Anda di halaman 1dari 5

Karakteristik Dan Angka Kejadian Gigitan Ular Berbisa Di Mymar Selama Lima

Tahun Terakhir

ABSTRAK
Studi studi kasus patologi dan klinis mengenai gigitan ular diulas dari XXXX,
Magway, Myanmar selama kurun waktu 5 tahun ( Januari 2013 hingga Desember 2017 ).
Sebanyak 84 kasus gigitan ular ditemukan dari 2069 pemeriksaan postmortem ( 4.1 % ).
Angka tahunan terentang dari 10 dari 268 otopsi pada tahun 2013 ( 3.7%) hingga 31 dari 501
otopsi ( 6.2%). Terdapat 54 laki laki ( 64%) dan 30 perempuan (36%) ( L/P = 1.9 : 1; umur =
5 – 75 tahun, rata rata = 33 tahun ). Waktu kejadian paling tinggi adalah Agustus ( 16/84 –
19% ), pertengahan musim hujan. 45/84 ( 54% ) mengalami penyakit ginjal akut, 27/84
(32%) mengalami shock dan sisanya 12/84 ( 14%) mengalami koagulasi pembuluh darah. 20
kasus ( 24%) meninggal dalam 24 jam setelah keracunan bisa ular. Tanda gigitan ditemukan
di tungkai (kanan maupun kiri ) pada 73/84 kasus (87%) dan di lengan pada lima kasus ( 6%).
Temuan paling sering pada otopsi ialah penyakit ginjal akut ( 82/84 – 98% ), perdarahan &
nekrosis pituitari ( 30/84 - 36%). Terlepas dari menurunnya kematian akibat gigitan ular
selama beberapa tahun ini akan tetapi ular derik Russels masih menjadi penyebab utama
kematian akibat gigitan ular di Myanmar.

Kata kunci : gigitan ular, myanmar, forensik, kematian, ular derik viper
Introduksi
Gigitan ular merupakan masalah global yang paling sering ditemui di Asia Tenggara,
Asia Selatan dan Afrika Sahara. Sebuah studi tahun 2008 memperkirakan 1.2 hingga 5.5 juta
gigitan ular terjadi di seluruh dunia dalam setahun, dengan angka kematian berkisar antara
20000 hingga 150000. Akan tetapi, masalah yang sedang naik adalah menyepelekan angka
kematian dan kasus gigitan. Dilaporkan sebagian besar korban merupakan penduduk miskin,
kerja di pinggiran kota dengan pendapatan kecil di negara negara tropis yang mengakibatkan
angka kematian tinggi akibat susahnya akses medis, ketersediaan antidot bisa dan
ketergantungan pada obat obatan tradisional.
India memiliki angka kejadian gigitan ular tertinggi dengan 4 spesis yang
bertanggung jawab atas 90% keracunan bisa ular yakni kobra ( Naja naja ), ular derik Russels
( Daboia russeli ), krait ( Bungaris caureus ) dan ular derik sisik gergaji ( Echis carinatus ).
Myanmar juga merupakan negara dengan kejadian yang sangat tinggi dengan 14000 gigitan
dan 1000 kematian pada tahun 1991 dan 15080 gigitan serta 305 kematian pada tahun 2014.
Ular derik Russels bertanggung jawab atas 90% gigitan, kobra dan krait juga termasuk yang
paling berbahaya dengan Mandalay & Magway merupakan area dengan angka kejadian
tertinggi. Dengan kenyataan lapangan bahwa gigitan ular secara resmi dinyatakan sebagai
“ penyakit tropis yang terabaikan “ maka tepat waktunya untuk mengulas karakteristik khas
gigitan ular yang mematikan dari salah satu area risiko tertinggi di dunia dan mementukan
persentase kasus medikolegal dari seluruh kematian dari gigitan ular. Atas alasan tersebut
penelitian dilakukan di Magway, Myanmar.
Metode
Kota Magway ( populasi 289247 ) terletak di Sungai Ayeyarwaddy dan merupakan
ibukota dari Provinsi Myanmar Tengah. Luas distrik 44820 m2 dengan populasi total
1235030. Sebagian besar wilayahnya adalah daerah pertanian seperti padi, kacang tanah dan
biji wijen. XXXX merupakan rumah sakit tersier terbesar dengan sebagian besar pasien
berasal dari kota ataupun rujukan dari desa desa pinggir kota. Studi studi kasus patologi dan
klinis dipelajari secara retrospektif selama kurun waktu 3 tahun dari Januari 2013 hingga
Desember 2017. Informasi dikumpulkan termasuk jumlah kasus pertahun, jenis kelamin,
distribusi umur, variasi musim, rumah sakit, lokasi anatomi gigitan dan gejala gejala
postmortem.
Hasil
Kasus per tahun
Selama lima tahun penelitian sebanyak 2069 pemeriksaan postmortem telah dilakukan
termasuk 84 kasus gigitan ular ( 4.1%). Angka tahunan terentang dari 10 dari 268 otopsi pada
tahun 2013 ( 3.7%) hingga 31 dari 501 otopsi ( 6.2%). Pada tahun 2014 jumlahnya 14 dari
332 otopsi ( 4.2%), 2015 sebanyak 12 dari 496 kasus ( 2.4%) dan 2017, 17 dari 472 kasus
(3.6%)
Distribusi umur dan jenis kelamin
Selama 5 tahun terdapat 54 laki laki ( 64%) dan 30 perempuan (36%) ( L/P = 1.9).
Rasio ini terentang dari setinggi 85.7% di tahun 2014 hingga serendah 50% di tahun 2015.
Umur = 5 – 75 tahun, rata rata = 33 tahun.
Variasi musim
Waktu kejadian paling tinggi adalah Agustus ( 16/84 – 19% ), pertengahan musim
hujan.
Rumah sakit
Lima kasus dihantar ke RS setelah kematian dengan 79 kasus ( 84%) datang dalam
keadaan hidup dan mendapatkan antidot bisa ( fraksi equine gamma globulin ). Ulasan dari
semua kasus yang ada sebanyak 45/84 ( 54% ) mengalami penyakit ginjal akut, 27/84 (32%)
mengalami shock dan sisanya 12/84 ( 14%) mengalami koagulasi pembuluh darah. 20 kasus (
24%) meninggal dalam 24 jam setelah keracunan bisa ular, 52 kasus ( 62%) antara 24 – 72
jam, dan sisanya 12 kasus ( 14%) meninggal setelah 72 jam.
Lokasi anatomi gigitan ular
Pada gigitan ular ditemukan di tungkai (kanan maupun kiri ) pada 73/84 kasus (87%)
dan di lengan pada lima kasus ( 6%), 4 kasus di tempat lain ( 5%) dan pada 2 kasus tidak
dapat diidentifikasi ( 2%).
Tampilan postmortem
Temuan paling sering pada otopsi ialah penyakit ginjal akut ( 82/84 – 98% ),
perdarahan & nekrosis pituitari ( 30/84 - 36%). Pada 14 kasus semua tanda tanda tersebut
ditemukan, sebagian besar kasus (10/14) meninggal dalam 24 – 72 jam setelah gigitan.
Terkadang pada kasus kasus langka ditemukan kulit melepuh dengan lesi lesi perdarahan.
Diskusi
Di Myanmar, sebagaimana ditunjukan pada studi ini, korban gigitan adalah pria muda
yang tergigit saat musim hujan ( L/P = 1.9 : 1 ). Ini sering terjadi ketika pekerja yang
telanjang kaki bekerja di sawah, ladang atau berjalan saat malam hari. Risiko kematian
meningkat dengan lambatnya penanganan medis di lokasi terisolasi atau pengobatan
pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional termasuk menggunakan batu ular, tatto,
mengkonsumsi obat obatan herbal serta menyayat luka gigit.
Tanda tanda gigitan yang membahayakan tergantung dari jenis racun yang dihasilkan.
Bisa ular merupakan kompleks agregat protein yang mengandung zat hematotoksik,
neurotoksik, ataupun sitotoksik. Antibisa ular biasanya tersusun dari antibodi antibodi
poliklonal dari domba ataupun kuda. Manifestasi keracunan bisa ular terdiri dari koagulopati
dan perdarahan, gagal ginjal, miolisis, toksisitas jantung, dan paralisis.
Ular ular genus viperid biasanya mengakibatkan koagulopati dari racun hematotoksik
mengakibatkan pembusukan di serum atau darah di daerah luka, bengkak, ekimosis, melepuh,
dan ulkus terkadang disertai pembesaran limfonodus regional. Pembengkakan tungkai
terkadang dapat mengakibatkan sindroma kompartemen. Gejala gejala sistemik termasuk
perdarahan spontan di gusi dan saluran cerna disertai hematuria, faeses berdarah, hipotensi,
takikardia serta syok. Dapat juga ditemukan edema periorbita dan konjungtiva, nyeri
epigastrik dengan muntah, pelunakan ginjal, nyeri kandung kemih disertai oligouria pada
banyak kasus. Mati timbul akibat kegagalan multiorgan dan perdarahan pituitari.
Di sisi lain, gigitan dari Elapidae seperti krait ( Bungarus sp ) dapat juga tanpa rasa
sakit. Ular melata dan nokturnal ini dikenal sering memasuki rumah rumah untuk mencari
buruan seperti pengerat, ular lain, kodok dan kadal. Apabila penghuni rumah sedang tidur di
lantai maka berpotensi untuk digigit oleh ular ini dimana mengakibatkan pasien bangun
dengan keadaan descending paralisis. Lalu diikuti ptosis, dilanjutkan dengan kesulitan
berbicara dan menelan. Ketika diafragma lumpuh maka akan menimbulkan gagal nafas.
Mekanisme kematian yang lain yang lebih jarang seperti mati terhimpit akibat jepitan piton
dan apabila cara kematian umumnya tak disengaja pada beberapa kasus terdapat upaya bunuh
diri dengan membiarkan dirinya digigit ular.
Tidak semua gigitan ular berbisa berbahaya dan istilah “ dry bite “ adalah fenomena
gigitan yang tidak disertai efek lokal sistemik maupun laboratorium. Ini terjadi pada 5 – 80%
kasus tergantung dari spesiesnya. Pada skala klinis keparahan keracunan diklasifikasikan
sebagai Grade 1A beragam alasan telah diajukan termasuk temuan gagalnya ular
menghantarkan racun akibat kelenjar bisa yang terinfeksi atau di taring ( terutama pada ular
tua ), imunitas korban ataupun kegagalan mekanik untuk mengeluarkan taring. Maka temuan
bekas taring saat otopsi tidak mengimplikasikan keracunan sebagai penyebab kematian.
Pada studi ini kematian akibat gigitan ular bertanggung jawab untuk 4.1% otopsi
medikolegal yang apabila dibandingkan dengan studi dari Maharashta India sebanyak 2.13%
kasus. Sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan dengan tungkai menjadi lokasi gigitan
tersering meskipun tidak ada predominan laki laki dalam kasus ini. Akan tetapi sebagaimana
spesies ular beragam distribusinya dalam satu negara maka ini juga menunjukan temuan
klinis dan patologis yang beragam saat otopsi dilakukan. Sebagai contoh ular derik Russel
tidak ditemukan di India utara sedangkan Krait lebih sering, kematian umumnya akibat
neuroparalisis sedangkan India selatan lebih sering akibat sebab hematotoksik dengan
gangren serta sindroma kompartemen.
Temuan otopsi setelah gigitan ular umumnya tidak spesifik akan tetapi studi sekarang
telah mendemonstrasikan tanda tanda khas yang dapat diobservasi saat otopsi. Sayangnya
pemeriksaan histologi tidak tersedia bagi kasus kasus ini, akan tetapi riwayat, pemeriksaan
klinis, temuan makroskopi memberikan informasi yang berguna mengenai karakteristik dan
manifestasi patologi gigitan ular di Myanmar tengah. Sebagai tambahan ditemukan proporsi
kasus medikolegal yang besar pada kasus kasus ini. Kelemahannya adalah tidak semua kasus
gigitan ular di Magway dibawa ke RS atau diotopsi sehingga studi ini bukan berbasis
populasi. Disimpulkan gigitan ular kobra, derik russels, krait dan derik sisik menjadi
penyumbang utama kematian akibat gigitan ular di Myanmar tengah terlepas ketersediaan
antivenom dan sekalipun tidak spesifik terdapat perdebatan mengenai tanda tanda klinis yang
dapat diobservasi saat otopsi.

Anda mungkin juga menyukai