Anda di halaman 1dari 12

GEOLOGI DAN STUDI POTENSI SUMBERDAYA CBM (COALBED METHANE)

FORMASI WARUKIN PADA LAPANGAN GIA DAN SEKITARNYA


KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Ghia Dwi Andiky


Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

SARI

Secara fisiografi, daerah telitian berada pada Cekungan Barito. Cekungan ini berisi
beberapa formasi batuan. Salah satu satuan batuan formasi pembawa batubara adalah satuan
batuan Formasi Warukin yang menjadi bahan penelitian untuk mengetahui potensi
sumberdaya CBM di daerah tersebut. Lingkungan pengendapan daerah telitian berada pada di
lingkungan Transitional Lower Delta Plain. Struktur geologi yang mempengaruhi daerah
telitian berupa sesar dan lipatan berarah NE-SW akibat dari tektonik Meratus berarah NE-
SW.
Total sumberdaya CBM untuk asumsi luas area peta sweetspot dengan interval
kedalaman 250-750 m sebesar 0,093 Tcf dan pada zona interval 750-1000 m menghasilkan
0,057 Tcf. Sementara total sumberdaya CBM untuk asumsi luas area dengan metode circular
USGS dengan interval kedalaman 250-750 m sebesar 1,49108 x 10-7 Tcf dan pada zona
interval 750-1000 m menghasilkan 1,49135 x 10-7 Tcf.

Kata Kunci :Coalbed Methane (CBM), batubara, sumberdaya CBM, peta


sweetspot, circular USGS

I. PENDAHULUAN pemakaian energi baik untuk keperluan


1. Latar Belakang industri maupun rumah tangga.
Pengelolaan kekayaan alam yang
dimiliki Indonesia khususnya sumber energi 2. Rumusan Permasalahan
harus dilakukan secara tepat dan efisien Permasalahan yang diangkat dalam
untuk kelangsungan persediaan energi penelitian berguna untuk mengetahui fasies
nasional dalam jangka panjang. Minyak, gas daerah penelitian, karakteristik batubara
bumi dan batu bara merupakan energi fosil sebagai source maupun reservoir atas
yang tidak terbarukan, oleh sebab itu keterdapatan gas metana yang meliputi
pemanfaatannya harus dilakukan secara analisis properti batubara, dan untuk
hemat, sedangkan untuk potensi energi mendapatkan nilai besarnya sumberdaya
terbarukan dan energi alternatif perlu (resources) gas metana yang terdesorpsi
dikembangkan dan dioptimalkan pada lapisan batubara berdasarkan data log
pemanfaatannya. cadangan batubara sebagai sumur dan data seismik sebagai data primer
salah satu sumber energi fosil yang masih dan data analisis proksimat sebagai data
cukup melimpah, akan tetapi pemakaiannya sekunder pada penelitian
masih terbatas di kalangan industri. 3. Tujuan Penelitian
Di masa mendatang, kiranya tidak Penelitian yang dilakukan bertujuan
diragukan lagi bahwa peran batubara untuk :
khususnya CBM dapa menjadi salah satu a. Mengetahui satuan batuan formasi
sumberdaya energi akan terus meningkat pembawa batubara di daerah telitian
sebagai konsekuensi makin meningkatnya b. Mengetahui stratigrafi, kondisi
lingkungan pengendapan, struktur
geologi dan sejarah geologi daerah Tanjung yang terletak dibawahnya. Formasi
telitian ini terdiri dari pengendapan laut dangkal di
c. Mengetahui batasan zona unit bagian bawah, batu gamping dan napal di
stratigrafi, sehingga dapat ditentukan bagian atas.
zona yang menjadi zona batubara (coal
zone), dan c. Formasi Warukin (Miosen Bawah –
d. Mengetahui potensi sumberdaya CBM Miosen Tengah)
di daerah telitian.
4. Manfaat Penelitian Formasi Warukin diendapkan di
Hasil penelitian diharapkan dapat atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak
dilanjutkan dengan eksplorasi lebih lanjut selaras oleh Formasi Dahor. Formasi ini
agar dapat diketahui cadangan CBM yang terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin
berada di daerah telitian, sehingga kelak bagian bawah (anggota klastik), dan
dapat diproduksi untuk kebutuhan sumber Warukin bagian atas (anggota batubara).
energi di Indonesia baik. Kedua anggota tersebut dibedakan
berdasarkan susunan litologinya.
II. TINJAUAN PUSTAKA Warukin bagian bawah (anggota
klastik) berupa perselingan antara napal atau
1. Fisiografi Regional lempung gampingan dengan sisipan tipis
Secara fisiografi, daerah telitian berada batupasir, dan batugamping tipis di bagian
di daerah Cekungan Barito, dimana di bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan
utara daerah telitian dibatasi oleh cekungan selang-seling batupasir, lempung, dan
Kutai bagian barat, sebelah timur dibatasi batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan
oleh Pegunungan Meratus, sebelah barat tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir
dibatasi oleh Pegunungan Schwaner dan di bisa mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
sebelah selatan dibatasi oleh Laut Jawa. Warukin bagian atas (anggota
2. Stratigrafi Regional batubara) dengan ketebalan maksimum ±
Secara umum stratigrafi Cekungan 500 meter, berupa perselingan batupasir dan
Barito secara urutan dari tua ke muda antara batulempung dengan sisipan batubara. Tebal
lain : lapisan batubara mencapai lebih dari 40 cm,
sedangkan batupasir tidak begitu tebal.
a. Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal) Formasi Warukin diendapkan pada
Formasi ini diendapkan pada kala lingkungan neritik dalam (innerneritic)-
Eosen yang diendapkan pada lingkungan deltaik dan menunjukkan fasa regresi.
paralis hingga neritik dengan ketebalan 900-
d. Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen)
1100 meter, terdiri dari (atas ke bawah)
batulumpur, batulanau, batupasir, sisipan Formasi ini diendapkan pada kala
batubara yang kurang berarti dan Miosen sampai Plio-plistosen di lingkungan
konglomerat sebagai komponen utama. litoral hingga supralitoral, yang dengan
Hubungannya tidak selaras dengan batuan ketebalan 450-840 m. Formasi ini
pra-Tersier. hubungannya tidak selaras dengan ketiga
formasi di bawahnya dan tidak selaras
b. Formasi Berai (Oligosen Akhir –
dengan endapan alluvial yang ada di atasnya.
Miosen Awal)
Formasi ini terdiri dari perselingan batuan
Formasi ini diendapkan pada kala konglomerat dan batupasir yang tidak
umur Oligosen Bawah sampai Miosen Awal kompak, pada formasi ini juga ditemukan
di lingkungan lagoon hingga neritik tengah batulempung lunak, lignit dan limonit.
dengan ketebalan 107-1300 meter, e. Endapan Alluvium
hubungannya selaras dengan Formasi Merupakan kelompok batuan yang
paling muda yang tersusun oleh kerikil,
pasir, lanau, lempung, dan lumpur yang Parasekuen set merupakan gabungan
tersebar di morfologi dataran dan sepanjang parasekuen-parasekuen yang berkerabat
aliran sungai. secara genetik membentuk pola susunan
(stacking pattern) yang jelas. Parasekuen set
3. Tektonik Regional ini selalu dibatasi oleh permukaan marine
Menurut Satyana drr., 2007, Pulau flooding atau bidang pelamparan secara
Kalimantan terbentuk oleh elemen tektonik lateral. Pola susunan parasekuen dalam
yang terdiri atas lempeng kontinen dan parasikuen set dapat berupa progradasi,
lempeng samudra. Selain itu juga adanya backstepping atau aggradasi tergantung pada
sesar-sesar yang membatasi Cekungan tingkat pengendapan dan tempat
Barito, yaitu Sesar Adang di sebelah utara. akumulasinya (Gambar 1).
Cekungan Barito mulai terbentuk pada a. Sikuen
Kapur Akhir setelah tumbukan (collision) Menurut Posamentier dan Vail, 1988,
antara microcontinent Paternoster dan gabungan dari beberapa parasikuen set
Baratdaya Kalimantan (Heryanto R., 2010). membentuk suatu sikuen. Pengendapan
4. Sikuen dan Satuan Unit Stratigrafi sikuen dapat dibedakan menjadi 2 tipe
Menurut Posamentier, et al., 1988, yaitu:
Sikuen Stratigrafi adalah ilmu tentang Tipe 1 : sikuen pengendapan yang
hubungan batuan dalam sebuah kerangka terbentuk pada saat relative sea level fall di
kronostratigrafi tersusun secara genetik yang garis pantai tanpa memperhatikan basin
berhubungan dalam unit-unit lapisan (Emery, fisiography-nya. Sikuen atas dibatasi oleh
et al 1996). Adapun unit-unit stratigrafi bidang ketidakselarasan ke arah daratan pada
sebagai berikut : saat kondisi lowstand. Dengan demikian tipe
a. Lamina, Laminaset, Bed dan Bedset 1 sikuen pengendapan ini akan tersusun oleh
lowstand system tract
Campbell, 1967 mengidentifikasi
Tipe 2 : merupakan sikuen
lamina, laminaset, bed, dan bedsets sebagai
pengendapan yang terbentuk tanpa adanya
komponen dari suatu tubuh sedimen. Dia
suatu relative sea level fall. Sikuen
mengenali unit tersebut sebagai komponen
pengendapan tipe ini merupakan suatu siklus
pembentuk parasekuen.
regresif-transgresif tanpa pengaruh dari
b. Parasikuen
lowstand system tract. Sikuen ini tidak
Parasikuen merupakan beberapa
dibatasi oleh bidang ketidakselarasan.
lapisan dan kumpulan lapisan batuan yang
relatif selaras, terbentuk oleh suatu proses 5. Elektrofasies
pengendapan dan yang dibatasi oleh
permukaan genang laut atau permukaan yang
setara (Wagoner, 1990).
c. Parasikuen set

Gambar 2. Jenis-jenis umum karakteristik respon log


GR (cant, 1992 dalam Numair, A.S., et al, 2013).

Perbedaan karakteristik yang menjadi


dasar bagi pengamatan fasies yang ditinjau
berdasarkan dari data log yang disebut
elektrofasies (Gambar 2). Log yang biasa
digunakan adalah Gamma Ray(GR) atau
Spontaneous Potensial (SP).
Gambar 1. Tipe Parasikuen set (Van Wagoner,1990)
a. Bentuk Lonceng (Bell Shaped)
Pada bentuk ini akan terlihat kenaikan Bidang genanglaut maksimal (marine
volume shale secara gradual, menunjukkan flooding surface) yang terbentuk pada saat
perubahan dominasi besar butiran misalnya fase genanglaut maksimum. MFS terbentuk
dari batupasir ke shale atau merupakan aspek pada bagian atas Transgressive System Tract
penghalusan keatas (TST) dan memisahkan back stepping
b. Funnel (Funnel Shaped) parasequences yang terletak di atasnya
Nilai kurva akan naik secara gradual,
hal ini juga menunjukan dominasi yang 6. Systems Tract
berubah misalnya dari shale ke arah sand Istilah systems tract pertama kali
(mengkasar keatas). Kurva log ini didefinisikan oleh Brown & Fisher (1977)
menunjukkan fasies pengendapan di laut sebagai suatu paket sistem pengendapan.
dangkal dengan energi pengendapan yang (Emery, et al., 1996).
mulai naik serta butiran yang mengkasar. Dalam satu siklus perubahan muka
c. Cylindrical air laut relatif, dikenal adanya tiga systems
Bentuk log ini merupakan bentuk tract utama; masing-masing mencirikan
dengan karakter GR yang relatif stabil, tahap perubahan muka air laut relatif yang
berupa nilai kurva log GR yang rendah, berbeda-beda.
tajam. Bentuk seperti ini diasosiasikan
a. Lowstand Systems Tract (LST)
dengan endapan sedimen fluvial channel,
Systems tract paling bawah . dalam
braided channel, estuarine, sub-marine
sekuen tipe-1 disebut lowstand systems tract.
channel fill, anastomosed channel, dan
Systems tract ini diendapkan pada perioda
eolian dune.
antara penurunan muka air laut relatif
d. Symmetrical
dengan penaikan muka air laut relatif yang
Bentuk karakteristik dari kurva GR
terjadi kemudian.
ini menunjukkan adanya penurunan kadar
shale dilanjutkan kenaikan kembali. Karakter b. Transgressive Systems Tract (TST)
ini juga mengindikasikan adanya perubahan Transgressive systems tract adalah
yang cepat dalam lapisan itu. Perubahan systems tract yang berada di tengah-tengah
yang terjadi yang terekam dalam karakter ini sekuen tipe-1 maupun sekuen tipe-2. Sistem
adalah adanya progradasi serta retrogradasi ini diendapkan pada suatu bagian dari fasa
yang sinergis dan cepat. penaikan muka air laut relatif, pada saat laju
pertambahan volume akomodasi lebih tinggi
e. Irregular
dibanding laju pemasokan sedimen.
Bentuk kurva pada jenis ini
memperlihatkan adanya agradasi dari shale c. Highstand systems tract (HST)
dan lanau. Bentuk kurva ini Sistem ini terletak diantara maximum
merepresentasikan area pengendapan yang flooding surface dan batas sekuen. Sistem ini
beragam seperti fluvial floodplain, alluvial terbentuk pada saat laju penaikan muka air
plain, carbonat slope, laut mulai menurun, setelah melalui masa
puncak, pada saat mana laju pembentukan
f.. Batas sikuen (Sequence Boundary/SB)
akomodasi lebih kecil dibanding laju
Batas sikuen adalah suatu bidang pemasokan sedimen.
keselarasan dan keselarasan padanannya
Menurut Horne, 1978 dalam
yang terjadi selama jangka waktu
Prasongko, 1996 lingkungan pengendapan
penurunan relatif permukaan laut.
berpengaruh terhadap sebaran, ketebalan,
Bidang transgresif (Transgressive
kemenerusan, kondisi roof dan kandungan
surface/TS)
sulfur batubara serta peran tektonik dalam
1. Bidang (maximum Flooding
pembentukan lapisan batubara. Berdasarkan
surface/MFS)
karakteristik lingkungan pengendapan Endapan didominasi oleh bentuk
batubara, maka dapat dibagi atas : linier tubuh batupasir lentikuler dan pada
bagian atasnya melidah dengan serpih
a. Barrier abu-abu, batulanau, dan lapisan batubara.
Kriteria utama lingkungan Mineral batupasirnya bervariasi mulai
barrier adalah hubungan lateral dan dari lithic greywacke arkose, ukuran butir
vertikal dari struktur sedimen dan menengah sampai kasar. Di atas bidang
pengenalan tekstur batupasirnya, ke arah gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran
laut, butirannya menjadi halus dan batubara yang melimpah pada bagian
berselang seling dengan serpih bawah, makin ke atas butiran menghalus
gampingan merah kecoklatan sampai pada batupasir.
hijau, batuan karbonat dengan fauna laut Dari bentuk batupasir dan
ke arah darat membentuk gradasi pertumbuhan point bar menunjukkan bahwa
menjadi serpih berwarna abu-abu gelap hal ini dikontrol oleh meandering. Endapan
sampai hijau tua. levee dicirikan oleh sortasi yang buruk,
b. Back-Barrier perlapisan batupasir dan batulanau yang
tidak teratur hingga menembus akar.
Lingkungan ini disusun oleh Ketebalannya bertambah apabila mendekati
urutan perlapisan serpih abu-abu gelap channel dan sebaliknya. Lapisan pembentuk
kaya bahan organik dan batulanau yang endapan alluvial plain cenderung lebih tipis
terus diikuti oleh batubara yang secara dibandingkan endapan upper delta plain.
lateral tidak menerus dan zona siderit Lingkungan upper delta plain –
yang berlubang. Lingkungan Back fluvial: batubaranya tebal dapat mencapai
Barrier memiliki ketebalan batubara lebih dari 10 meter, sebarannya meluas
yang tipis, pola sebarannya cenderung cenderung memanjang sejajar jurus
memanjang sejajar sistem penghalang pengendapan, tetapi kemenerusan secara
atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lateral sering terpotong channel, bentuk
lapisan berlembar karena dipengaruhi batubara ditandai hadirnya splitting akibat
tidal channel setelah pengendapan atau channel kontemporer dan washout oleh
bersamaan dengan proses pengendapan channel subsekuen dan kandungan sulfurnya
dan kandungan sulfurnya tinggi. rendah.
c. Lower Delta Plain
e. Transitional Lower Delta Plain
Lingkungan pengendapan ini
mempunyai karakteristik tipis, sebaran Zona transisi yang mengandung
sepanjang channel atau jurus karakteristik litofasies dari kedua sikuen
pengendapan, ditandai hadirnya splitting tersebut. Disini sikuen bay fill tidak sama
oleh endapan crevasse splay dan dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari
kandungan sulfur agak tinggi. Endapan kandungan fauna air payau sampai marin
yang mendominasi adalah serpih dan serta struktur burrowed yang meluas.
batulanau yang mengkasar ke atas. Endapan channel menunjukkan kenampakan
Ketebalannya berkisar 15-55 m dengan migrasi lateral lapisan point bar accretion
pelamparan lateral 8-110 km. menjadi channel pada upper delta plain.
Lingkungan lower delta plain, Channel pada transitional delta plain ini
batubaranya tipis, pola sebarannya berbutir halus daripada di upper delta plain,
umumnya sepanjang channel atau jurus dan migrasi lateralnya hanya satu arah.
pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh Levee berasosiasi dengan channel
hadirnya splitting oleh endapan crevase yang menebal dan menembus akar secara
splay dan kandungan sulfurnya agak meluas daripada lower delta plain. Batupasir
tinggi. tipis crevasse splay umum terdapat pada
d. Upper Delta Plain
endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak 8. Dasar Teori
daripada di lower delta plain namun tidak A. Pengenalan Batubara dan CBM
sebanyak di upper delta plain. Lingkungan Menurut Badan Standarisasi Nasional
transitional lower delta plain : ketebalan dalam SNI (1997), batubara adalah endapan
batubaranya tebal dapat lebih mencapai 10 yang mengandung hasil akumulasi material
meter, tersebar meluas cenderung organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan
memanjang jurus pengendapan, tetapi yang telah melalui proses lithifikasi untuk
kemenerusan secara lateral sering terpotong membentuk lapisan batubara, material
channel, bentuk lapisan batubara ditandai tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan
splitting akibat channel kontemporer dan kimia dan proses metamorfosis oleh
washout oleh channel subsekuen dan peningkatan panas dan tekanan selama
kandungan sulfurnya agak rendah. periode geologi
7. Teori Model Struktur Riedel Shear Coalbed Methane (CBM) adalah gas
Model Riedel Shear muncul di dalam bumi (hidrokarbon) dengan gas metana
sepasang sesar mendatar yang saling sejajar. merupakan komposisi utamanya yang terjadi
Di dalam zona sesar tersebut akan secara alamiah dalam proses pembentukan
berkembang struktur–struktur geologi batubara (coalification) dalam kondisi
sebagai berikut : terperangkap dan terserap pada lapisan
1. Sesar mendatar Riedel ditandai batubara.
dengan adanya sepasang Riedel
Shear ( R dan R1 ) yang berarah 30° B. Log dan Seismik
terhadap tegasan maksimum (σ1). Menurut Harsono, 1997, log adalah
Pergerakan dalam Riedel Shear suatu grafik kedalaman (atau waktu) dari
terhadap R di sebut sebagai synthetic satu set yang menunjukkan parameter yang
faults yang relatif sejajar dengan diukur secara berkesinambungan dalam
Major Faults. R1 merupakan arah sebuah sumur.
berikutnya setelah terjadi R yang Macam-macam log yang umum
disebut sebagai antithetic faults digunakan dalam evaluasi formasi adalah
dengan pergerakan memotong major Log Permeabilitas (log Gamma Ray, log
faults. Dalam suatu sistem yang lain Spontaneous Potential, dan log Caliper),
akan timbul pula synthetic P dan X Log Resistivitas dan Log Porositas (log
sebagai antithetic faults. densitas, log neutron, dan log sonic).
2. Tegasan utama σ1 membentuk sudut Pada penggunaannya, Log wireline
45° terhadap major faults. biasanya diaplikasikan dengan seismik. Pada
3. Sesar mendatar synthetic dan dasarnya, menurut Vail dan Mitchum, 1977,
antithetic muncul dan berkembang seismik merupakan metode penafsiran
selama Riedel Shear dan dapat pula stratigrafi bawah permukaan dalam satuan
menentukan pola patahan lainnya. waktu berdasarkan pantulan refleksi
(Sukmono, 1999). Beberapa penjelasan
mengenai seismik dibahas pada Metodologi
Penelitian dan pembahasan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi daerah telitian berada di
daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Provinsi Kalimantan Selatan yang tersaji
pada Lampiran 1. Daerah penelitian
terdapat 5 Satuan formasi, diantaranya
Gambar 3. En Echelon Structures pada zona strike urutan-urutan satuan tersebut dari tua ke
slip faults (Harding,1974 and Bartlett et all ,1981) muda antara lain : Formasi Tanjung,
Formasi Berai, Formasi Warukin, Formasi
Dahor dan Endapan Alluvium, namun perubahan-perubahan fasies yang terdapat
formasi yang menjadi fokus dari penelitian pada satuan Formasi warukin dengan formasi
ini adalah Formasi Warukin. diatas yaitu Formasi Dahor dan formasi
dibawahnya yaitu Formasi Berai.
1. Fisiografi Daerah Telitian
Daerah telitian tepatnya berada di Secara keseluruhan hubungan
Propinsi Kalimantan Selatan. Secara perubahan fasies antara satuan Formasi
administrasi, daerah telitian mencakup Warukin dengan satuan Formasi Berai dan
wilayah Kabupaten Tabalong di bagian satuan Formasi Dahor dipengaruhi oleh
utara, Kabupaten Balangan di bagian timur, perubahan muka air laut relatif dan akibat
Kabupaten Hulu Sungai Tengah di bagian dari adanya peningkatan suplai sedimen
Selatan dan Kabupaten Sungai Hulu Utara di sehingga channel-channel terbentuk.
bagian barat.
C. Lingkungan Pengendapan
2. Stratigrafi Daerah Telitian Berdasarkan pola fasies menurut
A. Litologi Walker 1979, morfologi daerah telitian
Litologi dapat ditentukan berdasarkan dipengaruhi oleh tipe River Dominated
data log wireline. Data yang paling akurat Delta atau Delta yang terbentuk akibat
adalah data Gamma Ray karena data log pengaruh dari aktivitas Fluvial (Sungai).
tersebut dapat menentukan jenis litologi a. Miosen Tengah – Kuarter (Tf 1 - Q)
berdasarkan penciri material yang selang 0-980 m
mengandung unsur-unsur radioaktif. Fosil foraminifera yang dijumpai pada
Berdasarkan pengukuran cutoff yang telah interval ini sangat jarang, hampir dapat
dibahas pada halaman 50 mengenai korelasi dikatakan “barren”, foraminifera tersebut
sumur, hasil untuk nilai sandbase (lapisan antara lain dari genus Anomalina, Elphidium,
permeable) kurang dari 67 API, sebaliknya Amphistegina dan Orpeculinella sp. Selain itu,
untuk nilai shalebase (lapisan impermeable) juga dijumpai fosil lainnya seperti Ostracoda,
lebih dari 67 API. Bila dibandingkan dengan namun hanya sedikit.
hasil penelitian Evenick, nilai GR pada Berdasarkan fosil yang ditemukan
daerah telitian lebih kecil, hal ini dan susunan litologinya diperkirakan terjadi
dimungkinkan karena kandungan radioaktif pada lingkungan litoral – brackish (non
pada batuan tidak begitu tinggi. marine). Umur batuannya tidak dapat
Batas formasi pada ketiga sumur ditentukan dengan pasti karena tidak
ditentukan dari karakteristik litologi dari dijumpai fosil petunjuk.
formasi yang terdapat pada daerah telitian,
formasi tersebut masing-masing telah 3. Struktur Geologi Daerah Telitian
dibahas pada bab 2. Berdasarkan peta SRTM bahwa pada
lokasi telitian, terdapat kemenerusan bukit
B. Sikuen Stratigrafi dan lembah relatif berarah baratlaut-
Formasi warukin pada sumur GIA 1, tenggara, hal ini mengindikasikan bahwa
GIA 2 dan GIA 3 dibatasi oleh suatu sikuen terdapat pengaruh struktur berarah timurlaut-
stratigrafi, yaitu Sequence Boundary (SB), baratdaya.
Transgressive Surface (TS) dan Maximum Secara keseluruhan, penampang
Flooding Surface (MFS), sehingga dapat seismik pada Gambar 59 bila dilihat dari sisi
diketahui zona Systems Track, yaitu High 3 Dimensi memperlihatkan bahwa struktur
Systems Track (HST), Transgressive Systems geologi daerah telitian mempunyai tegasan
Track (TST) dan Lowstand Systems Track utama berarah baratlaut-tenggara.
(LST).
4. Sejarah Geologi Daerah Telitian
Bila dihubungkan antara penampang Satuan batuan Formasi Warukin
litologi dan sikuen, maka dapat diketahui dibagi menjadi dua bagian, yaitu satuan
batuan Formasi Warukin bagian bawah dan
satuan batuan Formasi Warukin bagian atas.
Satuan batuan Formasi Warukin bagian
bawah terbentuk pada fase transgresi,
dimana litologi yang terdapat pada satuan ini
berupa batulempung/ endapan-endapan
material halus. Satuan ini diendapkan selaras
diatas satuan batuan Formasi Berai.
Pada saat satuan batuan Formasi
Warukin bagian bawah telah terbentuk,
yakni pada kala Miosen Tengah, kemudian
terjadi Pengangkatan Meratus yang
menyebabkan terjadinya perubahan garis
pantai atau penurunan muka air laut
(regresi), sehingga satuan formasi yang lebih
tua sebagian tersingkap. Oleh karena itu
batuan yang tersingkap mengalami proses
pelapukan dan tertransportasi sebagai
material yang berasal dari darat, sehingga
material-material kasar diendapkan sebagian
diatas satuan batuan Formasi Warukin
bagian bawah. Akibat jeda waktu oleh
Pengangkatan Meratus, Satuan ini
diendapkan secaara tidak selaras (hiatus)
dengan satuan dibawahnya. Umur pada
satuan ini tidak dapat ditentukan karena tidak
ditemukan fosil petunjuk, sehingga
disetarakan dengan formasi regional, dimana
Formasi Warukin diendapkan pada kala
adalah Miosen Tengah - awal Miosen Akhir,
lingkungan Transitional Lower Delta Plain.
Setelah Satuan batuan Formasi
Warukin bagian atas terendapkan, satuan
batuan Formasi berai diendapkan secara
tidak selaras diatas satuan batuan Formasi
Warukin atas. Tipe ketidakselarasan yang Gambar 8. Rekonstruksi sejarah geologi daerah
memisahkan satuan batuan Formasi Dahor telitian (Andiky, 2014 modifikasi Satyana
dan Warukin bagian atas adalah Angular danbSilitonga, 1994 dalam Heryanto, R., 2010)
Unconformity. Seiring dengan terjadinya
pengangkatan pada Plio-Plistosen, 5. Analisis Bawah Permukaan
mengakibatkan semua satuan batuan Formasi A. Interpretasi Seismik
yang mengisi Cekungan Barito mengalami Berdasarkan hasil analisis seismik
penyesaran dan terlipat stratigrafi, diketahui bahwa lintasan 25
Secara keseluruhan, sejarah geologi merupakan lintasan kunci, sehingga
daerah telitian dapat dilihat pada Gambar 8. pemerian batas sikuen (picking) batas
horizon (SB 2, MFS 2, TS 1 dan SB 1) dapat
dimulai dari lintasan 25. Hasil picking
horizon menunjukkan bahwa batas sikuen
dari lintasan 25 (awal) hingga lintasan 15
(akhir) masih menerus, namun semakin jauh
dari lintasan 25, kondisi batas horizon Initial Gas In Place harus dicari terlebih
semakin datar, hal ini disebabkan karena dahulu kandungan gas di daerah telitian yang
adanya pengaruh struktur yang berkembang dapat diperoleh dengan menggunakan
di tiap lintasan, dimana lintasan 25 dan metode perhitungan KIM dengan formula
sekitarnya batas horizonnya termiringkan yang telah tersaji pada Gambar 2.
karena terdapat struktur yang berkembang di Berdasarkan formula tersebut diperoleh data
daerah itu, sementara lintasan 15 dan yang tersaji dalam Tabel 3.
sekitarnya tidak dipengaruhi struktur yang Tabel 2. Perhitungan Gas Content dengan
signifikan (Gambar 61). menggunakan Formula Kim
B. Penentuan Coal Zone
Berdasarkan zona sikuen, kedalaman
dan keterdapatan batubara pada sumur GIA
1, GIA 2 dan GIA 3 dihasilkan Zona
Batubara (Coal Zone) yang dibagi menjadi
tiga zona, yaitu Zona A, Zona B dan Zona C.
Zona tersebut ditentukan mengikuti batas
sikuen yang sebelumnya telah dibuat. Hasil Tabel 3. Perhitungan Initial Gas In Place di
korelasi coal zone tersaji pada Lampiran 5. Zona A dan Zona B

C. Peta Bawah Permukaan


Setelah melakukan interpretasi
seismik dan mengkorelasikan horizon dan
fault tiap lintasan seismik, kemudian dibuat
peta bawah permukaan berdasarkan zona
batubara (coal zone). Peta yang dibuat adalah
Peta waktu dan, peta Isopach dan peta
Sweetspot. Daerah telitian mempunyai luas
area 820.733 acre atau sama dengan 3.321,39
Km² Dari tabel di atas diperoleh nilai gas
a. Isopach Map content untuk Coal Zone A sebesar 117,0189
Peta Isopach adalah salah satu peta Scf/ton, Coal Zone B sebesar 131,91 Scf/ton
geologi yang menyajikan ketebalan lapisan dan Coal Zone C sebesar 126,39 Scf/ton.
suatu daerah (resevoir). Peta isopach coal Berdasarkan nilai tersebut dapat dimasukkan
zone dapat dilihat pada gambar 64. Peta ke dalam perhitungan Initial Gas In Place
isopach menggambarkan bahwa semakin ke dengan rumus pada halaman 58. Perhitungan
timur, maka daerah semakin tebal. Hal ini IGIP dilakukan sebanyak dua kali dengan
menunjukkan bahwa semakin tebal suatu asumsi pertama yaitu Luas Area yang
zona batubara, maka potensi sumberdaya diperoleh dari peta Sweetspot dan asumsi
CBM di indikasikan akan semakin besar. yang kedua dengan luas area yang diperoleh
b. Peta Sweetspot dari perhitungan luas area dengan
Peta daerah prospek (Sweetspot) menggunakan metode circular USGS
yaitu peta yang memberikan informasi (Wood., et al, 1983). Hal ini dilakukan
kedalaman untuk reservoir batubara secara karena dalam menghitung sumberdaya dalam
ekonomis (daerah prospek). Perhitungan gas conventional berbeda kasus dengan gas
Potensi Sumberdaya CBM unconventional dalam hal sourcerock karena
Perhitungan sumberdaya CBM dalam hal CBM, batubara memiliki sifat
dilakukan dua tahapan, tahapan yang lapisan yang tidak menerus, sehingga bila
pertama menghitung Gas Content dan menggunakan perhitungan pelamparan luas
tahapan yang kedua menghitung Initial Gas area sumberdaya batubara akan semakin
In Place (IGIP). Sebelum menghitung nilai detail,meskipun hasil sumberdaya CBM
dengan menggunaka asumsi dua akan sangat
kecil. Hasil perhitungan sumberdaya CBM sumberdaya pada daerah telitian kurang
dengan metode Circular USGS tersaji pada begitu baik untuk di eksplorasi lebih
Tabel 4. lanjut,karena berdasarkan standar Pertamina
Hulu Energi, sumberdaya sekitar 0,5 Tcf
Tabel 4. Perhitungan Initial Gas In Place merupakan nilai yang dapat dikatakan cukup
dengan perhitungan luas area baik, sehingga dibutuhkan data pendukung
menggunakan metode circular lainnya yang lebih lengkap bila ingin
USGS dieksplorasi lebih lanjut dan dikatakan
berpotensi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Beberapa penelitian studi untuk
mengungkap potensi Coalbed Methane pada
Berdasarkan rumus perhitungan IGIP penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
dapat diperoleh nilai Initial Gas In place 1. Satuan batuan Formasi Warukin
yang tersaji pada Tabel 12. Perhitungan Gas merupakan satuan batuan pembawa
In Place dilakukan dengan dua interval batubara.
kedalaman, yakni kedalaman 250 m – 750 m 2. Stratigrafi daerah penelitian terdapat
dan 750 m – 1000 m, hal ini dilakukan agar 5 Satuan formasi, diantaranya urutan-
dapat mengetahui potensi persebaran urutan satuan tersebut dari tua ke
reservoar pada kedalaman tertentu. muda antara lain : Formasi Tanjung,
Dalam perhitungan Initial Gas In Formasi Berai, Formasi Warukin,
Place, nilai gas content diketahui dari proses Formasi Dahor dan Endapan
analisis proksimat yang telah dilakukan. Alluvium.
Gross thickess diketahui dari Log pada tiap 3. Daerah telitian terbentuk karena
sumur (Log gamma-ray dan Log density), pengaruh dominasi fluvial/sungai
nilai density yang digunakan adalah nilai atau dengan lingkungan pengendapan
density yang dilakukan pada analisis yang termasuk ke dalam lingkungan
proksimat. Perlunya dilakukan koreksi yaitu Transitional Lower Delta Plain.
dengan membandingkan total ketebalan 4. Struktur geologi yang berkembang di
seam pada tiap zona dibagi dengan jarak daerah telitian yang berkembang
kedalaman tiap zone nya (net to gross) dikontrol oleh tegasan utama berarah
sehingga diharapkan jumlah resources nya baratlaut-tenggara.
mendekati kesesuaian dengan ketebalan dari 5. Zona unit stratigrafi daerah telitian
seam batubara tiap zona / tidak adanya terdiri dari tiga zona sikuen, yaitu
overestimated jumlah resources nya. LST 1, TST 1 dan HST 1. Zona yang
Secara keseluruhan, total sumberdaya menjadi bahan penelitian adalah zona
CBM di daerah telitian dengan asumsi HST 1 sebagai Coal Zone A, TST 1
pertama untuk interval kedalaman 250-750 sebagai Coal Zone B dan LST 1
m sebesar 0.093 Tcf dan pada interval 750- sebagai Coal Zone C
1000 m sebesar 0,057 Tcf. Sedangkan total 6. Total sumberdaya CBM di daerah
sumberdaya CBM di daerah telitian dengan telitian dengan asumsi pertama untuk
asumsi kedua untuk interval kedalaman 250- interval kedalaman 250-750 m
750 m sebesar 1.49108 x 10-7 TCF dan pada sebesar 0.093 Tcf dan pada interval
interval 750-1000 m sebesar 1.49135 x 10-7 750-1000 m sebesar 0,057 Tcf.
Tcf. Hasil tersebut sangat jauh dikatakan Sedangkan total sumberdaya CBM di
sebagai potensi, namun sesuai perlakuannya daerah telitian dengan asumsi kedua
terhadap batubara sebagai sourcerock. Total untuk interval kedalaman 250-750 m
sebesar 1.49108 x 10-7 TCF dan pada
interval 750-1000 m sebesar 1.49135 University Of Alberta Edmonton,
x 10-7 Tcf. Alberta, Canada.
Emery, D., dan K. Myers. 1996. Sequence
Berdasarkan standar Pertamina Hulu Stratigraphy, Blackwell Science
Energi, nilai potensi CBM daerah telitian
belum bisa dikatakan sebagai sumberdaya Harsono, A., 1997, Evaluasi Formasi dan
yang potensial, sehingga masih dibutuhkan
data-data lain yang menunjang agar Aplikasi Log : Schlumberger Oil
sumberdaya CBM di daerah telitian dapat mField,edisi ke 8, Jakarta.
menjadi cadangan yang bernilai ekonomis.
Heryanto.R dan Sanyoto.P ,(1994), Peta
7. Berdasararkan keterbatasan data yang Geologi lembar Amuntai Skala
diberikan dalam melakukan m1:250.000, Pusat Penelitian dan
penelitian, sehingga baik data Pengembangan Geologi.Bandung
geokimia maupun hasil perhitungan Heryanto.R, Supriatna. S, Rustandi E dan
sumberdaya yang didapat sangat Baharuddin (1994), Peta Geologi
kurang atau tidak mencapai target lembar Sampanahan Skala 1:250.00,
yang diingankan. Oleh karena itu Pusat Penelitian dan Pengembangan
dibutuhkan beberapa data yang Geologi. Bandung.
ditambahkan agar hasil yang
diharapkan sesuai dengan keinginan. Heryanto, R. 2010, Geologi Cekungan
Barito Kalimantan, Badan Geologi,
2. Saran Kementerian Energi dan Sumber
Saran-saran yang mendukung Daya Mineral, Bandung.
kesempurnaa penelitian antara lain :
Kim, A.G. 1977. Estimating Methane
1. Penambahan titik sumur guna Content of Bitumunous Coalbeds
perhitungan sumberdaya batubara From Adsorption Data. United States
2. Penambahan data checkshot agar Department of The Interior. Bereau
dalam penarikan interpretasi horizon of Mines : Washington.
lebih akurat.
3. Menyelesaikan hasil analisis JP, Battacharya dan R.G, Walker. 1992.
geokimia pada daerah telitian agar Deltas. Facies Models: Response to
dapat mengetahui kualitas batubara Sea Level Change. Geological
maupun CBM sebenarnya. Association of Canada. Page 157-
177.
DAFTAR PUSTAKA
Kendall Christopher G. St. C, Spring 2004.
Allen,G.P, Chambers, J.L.C.,1997. Sequence Stratigraphy –
Sedimentology and Stratigraphy of Introduction. Department of Earth
FluvialAnd Deltaic Reservoirs. and Ocean Sciences, University of
Quensland University of Technology, South Carolina, Columbia
Brisbane, Australia, hal 90, Indonesian
Petroleum Association, Sequence Kristadi, H.J. 2012. Gas Metana Batu bara
Stratigraphy Seminar, Indonesia.
Aminian, K., 2007. Coalbed Methane Energi Baru Untuk Rakyat. Pusat
Fundamental Concept. West Virginia Penelitian dan Pengembangan
University, Morgantown Teknologi Minyak dan Gas Bumi
LEMIGAS, Jakarta.
Catuneau, Octavian. 2006. Principles Of
Sequence Stratigraphy. Departement Satyana, A. 1996. Adang-Lupar Fault:
Of Earth And Atmospheric Science
Controversies and New Observation on
The Trans – Kalimantan Megashear.
PIT IAGI XXV
Van Wagoner, J.C, Mitchum, KRM.
Campion, K.M and Rahmanian,
V.D.,1999. Silisiclastic Sequence
Stratigrafi in Well Logs, Cores, and
Outcrops, concept of High Resolution
Correlation of Time and Facies.
American Association of Petroleum
Geologists, Tulsa. Oklahoma.
Wood, G.H. Jr. Kehn. T.M. Carter, M.,D.,
and Culbersion.W.C. 1983. Coal
Resources Classification System of
U.S. Geological Survey; U.S.
Geological Survey Circular 891, 65 p-
Bulletin

Anda mungkin juga menyukai