Anda di halaman 1dari 14

KONSTITUSI

A. Sejarah Perubahan Konstitusi

Perkembangan Rechtverfassung di Indonesia ada lima konstitusi yang pernah berlaku di


Indonesia sampai sekarang.1

1. UUD 1945; Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949.


2. Konstitusi RIS ; periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
3. UUDS 1950; periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959
4. UUD 1945 yang berlaku lagi sejak Dekrit peroide 5 Juli 1959.
5. UUD NRI Tahun 1945. Periode 1998 dan terus berubah dengan amandemen sebanyak 4
kali hingga saat ini.
Akan tetapi pada perinsipnya ada empat Rechtverfassung yang pernah dimiliki Indonesia
hingga kini yaitu UUD1945, RIS,UUDS 1950, UUD NRI 1945. Rechtverfassung yang
dibuat oleh para tokoh Indonesia sejak pertama hingga kini, sejarah panjang tersebut
dapat diceritakan dengan singkat dalam beberapa periode, antara lain:
1. Periode Pertama (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Pada periode ini saat negara kita menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17
agustus 1945 belum mempunyai rechtverfassung atau UUD. Baru sehari lepas
tanggal 17 agustus 1945 barulah memiliki UUD yang telah disusun sejak
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau
dapat disebut juga Dokuritsu junbi cosakai yang dipimpin dr.Radjiman
Wediodiningrat. BPUPKI merupakan Badan persiapan kemerdekaan yang tidak
terlepas dari intervensi Jepang dalam pendiriannya.

Sidang pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945) membahas berkenan tentang philosofische
grondslag, dasar falsafah dari Indonesia merdeka, dan dalam rangka tersebut Mr. Muh
Yamin, Ir. Soekarno dan Dr. Soepomo membuat konsep.2
1. Ir. Soekarno dengan konsep yang jelas menyatakan berjudul pancasila dengan
konsep sila-silanya:

1
Moh. Kusnadi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : CV Sinar Bakti, 1988)
2
Ibid, hlm. 88

1
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan Yang Maha Esa3
2. Mr. Muh. Yamin dengan konsep dasar negara:
1) Peri kebangsaan
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan
5) Kesejahteraan Rakyat
3. Sedangkan Konsepsi yang dibuat Dr. Soepomo adalah:
1) Paham Negara Kesatuan
2) Perhubungan Negara dengan Agama
3) Sistem Badan Permusyawarahan
4) Sosialisasi Negara
5) Hubungan antar Bangsa 4

Mr. Soepomo dalam pidatonya selain memberikan pemikiran tentang Pancasila, juga
memberikan pemikiran tentang paham integralistik Indonesia. Hal ini tertuang di dalam
salah satu pidatonya, bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indoensia yang sesuai
dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus
berdasarkan atas aliran pikiran ( staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu
dengan selukurh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam
lapangan apapun.5

Sejarah Konstitusi berlanjut hingga upaya dari pemuda yang terus menekan untuk
mempercepat kemerdekaan sehingga UUD yang telah disahkan menjadi dasar negara
sehari setelah kemerdekaan.

Diskusi panjang mengenai Preambule (pembukaan UUD 1945) dimana perdebatan


tersebut mengenai ideologi bangsa, khususnya pada sila pertama pada Pancasila yang
telah menjadi kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi
terjadi pelanggaran konsesus pada Piagam Jakarta dengan penghapusan 7 kata pada sila
pertama yaitu “Menjalankan Syariat Agama Islam Bagi Para Pemeluknya”. Pembatalan
atau penghapusan tersebut diplopori oleh masyarakat Indonesia Timur. Pada prinsipnya

3
Anwar Kurni dan Moh. Suryana, Ilmu Pengetahuan Sosial, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm.155
4
Diunduh dari http://mjieschool.multifly.com/journal/item/22 pada tanggal 20 Maret 2012 pukul 16.03 WIB
5
Ibid

2
mereka merasa di anak tirikan sehingga mengirim utusan untuk menemui Muh. Hatta
dimaksudkan untuk menjaga keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia yang baru merdeka.

Terlepas dari carut marut ideoogi bangsa yang lalu, terdapat rasa tidak puas Soekarno
atas Konstitusi yang telah ia buat. Ketidakpuasan tersebut dinyatakan Ir. Soekarno dalam
pidatonya pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, yang menyatakan sebagai berikut:

“....tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasaryang kita buat


sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai
perkataan “ini adalah Undang-Undang Dsar Kilat”, nanti kalau kita telah bernegara dalam
suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumplkan kembali MPR yang dapat
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna..”6

Ada pelanggaran konstitusi yang lain pada masa ini yaitu pelanggaran pada pasal 3 ayat
(2) UUD 1945 “salah satu tugas MPR adalah menetapkan UUD, sehingga kongklusinya
UUD pada masa ini buksn ditetapkan oleh MPR melainkan PPKI sehingga tidak bisa lain
sifatnya adalah sementara.

1. Periode ke dua (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Pada periode ini Indonesia mnngalami agresi militer Belanda7 yang mengharuskan
mengubah bentuk negra yang bermodel Presidensil menjadi model pemerintahan
Perlementer. Selanjutnya akibat dari berubahnya model pemerintahan Indoensia sehingga
haruslah mengubah konstitusi negara. Konstitusi negara Indonesia berubah menjadi
parlementer yang menjadikan Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara bukan Kepala
Pemerintahan.

UUD 1945 lalu berubah menjadi UUD RIS (Undang-undang Republik Indonesia
Serikat). Pada Konfrensi Meja Bundar (KMB) dalam Konfrensi tersebut dihasilkan
persetujuan pokok yaitu:8

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat


2. Penyerahan kedaulatan Kepada Republik Indonesia Serikat
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan kerajaan Belanda

Dan seluruhnya disetujui oleh pihak Indonesia sebgaia suatu persetujuan bersama yang
dimulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Wilayah Indonesia yang terbagi-bagi

6
Moh Yamin, Naskah Persiapan Undang – Undang Dasar 1945, (Jakarta : Yayasan Prapanca), hlm.410, dalam
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 139.
7
Moh. Kusnadi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : CV Sinar Bakti, 1988) hlm.92

3
yang diatur dengan pasal UUD RIS dengan 16 negara bagian berdasarkan perjanjian
Renvile.

Pada masa ini presiden pertaa sekaligus kepala negara merupakan Soekarno sedangkan
Moh. Hatta sebagai perdana mentri yang memiliki kabinet yang berisi antara lain Sri
Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr.Wilopo, Dr. Soepomo, dr. Leimina, Arnold Mononutu, Ir
Herling Loah dan perwakilan BFO(Bijeenkomst voor Federal Overleg).

Kabinet RIS merasa tidak puas dengan persetujuan atas KMB (Konfrensi Meja Bundar)
karena tidak sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu kesatuan bangsa Indonesia dalam
naungan Negara Kesatuan. Berangkat dari ketidakpuasan tersebut the founding fathers
mencoba mengembalikannya kepada cita-cita utama, hal ini terlihat dalam perjuangan
kabinet Abdul Halim dari Negara Bagian RI pejuang anti KMB dan RIS dari Yogyakarta.
Semangat Abdul Halim ini terbukti, dalam kurun waktu 1 tahun telah membuat beberapa
perjanjian dengan negara serikat lainnya untuk bersatu dengan Negara Republik
Indonesia (Yogyakarta) dan seluruh negara bagian menggabungkan diri menjadi negara
kesatuan. Setelah terbentuknya negara kesatuan tersebut maka mulailah melakukan
perubahan (pengganti) terhadap konstitusi RIS.

2. Periode ketiga (17 Agustus 1950-5 Juli 1959).

Akibat UUD RIS merupakan paksaan dari Belanda dan bersifat sementara maka
Soekarno dan para Tokoh Bangsa berkumpul kembali untuk merumuskan kembali secara
baik UUD yang terbaik. Proses peralihan ini mengharuskan mengganti terlebih dahulu
UUD RIS dengan UUDS 1950 yang bersifat sementara dan mengatur tentang
pembubaran yang dilakukan oleh Soekarno memiliki alasan yang tidak bisa dibantah oleh
Belanda dimana berdasarkan UUD RIS pasal 43 yang menyebutkan:

“Dalam penyelesaian susunan federasi RIS maka berlakulah asas pedoman, bahwa
kehendak rakyatlah di daerah-daerah bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka
menurut jalan demokrasi, memusatkan status yang kesudahannya akan diduduki oleh
daerah-daerah tersebut dalam federasi”.9

Selanjutnya naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai 17 Agustus 1950,
yaitu dengan ditetapkannya UU no 7 tahun 1950.

Berbeda dengan UUD RIS, yang tidak sempat mewujudkan Konstituante, maka di bawah
UUDS 1950 sebagai relisasi dari pasal 134, telah dilaksanakan pemilu pada bulan
Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.10

9
Ibid, hlm.93
10
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 129

4
Pemilihan umum ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 1956 di Bandung dan
diresmikanlah konstituante dengan legalisasi pemilu berdasarkan UU no 7 tahun 1953.

Masa konstituate inilah yang mengulang sejarah perdebatan alot pada landasan negara
yaitu Pancasila, dalam kurun waktu kurang lebih 2,5tahun konstituate tidak dapat
merumuskan UUD yang sempurna sehingga pada tanggal 22 April 1959 Soekarno
memberikan amanatnya pada rapat pleno konstituate berisi anjuran penetapan UUD 1945
yang lalu karena perdebatan antara beberapa kubu yang kuat dan tidak memberikan
hasil.11

Amanat tersebut dituangkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diumumkan kepada
khalayak umum dan kembalinya UUD 1945 sebagai konsitusi Indonesia.

3. Periode ke empat (5 Juli1959- hingga kini)

Setelah runtuhnya rezim Orde lama maka bangkitlah Soeharto sebagai pahlawan yang
menggantikan Soekarno. Soeharto telah melakukan penumpasan Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia (G30SPKI) menjadikan UUD1945 sebagai kitab suci yang
selalu harus ditaati. Penjelasan pada makna pasal-pasal pada UUD 1945 memiliki dua
pendapat:

1. UUD 1945 hanya terdiri dari pembukaan dan Batang Tubuh saja. Penjelasan
bukanlah bagian resmi dari UUD 1945.
2. UUD 1945 terdiri dari Batang Tubuh, Pembukaan, dan Penjelasan. Jadi
Penjelasan UUD tersebut merupakan bagian resmi dari UUD 1945.12

Dengan pendapat kedua yang menyatakan bahwa penjelasan UUD 1945 merupakan
bagian dari Konstitusi sehingga dengan begitu Soeharto menggunakan penjelasan UUD
sebagai alat untuk mengontrol pola pikir bangsa sehingga menjadi kendaraan kekusaan
rezim ORBA. Singkat cerita runtuhnya masa ORBA membuat rakyat Indonesia tidak
mengsakralkan kembali UUD 1945 sebagai kitab suci yang lalu terjadi amandemen
sebanyak 4 kali setelah runtuhnya rezim soekarno (1998) yaitu:

1. I. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999  perubahan


Pertama UUD 1945 (9 penambahan / perubahan pasal).
2. II. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000  Perubahan
Kedua UUD 1945 (25 penambahan / perubahan pasal).
3. III. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001  Perubahan
Ketiga UUD 1945 (23 penambahan / perubahan pasal).
4. IV. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002  Perubahan
Keempat UUD1945 (18 penambahan / perubahan pasal).13

11
Moh. Kusnadi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : CV Sinar Bakti, 1988) hlm.95
12
Ibid, hlm. 98

5
Sehingga dapat dikatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah mengubah 75% ketentuan
pokok yang lalu telah dirumuskan bersama masa ORLA dan ORBA.

B. Isi Konstitusi

Bagi penyusun konstitusi, sejatinya diupayakan ketentuan dalam konstitusi yang


dibuatnya tidak lekas usang dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Dalam setiap isi
dari konstitusi, berbeda-beda antar negara. Ada negara yang memiliki konstitusi yang
sangat rinci isinya dan ada pula negara yang memiliki konstitusi yang hanya memuat
garis besarnya saja.

Karenanya, patut kita pahami, pernyataan dari K.C. Wheare, mengenai isi
konstitusi , yakni, “Menjadi pernyataan: ‘apa yang seharusnya terkandung dalam
konstitusi?’ jawaban singkatnya, adalah ‘singkat sedikit, dan yang sedikit itu harus
menjadi peraturan dalam hukum.’ Satu karakter penting dari bentuk yang ideal dari
konstitusi adalah harus sesingkat mungkin).

Selanjutnya ditegaskan oleh K.C. Wheare, bahwa suatu konstitusi minimal


mengatur beberapa hal, yaitu:

1. Structure of government (Struktur pemerintah).


2. Mutual ralitions (Hubungan timbal balik)
3. Declaration of the rights of the subject (Deklarasi menyangkut hak manusia
sebagai subjek).

Senada dengan pernyataan diatas, menurut C.F.Strong, sebuah konstitusi sejati


mencantumkan keterangan yang jelas mengenai hal-hal berikut:

1. Cara pengaturan berbagai jenis institusi.


2. Jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut.
3. Dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.

Secara Umum konstitusi, menurut Sri Sumantri, Konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:

1. Konstitusi sebagai dokumen formal mengatur mengenai hasil perjuangan


politik bangsa diwaktu lampau.
2. Tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan. Pandangan tokoh-tokoh
bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun masa
yang akan datang.
3. Keinginan yang muncul dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan.
4. Adanya jaminan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) dan warga negara.
13
Diunduh dari : http://id.wikipedio.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahnu_1945

6
5. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
6. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.14

Selanjutnya, menurut Miriam Budiharjo—menjelaskan ciri-ciri dari UUD—dimana ia


menjelaskan bahwa setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal berikut:

1. Organisasi Negara, misal, pembagian kekuasaan antara badan


legislatif,eksekutif,dan yudikatif.
2. HAM biasanya disebut Bill of Rights (bila berbentuk naskah sendiri).
3. Prosedur mengubah UUD.
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD Hal
ini biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya
kembali hal-hal yang baru saja diatasi, misal, muncul seseorang diktator atau
kembalinya suatu monarki.
5. UUD sering membuat cita-cita rakyat dan azas ideologi negara. Ungkapan ini
mencermikan semangat dan spirit yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan
dalam UUD itu sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu.

Dengan demikian, kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi, seberapa luas
wewenang pemerintahan diatur oleh konstitusi, konstitusi juga mengatur bahwa
kekuasaan haruslah dikendalikan oleh kontitusi dan kekuasaan itu hanya mungkin
memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja. Kesimpulannya konstitusi merupakan
suatu pondasi yang tepat dan tokoh bagi sebuah negara.15

C. Perubahan Konstitusi

1. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-1966)

Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak tarik ulur kepentingan partai
politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya memeberlakukan kembali
UUD1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan UUDS 1950 yang berlaku pada
saat itu.

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini
disebut masa Orde lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan. Sistem pemerintahan dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945.

Penyimpangan-penyimpangan itu ialah diantaranya:

14
Efriza, Ilmu Politik, (Bandung : Alfabeta, 2013) hlm. 185 – 186
15
Ibid, hlm. 188 – 189.

7
1. Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua DPR,MPR, dan MA serta wakil
ketua DPA menjadi Mentri Negara.
2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3. Presiden mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-undang tanpa
persetujuan DPR.
4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih dengan
pemerintahan mengenai RAPBN untuk tahun 1961, Dan pada saat itu, DPR
menolak mengesahkan RAPBN tersebut. Kemudian Presiden membentuk
DPRGR (DPR Gotong Royong) melalui penpres no.4 tahun 1960 sebagai
ganti dari DPR yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi keanggotaan
DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai yang dihasilakn
pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden.

Masa orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI dan rakyat
menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara yang otoriter karena pada
masa ini dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaaan revolusi dan presiden
sebagai kepala negara otomatis menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga dengan hal-
hal diatas lahiriah TRIURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Dalam keadaan kacau itu presiden
Soekarno mengeluarkan surat perintah 11 Maret atau supersemar kepada Letjen
Soeharton berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama Presiden/ Panglima
Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangani Keputusan Presiden No. 113/1996
tertanggal 12 Maret 1996 yang menyatakan pembubaran PKI.

Untuk mengakhiri kemelut politik tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967
diselenggarakan sidang istimewa MPRS dengan tema utama mengenai
pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS menilai
presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusionalnya selaku
mandataris MPRS, khususnya yang menyangkut kebijakan menghadapi G30S. Oleh
karena itu, MPRS mengeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto
sebagai pejabat presiden hingga dipilihnyan presiden oleh MPRS hasil pemilu.
Selanjutnya, dalam sidang umum V MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat
menjadi presiden RI untuk masa 5 tahun (1968-1973)

2. Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)

Setelah orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru.
Pada masa ini pemerintah menyatakan dan bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu
pemerintah Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1 Badan
Permusyawaratan / Perwakilan rakyat.

8
Pemerintah yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga-
lembaga negara dan pemerintah yang tidak sementara lagi. MPR kemudian menetapkan
GHBN, memilih presiden dan wakil presiden dan memberi mandat kepada presiden
terpilih untuk melaksanakan GHBN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan
teratur dan stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.

Setelah meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum Islam dalam
spektrum politk pemerintah ORBA berupaya meredakan konflik tersebut dengan
membangun konsep “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya otoriter dengan angkatan
bersenjata menjadi intinya.

Pada masa Orde Baru, selain kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan
yudikatif juga berada di bawah presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas
pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan pendapat. Ada segelintir
orang yang menguasai dua per tiga GNP Indonesia sehingga semakin dalam jurang
pemisah antara si miskin dan si kaya. Sementara itu pihak lain yaitu pemerintah dan
penguasa menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan keluarga pejabat.

Apabila menengok kembali tekad awal dari pemerintahan orde baru yang akan
menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen agaknya masalah diatas sangat
bertentangan dengan hal itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah
menyimpang dari pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi
terjadi pelanggaran pasal 23, pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya pada
pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” akan tetapi
pemerintah malah memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan
dan sumber alam kita.

Pada sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal 28 juga dilanggar, hal ini dapat kita
lihat dengan adanya pembedelan massa serta pembunuhan yang dilakukan kepada orang-
orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara
melalui sejumlah peraturan: Ketapan MPR No: I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa
PMR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan
melakukan perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No: IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-
undang No 5 tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR
No. IV/MPR/1983.

9
Krisis moneter tahun 1997 berdampak pula terhadap kehidupan sosial dan politik
sehingga terjadi krisis kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998 keadaan
negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik terang
penyelesaiannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi semakin marak menuntut
penunduran diri presiden Soeharto hingga terjadilah peristiwa trisakti. Dan pada 21 Mei
1998 pukul 09.00 WIB di gedung istana merdeka, presiden soeharto menyatakan
mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian berakhirlah masa kekuasaan
Orde Baru selama tiga puluh dua tahun.

3. Masa Reformasi

Setelah Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden. Karena dianggap


hanya sebagai tokoh transisi, ia dapat berusaha mengurusi transisi itu sebagai tugas yang
istimewa sehingga perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah mewujudkan
reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu hasilnya adalah
Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang itu antara lain menghasilkan
keputusan memberi mandat pada presiden untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun
1999.

Partai-partai baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR dalam


pemilu 1999 tersebut yang diikuti oleh 48 partai.Pemilu 1999 adalah pemilu paling
demokratis bila di bandingkan pemilu-pemilu jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu
1999 pemilih presiden KH. Abdurrahman Wahid dan wakil presiden Megawati Soekarno
Putri.

Pada era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945
semakin menguat karena adanya tuntuan dari mahasiswa untuk mengamandemen UUD
1945, bahkan beberapa partai politik mencantumkan “amandemen” di dalam program
perjuangan dan platfrom politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum tata negara, dan
politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD 1945 berkenaan dengan krisis nasional
yang kini sedang menimpa bang Indoensia. Di antara mereka bahkan ada yang
mengusulkan dilakukannya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah UUD 1945
dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya tambal sulam saja.

Alasan pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau perubahan


terhadap UUD 1945 antara lain:

- Fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan


yang demokratis.

- Pada masa OBRA, kekuasaan tertinggi ditangan MPR (dan pada kenyataannya
bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta

10
kenyataan perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang
belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD waktu itu
adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat,
HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum.

- Hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.

- Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini
telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945
itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya
memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa
yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan konstitusi.

Terkait dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting dalam sidang MPR
1999 tersebut. Kesepakatan politik seluruh anggota MPR untuk mengamandemen secara
bertahap pasal-pasal di dalam UUD 1945 agar lebih klengkap, lebih jelas ( tidak multi
interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan jaman.
Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep negara kesatuan sebagaimana termaktub
di dalam pasal 1 ayat 1 tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi
periode diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen

Perubahan, tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal
37 UUD 1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula, maka yang dapat
dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD
1945 adalah merubah, menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya
lagi UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah bahwa UUD’45
tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, antara lain banyak lembaga-lembaga negara sebagaimana
di kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga tersebut belum
atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam UUD.

4. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari Diberlakukannya Kembali


UUD 1945 Sampai Amandemen UUD 1945 I,II,III, dan IV.

11
Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional
amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama
masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan
adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen
merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Hal ini terdapat pada konstitusi
kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali UUD ’45 sampai dengan
amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen. Dalam
mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan hasil dari
perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Perubahan tentang UUD
’45 sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari
bahwa UUD ’45 disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi
dimungkinkan tata cara perubahan untuk penyempurnaan, bahkan kehendak untuk
dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD
’45 merupakan UUD kilat.

Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali
memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD
’45 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai
banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa berubah, juga
mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi
perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat. Dorongan untuk mengubah
dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan
konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan
Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan
atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang
merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang terjadi adalah
etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45 sebagai sandaran. Amandemen
terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata
cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan social yang
dominan pada saat-saat tertentu.

12
UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-
negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum
pernah dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan
penjelasan itu dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik (1946) dan Lembaran
Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang
kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya kurang memperhatikan syarat, unsur, dan
asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik. Pada saat ini tidak semua aturan
peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik objek, kewenangan atau
sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula
aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan
ketentuan dalam UUD ’45.[3]

Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan


konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi
yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam
UUD ’45 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD
yaitu MPR.

Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia sebagai berikut:

1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

13
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
MPR.16

16
http://bagusesupono.blogspot.com/2013/11/perubahan-konstitusi-indonesia.html?m=1

14

Anda mungkin juga menyukai