat dan hasil dari
pengomposan anaerob seharusnya lebih lembab daripada pengomposan
aerob, hal tersebut karena pada proses anaerob akan menghasilkan CH 4, H2S,
H2, CO2, asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat, etanol,
methanol, dan hasil samping berupa lumpur tergantung dari bahan penyusun
kompos.
14
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pada proses pengomposan aerob
maupun anaerob mengalami kegagalan, hal ini kemungkina disebabkan
karena tidak berkembangnya mikroorganisme karena tidak ada makanan
bagi mikroorganisme berupa gula/molase, suhu yang kurang optimal,
kelembaban yang kurang, sehingga proses dekomposisi tidak berjalan
dengan baik yang menyebabkan ketidak berhasilan dalam pengomposan.
Aktivitas mikroorganisme meningkatkan suhu, namun karena kondisi
lingkungan yang tidak mendukung, mikroorganisme EM4 mati sehingga
tidak terjadi peningkatan suhu yang signifikan. Selain itu pembuatan
pupuk yang didapatkan untuk pupuk kompos aerob dan anaerob tidak
termasuk pupuk yang bagus dimana tidak sesuai untuk pupuk yang dapat
diaplikasikan pada lahan. Hal ini dikarenakan untuk parameter tekstur,
warna, bau dan suhu tidak sesuai dengan parameter pupuk yang dapat
diaplikasikan. Parameter pupuk yang sesuai adalah tekstur yang gembur
dimana warna coklat kehitaman, tidak berbau dan memiliki suhu optimal
suhu ruangan yaitu 30C.
5.2 Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Djuamani, Nan dkk. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: Agromedia
PustakJ.H. Crawford, 2003. Dalam Balai Besar Litbang
Indriani, Y.H., 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Yuniwati, dkk. 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan Kompos Dari Sampah
Organik Dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM4. Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND, Yogyakarta
16