Anda di halaman 1dari 23

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI

INSTALASI RAWAT INAP 1


RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningitis bakteri merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP), terutama

menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18

bulan (Novariani et al., 2008). Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus

tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas pasien berkisar antara 2% - 30% di

seluruh dunia. Kasus meningitis bakteri di Indonesia mencapai 158/100.000 kasus

per tahun, dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib) 16/100.000 dan

bakteri lain 67/100.000 (Gessner et al., 2005). Pasien dengan meningitis bakteri

yang bertahan hidup berisiko mengalami komplikasi. Komplikasi utama

meningitis bakteri terjadi karena adanya kerusakan pada area tertentu di otak.

Secara umum, 30% - 50% pasien yang bertahan hidup dari meningitis dapat

mengalami gangguan saraf (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Oleh karena itu,

pasien meningitis bakteri khususnya pada anak perlu mendapat terapi antibiotik

yang optimal.

Ketersediaan antibiotik saat ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap

memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Hermsen dan Rotschafer,

2005). Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10% dari jumlah

kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik memperlihatkan kejadian sekuel

neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih 30% pada anak-

anak, 10% dari kasus anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang

permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90%
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 2
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(Japardi, 2002). Mengacu pada angka morbiditas dan mortalitas yang cukup

tinggi, maka diperlukan terapi yang tepat, efektif, rasional dan cepat bagi pasien.

Penelitian ini difokuskan pada pasien anak dikarenakan kejadian meningitis

bakteri pada anak lebih tinggi daripada orang dewasa. Oleh karena itu, perlu

dilakukan analisis terhadap pengobatan meningitis bakteri pada anak.

Penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik sudah pernah dilakukan

di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2007, akan tetapi karena perubahan pola

resistensi antibiotik yang cepat maka penulis mengangkat judul ini untuk melihat

perubahan pola pengobatan antibiotik dan ketepatan pengobatan pada meningitis

bakteri khususnya pada anak dari tahun ke tahun.

RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. RSUP Dr. Sardjito memiliki tenaga ahli,

obat, dan sarana, termasuk sarana pemeriksaan laboratorium, sehingga dapat

memberikan pelayanan medis bagi kasus-kasus berat, termasuk meningitis

bakteri. Hal inilah yang mendukung dilakukannya penelitian tentang evaluasi

penggunaan antibiotik pada pasien anak meningitis bakteri di RSUP Dr. Sardjito.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab

permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada anak di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode tahun 2010 - 2013?


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 3
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Apakah pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta selama periode 2010 – 2013 telah tepat dengan parameter

tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan Standar

Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2005 dan

guideline dari Infections Diseases Society of America tahun 2004?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada anak di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode tahun 2010 - 2013.

2. Mengetahui ketepatan pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode 2010 – 2013 dengan parameter

tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan Standar

Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2005 dan guideline

dari Infections Diseases Society of America tahun 2004.

D. Manfaat Penelitian

Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bidang Ilmiah

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

informasi tentang pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada

anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan ketidaksesuaiannya

dengan pedoman yang ada.


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 4
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar acuan dalam peningkatan

mutu pelayanan medik pengobatan meningitis bakteri pada anak di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Bidang Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lain

yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien

anak dengan meningitis bakteri.

E. Tinjauan Pustaka

1. Meningitis Bakteri

Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meninges, suatu membran yang

menyelimuti otak dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Meningitis dapat

terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga karena kejadian noninfeksi seperti

inflamasi karena pengobatan, cochlear implant, atau keganasan (Mehlhorn dan

Sucher, 2005). Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan

oleh bakteri pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (Van de Beek et al.,

2002; Brouwer et al., 2010).

a. Etiologi

Banyak faktor yang mempengaruhi etiologi penyakit meningitis bakteri.

Beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko

(seperti gangguan imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease),

serta variasi musim dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 5
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bakteri. Hal ini penting diketahui untuk pengambilan keputusan dalam terapi

empirik.

Keberhasilan penggunaan vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib)

secara luas selama beberapa tahun terakhir telah merubah epidemiologi

bakteri meningitis secara signifikan. Haemophilus influenza merupakan

organisme penyebab meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada

seluruh kelompok umur dan secara signifikan telah mengalami penurunan

dari 48% menjadi 7% dari seluruh kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh

bakteri Neisseria meningitidis masih menunjukkan persentase kejadian yang

konstan yaitu pada 14% – 25%, pada beberapa kasus terjadi antara umur 2-18

tahun. Staphyloccocus pneumonia menjadi penyebab paling sering pada

seluruh kelompok umur (Swartz, 2007; Tolan, 2009).

Organisme penyebab meningitis bakteri pada anak terbagi atas beberapa

golongan umur, yaitu:

1) Neonatus: Escherichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria

monocytogenesis.

2) Anak di bawah 4 tahun: Haemophilus influenza, Meningococcus,

Pneumococcus.

3) Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococcus, Pneumococcus.

(Japardi, 2002)

b. Patofisiologi

Bakteri yang umumnya menyebabkan meningitis adalah patogen di

nasofaring, dimana faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 6
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

atas harus ada sebelum bakteri beredar dalam darah. Meningitis bakteri juga

dapat muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal (akibat trauma atau

neurosurgery yang merusak barrier anatomis) (McCance dan Hueter, 2006).

Pada saat patogen memasuki sistem saraf pusat melalui plexus

choroideus atau area dengan perubahan sawar darah otak, terjadi peristiwa

yang bertahap, diawali dengan bermultiplikasinya bakteri di ruang

subarachnoid (McCance dan Hueter, 2006). Adanya komponen dinding sel

bakteri memicu produksi sitokin termasuk interleukin-1, tumor nekrosis

faktor, dan prostaglandin E2, yang memicu peningkatan aliran darah ke otak.

Sitokin juga mengubah permeabilitas sawar darah otak dengan cara

mengganggu integritas tight junction sehingga menyebabkan terjadinya

edema cerebral. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan peningkatan

aliran darah dan edema sehingga terjadi penurunan perfusi serebral. Proses

inflamasi menyebabkan terjadinya vaskulitis dan trombotik yang

berkontribusi pada terjadinya iskemia serebral (Pfeiffer dan Avery, 2000).

c. Diagnosis

Penegakan diagnosis meningitis bakteri akut, tidak cukup hanya

berdasarkan tanda dan gejala yang mengarah ke proses patologis dari

meningeal atau intrakranial. Hal ini disebabkan adanya penyakit dengan tanda

dan gejala yang serupa sehingga dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal

pungsi) (Feigin dan Cutrer, 2004).


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 7
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Diagnosis dini dan pemberian antibiotik sesegera mungkin, dapat

mengurangi angka kematian dan kecacatan bila dibandingkan

memperpanjang durasi terapi. Kematian dan sekuel jangka panjang

merupakan akibat inflamasi dan kerusakan neural akibat iskemi, yang sering

terjadi pada tahap sebelum dan awal pemberian antibiotik (Anonim, 2012).

Oleh karena itu, ahli medis harus segera melakukan lumbal pungsi pada anak

yang memiliki riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung

kearah diagnosis, kecuali jika terdapat kontraindikasi terhadap tindakan

tersebut, seperti peningkatan tekanan intrakranial, uncorrected coagulopathy,

dan terdapat gangguan kardiopulmoner (Anonim, 2008).

Pasien yang memiliki tanda peningkatan tekanan intrakranial,

lumbal pungsi harus ditunda hingga dilakukan pemeriksaan CT Scan. Hasil

dari CT Scan yang normal belum tentu menyingkirkan adanya peningkatan

tekanan intrakranial dan bila hasil CT scan terdapat kelainan, maka lumbal

pungsi ditunda dan terapi antibiotik dapat langsung dimulai (Anonim, 2008).

Diagnosis meningitis bakteri biasanya dikonfirmasi dengan melakukan

analisis bakteriologis menggunakan mikroskop dan kultur bakteri dari cairan

serebrospinal (CSS). Jika analisis kultur bakteri dari cairan serebrospinal

sulit/tidak dapat dilakukan, maka diagnosis dapat dilakukan dengan melihat

hasil CT scan kepala dan adanya abnormalitas secara biokimiawi pada cairan

serebrospinal. Pasien dengan meningitis bakteri biasanya ditunjukkan dengan

hasil uji laboratorium, seperti jumlah sel lebih besar dari 32/mm3, tingkat

protein lebih dari 150 mg/dL, tingkat glukosa kurang dari 1 mmol/L
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 8
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(Ogunlesi dan Odigwe, 2013). Protein pada cairan serebrospinal harus diukur

karena pada meningitis bakteri nilai protein biasanya meningkat dan

konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinal harus dibandingkan dengan

konsentrasi glukosa dalam darah. Pada pasien dengan meningitis bakteri yang

menjadi tolak ukur adalah penurunan glukosa cairan serebrospinal dan rasio

antara serebrospinal dengan glukosa darah (sekitar 66%) (Anonim, 2008).

Metode serologi seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat

mendeteksi antigen dari organisme bakteri pada cairan serebrospinal

(Ogunlesi dan Odigwe, 2013).

Serum elektrolit perlu diukur karena Syndrome of Inappropriate

Antidiuretic Hormone (SIADH) sering terjadi pada meningitis bakteri

walaupun hiponatremia tercatat hanya terjadi pada 35% kasus. Leukopenia,

trombositopenia dan koagulopati dapat terjadi di infeksi meningokokal.

Pemeriksaan leukosit periferal pada pneumokokal meningitis dan

viral meningitis biasanya masih dalam kisaran normal namun pada beberapa

kasus, terdapat peningkatan (Prober dan Dyner, 2011).

d. Penatalaksanaan Meningitis Bakteri

Prinsip terapi meningitis bakteri adalah pemberian terapi antibiotik

secara tepat dan cepat. Hal ini dapat menurunkan angka kematian dan

neurologic squeleae. Beberapa ahli mengatakan bahwa terapi antibiotik harus

dimulai dalam 30 menit setelah dilakukannya evaluasi medik (Reese et al.,

2000). Analisis terhadap 156 pasien dengan pneumokokal meningitis di 56

ruang rawat intensif di Perancis menunjukkan bahwa keterlambatan


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 9
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pemberian antibiotik lebih dari 3 jam dari sejak saat masuk berhubungan

dengan terjadinya kematian Odds Ratio (OR) 14,1 (95%CI 3,93-50,9). Hasil

serupa juga diperoleh pada penelitian di Kanada yang menunjukkan bahwa

keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 6 jam dari saat masuk RS

berhubungan dengan mortalitas dengan OR 8,4 (95% CI 1,7-40,9 p<0,01)

dan penelitian di Denmark menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko

kematian per jam keterlambatan pemberian antibiotik dengan OR 1.09 (95%

CI 1.01–1.19) (Stockdale et al., 2011).

Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami meningitis bakteri akut

tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis cepat,

serta ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan (Tunkel et al, 2004). Terapi

suportif dengan pemberian cairan, elektrolit, analgesik, dan antipiretik

diindikasikan pada pasien yang mengalami meningitis bakteri akut (Hermsen

dan Rotschafer, 2005). Algoritma penatalaksanaan terapi meningitis bakteri

pada bayi dan anak-anak dapat dilihat pada gambar 1.

Pemberian terapi empirik antibiotik pada meningitis harus diberikan

sampai 48-72 jam atau sampai patogen dapat diidentifikasikan (Hermsen dan

Rotschafer, 2005). Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik

meningitis purulen berdasarkan faktor predisposisi usia menurut Tunkel et al.

pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel I.


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 10
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Diduga mengalami
meningitis bakteri

Gangguan imunologi, riwayat penyakit, sistem saraf pusata,


papilledema, atau focalneurological deficitb, atau
penundaan diagnosis dengan lumbar puncture

Tidak Ya

Kultur darah dan lumbar Kultur darah STAT*


puncture STAT*

Deksametason + terapi
Deksametason + terapi empirik antibiotikcd
empirik antibiotikcd

CT Scan kepala negatif


Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan
meningitis bakteri Lakukan lumbar puncture

Lanjutkan terapi

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak


(Tunkel et al., 2004). STAT menunjukkan bahwa intervensi harus segera
dilakukan; atermasuk yang berhubungan dengan CSF shunt, hydrocephalus,
trauma dan terapi, atau pasca bedah saraf; bkelumpuhan saraf cranial VI atau
VI bukan indikasi untuk menunda lumbar puncture; clihat tabel I;
d
deksametason dan terapi antibiotik diberikan segera setelah cairan
serebrospinal diambil.
* STAT: Special Tertiary Admissions Test
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 11
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel I. Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik


meningitis purulen berdasarkan faktor predisposisi (usia)
(Tunkel et al., 2004)

Faktor
Bakteri Yang Diduga Antibiotik
Predisposisi
(usia)
< 1 bulan Streptococcus agalactiae, E. coli, Ampisilin +
Listeria monocytogenesis, spesies Sefotaksim atau
Klebsiella ampisilin +
aminoglikosida

1-23 bulan Streptococcus pneumoniae, Neisseria Vankomisin +


meningitidis, S.agalactiae, sefalosporin
Haemophilus influenza, E.coli generasi ketigaab

2-50 tahun Neisseria meningitidis, S.pneumoniae Vankomisin +


sefalosporin
generasi ketigaab

>50 tahun S.pneumoniae, Neisseria meningitides, Vankomisin +


L.monocytogenesis, basil gram negatif ampisilin +
aerob sefalosporin
generasi ketigaab
Keterangan: aseftriakson atau sefotaksim;
b
beberapa ahli menambah rifampin jika deksametason juga diberikan

Durasi yang optimal pada pemberian antibiotik meningitis bakteri masih

sulit untuk ditentukan. Penghentian terapi biasanya tergantung pada respon

terhadap terapi, adanya faktor komplikasi dan bakteri penyebab (Dudas dan

Flaherty, 2001). Berikut merupakan Tabel II tentang durasi terapi yang

direkomendasikan pada kasus meningitis bakteri uncomplicated berdasarkan

bakteri penyebab.
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 12
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel II. Durasi terapi pada meningitis bakteri berdasarkan bakteri


yang diisolasi (Tunkel et al., 2004)

Bakteri Penyebab Durasi Terapi (Hari)


Neisseria Meningitidis 7
Haemophilus influenza 7
S. pneumonia 10-14
Streptococci grup B(S.agalactiae) 14-21
Basil gram negatif aerob 21
L. monocytogenesis ≥21
*Durasi pada neonatus 2 minggu setelah kultur cairan serebrospinal pertama negatif
atau ≥ 3 minggu mana yang lebih panjang

Penderita meningitis bakteri pada pasien bayi dan anak-anak 5% - 30%

mengalami kehilangan pendengaran. Hal ini terjadi akibat inflamasi sistem

saraf pusat. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan pemberian

deksametason. Deksametason direkomendasikan bagi bayi dan anak-anak

(umur ≥ 6 minggu) didiagnosa atau diduga kuat mengalami meningitis bakteri

berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal, dengan mempertimbangkan

manfaat dan risiko, sebelum etiologi dipastikan (Resee et al., 2000).

Penatalaksanaan penderita meningitis rawat inap menurut Standar

Pelayanan Medis (SPM) RSUP Dr. Sardjito Tahun 2005 adalah sebagai

berikut:

1) Cairan infus 5% dekstrosa dalam ¼ normal salin atau 5% dekstrose dalam

½ normal salin, jenis dan dosis obat bergantung umur dan berat badan.

2) Kalau perlu pemberian oksigen dan resusitasi.


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 13
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3) Antibiotika sesuai penyebab

a) Meningitis bakteri:

(1) Neonatus

Pilihan I : sefalosporin (sefotaksim, seftazidin)

Sefotaksim : 100 – 150 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Seftazidin : 60 – 90 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Pilihan II : kombinasi ampisilin +aminoglikosida

Ampisilin : 100 – 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Gentamisin : 5 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

(2) Bayi umur lebih dari 1 bulan dan anak diatas 1 tahun

Pilihan I : kombinasi ampisilin +kloramfenikol

Ampisilin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Kloramfenikol : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Bila respon bagus diberikan dalam 14 hari

Pilihan II : sefalosporin (sefuroksim, sefotaksim, sefalosporin,

dan seftriakson)

Sefuroksim : 240 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Sefotaksim : 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 4 dosis

Sefalosporin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis

Seftriakson : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis

Pada keadaan tertentu/berat bisa dikombinasi dengan aminoglikosida

atau kloramfenikol tergantung kuman penyebabnya.

Catatan : lama pengobatan 1 -2 minggu


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 14
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b) Meningitis TBC

Kombinasi INH+Rifampisin+Pirazinamid

INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Rifampisin : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis

atau

Kombinasi INH+Ethambutol+Pirazinamid

INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Ethambutol : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os

Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis

Catatan : lama pengobatan 12 bulan

4) Antikonvulsan

5) Kortikosteroid; untuk mengurangi edema serebri, pada meningitis TBC

untuk mencegah perlengketan.

Deksametason : 1 mg/kg bb/hari, terbagi 3 dosis

Pada meningitis bakteri akut, deksametason diberikan 30 menit sebelum

pemberian antibiotik,

6) Diet

7) Fisioterapi dan terapi bicara (kalau perlu)

8) Konsultasi ke THT ( kalau ada kelainan THT seperti tuli)

9) Konsultasi ke mata (kalau ada kelainan seperti buta) dan funduskopi

10) Konsultasi ke bedah saraf (kalau ada hidrosefalus)


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 15
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat yang dihasilkan dari fungi atau bakteri yang

memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroba lain,

sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2002).

Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu:

a. Spektrum sempit, hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja,

contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri Gram positif

atau Gram negatif saja.

b. Spektrum luas, dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan

Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).

Sedangkan, berdasarkan daya kerjanya terhadap mikroba, antibiotik dapat

digolongkan sebagai:

a. Bakterisid, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk membunuh

bakteri.

b. Bakteriostatik, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri (Dzen, 2003).

Adapun antibiotik-antibiotik yang memenuhi syarat, terutama dapat

menembus sawar darah otak, untuk digunakan dalam terapi meningitis bakteri ini

berdasarkan guideline dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah

(Tunkel et al., 2004):


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 16
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

a. Golongan Penisilin

Penisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis dari dinding sel

bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan ini antara lain penisilin G,

ampisilin, dan beberapa antibiotik semisintetik seperti nafsilin, oxasilin, dan

metilsilin (Narrayan, 1996).

Penisilin-G adalah salah satu antibiotika yang dihasilkan oleh Penicillium

chrysogeum. Semula berkhasiat kuat terhadap (Staphylococci, Meningococci,

Streptococci, Pneumococci), tetapi kini 80% dari kedua kuman pertama sudah

menjadi resisten. Penisilin-G merupakan pilihan pertama pada infeksi

Pneumococci: radang paru-paru (pneumonia) dan radang otak (meningitis)

(Tjay dan Rahardja, 2002). Adapun penisilin-G sangat aktif membunuh

bakteri S. pneumonia, N. meningitidis dan streptococcus kecuali enterococus.

Daya penetrasi penisilin ke dalam CSF sangat buruk, dengan kadar

maksimum di dalam CSF hanya 1-2 mikrogram/ml dengan dosis tinggi yang

diberikan secara intravena (24mU/hr pada dewasa dan 300.000-

400.000/U/kg/hr pada anak-anak). Beberapa toksisitas yang dapat disebabkan

oleh penisilin adalah reaksi alergi, skin rash dan reaksi anafilaksis (Narrayan,

1996).

Ampisilin tidak efektif pada S. pneumonia, N. meningitidis namun dapat

membunuh Enterococus sp. Dosis ampisilin yang diberikan pada infeksi

Central Nervous System (CNS) adalah 150mg/kg/hr dalam dosis terbagi

(Narrayan, 1996).
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 17
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Antibiotik semisintetik dari golongan penisilin yang merupakan anti

staphylococus seperti nafsilin, oxasilin dan metilsilin dapat membunuh S.

aureus. Dosis nafsilin yang digunakan 150-200mg/kg/hr dalam dosis terbagi.

Dosis tinggi metilsilin dapat menyebabkan nefritis, sistitis, dan hemoragik

(Narrayan, 1996).

b. Sefalosporin Generasi Ketiga

Golongan sefalosporin yang dapat digunakan untuk terapi mengitis

bakteri hanya beberapa antibiotik yang termasuk dalam generasi III dan IV

saja (Tjay dan Rahardja, 2002). Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,

seftriakson, seftazidin) sangat ampuh membunuh bakteri gram negatif dan

juga dapat menembus CSF dengan baik. Efek samping yang dimiliki serupa

dengan penisilin, yang paling terjadi adalah alergi dan neutropenia.

Sefalosporin generasi ketiga telah menjadi drug of choice untuk membunuh

bakteri gram negatif penyebab meningitis (Narrayan, 1996).

Sefotaksim merupakan salah satu antibiotik golongan sefalosporin

generasi ketiga yang pertama. Obat ini resisten terhadap beberapa bakteri β-

laktamase dan aktivitasnya sangat baik terhadap bakteri aerobik gram positif

dan negatif. Waktu paruhnya dalam plasma sekitar 1 jam. Obat ini dapat

diberikan setiap 4-8 jam. Jenis ini sangat efektif untuk mengatasi meningitis

karena H. influenzae, S. pneumonia, dan N. meningitidis (Mandell dan Petri,

1996).

Seftriakson termasuk dalam golongan sefalosporin generasi ketiga.

Seftriakson diindikasikan sama seperti sefotaksim dan waktu paruhnya dalam


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 18
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

plasma sekitar 8 jam. Pemberian obat ini dapat satu kali sehari atau dua kali

sehari. Lima puluh persen diekskresi melalui urin dan biasanya dieliminasi

sebagai sekret kandung empedu (Mandell dan Petri, 1996). Berdasarkan

penelitian Schaad et al. yang membandingkan terapi seftriakson dan

sefuroksim pada anak-anak, menyatakan bahwa seftriakson memiliki hasil

terapi yang lebih baik daripada sefuroksim pada kasus meningitis bakteri

pada anak-anak, selain itu efek seftriakson dalam mensterilisasi cairan

serebrospinal lebih cepat dibandingkan sefuroksim. Setelah 24 jam terapi

menggunakan seftriakson, dijumpai kultur bakteri yang positif hanya pada 1

kasus (sebelumnya kultur terapi positif terdapat 51 kasus) dan pada kelompok

sefuroksim dijumpai 6 kasus kultur positif (sebelumnya kultur terapi positif

terdapat 49 kasus). Seluruh penderita terobati dan tidak terjadi relaps. Pada

total time pemberian secara intravena, seftriakson (1 kali sehari) signifikan

lebih pendek daripada sefuroksim (4 kali sehari) (Schaad et al., 1990).

Seftazidin termasuk antibiotik berspektrum luas (in vitro). Seftazidin

bekerja dengan menghambat biosintesis peptidoglikan dinding sel bakteri,

sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri ataupun sel lisis dan mati.

Secara in vitro, obat ini juga efektif melawan bakteri patogen aerob

nosokomonial, meliputi E. coli, H. influenzae, Klebsiella pneumonia, dan P.

vulgaris., spesies gram negatif lainnya antara lain Salmonella, Shigella, dan

Neisseri2a, serta dikenal efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa dengan

nilai MIC90 antara 0,5-128 mg/L (Rains et al., 1995). Obat ini mirip

aktivitasnya melawan Enterobacteriaceae dengan aktivitas sefotaksim dan


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 19
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mempunyai efek yang baik terhadap Pseudomonas. Waktu paruhnya dalam

plasma 1,5 jam. Obat ini tidak dimetabolisme (Mandell dan Petri, 1996) dan

dieksresi melalui urin hingga 95% (Rains et al., 1995).

c. Antibiotik beta laktam

1. Aztreonam

Aztreonam diindikasikan untuk infeksi Gram-negatif, termasuk

Pseudomonas aeruginosa, H. Influenza dan N. Meningitidis. Bekerja

dengan mekanisme mengganggu biosintesis dinding sel bakteri dengan

mengikat protein pengikat penisilin. Aztreonam merupakan alternatif

rasional untuk terapi infeksi bakteri gram negatif pada pasien yang alergi

terhadap penisilin maupun sefalosporin. Aztreonam mempunyai absorbsi

yang buruk pada penggunaan secara peroral sehingga diberikan secara

intravena atau intramuskular (Reese et al, 2000). Akan tetapi, difusinya

ke CSF baik, terutama bila terdapat meningitis (Tjay dan Rahardja,

2002).

2. Meropenem

Meropenem merupakan carbapenem jenis baru yang digunakan

secara intravena. Meropenem sangat mirip dengan imipenem, namun

meropenem stabil terhadap dehidropeptidase renal sehingga dapat

diberikan tanpa penambahan cilastin. Meropenem merupakan antibiotika

dengan aktivitas spektrum luas dan aktif terhadap S. pneumoniae yang

resisten terhadap penisilin. Jika dibandingkan dengan imipenem,


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 20
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

meropenem memiliki aktivitas yang lebih baik terhadap bakteri gram

negatif (Reese et al., 2000).

d. Golongan Kuinolon

Merupakan antibiotik spektrum luas dan bersifat bakterisidal. Golongan

ini efektif membunuh bakteri gram negatif. Antibiotik dari golongan ini yang

dapat berpenetrasi ke dalam CSF dan jaringan otak diantaranya adalah

siprofloksasin, gatilofloksasin, moxifloksasin (Narrayan, 1996).

Siprofloksasin aktif terhadap bakteri gram negatif termasuk salmonella,

shigella, kampilobakter, neiseria, dan pseudomonas. Selain itu siprofloksasin

juga aktif terhadap beberapa bakteri gram positif seperti Str. Pnemoniae dan

Str. Faecalis, tetapi bukan merupakan drugs of choice untuk Pneumonia

streptococcus. Siprofloksasin terutama digunakan untuk infeksi saluran nafas

(bukan pnemonia pneumokokus), saluran kemih, saluran cerna dan gonore

serta septikemia oleh bakteri yang sensitif. Efek sampingnya antara lain

pernah dilaporkan reaksi anafilaksis, disfagia, meteorismus, tremor, konvulsi,

ikterus dan hepatitis dengan nekrosis, vaskulitis, urtikaria, eritema nodusum,

sindrom Steves-Johnson, sindrom Lyell, ptechiae, bula hemoragik, dan

takikardi (Anonim, 2000).

e. Aminoglikosida

Mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan berpenetrasi melalui

dinding sel dan membran, kemudian berikatan secara ireversibel dengan

ribosom 30S bakteri. Aminoglikosida yang paling umum digunakan adalah

gentamisin, tobramisin, dan amikasin. Aminoglikosida mempunyai aktivitas


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 21
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang sangat baik terhadap hampir semua bakteri gram negatif aerob.

Aminoglikosida merupakan drugs of choice untuk patogen spesifik seperti

Pseudomonas aeruginosa (Reese et al., 2000).

Aminoglikosida merupakan adjunctive therapy untuk infeksi CNS,

karena dengan adanya inflamasi meningeal mengakibatkan penetrasinya ke

dalam CNS sangat terbatas. Penggunaannya harus diberikan secara intratekal

(gentamisin/tobramisin 4-8 mg atau amikasin 10-15 mg). Efek sampingnya

adalah nekrosis tubular akut serta toksisitas pada vestibular dan telinga

(Narrayan, 1996).

f. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas, namun

bersifat toksik. Oleh karena itu, penggunaan obat ini hanya diindikasikan

untuk infeksi berat akibat Haemophilus influenza, demam tifoid, meningitis

dan abses otak (Anonim, 2000).

Dikarenakan sifatnya yang toksik, selama penggunaan obat ini

pemeriksaan sel darah secara berseri dan pemantauan level serum perlu

dilakukan untuk meminimalkan toksisitas. Toksisitas yang terjadi berkaitan

dengan penggunaan kloramfenikol antara lain: supresi sumsum tulang

belakang, anemia aplastik, grey baby syndrome, dan defisiensi glucose-6-

phosphate dehydrogenase (Reese et al., 2000).

Kloramfenikol merupakan antibiotik yang larut lemak sehingga hanya

dapat menembus CSF pada saat tidak terjadi inflamasi. Kloramfenikol


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 22
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

digunakan sebagai adjunctive therapy pada abses otak tanpa trauma dan

subdural empiema yang diawali dengan sinusitis (Narrayan, 1996).

g. Vankomisin

Vankomisin merupakan bakterisidal yang aktif membunuh gram positif.

Cara kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel dan mengganggu

sistesis RNA. Vankomisin merupakan drug of choice dari infeksi yang

disebabkan oleh S. epidermidis (Narrayan, 1996).

Absorbsi vankomisin pada penggunaan peroral tidak baik, tetapi

memiliki konsentrasi sangat tinggi di feses sehingga sangat berguna untuk

terapi diare karena infeksi C. difficile dan enterokolitis staphylococcal.

Penggunaan vankomisin biasanya diindikasikan pada pasien yang alergi atau

pada pasien dengan resistensi bakteri tertentu. Bila vankomisin digunakan

bersama agen lain yang potensial nefrotoksik atau ototoksik secara simultan,

terdapat risiko yang signifikan terjadi toksisitas, antara lain: ototoksisitas,

nefrotoksisitas, red man syndrome, rash, phlebitis, demam, dan neutropenia

(Reese et al., 2000).

h. Trimetoprim-Sulfametoksazol

Kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan

5:1 ini bersifat bakterisid dengan spektrum kerja lebih besar dibandingkan

sulfonamida. Kombinasi ini jarang menimbulkan resistensi, sehingga banyak

digunkan untuk berbagai infeksi , antara lain infeksi saluran kemih, alat

kelamin (prostatitis), saluran cerna (salmonellosis), dan pernafasan

(bronkitis). Kotrimoksazol juga digunakan untuk pengobatan dan pencegahan


EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DENGAN MENINGITIS BAKTERI DI
INSTALASI RAWAT INAP 23
RSUP Dr. SARDJITO PERIODE TAHUN 2010 - 2013
APRIYANDY
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

radang paru-paru dan penderita AIDS (dalam dosis tinggi). Resorpsinya baik

dan cepat, setelah lebih kurang 4 jam sudah mencapai puncaknya dalam darah

(Reese et al., 2000). Kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dapat

mencapai CSF dan jaringan otak (Narrayan, 1996).

F. Keterangan Empiris

Penelitian diharapkan dapat memperoleh keterangan empiris mengenai pola

pengobatan dan ketepatan pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta periode tahun 2010-2013. Parameter aspek ketepatan adalah

tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis berdasarkan Standar

Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2005 dan guideline dari

Infections Diseases Society of America tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai