Anda di halaman 1dari 2

Pertemuan Pertama

[Gerbong berapa?] Aku membaca pesan singkat pada gawai.


[Lima.] balasku cepat.

Sebentar lagi kereta akan merapat ke stasiun tujuan. Setelah melepas kangen dengan
keluarga, kini saatnya kembali ke kota tempatku menuntut ilmu. Perjalanan Jakarta –
Semarang memakan waktu sekitar 5 jam dengan menggunakan kereta. Sengaja kuambil
waktu perjalanan pagi sehingga dapat tiba di Semarang sebelum sore.

Aku menatap pantulan wajah melalui kaca gerbong, mengingat kembali percakapanku
dengan bunda. “serius itu, Fa,” katanya. Saat aku bercerita tentang perjalanan kali ini bukan
hanya untuk menuntut ilmu. Suara masinis dari pengeras suara kembali terdengar. Para
penumpang yang akan turun diminta untuk bersiap. Aku meneguhkan hati. Meski telah
akrab mendengar suaranya lewat perbincangan via telpon, tetap saja perjumpaan ini
membuatku gugup.

Kereta mulai memasuki peron. Dari balik jendela, aku menemukan sosok yang akan
menjemputku menemuinya. Menggunakan pakaian casual, rambut yang sudah terpangkas
pendek, dan menolehkan pandangannya ke kanan; mungkin sedang menghitung gerbong.
Namun aku ragu, hingga meninggalkan pintu keluar gerbong lima jauh dibelakang. Biarlah,
aku bisa menghubunginya nanti bila tidak menemukan yang akan kutemui.

Stasiun besar kereta api selalu memiliki kesan tersendiri dalam hati. Pilar-pilar penyangga,
jam-jam besar, dentang jam yang bertalu, nada yang menyambut kedatangan kereta, semua
mengingatkan akan masa kecil kala berpergian bersama ayah. Kali ini pun, aku kembali akan
menitipkan kenangan pada mereka.

Langkahku sigap menuruni tangga-tangga yang menghubungkan gerbong kereta dengan


peron. Suasana stasiun sedang tidak terlalu ramai. Aku segera meluaskan pandangan
menyusuri peron, berusaha menerka sosok yang akan ditemui. Bila mengingat ini, seperti
Kugi saat mencari Keenan dalam film perahu kertas. Memasang radar untuk menangkap hati
yang memancarkan keinginan untuk saling bertemu.

Pandanganku terhenti. Pencarian berakhir, demikian insting mengatakan. Aku menatap


sosok yang tengah berdiri menunggu di dekat salah satu tiang penyangga atap-atap peron.
"Assalamu'alaykum." sapaku sambil tersenyum.
"Ibu Dyah?" lanjutku.

Wajahnya tampak berseri. "Wa'alaykumussalam, kok tahu? Aku juga mbatin, pasti kamu
anaknya." jawabnya dengan tawa yang lebih renyah. Kulurkan tangan, menyalaminya
hormat.
Tidak lama, sosok lelaki paruh baya datang menghampiri dan tersenyum menampakkan
geliginya yang rapi terawat. "Loh, kamu sudah disini. Kok bisa tau itu Ibu?" tanyanya dengan
senyum yang masih terkembang.
Aku bersyukur, dipertemukan dengan calon orangtua yang demikian hangat. Dalam
perbincangan via telpon, beliau terbuka menceritakan anak ragilnya. Tentang kegemarannya
saat kecil, perilakunya kala remaja, kondisi kesehatannya, hubungannya dengan saudara-
saudaranya, aktivitas-aktivitasnya di luar sekolah dan kuliah, apapun.

"Katanya gerbong lima." Sosok lain menghampiri. Aku tertawa dalam hati, menolehkan
pandangan, dan menyelipkan sedikit senyum saat mendengarnya protes. Entah mengapa,
lebih malu menemuimu dibanding bertemu Ibu meski baru pertama kali. Terima kasih, untuk
selalu meyakinkan bahwa pertemuan hari itu akan berjalan baik.

Anda mungkin juga menyukai