Anda di halaman 1dari 354

The Indonesian

Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO

MAKALAH LENGKAP
BHOM-2018
Bandung Hematology Oncology Meeting 2018

The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO

PENERBIT
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO

MAKALAH LENGKAP
BHOM-2018
Bandung Hematology Oncology Meeting 2018

The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO

PENERBIT
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
EDITOR

Trinugroho Heri Fadjari

Pandji Irani Fianza

Amaylia Oehadian

Indra Wijaya

Dimmy Prasetya

i
DAFTAR ISI

Judul Hal

Editor ...................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................... ii-iii
Penulis ...................................................................................... iv-v
Immune chekpoint inhibitor awbGi imunoterapi kanker ............ 1
Kasus : Pasien imun thrombositopenia purpura sekunder karena
lupus eritematosus sistemik ........................................................ 19
Cyramza, A new Standart of Care in treatmen of 2nd line Gastric
Cancer ...................................................................................... 25
Metastastic Breast cancer + Case Sharing ................................... 27
The new indication of Eribulin in STS + Case Sharing .................. 29
Terapi Target pada Kanker Payudara .......................................... 37
Tatalaksana Resistensi Terapi Target Pada Kanker Paru ............. 49
Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Paraneoplastik ................. 67
Diagnosis Anemia Dan Transfusi Red Blood Cell .......................... 81
Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi: Parenteral Versus Oral
Supplement ................................................................................. 111
Diatesis Hemorhagik Pada Wanita .............................................. 127
Pendekatan Diagnosis Dan Tatalaksana Trombositosis .............. 151
Pendekatan Diagnosis dan tatalaksana APS ................................ 165
Patofisiologi dan Tatalaksana Kaheksia pada Kanker .................. 183
Patofisiologi dan Tatalaksana Nyeri Kanker ................................ 201

ii
Patofisiologi dan Tatalaksana Gangguan Psikologi Pasien Kanker
...................................................................................................... 211
Incorporation of Brentuximab Vedotin in the Treatment of
Lymphoma: Current Evidence and Potential Use in Indonesia .... 221
How Should we Personalize Front-line Theraphy in mCRC ......... 229
Limfoma Non Hodgkins Agresif: Tatalaksana Terkinin ................ 237
Tatalaksana Limfoma Non Hodgkins Indolent ............................. 253
Tatalaksana Koagulopati Perioperatif .......................................... 261
Indication for Perioperatif Blood Component Transfusion ......... 285
Pencegahan dan Tatalaksana Trombosis Vena pada Perioperatif
...................................................................................................... 297

iii
PENULIS

 Prof. Iman Supandiman, dr., SpPD-KHOM


 Prof. Bethy S. Hernowo, dr., Sp.PA(K), PhD
 Prof. DR. I. Made Bakta, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Rachmat Sumantri, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Lugyanti Sukrisman, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Andhika Rachman, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Djumhana Atmakusuma, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Ikhwan Rinaldi, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Hilman Tajudin, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Cosphiadi Irawan, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Djumhana Atmakusuma, dr., SpPD-KHOM
 Dr. Yong Wei Peng
 Santi Andayani, dr., Sp.KJ., MM
 Ronald Alexander Hukom, dr., SpPD-KHOM, MHSc
 Ibnu Purwanto, dr., SpPD-KHOM
 Trinugroho Heri Fadjari, dr., SpPD-KHOM
 Pandji Irani Fianza, dr., MSc., SpPD-KHOM
 Amaylia Oehadian, dr., SpPD-KHOM
 Indra Wijaya, dr., SpPD-KHOM
 Een Hendarsih, dr., SpPD-KHOM
 Hery Aprijadi, dr., SpPD-KHOM
 Fifi Akwarini, dr., SpPD-KHOM
 Dimmy Prasetya, dr., SpPD
 Mohamad Luthfi, dr., SpPD., MMRS
 Tuti Sri Hatuti, dr., SpPD., K.Kes
 Agung Firmansyah Sumantri, dr., SpPD., MMRS
 Dinny Gustina Prihadi, dr., SpPD., M.Kes
 Santi Christiani Gultom, dr., SpPD

iv
 Sutiadi Kusuma, dr., SpPD
 Ivan Lumban Toruan, dr., SpPD
 Suhartono, dr., SpPD
 Shinta Oktya Wardhani, dr., SpPD
 Heny Syahrini, dr., SpPD
 M. Fuad, dr., SpPD

v
Immune checkpoint inhibitor sebagai imunoterapi
kanker

Amaylia Oehadian
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Sistem imun berperan penting dalam mengkontrol dan
eradikasi kanker. Pada keganasan terdapat bermacam-macam
mekanisme supresi imun yang akan mencegah efektivitas
imunitas anti tumor.1 Berbagai penelitian berusaha untuk
mengaktifkan fungsi sel T sehingga dapat mengeradikasi
kanker. Pada makalah ini akan dibahas evasi tumor dan
surveilans imun, prinsip terapi terhadap sistem imun untuk
mengontrol keganasan dan peranan immune checkpoint
inhibitor dalam terapi kanker

Evasi tumor pada suveilans imun


Teori yang menjelaskan kegagalan imun sistem dalam
mencegah progresi neoplasma dinamakan cancer
immunoediting yang terdiri dari 3 fase (gambar 1).2 :
• Fase eliminasi
Fase eliminasi terdiri dari respon imun inat dan adaptif
terhadap antigen tumor spesifik. Fase ini mempunyai
karakterstik fungsi sel T, B dan sel NK efektor yang
1
dimediasi sitokin interferon alpha, interferon gamma
dan interleukin-12.3
• Fase ekuilibrium
Fase ekuilibrium merupakan keseimbangan antara
destruksi oleh sistem imun adaptif (sel T CD4+ dan
CD8+ yang teraktivasi) dan persistensi klon malignan.3
• Fase Immunologic escape
Fase Immunologic escape merupakan fase klon
malignan mampu mengatasi sistem imun adaptif. 3

Gambar 1. Cancer immunoediting.2

Keterangan :
Cancer immunoediting merupakan mekanisme
supresor tumor ekstrinsik yang terjadi hanya setelah
terjadi transformasi selular dan kegagalan mekanisme

2
intrinsic tumor supresor. Cancer immunoediting terdiri
dari 3 fase :
o Eliminasi
Pada fase eliminasi, imuntias inate dan adaptif
bekerja sama menghancurkan sel kanker sebelum
adanya gejala klinis. Bila fase ini berjalan dengan
lengkap, host akan bebas dari kanker
o Ekuilibrium
Sel kanker yang tidak terdestruksi pada fase
eliminasi, akan memasuki fase ekuilibrium.
Pertumbuhan sel kanker dicegah dengan
mekansme imunologi. Sel T, lnterleukin 12,
interferon gamma diperlukan untuk
mempertahankan sel kanker dalam keadaan
dorman.
Fase ekuilibrium merupakan peranan sistem imun
adaptif
Pada fase ini terjadi editing imunogenisitas tumor.
Sebagai akibat seleksi imun pada sel kanker yang
tidah stabil secara genetik, dapat terjadi varian sel
kanker dengan sifat :
▪ Tidak dikenali lagi oleh sistem imun adaptif
(kehilangan varian antigen atau sel tumor
dengan defek prosesing atau presentasi
antigen
▪ Sel kanker menjadi tidak sensitive terhadap
mekanisme efektor imun
▪ Terjadi keadaan imunosupresif pada tumor
microenvirontment
o Fase escape

3
Pada fase ini pertumbuhan tumor tidak dapat
dihambat oleh sistem imun. Sel tumor akan
menyebabkan gejala klinis

Prinsip terapi terhadap sistem imun untuk mengkontrol


keganasan
Beberapa pendekatan terapi diteliti untuk memperbaiki sistem
imun dan mengkontrol keganasan antara lain :
• Sitokin. 3
• Sel T : checkpoint inhibitor, agonis reseptor
kostimulasi, manipulasi sel T. 3
• Virus onkolitik. 3
• Terapi terhadap sel-sel lain. 3
• Vaksin. 3

Immune checkpoint
Checkpoint merupakan regulator negatif imunologis. Terapi
antibodi terhadap checkpoint menunjukan perbaikan yang
bermakna dan tampaknya merupakan komponen utama
terapi imun pada keganasan. 1

Gambar 2. Immune checkpoints dan ligannya.4


4
Keterangan :
Bermacam-macam molekul immune checkpoint
diekspresikan pada T reg dengan ligannya. CTLA-4, PD-
1, TIGIT, LAG-3 dan TIM-3 diekspresikan pada Treg
dan/atau sel T efektor, berikatan dengan ligannya
masing-masing pada APCs dan/atau sel tumor, yang
akan membantu evasi respon imun antitumor.

Beberapa Checkpoint sistem imun adalah :


• Cytotoxic T Lymphocyte-Associated Antigen (CTLA-4)
CTLA-4 adalah reseptor imun checkpoint yang pertama
kali menjadi target terapi (gambar 3). Dalam keadaan
normal, setelah aktivasi sel T, CTLA-4 mengalami
upregulation pada membrane plasma yang berfungsi
menghambat fungsi sel T melalui beberapa
mekanisme:
• Menghambat kostimulasi dengan berkompetisi
dengan B7 yang merupakan ligan untuk CD28.1
• Menginduksi T- cell cycle arrest.1
CTLA-4 berperan penting dalam mempertahankan
fungsi homeostatis imunologi normal. Antibodi yang
menghambat CTLA-4 dapat menimbulkan imunitas
anti tumor.1 CTLA-4 merupakan rem fisiologis
terhadap aktivasi sel T CD4+ dan CD8+ yang dicetuskan
oleh antigen presenting cells (APCs) .1

5
Gambar 3. CTLA-4 immunologic checkpoint.1
Keterangan :
Aktivasi sel T memerlukan presentasi antigen
berupa molekul major histocompatibility
complex (MHC) sebagai tambhan dari signal
kostimulasi yang dihasilkan ketika B7 pada
antigen presenting cell (sel dendritic)
berhubungan dengan CD28 pada sel T. Setelah
teraktivasi, untuk mempertahankan homeostasis
normal, CTLA-4 akan mengalami translokasi ke
membrane plasma dan selanjutnya akan
menyebabkan down regulation fungsi sel T

• PD-1 dan PD ligand 1/2


Programmed cell death 1 (PD-1) adalah protein
transmembran yang diekspresikan pada sel T, sel B dan
sel NK. (gambar 4) PD-1 merupakan molekul inhibitor
yang berikatan dengan PD-1 ligand (PD-L1, dikenal
juga sebagati B7-H1) dan PD-L2 (B7-H2). PD-L1
terekspresi pada permukaan beberapa jaringan,
6
termasuk banyak sel tumor dan sel hematopoietik. PD-
L2 terekspresi hanya pada sel hematopoietik. Interaksi
PD-1: PD-L1/2 secara langsung akan :
• menghambat apoptosis sel tumor
• meningkatkan exhaustion sel T efektor perifer
• meningkatkan konversi sel R efektor menjadi
sel T regulator (Treg)
Sel NK, monosit dan sel dendritik juga
mengekspresikan PD-1 dan atau PD-L1. Secara umum
sitokin proefektor (interleukin -12 dan interferon
gamma) akan meningkatkan PD-1 dan PD-L1/L2. Hal ini
menekannya peranan PD-1 dan PD-L1/L2 sebagai rem
fisiologis pada fungsi efektor sel T sitotoksik.1

Gambar 4. Programmed Cell Death Protein 1 (PD-1)


immunologic checkpoint. 1

7
Keterangan :
PD-1 terekspresi pada sel T yang teraktivasi. Interaksi
PD-1 dan ligannya (PD-L1 dan PD-L2), merupakan
proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap
dalam respon imun. Sel dendritik meregulasi nagatif
aktivitas sel T melalui PD-1 dan interaksi antara B7 dan
PD-L1. Jalur PD-1 berperan penting dalam lingkungan
mikro tumor. PD-L1 yang terekspresi pada tumor
berinteraksi dengan PD-1 pada sel T untuk mensupresi
fungsi sel T efektor.

• B and T cell lymphocyte attenuator (BTLA)


B and T cell lymphocyte attenuator (BTLA) merupakan
ligan herpes virus entry mediator (HVEM). Interaksi
keduanya menyebabkan penurunan produksi sitokin
dan proliferasi sel yang diinduksi sel T CD4+. BTLA
diekspresikan pada sel B, T dan NK, juga APCs. BTLA
terinduksi selama aktivasi sel T dengan ekspresi
persisten pada TH1, tetapi tidak pada TH2.
Penghambatan BTLA akan meningkatkan fungsi dan
spesifik NY-ESO-1 CD8+ sel T dan menambahkan
efektivitas anti-PD-1.3

• V-domain Ig suppressor of T cell activation (VISTA)


V-domain Ig suppressor of T cell activation (VISTA),
mempunyai homolog dengan PD-L1 dan merupakan
negative checkpoint ligan. VISTA didapatkan pada
jaringan hematopoiesis dan struktur yang terinfiltrasi
sel T, termasuk tumor. Penghambatan VISTA
menyebabkan peningkatan infiltrasi dan fungsi sel T
sehingga mengurangi pertumbuhan tumor.3
8
• T cell immunoglobulin and mucin domain 3 (TIM-3)
TIM-3 diekspresikan pada sel dendritik, monosit, sel T
CD8 dan sel T helper (Th1). TIM-3 berikatan dengan
galectin-9 sebagai ligan yang sering ditemukan pada
sel tumor. Hal ini menyebabkan kematian sel Th1.
Sebaliknya, penghambatan TIM-3 menyebabkan
proliferasi sel Th1 dan pelepasan sitokin.3

• Lymphocyte activation gene 3 (LAG3)


LAG-3 diekspresikan oleh sel B, beberapa sel T, sel NK
dan tumor infiltrating lymphocytes (TIL). Protein LAG-
3 meningkatkan aktivitas Treg dengan cara berikatan
dengan major histocompatibility complex (MHC) class
II dan menghambat diferensiasi dan proiferasi sel T.
Kombinasi penghambatan LAG3 dan PD-1
menunjukkan efektivitas pada penelitian preklinik.
Penelitian pendahuluan menggunakan kombinasi
antibodi terhadap LAG-3 dan nivolumab menunjukkan
aktivitas klinis pada penderita melanoma stadium
lanjut yang mengalami progresitivas dalam terapi
antibodi terhadap PD-1.3

Immune checkpoint inhibitor


Checkpoint inhibitors, merupakan antibodi imunomodulator
yang digunakan untuk meningkatkan sistem imun. (gambar 5).
Antibodi ini telah memperbaiki prognosis pasien keganasan
stadium lanjut.

9
Gambar 5. Deplesi Treg intratumoral dengan anti CTLA-4.4

Keterangan :
Anti CTLA-4 berikatan dengan reseptor CTLA-4 pada Treg
dengan adanya makrofag non klasik yang mengekspresi
CD68, CD163 dan FC R. Penghambatan CTLA-4
menimbulkan deplesi Treg melalui andibody-dependent
cell-mediated cytotoxicity yang mengakibatkan
peningkatan rasio sel T efektor : Treg. Selanjutnya, sel
kanker akan dieliminasi melalui aktivasi sel T efektor.

• Anti-CTLA-4 antibody
• Ipilimumab
Ipilimumab merupakan immune checkpoint
inhibitor pertama yang disetujui
penggunaannya karena memperbaiki
kelangsingan hidup penderita melanoma
metastatik. Ipilimumab juga disetuji sebagai
terapi ajuvan melanoma risiko tinggi, sebagai
alternative terapi interferon.3

10
• Tremelimumab
Tremelimimab merupakan antibodi
monoklonal terhadap CTLA-4, tidak
menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup
dibandingkan kemoterapi pada penderita
melanoma stadium lanjut. Hal ini
kemungkinan disebabkan jadwal pemberian
yang kurang adekuat. Penelitian-penelitan
sedang dilakukan untuk menggabungkan
pemberian tremelimumab dengan obat lain.3

• Antibodi penghambat PD-1 dan PD-L1


• Antibodi penghambat PD-1 dan PD-L1 digunakan
untuk melanoma, renal cell carcinoma, non-small cell
lung cancer, head and neck cancer, urothelial
carcinoma, Hodgkin lymphoma, Merkel cell
carcinoma, dan microsatellite instability-high atau
mismatch repair deficient [dMMR] tumor solid .3

Antibodi penghambat PD-1 dan PD-L1 bekerja pada


Treg (gambar 6)

Gambar 6.Efek blokade PD-1/PD-L1 pada Treg.4

11
Keterangan :
Sel tumor dengan PD-L1 mempunyai afinitas tinggi
terhadap reseptor PD-1 pada Treg. Proses ini dapat
dihambat dengan antibody PD-L1 atau PD-1. PD-1/PD-L1
interaksi dapat mengaktivasi fungsi supresor sel T
sitotoksik, menurunkan ekspresi FOXP3 pada Treg, dan
meningkatkan rasio sel T efektor : Treg untuk
mengeliminasi sel kanker.

Antibodi penghambat PD-1


• Pembrolizumab
Pembrolizumab, merupakan selective anti PD-1
humanized monoclonal antibody, disetujui oleh
United States Food and Drug Administration (US
FDA) pada bulan Oktober 2016 untuk pasien non
small cell lung cancer (NSCLC) metastatik dengan
ekspresi PD-L1 tinggi (TPS > 50%) yang belum
diterapi dan yang mengalami progresivitas sudah
diterapi platinum base dengan ekspresi PD-L1
(TPS > 1%).5

Beberapa penelitian Pembrolizumab


• KEYNOTE-001
Merupakan penelitian fase 1 pembrolizuman
pada melanoma stadium lanjut dan non small
cell lung cancer (NSCLC). Pembrolizumab
diberikan 2 mg/kg atau 10 mg/kg setiap 2-3
minggu. Respon keseluruhan adalah 19,4%,
stabilisasi penyakit 21,8%. Median kelangsungan
hidup bebas penyakit 3.7 (2,9-4,1) bulan,
kelangsungan hidup 12 (9,3-14,7) bulan. 6
12
• KEYNOTE-010
Penelitian random, open-label, fase II/III dengan
1034 pasien NSCLC yang belum diterapi dengan
ekspresi PD-L1 > 1%. Penelitian terdiri dari 3
kelompok : A: pembrolizumab 2 mg.kg, B: 10
mg.kg setiap 3 minggu, C: docetaxel 75 mg/m2
setiap 3 minggu. Median kelangungan hidup
adalah 10,4 bulan (kelompok A), 12,7 bulan
(kelompok B) dan 8,5 bulan (kelompok C). 7
• KEYNOTE-021
Merupakan penelitian multikohort fase I/II
menggunakan kombinasi pembrolizumab dengan
kemoterapi platinum-doublet, imunoterapi atau
EGFR-targeted therapy pada pasien NSCLC locali
advanced atau metastatic. PD-L1 (TPS > 1%)
didapatkan pada 68,9% subjek, 33,7% di
antaranya mempunyai TPS > 50%.
▪ Kohort A : pembrolizumab 2 mg/kg atau 10
mg/kg + carboplatin AUC 6 + paclitaxel 200
mg/m2 setiap 3 weeks sebanyak 4 siklus diikuti
pembrolizumab 2 mg/kg atau 10 mg/kg setiap
3 weeks sampai 2 tahun, respon : 52%
▪ Kohort B : pembrolizumab 2 mg/kg atau 10
mg/kg + carboplatin AUC 6 + paclitaxel 200
mg/m2 + bevacizumab setiap 3 minggu,
sebanyak 4 siklus diikuti pembrolizumab 2
mg/kg atau 10 mg/kg ditambah bevacizumab
15 mg/kg setiap 3 minggu), respon
keseluruhan : 48%.

13
▪ Kohort C : pembrolizumab 2 mg/kg atau10
mg/kg + carboplatin AUC 6 + pemetrexed 500
mg/m2 setiap 3 minggu sebanyak 4 siklus
diikuti pemetrexed 500 mg/m2 +
pembrolizumab 2 mg/ kg atau 10 mg/kg setiap
3 minggu, respon keseluruhan : 71%
▪ Pada pemantauan 12 bulan, median
kelangsungan hidup bebas penyakit adalah
10.3 (3.7–not reached) bulan pada kohort A,
not reached (4.1– not reached) bulan kohort
B dan 10.2 (6.3–15.2) bulan pada kohort C.8
• KEYNOTE-024
Merupakan penelitian random, open-label, fase III
yang membandungkan pembrolizumab dengan
SOC platinum-based chemotherapy padapasien
NSCLC metastatic yang belum medapat terapi
dengan PD-L1 TPS ⩾ 50%. Subjek mendapat
pembrolizumab 200 mg (dosis tetap) setiap 3
minggu sampai progresivitas penyakit atau
sampai 2 tahun, atau kemoterapi standar
(carboplatin + paclitaxel, pemetrexed +
carboplatin/cisplatin, gemcitabine +
carboplatin/cisplatin sampai 4–6 siklus, diikuti
pemeliharaan pemetrexed, untuk nonsquamous
histologi.9
• KEYNOTE-042
Merupakan penelitian random, open-label, fase III
yang membandingkan pembrolizumab dengan
SOC platinum-based chemotherapu pada pasien

14
NSCLC localy advanced atau metastatic dengan
PD-L1 TPS >1%. yang belum mendapat terapi.5
• KEYNOTE-189
Merupakan penelitian acak tersamar ganda, fase
III untuk membandingkan pembrolizumab +
platinum-doublet chemotherapy versus
platinum-doublet chemotherapy saja sebagai
terapi lini pertama pasien NSCLC localy advanced
dan metastatic tanpa memandang ekspresi PD-
L1.5
• KEYNOTE-407
Merupakan penelitian acak tersamar ganda, fase
III untuk membandingkan pembrolizumab +
platinum-doublet chemotherapy versus
platinum-doublet chemotherapy saja sebagai
terapi lini pertama pasien NSCLC tipe skuamous
localy advanced dan metastatic tanpa
memandang ekspresi PD-L1.5
• KEYNOTE-598
Merupakan penelitian random, fase III yang
membandingkan pembrolizumab 200 mg dosis
tetap setiap 3 minggu versus pembrolizumab +
ipilimumab 1 mg/kg setiap 6 minggu pada pasien
NSCLC dengan TPS ⩾ 50%.5
• Nivolumab

Antibodi penghambat PD-L1


Atezolizumab.3
Avelumab.3
Duvalumab.3

15
Efek samping
Immune-related adverse events (irAEs) biasanya berlangsung
sementara tetapi kadang-kadang berat atau fatal. 10 Efek irAEs
yang penting dan sering adalah :
• dermatologi
• diare, colitis
• endorrinopati
• hepatotoksik

Ringkasan
Cepatnya penemuan dalam bidang imunologi dan biologi
kanker berkembang pesat berdasarkan fondasi penemuan
beberapa decade sebelumnya. Berkembangnya pengetahuan
bahwa sistem imun berperan dalam inisasi, progresi dan
metastase tumor berlanjut menjadi perkembangan terapi
imun pada keganasan, Checkpoint inhibitor sudah menjadi
terapi utama pada berbagai kanker dan memperbaiki
kelangsungan hidup pada beberapa pasien. Penelitian-
penelitian kombinasi imunoterapi masih terus dikembangkan.

16
Daftar Pustaka
1. Postow MA, Callahan MK, Wolchok JD. Immune Checkpoint
Blockade in Cancer Therapy. J Clin Oncol 2015; 33:1974-
1982.
2. Vesely MD, Kershaw MH, Schreiber RD, Smyth MJ. Natural
Innate and Adaptive Immunity to Cancer. Annual Review of
Immunology 2011; 29:235.
3. Shoushtari AN, Wolchok J, Hellman M. Principles of cancer
immunotherapy
Feb 08, 2018, available from : www.uptodate.com
4. Nair VS, Elkord E. Immune checkpoint inhibitors in cancer
therapy : a focus on T-regulatory cells. Immunology and Cell
Biology 2018;96:21-33
5. Rihawi K, Gelsomino F, Sperandi F, Melotti B, Fiorention M,
Casolari L, et al. Pembrolizumab in the treatment of
metastatic non-small cell lung cancer: a review of current
evidence. Ther Adv Respir Dis 2017, Vol. 11(9) 353 –373.
6. Hui R, Ghandi L, Carcereny Costa E, et al. Long-term OS for
patients with advanced NSCLC enrolled in the KEYNOTE-001
study of pembrolizumab (pembro). J Clin Oncol 2016;
34(Suppl. 15): 9026.
7. Herbst RS, Baas P, Kim D-W, et al. Pembrolizumab versus
docetaxel for previously treated, PD-L1-positive, advanced
non-small-cell lung cancer (KEYNOTE-010): a randomised
controlled trial. Lancet 2016; 387: 1540–1550.
8. Gadgeel SM, Stevenson J, Langer CJ, et al. Pembrolizumab
(pembro) plus chemotherapy as front-line therapy for
advanced NSCLC: KEYNOTE-021 cohorts A-C. J Clin Oncol
2016; 34(Suppl. 15): 9016.
9. Reck M, Rodriguez-Abreu D, Robinson AG, et al.
Pembrolizumab versus chemotherapy for PD-L1-positive
non-small-cell lung cancer. N Engl J Med. Epub ahead of
print 8 October 2016.
10. Postow MA, Callahan MK, Wolchok JD. Patient selection
criteria and toxicities associated with checkpoint inhibitor
immunotherapy, May 2018, available from :
www.uptodate.com

17
18
DISKUSI KASUS :
PASIEN IMUN THROMBOSITOPENIA PURPURA
SEKUNDER KARENA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Shinta Oktya Wardhani, Herlina Yani, Amaylia Oehadian


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

PENDAHULUAN
Imun trombositopenia purpura (ITP) adalah penyakit autoimun
yang ditandai dengan peningkatan penghancuran trombosit di
sirkulasi darah tepi.1,2 ITP di klasifikasikan berdasarkan usia
pasien (ITP dewasa atau ITP anak) dan berdasarkan
lamatrombositopenia, ITP akut (1-3 bulan) dan ITP kronis (lebih
dari 12 bulan). Diantara ITP akut dan ITP kronik disebut ITP
persisten (3-12 bulan).2 Angka kejadian ITP diperkirakan 5
persen setiap 100.000 anak dan antara 1,6 sampai 3,9 persen
setiap 100.000 dewasa. 2,3

Manifestasi klinis ITP pada anak-anak berbeda dengan dewasa.


Pada anak-anak ITP terjadi mendadak, bisasnya di cetuskan
oleh infeksi virus atau paska imunisasi dan bisa membaik
secara spontan. Pada orang dewasa onset nya tidak jelas, tidak
ada pencetus infeksi virus sebelumnya dan biasanya terdapat
penyakit kronis yang mendasari.3 Salah satu penyakit kronis

19
yang mendasari ITP kronis pada dewasa adalah penyakit lupus
erythematosus sistemik.4 ITP pada anak selain bisa membaik
secara spontan juga memiliki respon yang sangat baik
terhadap pengobatan, sedangkan ITP pada dewasa memiliki
respon pengobatan yang kurang baik. Satu per tiga dari kasus
ITP pada dewasa bersifat persisten dan relative resisten
terhadap pengobatan.2

Penurunan jumlah lekosit dibawah 50.000 memiliki resiko


untuk terjadinya perdarahan serius akibat trauma. Jumlah
trombosit kurang dari 20.000 memiliki resiko untuk terjadinya
perdarahan spontan.5

Presentasi Kasus :
Seorang wanita, 37 tahun masuk rumah sakit (MRS) pada bulan
September 2017 dengan ptechiae dan bruishing pada hampir
seluruh kulit. Penderita menyatakan sudah sering mengalami
bercak bercak perdarahan di bawah kulit sejak lebih kurang 2
tahun yang lalu, tetapi tidak pernah sebanyak sekarang. Dari
anamnesa didapatkan keluhan sering sariawan, sumer, rash
yang muncul bila terpapar sinar matahari, rambut rontok dan
penurunan berat badan sejak satu bulan sebelum MRS. Paien
ini juga memiliki riwayat mengalami perdarahan lambung,
nyeri ulu hati dan mual sejak satu hari sebelum MRS. Pasien ini
memiliki riwayat mengalami radang sendi dan sering minum
jamu dan obat-obat penghilang nyeri (NSAID) sejak 3 tahun
sebelum MRS.

20
Gambar 1. Echimosis dan bruising pada kulit pasien

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah


100/60mmhg, nadi 80 kali per menit, frekuensi pernafasan 20
kali per menit dan suhu 36,7oC. Didapatkan oral ulcer dan
echimosis.

Hasil pemeriksaan laboratorium saat pertama kali datang ke


RS.

Lab Laboratorium saat MRS


Hb 14.2 g%
Ht 43.5 %
MCV/MCH/MCHC 93,3/30,5/32,6

Leukosit 8910/ mm3


Trombosit 3000/ mm3
Hitung Jenis 0/1/0/80/14/1
ALC 1246

21
Apus Darah Tepi Eritrosit : Normokrom normositer, normoblast (-)
Leukosit : shift to the left sampai metamyelosit
Trombosit : Kesan jumlah kurang, giant thrombosit
(+)

Urinalisa Protein (-), eritrosit ++, leukosit 1 epitel 4, bakteri (-


)

Hasil pemeriksaan foto thorax dan elektrocardiografi dalam


batas normal.

Pasien di diagnosis menderita ITP kronis sekunder karena lupus


eritematosus sistemik dan mendapat terapi infus NaCl 0,9%
1500cc/24 jam, metil prednisolon intravena pulse dose 1000
mg selama 3 hari, dilanjutkan tablet metil prednisolon
0,8mg/kg berat badan (BB) dan azathioprin 1x 50mg. Karena
mengalami perdarahan lambung diberikan transfusi
thrombosit apheresis, omeprazole 40mg/8 jam intravena dan
sucralfat sirup 4x10cc. Pasien juga mendapatkan terapi asam
folat 1x1mg dan CaCO3 3 x 500mg.

Lab Laboratorium setelah 6 hari terapi


Hb 12.7 g%
Ht 38.9 %
MCV/MCH/MCHC 93,7/30,6/32,6
Leukosit 10540/ mm3
Trombosit 91000/ mm3
Hitung Jenis 0/0/2/77/10/5

Enam hari setelah pengobatan pasien keluar rumah sakit (KRS)


karena klinis didapatkan perbaikan dan didapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium diatas.
22
Referensi
1. Raj AB, Immune thrombocytopenia pathogenesis and
treatment approach, Journal of hematology and transfusion,
Januari 2017.
2. Adnan M, Anjum A, Ali SM, Ekrani T, Recurrent Immune
Thrombocytopenic purpura: Interesting case of a child with 5
recurrence, Pediat Therapeut 2012: 2-4.
3. Anwer F et all, Case report : Severe refractory Immune
Thrombocytopenia successfully treated with highdose pulse
cyclophosphamide and elthrombophage, Caser eport in
haematology, 2015.
4. Cuker A and Neunert CE, How I treat refractory immune
thrombocytopenia, Blood 2016: 128(12): 1547-1554.
5. Kayal L, Jayachandra S, Singh K, Idiopathic thrombocytopenic
purpura, Contemporary Clinical Dentistry, 2014. Vol5(3).

23
24
Cyramza, A New Standard of Care in Treatment of 2nd
line Gastric Cancer

Yong Wei Peng


Senior Consultant, Department of Haematology-Oncology, National
University Cancer Institute, Singapore
Asked at the Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 October 2018

Abstract
Stomach cancer, the third leading cause of worldwide cancer-
related mortality accounts for more than 750,000 deaths each
year. Approximately half of the global incidence of new cases
occurs in Eastern Asia, where the mortality rates are also the
highest. Chemotherapy remains the standard of care for
advanced gastric cancer and can prolong survival and improve
quality of life compared with best supportive care. Vascular
endothelial growth factor (VEGF) is continuously expressed
throughout tumour growth and development. Over-
expression of VEGF-A is associated with poor overall survival
and disease-free survival in patients with gastric cancer.
Ramucirumab, a human IgG-1 monoclonal antibody that
targets VEGF receptor 2, is the first molecularly targeted agent
proven to be effective in second-line therapy for advanced
gastric cancer when used alone or in combination with
chemotherapy. In this talk, we will cover the latest treatment
development in advanced gastric cancer.
25
26
Metastatic Breast Cancer + Case Sharing

Hilman Tadjudin
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Breast cancer is the most common cancer in women with an


estimated 1.67 million new cancer cases (25% of all cancers)
diagnosed in 2012. Despite advances in the treatment,
advanced/metastatic breast cancer (MBC) is incurable and
current therapies for MBC generally focus on palliation,
maintaining or improving quality of life, and prolonged
survival.

Currently, anthracycline- and taxane- based regimens are used


as standard chemotherapy options for adjuvant and/or first-
line treatment for MBC and few therapeutic options are
available for patients with anthracycline- and taxane- resistant
or refractory MBC. The long-term survival for women with
MBC remains poor. The 5-year survival of stage IV breast
cancer can be as low as 21%, compared with 100% in stage I,
according to the Surveillance, Epidemiology, and End Results
(SEER) Program results (1996-2002 statistics).

Microtubule polymerization is a key process in cancer cell


proliferation and a number of microtubule-targeting agents
have been evaluated in preclinical and clinical studies. Eribulin
27
is a nontaxane microtubule dyniamics inhibitor belonging to
the halichondrin class of antineoplastic agents and has shown
anticancer activity in women with MBC.

A case of breast cancer from a woman with numerous Eribulin


Mesylate will be presented.

References:
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S et al. Cancer
incidence and mortality worldwide: sources, methods and
major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer
2015;136(5):E359-86
2. Cardoso F, Harbeck N, Fallowfield L et al. Locally recurrent
or metastatic breast cancer: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann
Oncol 2012;23(Suppl 7):vii1 1-9.
3. Hayat MJ, Howlader M, Reichman ME, et al. Cancer
statistics, trends and multiple primary cancer analysesfrom
the surveillance, epidemiology and end results (SEER)
program. Oncologist 2007;123(1):20-37.
4. Cortes J, Vidal M. Beyond taxanes: the next generation of
microtubule-targeting agents. Breast Cancer Res Treat
2012;133(3):821-30.
5. Swami U, Chaudhary I, Ghalib MH et al. Eribulin – a review
of preclinical and clinical studies. Crit Rev Oncol Hematol
2012;81(2):163-84.

*Presented at Bandung Hematology-Oncology Meeting,


Aryaduta Hotel, 27-28 Oktober 2018

28
The new indication of Eribulin in STS + case sharing

Een Hendarsih
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSU Haji Surabaya
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018

Sarcomas are a rare presentation of cancer, comprising 1%


of adult malignancies and ~12% of cancers in children. They
derive from cells of mesenchymal origin, thereby producing
cancers of a broad variety of histopathology. Sarcomas are
further divided into soft-tissue sarcoma (STS) – where the
histopathology includes muscle, adipose, cartilage, blood and
lymph vessels, peripheral nerves, and fibrous tissue – and non-
STS, involving bone.1 Soft tissue sarcomas (STSs) gather over
80 histological entities, with even more molecular subsets,
characterised by a low to very low incidence in all populations.
The majority of sarcomas arise from the soft tissue (close to
75%), with 15% gastrointestinal stromal tumours (GISTs) and
10% bone sarcomas. The most frequent STSs are liposarcomas
(LPSs) and leiomyosarcomas (LMSs).2
In primary soft tissue tumours, magnetic resonance imaging
(MRI) is the main imaging modality in the extremities, pelvis
and trunk. Standard radiographs may be useful to rule out a
bone tumour, to detect bone erosion with a risk of fracture and
to show calcifications. Computed tomography (CT) has a role
in calcified lesions, to rule out a myositis ossificans, and in
29
retroperitoneal tumours, where the performance is identical
to MRI. Ultrasound may be the first exam, but it should be
followed by CT or MRI.2
Following appropriate imaging assessment, the standard
approach to diagnosis consists of multiple core needle
biopsies, possibly by using 14–16G needles. However, an
excisional biopsy may be the most practical option for < 3 cm
superficial lesions. An open biopsy may be another option in
selected cases, as decided within reference centres. An
immediate evaluation of tissue viability may be considered to
ensure that the biopsy is adequate at the time it is carried out.
However, a frozen-section technique for immediate diagnosis
is not encouraged, because it does not allow a complete
diagnosis, particularly when neoadjuvant (preoperative)
treatment is planned. Fine needle aspiration is used only in
some institutions that have developed specific expertise on
this procedure and is not recommended outside these centres.
Surgery is the standard treatment of all patients with an
adult type, localised STS. It must be carried out by a surgeon
specifically trained in the treatment of this disease. The
standard surgical procedure is a wide excision with negative
margins (no tumour at the margin, R0).
The typical wide excision is followed by radiotherapy (RT)
as the standard treatment of high-grade (G2–3), deep, >5 cm
lesions. RT is not given in the case of a currently unusual, truly
compartmental resection of a tumour entirely contained
within the compartment RT is added in selected cases in the
case of low- or high-grade, superficial, >5 cm and low-grade,
deep, <5 cm STSs. In the case of low-grade, deep, >5 cm STSs,
RT should be discussed in a multidisciplinary fashion,

30
considering the anatomical site and the related expected
sequelae versus the pathological aggressiveness.
Reoperation in reference centres must be considered in the
case of R1 resections (microscopic tumour at the margin), if
adequate margins can be achieved without major morbidity,
taking into account tumour extent and tumour biology (e.g. re-
excision can be spared in extracompartmental atypical
lipomatous tumours). In the case of R2 surgery (macroscopic
tumour at the margin), reoperation in reference centres is
mandatory, possibly following preoperative treatments if
adequate margins cannot be achieved, or if surgery is
mutilating.
Management of advanced/metastatic disease is complex,
depending on diverse presentations and histologies, and
should always be multidisciplinary. Metachronous (disease-
free interval 1 year), resectable lung metastases without
extrapulmonary disease are managed with surgery as standard
treatment, if complete excision of all lesions is feasible.3 When
surgery of lung metastases is selected, an abdominal CT scan
and a bone scan or a fluorodeoxyglucose (FDG)-PET are
mandatory to confirm that lung metastases are ‘isolated’.
Extrapulmonary metastatic disease is treated with ChT as the
standard treatment. Standard ChT is based on anthracyclines
as the first-line treatment. There is no formal demonstration
that multi-agent ChT is superior to single-agent ChT with
doxorubicin alone in terms of OS. However, a higher response
rate can be expected, in particular, in a number of sensitive
histological types, according to several, although not all,
randomised clinical trials.4

31
Therefore, multi-agent ChT with adequate-dose
anthracyclines plus ifosfamide may be the treatment of choice,
particularly in subtypes sensitive to ifosfamide, when a tumour
response is felt to be potentially advantageous and patient
performance status is good. Dacarbazine has some activity as
a second-line therapy (mostly in LMS and solitary fibrous
tumour.5
Angiosarcoma is highly sensitive to taxanes, which can be a
treatment option in this histological subtype.6 Doxorubicin plus
dacarbazine is an option for multi-agent, first-line ChT of LMS
or of solitary fibrous tumours.7 Imatinib is standard medical
therapy for those rare patients with dermatofibrosarcoma
protuberans and GITs. After failure of anthracycline-based
ChT, or the impossibility to use it, the following criteria may
apply, although high-level evidence is lacking. Patients who
have already received ChT may be treated with ifosfamide, if
they did not progress on it previously. Highdose ifosfamide (14
g/m2) may be an option also for patients who have already
received standard-dose (9 g/m2) ifosfamide.8
One trial showed that gemcitabine/docetaxel is more
effective than gemcitabine alone as second-line ChT, with
special reference to LMS and undifferentiated pleomorphic
sarcoma, but these data have not been confirmed
(equivalence in response rate, PFS and OS) in a second
randomised trial conducted in LMS only; in both trials, toxicity
was superior with the combination of docetaxel and
gemcitabine.9 Dacarbazine has some activity as a second-line
therapy (mostly in LMS and solitary fibrous tumour). A
randomised phase III trial showed that eribulin was superior to
dacarbazine in patients with liposarcomas and LMS.10 In table

32
1, we summarized treatment options for advanced or
metastatic, high-grade soft tissue sarcoma.11

Table 1. Proposed treatment sequence for advanced or


metastatic, high-grade soft tissue sarcoma
Sarcoma
First line Second line Third line
subtype
Anthracycline- Gemcitabine
UPS Pazopanib
based regimen + docetaxel
Anthracycline-
LPS Trabectedin Eribulin
based regimen
Anthracycline- Gemcitabine
LMS Trabectedin
based regimen + docetaxel
Anthracycline- High-dose
SS Pazopanib
based regimen ifosfamide
Anthracycline-
MPNST Pazopanib
based regimen
UPS, undifferentiated pleomorphic sarcoma; LPS, liposarcoma; LMS,
leiomyosarcoma; SS, synovial sarcoma; MPNST, malignant peripheral nerve
sheath tumor.

Eribulin is FDA approved for patients with LPS that


progressed after treatment with anthracyclines. Eribulin is a
synthetic analog of halichondrin B, which was isolated from the
marine sponge, Halichondria okadai, and the Axinella family of
sponges.10 Unlike other microtubule inhibitors (e.g. taxanes,
vinca alkaloids), eribulin has a unique mechanism of action that
sequesters tubulin into nonfunctioning aggregates. Eribulin
also remodels the tumor vasculature, and reverses the
epithelial–mesenchymal transition.11 Eribulin has activity in
multiple solid tumors, and is FDA approved for breast cancer,
in addition to LPS after prior anthracyclines.
In the phase II EORTC 62052 study, 128 STS patients, who
progressed after one combination or up to two prior lines of
therapy, were treated with eribulin 1.4 mg/m2, on days 1 and
33
8 every 3 weeks. There were four histology cohorts including
SS, LMS, LPS, and other sarcomas. At the primary endpoint,
46.9% of LPS patients and 31.6% of LMS patients were
progression free at 12 weeks, while among SS and other
sarcomas, PFR 12w was 21% and 19%, respectively. Median
PFS for LPS, LMS, SS and other sarcomas were 2.6 months, 2.9
months, 2.6 months and 2.1 months, respectively.13
In a second phase study, 51 patients in Japan with
refractory STS, who failed at least one line of therapy, were
treated with eribulin. At the primary endpoint, patients with
LPS or LMS histology had a PFR12w of 60% compared with 31%
in other sarcomas and 51% overall. Median PFS was 5.5
months for LPS or LMS, 2.0 months for other sarcomas, and 4.1
months overall. Meanwhile, median OS was 17 months for LPS
or LMS, compared with 7.6 months in other sarcomas and 13.2
months overall.14
In a randomised, open-label, multicentre, phase III trial
eribulin (n=228) versus dacarbazine (n=224) in previously
treated patients with advanced liposarcoma or
leiomyosarcoma, showed that overall survival was significantly
improved in patients assigned to eribulin compared with those
assigned to dacarbazine (median 13·5 months [95% CI 10·9–
15·6] vs 11·5 months [9·6–13·0]; hazard ratio 0·77 [95% CI
0·62–0·95]; p=0·0169). Treatment-emergent adverse events
occurred in 224 (99%) of 226 patients who received eribulin
and 218 (97%) of 224 who received dacarbazine.15
Toxicities from eribulin include mucositis,
myelosuppression, elevated transaminases, and sensory
neuropathy.10

34
Referensi
1. Thomas C, Movva S. Eribulin in the management of
inoperable soft tissue sarcoma: patient selection and
survival. Onco Targets and Therapy 2016;9: 5619-27
2. Casali PG, Abecasis N, Bauer S, Biagini R, Bielack S, et al on
behalf of the ESMO Guidelines Committee and EURACAN.
Soft tissue and visceral sarcomas: ESMO-EURACAN Clinical
Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow up.
Ann Oncol 2018;Supplement 0: iv1-iv17
3. Rosenberg SA, Tepper J, Glatstein E et al. The treatment of
soft-tissue sarcomas of the extremities: prospective
randomized evaluations of (1) limb-sparing surgery plus
radiation therapy compared with amputation and (2) the
role of adjuvant chemotherapy. Ann Surg 1982; 196: 305–
315.
4. Blackmon SH, Shah N, Roth JA et al. Resection of pulmonary
and extrapulmonary sarcomatous metastases is associated
with long-term survival. Ann Thorac Surg 2009; 88: 877–884
5. Antman K, Crowley J, Balcerzak SP et al. An intergroup phase
III randomized study of doxorubicin and dacarbazine with or
without ifosfamide and mesna in advanced soft tissue and
bone sarcomas. J Clin Oncol 1993; 11: 1276–1285.
6. Penel N, Bui BN, Bay JO et al. Phase II trial of weekly
paclitaxel for unresectable angiosarcoma: the ANGIOTAX
Study. J Clin Oncol 2008; 26: 5269–5274.
7. Lorigan P, Verweij J, Papai Z et al. Phase III trial of two
investigational schedules of ifosfamide compared with
standard-dose doxorubicin in advanced or metastatic soft
tissue sarcoma: a European Organisation for Research and
Treatment of Cancer Soft Tissue and Bone Sarcoma Group
Study. J Clin Oncol 2007; 25: 3144–3150.
8. Le Cesne A, Antoine E, Spielmann M et al. High-dose
ifosfamide: circumvention of resistance to standard-dose
ifosfamide in advanced soft tissue sarcomas. J Clin Oncol
1995; 13: 1600–1608.
9. Maki RG, Wathen JK, Patel SR et al. Randomized phase II
study of gemcitabine and docetaxel compared with
gemcitabine alone in patients with metastatic soft tissue

35
sarcomas: results of sarcoma alliance for research through
collaboration study 002 [corrected]. J Clin Oncol 2007; 25:
2755–2763.
10. Jimeno A. Eribulin: rediscovering tubulin as an anticancer
target. Clin Cancer Res 2009; 15:3903–3905.
11. Gino K. In Hu JS and Tseng WW Treatments of advanced,
metastatic soft tissue sarcoma: latest evidence and clinical
considerations. Ther Adv Med Oncol 2017:9(8): 533-550
12. Yoshida T, Ozawa Y, Kimura T, et al. Eribulin mesilate
suppresses experimental metastasis of breast cancer cells
by reversing phenotype from epithelial–mesenchymal
transition (EMT) to mesenchymal–epithelial transition
(MET) states. Br J Cancer 2014; 110: 1497–1505.
13. Schoffski P, Ray-Coquard IL, Cioffi A, et al. Activity of eribulin
mesylate in patients with soft-tissue sarcoma: a phase II
study in four independent histological subtypes. Lancet
Oncol 2011; 12: 1045–1052.
14. Kawai A, Araki N, Naito Y, et al. Phase II study of eribulin in
patients with previously treated advanced or metastatic soft
tissue sarcoma. Jpn J Clin Oncol 2017; 47: 137–144.
15. Schöffski P, Maki RG, Italiano A, et al. Randomized, open-
label, multicenter, phase III study of eribulin versus
dacarbazine in patients (pts) with leiomyosarcoma (LMS)
and adipocytic sarcoma (ADI). www.thelancet.com
Published online February 10, 2016
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)01283-0.
Diunduh 10/9/2018 jam 22.55

36
TERAPI TARGET PADA KANKER PAYUDARA

Tuti Sri Hastuti


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

ABSTRAK
Kanker payudara adalah jenis kanker yang paling umum
ditemukan pada wanita.1,2,3 Kanker payudara merupakan
penyakit heterogen dengan beberapa subkelompok yang
disertai tanda tanda molekuler yang bervariasi. Heterogenitas
inilah yang berkontribusi terhadap berbagai prognosis dan
respon pengobatan pada pasien kanker payudara. Subtipe
utama yang diketahui yaitu luminal A, luminal B, dan
epidermal growth factor (Her2) (ErbB2).2 Kanker payudara
triple negative adalah mereka yang tidak termasuk kelompok-
kelompok tersebut. Kanker luminal A dan B merupakan
subkelompok kanker payudara yang positif untuk reseptor
hormon (estrogen dan progesteron). Kanker payudara dengan
Her2 positif menunjukkan peningkatan ekspresi Her2 melalui
peningkatan ekspresi gen dan ekspresi berlebih dari reseptor
permukaan sel.1,2 Dengan terobosan terbaru dalam biologi
molekuler dan imunoterapi, terapi target yang sangat spesifik
telah disesuaikan dengan patofisiologi spesifik dari berbagai
jenis kanker payudara. Perkembangan terakhir ini telah

37
berkontribusi pada protokol pengobatan yang lebih efisien dan
spesifik pada pasien kanker payudara.1

PENDAHULUAN
Terapi target kanker yaitu obat atau substansi lain yang
menghambat pertumbuhan dan penyebaran sel kanker
dengan cara mengganggu molekul spesifik pada sel kanker
yang terlibat dalam pertumbuhan dan progresifitas sel-sel
kanker tersebut. Tujuan terapi target adalah untuk
membersihkan tubuh dari sel-sel kanker tanpa merusak
ataupun jika terjadi kerusakanpun sangat minimal dari sel-sel
yang normal.3
Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang
mekanisme biologis karsinogenesis dan perubahan kejadian
molekuler telah mengarah pada identifikasi target molekuler
baru dan pengembangan terapi yang ditargetkan. Dalam dua
dekade terakhir, beberapa antibodi monoklonal (Mab) dan
penghambat molekul kecil telah dikembangkan dan diuji
dalam uji klinis yang menargetkan karakteristik kanker seperti
pertumbuhan sel, kelangsungan hidup, angiogenesis, dan
metastasis. Beberapa agen yang ditargetkan secara signifikan
meningkatkan kelangsungan hidup dan hasil dari pasien kanker
payudara. Salah satu perkembangan dalam bidang terapi yang
ditargetkan adalah trastuzumab, suatu Mab terhadap tumor
reseptor faktor pertumbuhan epidermal 2 (HER2) yang
mengekspresikan tumor secara berlebihan dan terbukti efektif
dalam terapi kanker payudara HER2-positif. Dalam waktu yang
lebih baru, lapatinib penghambat reversibel selektif dari kedua
HER1 dan HER2 dan bevacizumab, suatu Mab terhadap faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) juga telah berhasil

38
meningkatkan angka kesembuhan, kualitas hidup, dan
pencegahan penyakit pada pasien kanker. Selain itu,
penargetan kedua HER2 dengan trastuzumab dan VEGF
dengan bevacizumab dalam kombinasi dengan kemoterapi
telah menjadi tonggak lebih lanjut dari terapi target molekuler
pada kanker payudara.4
Berdasarkan histologi dan imunokimia, sel-sel kanker
payudara dibagi menjadi berbagai subtipe, luminal A, luminal
B, Her2 dan triple negative. (gambar 1)2. Subtipe ini sangat erat
kaitannya dengan terapi dan pronostik dari kanker payudara
ini.

Gambar 1. Subtipe kanker payudara berdasarkan histologi dan


imunohistokimia2

Saat ini, terdapat beberapa terapi target kanker


payudara yang banyak digunakan dan efektif dalam memblokir
beberapa jalur molekuler: everolimus, inhibitor m-TOR,
menghentikan sel-sel kanker untuk mendapatkan pasokan
energi; bevacizumab menghambat pertumbuhan pembuluh
darah baru yang memasok oksigen dan nutrisi ke sel kanker
untuk pertumbuhan; trastuzumab, memblokir kemampuan sel
kanker untuk menerima sinyal yang memberi tahu mereka
39
untuk tumbuh; T-DM1 adalah kombinasi trastuzumab dan
emtansine. Dalam hal ini trastuzumab digunakan sebagai
metode transportasi untuk mengantarkan kemoterapi
emtansine ke sel kanker; pertuzumab bekerja dengan
menghentikan sel-sel kanker dari menerima sinyal
pertumbuhan; lapatinib adalah inhibitor HER2 yang
memblokir sinyal pertumbuhan sel.1

INDIKADI TERAPI TARGET PADA KANKER PAYUDARA


Terapi Hormonal
Kanker payudara subtipe luminal A atau luminal B sangat
respon terhadap terapi hormonal (estrogen). Terapi hormonal
standar diantaranya yaitu tamoxifen, aromatase inhibitors
(anastrozole, exemestene dan letrozole) dan fulvestrant.2

Estrogen dan reseptor estrogen adalah pendorong utama


dalam perkembangan kanker payudara. Ini adalah alasan
mengapa terapi target terhadap estrogen telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk menghambat jalur sinyal
estrogen pada kanker payudara estrogen positif. Modulator
reseptor estrogen selektif/SERM (selective estrogen receptor
modulator) telah digunakan untuk menekan pertumbuhan
tumor pada kanker payudara yang tergantung estrogen dan
tamoxifen adalah obat pertama yang disetujui untuk kanker
payudara metastatik dengan reseptor estrogen yang positif.
Tamoxifen ini terbukti dapat mengurangi rekurensi sekitar
40%-50%. Aromatase inhibitor juga digunakan sebagai terapi
alternatif untuk mengobati kanker payudara dengan reseptor
estrogen positif. Aromatase inhibitor mencegah konversi
androgen menjadi estrogen pada wanita post menopause
sehingga mengurangi jumlah estrogen yang bisa ditangkap
40
oleh reseptor estrogen baik itu yang berfungsi sebagai steroid
(exemestene) atau non steroidal (anastrozole dan letrozole).
Fulvestrant mengikat reseptor estrogen dan mencegah
dimerisasi dan lokalisasi nuklear (gambar 2)2.

Gambar 2. Terapi Target dalam tatalaksana kanker payudara 2

Anti Her-2
Terapi target kanker payudara paling efisien saat ini adalah
yang menargetkan overekspresi protein HER2 di permukaan
sel kanker payudara.

Kejadian kanker payudara dengan ekspresi HER2 yang


berlebihan berkisar 15% hingga 20%, dan hal ini dihubungkan
dengan prognosis yang buruk. Terjadi peningkatan
pemahaman kita tentang prognosis dan implikasi dari
onkogen ini, dan tidak kurang dari lima obat yang menargetkan

41
HER2 telah disetujui untuk digunakan dalam kasus metastase
dan/atau (neo) adjuvant (Gambar 3).5

Gambar 3. Timeline terapi Anti-Her25

1. Trastuzumab
Obat yang pertama kali dikenal dari golongan anti-
HER2, trastuzumab, adalah suatu antibodi monoklonal
humanized yang diarahkan pada domain ekstraseluler
reseptor transmembran HER2. Kemajuan terbaru
termasuk tersedianya obat suntik subkutan dan
biosimilar yang memperluas aksesibilitas dan
ketersediaan obat.1,2,3,5
Pada kanker payudara metastasis, transtuzumab
telah disetujui oleh FDA pada tahun 1989 untuk
dikombinasikan dengan golongan taxan, sebagai
backbone kemoterapi, terbukti dapat meningkatkan
PFS dan OS. Tetapi trastuzumab dapat juga
dikombinasikan dengan golongan vinka alkaloid,
platinum dan alkilator. Sebaiknya tidak
mengkombinasikan trastuzumab dengan
doxorubisin/cyclophosphamid karena didapatkan
kejadian kardiotoksisitas yang tinggi (27%). Saat ini,
transtuzumab, dapat digabungkan dengan kemoterapi
atau anti-estrogen pada terapi awal, dan secara umum
kemudian dapat digabungkan dengan regimen yang
mengandung T-DM1 atau lapatinib. Dari beberapa

42
penelitian terbukti, transtuzumab dapat diberikan
sebagai neoadjuvant atau adjuvant pada kanker
payudara HER2 positif dan diberikan selama 1
tahun.1,2,3,4,5,6
2. Lapatinib
Lapatinib adalah suatu small-molecule inhibitor ganda
HER1/HER2. Pada kanker payudara HER2 positif,
metastasis, lapatinib dapat ditambahkan pada
capesitabine (Regimen XL), terbukti menaikkan PFS
sebanyak 50%. Pada kondisi early juga Lapatinib dapat
ditambahkan terhadap taxane, dengan peningkatan
hasil, tetapi harus diperhatikan efek samping
gastrointestinal terutama diare, dan jika
dikombinasikan dengan paclitaxel memerlukan
pengurangan dosis. Lapatinib jika dikombinasikan
dengan trastuzumab dapat meningkatkan OS jika
dibandingkan transtuzumab sendiri. Tetapi saat ini
lapatinib belum diindikasikan sebagai neoadjuvant
atau adjuvant karena penelitiannya (ALTTO) tidak
memperlihatkan hasil yang bermakna.2,5
3. Pertuzumab
Pertuzumab adalah suatu antibodi monoclonal anti
HER-2, tetapi berbeda dengan trastuzumab, dia terikat
pada domain heterodimerisasi. Pada penelitian
CLEOPATRA, penambahan pertujumab terhadap
trastuzumab dan taxane pada terapi pertama,
meningkatkan baik PFS maupun OS,  16 bulan. Hal ini
menjadikannya sebagai terapi standar baru dalam
terapi pertama. Pertuzumab juga memberikan
keuntungan jika ditambahkan pada trastuzumab

43
dengan antiestrogen (regimen THP), dibuktikan
dengan penelitian PERTAIN, dimana pertuzumab
meningkatkan PFS selama 3 bulan jika dibandingkan
aromatase inhibitor dan trastuzumab saja.5 Untuk
setting neoadjuvant, penelitian NeoSPHERE
menunjukkan bahwa penambahan pertuzumab
terhadap kemoterapi dan trastuzumab secara
signifikan menunjukkan respon patologik komplit.
Dibuktikan juga dengan penelitian adjuvant APHINITY.
Oleh karena itu, pertuzumab dapat dipakai sebagai
neoadjuvant atau adjuvant pada kanker payudara high
risk (reseptor hormon negatif, dengan positif node),
diberikan bersama transtuzumab selama 1 tahun.
Manfaat pada pada stadium 1 dan 2 belum jelas.2,5
4. T-DM1
T-DM1 suatu konjugate antibodi dan obat,
menghubungkan emtansine, inhibitor tubulin pada
trastuzumab, secara fungsional menyimpan toksisitas
sitotoksik bebas, yang dikirimkan secara intraseluler
pada sel-sel yang mengekspresikan HER-2 secara
berlebihan. Efek samping yang dapat terjadi yaitu
diare dan trombositopenia, tetapi secara umum dapat
ditoleransi dengan baik. T-DMT1 lebih inferior
dibanding regimen standar untuk metastase pada
terapi pertama (regimen THP) tetapi lebih baik
digunakan untuk regimen line ke dua. Saat ini, T-DM1,
terapi lini ke-2 dan diberikan tunggal.5 T-DM1 tidak
ada tempatnya pada penggunaan neoadjuvant
ataupun adjuvant kanker payudara stadium awal.5,6

44
5. Neratinib
Ini adalah salah satu kelas inhibitor molekul kecil HER1
/ HER2 yang telah dikembangkan selama beberapa
tahun. Meskipun toksisitas adalah isue yang sangat
penting, yaitu diare mendominasi, penetrasi sistem
saraf pusat juga salah satu yang menarik untuk obat
kelas ini. Dalam uji coba lini pertama NEFERT-T,
neratinib ditambah paclitaxel menunjukkan manfaat
yang serupa dengan trastuzumab ditambah paclitaxel,
tetapi lebih inferior dibanding rejimen lini pertama
THP. Peran neratinib saat ini pada kasus metastasis
tidak jelas; diperlukan studi tambahan. Penggunaan
sebagai adjuvant sudah disetujui oleh FDA pada tahun
2017, terutama pada kasus high risk (Node positif),
dengan reseptor hormon positif.5

Anti VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)


VEGF dan reseptor permukaan selnya mewakili
modulator utama dalam munculnya angiogenesis tumor.
Bevacizumab, antibodi anti-VEGF, telah memainkan peran
kunci dalam terapi anti-angiogenik untuk pengobatan kanker
bersamaan dengan molekul kecil VEGF receptor kinase
inhibitor. Ekspresi VEGF yang tinggi merupakan faktor
prognostik umum dalam keganasan kanker payudara yang
mewakili target terapi penting. Tahun 2008, FDA telah
mengizinkan bevacizumab dengan kemoterapi (paclitaxel)
sebagai terapi lini pertama pada kanker payudara metastasis.
Efek samping yang paling sering yaitu hipertensi, perdarahan
dan stroke. Untuk penggunaan sebagai neoadjuvant ataupun
adjuvant masih dalam penelitian.1,6

45
Penghambat CDK 4/6
Rb fosforilasi oleh CDK 4/6 mempromosikan fase
transisi G1-ke-S dan bahwa jalur ini dapat diregulasi dalam sel-
sel yang resisten endokrin. Jika CDK 4/6 dapat diblokir dan
kontrol atas siklus sel dapat diambil kembali, mungkin sel-sel
kanker akan tetap sensitif terhadap terapi endokrin. PALOMA-
1, uji coba acak pertama dari penghambat CDK 4/6 pada
kanker payudara, adalah studi fase II untuk mengevaluasi
letrozole plus palbociclib, sebuah penghambat CDK 4/6, versus
letrozole sendiri sebagai terapi lini pertama untuk pasien
kanker payudara. Didapatkan hasil PFS 20,2 bulan untuk
lengan palbociclib. Data fase III berikutnya (PALOMA-2)
mengkonfirmasi penggandaan PFS ini dengan penggunaan
palbociclib di garis depan, dan dua tambahan penghambat CDK
4/6, ribociclib dan abemaciclib. Ketiga agen ini telah
memperpanjang hidup yang tak terhitung jumlahnya ketika
digunakan dengan aromatase inhibitor sebagai bagian dari
terapi lini pertama untuk kasus metastasis, atau dengan
fulvestrant dalam terapi lini kedua. Beberapa uji klinis sedang
berlangsung (NCT02513394, NCT03155997) atau
direncanakan (NCT03285412) untuk melihat penggunaan
penghambat CDK 4/6 pada tahap II / III risiko tinggi (kanker
payudara ER-positif ) untuk melihat apakah inkorporasi obat-
obatan kelas ini ke dalam terapi adjuvant mengurangi risiko
perkembangan kasus metastasis.5,6

Penghambat mTOR
mTOR mengaktivasi ER dalam mode ligand-independen,
dan hiperaktif jalur ini telah diamati pada sel kanker payudara
yang resisten endokrin. Oleh karena itu, mTOR telah menjadi
target rasional untuk meningkatkan keefektivitas terapi
46
hormonal. Percobaan BOLERO 2 menunjukkan bahwa, pada
pasien dengan kanker payudara metastasis dengan ER positif
yang resisten terhadap letrozole atau anastrozole, diberi
exemestan sebagai terapi berikutnya, suatu penghambat
mTOR everolimus, bila diberikan dengan exemestan, dapat
memperpanjang PFS dari 4,1 bulan menjadi 10,6 bulan.
Everolimus digunakan secara teratur sekarang dalam
pengobatan pasien dengan kanker payudara metastasis.1,5

KESIMPULAN
Jumlah terapi yang ditargetkan untuk pengobatan
kanker payudara stadium lanjut berkembang pesat. Bagian
utama untuk penargetan adalah bagian ekstraseluler reseptor
faktor pertumbuhan epidermal manusia-1 (EGFR / Her1),
Faktor Pertumbuhan Endotel Vaskular (VEGF), reseptor faktor
pertumbuhan epidermal manusia-2, 3 dan 4 (Her2, Her3 dan
Her4 ). Penghambat tirosin kinase molekul kecil menargetkan
domain intraseluler Her1 dan Her2. Reseptor ini menimbulkan
fungsi seluler mereka dengan memberi sinyal melalui berbagai
kaskade sinyal intraseluler yang mencakup jalur RAF / MEK dan
PI3K / Akt / mTOR yang juga menjadi target terapi baru. Selain
reseptor permukaan sel dan kaskade sinyal intraseluler, terapi
baru telah menargetkan proses intra sel, termasuk siklus sel
dan mekanisme perbaikan DNA. Selain itu, terdapat juga terapi
target yang lebih awal ditemukan yaitu manipulasi hormonal
melalui regulasi sintesis estrogen dan reseptor estrogen.1,2,3,4,5

47
DAFTAR PUSTAKA
1. Masoud V dan Pagès G. Targeted therapies in breast cancer:
New challenges to fight against resistance. World J Clin
Oncol. 2017;10;8(2):120-34.
2. Sharp A dan Harper-Wynne C. Treatment of Advanced
Breast Cancer (ABC): The Expanding Landscape of Targeted
Therapies. J Cancer Biol Res. 2014; 2(1):1036.
3. Gerber DE. Targeted therapies. A new generation of cancer
treatments. Am Fam Physician. 2008;77(3):311-319
4. Munagala R, Aqil F, Gupta RC. Promising molecular targeted
therapies in breast cancer. Indian J Pharmacol. 2011;43(3);
236-45.
5. Meisel JL, Venur VA, Gnant M, Carey L. Evolution of targeted
Therapy in Breast Cancer : Where precision Medicine Began.
ASCO. 2018.
6. Alvarez R, Valero V, Hartobagyi GN. Emerging Targeted
Therapies for Breast Cancer. J Clin Oncol 2010; 28:3366-
3379.

48
Tatalaksana Resistensi Terapi Target Pada Kanker Paru

Indra Wijaya
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Aktivitas mutasi tirosin kinase epidermal growth factor


receptor (EGFR) pada kanker paru jenis adenokarsinoma
ditemukan sekitar 10-15% untuk populasi Amerika dan Eropa
tetapi sangat tinggi untuk populasi Asia yaitu sekitar 40-65%.
Mutasi EGFR ini terbukti berperan sebagai faktor prognostik
karena pasien dengan mutasi positif (mut+) ternyata
mempunyai overall survival (OS) 24-30 bulan dibandingkan
dengan tanpa mutasi (wild type) yang hanya mencapai 10-15
bulan. Keberadaan mutasis EGFR ini juga berperan sebagai
prediktor terhadap keberhasilan pengobatan menentukan
karena menentukan sensitivitas obat-obat tirosin kinase
inhibitor (tyrosine kinase inhibitor, TKI) yang saat ini sudah
banyak tersedia, termasuk di Indonesia (seperti gefitinib,
erlotinib, afatinib dan osimertinib). Pengobatan dengan TKI
telah terbukti memperbaiki progression free survival (PFS)
dan objective response rate (ORR) sehingga tatalaksana
pengobatan TKI pada pasien dengan EGFR mut+ menjadi
pilihan pertama dibandingkan kemoterapi konvensional.

49
Walaupun demikian adanya resistensi dapat terjadi sehingga
menyebabkan kegagalan terapi atau kekambuhan tumor.
Resistensi ini umumnya terjadi pada 9 – 14 bulan
pengobatan. Terdapat beberapa mekanisme kejadian yang
dapat menyebabkan resistensi, walaupun masih banyak yang
belum diketahui pasti tetapi sekitar 50% pasien disebabkan
resistensi didapat (acquired resistance) mutasi T790M di
ekson 20 di gen EGFR. Pengetahuan tentang mekanisme
resistensi ini penting untuk menentukan armamentarium
terapi selanjutnya yang akan diberikan agar pasien
mendapatkan manfaat yang maksimal.

Pendahuluan
Hingga saat ini kanker paru masih merupakan kanker yang
menyebabkan kematian paling tinggi di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, lebih dari 200.000 kasus baru diketahui setiap
tahunnya dan menyebabkan kematian hingga 27% dari seluruh
kematian akibat kanker. Pengobatan dengan kemoterapi
konvensional dengan berbasis platinum hanya sedikit
memberikan efek terhadap pemanjangan overall survival (OS).
Penemuan mutasi-mutasi gen penggerak (“driver mutation”)
merupakan langkah besar dalam pengobatan kanker paru
khususnya pada jenis non-small cell lung cancer (NSCLC).
Dengan menjadikan gen-gen tersebut sebagai target terapi,
saat ini pengobatan kanker paru memasuki era terapi target
yang individual (personalized targeted treatment).
EGFR merupakan reseptor enzim tirosin kinase yang
berperan pada aktivasi jalur sinyal phosphoinositide 3-kinase
(PI3K)-AKT, signal transducer and activator of transcription
(STAT) dan mitogen-activated protein kinase (MAPK), yang

50
terbukti meningkatkan sel, migrasi dan kesintasan sel kanker.
Hampir 80% pasien adenokarsinoma EGFR mut+ terbukti
memberikan efek pengobatan yang lebih baik dengan PFS
mencapai 10 – 14 bulan. Panduan dari American Society of
Clinical Oncology (ASCO), European Society for Medical
Oncology (ESMO) dan National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) telah merekomendasikan EGFR TKI sebagai
lini pertama pengobatan dengan EGFR mut+.
Meskipun EGFR TKI memberikan respons pengobatan yang
lebih baik dan cukup lama tetapi pasien akhirnya tetap akan
mengalami progresifitas penyakit dalam waktu sekitar satu
tahun pengobatan, sehingga membatasi efikasi jangka panjang
dari EGFR TKI. Hal ini disebabkan resistensi yang didapat dan
berbagai mekanisme resistensi diperoleh untuk TKI EGFR telah
banyak dilaporkan dalam literatur. Mekanisme yang paling
sering adalah adanya mutasi di T790M (threonine-to-
methionine substitution mutation at position 790).
Prevalensinya mencapai hampir 50 – 55%, baik pada
penggunaan EGFR TKI generasi pertama maupun kedua. Selain
itu, masih banyak mekanisme lain yang berperan terhadap
kejadian resistensi tersebut (gambar.1), tetapi sekitar 30%
kasus, masih belum jelas mekanisme yang pasti.

51
Gambar 1. Mekanisme resistensi generasi pertama EGFR TKI
↑E, increased expression;
↑A, increased activation;
↑R, up-regulation;
↓R, down-regulation;
↓E, loss of expression.

Resistensi Primer
Mutasi Somatik EGFR
Sensitifitas tumor terhadap TKI tergantung dari jenis mutasi
EGFR. Mutasi yang paling sering adalah substitusi L858R di
ekson 21 (40% kasus) dan delesi ekson 19 (45% kasus)
umumnya sensitif terhadap TKI sedangkan tipe mutasi lain
memberikan sifat resistensi. Insersi atau duplikasi ekson 20 (4-
9% kasus) dan beberapa jenis mutasi lain juga telah dilaporkan
seperti G719X dan LB61X dengan kejadian yang lebih rendah.
(gambar.2)

52
Gambar 2. Mutasi somatic di EGFR

Mutasi yang berwarna hijau menandakan mutasi yang


sensitive terhadap TKI dan yang merah menandakan yang
resisten, *Mutasi T790M ditemukan pada ~5% kasus sebelum
terapi dan ~60% pasca terapi of post-EGFR TKI
LREA: leucine, arginine, glutamate dan alanine. VAIKEL: valine,
alanine, isoleucine, lysine, glutamate dan leucine TM,
transmembrane domain; EGFR, epidermal growth factor
receptor; TKIs, tyrosine kinase inhibitors.

Mutasi T790M meskipun sangat dikenal sebagai tipe mutasi


resistensi yang didapat, tetapi bisa juga berhubungan dengan
resistensi primer karena mempunyai kemampuan untuk
mengembalikan afinitas L858R terhadap ATP normal sehingga
mengurangi efek TKI. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa efek penekanan TKI terhadap mutasi dapat menambah
klon T790M yang menyebabkan resistensi didapat.

53
Polimorfisme EGFR yang berhubungan dengan
resistensi primer
T790M
Mutasi ini jarang ditemukan, hanya sekitar 0,5% dari
penderita kanker paru non-perokok. Selain itu, mutasi T790M
juga diduga berhubungan sindrom kanker paru pada keluarga
dan respons yang buruk terhadap pemberian gefitinib,
monoterapi maupun kombinasi dengan kemoterapi.
V843I
Beberapa laporan kasus membuktikan mutasi V8431
berhubungan dengan mutasi L858R dan L861Q dari gen EGFR
dengan presentasi kanker paru pada beberapa anggota
keluarganya dan mengalami resistensi terhadap gefitinib dan
erlotinib. Mekanisme mengapa mutasi V8431 menyebabkan
resistensi TKI tidak diketahui pasti tetapi diduga karena efek
onkogenik akibat fosforilasi EGFR yang meningkat dan
menyebabkan peningkatan sinyal protein dibawahnya.

Polimorfisme genetik lain


BIM
Beberapa mutasi genetik yang mempunyai kemiripan
dengan mutasi EGFR akan memberikan variasi respons yang
berbeda. Hal ini berhubungan dengan respons terhadap
apoptosis. Penelitian yang memperlihatkan ekspresi BIM yang
rendah pada lini sel EGFR mutasi berhubungan dengan
pengecilan massa tumor yang lebih sedikit dan PFS lebih
pendek setelah pemberian terapi TKI. Variasi ekspresi BIM
diduga kuat terkait dengan polimorfisme. Polimorfisme BIM
rendah ditemukan 12.9% pada pasien Asia Timur, sehingga
tidak heran pengobatan dengan EGFR TKI memberikan respons

54
terapi yang rendah. Penelitian random fase III dari EURTAC
memperlihatkan bahwa ekspresi BIM yang tinggi sebelum
pengobatan TKI merupakan penanda panjangnya PFS
(HR=0,49; P=0,0122) dan OS (HR=0,53; P=0,0323).

Acquired resistance (AR)


Secondary EGFR mutations
Mekanisme resistensi yang pertama kali dilaporkan pada
mutasi EGFR adalah mutasi T790M, yang kejadiannya sekitar
50 – 60% kasus. Tumor dengan mutasi T790M umumnya
tumbuh lebih lambat. Sebuah penelitian retrospektif
memperlihatkan bahwa penderita dengan mutasi T790M pada
saat rebiopsi juga mempunyai prognosis lebih baik. Selain itu,
pasien-pasien yang tanpa mutasi T790M mempunyai performa
status yang lebih buruk, pertumbuhan metastasis lebih cepat
dan survival pasca progressi yang lebih cepat.
Mutasi EGFR lain yang berhubungan dengan AR yang sudah
diketahui antara lain adalah D761Y, T854A dan L747S, tetapi
implikasi klinisnya masih belum jelas.

Gangguan di jalur alternatif


- MET
Amplikasi gen MET juga sering dihubungkan dengan
kejadian AR. Heterodimerisasi MET dan ERBB3
menyebabkan aktivasi terus menerus dari sinyal
PI3K/AKT, memotong jalur penghambatan EGFR oleh
TKI. Penelitian-penelitian awal memperlihatkan bahwa
amplifikasi MET terjadi sekitar 5 – 22% dari kasus AR
tergantung dari teknik identifikasi genetic yang
digunakan.

55
- Amplifikasi HER2
Amplifikasi HER2 dilaporkan sekitar 12% kasus mutasi
EGFR. Mirip seperti MET, diyakini bahwa HER2
mempunyai sinyal parallel EGFR yang dapat
mengaktifkan jalur dibawahnya.
- MAPK amplification
Penelitian mengidentifikasi amplifikasi MAPK1 pada
resistensi erlotinib resisten pada pasien NSCLC EGFR
mutan. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
sinyal ERK dan ternyata dapat diatasi dengan
memotong jalur amplifikasi MEK ataupun ERK. Jalur
RAS/MAPK ini berpotensi menyebabkan AR dan
terlepas dari adanya mutasi KRAS yang memang
terpisah dengan mutasi EGFR.

Mutasi Molekul efektor di bawah jalur EGFR


Beberapa molekul dari jalur parallel yang teraktivasi oleh EGFR
dapat mengalami mutasi dan menyebabkan AR.
- Mutasi PIK3CA
Mutasi PIK3CA dilaporkan sebanyak 5% dan
menyebabkan resistensi melalui aktivitas AKT. PI3K
akan menyebabkan fosforilasi PIP2 menjadi PIP3; PTEN
akan berfungsi membalikkan proses fosforilasi
tersebut; kehilangan PTEN juga berhubungan dengan
kejadian AR.

- Mutasi BRAF
Walaupun baru dilaporkan hanya sekitar 1%
resistensi EGFR TKI dapat disebabkan mutasi dari

56
BRAF dan dapat diatasi dengan pengobatan
penghambat MEK.

Epigenetik dan Mekanisme Lain


Epigenetik
Walapun mekanisme genetik resistensi terhadap TKI telah
memberikan banyak bukti, beberapa observasi epigenetic
juga memperlihatkan peran terhadap mekanisme resistensi
obat. Pertama, mekanisme genetic saja tidak dapat
menjelaskan mengapa terjadi resistensi tumor yang tinggi.
Kedua, kebanyakan pasien NSCLC yang mengalami
resistensi TKI kemudian memberikan respon terapi lagi
setelah menghentikan obat beberapa waktu. Fenomena ini
memperlihatkan bahwa resistensi tersebut bisa saja tidak
bersifat permanen. Ketiga, masih ditemukan beberapa
tumor resisten TKI yang tidak diketahui jenis gangguan
genetiknya.

Epithelial-to-mesenchymal transition (EMT)


EMT merupakan perubahan fenotip di tingkat seluler yang
ditandai dengan kehilangan penanda epithelial seperti E-
cadherin dan ditemukannya penanda mesenkimal seperti
vimentin. Di tingkat selular, EMT berperan meningkatkan
motilitas dan kemampuan untuk menginvasi dan secara
invitro resisten terhadap EGFR. Mekanisme pasti terjadinya
EMT belum jelas sepenuhnya. Penghambatan ERK1/2
mampu mencegah terjadinya EMT dan meningkatkan
sensitfitas EGFR TKI.

57
Tranformasi histologi
Beberapa penelitian melaporkan tranformasi histologi dari
pasien NSCLC EGFR mutasi yang resisten terhadap TKI
menjadi small cell lung cancer (SCLC), sebanyak 3% pasien.
Penyebabnya tidak diketahui pasti tetapi tumor menjadi
sensitif dengan pengobatan regimen SCLC dengan EGFR
mutasi tetap positif.

Aktivasi AXL
AXL adalah reseptor tirosin kinase yang menginduksi
proliferasi, migrasi dan invasi sel kanker. Beberapa laporan
menyebutkan aktivasi AXL berhubungan dengan resistensi
TKI pada EGFR mut+, kejadiannya sekitar 20%.

Aktivasi NFκB
NFκB merupakan regulator transkripsi gen yang
mengontrol proliferasi dan pertumbuhan sel, termasul sel
kanker. Penelitian menyebutkan aktivasi NFκB juga
berhubungan dengan resistensi TKI pada pengobatan
EGFRmut+ dan penghambatan NFκB terbukti memperbaiki
sensitifitas pengobatan.

Aktivasi IGF1-R dan KDM5A


Beberapa laporan menemukan bahwa resistensi TKI
disebabkan jalur IGF-1 dan perubahan kromatin akibat
demthylase histon, KDM5A. sayangnya penelitian fase II
yang mengkombinasikan inhibitor IGF-R1 dengan erlotinib
tidak terbukti memperbaiki PFS maupun survival
dibandingkan erlotinib tunggal.

58
Aktivasi jalur alternatif lain
Beberapa model lain dilaporkan berhubungan dengan
resistensi EGFR TKI, tetapi belum mempunyai bukti yang
cukup kuat dan efikasi terhadap klinis. Jalur – jalur tersebut
antara lain Wnt-tankyrase-β-catenin, NF-1, DAPK, FGF2 dan
FGFR1, ADAM17, JAK2, ROR1, VEGF, Notch-1, IGF dan lain-
lain.

Tatalaksana Strategis Mengatasi Resistensi Didapat


Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa tindakan
rebiopsi merupakan tindakan yang tepat untuk menentukan
pengobatan yang optimal untuk lini kedua. Pada banyak kasus
kanker paru tindakan rebiopsi bukanlah tindakan yang mudah
dilakukan. Untuk pasien yang mengalami resistensi kurang dari
10 – 14 bulan, terapi optimal yang terbaik belum dapat
ditentukan. Tabel 1 memperlihatkan berbagai penelitian
penggunaan TKI generasi kedua dan ketiga untuk mengatasi
AR.
Tabel 1. Respons penggunaan TKI generasi kedua dan ketiga dari
beberapa penelitian

Menurut panduan NCCN rekomendasi terapi setelah terjadi


progresi pada TKI generasi pertama adalah dengann
pengobatan sesuai dengan jenis AR yang terjadi dan perlu
59
ditentukan apakah progresi tersebut bersifat asimptomatik
atau simtomatik. Berikut adalah algoritma dari panduan ESMO
dan NCCN termasuk ketersediaan biopsy liquid dari beberapa
studi (gambar 3).

Gambar 3. Algoritma terapi pasien NSCLC dengan EGFR mutasi

TKI generasi kedua bekerja dengan cara membuat ikatan


irreversible di tempat EGFR berikatan dengan ATP, termasuk
semua kelompok reseptor dari HER (kecuali Her3). Neratinib
(HK1-272) tidak memperlihatkan respons yang cukup baik
terhadap pasien dengan mutasi T790M sehingga

60
pengembangannya dihentikan. Afatinib (BIBW2992) telah
digunakan sebagai lini pertama pada pasien EGFR mut+ (LUX-
Lung 2, 3, 6 dan 7) dan sebagai lini kedua dan ketiga pasien
dengan AR dengan penggunaan generasi pertama (LUX-lung 1,
4 dan 5). Sejauh ini afatinib memperlihatkan hasil yang baik
dalam hal disease control rate dan PFS dalam LUX-lung 1 dan
2. LUX-lung 5 memperlihatkan manfaat kombinasi dengan
paklitaksel dan afatinib setelah pasien AR terhadap gefitinib
dan/atau erlotinib setelah mendapat pengobatan afatinib
tunggal.
Dacomitinib, merupakan generasi kedua yang mampu
bekerja terhadap semua HER terbukti mampu mengatasi
mutasi T790M. Studi ARCHER 1009 dan NCIC CTG BR.26
merupakan penelitian fase 3 ternyata gagal mencapai tujuan
yang diharapkan, tidak terdapat perbedaan PFS antara
dacomitinib dan dibandingkan erlotinib pada lini kedua dan
ketiga pada pengobatan NSCLC, walaupun terdapat perubahan
respons yang signifikan.
Beberapa penelitian terakhir melihat manfaat terapi
kombinasi untuk mengatasi resistensi yang disebabkan mutasi
sekunder. Salah satunya percobaan pada cell line dan
percobaan tikus dengan menggunakan afatinib dan
cetuksimab (monoclonal antibodi anti EGFR) memberikan hasil
pengecilan tumor yang dramatis. Penelitian fase I/II dengan
regimen yang sama juga memberikan hasil pada 40% pasien.
TKI EGFR generasi ketiga mempunyai target tidak hanya
pada mutasi EGFR tetapi juga terhadap mutasi T790M (tabel
2). Olmutinib memberikan respons terapi 76.5% dalam waktu
kurang dari 4 minggu pengobatan terhadap pasien-pasien
NSCLC yang resisten terhadap TKI; 18 dari 27 pasien dengan

61
mutasi T790M. Osimertinib memberikan respons terapi
sampai 64% pada pasien dengan T790M. Beberapa obat lain
seperti rociletinib juga memberikan harapan yang menjanjikan
tetapi masih dalam penelitian lanjutan.

Tabel 2. Perbedaan profil generasi TKI

Tabel 3. Efikasi TKI generasi ketiga terhadap EGFR T790M

“TKI beyond progression”


Pada praktik klinik, pengobatan TKI dapat dilanjutkan pada
pasien yang mengalami progresi terutama bagi pasien yang
62
asimptomatik. Pada penelitian retrospektif di Jepang oleh
Nishie et al, penggunaan TKI EGFR selama progresi dapat
memperpanjang OS dibandingkan dengan merubah ke
kemoterapi sitotoksik. Studi fase II ASPIRATION membuktikan
pengobatan erlotinib dapat tetap diberikan pada pasien yang
mengalami progresi. Panel NCCN merekomendasikan
melanjutkan penggunaan erlotinib, gefitinib ataupun afatinib
dan pertimbangan terapi local pada pasien asimtomatik yang
mengalami progresi.
Fenomena flare-up (progresi secara cepat) kadang-kadang
bisa terjadi setelah pengobatan TKI dihentikan. Mekanismenya
kemungkinan berhubungan dengan heterogenitas intratumor,
terjadi pertumbuhan kelompok sel tumor yang sensitif
terhadap TKI secara cepat begitu penghentian TKI. Sebuah
penelitian retrospektif menemukan kejadiani ini sekitar 23%.
Penelitian fase 3 IMPRESS dengan tujuan mengevaluasi
efikasi dan keamanan gefitinib yang dilanjutkan dan
dikombinasi dengan kemoterapi versus kemoterapi tunggal.
Dari 265 pasien ternyata tidak ditemukan pemanjangan PFS
dan OS. Selain itu efek samping juga lebih berat pada kelompok
kombinasi kemoterapi, sehingga terapi kombinasi kemoterapi
dengan TKI tidak direkomendasikan setelah terjadi AR.

Immunoterapi
Penelitian-penelitian retrospektif menemukan bahwa
mutasi EGFR berhubungan dengan respons yang rendah
terhadap penghambat PD-1/PD-L1 dan sesuai dengan
rendahnya ekspresi PD-L1 dan CD8+ TIL. Hingga saat ini belum
cukup bukti yang menjadikan imunoterapi (pembrolizumab,
nivolumab atau atezolizumab) sebagai pengobatan pasien-

63
pasien EGFR mutasi. Beberapa penelitian fase 1 masih sedang
berjalan hingga saat ini.

Kesimpulan
Menargetkan mutasi EGFR pada pasien kanker paru NSCLC
memberikan harapan pengobatan yang sangat menjanjikan,
namun terjadinya resistensi didapat tetap menjadi pekerjaan
berat berikutnya yang sulit diatasi. Sebagian mekanisme AR
telah dapat diidentifikasi, seperti mutasi sekunder di EGFR,
aktivasi protein alternatif yang hilir dari pensinyalan atau
aktivasi EGFR protein yang memberi sinyak ke jalur sinyal
EGFR. Mekanisme lebih lanjut dari AR masih dalam obeservasi
dalam banyak penelitian.
Regimen pengobatan baru TKI EGFR dalam kombinasi
dengan terapi yang menargetkan EGFR dengan cara yang
berbeda atau target itu protein alternatif sedang berusaha
untuk mengatasi yang diketahui mekanisme resistensi.
Generasi ketiga TKI EGFR yang mengatasi sebagian besar
mekanisme resistensi yaitu mutasi T790M; sampai saat ini
masih memberikan hasil yang menjanjikan.

64
Daftar Pustaka
1. Wu SG, Shih JY. Management of acquired resistance to EGFR
TKI–targeted therapy in advanced non-small cell lung cancer.
Molecular Cancer. 2018: 17;38: 1-14.
2. Brugger W, Thomas M. EGFR–TKI resistant non-small cell lung
cancer (NSCLC): New developments and implications for future
treatment. Lung Cancer. 2012:2– 8.
3. Westover D, Zugazagoitia J, Cho BC, Lovly CM, Paz-Ares L.
Mechanisms of acquired resistance to first- and second-
generation EGFR tyrosine kinase inhibitors. Annals of Oncology
29 (Supplement 1):2018: i10–i19.
4. Socinski M, Villaruz Lc, Ross J. Understanding mechanisms of
resistance in the epithelial growth factor receptor in non-small
cell lung cancer and the role of biopsy at progression. The
Oncologist 2017;22:3–11.
5. Stewart EL, Tan SZ, Liu G, Tsao MS. Known and putative
mechanisms of resistance to EGFR targeted therapies in NSCLC
patients with EGFR mutations—a review. Transl Lung Cancer
Res. 2015;4(1):67-81.
6. Castellanos E, Feld E, Horn L. Driven by Mutations: The
Predictive Value of Mutation Subtype in EGFR-Mutated Non–
Small Cell Lung Cancer. 2014. J Thorac Oncol. 12 (4): 612 – 23.
7. Rotow J, Bivona TG. Understanding and targeting resistance
mechanisms in NSCLC. Nat Rev 2017;17: 637 – 58.
8. Okamoto I, Morita S, Tashiro N, Imamura F, Inoue A, Seto T, et
al. Real world treatment and outcomes in EGFR mutation-
positive non-small lung cancer: Long-term follow-up of a large
patient cohort. Lung Cancer 117 (2018) 14–19.
9. Lin JJ, Shaw AT. Resisting Resistance: Targeted Therapies in Lung
Cancer. Trends Cancer. 2016; 2(7): 350–64.
10. Remon J, Besse B. Unravelling signal escape through maintained
EGFR activation in advanced non-small cell lung cancer (NSCLC):
new treatment options. ESMO Open 2016;1:e000081-11.
11. Zhou C, Yao LD. Strategies to Improve Outcomes of Patients with
EGFR-Mutant Non–Small Cell Lung Cancer: Review of the
Literature. J Thorac Oncol. 11 (2): 174 – 86

65
12. Chan BA, Hughes BGM. Targeted therapy for non-small cell lung
cancer: current standards and the promise of the future. Transl
Lung Cancer Res 2015;4(1):36-54.

66
Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Paraneoplastik

Sutiadi Kusuma
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Sejak 100 tahun yang lalu telah diketahui terdapat gejala –
gejala klinis pada pasien dengan keganasan yang ternyata tidak
berhubungan baik dengan sel tumor itu sendiri, maupun
proses metastasisnya. Kumpulan gejala – gejala klinis tersebut
kemudian dikenal dengan nama Sindrom Paraneoplastik.
Terminologi Sindrom Paraneoplastik itu sendiri mulai
digunakan pada era tahun 1940. Hingga saat ini terminologi
tersebut dinilai belum terlalu menjelaskan hubungan antara
gejala klinis yang timbul dengan penyakit keganasan yang
mendasarinya.1,2
Prevalensi Sindrom Paraneoplastik adalah 8%. Sedangkan
pada pasien – pasien dengan kegansan yang sedang menjalani
perawatan di rumah sakit, mencapai 10%. Kasus – kasus
keganasan yang sering dijumpai dengan kejadian Sindrom
Paraneoplastik adalah2 :
1. Kanker Paru Sel Kecil (SCLC)
2. Karsinoma traktus urinarius
3. Keganasan ginekologi

67
4. Limphoma
5. Melanoma maligna
6. Kanker payudara
7. Timoma
8. Tumor mesenkial
Seiring perkembangan tekhnologi dalam tatalaksana pasien
– pasien dengan keganasan, terjadi peningkatan usia harapan
hidup. Namun diperkirakan juga terjadi peningkatan angka
prevalensi Sindrom Paraneoplastik.1,2
Kejadian Sindrom Paraneoplastik dapat meningkatkan
angka mortalitas pada pasien – pasien dengan keganasan.
Gejala – geajala klinis seringkali timbul sebelum kondisi
keganasan itu sendiri terdiagnosis. Oleh karena itu
pemahaman yang baik, peningkatan efektifitas dalam
mendiagnosa, serta tatalaksana yang baik dan optimal akan
memberikan harapan peningkatan kualitas hidup para
pasien.1,2

Definisi
Sampai saat ini belum terdapat definisi yang tepat untuk
menjelaskan Sindrom paraneoplastik. Deskripsi yang banyak
digunakan adalah kemampuan sel – sel tumor untuk
mensekresi hormone funsional peptidase dan hormon –
hormon lainnya, dan terjadinya immune cross-activity. Pada
kondisi sel tumor mensekresi hormon – hormon, gejala klinis
berhubungan dengan sistem endokrin. Sedangkan pada
keadaan immune cross-activity akan berhubungan dengan
timbulnya gejala klinis pada sistem persarafan.1

68
Manifestasi Klinis
Dapat terjadi berbagai macam manifestasi gejala klinis pada
seseorang dengan Sindrom Paraneoplastik, tergantung kepada
organ atau sistem yang terlibat. Dengan memahami dengan
baik keluhan dan gejala klnis yang melibatkan organ dan sistem
tersebut, maka tatalaksana akan menjadi lebih baik.1,2

Tabel 1. Sindrom Paraneoplastik Sistem Endokrin 1,3


Sindrom Klinis Laboratorium
SIADH Gangguan keseimbangan, Hiponatremia
lemah, nyeri kepala, mual, -. Ringan : 130-134meq/L
muntah, kejang, koma -. Sedang : 125-129meq/L
-. Berat : < 125meq/L
Peningkatan osmolaritas urin
pada keadaan euvolemik : >
100mOsm/Kg
Hiperkalsemia Gangguan kesadaran, Hiperkalsemia
lemah, hypertonia, -. Ringan : 10,5-11,9mg/dL
gangguan fungsi ginjal, -. Sedang : 12-13,9mg/dL
peningkatan tekanan -. Berat : > 14mg/dL
darah, bradikardi Konsentrasi PTH yang rendah
sampai dengan normal : <
20pq/mL
Peningkatan konsentrasi
PTHrP
Sindrom Kelemahan otot, edem Hipokalemi
Cushing perifer, hipertensi, Peningkatan konsentrasi
peningkatan berat badan kortisol
Peningkatan konsentrasi
ACTH
Hipoglikemia Tremor, keringat Non-Islet Tumor
berlebihan, lemas, -. Konsentrasi glukosa rendah
palpitasi, koma -. Konsentrasi insulin rendah
-. Konsentrasi C-Peptide
rendah
Insulinoma
69
-. Konsentrasi glukosa rendah
-. Peningkatan konsentrasi
insulin
-. Peningkatan konsentrasi C-
Peptide
Tabel 2. Sindrom Paraneoplastik Sistem Hematologi 1,3
Sindrom Klinis Laboratorium
Eosininofilia Dipsnea, Wheezing Hipereosinofilia
Granulositosis Asimptomatik Neutrofilia
Pure Red Cell Dyspnea, lemah, Anemia
Aplasia sinkope
Trombositosis Asimptomatik Trombositosis

Pathogenesis
Secara umum terdapat empat mekanisme yang
menjadi penyebab Sindrom Paraneoplastik, yaitu1,2,3,4 :
1. Terjadinya sekresi hormon – hormon yang berlebihan
2. Terjadinya sekresi sitokin yang berlebihan
3. Terjadinya proses konversi pada hormon – hormon
steroid
4. Autoimun

Hiperkalsemia
Hiperkalsemia adalah bentuk Sindrom Paraneoplastik yang
tersering dijumpai. Diperkirakan hingga mencapai 5% pasien –
pasien dengan keganasan akan mengalami hiperkalsemia.
Literatur lain menyebutkan 30% pasien keganasan dengan
kejadian hiperkalsemia. Berdasarkan data pada pasien – pasien
yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, terdapat
25% kasus hiperkalsemia dengan penyakit dasar adalah

70
keganasan. Angka mortalitas mencapai 50% dengan median
survival tidak melebihi 30 hari.1,2,5

Ada empat prinsip terjadinya hiperkalsemia pada pasien


dengan keganasan, yaitu5,6,7 :
1. Sel – sel tumor melepaskan Parathyroid Hormone
releasing Peptide (PTHrP)
2. Aktifitas osteolitik yang terjadi pada metastasis tulang
3. Sekresi berlebihan 1,25 vitamin D oleh sel – sel tumor
4. Peningkatan reabsorpsi di tulang dan ginjal untuk
kalsium dan phospat
Hiperkalsemia pada pasien dengan keganasan, 80%
disebabkan pelepasan PTHrP oleh sel – sel tumor. Banyak
didapatkan kasusnya pada squamous cell tumors.8

Gambar 1. Penyebab Hiperkalsemia Pada Pasien Dengan


Keganasan8

Gejala klinis hiperkalsemia dalam melibatkan sistem saraf,


ginjal, kardiovaskular, dan gastrointestinal.6,7,8

Table 3. Gambaran Klinis Hiperkalsemia6,7,8

71
Sistem Organ Gambaran Klinis
Neurologi : Fatique
Gangguan kesadaran
Leukoencephalopathy
Koma
Gastrointestinal : Mual
Muntah
Konstipasi
Ulkus peptikum
Pankreatitis
Kardiovaskular : Pemendekan interval QT
Perubahan segmen ST menyerupai
klinis infark miokard
Aritmia ventricular
Hipertensi
Renal : Diabetes Insipidus Nephrogenik
Acute Kidney Injury

Table 4. Gambaran laboratorium Hiperkalsemia Pada


Keganasan6,7,8
Etiologi PTH PTHrP 1,25(OH)2D 25(OH)D Phospat
Renda Normal/Rend
PTHrp Tinggi Berapa pun Rendah
h ah
Renda Renda Normal/Rend
1,25(OH)2D Tinggi Rendah
h h ah
Renda Normal/Rend
PTH Tinggi Tinggi Rendah
h ah
Renda Renda Normal/Ti
Vitamin D Tinggi Tinggi
h h nggi
Tatalaksana hiperkalsemia pada keganasan bertujuan
untuk segera menurunkan konsentrasi kalsium dengan
menghambat resorpsi di tulang, meningkatkan eksresi kalsium
di urin, dan menurunkan absorpsi kalsium di saluran cerna.
Tatalaksana hiperkalemia dapat diberikan segera dengan

72
pertimbangan hasil – hasil pemeriksaan dapat membutuhkan
waktu beberapa hari. Pada pasein dengan gejala klinis yang
jelas, dan konsentrasi kalsium > 14mg/dL, pemberian terapi
secara optimal harus segera dilakukan. Sedangkan pada pasien
dengan konsentrasi kalsium antara 12 – 14 mg/dL maka
keputusan memulai terapi berdasarkan penilaian klinis pada
masing – masing pasien.8,9

Tabel 5. Terapi Hiperkalsemia pada Keganasan8,9


Terapi Regimen Onset Durasi
NaCl 0,9 2-4 L/hari Segera 2-3 hari
4 – 8 unit tiap 6 – 12
Kalsitonin 4 – 6 jam > 3 hari
jqm
60 – 90 mg IV/2- 6
Pamidronate 48 jam 3 – 4 minggu
jam
Zolendronic 3 – 4 mg IV/ > 15
48 jam 3 – 4 minggu
Acid menit
200 – 400mg selama Hingga 1
Kortikosteroid 7 hari
5 hari minggu
120mg/minggu
Denosumab 7 – 10 hari 3 – 4 bulan
selama 4 minggu

Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone


Schwartz pertama kali melaporkan kasus dengan SIADH
pada pasien dengan kanker paru di tahun 1957. Pada pasien
didapatkan hiponatremia, yang berhubungan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi natrium di urin. Schwartz
kemudian berpendapat bahwa sel – sel tumor paru
menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik yang tidak
sewajarnya. Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini telah
diketahui bahwa terjadi peningkatan konsentrasi arginine
vasopressin (AVP) pada pasien dengan karsinoma
bronkogenik, dan kanker saluran cerna.5
73
SIADH mempunyai karakteristik hipoosmotik, hiponatremia
euvolemik, dan dijumpai pada 1% - 2% pasien – pasien dengan
keganasan. Data lain menyebutkan prevalensi SIADH sebesar
14%, dan insiden 3,7% - 5%. Pada pasien dengan kanker paru
sel kecil, terdapat 10% - 45% kasus dengan SIADH. Merupakan
keganasan tertinggi dengan SIADH.3,5 Sel – sel tumor akan
memproduksi hormone antidiuretic yang juga dikenal dengan
dengan arginine vasopressin (AVP), dan atrial natriuretic
peptide.5,10
Diagnosis SIADH adalah10,11,12 :
• Penurunan osmolaritas plasma : < 280 mosmol/Kg
• Hiponatremia : konsentrasi Natrium plasma < 134
mmol/L
• Peningkatan osmolaritas urine : > 100 mosmol/Kg
• Peningkatan konsentrasi Natrium urine : > 40 mmol/L
• Klinis euvolemia
• Dapat terjadi hipourisemia : < 4 mg/dL
Gejala klinis hiponatremia10,11,12,
• Bila terjadi herniasi dapat menimbulkan kejang
• Hiperemesis
• Gagal napas
• Nyeri kepala
• Gannguan kesadaran
Pembatasan cairan, pemberian furosemide, dan
suplementasi garam merupakan rekomendasi terapi pada
pasien. Namun terapi terbaik adalah tatalaksana pada
keganasan yang mendasarinya. Baik dengan modalitas
kemoterapi, radioterapi maupun operasi. Pemberian
demeclocycline dengan dosis 150 mg sampai dengan 300
mg akan menghambat efek dari vasopressin pada ginjal.
74
Demeclocycline dapat deberikan sebagai terapi jangka
panjang. Yaitu pada pasien dengan hiponatremia kronis
karena SIADH. Pada saat ini vaptans adalah obat pilihan
lain yang dapat digunakan pada pasien dengan
hiponatremia karena SIADH.11,12,13

Gambar 2. Tatalaksana Hiponatremia13

Carcinoid Syndrome
Carcinoid syndrome (CS) adalah Sindrome
75
Paraneoplastik yang berhubungan dengan terjadinya sekresi
berlebihan beberapa hormon. Antara lain polypeptide, amine
vasoaktif, dan prostaglandin. Gejala utama CS adalah
kemerahan di wajah yang disertai hipotensi, takikardi, diare,
bronkokonstriksi, dipsnea, dan carcinoid heart disease. CS
banyak dijumpai pada kasus neuroendocrine tumors (NET).
Dengan adanya metastasis ke hepar dan gambaran bronchial
carcinoid.14,15

Sampai dengan saat ini telah terindentifikasi lebih dari 40


substansi yang mempunyai potensi untuk timbulnya CS. Akan
tetapi gejala klinis yang trjadi tergantung kepada masing –
masing individu. Sebagai contoh bahwa carcinoid heart disease
belum terlalu jelas mekanismenya pada tiap individu.
Substansi yang terlibat dalam CS antara lain adalah histamine,
kalkerin, prostaglandin, dan takikinin.14,15,16

Table 6. Gejala klinis Carcinoid Sindrom14


GEJALA PERSENTASE (%) MEDIATOR
Katekolamin, 5-HT,
FLUSHING 90
Histamin
Katekolamin, Histamin,
DIARE 60 – 80
Prostaglandin
Iskemia, Hepatomegali,
NYERI PERUT 35
obstruksi
BRONKOSPASME 15 Histamine, 5-HT
5-HT, Bradikinin, Takikinin,
CHD 19 - 60
Activin A

76
Gambar 3. Patofisiologi Carcinoid Syndrome14

Pilar utama dalam tatalaksana CS adalah penggunaan


somatostatin analog, seperti octrotide, dan lanreotide.
Terdapat hampir 805 reseptor somatostatin pada permukaan
sel NET. Ocreotide dan lanreotide akan berikatan dengan
reseptor somatostatin tersebut. Sehingga akan menghambat
sekresi beberapa hormone dan substasi vasoaktif. Ocreotide
diberikan secara intra muscular dengan dosis 20mg – 30 mg
setiap 4 minggu. Lanreotide diberikan subkutan dengan dosis
120 mg tiap 4 minggu. Berdasarkan penilitian phase III,
diketahui ocreotide dan lanreotide terbukti mempunyai efek
anti proliferatif. Dengan demikina diharapakan akan
meningkatkan progression-free survival (PFS).14,16

77
EPO Producing Tumors
Erythropoietin adalah suatu glikoprotein yang terutama
dihasilkan oleh ginjal, dan berperan dalam proses
eritropoiesis. Peningkatan produksi eritropoietin akan
menyebabkan terjadinya eritrositosis. Pada pasien – pasien
dengan karsinoma sel ginjal, hepatocellular karsinoma, dan
hemangioblastoma cerebral dijumpai adanya eritrositosis.
Selain itu EPO dapat memicu terjadinya kista renal, adenoma
metanephrik, hemangioma renal, dan hidronephrosis yang
disebabkan oleh polisitemia.17,18

Ekspre si EpoR pada sel – sel kanker diduga mempunyai efek


langsung terhadap stimulasi dari proliferasi, inhibisi pada
proses apoptosis, atau berhubungan dengan sensitifitas sel
tumor terhadap tindakan kemoterapi dan radioterapi.19

Kesimpulan
Sindrom paraneoplastik sering ditemukan pada kasus – kasus
kanker paru, thymoma, limphoma, dan kanker payudara.
Kejadian Sindrom Paraneoplastik akan meningkatkan angka
morbiditas hingga mortalitas. Manifestasi klinis yang timbul
akan berhubungan dengan sistem organ yang terlibat. Dengan
tatalaksana yang komprehensif maka pengelolaan Sindroma
paraneoplastik akan memberikan hasil yang baik.

78
Daftar Pustaka :
1. Loraine CP, David EG. Paraneoplastic Syndrome : An Approach
to Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc.2010;85:838-54
2. Monika W, Agata RW, Aleksandra L, Andrzej P, Grzegorz D.
Paraneoplastic syndrome in daily clinic practice. Journal of
Pre-Clinical and Clinical Research.2014;8;71-75
3. Spinazze S, Schrijvers D. Metabolic emergencies. Crit Rev
Oncol Hematol.2006;58:78-89
4. Sugiyono S, Abdulmuthalib. Sindrome Paraneoplastik. In : Aru
WS, Bambang S, Idrus A, Marcelus SK, Siti S. eds. Buku Ajar
Penyakit Dalam 4th ed. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2006:898-899
5. Hala A, Asma A. Endocrine Paraneoplastic Syndrome : A
Review.Endocrinol Metab Int J.2015;1:1-12
6. Ismaila MJ, George DL, Carole BM. Hypercalcemia of
malignancy in Hospitalized patients. Hospital
Physician.2006;November:29-35
7. Whitney G. Cancer-related Hypercalcemia. Journal of
Oncology Practice.2016:12
8. Aibek EM. Hypercalcemia of Malignancy : An Update on
Pathogenenis and Management. North Am J Med
Sci.2015;7:483-93
9. Hillel S, Ilya GG. Hypercalcemia of malignancy and new
treatment options. Therapeutics and Clinical Risk
Management. 2015;11:1779-1788
10. Raftopoulus H. Diagnosis and management of hyponatremia
in cancer patients. Support Care Cancer.2007;15:1341-1347
11. Jameson JL, Jhonson BE. Paraneoplastic syndrome :
endocrinology/hematologic. In : Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, Hauser EL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York,
NY:McGraw Hill Medical;2008:617-622
12. Christie PT. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
Secretion. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/246650
13. Paul Grant.The diagnosis and management of inpatient
hypontremia and SIADH.Eur J Clin Invest 2015;45:888-94

79
14. Anezka C, Rubin de Celis F, Joao G, Rachel PR. Carcinoid
syndrome : update on pathophysiology and treatment. Clinics.
2018;73
15. Mota JM, Sousa LG, Riechelmann RP. Complications from
carcinoid syndrome review of the current disease.available at
http//dx.doi.org/10322/ecancer2016
16. Modin IM, Kidd M, Latich I, Zikusoka MN, Shapiro MD. Current
status of gastrointestinal carcinoid.
Gastroenterology.2005;128:1717-51
17. Kosuke U, Shigetaka S, Katsuaki C, Makoto N, Fukuko M,
Tokumasa H et al. Successful treatment of erythropoietin-
producing advanced renal cell carcinoma after targeted
therapy using sunitinib : case report and review of literature.
Molecular and Clinical Oncology.2013;1:112-116
18. Westenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates
proliferation of human renal cel carcinoma cells. Kidney
Int.2000;58:647-657
19. Matthew EH, Murat O, Arcasoy, Kimberly LB, John PK, Mark D.
Erythropoietin Biology in Cancer. Clin Cancer Res. 2006;12:

80
DIAGNOSIS ANEMIA DAN TRANSFUSI RED BLOOD CELL
(RBC)

M. Fuad
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018

Abstrak
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah
merah berkurang sehingga kapasitas pembawa oksigen tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Menurut World
Health Organization (WHO) anemia diperkirakan terjadi pada
1,6 miliar orang di dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada
anak usia prasekolah (47,4%), diikuti oleh wanita hamil
(41,8%), wanita yang tidak hamil (30,2%), anak usia sekolah
(25,4%), dan laki-laki (12,7%).
Anemia merupakan manifestasi klinis dari berbagai
penyakit, dimana untuk mendiagnosisnya diperlukan
pendekatan diagnostik yang terstruktur. Pendekatan yang
direkomendasikan adalah menggabungkan gejala klinis,
pertimbangan patofisiologi, karakteristik sel darah merah, dan
aktivitas sumsum tulang.
Hitung darah rutin lengkap (full blood count (FBC)),
diferensial dan hitung retikulosit dengan pemeriksaan darah
mikroskopis harus dilakukan sejak awal. Hitung retikulosit
menggambarkan status sumsum tulang seperti penurunan
aktivitas dan respon terhadap anemia.
81
Sel-sel darah merah diproduksi di sumsum tulang dari
myeloid sel progenitor, dimana produksi sumsum tulang
membutuhkan lingkungan mikro dan substrat yang memadai
(termasuk zat besi, vitamin B12 dan folat) untuk sintesis
hemoglobin (Hb), protein dan DNA. Erythropoiesis
dikendalikan oleh erythropoietin (EPO) yang disintesis oleh
peritubular fibroblas di korteks ginjal sebagai respons terhadap
berkurangnya tekanan oksigen.
Transfusi merupakan salah satu cara untuk tatalaksana
anemia, tranfusi yang optimal harus menyediakan sel darah
merah yang cukup untuk memaksimalkan hasil klinis dan
menghindari transfusi yang tidak perlu. Harus
dipertimbangkan banyak faktor dalam memutuskan apakah
akan diberikan transfusi pada pasien dengan anemia, tidak
hanya berdasarkan keputusan semata-mata pada ada atau
tidak adanya gejala atau pada tingkat hemoglobin tertentu.
Keputusan akhir untuk transfusi harus menggabungkan status
klinis, co-morbiditas, dan persetujuan individu pasien.

Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di
seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang.(1) Menurut
World Health Organization (WHO) anemia adalah suatu
kondisi dimana jumlah sel darah merah berkurang sehingga
kapasitas pembawa oksigen tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis. Anemia diperkirakan terjadi pada 1,6
miliar orang di dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak
usia prasekolah (47,4%), diikuti oleh wanita hamil (41,8%),

82
wanita yang tidak hamil (30,2%), anak usia sekolah (25,4%),
dan laki-laki (12,7%).(2)
Anemia merupakan manifestasi klinis dari berbagai
penyakit, dimana untuk mendiagnosisnya diperlukan
pendekatan diagnostik yang terstruktur. Pendekatan yang
direkomendasikan adalah menggabungkan gejala klinis,
pertimbangan patofisiologi, karakteristik sel darah merah, dan
aktivitas sumsum tulang.(3)
Sel-sel darah merah diproduksi di sumsum tulang dari
myeloid sel progenitor, dimana produksi sumsum tulang
membutuhkan lingkungan mikro dan substrat yang memadai
(termasuk zat besi, vitamin B12 dan folat) untuk sintesis
hemoglobin (Hb), protein dan DNA. Erythropoiesis
dikendalikan oleh erythropoietin (EPO) yang disintesis oleh
peritubular fibroblas di korteks ginjal sebagai respons terhadap
berkurangnya tekanan oksigen. (3)
Ketika mendiagnosis pasien dengan anemia, ada dua
pertanyaan mendasar yang harus dipertimbangkan: (i) Apakah
penyebab anemia?; dan (ii) Apa urgensi untuk memperbaiki
anemia, yaitu transfusi darah atau intervensi mendesak
lainnya yang diperlukan?

Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul
oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah
adalah berapakah nilai Hb yang dianggap abnormal. Nilai
normal Hb sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada

83
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. WHO menetapkan cut off point
Anemia untuk keperluan penelitian adalah sebagai berikut:
Laki-laki < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl dan
wanita hamil < 11g/dl.(1,2,3,4)

Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (3)
1. Berdasarkan karakteristik sel darah merah (ukuran sel
darah merah, kromia dan morfologi):
• mikrositik hipokromik
• normokromik makrositik
• normokromik normositik
• morfologi:
- leuco-erythroblastic
- mikro-/makroangiopati.
2. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya:
• penurunan produksi / output sumsum tulang :
- sumsum tulang aplasia / infiltrasi
- haematopoiesis tidak efektif, misalnya anemia
megaloblastik, myelodysplastic syndromes (MDSs),
HIV
- Kekurangan substrat
- Insufisiensi eritropoietin
• Kerusakan/kehancuran perifer:
- perdarahan
- sekuestrasi
- hemolisis.

84
Pendekatan diagnostik untuk pasien yang dicurigai anemia
Anemia dapat bermanifestasi dalam berbagai kelainan,
maka diperlukan pendekatan diagnostik yang ringkas (Gambar
1). Pendekatan ini dibuat berdasarkan klasifikasi di atas, gejala
klinis dan temuan hitung darah tepi. (5)
Pasien umumnya datang dengan gejala anemia, yaitu cepat
lelah, dyspnoea, dan penurunan upaya toleransi fisiologis.
Tingkat keparahan gejala tergantung pada derajat anemia dan
tingkat penurunan hemoglobin (Hb). Oleh karena itu, pada
tingkat Hb tertentu, anemia akibat kehilangan darah akut
cenderung bermanifestasi lebih parah daripada anemia onset
perlahan (minggu ke bulan). Gejala selama masa kanak-kanak
harus dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan
kelainan kongenital yang diwariskan dalam bentuk anemia,
misalnya thalassemia. (3)

Anamnesa
Riwayat yang terperinci sangat diperlukan dalam anamnesa
dan sering sekali membantu dalam menyingkirkan banyak
kemungkinan penyebab anemia selama pemeriksaan,
diantaranya: (3)
• Anamnesa terhadap keluhan dan lamanya keluhan
• Riwayat transfusi sebelumnya
• Riwayat makanan, termasuk pica (keinginan untuk makanan
yang tidak biasa, umumnya berhubungan dengan defisiensi
besi)
• Riwayat perjalanan (ke daerah endemis malaria atau daerah
infeksi lainnya)
• Perubahan kebiasaan buang air besar
• Perdarahan (misalnya gastrointestinal dan genito-urinarius)

85
• Riwayat penggunaan obat (misalnya antikoagulan,
antiplatelet, obat renotoxic,
antikonvulsan)
• Penyakit kronis (mis. HIV, tuberculosis (TB))
• Operasi (misalnya gastrektomi, operasi usus kecil)
• Sedang menjalani kehamilan saat ini atau baru melahirkan.
• Riwayat keluarga (terutama pada anak-anak).

Pemeriksaan klinis
Beberapa tanda dan gejala dapat dijumpai. Pemeriksaan
yang sistematis diperlukan untuk mencari kemungkinan
penyebab, di antaranya: (3)
• pemeriksaan selaput kulit dan mukosa:
- Pucat adalah tanda klinis kardinal anemia, yang harus
dikonfirmasi dengan mengukur tingkat hemoglobin
86
- Stomatitis angular
- Glositis pada defisiensi nutrisi
- Koilonychia (kuku berbentuk sendok) pada kekurangan zat
besi
- Beruban dini, yang sering menyertai anemia megaloblastik
- Scleral icterik, yang menunjukkan kemungkinan hemolisis
atau eritropoiesis yang tidak efektif.
• Neuromuskular:
- Kelemahan otot
- Sakit kepala, kurang konsentrasi, mengantuk, tinnitus
- Parestesia, neuropati perifer, ataksia dan hilangnya rasa
getaran, dan proprioception pada anemia pernisiosa.
• Kardiovaskular:
- Sirkulasi hiperdinamik dengan haemik flow murmur
- Gagal jantung.
• Tanda-tanda infeksi, keganasan (misalnya limfoma,
leukemia, metastasis carcinoma):
- Hepatosplenomegali
- Limfadenopati
- Manifestasi perdarahan (petechiae, purpura, ecchymosis),
kegagalan sumsum tulang.
Pemeriksaan laboratorium
Hitung darah rutin lengkap (full blood count (FBC)),
diferensial dan hitung retikulosit dengan pemeriksaan darah
mikroskopis harus dilakukan sejak awal. Hitung retikulosit
menggambarkan status sumsum tulang seperti penurunan
aktivitas dan respon terhadap anemia. (6)
Indeks produksi retikulosit/ reticulocyte production index
(RPI) menggambarkan representasi aktivitas sumsum tulang
yang lebih akurat daripada hitung retikulosit yang terisolasi,

87
untuk mengoreksi tingkat anemia dan adanya retikulosit yang
belum matang dalam darah perifer. RPI dihitung sebagai
berikut:
• RPI = % retikulosit × hematokrit pasien / 45% ÷ waktu
pematangan retikulosit (hari) dalam darah perifer.
Waktu pematangan retikulosit dihitung sebagai berikut:
• hematokrit > 40% = 1 hari, 30 - 40% = 1,5 hari, 20 - 30% = 2
hari, <20% = 2,5 hari
Penurunan RPI menandakan respon sumsum tulang yang
suboptimal untuk koreksi dari anemia. Petunjuk untuk
penyelidikan lebih lanjut berasal dari indeks sel darah merah
(Gambar 1) dan mikroskopi smear perifer darah (Tabel 1).
Pemeriksaan sumsum tulang jika dicurigai patologi, mis.
infiltrasi sumsum tulang, kegagalan sumsum tulang, dan
myelodysplasia. Aspirasi sumsum tulang memberikan
gambaran penilaian morfologis sel secara detail, tetapi
arsitektur terganggu, sedangkan jika dilakukan biopsi trephine
arsitektur dapat dipertahankan, yang memungkinkan untuk
mendeteksi jaringan sel yang patologi, seperti granulomata
dan fibrosis. (3)

88
Penyebab penting anemia karena tidak adekuat produk
sumsum tulang
Penyebab kegagalan produksi sel darah merah termasuk
kekurangan erytropoietin (biasanya sekunder akibat penyakit
ginjal kronis), defisiensi substrat, tidak efektif erythropoiesis,
sumsum tulang aplasia / hypoplasia dan kerusakan sumsum
tulang (keganasan / fibrosis), yang semuanya ditandai dengan
RPI rendah.

Aplasia sumsum tulang / hypoplasia (kegagalan sumsum


tulang primer)
Kegagalan sumsum tulang dapat diwariskan atau diperoleh.
Sindrom kegagalan sumsum tulang umumnya bermanifestasi
pada masa kanak-kanak dengan kejadian anemia aplastik <
10% pasien. Pada pasien dapat ditemukan dengan satu atau
lebih dari gejala berikut: (i) gejala anemia; (ii) infeksi (karena
leucopenia / neutropenia); dan (iii) perdarahan mukokutan
(karena trombositopenia). FBC menunjukkan pansitopenia
dengan berbagai derajat (tergantung pada keparahan),
reticulocytopenia dengan RPI rendah, dan kebalikan normal
neutrofil: limfosit rasio. Diagnosis dikonfirmasi dengan
pemeriksaan sumsum tulang secara mikroskopis.
Penyebab sekunder yang berhubungan dengan anemia
aplastik telah diidentifikasi, tetapi 60 - 70% kasus penyebabnya
masih belum diketahui. Kemungkinan ada faktor pemicu,
seperti virus atau obat-obatan, respon imun dan ekspansi
sitotoksik Sel T yang menghancurkan sel hematopoietik.
Penyebab termasuk virus (mis. virus hepatitis, HIV, virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus); gangguan autoimun (misalnya
lupus eritematosus sistemik, eosinofilik fascilitis, sindrom

89
Sjögren); obat-obatan (berbagai macam, termasuk sulfonamid,
antikonvulsan, antimalaria; bahan kimia (misalnya benzena);
dan faktor lingkungan (misalnya pestisida pertanian dan
radiasi). Idiopatik adalah kelompok terbesar. paroxysmal
nocturnal Haemoglobinuria (PNH), yang disebabkan oleh
perluasan klone dengan mutasi gen glycosyl phosphatidyl-
inositol, bermanifestasi dengan triad klinis hemolisis,
trombosis dan kegagalan sumsum tulang. Klone PNH bisa
terdeteksi pada aliran cytometry.
Beberapa kelainan bawaan ditandai dengan
hipoplasia/aplasia sumsum tulang (mempengaruhi satu atau
lebih garis sel hematopoietik), dan biasanya disertai oleh satu
atau lebih kelainan somatik, yaitu bagian dari sindrom klinis.
Sindrom kegagalan sumsum tulang yang diwariskan mungkin
muncul saat lahir atau berkembang di masa kanak-kanak.
Sindrom yang mempengaruhi ketiga garis sel termasuk anemia
Fanconi, sindrom Schwachman Diamond dan dyskeratosis
congenita. Aplasia sel darah merah murni ditandai oleh
terisolasi, sering parah anemia dengan retikulositopenia yang
ditandai. Itu mungkin bawaan (Sindrom Diamond Blackfan)
atau diperoleh (termasuk infeksi virus, gangguan
limfoproliferatif, gangguan autoimun atau obat-obatan). (3)

Perubahan sumsum tulang oleh keganasan atau fibrosis


Adanya reaksi leuko-eritroblastik dan poikilositosis tear
drop pada mikroskopis apusan darah tepi harus mengarah
kepada curiga kemungkinan infiltrasi sumsum tulang.
Leukemia dan limfoma dapat lebih lanjut dicirikan pada aliran
cytometry, analisis sitogenetika dan reaksi rantai polimerase
pengujian pada sampel aspirasi sumsum tulang.

90
Immunohistokimia noda juga tersedia untuk mengidentifikasi
subtipe dan tipe sel pada sumsum tulang bagian biopsi
trephine. (3)

Haematopoiesis tidak efektif


Dalam haematopoiesis yang tidak efektif, aktivitas sumsum
tulang berkisar dari normal meningkat, tetapi sel-sel mati
sebelum atau segera setelah dilepas ke dalam sirkulasi.
Penyebab umum untuk haematopoiesis tidak efektif termasuk
anemia megaloblastik, obat-obatan yang mengganggu sintesis
DNA atau metabolisme folat (misalnya methotrexate,
trimethoprim, phenytoin), infeksi HIV, dan MDS. MDSs adalah
clamic gangguan haematopoietik yang ditandai oleh
cytopenias darah perifer dan displastik haematopoiesis,
dengan predisposisi menuju berkembang ke leukemia akut.
Ketika dicurigai anemia megaloblastik harus dipastikan dengan
menggunakan serum kadar vitamin B12 dan folat (dilakukan
sebelum transfusi darah), sebagaimana HIV dan infeksi kronis
lainnya. Di mana tidak ada penyebab lain haematopoiesis yang
tidak efektif ditemukan, pemeriksaan lebih lanjut untuk MDS
diperlukan (termasuk pemeriksaan sumsum tulang dengan
analisis sitogenetik), terutama pada pasien yang lebih tua.(3)

Kekurangan substrat
Kekurangan zat besi adalah penyebab paling umum
anemia, diperkirakan terjadi pada 15% dari populasi dunia.
Penyebab defisiensi besi dapat secara luas diklasifikasikan
sebagai asupan besi yang tidak adekuat (mis. kekurangan
nutrisi, malabsorpsi besi) atau kehilangan besi yang berlebihan
(sebagian besar karena pendarahan). Paling sering terjadi pada

91
anak kecil dan wanita usia subur karena kebutuhan besi
meningkat terkait dengan pertumbuhan cepat dan kehilangan
darah saat menstruasi / kehamilan. (7)
Kekurangan zat besi menyebabkan anemia mikrositik
dan/atau hipokromik. Studi serum besi menunjukkan feritin
serum rendah dan meningkat kadar transferin (TF), dan
saturasi persentase TF rendah. Diagnosis banding untuk
anemia mikrositik termasuk anemia penyakit kronis, trait
thalassemia dan anemia sideroblastik. Frekuensi dari diagnosa
banding ini tergantung pada populasi demografi, trait
thalassemia sering terjadi pada pasien keturunan India atau
Mediterania, anemia penyakit kronis sering terjadi pada pasien
dengan infeksi kronis (mis. HIV atau TB), keganasan atau
gangguan autoimun. anemia penyakit kronis disebabkan oleh
kombinasi defisiensi besi fungsional (karena blokade besi
retikuloendotelial), dan defisiensi atau resistensi Erytropoietin.
(8)

Perbedaan antara anemia defisiensi besi dan anemia


penyakit kronis sangat kabur, karena feritin yang merupakan
protein fase akut sangat mungkin keliru atau meningkat pada
pasien dengan defisiensi besi yang mengalami peradangan
akut. Standar emas untuk membedakan anemia defisiensi besi
dari anemia penyakit kronis adalah mengevaluasi kadar besi
sumsum tulang secara mikroskopis. Mengukur kadar reseptor
TF / soluble TF receptor (STFR) yang dapat larut dan
menghitung indeks STFR (STFR: log ferritin ratio) juga
digunakan dalam hal ini, di mana rasio > 2 menunjukkan
defisiensi besi bersamaan dengan penyakit kronis. [6]
Sayangnya, pengujian STFR tidak tersedia secara universal di
laboratorium banyak rumah sakit.

92
Anemia megaloblastik adalah anemia nutrisi utama lainnya
yang disebabkan oleh vitamin B12 atau kekurangan folat.
Karena keduanya dibutuhkan untuk biosintesis purin,
kekurangan gizi menghambat sintesis DNA normal, yang
menghasilkan haematopoiesis yang tidak efektif.
Kekurangan vitamin B12 adalah penyebab anemia
megaloblastik yang paling sering terlihat dalam praktik sehari
hari, penyebab paling umum adalah anemia pernisiosa, yang
disebabkan oleh gangguan absorpsi vitamin B12 berhubungan
dengan kerusakan sel parietal lambung dan akibat defisiensi
faktor intrinsik. Sebaliknya, defisiensi diet dan fase postpartum
paling sering menyebabkan penurunan folat.
Anemia megaloblastik didiagnosis dengan menunjukkan
kadar vitamin B12 atau folat serum yang rendah, bersama
dengan karakteristik morfologi apus darah tepi (termasuk
makro ovalositosis, tear drops, jumlah fragmen sel darah
merah yang bervariasi dan basophilic stippling dan
hipersegmentasi (pergeseran ke kanan) neutrofil). Yang
penting, anemia megaloblastik tidak universal macrocytic, dan
tidak dapat dikesampingkan semata-mata karena sel normal
atau bahkan volume sel rata-rata rendah.(3)

TRANSFUSI RED BLOOD CELL (RBC)


Pendahuluan
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit
dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan
memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap,
sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit
60-70%. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung
besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel darah

93
merah 100-200 mL. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1-
6o celsius. Bila menggunakan antikoagulan citrate phosphatase
dextrose adenin (CPDA) maka masa simpan sel darah merah ini
adalah 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila
menggunakan citrate phosphatase dextrose (CPD) masa
simpan dari sel darah merah ini hanya 21 hari. Komponen sel
darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer,
dextrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60%
dan masa simpan sampai 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan
sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki
kemampuan oksigenasi seperti darah lengkap. (9)
Selama beberapa dekade, keputusan untuk transfusi sel
darah merah/ red blood cells (RBC) didasarkan pada "aturan
10/30", transfusi digunakan untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin darah di atas 10 g / dL (100 g / L) dan
hematokrit di atas 30 persen(10). Namun, kekhawatiran
mengenai transmisi patogen yang ditularkan melalui darah dan
upaya pengendalian biaya menyebabkan penataan ulang
mengenai praktik transfusi pada tahun 1980-an. Pada tahun
1988 “The National Institutes of Health” melakukan konferensi
untuk membuat konsensus tentang Transfusi RBC
Perioperative yang menyarankan bahwa tidak ada kriteria
tunggal yang harus digunakan sebagai indikasi untuk terapi
komponen sel darah merah, dan bahwa beberapa faktor yang
terkait dengan status klinis pasien dan kebutuhan pengiriman
oksigen harus dipertimbangkan(11).
Selama 30 tahun berikutnya, sejumlah besar bukti klinis
dihasilkan, banyak publikasi tentang pedoman untuk
pengaturan transfusi RBC yang berbeda beda. Secara umum
dari pedoman ini adalah kebutuhan untuk menyeimbangkan

94
manfaat mengobati anemia dengan keinginan untuk
menghindari transfusi yang tidak perlu, dengan biaya efektif
dan potensi bahaya minimal. Ini membutuhkan keterampilan
dan ketajaman diagnostik yang cukup seorang dokter yang
akan memberikan transfusi pada pasiennya. (12)

DASAR UNTUK TRANSFUSI


Peran darah dalam pengiriman oksigen
Darah memberikan oksigen ke jaringan, dan sebagian besar
oksigen yang dikirim terikat dengan hemoglobin dalam sel
darah merah. Dengan demikian, anemia memiliki potensi
untuk mengurangi pengiriman oksigen. Namun, sebagian
besar pasien dapat meningkatkan pengiriman oksigen jaringan
dengan meningkatkan curah jantung di atas berbagai
konsentrasi hemoglobin. Pertimbangan fisiologis utama yang
relevan dengan pasien anemia adalah sejauh mana pengiriman
oksigen ke jaringan cukup dan apakah mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan pengiriman oksigen akan menjadi
kewalahan atau terganggu(10).

Pengiriman / Distribusi oksigen (DO2) ditentukan oleh


rumus:
DO2 = curah jantung x kandungan oksigen arteri
Pada pasien sehat, DO2 dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan cardiac output (peningkatan denyut jantung
pada pasien yang sadar dan peningkatan volume stroke pada
pasien yang dianestesi). Pada pasien yang sakit kritis, DO2
dapat menjadi lebih bergantung pada konten oksigen arteri,
dan pemanfaatan oksigen dapat menjadi patologis tergantung
pada DO2. Ketergantungan patologis ini mungkin disebabkan

95
oleh peningkatan konsentrasi laktat arteri dan perubahan
kemiringan rasio ekstraksi oksigen.
Saat istirahat, ada cadangan besar distribusi oksigen. Dengan
demikian, jika volume intravaskular dipertahankan selama
perdarahan dan status kardiovaskular tidak terganggu,
pengiriman oksigen secara teoritis akan memadai sampai
hematokrit turun di bawah 10 persen karena curah jantung
yang lebih besar, pergeseran kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin ke kanan, dan peningkatan ekstraksi oksigen
dapat mengkompensasi penurunan kandungan oksigen arteri
(tabel 1). (10,13)
Beberapa individu tidak konsisten menggambarkan
perubahan elektrokardiogram (ECG) dengan iskemia miokard,
ada sedikit bukti pengiriman oksigen yang tidak memadai, dan
penurunan hemoglobin dikaitkan dengan peningkatan
progresif stroke volume dan denyut jantung (cardiac output),
dan pengurangan progresif resistensi pembuluh darah
sistemik. Denyut jantung meningkat secara linier sebagai
respons terhadap anemia isovolemik akut. (14)
Fungsi kognitif akan segera bereaksi dan memori terganggu
ketika konsentrasi hemoglobin berkurang menjadi 5 hingga 6
g/dL(15). Kapasitas pembawa oksigen darah tidak secara
langsung mencerminkan pengiriman oksigen ke jaringan(16) .
Pertimbangan sebelumnya merupakan respon klinis yang
optimal pada orang dewasa yang sehat. Namun, transfusi
darah biasanya diberikan kepada pasien yang sakit dengan
komorbiditas yang mendasarinya, dan ada kekhawatiran
bahwa mekanisme kompensasi dapat terganggu pada pasien
yang sakit kritis, terutama pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Saat ini uji multisenter acak terkontrol

96
menunjukkan bahwa hemoglobin 10 g / dL dibandingkan
dengan target nilai hemoglobin 7 hingga 8 g / dL memberikan
hasil yang setara atau lebih baik pada sebagian besar populasi
pasien. (17)

Dampak anemia pada morbiditas dan mortalitas


Meskipun banyak penelitian observasional telah
menunjukkan hubungan antara anemia dan peningkatan
mortalitas, tidak jelas bahwa koreksi anemia akan
meningkatkan mortalitas. Studi-studi berikut mengilustrasikan
efek buruk dari anemia pasca operasi yang berat: Dalam subset
analisis dari 300 pasien pasca operasi, hemoglobin antara 7
dan 8 g / dL tampaknya tidak memiliki efek buruk langsung
pada kematian, sedangkan ada risiko kematian pasca operasi
yang jelas ketika hemoglobin turun di bawah 7 g / dL(18) .
Sementara ini penelitian lain menunjukkan bahwa anemia
berat dikaitkan dengan hasil yang buruk, data dari uji coba
secara acak menunjukkan bahwa koreksi anemia yang lebih
agresif tidak selalu meningkatkan hasil yang lebih baik(19).

Risiko dan komplikasi transfusi


Risiko dan potensi komplikasi jangka panjang pada transfusi
RBC antara lain:
● Infeksi adalah merupakan risiko transfusi yang disebabkan
oleh microba patogen yang ditularkan melalui transfusi
(misalnya, virus, bakteri, dan parasit) dapat ditularkan jika
dalam darah donor mengandung microba yang lolos dari
deteksi dengan skrining tes. (20)
● Reaksi alergi dan imun. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien
manapun, dan lebih sering terjadi pada pasien dengan

97
transfusi ganda. (Reaksi imunologi, Reaksi hemolitik dan
Transfusi terkait cedera paru akut/ transfusion releted acut
lung injury (TRALI))
● Volume yang berlebihan biasanya terjadi pada orang tua,
anak kecil, dan penderita dengan gangguan fungsi jantung.
● Hiperkalemia selama penyimpanan darah di bank darah
kalium akan dilepaskan dari sel darah merah, hiperkalemia
dapat terjadi pada transfusi masif, penderita dengan
gangguan fungsi ginjal, dan bayi baru lahir.
● Kelebihan zat besi akan terjadi setelah sejumlah besar
transfusi untuk anemia kronis [28].

ANALISIS PERTIMBANGAN TRANSFUSI


Faktor yang perlu dipertimbangkan
Praktik transfusi yang optimal harus menyediakan sel darah
merah yang cukup untuk memaksimalkan hasil klinis dan
menghindari transfusi yang tidak perlu. Harus
dipertimbangkan banyak faktor dalam memutuskan apakah
akan diberikan transfusi pada pasien dengan anemia, tidak
hanya berdasarkan keputusan semata-mata pada ada atau
tidak adanya gejala atau pada tingkat hemoglobin tertentu.
Keputusan akhir untuk transfusi harus menggabungkan status
klinis, co-morbiditas, dan persetujuan individu pasien. (21)
Secara umum kebanyakan pasien lebih baik menggunakan
strategi transfusi restriktif (yaitu, memberikan lebih sedikit
darah; transfusi dilakukan pada saat hemoglobin yang lebih
rendah; dan bertujuan untuk menaikkan target hemoglobin
yang tidak terlalu tinggi) daripada strategi transfusi liberal
(yaitu, memberikan lebih banyak darah; target transfusi pada
tingkat hemoglobin lebih tinggi). (22)

98
Untuk sebagian besar pasien dengan hemodinamik yang
stabil, disarankan mempertimbangkan transfusi saat
hemoglobin 7 sampai 8 g/dL, dengan ambang batas
berdasarkan nilai aman dalam uji klinis dengan populasi yang
pasien yang sesuai. Penilaian tingkat hemoglobin pasca
transfusi dapat dilakukan sedini mungkin setelah15 menit
selesai transfusi, selama pasien tidak aktif perdarahan. (23)
Untuk menghindari transfusi yang tidak perlu dalam
praktik transfusi maka diberikan transfusi satu unit RBC pada
satu waktu, tidak meminta beberapa unit, untuk pasien yang
hemodinamik stabil yang tidak terjadi perdarahan aktif. (22)

AMBANG BATAS TRANFUSI UNTUK POPULASI SPESIFIK


Pasien simtomatik
Dalam beberapa uji coba acak mengenai ambang transfusi,
gejala anemia merupakan indikasi untuk transfusi terlepas
apakah hemoglobin berada di atas ambang batas yang
ditentukan. Anemia dengan gejala harus diobati dengan
transfusi pada pasien dengan hemoglobin <10 g/dL. Pada
keadaan tertentu transfusi ditunda pada individu dengan
hemoglobin antara 7 dan 10 g / dL misalnya pada pasien muda
tanpa komorbiditas atau penyakit arteri koroner dengan
hemoglobin 8 g/dL dan diperkirakan hemoglobin tidak akan
menurun lebih lanjut, dan/atau diperkirakan hemoglobin akan
meningkat dalam satu atau dua minggu kemudian. (24)
Beberapa pasien tidak akan menunjukkan gejala anemia
yang khas (misalnya, pasien dengan perubahan status mental,
neuropati diabetes, terapi analgesik). Dengan demikian
pengukuran dengan alat pengganti diperlukan (misalnya,
penilaian terhadap perubahan ECG) dapat berguna dalam

99
beberapa situasi. Ketika transfusi digunakan pada pasien yang
bergejala, penting untuk menentukan apakah gejala telah
membaik setelah transfusi, karena ini dapat memandu
pengambilan keputusan lebih lanjut. (22)

Sindrom koroner akut


Transfusi optimal pada sindrom koroner akut (ACS; yaitu,
infark miokard akut [MI], angina tidak stabil) tetap tidak
terselesaikan. Pada pasien dengan ACS transfusi diberikan
ketika hemoglobin <8 g / dL dan dipertimbangkan transfusi
ketika hemoglobin antara 8 dan 10 g / dL. Jika pasien
mengalami iskemia atau gejala lainnya, hemoglobin
dipertahankan ≥10 g/dL. (25)
Pada pasien yang stabil dan tidak bergejala (misalnya, yang
gejalanya telah sembuh setelah pengobatan dengan terapi
medis atau intervensi), tidak diperlukan transfusi segera,
meskipun kita cenderung mempertahankan tingkat
hemoglobin yang tinggi menggunakan penilaian berdasarkan
pada evaluasi gejala pasien dan kondisi klinis. Nilai ambang 10
g/dL di anggap lebih aman pada pasien dengan ACS. Ada variasi
dalam praktik transfusi pada pasien yang menjalani intervensi
koroner perkutan (PCI). (24,25,26)

Pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa gejala


Sebagian besar pasien dengan hemodinamik yang stabil,
dipertimbangkan untuk transfusi pada hemoglobin 7 hingga 8
g/dL, beberapa pasien akan tetap asimtomatik dari anemia
pada tingkat hemoglobin yang lebih rendah. Keputusan akhir
mengenai transfusi harus mempertimbangkan keinginan dan
status klinis pasien. (22)

100
Penyakit kardiovaskular
Keputusan apakah transfusi pasien dengan penyakit
kardiovaskular harus mempertimbangkan sifat gangguan
kardiovaskular. Sebagai contoh, ada kemungkinan bahwa
pasien dengan ACS memerlukan ambang berbeda untuk
transfusi dibandingkan pasien dengan penyakit arteri koroner
stabil atau pasien dengan gagal jantung kongestif. Penyakit
arteri koroner yang sudah ada sebelumnya ambang batas
transfusi 8 g/dL dianggap cukup aman untuk pasien tanpa
gejala dengan penyakit arteri koroner stabil(27,28).

Gagal jantung
Anemia dan gagal jantung / heart failure (HF) sering muncul
bersamaan dengan berbagai penyebab (misalnya, perubahan
sitokin, anemia dilusi, terapi medis untuk HF). Banyak ahli
menganggap anemia sebagai penanda prognosis buruk pada
individu dengan gagal jantung.
Pendekatan terhadap transfusi (termasuk ambang batas
yang lebih restriktif untuk individu tanpa gejala dan transfusi
untuk individu dengan gejala jika hemoglobin <10 g / dL) dan
strategi manajemen lainnya pada pasien dengan gagal jantung
tetap diperlukan (misalnya perhatian pada peningkatan beban
volume dari transfusi) (29)

Trauma / transfusi masif


Penggunaan transfusi masif pada pasien sakit kritis,
hemodinamik tidak stabil, tidak dapat dipandu oleh kadar
hemoglobin saja dan sering tidak dapat menunggu pengukuran
interval hemoglobin. (22)

101
Unit perawatan intensif / syok septik
Transfusi restriktif tampaknya lebih aman pada pasien di
unit perawatan intensif (ICU), dengan pengecualian pasien
dengan penyakit jantung iskemik / sindrom koroner akut.
Penggunaan ambang 7 g/dL pada pasien hemodinamik stabil di
ICU dianggap cukup dengan menggunakan strategi transfusi
restriktif (sel darah merah ditransfusikan untuk konsentrasi
hemoglobin <7 g/dL dan hemoglobin dipertahankan pada 7
sampai 9 g/dL). (30,31)

Perdarahan akut
Perdarahan akut adalah pengaturan klinis yang sangat
menantang di mana untuk mengevaluasi ambang transfusi sel
darah merah. Untuk pasien dengan perdarahan masif atau
yang hemodinamik tidak stabil, transfusi harus dipandu
dengan parameter hemodinamik (misalnya, denyut nadi dan
tekanan darah), laju perdarahan, dan kemampuan untuk
menghentikan pendarahan, bukan hanya kadar hemoglobin.
Oleh karena itu, penggunaan transfusi pada pasien
pendarahan akut tidak dapat didasarkan pada ambang batas
hemoglobin saja. Untuk pasien yang mengalami perdarahan
tetapi hemodinamik stabil, beberapa panduan pada pasien
dengan perdarahan gastrointestinal atas, yang mendapatkan
transfusi secara restriktif 8 g/dL dianggap aman ketika ada
akses untuk tindakan endoskopi yang cepat. (32,33)

Bedah non-jantung
Hasil dari uji coba secara acak pada pasien yang menjalani
operasi panggul menunjukkan bahwa cukup menggunakan

102
strategi restriksi batas bawah 8 g/dL tanpa adanya gejala
anemia, bahkan pada pasien lansia dengan komorbid faktor
risiko kardiovaskular(22,34)

Bedah jantung
Data meta analisis pada tahun 2018 menunjukkan bahwa
strategi transfusi restriktif dengan ambang hemoglobin 7,5
hingga 8 g/dL memberikan hasil baik pada pasien yang
menjalani operasi jantung dengan bypass kardiopulmonal(27).

Penyakit ginjal kronis


Manajemen anemia pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis adalah kompleks. Kebutuhan transfusi dan alternatif
lain untuk supportif transfusi (misalnya, erythropoietin, besi)
mungkin diperlukan. (22)

Pasien rawat jalan


Gejala dari anemia kronis pada pasien rawat jalan (yaitu,
tidak dirawat di rumah sakit) berbeda dari yang disebabkan
oleh penurunan akut konsentrasi hemoglobin pada pasien
rawat inap, karena ada waktu untuk mekanisme terjadinya
kompensasi. Belum ada laporan ambang batas transfusi
optimal pada pasien rawat jalan.
Beberapa pasien dengan anemia kronis (misalnya, sindrom
kegagalan sumsum tulang) dapat bergantung pada
penggantian RBC selama beberapa bulan atau tahun, yang
dapat menyebabkan kelebihan zat besi. Sekitar 200 mg zat besi
terdapat dalam satu unit RBC; zat besi ini dilepaskan ketika
hemoglobin dari sel darah merah yang ditransfusi
dimetabolisme setelah kematian sel darah merah. Terapi

103
chelating dianjurkan setelah transfusi sekitar 10 hingga 20 unit
sel darah merah pada pasien yang memerlukan transfusi sel
darah merah(35).

Pasien onkologi
Ada dua kelompok besar pasien onkologi yang dapat
diindikasikan untuk transfusi:
● Pasien yang menjalani kemoterapi mielosupresif
● Pasien kanker terminal dengan perawatan paliatif
Pendekatan transfusi darah berbeda untuk kelompok-
kelompok ini tergantung pada tujuan terapi. Dalam
pengobatan belum ada uji coba acak yang membandingkan
ambang transfusi pada pasien yang menjalani terapi kanker
(misalnya, dengan anemia yang diinduksi oleh kemoterapi).
Pasien yang menjalani terapi kanker dengan tujuan kuratif
harus ditransfusi sama dengan pasien lainnya, dengan
transfusi untuk gejala dan pertimbangan ambang batas
hemoglobin antara 7 sampai 8 g/dL tanpa adanya gejala. (22)

Perawatan paliatif
Studi observasional menunjukkan bahwa transfusi
menggambarkan perbaikan gejala untuk pasien dengan kanker
stadium lanjut. Studi-studi ini menunjukkan bahwa individu
dengan anemia memiliki respon bervariasi terhadap gejala
yang muncul. Penggunaan transfusi pada pasien onkologi
harus dibuat berdasarkan kasus per kasus. (35,36,37).

104
RINGKASAN DAN REKOMENDASI
● Anemia dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk.
Namun, uji klinis acak diperlukan untuk menentukan
apakah transfusi bermanfaat atau berbahaya pada
pasien anemia.
● Ada bukti uji klinis yang sangat baik yang menunjukkan
bahwa kebijakan restriktif transfusi pada konsentrasi
hemoglobin 7 hingga 8 g / dL memiliki panduan untuk
keputusan transfusi pada sebagian besar pasien.
Konsentrasi hemoglobin ini aman pada sebagian besar
populasi pasien sehingga dapat meningkatkan hasil
klinis dan akan mengurangi transfusi yang tidak perlu.
● Semua pasien harus dinilai secara klinis ketika hendak
diberikan transfusi. Pasien stabil transfusi mungkin tidak
diperlukan bahkan ketika kadar hemoglobin 7 hingga 8 g
/ dL.
● Untuk sebagian besar pasien hemodinamik stabil yang
dirawat di rumah sakit, termasuk di unit perawatan
intensif atau dalam keadaan syok septik,
direkomendasikan transfusi untuk mempertahankan
hemoglobin pada kadar > 7 g / dL (Grade 1B).
● Untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
mendasari, menjalani operasi ortopedi, atau operasi
jantung, serta pasien rawat jalan, direkomendasikan
transfusi darah untuk mempertahankan hemoglobin
pada ≥7 hingga 8 g / dL sampai 10 g/dL (Grade 1B);
Namun, mungkin ada kasus di mana pasien tidak
menunjukkan gejala pada hemoglobin <8 g / dL, dan
menurut penilaian dokter tidak diperlukan transfusi.

105
● Pasien simtomatik dengan hemoglobin <10 g/dL harus
ditransfusikan untuk memperbaiki ketidakstabilan
hemodinamik dan gejala iskemia miokard.
● Untuk pasien dengan sindrom koroner akut, dapat
digunakan pendekatan individual. Rekomendasi
transfusi dilakukan ketika hemoglobin < 8 g/dL; dengan
mempertimbangkan transfusi ketika hemoglobin antara
8 dan 10 g / dL; dan dipertahankan hemoglobin ≥10 g /
dL pada pasien dengan gejala atau iskemia yang sedang
berlangsung.
● Pasien yang membutuhkan transfusi masif (misalnya,
trauma atau perdarahan yang sedang berlangsung)
sering tidak dapat dikelola menggunakan ambang
hemoglobin.
● Transfusi mungkin tepat dalam perawatan paliatif.
Beberapa program rumah sakit menyediakan transfusi
darah untuk kenyamanan dan meredakan gejala.

106
KEPUSTAKAAN
1. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna publising 2014; 6: 2575-82.
2. World Health Organization. The Global Prevalence of Anaemia
in 2011. Geneva: WHO, 2015.
3. Alli N, Vaughan J, Patel M. Anaemia: Approach to diagnosis.
SAMJ 2017;107:1:23-27
4. De Benoist B, McLean E, Ines E, et al. Worldwide prevalence of
anaemia 1993 - 2005. Geneva: WHO, 2008
5. Means RT Jr, Glader B. Anaemia: General considerations. In:
Greer JP, Arbor DE, Glader B, et al., eds. Wintrobe’s Clinical
Hematology. 13th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2013.
6. Lawrie D, Coetzee LM, Becker P, Mahlangu J, Stevens W,
Glencross DK. Local reference ranges for full blood count and
CD4 lymphocyte count testing. S Afr Med J 2009;99(4):243-248.
7. Lopez A, Cacoub P, Macdougall IC, Peyrin-Biroulet L. Iron
deficiency anaemia. Lancet 2016;387(10021):907-916.
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)60865-0
8. Punnonen K, Irjala K, Rajamaki A. Serum transferrin receptor
and its ratio to serum ferritin in the diagnosis of iron deficiency.
Blood 1997;89(3):1052-1057.
9. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna publising 2014; 6: 2839-43.
10. Wang JK, Klein HG. Red blood cell transfusion in the treatment
and management of anaemia: the search for the elusive
transfusion trigger. Vox Sang 2010; 98:2.
11. Consensus conference. Perioperative red blood cell transfusion.
JAMA 1988; 260:2700.
12. Blood transfusion. National Institute for Health and Care
Excellence; National Clinical Guideline Centre, London, 2015.
13. Weiskopf RB, Viele MK, Feiner J, et al. Human cardiovascular
and metabolic response to acute, severe isovolemic anemia.
JAMA 1998; 279:217.
14. Weiskopf RB, Feiner J, Hopf H, et al. Heart rate increases linearly
in response to acute isovolemic anemia. Transfusion 2003;
43:235.

107
15. Weiskopf RB, Kramer JH, Viele M, et al. Acute severe isovolemic
anemia impairs cognitive function and memory in humans.
Anesthesiology 2000; 92:1646.
16. Nielsen ND, Martin-Loeches I, Wentowski C. The Effects of red
Blood Cell Transfusion on Tissue Oxygenation and the
Microcirculation in the Intensive Care Unit: A Systematic
Review. Transfus Med Rev 2017; 31:205.
17. Carson JL, Duff A, Poses RM, et al. Effect of anaemia and
cardiovascular disease on surgical mortality and morbidity.
Lancet 1996; 348:1055.
18. Carson JL, Noveck H, Berlin JA, Gould SA. Mortality and
morbidity in patients with very low postoperative Hb levels who
decline blood transfusion. Transfusion 2002; 42:812.
19. Hanna EB, Alexander KP, Chen AY, et al. Characteristics and in-
hospital outcomes of patients with non-ST-segment elevation
myocardial infarction undergoing an invasive strategy according
to hemoglobin levels. Am J Cardiol 2013; 111:1099.
20. Carson JL, Stanworth SJ, Roubinian N, et al. Transfusion
thresholds and other strategies for guiding allogeneic red blood
cell transfusion. Cochrane Database Syst Rev 2016;
10:CD002042.
21. Carson JL, Guyatt G, Heddle NM, et al. Clinical Practice
Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion
Thresholds and Storage. JAMA 2016; 316:2025.
22. Carson JL and Kleinman S. Indications and hemoglobin
thresholds for red blood cell transfusion in the adult 2018.
https://www.uptodate.com/contents/indications-and-
hemoglobin-thresholds-for-red-blood-cell-transfusion-in-the-
adult.
23. Elizalde JI, Clemente J, Marín JL, et al. Early changes in
hemoglobin and hematocrit levels after packed red cell
transfusion in patients with acute anemia. Transfusion 1997;
37:573.
24. Carson JL, Brooks MM, Abbott JD, et al. Liberal versus restrictive
transfusion thresholds for patients with symptomatic coronary
artery disease. Am Heart J 2013; 165:964.

108
25. Rao SV, Jollis JG, Harrington RA, et al. Relationship of blood
transfusion and clinical outcomes in patients with acute
coronary syndromes. JAMA 2004; 292:1555.
26. Sherwood MW, Wang Y, Curtis JP, et al. Patterns and outcomes
of red blood cell transfusion in patients undergoing
percutaneous coronary intervention. JAMA 2014; 311:836.
27. Carson JL, Stanworth SJ, Alexander JH, et al. Clinical trials
evaluating red blood cell transfusion thresholds: An updated
systematic review and with additional focus on patients with
cardiovascular disease. Am Heart J 2018; 200:96.
28. Docherty AB, O'Donnell R, Brunskill S, et al. Effect of restrictive
versus liberal transfusion strategies on outcomes in patients
with cardiovascular disease in a non-cardiac surgery setting:
systematic review and meta-analysis. BMJ 2016; 352:i1351.
29. Swedberg K, Young JB, Anand IS, et al. Treatment of anemia
with darbepoetin alfa in systolic heart failure. N Engl J Med
2013; 368:1210.
30. Hébert PC, Wells G, Blajchman MA, et al. A multicenter,
randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements
in critical care. Transfusion Requirements in Critical Care
Investigators, Canadian Critical Care Trials Group. N Engl J Med
1999; 340:409.
31. Hébert PC, Carson JL. Transfusion threshold of 7 g per deciliter-
-the new normal. N Engl J Med 2014; 371:1459.
32. Villanueva C, Colomo A, Bosch A, et al. Transfusion strategies
for acute upper gastrointestinal bleeding. N Engl J Med 2013;
368:11.
33. Jairath V, Kahan BC, Gray A, et al. Restrictive versus liberal blood
transfusion for acute upper gastrointestinal bleeding
(TRIGGER): a pragmatic, open-label, cluster randomised
feasibility trial. Lancet 2015; 386:137.

109
110
Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi: parenteral versus
oral supplement?

Shinta Oktya Wardhani


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Diperkirakan Anemia defisiensi besi (ADB) adalah
menurunnya jumlah produksi sel darah merah karena
berkurangnya cadangan besi dalam tubuh.1 Anemia terjadi
pada seperempat dari populasi dunia yaitu 8,8% dari
keseluruhan penyakit dimana ADB menjadi penyebab
terbanyak.2 Di Amerika diperkirakan kejadian ADB dialami oleh
1-2% seluruh populasi dewasa.4
Mengapa ADB ini penting untuk kita bahas, karena
ADB memiliki prevalensi yang tinggi, makin meningkat pada
orang tua, wanita, dan anak-anak. ADB menurunkan
kemampuan kerja karena sering disertai dengan adanya
kelelaha, gangguan kognitif, infertilitas yang akan menurunkan
kualitas hidup dan meningkatkan biaya kesehatan.2 ADB
banyak didapatkan pada beberapa penyakit kronis seperti
Ceiac disease, penyakit Inflammatory Bowel Disease(IBD),
penyakit gagal ginjal kronis dan penyakit gagal jantung

111
kongestif memiliki resiko tinggi menderita anemia defisiensi
besi yang akan mempengaruhi outcome dari penyakit kronik
tersebut.2 ADB berhubungan dengan trombositosis reaktif
yang meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli.2

Patogenesis ADB
Zat besi merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk membentuk haemoglobin.
Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu2,3:
1. Zat besi dalam hemoglobin.
2. Cadangan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin
3. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
4. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti
mioglobin dan beberapa enzim antara lain sitokrom,
katalase, dan peroksidase.
Zat besi terikat dalam haemoglobin memiliki fungsi khusus,
yaitu mengangkut oksigen untuk metabolisme jaringan.
Sebagian lain zat besi terikat dalam sistem retikuloendotelial
(RES) dihati dan sumsum tulang sebagai depot besi (cadangan).
Sebagian kecil zat besi dijumpai sebagai transporting iron
binding protein (transferin) dan sedikit sekali didapati dalam
enzim katalisator pada proses metabolisme tubuh. Pada
keadaan ADB maka fungsi-fungsi tersebut akan terganggu.2

112
Gambar 1. Metabolisme zat besi3

Berdasarkan patogenesisnya, etiologi ADB dikelompokkan


menjadi intake besi yang inadekuat, penurunan absorbsi zat
besi, peningkatan kebutuhan zat besi dan peningkatan
kehilangan zat besi tabel 1.1,2
Tabel 1. Etiologi ADB1-5
Intake zat besi (iron) Inadekuat
• Malnutrisi
• Pasien dengan nutrisi parenteral
Penurunan absorbsi zat besi (iron)
• Celiac disease
• Reseksi Duodenum atau gastric bypass surgery (gastrectomy)
• Inflamatory bowel disease
• Gastritis karena Helicobacter pylori
• Gastritis autoimun
• Reseksi intestinal
Peningkatan kebutuhan zat besi (iron)
• Kehamilan dan menyusui
• Anak-anak
• Penggunaan Erythropoietin stimulating agent (gagal ginjal kronik)
Peningkatan kehilangan zat besi (iron)
Ginekologi
• Meno(methro)rrhargia (myoma uteri, endometriosis, disfunctional
uterine bleeding)
113
• Kanker uterus
Gastrointestinal
• Keganasan
• Ulkus gaster dan duodenum
• Penggunaan anti infkamasi non steroid
• Varises esophagus
• Esofagitis, gastritis erosive
• Mallory-Weiss syndrome
• Diverticulitis
• Hemorrhoid, fisura ani dan ulkus rekti
• Colitis infeksius
• Inflamatory bowel disease
Infeksi Parasit (hookworm, tapeworm)

Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan anemia dan
defisiensi zat besi.1 Manifestasi klinis ADB adalah adanya gejala
dan simtoms anemia yang ditandai dengan keluhan cepat
Lelah, pucat, takikardi/palpitasi dan takipneu serta manifestasi
defisiensi zat besi (Gambar 2) yaitu atrofi papil lidah,
koilonychia dan Cheilosis.6 Pada anak-anak bisa disertai
gangguan pertumbuhan dan gangguan kognitif.6

Atrofi Papil Lidah Koilonychia (kuku sendok) Cheilosis


Gambar 2. Manifestasi Klinis ADB.6

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, gambaran sel


darah yang hipokrom mikrositer, MCV (mean corpuscular
114
volume) yang rendah membantu untuk mengarahkan
diagnosis ADB, meskipun 40% dari kasus ADB memiliki
gambaran darah tepi normokrom normositer.1,3 Adanya
peningkatan RDW (Red distribution width) yang menunjukkan
adanya variasi ukuran dari sel darah merah atau disebut juga
gambaran anisositosis juga mendukung diagnosis ADB.4

Standart baku emas diagnosis anemia defisiensi besi adalah


pemeriksaan Prussian blue dari aspirasi sumsum tulang.
Dengan kriteria diagnosis didapatkan kurang dari 10%
normoblast yang ter cat oleh prusian blue.7 Tetapi karena
pemeriksaan ini bersifat invasif, tidak nyaman bagi pasien dan
mahal, maka beberapa pemeriksaan lain seperti feritin serum
saat ini merupakan pemeriksaan yang diyakini sebagai
pemeriksaan penunjang yang non invasif dalam mendiagnosis
ADB, karena feritin mampu menggambarkan proporsi total zat
besi dalam tubuh.5 Kadar feritin yang rendah patognomonis
untuk mendiagnosis ADB. Sayangnya pemeriksaan ferritin
serum ini menjadi tidak sensitif pada orang tua dimana
kejadian ADB pada orang tua sering dikaitkan dengan adanya
penyakit kronik seperti inflamasi, infeksi dan kanker yang bisa
menyebabkan peningkatan ferritin serum.5 Pemeriksaan
penunjang lain untuk mendiagnosis ADB dan menyingkirkan
diferensial diagnosis anemia pada penyakit kronis (Infeksi
kronis, inflamasi dan kanker) adalah serum iron, transferrin,
saturasi transferrin, soluble transferrin receptor dan sitokin.5

115
Tabel 2. Parameter laboratorium untuk membedakan ADB &
anemia kronis5
Anemia Kronis
ADB
Infeksi Kronis Kanker Inflamasi
Iron serum Rendah Rendah Rendah Rendah
Transferin Rendah/Normal Rendah/Normal Rendah/Normal Meningkat
Saturasi
Rendah Rendah Rendah Rendah
Transferin
Feritin(ng/ml
>30 >30 >30 <30
)
Sitokin Meningkat Meningkat Meningkat Normal

Pemeriksaan Ret-He (Reticulocyte Haemoglobine Equivalent)


merupakan pemeriksaan yang sederhana, non invasive untuk
skrining ADB.7,8 Ret-He mendeteksi kadar hemoglobin dalam
retikulosit yang mampu menjadi indicator defisiensi zat besi
dan gangguan eritropoiesis karena kekurangan zat besi.8
Pemeriksaan ini Penelitian yang dilakukan oleh Wardhani,
menunjukan Ret-He mampu memprediksi cadangan besi
sumsum tulang dengan nilai cut off >28,8. Artinya bahwa pada
nilai Ret He>28,8 memiliki peluang untuk menunjukkan
cadangan besi sumsum tulang positif dengan sensitifitas 72%
dan spesifisitas 68%.8
ret-HE
100

80

Sensitiv ity : 72.0


Specif icity : 68.0
Criterion: >28.8
60
Sensitivity

40

20

0
0 20 40 60 80 100
100-Specificity

Gambar 3. Kurva ROC Ret-He8


116
Derajat defisiensi zat besi berdasarkan perkiraan simpanan zat
besi jaringan yang bisa di gambarkan oleh hasil pemeriksaan
laboratorium di jabarkan pada gambar 4.9

Serum Feritin g/1 60 20 <12 <12 <12 <12 <12


Cat Prussian blue iron
+2 +1 0 0 0 0 0
jaringan
Saturasi transferrin 35 35 35 20 <16 <16 <16
Hb 14 14 14 14 13 <12 <12
MCV 90 90 90 90 88 86 <82
Gambar 4. Derajat Defisiensi zat besi.9

Untuk mempermudah diagnosis ADB, pilihan pemeriksaan


penunjang dilakukan sesuai algoritma diagnosis ADB.1

Gambar 5. Algoritma Diagnosis ADB.1

Setelah diagnosis ADB ditegakkan, tahapan selanjutnya adalah


investigasi penyakit yang mendasari ADB gambar 6.10
117
Gambar 6. Algoritma investigasi penyakit yang mendasari ADB.9

PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit yang mendasari
Terapi penyakit yang sering mendasari ADB seperti kelainan
ginekologi yang menyebabkan terjadinya menometrorargia,
atau perdarahan gastrointestinal harus mendapatkan terapi
definif terlebih dahulu sebelum kita lakukan terapi pemberian
preparat besi.1

Terapi Preparat Besi


Setelah diagnosis ADB ditegakkan Bersama-sama dengan
terapi penyakit yang mendasari, perlu segera dilakukan terapi
terhadap defisit dari zat besi (tabel 3).3 Ada dua pilihan terapi

118
koreksi defisit zat besi yaitu pemberian suplementasi besi per
oral dan intravena.3
Tabel 3. Penghitungan Defisiensi dan dosis Zat besi (iron)
intravena.3
Formula menghitung defisiensi zat besi (iron)
Total defisiensi zat besi (mg) = Berat badan (kg) x (Hb Ideal – Hb saat ini
g/dL+ depot zat besi (500mg)
Formula menghitung Dosis iron intravena
Iron(mg) = 0,3 x berat badan(lbs) x (100-Hb sekarang (g/dl) x 100/Hb yang
diinginkan

Preparat besi oral (tabel 4) merupakan terapi yang lebih


disukai karena lebih aman dan murah. Terapi ini menjadi
pilihan apabila saluran pencernaan intak. Total dosis yang
direkomendasikan adalah 100-200mg elemen ion per hari.
Preparat besi oral ini diminum bersama dengan vitamin C
(asam askorbat) untuk mempercepat absorbsi.2,4 Efek samping
yang sering muncul pada pemberian preparat besi oral adalah
keluhan pada pencernaan seperti diare, konstipasi, mual dan
nyeri perut, karena iron dapat menyebabkan injuri lumen
usus.4,5 Efek samping dapat dikurangi dengan cara
memberikan preparat besi Bersama dengan makanan.
Sayangnya hal ini akan menurunkan efektivitas pengobatan.2
Tabel 4. Sediaan Preparat besi oral.4
Preparat besi oral Dosis Tablet Elemen Iron
Ferrous Sulphate 325mg 65mg
Ferrous Gluconate 325mg 36mg
Ferrous fumarate 325mg 106mg

119
Bila dibutuhkan respon terapi yang lebih cepat, atau pasien
mengalami intoleransi preparat besi oral, atau pada pasien
dengan IBD (Inflamatory Bowel Disease), pasien dengan
uptake pencernaan terganngu (paska reseksi gaster dan
duodenum), atau pada pasien dimana kehilangan zat besi
dalam jumlah besar masih berlangsung (menomethrorrargia)
maka pemberian preparat besi intravena (tabel 5) lebih
direkomendasikan.4
Tabel 5. Sediaan preparat besi intravena.4
Preparat besi intravena Dosis

Low Weight Iron Dextran 500-1000mg dalam 1 jam

Ferric Gluconate 125mg dalam 20-30 menit

Iron Sucrose 200mg dalam 60 menit

Ferumoxytol 510mg dalam 15 menit

Ferric carboxymaltose 750mg dalam 15 menit

Pro dan kontra mengenai pemilihan bentuk preparat besi oral


dan intravena dijelaskan secara singkat pada tabel 6.2
Tabel 6. Pro dan Kontra pemberian preparat besi oral da
intravena.2
Preparat Besi Oral

Pro Kontra
• Mudah didapatkan di apotik & toko • Absorbsi zat besi lambat
obat • Efek samping pencernaan
• Nyaman menyebabkan kepatuhan pasien
• Murah menurun.
• Efektif bila tidak ada gangguan • Pada beberapa penyakit tertentu
pencernaan uptake zat besi terganggu (pada
autoimun gastritis)
• Resiko injuri mukosa saluran cerna
yang beresiko meningkatkan
terjadinya eksaserbasi pada pasien
IBD
• Menyebabka perubahan microbiota
usus dan resiko potensi tumorogenic
Preparat besi intravena

120
Pro Kontra
• Waktu pengembalian defisit zat • Pemberiannya harus dilakukan oleh
besi lebih cepat. tenaga medis di RS sehingga biaya nya
• Aman asalkan bukan High lebih mahal.
molecular iron dextran. • Resiko menyebabkan kelebihan zat
• Efektif pada pasien dengan besi dan merupakan oksidatif stress
gangguan absorbs usus sementara.
• Resiko terjadi reaksi anafilaksis
terutama pada sediaan yang
mengandung dekstran.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Abhilashini untuk


membandingkan pemberian preparat besi oral (ferrous
sulphate) 200mg 3 kali sehari dengan preparat besi intravena
(iron sucrose) 200mg setiap dua hari sekali menunjukkan hasil
pemberian preparat besi intravena untuk terapi ADB pada
kehamilan memberikan respon pengobatan yang lebih cepat
dan efektif dengan efek samping yang lebih rendah.10
Suatu sistematik review meta analisis untuk membandingkan
penggunaan preparat besi oral dibandingkan intravena pada
pasien gagal ginjal kronis, didapatkan hasil efikasi yang
bervariasi mengenai perbaikan hb dan saturasi transferrin,
tetapi setelah 6 bulan terapi secara signifikan (p=0,01), rata-
rata ferritin serum meningkat dari 676mcg/L menjadi
723mcg/L pada kelompok pasien yang mendapat terapi
preparat besi intravena sedangkan yang mendapat preparat
besi oral mengalami penurunan ferritin serum dari 552mcg/L
menjadi 446mcg/L.11
Dari data-data tersebut, kondisi pasien dan penyakit komorbid
pada pasien perlu menjadi pertimbangan penting dalam
pemilihan preparat besi untuk terapi ADB.

121
Algoritma terapi ADB pada gambar 7 dapat menjadi
pertimbangan penentuan pemilihan terapi ADB dengan
preparat oral atau Iron intravena serta kebutuhan terhadap
Deficiency Anemia (IDA) | March 2018

transfusi darah pada ADB, karena batas indikasi transfusi darah


pada ADB A
APPENDIX – TREATMENT
masih belumAjelas.
LGORITHM 12
IDA
IDD g
ians
oisn
adr
Ta
e e
tmtA
n o
lgr m
ith
Hemodynamically stable patient
Suspect IDA

Possible Causes of IDA


Bleeding Confirm Diagnosis *Ferritin is diagnostic test of choice for IDA but may be elevated
Menorrhagia Suggested Cut-offs** with inflammatory conditions.
Suggested cut-offs pediatric specific**
Cancer Hb (males) <135 g/L MCV is also diagnostic with a recent drop and more readily
Hb (male 12-14 y.o.) <115 g/L
GI source HB (females) <120 g/L available in acute care (CBC).
Hb (male & female <12 y.o.) <115 g/L
Inadequate intake AND one OR both of: **Cut-off values vary by labs and references used. These are
Ferritin (male & female <12 y.o.) <10 µg/L
Dietary MCV <75 fL (previously normal) suggested cut-offs only. USE THE LOCAL LAB CUT-OFF
Pregnancy Ferritin* 30 µg/L (male) <13 µ/L (female) REFERENCE LEVELS FOR ASSESSMENT.
Elderly
Inadequate absorption
Celiac ǂ
shortness of breath, chest pain, light-
Assess cause of IDA and Treat IDA based on Hb level and symptoms
IBD headed, syncope, suspected ongoing
Other GI pathology bleeding
Bariatric surgery
Drug interactions Not Symptomatic Symptomaticǂ
CKD
Elderly

Hb >90 g/L Hb 60-90 g/L Hb <60 g/L† Hb <70 g/L Hb 70-100 g/L
or Hb <80 g/L + pre-existing cardiac
Address cause disease/evidence of impaired tissue oxygenation
of IDA
PO iron PO or IV iron*** 1 unit RBC
(IV iron # ideally in Reassess for additional
out-pt IV clinic vs ED) 1 unit RBC Consider 1
†Consider referral to pediatric hematology if the pediatric
patient is not tolerating oral iron and/or not improving. IV unit RBC
iron should only be administered by specialist.
***Oral iron is a suitable option to IV iron if: Not
tried/failed in the past, no contraindications and/or May need to consider 1 IV iron ideally in IV iron ideally in
adherence concerns. unit RBC out-pt IV clinic out-pt IV clinic

Check iron stores 2-4 weeks post therapy for repletion, if not replete, re-investigate cause.
Check iron stores after 2-4 m onths to ens ureID does n’t recur,ifrecurs re-investigate and/or refer for further assessment.
Continue with iron therapy for additional 4-6 months if Hb normal.
Maintenance with a low dose of iron therapy may be required for patients with ongoing needs e.g., menses, dietary, growth spurts.

Gambar 7. Algoritma Pengobatan ADB, pertimbangan pemilihan


These recommendations are systematically developed statements to assist practitioner and patient decisions about appropriate health care for specific clinical circumstances. They
should be used as an adjunct to sound clinical decision making.
terapi preparat zat besi oral atau intravena.12
Clinical Practice Guideline Page 18 of 21 Appendix A – Treatment Algorithm

Tujuan terapi pemberian preparat besi adalah mencapai iron


stores yang normal dan meningkatkan haemoglobin mencapai
nilai normal.12 Untuk mencapai tujuan terapi tersebut
dibutuhkan monitoring atau pemantauan respon pengobatan
preparat besi. Sampai sat ini belum ada rekomendasi standart
untuk follow up terapi suplementasi preparat besi pada terapi
ADB.1,11 Meskipun demikian di sarankan untuk melakukan
pemeriksaan darah tepi minimal 3 bulan setelah pengobatan
dan secara rutin diperiksa tiap 3 bulan selama 1 tahun.1 Bila
telah tercapai haemoglobin yang normal disarankan

122
melakukan evaluasi lagi 12 bulan setelah haemoglobin
normal.1 Berikut ini kami tampilkan alternatif algoritma untuk
evaluasi paska terapi preparat besi yang bisa digunakan
sebagai acuan monitoring pengobatan.13

Gambar 8. Algoritma monitoring dan follow up terapi ADB dengan


preparat besi oral dan intravena.13

PROGNOSIS
ADB memiliki prognosis baik jika penyebab anemia nya murni
karena kekurangan zat besi dan penyakit yang mendasari
diketahui dan di terapi. Gejala dan manifestasi ADB akan
membaik dengan pemberian terapi preparat besi.13

KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang paling sering
terjadi. Setiap ADB ditegakkan maka perlu dilanjutkan dengan
identifikasi penyakit yang mendasari. Penatalaksanaan anemi
meliputi terapi replacement zat besi yang bertujuan untuk
123
mencapai hemoglobin yang normal dan memperbaiki
penyimpanan cadangan besi. Untuk mencapai tujuan tersebut
terapi utama nya adalah dengan melakukan koreksi terhadap
penyakit yang mendasari dan pemberian preparat besi.
Modalitas terapi preparat besi yang ada bisa diberikan secara
per oral dan parenteral, dimana pemilihan nya sangat
dipengaruhi oleh kondisi pasien dan adanya komorbiditas yang
menyertai. Prognosis ADB baik jika penyakit yang mendasari
bisa teratasi.

Referensi
1. Short MW and Domagalski JE, Iron Deficiency Anemia:
Evaluation and management Am Fam Physician. 2013;87(2):98-
104.
2. Jimenez K, Kulnigg-Dabsch S, Gasche C, Management of iron
deficiency anemia, Gastroenterology & Hepatology vol.11(4),
April 2015.
3. Wright JA, Richards T, Srai SKS, The role of iron in the skin and
cutaneous wound healing, frontiers in pharmacology, July
2014.vol5(156).
4. Sullivan S, Austhof SI, Managing iron deficiency anemia in
patients on home parenteral nutrition, Ospen vol25(3) 2016.
5. Polin V dkk, Iron deficiency: From diagnosis to treatment.
Digestive and Liver Disease 45(2013):803-809.
6. Carter P, Anemia, Clinical Medicine, April 2011.
7. Metha S et all, Reticulocyte hemoglobine via a vis serum ferritin
as a marker of bone marrow iron stores in iron deficiency
anemia, J Assoc. Physicians India, 2016 Nov;64(11):38-42
8. Wardhani SO dan Oehadian A, Reticulocyte hemoglobine
equivalent (Ret-He) sebagai parameter cadangan besi sumsum
tulang, Kumpulan Naskah Abstrak KOPAPDI XVII Surakarta
2018.
9. Edmonton, AB, Toward optimized practice iron deficiency
anemia, http://www topal bertadoctors.org, March 2018.
10. Abhilashini GD, Sagili H, Rani R, Intravenous Iron sucrose and
124
oral iron for the treatmentof iron deficiency anemia in
pregnancy, Journal of Clinical and Diagnostic Research 2014
May Vol.8(5): OC04-OC07.
11. Canadian agency for drug drug and technologies in health, Oral
iron for anemia: a review of the clinical effectiveness and
guideline, CADTH Rapid response service, Januari 2016.
12. Goddard AF, James MW, Mclntyre AS, Scott BB, Guidelines for
the management of iron deficiency anemia, Gut 2011;60:1309-
1316.
13. Reinisch W, Staun M, Bhandari S, Munoz M, State of the iron:
How to diagnose and efficiently treat iron deficiency anemia in
inflammatory bowel disease. Journal of Chron’s and Colitis
(2013) 7,429-440

125
126
Diatesis Hemorhagik pada Wanita

Agung Firmansyah Sumantri


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Abstrak
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi
yang timbul karena kelainan fungsi hemostasis. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan.
Dilihat dari patogenesisnya maka diathesis hemostatis
hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik
karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis
hemoragik karena faktor koagulasi.
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik.
Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang
baik dan interaksi yang kompleks antar komponennya, yaitu
endotel, trombosit, dan kaskade koagulasi.
Pendekatan diagnosis diastesis hemoragik diawali
anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah
defek yang dicurigai akuisita atau kongenital. Pemeriksaan
penunjang yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan
gangguan perdarahan adalah (1) waktu perdarahan/bleeding
time, (2) hitung trombosit, (3) waktu protrombin atau PT, dan
(4) waktu tromboplastin parsial atau PTT.
Diatesis hemoragik yang sering terjadi pada wanita
diantaranya adalah penyakit Von Willebrand, idiopatik
127
trombositopenia purpura, perdarahan abnormal uterus.
Etiologi perdarahan abnormal uterus dibagi 2 yaitu kelainan
struktural (Polyp, Adenomyosis, Leimyoma, Malignancy) dan
non struktural (Coagulopathy, Ovulatory dysfunction,
Endometrial, Endometrial, Iatrogenic, Not yet cllasified).
Kata kunci: diatesis hemoragik, hemostasis, perdarahan
abnormal

Pendahuluan
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi
yang timbul karena kelainan faal hemostasis. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan.
Dilihat dari patogenesisnya maka diathesis hemostatis
hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik
karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis
hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik.
Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang
baik dan interaksi yang kompleks antar komponennya, yaitu
endotel, trombosit, dan kaskade koagulasi. Sel endotel
mengatur beberapa aspek hemostasis. Dalam keadaan normal
sel endotel memperlihatkan sifat antitrombosit, antikoagulan,
dan fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau aktivasi, sel endotel
memperlihatkan fungsi prokoagulan. Keseimbangan antara
aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel endotel
menentukan apakah akan terjadi pembentukan trombus,
peningkatan pembentukan trombus, ataukah disolusi
trombus.(3)

128
Hemostasis
Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua
mekanisme fisiologi yang digunakan oleh tubuh untuk
melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah
proses tubuh yang secara simultan menghentikan perdarahan
dari tempat cedera, sekaligus mempertahankan darah dalam
keadaan cair di dalam komponen vaskular.(3,4) Sistem
hemostasis berfungsi memulai pembekuan darah dan
menghentikan perdarahan. Koagulasi merupakan proses
merubah darah menjadi bekuan darah seperti agar. Sistem
hemostasis juga mencegah pembekuan yang tidak diinginkan
dan trombosis. Kelainan pada hemostasis dapat menimbulkan
perdarahan atau trombosis.(3,4)
Rangkaian peristiwa pada hemostasis pada lokasi jejas
vaskular secara umum, yaitu: (3,4)
• Setelah jejas awal terjadi terdapat periode vasokonstriksi
arteriol yang singkat, yang sebagian besar disebabkan oleh
mekanisme refleks neurogenik dan diperkuat oleh sekresi
faktor lokal, seperti endotelin (vasokontriktor kuat yang
berasal dari endotel). Namun efeknya berlangsung sesaat,
dan perdarahan akan terjadi kembali karena efek ini tidak
dimaksudkan untuk mengatasi trombosit dan sistem
pembekuan. (gambar 1.A)
• Jejas endotel juga membongkar matriks ekstraseluler
(ECM) subendotel yang sangat trombogenik, yang
memungkinkan trombosit menempel dan menjadi aktif,
yaitu mengalami suatu perubahan bentuk dan melepaskan
granula sekretoris. Dalam beberapa menit, produk yang
disekresikan telah merekrut trombosit tambahan

129
(agregasi) untuk membentuk sumbat hemostatik. Kejadian
ini merupakan proses hemostasis primer. (gambar 1.B)
• Faktor jaringan, suatu faktor prokoagulan dilapisi
membran yang disintesis oleh endotel, juga dilepaskan
pada lokasi jejas. Faktor ini bekerja bersama dengan faktor
trombosit yang disekresikan untuk mengaktifkan kaskade
koagulasi, dan berpuncak pada aktivitas trombin.
Selanjutnya trombin akan memecah fibrinogen dalam
sirkulasi menjadi fibrin tidak terlarut, menghasilkan suatu
deposisi anyaman fibrin. Trombin juga menginduksi
rekruitmen trombosit dan pelepasan granula lebih lanjut.
Rangkaian hemostasis sekunder ini memerlukan waktu
lebih lama dibandingkan dengan pembentukan trombosit
awal. (gambar 1.C)
• Fibrin terpolimerisasi dan agregat trombosit membentuk
suatu sumbat permanen yang keras untuk mencegah
perdarahan lebih lanjut. Pada tahapan ini, mekanisme
kontraregulasi (misalnya aktivator plasminogen jaringan
(t-PA) digerakan untuk membatasi sumbat hemostatik
pada lokasi jejas. (Gambar 1.D)

Gambar 1. Proses Hemostasis(3)

130
Pendekatan Diagnosis Diastesis Hemoragika
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menentukan apakah
defek yang dicurigai akuisita atau kongenital (diwariskan) dan
mekanisme mana yang tampaknya berperan (mekanisme
primer atau sekunder). Anamnesis harus menentukan letak
terjadinya perdarahan, keparahan, dan lamanya perdarahan,
umur awitan, apa saja yang telah dikerjakan untuk
mengendalikan perdarahan, apakah perdarahan spontan atau
diimbas, riwayat keluarga, anamnesis obat, pengalaman
pasien dengan trauma terdahulu (misalnya, tindakan bedah,
biopsi, ekstraksi gigi). Pemeriksaan fisik menentukan sifat
perdarahan (misalnya petekie, ekimosis, hematoma,
hemartrosis, perdarahan selaput lendir) dan mengidentifikasi
tanda-tanda penyakit primer sistemik. Manifestasi perdarahan
khas pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis primer
(interaksi trombosit dan pembuluh darah) adalah perdarahan
selaput lendir (misalnya epistaksis, hematuria, menoragia,
gastrointestinal), petekie di kulit dan selaput lendir, dan lesi
ekimosis kecil-kecil yang multipel. Tanda perdarahan khas
pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis sekunder
(sistem koagulasi) adalah perdarahan-dalam ke dalam sendi
dan otot, lesis ekimosis yang luas dan hematoma.(2,5)
Berbagai pemeriksaan yang digunakan dalam evaluasi
awal pasien dengan gangguan perdarahan adalah (1) waktu
perdarahan/bleeding time mencermikan watu yang diperlukan
pada pungsi kulit untuk menghentikan perdarahan, (2) hitung
trombosit, (3) waktu protrombin atau PT yang diukur dalam
detik guna menguji keadekuatan jalur pembekuan eksterinsik
dan umum yang mencerminkan waktu yang dibutuhkan

131
plasma untuk membeku, (4) waktu tromboplastin parsial atau
PTT guna menguji pembekuan interinsik dan umum.(2,5)

Diastesis Hemoragik karena Faktor Vaskuler


Diatesis hemoragik karena faktor vaskuler adalah
penyakit – penyakit dengan kecenderungan perdarahan yang
disebabkan oleh kelainan patologik pada dinding pembuluh
darah. Diatesis hemoragik yang murni disebabkan oleh
fragilitas vaskular ditandai oleh (1) petekie dan ekimosis yang
tampaknya muncul spontan di kulit dan selaput lendir atau
akibat trauma ringan, (2) hitung trombosit dan uji koagulasi
(PT, APTT) yang normal, dan (3) waktu perdarahan yang
biasanya normal. Selain itu, seperti yang akan dibahas
selanjutnya, koagulopati konsumtif kadang-kadang berakar
pada penyakit sistemik yang menyebabkan permukaan sel
endotel memudahkan terjadinya trombosis. Kelainan ini dapat
dibagi, menjadi: (2,5,6)
1. Herediter
Hereditary hemorrhagic teleangiectasia. Keadaan ini
bersifat dominan autosomal dengan banyak pembengkakan
mikrovaskuler yang terdilatasi, biasanya pada orofaring dan
saluran pencernaan, yang mengalami perdarahan secara
spontan atau setelah trauma minor. Pengobatan lokal
misalnya (packing hidung) dapat mengontrol perdarahan,
asam traneksamat membantu mengurangi perdarahan.
Defesiensi besi kronik sering terjadi. Sindrom Ehlers-Danlos,
sindrom Marfan, dan gangguan jaringan ikat langka lainnya.
2. Didapat
• Purpura simpleks
• Purpura senilis

132
• Purpura alergik, terdiri atas :
a. Sindrom Henoch – Schonlein
Penyakit ini adalah penyakit yang lebih sering dijumpai pada
anak- anak akibat kompleks imun setelah infeksi akut.
Timbulnya suatu Ig A – mediated vasculitis. Gejalanya berupa
purpura, rasa gatal, pembengkakan sendi, nyeri abdomen, dan
hematuria. Biasanya bersifat self limiting, tapi kadang – kadang
berkembang menjadi gagal ginjal.
b. Purpura pada arthritis rematoid, SLE, poliarteritis
nodosa dan penyakit kolagen lain karena terjadinya
vaskulitis.
• Purpura karena infeksi, misalnya pada sepsis akibat infeksi
meningokokus.
• Scurvy defisiensi vitamin C yang menimbulkan kerusakan
bahan interseluler (kolagen) sehingga pembuluh darah
mudah pecah, sehingga terjadi perifollicular petekie.
• Purpura karena steroid yang mengakibatkan atrofi
jaringan ikat penyangga kapiler bawah kulit sehingga
pembuluh darah mudah pecah.

Diatesis Hemoragik karena Faktor Trombosit


Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa
dengan peningkatan fragilitas pembuluh darah, yaitu terdapat
petekie dan ekimosis, serta mudah memar, mimisan,
perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia.
Demikian juga PT dan APTT normal, tetapi berbeda dengan
gangguan vaskular, waktu perdarahan bisa memanjang. (2,5,6)
Diatesis hemoragik karena kelainan trombosit dapat dibagi
menjadi 2 golongan yaitu :
1. Trombositopenia, yaitu penurunan jumlah trombosit
133
2. Trombopati, yaitu kelainan fungsi trombosit
Penyebab trombositopenia
Penyebab trombositopenia pada dasarnya dapat dibagi
menjadi 4 golongan besar, yaitu :
I. Gangguan Produksi :
• Depresi selektif megakariosit karena obat, bahan
kimia atau infeksi virus
• Sebagai bagian dari “bone marrow failure” umum,
contoh: anemia aplastik, leukimia akut, sindrom
mielodisplastik, infiltrasi sumsum tulang (limfoma,
carcinoma)
II. Peningkatan destruksi trombosit :
• Autoimune thrombocytopenic purpura, atau
idiopatik trombositopenia purpura (ITP)
• ITP sekunder, misalnya pada SLE, CLL, Limfoma
• Alloimune thrombocytopenic purpura, misalnya
neonatal thrombocytopenia
• Drug Induced Immune thrombocytopenia
• Diseminated intravascular coagulation (DIC)
III. Distribusi tidak normal
Sindrom hipersplenism di mana terjadi pooling trombosit
dalam lien
IV. Akibat pengenceran (dilutional loss): Akibat transfusi
massif

Diatesis Hemoragik karena Faktor Koagulasi


Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh
gangguan pembekuan darah berbeda dalam beberapa aspek
yang disebabkan oleh kelainan dinding pembuluh darah atau
trombosit. PT, APTT, atau keduanya memanjang, sedang waktu
134
perdarahan normal. Petekie dan tanda lain perdarahan akibat
trauma ringan biasanya tidak ditemukan. Namun dapat terjadi
perdarahan masif setelah prosedur operatif atau trauma berat.
Selain itu, yang khas adalah perdarahan pada bagian tubuh
yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah.(2,5,6)

Diagram 1. Pendekatan Diagnosis Diatesis Hemoragik(6)

Diatesis Hemoragik pada Wanita


1. Penyakit Von Willebrand (PVW)
a. Definisi
Penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan
perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi faktor von
willebrand (FVW). FVW membantu trombosit melekat pada
dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang di
perlukan untuk pembekuan darah yang normal. PVW disebut
juga sebagai pseudohemofilia atau hemophilia vaskular.(7,8)

135
Faktor von willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein
multimer heterogen dalam plasma. Faktor tersebut memiliki
dua fungsi utama, yaitu:
1. Memudahkan adhesi trombosit ke subendotel pembuluh
darah
2. Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu
protein koagulasi darah yang penting.

b. Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan perdarahan herediter
yang paling umum. Diturunkan sebagai satu sifat (trait)
dominan autosomal dengan prevalensi sekitar 1/100 sampai
3/100.000 orang. Namun, PVW berat dengan riwayat
perdarahan yang mengancam jiwa terjadi pada kurang dari 5
orang per 1 juta penduduk di Negara Barat. (7,8)

c. Klasifikasi dan Patofisiologi


Penyakit von Willebrand disebabkan oleh kelainan
kuantitatif dan atau kualitatif FVW, suatu protein faktor
pembekuan yang diperlukan untuk interaksi antara trombosit
dengan dinding pembuluh darah dan untuk pembawa faktor
VIII., defisiensi faktor VIII. Terdapat tiga varian utama PVW,
masing-masing berbeda dalam beratnya gejala. (7,8)
• Kelainan kuantitatif FVW
Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW.
Identifikasi kelainan gen sulit pada tipe 1 dan 3 PVW.
Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, dan menjadi
kasus terbanyak. Pada PVW tipe 1,40%/ anggota
keluarga kelompok ini membawa alele PVW namun

136
dengan kadar PVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang
terberat. Bentuk ini jarang terjadi. (7,8)

• Kelainan kualitatif FVW


Kelainan kualitatif FVW meliputi tipe 2 terdiri dari
subtype 2A, 2B, 2M, dan 2N. Kelainan tipe 2 meliputi
ringan sampai sedang. Tipe 2A ditandai dengan
penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan
termasuk subtype IIA dan IIC. Pada tipe 2B afinitas FVW
terhadap GP1b trombosit meningkat. Tipe 2 N ditandai
dengan kelainan ikatan FVW pada faktor VIII. Berikut ini
tabel klasifikasi penyakit von willebrand. (7,8)

Gambar 2. Penyakit Von Willebrand(7)

d. Gambaran Klinik
Gejala yang paling sering terjadi meliputi perdarahan
gusi, hematuria, epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah
dalam feses, mudah memar, dan menorragi. Pasien PVW
simtomatik, biasanya pada tampilan klinis ditemukan adanya

137
perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar,
menorragi, dan perdarahan gusi dan intestinal. Pasien dengan
kadar faktor VIII yang sangat rendah menunjukkan hemartrosis
dan perdarahan jaringan dalam tubuh. PVW dapat diturunkan
sebagai satu sifat dominan atau resesif autosomal. Terdapat
riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan
abnormal dan berat, namun ekspresi gen yang mengalami
mutasi sangat bervariasi. (7,8)
Orangtua dengan autosomal dominan, gejala yang nyata
pada keturunannya 30 – 40%. Pasien dengan gen resesif
tunggal khas asimtomatik dapat menunjukkan kadar aktivitas
antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda,
yang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen
cacat menghasilkan penyakit berat tipe PVW. Meskipun jarang,
PVW yang didapat terlihat pada pasien dengan keadaan
penyakit limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi
terhadap FVW. (7,8)

Tipe Gambaran
1 Defisiensi parsial
2A Varian FVW ditandai dengan kehilangan multimer BM tinggi
dan penurunan fungsinya yang tergantung trombosit
(platelet-dependent)
2B FVW dengan kehilangan multimer BM tinggi disebabkan oleh
peningkatan afinitas terhadap GP1b trombosit
2M Varian FVW dengan penurunan fungsi tergantung trombosit
yang tidak berkaitan dengan kehilangan multimer BM tinggi
2N Varian FVW dengan penurunan afinitas terhadap faktor VIII
3 Defisiensi berat FVW
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Von Willebrand(7)

138
e. Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan kecurigaan terhadap
gambaran klinis dan kecakapan pemanfaatan laboratorium.
Bila pasien kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila
PVW dianggap faktor penyebab perdarahan pada pasien, maka
lakukan pengobatan secara empiris dan pemeriksaan
laboratorium rumit ditunda sampai klinis stabil dan tidak
mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu. (7)

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola
diagnosis paling sering merupakan kombinasi, diantaranya: (7,8)
• Pemanjangan bleeding time (BT)
• Penurunan kadar FVW plasma
• Penurunan secara parallel kadar aktivitas biologi
diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin
• Penurunan aktivitas faktor VIII
Keberagaman hasil tes laboratorium dikaitkan pada
sifat-sifat kelainan yang heterogen pada PVW dan kadarnya
dalam plasma dipengaruhi oleh tipe golongan darah ABO,
kelainan sistem saraf pusat, system inflamasi, dan kehamilan.

Evaluasi Penapisan
Untuk menegakkan penyakit von Willebrand harus
dilakukan pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT. (7,8)
• PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila
penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit
sedang hitung trombosit normal.
• Defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII mengikat
FVW menyebabkan pemanjangan APTT, sekunder akibat

139
menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk
menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus
kadar FVW dan fungsinya.

Evaluasi Lengkap PVW


Diperlukan pemeriksaan aktivitas VIII:C, Ag:FVW,
aktivitas (fungsi) FVW (ristocetin cofactor activity), dan analisis
ukuran multimer FVW menggunakan elektroforesis gel
agarosa. (7,8)
• Aktivitas faktor VIII diperiksa dari kemampuan dilusi
plasma pasien untuk mengkoreksi pemanjangan APTT
pada plasma yang kekurangan faktor VIII.
• Ag:FVW dihitung dengan assay enzyme-like
immunosorbent atau immunoassay,
• Aktivitas FVW dihitung dengan mencampur berbagai
konsentrasi ristocetin dengan plasma pasien dan
trombosit normal dalam agregometer. Derajat aktivitas
FVW akan setara atau lebih rendah dibandingkan derajat
Ag:FVW.
• Bergantung subtipe PVW, analisis multimer FVW sangat
penting untuk diagnosis klasifikasi varian PVW tipe 2.
Klasifikasi PVW penting untuk perencanaan pengelolaan
klinis.
f. Terapi
Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfuse
darah, dan menghindari keadaan yang dapat menyebabkan
perdarahan. (7,8)

140
Pengelolaan segera
Beberapa faktor pemberat dapat menentukan beratnya
tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian, diagnosis yang
tepat dapat ditunda, namun tindakan harus disesuaikan
dengan sebanyak mungkin faktor pendorong yang potensial. (7)
Hal tersebut termasuk, diantaranya: (7,8)
• Menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit
• Secara empiris memberikan FVW, dan
• Transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya
perdarahan.
Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif.
Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun
kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol
perdarahan klinis yang berat.

Pengelolaan Jangka Panjang


Pasien dengan kelainan kongenital harus dinasihati untuk
menghindari obat yang memperberat kelainan fungsi dan
menyebabkan perdarahan, meliputi: (7,8)
• Aspirin dan analgesic nonsteroid adalah offender primer,
pasien-pasien penyakit von Willebrand dan trombasteni
menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan
pemberian aspirin dan memiliki risiko yang lebih besar
terhadap perdarahan klinis.
• Pasien juga harus diajari mengenai sifat kelainan mereka
• Pasien harus membawa serta tanda pengenal atau gelang
peringatan.
Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan
menentukan pilihan pengobatan. Misalnya, pasien PVW
dengan jumlah FVW yang tidak normal akan berespon

141
terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada
situasi tersebut, trombosit harus normal begitu kelainan FVW
diperbaiki. Pada pasien defek kongenital, metabolisme
trombosit memerlukan transfuse trombosit normal. Pada
pasien dengan defek yang didapat sekunder terhadap
pemberian obat, uremia, dan penyakit hati akan merespon
terhadap DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya.
Peningkatan kadar FVW dapat mengkompensasi kelainan yang
bersumber dari trombosit. (7,8)

2. Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)


a. Definisi
Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) adalah
trombositopenia yang menetap (trombosit darah perifer
<150.000/mm3) akibat adanya autoantibodi yang mengikat
antigen trombosit dan menyebabkan destruksi dini trombosit
pada system retikuloendotelial. (9,10)
b. Klasifikasi
Secara klinis dibagi 3 kelompok, yaitu: (9,10)
- ITP akut
ITP akut lebih sering terjadi pada anak, setelah infeksi
virus akut atau vaksinansi, sebagian besar sembuh
spontan, tetapi 5-10 % berkembang menjadi kronik
(berlangsung lebih dari 6 bulan). Diagnosis sebagian besar
melalui eksklusi. Jika trombosit lebih dari 20X109/l tidak
diperlukan terapi khusus. Jika trombosit kurang dari
20X109/l dpat diberikan steroid atau immunoglobulin
intravena.
- ITP Kronik
Kelainan dengan insidensi 58 – 66 kasus baru per satu
juta populasi pertahun di Amerika dan di Inggris. Pada
142
umumnya ditemukan pada orang dewasa dengan median
rata-rata usia 40-45 tahun. Perbandingan kejadian pada
wanita dan pria adalah 2-3:1.(4)(5) Biasanya tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik). Perjalanan penyakit
bersifat kronik.
- ITP Refrakter
Suatu ITP yang gagal diterapi dengan kortikosteroid
dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat
terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada
perdarahan. Kelompok ini mempunyai respon jelek
terhadap pemberian terapi.
c. Patogenesis
ITP berawal dari kelainan sel limfosit T regulator (T reg)
sehingga fungsi toleransi terhadap diri sendiri menjadi hilang
dan menjadi suatu autoimun. Oleh sebab itu, autoantibodi
(paling sering IgG) akan menempel pada antigen trombosit
(GpIIb/IIIa dan atau GpIb-IX). Hal tersebut menyebabkan
destruksi trombosit oleh makrofag di hepar dan limpa
meningkat setelah berikatan dengan Fcγ yang diekspresikan
oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar akan terjadi
mekanisme kompensasi dengan peningkaran produksi
trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit
terganggu akibat destruksi trombosit yang diselimuti
autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang atau
karena hambatan pembentukan megakariosit. Sekaligus
terjadinya penurunan respon kompensasi megakaryosit
(produksi menurun) akibat autoantibodi. Tetapi autoantibodi
hanya dapat dideteksi pada 40-80% kasus. (9,10)

143
Gambar 2 : Patogenesis ITP(9)
d. Gambaran Klinis
Mula tidak jelas (insidious) dengan perdarahan ptekie,
mudah memar dan menoragia pada wanita. Perdarahan
mukosa terjadi pada kasus berat tetapi perdarahan
intracranial jarang. Berat perdarahan pada ITP lebih kecil
daripada yang terlihat pada pasien, dengan derajat
trombositopenia sebanding dari kegagalan sumsum tulang, ini
disebabkan peredaran trombosit yang kebanyakan muda dan
berfungsi lebih baik pada ITP. Limpa teraba hanya dalam 10%
kasus.
Terjadi perdarahan ringan hingga sedang. Berat dan
frekuensinya berkorelasi dengan jumlah trombosit.(9,10)
• Trombosit >50.000/mm3 asimtomatik
• Trombosit 30.000-50.000/mm3 : luka memar atau
hematoma
• Trombosit 10.000-30.000/mm3 : perdarahan spontan,
menorrhagia, perdarahan memanjang.

144
• Trombosit <10.000/mm3 : perdarahan mukosa (epistaksis,
perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria), risiko
perdarahan system saraf pusat (umumnya subarachnoid)
Pada ITP kronis jarang terjadi infeksi atau pembesaran
limpa. Remisi spontan jarang terjadi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan: (9,10)
1. Gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau
mukosa
2. Pemeriksaan darah perifer : trombositopenia (<
150.000/mL) tanpa adanya sitopenia yang lain;
3. Apusan darah tepi : giant trombosit normal atau
meningkat
4. Sumsum tulang (bukan indikasi rutin): Selularitas
sumsum tulang normal, banyak megakaryosit
agranuler atau tidak mengandung trombosit.
e. Tatalaksana
1. Terapi umum
Hindari aktivitas fisik yang berlebihan untuk
mencegah trauma, terutama trauma kepa dan
menghindari penggunaan obat obatan yang
mempengaruhi fungsi trombosit. (9,10)
2. Tatalaksana medikamentosa
• Lini pertama :
- Glucocorticoid. Oral dexametason 40 mg selama 4
hari tanpa titrasi turun atau prednison dosis 1
mg/kgBB/hari per oral selama 2 minggu kemudin
titrasi turun. Tanda adanya respon baik ialah
peningkatan trombosit >30.000 /mm3, atau
trombosit >50.000/mm3 setelah 10 hari terapi awal,
dan berhentinya perdarahan.(9,10)

145
- Imunoglobulin IV. Berguna untuk menghambat
ikatan autoantibodi dengan trombosit yang
bersirkulasi. Diberikan dengan dosis 1g/kgBB/hari
selama 1-2 hari berturut turut. Imunoglobulin
digunakan bila terjadi perdarahan internal, adanya
purpura yang progresif, serta kadar trombosit
<5000/mm3. Walaupun sudah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari. (9,10)
• Lini kedua :
- Splenektomi. Dipertimbangkan pada pasien yang
simtomatik persisten dan trombositopenia berat
(trombosit <10.000/mm3. Setelah mendapat terapi
prednison. Respon bervariasi (50-80%).(9,10)
- Pada pasien yang tidak membaik dengan terapi
standar kortikosteroid dan imunoglobulin dapat
diberikan pilihan terapi rituximab, obat
imunosupresif (azatriopin, siklofosfamid), serta
golongan agonis reseptor trombopoietin /TPO-RA
(romiplastin, eltrombopag). (9,10)

146
Diagram 2. Algoritma tatalaksana ITP(10)

3. Perdarahan Uterus Abnormal


Perdarahan uterus abnormal (PUA) terjadi saat
periode menstruasi tidak teratur, saat perdarahan berlangsung
lebih lama dan lebih banyak dibandingkan normal, atau saat
terjadinya perubahan pola haid. Perdarahan uterus abnormal
adalah permasalahan yang umum terjadi dan mempunyai
manajemen penatalaksanaan yang kompleks.(11,12)
Siklus perdarahan yang normal mempunyai interval
waktu 21-35 hari dan berlangsung selama 2-7 hari. Volume
darah yang keluar bervariasi dari 35-150 ml. Perubahan
interval atau lamanya haid penting. Hipermenorea
(menorhagia) adalah perdarahan yang berlebihan dengan
interval normal. Polimenorea (metroragia) adalah perdarahan
irreguler atau terlalu sering. (11,12)
Perdarahan uterus abnormal meliputi perdarahan
uterus disfungsional dan perdarahan akibat kelainan
147
struktural. Terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan pola perdarahan uterus abnormal adalah
berdasarkan dari periode dan kuantitas jumlah perdarahan.
Perdarahan disfungsional dapat berupa anovulatoar, berupa
perdarahan ireguler secara tiba-tiba, atau ovulatoar dimana
jumlah perdarahan lebih banyak tetapi mempunyai periode
yang reguler (menoragia). Penyebab struktural meliputi
fibroid, polip, ca endometrium, dan komplikasi kehamilan,
dapat pula karena metode kontrasepsi.(11,12)
Penyakit-penyakit sistemik yang bisa menyebabkan
perdarahan abnormal termasuk penyakit perdarahan seperti
trombositopenia. Pada kelompok usia reproduksi, purpura
trombositopenia idiopatik. Pada remaja, perdarahan abnormal
yang disertai oleh trombositopenia disebabkan oleh leukemia
akut. Hipotiroidisme atau hipertiroidisme bisa menyebabkan
perdarahan abnormal. Penyakit hati dapat menyebabkan
perdarahan uterus abnormal dengan mengganggu
metabolisme estrogen yang beredar dalam sirkulasi. (11,12)
Diagnosis dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti. Kehamilan, penyakit tirod, dan penyakit darah
harus disingkirkan. Pemeriksaan panggul harus dilakukan
terlepas apakah pasien sedang mengalami perdarahan atau
tidak. Suatu penundaan sampai perdarahan berhenti bisa
memperlambat diagnosis keganasan dalam panggul.
Pemeriksaan Pap smear harus dibuat. Sonde uterus dan
pengambilan sample endometrium dalam paruh kedua siklus
haid bisa menolong diagnosis patologi dalam rongga rahim,
menyingkirkan kanker endometrium, atau memastikan
ovulasi. Harus dipertimbangkan membuat histeroskopi atau
histerosalpingografi (HSG) bila pemeriksaan pelvis normal dan

148
ovulasi telah dipastikan atau pasien tidak berhasil dengan
terapi hormon. Pemeriksaan ultrasonografi membantu
mengkonfirmasi adanya fibroid atau patologi lain. (11,12)

Diagram 2. Pendekatan Diagnosis PUA(11)


Kesimpulan
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang
timbul karena kelainan fungsi hemostasis. Dilihat dari
patogenesisnya maka diathesis hemostatis hemoragik dapat
digolongkan menjadi diathesis hemoragik karena faktor
vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis hemoragik
karena faktor koagulasi. Hemostasis mendasari terjadinya
diatesis hemoragik. Diatesis hemoragik yang sering terjadi
pada wanita adalah penyakit von willebrand, imun
trombositopenia purpura dan perdarahan abnormal uterus.

149
Daftar Pustaka
1. Rubin R. Bleeding Diathesis. In: Criner GJ, D’Alonzo GE (eds)
Critical Care Study Guide. Springer, New York. 2002;20:316-38
2. Drews RE. Approach to the Adult with a Bleeding Diathesis. In:
Leung LK, Tirnauer JS (eds). Uptodate. 2018
3. Cito S, Mazzeo MD, Badimon L. A Riview of Macroscopic
Thrombus Modeling Methods. Thrombosis Research.
2013;131:116-24
4. Leung LK. Overview of Hemostasis. In: Manucci PM, Tirnauer JS
(eds). Uptodate. 2018
5. Bashwari LA, Ahmed MA. The Approach to A Patient With
Bleeding Disorder: For The Primary Care Physician. J Family
Community Med. 2007;14(2):53-8
6. Journeycake JM, George R, Buchanan. Coagulation Disorder.
Pediatric in Review. 2003;24(3):83-91
7. Laffan MA, Lester W, O’Donnel JS, et al. The Diagnosis
and Management of Von Willebrand disease. British
Journal of Haematology, 2014;167:45
8. Lilicrap D, James P. Von Willebrand Disease: An
Introduction for the Primary Care Physician. World
Federation of Hemophilia. 2009: 1-7
9. Zufferey A, Kapur R, Semple JW. Pathogenesis and
Therapeutic Mechanism in Immune Trombocytopenia. J
Clin Med. 2017;6(16):1-21.
10. George JN, Arnold DM. Immune Thrombocytpopenia (ITP)
in Adults: Initial Treatment and Prognosis. In: Leung LK,
Tirnauer JS (eds). Uptodate. 2018
11. Committee on Practice Bulletins—Gynecology. Practice
bulletin no. 128: Diagnosis of Abnormal Uterine Bleeding
in Reproductive-Aged Women. Obstet Gynecol.
2012;120:197.
12. Munro MG, Critchley HO, Broder MS, et al. FIGO Classification
System (PALM-COEIN) For Causes Of Abnormal Uterine
Bleeding In Nongravid Women Of Reproductive Age. Int J
Gynaecol Obstet. 2011;113:3.

150
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Trombositosis

Dinny Gustina Prihadi


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Abstrak
Definisi trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit
≥450 x 109/L. Diagnosis banding trombositosis sangatlah luas
dan mendiagnosis trombositosis tidak mudah. Penyebab
utama trombositosis dibagi menjadi 3 yaitu trombositosis
klonal, reaktif (sekunder) dan familial. Perbedaan penyebab
trombositosis ini penting untuk evaluasi, prognosis, dan
pengobatan. Trombositosis klonal berhungan dengan
keganasan mieloproliferatif terutama esensial trombositosis
dan polisitemia vera serta berhubungan dengan risiko
terjadinya trombosis, sehingga diperlukan terapi yang
adekuat. Makalah ini akan membahas mekanisme yang
mendasari trombositosis, perbedaan trombositosis esensial
dan sekunder, cara pendekatan diagnosis trombositosis serta
pengobatan trombositosis.

151
Patofisiologi Trombositosis
Trombopoietin merupakan hormon penting dalam
regulasi proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Beberapa
sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11)
juga memiilki peranan penting dalam produksi trombosit.
Megakariosit dan trombosit memiliki reseptor untuk
trombopoietin yaitu reseptor c-MPL. Trombopoietin berikatan
dengan reseptor c-MPL pada permukaan trombosit di dalam
plasma, dan trombopoietin yang tidak berikatan menyebabkan
proliferasi megakariosit. Pada keadaan trombosit menurun,
kadar trombopoietin bebas dalam plasma meningkat sehingga
menstimulasi megakariositopoiesis, begitu juga sebaliknya
(Gambar 1a). Pada kasus trombositosis reaktif, keadaan
inflamasi dapat merangsang produksi trombopoietin di hati.1-2
Kadar trombopoietin plasma dan IL-6 meningkat pada
trombositosis reaktif. IL-6 berperan sebagai acute phase
reactant pada keadaan inflamasi dan keganasan. IL-6
menyebabkan peningkatan ekspresi messenger-RNA (mRNA)
trombopoietin pada hati (Gambar 1b).2
Kadar trombopoietin juga meningkat pada
tormbositosis klonal melalu mekanisme gangguan regulasi
reseptor c-MPL sehingga meningkatkan sintesis trombopoietin
(Gambar 1c). Pada trombositosis esensial terjadi gangguan
klonal pada platelet dan ekspresi megakariosit terhadap c-MPL
sehingga menyebabkan gangguan ikatan trombopoietin dan
menyebabkan tingginya kadar trombopoietin bebas di dalam
plasma. Berbeda dengan kelainan mieloproliferatif lainnya,
yang terdapat proliferasi pembelahan hematopoietsis
sehingga menurunkan growth factor tertentu sebagai
mekanisme feedback untuk mengatur diferensiasi dan

152
proliferasi pembelahan hematopoiesis. Antara lain, penurunan
kadar serum eritropoietin pada polisitemia vera dan
penurunan kadar granulocyte colony stimulating factor (GCSF)
pada leukemia myeloid kronis. Pada kelainan mieloproliferatif
terdapat penurunan ikatan trombopoietin terhadap
megakariosit karena penurunan jumlah dan fungsi reseptor
trombopoietin, tetapi pada trombositosis esensial, progenitor
tersebut meningkat sebagai reaksi terhadap hormon, sehingga
meningkatkan proliferasi megakariosit dan produksi
trombosit.2

Gambar 1. Patofisiologi Trombosis2

153
Perbedaan trombositosis esensial versus sekunder
Trombositosis reaktif diatur oleh peningkatan kadar
trombopoitein endogen, IL-6 dan sitokin lain atau katekolamin
yang dihasilkan saat inflamasi, infeksi, keganasan dan stress.
Penyebab tersering trombositosis sekunder dapat dilihat dari
tabel 1.2

Saat ini tidak ada yang benar-benar bisa membedakan


diagnosis trombositosis reaktif dan klonal. Pasien dengan
trombositosis reaktif biasanya disertai dengan penyakit
sistemik yang mendasarinya.2
Pada trombositosis klonal memiliki komplikasi
trombosis, vaskular dan perdarahan. Splenomegali ditemukan
pada 40% pasien trombositosis esensial. Tes laboratorium
154
tidak bisa membedakan penyebab trombositosis. Giant
trombosit biasa ditemukan pada apusan darah tepi
trombositosis klonal, tidak ditemukan pada trombositosis
reaktif. Pada aspirasi sumsum tulang terdapat peningkatan
megakariosit pada trombositosis reaktif dan klonal.
Megakariosit pada trombositosis reaktif biasanya normal,
tetapi pada trombositosis klonal terdapat giant megakariosit,
displasia dengan peningkatan ploidy dan terdapat massa
trombosit yang besar (platelet drifts). Beberapa trombositosis
esensial memilliki kromosom Philadelphia atau BCR-ABL
rearrangement, walaupun tidak disertai dengan leukosistosis
atau tampilan LMK.2 Perbedaan trombositosis reaktif dan
klonal dapat dilihat di table 2.1,3

155
Pendekatan diagnosis trombositosis
Penyebab tersering trombositosis adalah reaktif
trombositosis, yang dapat terdiagnosis melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan tes laboratorium.2
Pada anamnesa kita menanyakan riwayat keluarga
dengan trombositosis atau kelainan hematologis lainnya,
mencari penyakit sistemik yang mendasarinya, komplikasi
perdarahan atau thrombosis dan komorbid penyakit lainnya
seperti diabetes, hipertensi, atau dislipidemi, serta
menanyakan gaya hidup dan riwayat pengobatan.1,2
Prevalensi gejala konstitusional pada pasien
trombositosis esensial relatif tinggi, namun sebagian besar
pasien terdiagnosis tanpa gejala. Gejala klinis yang bisa didapat
antara lain sakit kepala, sinkop, pusing, sakit dada, parestesi
akral, telinga berdenging, eritromelalgia atau gangguan
penglihatan. Terdapat manifestasi perdarahan, yaitu
epistaksis, easy bruising, petekhie, perdarahan traktus
gastrointestinal berulang. Sedangkan manifestasi trombosis
lebih sering didapatkan pada orang tua, antara lain dibagi
menjadi trombosis vena (vena hepatika, mesenterika, aksila,
lienalis, priapism, emboli paru) dan trombosis arteri (transient
cerebral ischemia). Pemeriksaan fisik ditemukan splenomegali
(80% penderita) atau hepatomegali.1,2
Pemeriksaan laboratorium awal yang dibutuhkan
adalah darah dan morfologi darah tepi (pada seri eritrosit
biasanya normokrom normositer, dapat hipokrom mikrositer
jika perdarahan kronik, pada seri lekosit dapat lekositosis,
bergeser ke kiri sampai metamielosit, eosinofilia, basofilia
ringan dan pada seri trombosit dapat bergumpal-gumpal,
abnormalitas bentuk, ukuran dan struktur (heavy granulation),
giant trombosit, kadang-kadang didapatkan fragmen
megakariosit). Evaluasi status zat besi tubuh, inflamasi (CRP)
dan BCR-ABL. Pemeriksaan 3 mutasi gen pada awal
laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis trombositosis
esensial, yaitu Janus kinase 2 (JAK2), thrombopoietin (MPL)
156
dan calreticulin (CALR). Mutasi gen yang terdeteksi
menunjukkan adanya kelainan/neoplasma mieloid, namun
tidak terdeteksinya mutasi gen tidak menyingkirkan diagnosis
trombositosis esensial.1,2
Pemeriksaan laboratorium selanjutnya adalah aspirasi
sumsum tulang dan biopsy, serta pemeriksaan lainnnya seperti
faktor von Willebrand.1

Table 3. Pendekatan Diagnosis Trombositosis1

157
Diagnosis trombositosis esensial menurut WHO 2016
adalah didapatkan semua 4 kriteria mayor atau 3 kriteria
mayor awal dengan kriteria minor.1,3,4
Kriteria Mayor:3,4
1. Trombosit ≥450 x 109/L
2. Biopsi Sumsum Tulang menunjukkan proliferasi
megakariosit dengan jumlah yang meningkat,
megakarisosit matur dengan nukleus yang
hiperlobulasi. Tidak ada peningkatan proses
granulopoiesis atau eritropoiesis secara signifikan dan
sangat jarang terdapat peningkatan serat retikulin
(grade 1)
3. Tidak memenuhi kriteria WHO untuk CML -BCR ABL,
Polisitemia Vera (PV), Prefibrotic Myelofibrosis (PMF),
Myelodisplasia Syndrome (MDSs) atau keganasan
mieloid lainnya.
4. Adanya mutasi JAK2, CALR atau MPL

Kriteria Minor:3,4
Adalnya marker klonal atau tidak adanya bukti
trombsitosis reaktif.3,4

158
Gambar 2. Diferensial diagnosis trombositosis. 1,3,4

Pengobatan trombositosis sekunder dan esensial


Pengobatan trombositosis dilakukan sesuai jenisnya.
Penderita trombositosis yang tidak mengalami gejala dan
kondisinya stabil hanya memerlukan pemeriksaan secara rutin.
Penanganan trombositosis sekunder ditujukan untuk
mengatasi kondisi yang menyebabkan trombositosis. Dengan
mengatasi penyebabnya, maka jumlah trombosit dapat
kembali normal. Jika penyebabnya adalah cedera atau pasca
operasi di mana terjadi perdarahan yang banyak, maka
kenaikan jumlah trombosit tidak akan bertahan lama dan
dapat kembali normal dengan sendirinya. Sedangkan
trombositosis sekunder karena infeksi kronis atau penyakit
peradangan, maka jumlah tombosit akan tetap tinggi sampai
penyebab kondisi dapat dikendalikan. Pada pasien
splenektomi akan menimbulkan trombositosis sepanjang
hidup, namun biasanya tidak diperlukan pengobatan khusus
untuk menurunkan jumlah trombosit.1

159
Pengobatan terapi trombositosis esensial bertujuan
untuk mengurangi resiko trombosis dan atau perdarahan.
Terdapat startifikasi resiko menurut the European
LeukemiaNet (ELN), yaitu teridiri dari resiko rendah dan resiko
tinggi sesuai kriteria usia ≥60 tahun, riwayat trombosis atau
perdarahan mayor dan jumlah trombosit ≥1500 x 109. Tujuan
stratifikasi resiko ini untuk pendekatan terapi, hal ini
tercantum pada table di bawah ini.1,5

Pada stratifikasi resiko rendah diberikan aspirin dosis


rendah (100-300 mg/hari) untuk gejala-gejala mikrovaskuler
(eritromelalgia), dan tidak diberikan obat sitoreduksi. Pada
resiko tinggi diberikan obat sitoreduksi, jika <40 tahun bisa
diberikan interferon  sebagai first line, 40-60 tahun bisa
interferon  atau hidroksiurea dan jika usia >60 tahun pilihan
utama adalah hidroksiurea.5,6

160
Pada Blood Cancer Group 2018 membagi
trombositosis esensial menjadi 4 grup, yaitu “very low-risk
group” (tidak ada faktir resiko trombosis, termasuk riwayat
trombosis, JAK2/MPL mutasi dan usia tua), “low-risk group”
(adanya mutasi JAK2/MPL pada usia muda tanpa riwayat
trombosis), “intermediate-risk group” (JAK2/MPL unmutated
pada usia tua tanpa riwayat trombosis) dan “high risk” (adanya
trombosis atau terdapat mutasi JAK2/MPL pada usia tua.
Berikut gambar algoritma trombositosis esensial.7

Gambar 3. Algoritma trombositosis esensial berdasarkan 4 grup 7

161
Obat-obat sitoreduksi:
1. Hidroksiurea
Dosis awal pemberian adalah 15 – 30 mg/kg/hari,
biasanya mengurangi trombositosis dalam waktu
2 – 6 minggu.8
2. Interferon 
Rekombinan interferon  (IFN) mempunyai efek
sitoreduksi tanpa efek samping mutagenik. Dosis nya
21 – 35 juta unit/minggu sub kutan selama 4 – 6
minggu (fase induksi) kemudian dosis pemeliharaan
terkecil untuk mempertahankan remisi komplit
(trombosit <450.000 /mm3) atau remisi parsial
(trombosit <600.000 /mm3). Dosis pemeliharaan
biasanya berkisar antara 3 juta unit 3 kali seminggu,
sampai 3 juta unit/hari.8
3. Anagrelide :
Anagrelide merupakan senyawa imidazo (2,1-b)
quinazolin-2-one dengan efek inhibisi agregasi
trombosit melalui penghambatan cyclic nucleotide
phosphodiesterase dan phospholipase A2. Efektif
terhadap trombositosis pada > 80% penderita,
diindikasikan pada penderita yang tidak dapat
mentolerir efek samping hidroksiurea. Dosis dimulai 4
x 0,5 mg/hari atau 2 x 1 mg/hari. Penyesuaian dosis
dilakukan setiap minggu, biasanya memerlukan rata-
rata 2 – 3 mg/hari. Penurunan jumlah trombosit
sebanyak 50% biasanya dicapai dalam waktu 11 hari.9
4. Busulfan
Busulfan merupakan obat alkilating dengan kerja
spesifik terhadap proliferasi megakariosit. Dosis yang
dipergunakan antara 2-4 mg/hari, disesuaikan dengan
respon hematologis dan pemeriksaan trombosit setiap
minggu. Setelah jumlah trombosit normal, kontrol
jangka panjang dapat dicapai dengan pemberian
intermiten. Busulfan memiliki efek karsinogenik
162
sehingga membatasi penggunaannya hanya pada
orang tua.8

Reference:
1. Rumi E and Cazzola M. How I treat essential
thrombocythemia. Blood. 2016;17(128):20
2. Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;
350(12):1211-1219.
3. Vannucchi AM and Barbui T. Thrombocytosis and
thrombosis. Hematology 2007. AS
4. Arber DA, Orazi A, Hasserjian R, et al. The 2016 revision to
the World Health Organization classification of myeloid
neoplasms and acute leukemia. Blood. 2016;127(20):2391-
2405.
5. Carobbio A, Antonioli E, Guglielmelli P, et al. Leukocytosis
and risk stratification assessment in essential
thrombocythemia. J Clin Oncol. 2008; 26(16):2732-2736.
6. Carobbio A, Finazzi G, Antonioli E, et al. Hydroxyurea in
essential thrombocythemia: rate and clinical relevance of
responses by European LeukemiaNet criteria. Blood.
2010;116(7): 1051-1055.
7. Tefferi A, Vannucchi AM, Barbui T. Essential
thrombocythemia treatment algorithm 2018. Blood Cancer
Journal (2018)8:2
8. Gale ER. Basic Sciences of Myeloproliferative Diseases :
Pathogenic Mechanisms of ET and PV. International Journal
of Hematology, Supplement II 2002 ;76: 305-310.
9. Roberts Pharmaceutical Corporation. The Standard of Care
for ET : Agrylin 1999.

163
164
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana APS

Santi Christiani Gultom


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Sindroma antifosfolipid pertama kali dijelaskan pada


tahun 1986 oleh Hughes, Harris dan Gharavi.1 Sindroma
antifosfolipid merupakan kelainan trombofilia yang didapat.
Pada sindroma ini ditemukan autoantibodi yang dihasilkan
oleh fosfolipid dan protein yang terikat fosfolipid.2
Semua organ dapat terkena sebagai akibat trombosis
pada pembuluh darah besar atau mikrosirkulasi. Pada
sindroma antifosfolipid ,trombosis vena dilaporkan sebanyak
50%, trombosis arteri 28% , trombosis baik pada vena maupun
arteri sebanyak 13%.1
Pada makalah ini akan dibahas definisi, ringkasan
patofisiologi, manifestasi klinis , kriteria diagnostik dan terapi
sindroma antifosfolipid.

Definisi
Sindroma antifosfolipid merupakan sindroma dengan
karakteristik adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena)
dan /atau morbiditas kehamilan yang berhubungan dengan
tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan
dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid – aPL).3

165
Pustaka lain mendefinisikan sindroma antifosfolipid sebagai
penyakit sistemik autoimun ditandai trombosis vena atau
thrombosis arteri dengan atau tanpa morbiditas kehamilan
disertai antibodi antifosfolipid pada plasma penderita dengan
trombosis vena dan/atau arteri dan/atau komplikasi
kehamilan berulang.4

Sebenarnya sindroma antifosfolipid merupakan istilah yang


kurang tepat, karena autoantibodi yang timbul bukan suatu
antibodi tehadap fosfolipid, tetapi suatu antibodi terhadap
protein plasma yang mempunyai afinitas untuk fosfolipid
anion.4

Patogenesis dan patofisiologi


Antifosfolipid antibodi mempunyai aktivitas prokoagulan
terhadap protein C, annexin V dan trombosit, dan menginhibisi
fibrinolisis.5

Saat ini diketahui bahwa antibody terhadap b2-glikoprotein


merupakan antibodi utama yang berperan dalam patogenesis
sindroma antifosfolipid.4

b2-glikoprotein akan berikatan dengan fosfolipid yang


bermuatan negatif dan menghambat aktivitas kontak kaskade
koagulasi dan konversi protrombin-trombin.

b2- glikoprotein 1 berfungsi sebagai antikoagulan plasma


natural, sehingga adanya antibodi terhadap protein ini dapat
merangsang terjadinya trombosis.5

Mekanisme–mekanisme yang berperan dalam terjadinya


hypercoagulable state pada sindroma antifosfolipid adalah :

166
• Antikardiolipin antibodi dan b2-glikoprotein antibodi
akan meningkatkan aktivasi dan adesi trombosit ke
endotel.5
• Adanya aktivasi endotel vaskuler yang akan
meningkatkan adesi monosit dan trombosis.5
• Peningkatan ekspresi tissue factor pada permukaan
monosit.5
• Inhibisi aktivitas protein C, protein S dan factor-faktor
koagulasi lain. Pada penderita dengan antibodi
antifosfolipid dapat ditemukan juga antibodi terhadap
heparin/heparan sulfat, protrombin, platelet-
activating factor, tissue-type plasminogen activator,
protein S, annexin (2, IV dan V), tromboplastin,
oxidized low density lipoprotein, trombomodulin,
kininogen, factor VII, VIIa dan XII.5
• Antibodi terhadap heparan/heparan sulfat pada
tempat ikatan dengan antitrombin III dapat
mengaktivasi koagulasi dengan cara menghambat
pembentukan kompleks heparin-antitrombin-
5
trombin.
• Antibodi terhadap oxidized low density lipoprotein
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
aterosklerosis.5
• Aktivasi komplemen melalui perlekatan aPL ke
permukaan endotel dapat menimbulkan kerusakan
endotel dan merangsang trombosis yang berperan
dalam terjadinya kematian fetus.5

Pada kepustakaan terbaru tahun 2008, faktor-faktor yang


diduga berperan sebagai pencetus terbentuknya antibodi
antifosfolipid adalah :
• Produksi antibodi natural yang berlebihan.6
• Molecular mimicry sebagai akibat infeksi.6

167
• Paparan terhadap fosfolipid selama aktivasi
trombosis dan apoptosis selular. 6 (fosfolipid anion
yang dalam keadaan normal berada intraselular
mengalami redistribusi ke kompartemen
ekstraseluler). 6
• Peroksidase kardiolipin. 6
• Aktivasi trombosis dengan atau tanpa antibodi anti
trombosis.6
• Predisposisi genetik.6

Kepustakaan tersebut juga menjelaskan mekanisme


trombosis karena antibodi antifosfolipid sebagai berikut :
• Inhibisi produksi prostasiklin dari endotel. 6
• Efek prokoagulan trombosit. 6
• Gangguan fibrinolisis. 6
• Gangguan jalur trombomodulin-protein S - protein C.
6

• Induksi aktivitas prokoagulan sel endotel dan/atau


monosit. 6
• Gangguan annexin V cellular shield. 6
• Ekspresi abnormal molekul adhesi sitotrofoblas pada
kehamilan. 6

Manifestasi klinis
Secara klinis, sindroma antifosfolipid terdiri dari 2 jenis :
• Sindroma antifosfolipid primer
Adanya antibodi antifosfolipid pada penderita dengan
trombosis idiopatik tanpa adanya penyakit autoimun
atau faktor lain seperti infeksi, keganasan,
hemodiálisis atau antibodi antifosfolipid yang
diinduksi oleh obat-obatan.1
• Sindroma antifosfolipid sekunder

168
Adanya antibodi antifosfolipid dan trombosis pada
penderita dengan penyakit autoimun, terutama lupus
eritematosus sistemik dan artritis rematoid.1

Spektrum klinis sindroma antifosfolipid dapat dilihat pada


bagan di bawah ini :
Antifosfolipid Antifosfolipid Asimptomat
antibodi antibodi ik
Tanpa negatip
trombosis
Antifosfolipid
Penyakit antibodi
Tanpa autoimun dan asimptomatik
trombosis antifosfolipid
Antibodi antifosfolipid
atau antibodi
diinduksi obat /infeksi
mikrotrombo Sindroma
sis antifosfolipid
pre-probable

Dengan Sindroma Sindroma antifosfolipid


trombosis antifosfolipid definit (primer dan
seronegatip sekunder)

Sindroma antifosfolipid
mikroangiopati Trombosis
yang
mengancam
jiwa
Sindroma
antifosfolipid
katastropik
Bagan 1. Spektrum klinis sindroma antifosfolipid. 1

Dari 1000 kasus sindroma antifosfolipid , presentasi klinis


yang ditemukan adalah3 :
• Trombosis vena dalam (32%)
• Trombositopenia (22%)
• Livido retikularis (20%)
• Stroke (13%)
• Tromboflebitis superfisialis (9%)
169
• Emboli pulmonal (9%)
• Kematian fetus (8%)
• Transient ischemic attack (7%)
• Anemi hemolitik (7%)
Catastrophic APS (CAPS): sebagian kecil (0.8%) penderita
sindroma antifosfolipid dapat mengalami trombosis luas
dengan gagal organ múltiple pada 3 atau lebih organ/sistem.
Catastrophic APS sering berakibat fatal dengan angka
mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi
antikoagulan dan imunosupresif.3

Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma


antifosfolipid adalah sebagai berikut1 :
1. Trombosis pada pembuluh darah besar :
• Neurologik
Transient ischemic attack, stroke iskemi, chorea,
kejang, dementia, mielitis transversa,
ensefalopati, migren, pseudotumor serebri,
trombosis vena serebral, mononeuritis multipleks
• Optalmik
Trombosis arteri/vena retina, amaurosis fugax
• Kulit
Flebitis superfisial, ulkus di kaki, iskemi distal, blue
toe syndrome
• Jantung
Infark miokardial, vegetasi valvular, trombi
intrakardiak, aterosklerosis
• Paru-paru
Emboli paru, hipertensi pulmonal, trombosis
arteri pulmonal, perdarahan alveolar
• Arteri
Trombosis aorta, trombosis arteri besar dan kecil
170
• Ginjal
Trombosis vena/arteri renalis, infark ginjal, gagal
ginjal akut, proteinuria, hematuria , sindroma
nefrotik
• Gastrointestinal
Sindroma Budd-Chiari, infark hati, infark kandung
empedu, infark usus, infark limpa, pankreatitis,
asites, perforasi esofagus, kolitis iskemi
• Endokrin
Infark dan kegagalan fungsi adrenal, infark testis,
infark prostat, infark dan kegagalan fungsi
pituitari
• Vena
Trombosis vena ekstremitas, adrenal, hepatik,
mesenterik, lien, vena cava.
• Komplikasi obstetrik
Keguguran, gangguan pertumbuhan janin
intrauterin ; anemia hemolitik, peningkatan enzim
hati, trombositopeni (sindroma HELLP);
oligohidramnion, preeklampsi
• Hematologi
Trombositopenia, anemia hemolitik, sindroma
hemolitik uremik, purpura trombotik
trombositopeni
• Lain-lain
Perforasi septum nasal, nekrosis avaskular tulang
2. Trombosis mikrovaskuler.1 :
• Mata
Retinitis
• Kulit
Livido retikularis, gangren superfisial, purpura,
ekimosis, nodul subkutan

171
• Jantung
Infark miokardial, mikrotombi miokardial,
miokarditis, abnormalitas katup
• Paru-paru
Acute respiratory distress syndrome, perdarahan
alveoler
• Ginjal
Gagal ginjal akut, mikroangiopati trombotik,
hipertensi
• Gastrointestinal
Infark atau gangren usus, hati, limpa
• Hematologi
Koagulasi intravaskuler diseminata (pada
sindroma antifosfolipid katastropik)
• Lain-lain
Mikrotrombi, mikroinfark

Bick mengklasifikasikan sindroma trombosis yang


berhubungan dengan antibodi antifosfolipid menjadi 6 tipe
sindroma yaitu 7,8 :
1. Sindroma tipe I
• Trombosis vena dalam dengan atau tanpa emboli
paru
2. Sindroma tipe II
• Trombosis arteri koroner
• Trombosis arteri perifer
• Trombosis aorta
• Trombosis arteri karotis
3. Sindroma tipe III
• Trombosis arteri retina
• Trombosis vena retina
• Trombosis serebrovaskuler
• Transient cerebral ischemic attacks
4. Sindroma tipe IV
172
• Campuran sindroma tipe I, II dan III
5. Sindroma tipe V ( Fetal wastage síndrome)
• Trombosis vaskuler plasenta
• Fetal wastage ( sering pada trimester 1, dapat pada
trimester 2 dan 3)
• Trombositopeni maternal
6. Sindroma tipe VI
• Antibodi antifosfolipid tanpa manifestasi klinis

Keadaan-keadaan lain yang berhubungan dengan antibodi


antifosfolipid :
• Sistemik eritematosis lupus
Lupus antikoagulan didapatkan pada 31% penderita
lupus, pada 23-47% didapatkan antikardiolipin
antibodi dan 20% didaptkan b2-glikoprotein antibodi.5
• Lupus antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat
ditemukan pada penyakit-penyakit autoimun dan
rematik lainnya yaitu5 :
o Anemi hemolitik
o Trombositopeni purpura imun (30%)
o Juvenile arthritis
o Artritis rematoid (7-50%)
o Artritis psoriatik (28%)
o Skleroderma (25%)
o Sindroma Behcet (7-20%)
o Sindroma Sjogren (25-42%)
o Mixed connective tissue disease (22%)
o Polimiositis dan dermatomiositis
o Polimialgia rematika (20%)
o Osteoartritis (< 14%)
o Gout
o Múltipel sklerosis
o Vaskulitis
o Penyakit tiroid autoimun
173
• Infeksi .5
Pada infeksi tertentu dapat ditemukan antifosfolipid
antibodi, biasanya IgM aCL dan kadang-kadang
menyebabkan trombosis.
o bakteri : septikemi, leptospirosis, sífilis, lyme
disease (borreliosis), tuberkulosis, lepra,
endokarditis infektif, demam rematik post
infeksi streptokokus, infeksi klebsiella
o virus : hepatitis A, B dan C, mumps, HIV, HTLV-
1, sitomegalovirus, varicella-zoster, Epstein-
Barr, adenovirus, parvovitus, rubela.
o Parasit: malaria, pneumocystic carinii,
leishmaniasis
• Neoplasma.5
Antifosfolipid antibodi dilaporkan ditemukan pada
kanker paru, kolon, seviks, prostat, ginjal, ovarium,
payudara, tulang, linfoma Hodgkin dan non Hodgkin,
mielofibrosis, polisitemia vera, lekemi mieloid dan
limfositik
• Keadaan-keadaan lain
Antifosfolipid antibodi juga ditemukan pada sickle cell
anemia, anemia pernisiosa, diabetes melitus,
inflammatory bowel disease, terapi pengganti ginjal
dialisis dan sindroma Klinefelter.5

Pemeriksaan penunjang :
• IgG dan IgM antikardiolipin antibodi.9
• IgG dan IgM anti-b2-glikoprotein .9,10
• Test lupus antikoagulan.9

174
Kriteria diagnostik
Diagnostik didasarkan pada kriteria International Consensus
Statement on an Update of the Classification Criteria for
Definite Antiphospholipid Síndrome tahun 2006.9

Sindroma antifosfolipid definit adalah bila didapatkan minimal


1 kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium.

Kriteria klinis :
1. Trombosis vaskular: 1 atau lebih episode
trombosis vena, arterial atau pembuluh darah
kecil pada jaringan atau organ. Trombosis harus
dikonfirmasi dengan kriteria objektif yang telah
divalidasi (pemeriksaan imaging atau
histopatologi)
2. morbiditas kehamilan :
• satu atau lebih kematian fetus dengan
morfologi normal pada usia > 10 minggu
kehamilan, atau
• satu atau lebih kelahiran prematur sebelum
usia 34 minggu karena eklampsi, preeklamsi
atau insufisiensi plasenta, atau
• tiga atau lebih kematian embrio (< 10 minggu)
, tanpa adanya kelainan kromosom ayah dan
ibu atau kelainan anatomi ibu atau penyebab
hormonal
Kriteria laboratorium :
1. Lupus antikoagulan (LA) terdapat di plasma pada dua
atau lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan
minimal 12 minggu
2. Anticardiolipin antibodi (aCL) IgG dan atau IgM pada
serum atau plasma dengan titer moderat atau tinggi
(>40 unit GPL atau MPL atau >99th persentil) pada dua

175
atau lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan
minimal 12 minggu dengan metode ELISA
3. Anti B2Glikoprotein antibodi IgG dan atau IgM pada
serum atau plasma (titer >99 persentil) pada dua atau
lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan minimal
12 minggu dengan metode ELISA

Terapi :
Terapi untuk trombosis pada sindroma antifosfolipid adalah :

Antikoagulan
• Heparin11
Heparin bekerja sebagai antikoagulan yang berikatan
dengan antitrombin III dan menginaktivasi trombin.
Heparin juga berikatan dengan faktor koagulasi lain
seperti faktor Xa danenghambat konversi fibrinogen
menjadi fibrin untuk mencegah pembentukan bekuan.
Unfaractionated heparin (UFH) digunakan sebagai
infus kontinu intravena oleh karena waktu paruh
pendek dan memerlukan terapi sambungan dengan
anti vitamin K (warfarin) sampai nilai terapeutik
tercapai. Nlai aPTT (activated partial thromboplastin
time) mencapai dua kali nilai awal aPTT. Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) termasuk
enoxaparin (1, g/kgBB setiap 12 jam) dan dalteparin
(200unit/kgBB.hari subkutan).
• Warfarin
Pada umumnya warfarin saja cukup untuk terapi
trombosis vena. Meskipun demikian, penambahan
aspirin atau dipiridamol pada terapi warfarin dapat
mencegah rekurensi trombosis arteri.11 Warfarin
menurunkan fungsi vitamin K dengan menghambat
produksi faktor koagulasi II, VII, X, protein C dan
protein S. Rekomendasi terkini mempertahankan nilai
international normalized ration (INR) 2,5-3,0 untuk
176
episode pertama dari VTE atau VTE yang relaps yang
sedang berhenti pengobatan. Penggunaan warfarin
tidak boleh diberikan pada kehamilan,
hipersensitivitas, perdarahan masif yang mengancam
nyawa, tingkat kepatuhan yang buruk.
• Antikoagulan terbaru12 yaitu Direct Thrombin inhibitor
(dabigatran etexilate) dan Direct anti-Xa inhibitor
(rivaroxaban, apixaban, edoxaban). Keuntungan
utama terapi terbaru ini adalah sedikitnya interaksi
antar obat dan makanan, tidak memerlukan
monitoring ketat dan efek perdarahan yang lebih
sedikit. Studi The Rivaroxaban in Antiphospholipid
Syndrome Trial (RAPS) menunjukkan studi prospektif
non inferior antara warfarin dan rivaroxaban pada
penderita APS dengan trombosis vena. The 14th
International Congress on Antiphospholipid Antibodies
Task Force (ICAATF) merekomendasikan warfarin
tetap menjadi terapi utama pada APS dibandingkan
DOAC, tetapi DOAC dapat dipertimbangkan diberikan
apabila terdapat intoleransi/alergi atau tingkat
kepatuhan pasien yang buruk12

Anti Agregasi Platelet


• Antiplatelet : aspirin, dipiridamol, klopidrogel
Aspirin bekerja sebagai anti platelet dengan
menghambat produksi tromboxane dan mencegah
trombosit saling berikatan. Klopidogrel diduga
mempunyai peranan dalam terapi dan profilaxis
primer dan sekunder APS pada penderita alergi
aspirin.11

Hidroksiklorokuin (HCQ)
Data penelitian pemberian hidroksiklorokuin dalam
pencegahan tromboemboli pada sindroma antifosfolipid
masih terbatas. Hidroksiklorokuin lebih sering digunakan
177
pada penderita tanpa tromboemboli arterial.11 Mekanisme
anti trombosis oleh HCQ mencakup inhibisi agregasi dan
adesi trombosit, menurunkan kadar kolesterol,
menghambat produksi antiphospholipid antibodi dan
ikatan aPL-B2GP1 ke permukaan phospholipid.

Terapi Lain
• Statin
• Rituximab
• Intravenous Immunoglobulin (IvIg)
• Plasmapharesis

Rekomendasi regimen antitrombotik pada trombosis dengan


antibodi antifosfolipid.7,8
1. Sindroma tipe I
• Heparin unfractionated /low molecular weight
heparin jangka pendek diikuti pemberian heparin
subkutan jangka panjang
• clopidogrel jangka panjang dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti Heparin unfractionated /low
molecular weight heparin bila tidak terjadi
thrombus dalam 6-12 bulan atau adanya efek
samping osteoporosis karena heparin
2. Sindroma tipe II
• Heparin unfractionated /low molecular weight
heparin jangka pendek diikuti pemberian jangka
panjang heparin subkutan
• Clopidogrel jangka panjang dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti Heparin
unfractionated /low molecular weight heparin
bila tidak terjai thrombus dalam 6-12 bulan atau
adanya efek samping osteoporosis karena heparin

178
3. Sindroma tipe III
• Serebrovaskuler: clopidogrel dengan heparin sub
kutan jangka panjang. Setelah keadaan stabil
dalam jangka panjang, heparin dapat dihentikan,
clopidogrel tetap diteruskan
• Retinal : clopidogrel, bila gagal, ditambahkan
heparin sub kutan jangka panjang.
4. Sindroma tipe IV
• Terapi tergantung jenis trombosis
5. Sindroma tipe V
• Aspirin 81 mg/hari sebelum konsepsi diikuti
heparin 5000 unit setiap 12 jam segera setelah
konsepsi
6. Sindroma tipe VI
• Tidak ada indikasi yang jelas untuk pemberian
terapi antitrombotik
Terapi antitrombotik jangan dihentikan sampai antibodi
antikardiolipin menjadi negatif dalam waktu 4-6 bulan.
First event
Direkomendasikan pemberian antikoagulan warfarin
dengan target INR antara 2-3 pada penderita dengan
trombosis vena dalam atau emboli paru yang pertama
kali terjadi. Warfarin diberikan selama minimal 6
bulan.5
Recurrent disease
Direkomendasikan pemberian warfarin life-long
dengan target INR 2-3. Bila terjadi trombosis berulang
selama terapi warfarin dengan target INR 2-3,
direkomendasikan untuk menaikkan target INR 3,1-4
dan /atau menambahkan aspirin dosis rendah.5

Terapi profilaksis : .11


Terapi profilaksis diberikan pada penderita asimptomatik
dengan aPL tanpa riwayat trombosis. Insidensi terjadinya
trombosis pada keadaan ini berkisar antara 10- 75% bila kadar
179
antibodi sangat tinggi. Terapi profilaksis yang
direkomendasikan:
• Aspirin 81 mg/hari direkomendasikan pada
penderita simptomatik dan tidak hamil.
• Kombinasi aspirin dan hidroksiklorokuin (<6.5
mg/kg/hari)

Terapi pada CAPS :11,13


Tujuan terapi CAPS adalah untuk mengobati faktor-faktor
presipitasi, mengatasi kejadian trombosis yang sedang terjadi
dan menekan badai sitokin (cytokine storm). Faktor presipitasi
termasuk infeksi saluran pernafasan, kulit, saluran kemih,
sepsis, prosedur operasi, malignansi, lupus, penghentian
antikoagulan tiba-tiba, kontrasepsi oral, komplikasi obstetri.
Sekitar 35% penderita CAPS tidak memiliki faktor presipitasi
yang dapat diidentifikasi. Studi yang menyokong pilihan terapi
sangat terbatas karena kurangnya penelitian prospektif.

Untuk mencegah CAPS :


1. Terapi antibiotik yang sesuai untuk infeksi
2. Meminimalkan prosedur pembedahan pada
penderita APS
3. Trombositopeni tidak melindungi dari trombosis
4. Mengurangi stasis bagian distal dan mencegah
tourniquets
5. Melanjutkan antikoagulasi sebelum dan setelah
pembedahan sampai penderita dapat mobilisasi aktif
setelah operasi
6. Pasien yang menjalani operasi sebaiknya
mendapatkan terapi antikoagulan parenteral
dibandingkan warfarin
7. Melanjutkan antikoagulan sampai minimal 6 minggul
setelah melahirkan dengan heparin

180
8. Berhati-hati bahwa trombosis tetap dapat terjadi
meski dalam pengobatan antikoagulan adekuat dan
profilaksis
• Terapi faktor presipitasi (misalnya infeksi)
• Heparin, diikuti warfarin (target INR 2-3)
• Metilprednisolon 1gram IV /hari selama 3 hari, diikuti
steroid parenteral atau oral ekivalen dengan
prednison 1-2 mg/kg
• Plasma exchange dan/atau IVIG (400 mg/kg /hari
selama 5 hari bila didapatkan adanya mikroangiopati
(trombositopenia, anemi hemolitik mikroangiopati)
• Siklofosfamid (diberikan pada sindroma antifosfolipid
yang berhubungan dengan lupus eritematosus
sistemik dengan komplikasi yang mengancam jiwa.
• Terapi eksperimental : fibrinolitik, prostasiklin, ancrod,
defibrotide, antisitokin, immunoadsorption, anti sel B
antibodi (rituximab)

Ringkasan
Sindroma antifosfolipid merupakan penyebab trombosis
dengan manifestasi klinis dari asimptomatis sampai trombosis
yang mengancam jiwa. Berdasarkan ada atau tidaknya
penyakit dasar, terbagi menjadi sindroma antifosfolipid primer
dan sekunder. Manifestasi klinis utama adalah trombosis vena
dan/atau arteri serta morbiditas kehamilan. Untuk
kepentingan terapi, sindroma antifosfolipid dibagi ke dalam 6
tipe sindroma. Diagnostik didasarkan pada kriteria
International Consensus Statement on an Update of the
Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Síndrome
tahun 2006. Terapi yang diberikan adalah antikoagulan dan
anti agregasi trombosit.

181
Daftar Pustaka :
1. Baker WF, Bick RL. The clinical spectrum of antiphospholipid syndrome.
Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:33-52.
2. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl
J Med 2002;346:752-63.
3. Bermas B, Erkan D, Schur PH. Clinical manifestations and diagnosis of
antiphospholipid syndrome. Available from : www.uptodate.com
4. De Groot PG, Derksen RHWM. Patophysiology of the antiphospholipid
syndrome. J Thromb Haemost 2005;3:1854-60.
5. Bermas BL, Schur PH. Pathogenesis of the antiphospholipid syndrome.
Available from : www.uptodate.com
6. Baker WF, Bick RL, Farreed J. Controversies and unresolved issues in
antiphospholipid syndrome pathogenesis and management. Hematol
Oncol Clin N Am 2008;22:155-74.
7. Bick RL.In : Bick RL, ed. Disorders of thrombosis and hemostasis clinical
and laboratory practice. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Williams and
Wilkins;2002.p..
8. Bick RL, Baker WF. Treatment optioins for patients who have
antiphospholipid syndromes. Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:145-
53.
9. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera R, et
al. International consensus statement on an uptodate of the
classification criteria for definite antiphospholipid syndrome (APS).
Journal of Thrombosis and Hemostasis 2006 ;4:295-306.
10. Pengo W. Anti-b2-glykoprotein I antibody testing in the laboratory
diagnosis of antiphospholipid syndrome. J Thromb Haemost
2006;3:1158-9.
11. Bermas BL, Schur PH. Treatment of the antiphospholipid syndrome.
Available from : www.uptodate.com
12. Arachchillage DJ, Cohen H. Use of newer anticoagulants in
antiphospholipid syndrome, Curr Rheum Rep 2013;15:1-9.
13. Erkan D, Cervera R, Asherson R. Catastrophic Antiphospholipid
Syndrome. Where do we stand? Arthritis Rheum 2003; 48:3320-7

182
Patofisiologi dan Tatalaksana Kaheksia pada Kanker

Mohamad Luthfi
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Kaheksia pada kanker merupakan gangguan yang
ditandai dengan kehilangan berat badan yang tidak disadari
terutama pada otot skelet dan jaringan lemak disebabkan
karena hilangnya regulasi homeostasis keseimbangan energi
dan protein.1,2 Diperlukan konsensus mengenai definisi dan
kriteria spesifik yang secara adekuat dapat menjelaskan
kaheksia pada kanker. Definisi yang jelas dan dapat diterima
secara luas oleh dokter dan peneliti akan membantu dalam
identifikasi dan pengobatan pasien kaheksia serta
pengembangan obat terapeutik potensial. Konsensus
internasional Delphi pada tahun 2011 memberikan definisi
kaheksia pada kanker sebagai sindrom multifaktorial yang
ditandai oleh hilangnya massa skeletal otot secara terus
menerus (dengan atau tanpa kehilangan massa lemak) yang
tidak sepenuhnya dapat ditatalaksana dengan nutrisi
konvensional.3
Kaheksia disebabkan oleh kombinasi berbagai
variabel yaitu asupan makanan yang menurun dan perubahan
metabolik, pengeluaran energi yang meningkat, katabolisme
183
yang berlebihan dan peradangan. Proses terjadinya kaheksia
melibatkan berbagai mediator yang berasal dari sel-sel kanker,
termasuk sel-sel inflamasi dan sel-sel system imun. Gangguan
endokrin, metabolik dan sistem saraf pusat bersama dengan
mediator tersebut menyebabkan perubahan katabolik pada
otot rangka dan otot jantung serta jaringan adiposa.
Mekanisme kaheksia pada jaringan terjadi akibat aktivasi
inflamasi, proteolisis, autofagi dan lipolisis. Kaheksia
berhubungan dengan berbagai morbiditas yang meliputi
gangguan fungsional, metabolisme, imunitas tubuh dan
diperburuk oleh toksisitas dan komplikasi terapi kanker.1,2
Kaheksia pada kanker dipengaruhi oleh berbagai
komponen yang dirangsang oleh tumor dan menyebabkan
gangguan fungsional progresif, komplikasi perawatan, kualitas
hidup yang buruk dengan konsekuensi peningkatan toksisitas
kemoterapi, komplikasi operasi dan mortalitas.4

Epidemiologi
Kanker adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar 14 juta kasus baru
dan 8,2 juta kematian. Kaheksia pada kanker seringkali tidak
tercatat pada statistik kanker nasional di negara manapun dan
tidak dikategorikan sebagai penyebab kematian. Namun, hal
ini terutama terkait dengan penyakit yang tak tersembuhkan
dan sangat lazim di akhir kehidupan. Dengan demikian, tingkat
kematian akibat kanker adalah batas atas yang masuk akal
untuk jumlah orang yang terkena cachexia. Cachexia juga
dapat terjadi pada kanker yang dapat disembuhkan dan dapat
dibalikkan dengan pengobatan kanker yang mendasari.5
Diagnosis kaheksia pada kanker didasarkan pada tingkat
penurunan berat badan dan indeks massa tubuh yang rendah.
184
Sebagian besar data prevalensi berasal dari studi prevalensi
nasional atau program skrining kaheksia di pusat kanker
nasional.6-9

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap


prevalensi kaheksia diantaranya adalah stadium kanker yang
lebih lanjut, jenis kelamin (laki-laki lebih rentan daripada
wanita), usia lanjut, faktor risiko genetik, komorbiditas dan
efek katabolik akibat pengobatan. Jenis kanker yang banyak
berhubungan dengan terjadinya kaheksia diantaranya adalah
kanker pankreas (0,33 juta kematian), esofagus (0,40 juta),
gaster (0,72 juta), paru-paru (1,59 juta), kanker hati (0,75 juta)
dan kolorektal (0,69 juta). Hubungan kanker tersebut dengan
terjadinya kaheksia kemungkinan karena jenis kanker tersebut
sering terdiagnosis pada stadium lanjut, efek langsung kanker
terhadap intake makanan, pencernaan dan penyerapan
nutrisi, karakteristik kanker dan /atau tingkat kematian yang
tinggi.10

Kaheksi pada kanker berdasarkan jenis kanker14-17

185
Prevalensi kaheksia (didefinisikan sebagai> 5% penurunan
berat badan dalam 6 bulan sebelumnya) berdasarkan lokasi
kanker (a) dan persentase rata-rata penurunan berat badan
pada berbagai jenis kanker

Patofisiologi
Gangguan Keseimbangan Energi
Kanker menyebabkan gangguan pada kontrol
homeostatik normal dari keseimbangan energi. Pengurangan
asupan makanan merupakan salah satu masalah utama dan
pada beberapa kasus merupakan penyebab utama penurunan
berat badan akibat kanker. Asupan energi biasanya lebih
rendah daripada pengeluaran energi saat istirahat dan defisit
kalori dapat melebihi 1.200 kkal per hari.11-12
Sintesis protein otot yang menurun juga diketahui
sebagai penyebab kehilangan berat badan pada kanker. Bukti
bahwa sintesis protein dapat diaktifkan kembali dengan
pemberian nutrisi memperkuat pentingnya peranan asupan
makanan dalam etiologi kaheksia pada kanker.13,14
Pengukuran pengeluaran energi tubuh, lipolisis,
glukoneogenesis, sintesis protein, degradasi protein dan
konsumsi substrat telah dilakukan pada populasi pasien
dengan kaheksia pada kanker. Pengeluaran energi istirahat
yang meningkat mendorong keseimbangan energi negatif dan
sebagian berhubungan dengan metabolisme tumor.15
Kanker berkompetisi dengan organ dan jaringan lain
untuk mendapatkan bahan bakar energi dan substrat
biosintetik dan memiliki tingkat metabolisme intrinsik yang
berhubungan dengan terkait dengan metabolisme aerobik dan
aneroerobik kanker. Peningkatan pengeluaran energi
disebabkan karena peradangan dan siklus metabolisme
186
(peningkatan laju metabolisme substrat yang melibatkan
hidrolisis ATP). Sebagai contoh, peningkatan laju glikolisis
seluruh tubuh secara bersamaan akan meningkatkan laju
glukoneogenesis siklus asam laktat yang meningkat > 300%. 16
Ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi pada
kanker17

Berat badan akan tetap stabil jika terdapat


keseimbangan antara energi asupan (kalori yang diberikan
melalui rute oral, enteral atau parenteral) dan total
pengeluaran energi (TEE). Penurunan berat badan terjadi jika
terdapat keseimbangan energi yang negatif pada keadaan TEE
melebihi asupan energi. TEE adalah jumlah pengeluaran energi
istirahat (REE), pengeluaran energi terkait aktivitas (AEE) dan
efek termik makanan (TEF). REE adalah jumlah energi
dikeluarkan oleh tubuh saat istirahat dan merupakan
penyumbang TEE terbesar. Dengan demikian, karena TEE sulit
diukur secara klinis dan REE dianggap mewakili metabolisme
energi.17

187
REE dapat diukur secara akurat menggunakan
kalorimetri tidak langsung atau dihitung menggunakan
berbagai persamaan. Metabolisme dan peradangan tumor
dapat meningkatkan REE dan secara bersamaan akan
mengurangi asupan energi dan menggeser keseimbangan
energi menjadi keseimbangan energi negatif. Perawatan
kanker juga akan mempengaruhi keseimbangan energi.
Asupan energi dapat turun > 50% (~ 1.200 kkal per hari) selama
kemoradioterapi untuk kanker kepala dan leher. 17

Sitokin Pro-Kaheksia
Zat-zat yang kompleks yang dihasilkan oleh tumor
merupakan faktor penting terhadap terjadinya yang kaheksia
pada kanker. Tumor mengeluarkan molekul-molekul seperti
sitokin pro-inflamasi, eikosanoid, heat shock protein 70
(HSP70) dan HSP90 , superfamili transforming growth factor -
β (TGFβ) yang secara langsung menimbulkan katabolisme pada
jaringan target. Meningkatnya peradangan yang ditimbulkan
oleh tumor juga berpartisipasi dalam pembentukan faktor pro-
inflamasi katabolik. Efektor ini memodulasi kontrol
homeostatik dalam SSP, merangsang sinyal neural katabolik
melalui sistem saraf simpatik, pelepasan kortikosteroid
adrenal dan memberikan gangguan berupa gejala anoreksia
dan kelelahan. Output humoral, neurologis dan perubahan
perilaku ini secara langsung mengaktifkan proteolisis dan
lipolisis pada organ target terutama otot skelet, jaringan
adiposa dan otot jantung.18
Faktor pro-inflamasi dengan efek katabolik telah
diduga merupakan mediator terjadinya kaheksia pada kanker.
Prostaglandin (khususnya, prostaglandin E2) dikenal sebagai
mediator yang berperan pada tumour-induced bone resorption
188
dan sindrom paraneoplastik hiperkalsemia, telah dibuktikan
dalam percobaan pada hewan sebagai memiliki peranan
sebagai mediator katabolisme pada otot skeletal.19
Mediator inflamasi peptida pada kaheksia
diantaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), yang merupakan
pengatur utama otot skeletal, Interleukin-1 (IL-1), tumor
necroes factor (TNF), Interferon-γ (IFNγ), leukaemia inhibitory
factor (LIF), growth/differentiation factor 15 (GDF15) ) dan
TNF-related weak inducer of apoptosis (TWEAK; juga dikenal
sebagai TNFSF12). Mediator tersebut memberi sinyal melalui
reseptor permukaan sel masing-masing dan mengaktifkan
faktor transkripsi selektif, yang pada gilirannya menyebabkan
transkripsi komponen ubiquitin-proteasome dan autofagi.
Molekul sinyaling tersebut oleh tumor atau sel-sel imunitas
dan aktivitasnya menyebabkan terjadinya katabolisme pada
organ target seperti otot rangka.20
Selain sitokin inflamasi, faktor sirkulasi lainnya
menunjukkan aktivitas pro-cachectic terhadap otot skeletal.
Activin A merupakan anggota dari superfamili TGF-β yang
dihasilkan oleh tumor dan sel imunitas tubuh39. Activin A
menyebabkan terjadinya atrofi; ekspresi activin A yang tinggi
pada tikus menyebabkan penurunan berat badan dan
kehilangan massa otot skelet dengan potensi lebih tinggi dari
IL-6. Sitokin pro-kaheksia lainnya adalah TWEAK yang
termasuk keluarga TNF. TWEAK bekerja melalui anggota
superfamili reseptor TNF 12A (TNFRSF12A) dan bila
diekspresikan pada tumor akan berkorelasi dengan kaheksia.
Activin A dan TWEAK dapat meningkatkan terjadinya atrofi
otot pada kelaianan yang bukan disebabkan oleh kanker. Uji
klinis studi intervensi yang menargetkan aktivin A dan TWEAK

189
telah dimulai pada penyakit kanker dan non-kanker. Hasil
penelitian ini dapat menentukan apakah terapi lini tunggal
terhadap activin A, TWEAK atau TNFRSF12A cukup untuk
menyelamatkan atrofi otot pada pasien dengan kanker.21
Pada model tikus, ekspresi E3 ubiquitin-protein
ligase Trim63 (juga dikenal sebagai Murf1) dan F-box,
didapatkan hanya protein 32 (Fbxo32, juga dikenal sebagai
atrogin 1)) yang merupakan bagian dari ATP-dependent jalur
ubiquitin-proteasome memiliki ekspresi sangat meningkat.
Ekspresi unsur-unsur ini sebagian besar dikendalikan oleh
transcription factors forkhead box protein O1 (Foxo1) and
Foxo3 yang diduga berfungsi sebagai simpul regulasi antara
proses anabolik dan katabolik. Pada kondisi fisiologis, RAC
serine / threonine-protein kinase (AKT) memfosforilasi protein
FOXO menyebabkan terjadinya lokalisasi sitoplasma. Pada
kaheksia, aktivitas AKT sering mengalami supresi untuk
mempengaruhi sitokin inflamasi atau untuk menurunkan
kadar insulin-like growth factor I (IGFI) yang merangsang
anabolisme otot. Aktivitas AKT yang menurun menyebabkan
defosforilasi protein FOXO yang menyebabkan degradasi
protein myo-fibrillar terutama protein filamen tebal seperti
rantai berat miosin. AKT juga mengaktifkan serine / threonine-
protein kinase mTOR kompleks 1 (mTORC1) yang akan
mengaktifkan ribosomal protein S6 kinase-β1 (S6K1) dan
menyebabkan efek anabolik pada jaringan otot. 21
Selain itu, faktor-faktor inflamasi seperti sitokin dan
angiotensin II akan mengurangi aktivitas AKT sehingga
menyebabkan induksi katabolisme protein otot. Selain efek
pada otot, faktor transkripsi FOXO memiliki peran penting
dalam mentranskripsi gen yang terlibat dalam sistem autofagi.

190
Dalam kondisi fisiologis, homeostasis otot skeletal
membutuhkan autofagi untuk menghilangkan protein dan
organel yang rusak. Pada kaheksia, peningkatan regulasi gen
autofagi menyebabkan aktivasi jalur autofagi yang berlebihan
yang berkontribusi terhadap peningkatan kerusakan otot
skeletal.22
Penelitian klinis diperlukan untuk memahami peran
masing-masing sintesis dan degradasi protein, sistem
ubiquitin-proteasome, autofagi dan jalur sinyal spesifik pada
mekanisme kehilangan protein otot. Tingkat proteolisis
seluruh tubuh yang diteliti dengan menggunakan pendekatan
pelacak isotop didapatkan meningkat dengan rata-rata 40%.
Pengukuran fluks asam amino steady-state pada pasien kanker
menunjukkan bahwa kehilangan otot tidak selalu disebabkan
oleh peningkatan degradasi protein.23
Pada pemeriksaan analisis RNA dan protein pada
spesimen biopsi otot, komponen jalur ubiquitin-proteasome
dikaitkan dengan penurunan berat badan pada pasien dengan
penurunan berat badan pada pasien dengan kanker.
Penurunan tingkat sintesis protein-otot telah di jelaskan pada
pasien dengan cachexia terkait kanker, seperti penurunan jalur
AKT dan menipisnya protein myofibrillar. Namun, aktivitas AKT
otot tidak selalu berkurang pada model kanker cachexia atau
pada pasien kanker.24

191
Gambar 1. Hubungan antar-organ pada kaheksia pada kanker18

Kontrol homeostasis di Susunan Saraf Pusat


Gejalan anoreksia dan katabolisme jaringan tubuh,
demam dan fatigue merupakan respons klasik pada berbagai
penyakit akut dan kronis, termasuk pada penyakit kanker.
Semakin banyak bukti menunjukkan peranan system saraf
pusat dalam patogenesis kaheksia melalui pengenalan sitokin
sebagai sinyal molekuler dari penyakit. Data penelitian
mendapatkan peradangan periferal diperkuat dan dimodifikasi
dalam hipotalamus mediobasal, menciptakan lingkungan
peradangan paracrin yang selanjutnya menyebabkan
perubahan aktivitas populasi neuronal yang mengatur nafsu
makan dan proses metabolisme, termasuk proteolisis dan
lipolisis.25 Paparan hipotalamus pada salah satu dari berbagai
rangsangan inflamasi (seperti IL-1β dan TNF) akan memicu
respons penyakit akut yang menyebabkan anoreksia,
penurunan berat badan dan atrofi otot skeletal. Molekul-

192
molekul ini bertindak secara akut dengan mengikat reseptor
pada populasi neuronal hipotalamus, seperti pro-
opiomelanocortin dan Agouti-related protein neurons yang
menyebabkan katabolisme otot-protein skeletal dan lipolisis.
Studi regulasi CNS pada kaheksia pada kanker sampai saat ini
terbatas pada penelitian kadar sistemik atau pemberian
peptida neuromodularisasi, seperti hormon yang mengatur
nafsu makan.26

Penipisan jaringan adiposa


Selain otot rangka, sebagian besar penurunan berat
badan pada pasien dengan kanker disebabkan karena
penipisan jaringan adiposa. Penelitian telah menunjukkan
bahwa penipisan ini dihasilkan dari pengurangan massa lemak
karena lipolisis dan peningkatan keseluruhan lipolisis seluruh
tubuh pada pasien dengan cachexia adalah ~ 50%. Studi biopsi
dari pasien juga menunjukkan bahwa pada adiposit putih, efek
lipolitik katekolamin dan peptida natriuretik meningkat 2-3 kali
lipat pada pasien dengan cachexia terkait kanker. Penelitian
mendapatkan bahwa kehilangan lemak merupakan
predisposisi hilangnya otot pada kaheksia pada kanker.
Mekanisme predisposisi kehilangan lemak
menyebabkan terjadinya atrofi otot skeletal sampai saat ini
belum tdiketahui. Beberapa mekanisme diduga menyebabkan
lipolisis yang diinduksi oleh tumor yaitu peranan sitokin
inflamasi yang dilepaskan dari makrofag jaringan, rangsangan
adipose triglyceride lipase, dan hilangnya 5ʹ-AMP-activated
protein kinase kinase (AMPK).27

193
Gambar 2. Jalur sinyaling yang terlibat dalam atrofi otot sklelet
yang disebabkan kanker21

Penatalaksanaan
Kaheksia pada kanker berevolusi sesuai waktu
sehingga tujuan penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan
tahap evolusi. Mayoritas pasien dengan kanker stadium lanjut
pada paru-paru, pankreas, esofagus, perut, usus dan hati akan
mengalami kaheksia sehingga diperlukan pencegahan dan
penatalaksaan sistematis untuk manajemen pada kasus
tersebut. Uji fase III mengadopsi strategi intervensi dini dimulai
pada pasien dengan penurunan berat badan minimal (≥2%). 2
Sekuele katabolik akibat perawatan kanker dapat
menambah secara substansial keseluruhan penurunan berat
badan. Sebagai contoh, penurunan berat badan pada pasien
yang menerima kemoterapi neoadjuvant untuk kanker
esofagus-lambungn adalah 4,2 kg) 117 atau kemoradioterapi
untuk kanker kepala dan leher adalah 11,4 kg.11

194
Terapi Nutrisi dan Metabolik
Pemberian nutrisi yang adekuat merupakan terapi
utama pada kaheksia pada kanker. Pendekatan lini pertama
meliputi suplemen gizi oral (cairan steril, semi-padat atau
bubuk yang menyediakan macronutrients dan mikronutrien
untuk penderita yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
mereka melalui diet oral) dan konsultasi ahli nutrisi untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan. Penderita
kaheksia dengan penyebab dominan penurunan berat badan
karena defisit asupan makanan (misalnya, mereka yang
menerima kemoterapi dosis tinggi menjelang transplantasi
sumsum tulang, di mana defisit asupan oral dapat melebihi
1.200 kkal per hari), diperlukan manajemen nutrisi aktif
dengan nutrisi enteral dan / atau parenteral).5
Jika asupan makanan tambahan tetap tidak
mencukupi setelah konsultasi diet dan suplemen gizi oral maka
dilakukan eskalasi dengan pemberian nutrisi buatan enteral
atau parenteral. Obat-obat orexigenic (perangsang nafsu
makan) telah dikembangkan untuk mengatasi rendahnya nafsu
makan pada pasien-pasien dengan kaheksia. Kanabinoid,
kortikosteroid, dan progestogen memiliki peranan sebagai
perangsang nafsu makan namun penggunaannya dibatasi oleh
efek samping dari obat-obat tersebut. Kortikosteroid dapat
meningkatkan nafsu makan namun menyebabkan terjadinya
atrofi otot skelet. Progestogen dapat menyebabkan atrofi otot
dan meningkatkan risiko tromboemboli. Terapi baru untuk
meningkatkan asupan makanan saat ini sedang diteliti
diantaranya adalah growth hormone secretagogue receptor
type 1 (reseptor ghrelin) agonists dan reseptor melanocortin 4
antagonis; Obat-obat tersebut bekerja pada hipotalamus

195
dengan mengatur nafsu makan dan perasaan kenyang, dan t
memiliki efek sistemik meningkatkan anabolisme protein dan
penyimpanan energi.28
Defisit anabolik sebagian dapat diatasi dengan
pemeliharaan aktivitas fisik. Penderita harus diberi dukungan
agar mereka dapat berolahraga dalam kapasitas aman.13,121.
Pasien kanker yang menjalani perawatan onkologi aktif
menunjukkan bahwa latihan aerobik, latihan ketahanan dan
kombinasi keduanya meningkatkan kekuatan otot tubuh
bagian atas dan bawah dibandingkan dengan perawatan
biasa.28

Symptom Control
Kaheksia umumnya disertai dengan berbagai kondisi
komorbiditas, respon pengobatan kanker dan toksisitas serta
nyeri dan gejala lainnya. Gejala merupakan sumber yang cukup
besar dari heterogenitas klinis pada pasien yang kehilangan
berat badan dan dapat berubah dengan cepat selama
perjalanan penyakit dan rencana pengobatan. Tatalaksana
yang baik pada gejala nyeri dan dan gejala lainnya memiliki
peranan penting dalam tatalaksana kaheksia. Penyebab
penurunan berat badan yang berpotensi reversibel harus
dikenali dan dikelola dengan tepat sehingga dapat segera
dilakukan intervensi.29
Penurunan berat badan harus ditatalaksana sesuai
dengan penyebabnya disertai tatalaksnan efektif untuk gejala
nyeri, mual, muntah, masalah gigi, disfagia, obstruksi esofagus,
malabsorpsi, gangguan endokrin dan metabolisme,
kecemasan, depresi dan insomnia. Pendekatan tim
multidisipliner untuk perawatan suportif diperlukan. Layanan
klinis diperlukan dengankemitraan antara dokter, perawatan
196
paliatif dan komunitas onkologi sehingga didapatkan
manajemen yang efisien dari gejala yang berkontribusi
terhadap kaheksia.29

Distribusi pendekatan terapi kaheksia pada kanker pada studi


klinis30

Tatalaksana Multimodal
Kompleksitas kaheksia pada kanker membutuhkan
strategi penilaian yang berfokus pada asupan makanan, rasa
sakit dan gejala, khehilangan spesifik massa otot dan lemak,
faktor katabolik, beban tumor, inflamasi sistemik dan
perubahan status endokrin serta kondisi klinis, konsekuensi
fungsional dan psikososial dari penyakit tersebut. Pendekatan
multimodal pada berbagai segi dari kaheksia kemungkinan
akan menjadi pendekatan yang optimal.30

Dalam praktek klinis saat ini, terapi kaheksia pada


kanker secara multidisiplin dicapai dengan pendekatan
kolaboratif yang melibatkan tim multidisipliner profesional
serta pasien dan keluarganya. Tim multidisiplin dapat terdiri
197
dari ahli onkologi klinis, nutrisi klinis dan tim perawatan paliatif
serta kemungkinan rujukan spesialis lainnya dengan terapi
mencakup terapi nutrisi, intervensi anti-inflamasi dan / atau
terapi latihan.30

Daftar Pustaka
1. Baracos VE, Martin L, Korc M, Guttridge DC, Kenneth CH, Fearon
KCH. Cancer-associated cachexia. Nature Reviews 2018;4: 1-18
2. DeWys WD. Pathophysiology of cancer cachexia: current
understanding and areas for future research. Cancer Res. 1982;
42 (Suppl.) : 721s–726s.
3. Fearon, K. et al. Definition and classification of cancer cachexia:
an international consensus. Lancet Oncol. 2012; 12 : 489–495.
4. Kazemi-Bajestani SMR, Mazurak VC, Baracos V. Computed
tomography-defined muscle and fat wasting are associated with
cancer clinical outcomes. Semin. Cell Dev. Biol. 2016; 54, 2–10.
5. Arends J. ESPEN guidelines on nutrition in cancer patients. Clin.
Nutr. 2017; 36, 11–48.
6. Pressoir, M. Prevalence, risk factors and clinical implications of
malnutrition in French Comprehensive Cancer Centres. Br. J.
Cancer 2010; 102: 966–971
7. Bozzetti F. Screening the nutritional status in oncology: a
preliminary report on 1,000 outpatients. Support. Care Cancer
2009; 17 : 279–284.
8. Segura A. An epidemiological evaluation of the prevalence of
malnutrition in Spanish patients with locally advanced or
metastatic cancer. Clin. Nutr. 2005; 24 : 801–814.
9. Hébuterne X. Prevalence of malnutrition and current use of
nutrition support in patients with cancer.
10. Amano K. C-Reactive protein, symptoms and activity of daily living
in patients with advanced cancer receiving palliative care. J.
Cachexia Sarcopenia Muscle 2017; 8: 457–465
11. Kubrak C.. Clinical determinants of weight loss in patients
receiving radiation and chemoirradiation for head and neck
cancer: a prospective longitudinal view. Head Neck 2012; 35 :
695–703.
198
12. Silver HJ, Dietrich MS, Murphy BA. Changes in body mass, energy
balance, physical function, and inflammatory state in patients
with locally advanced head and neck cancer treated with
concurrent chemoradiation after low-dose induction
chemotherapy. Head Neck 2007; 29: 893–900.
13. Engelen MP, Klimberg, VS, Allasia A. Deutz NEP. Presence of
early stage cancer does not impair the early protein metabolic
response to major surgery. J. Cachexia Sarcopenia Muscle 2017;
8: 447–456.
14. Engelen MP, Safar AM, Bartter T, Koeman F, Deutz NEP. High
anabolic potential of essential amino acid mixtures in advanced
nonsmall cell lung cancer. Ann. Oncol. 2016; 26: 1960–1966.
15. Hall KD, Baracos VE. Computational modeling of cancer cachexia.
Curr. Opin. Clin. Nutr. Metab. Care 2008; 11: 214–221
16. Beck SA, Tisdale MJ. Effect of cancer cachexia on
triacylglycerol/fatty acid substrate cycling in white adipose tissue.
Lipids 39, 1187–1189 (2004).
17. Friesen DE, Baracos, VE, Tuszynski JA. Modeling the energetic
cost of cancer as a result of altered energy metabolism:
implications for cachexia. Theor. Biol. Med. 2015; 12: 17.
18. Murphy KT. The pathogenesis and treatment of cardiac atrophy
in cancer cachexia. Am. J. Physiol. Heart Circ. Physiol.2016; 310:
H466–H477.
19. Tashjian AH. Role of prostaglandins in the production of
hypercalcemia by tumors. Cancer Res. 1978: 38: 4138–414.
20. Fearon KCH, Glass DJ, Guttridge, DC. Cancer cachexia: mediators,
signaling, and metabolic pathways. Cell Metab.2012: 16: 153–
166.
21. Sato S, Ogura Y, Tajrishi MM, Kumar A. Elevated levels of TWEAK
in skeletal muscle promote visceral obesity, insulin resistance,
and metabolic dysfunction. FASEB J. 2015: 29: 988–1002.
22. Milan G. Regulation of autophagy and the ubiquitin-proteasome
system by the FoxO transcriptional network during muscle
atrophy. Nat. Commun. 2015: 6: 6670
23. Gallagher IJ. Suppression of skeletal muscle turnover in cancer
cachexia: evidence from the transcriptome in sequential human
muscle biopsies. Clin. Cancer Res.2012: 18: 2817–2827.

199
24. Stephens NA. Evaluating potential biomarkers of cachexia and
survival in skeletal muscle of upper gastrointestinal cancer
patients. J. Cachexia Sarcopenia Muscle2015: 6: 53–61.
25. Burfeind, KG, Michaelis, KA, Marks DL. The central role of
hypothalamic inflammation in the acute illness response and
cachexia. Semin. Cell Dev. Biol. 2016: 54: 42–52.
26. DeBoer MD. Ghrelin and cachexia: will treatment with GHSR-1a
agonists make a difference for patients suffering from chronic
wasting syndromes? Mol. Cell. Endocrinol. 2011; 340: 97–105
27. Rohm M. An AMP-activated protein kinase– stabilizing peptide
ameliorates adipose tissue wasting in cancer cachexia in mice.
Nat. Med. 2016; 22: 1120–1130
28. Stene GB. et al. Effect of physical exercise on muscle mass and
strength in cancer patients during treatment — a systematic
review. Crit. Rev. Oncol. Hematol. 2013; 88: 573–593
29. Smith TJ. American Society of Clinical Oncology provisional
clinical opinion: the integration of palliative care into standard
oncology care. J. Clin. Oncol.2012; 30: 880–887
30. Aapro, M. et al. Early recognition of malnutrition and cachexia in
the cancer patient: a position paper of a European School of
Oncology Task Force.
Ann. Oncol.2014; 25: 1492–1499.

200
Patofisiologi dan Tatalaksana Nyeri Kanker

Dimmy Prasetya
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

I. Epidemiologi nyeri pada penderita kanker


Insidensi penyakit kanker di dunia pada tahun 2013
mencapai 14.9 juta dengan jumlah kematian mencapai
8,2 juta. Prevalensi nyeri pada penderita kanker
mencapai 50% pada saat diagnosis ditegakkan dan
bertambah menjadi 75% pada saat kanker mencapai
stadium lanjut dengan nyeri derajat sedang-berat.
Penyebab nyeripada kannker 75% disebabkan oleh
kankernya, 20% oleh pengobatan kanker dan 5% tidak
berhubungan dengan kanker (unrelated). ADDIN
EN.CITE
<EndNote><Cite><Author>Brevik</Author><Year>2009
</Year><RecNum>2</RecNum><DisplayText><style
face="superscript" font="Times New
Roman">1,2</style></DisplayText><record><rec-
number>2</rec-number><foreign-keys><key app="EN"
db-
id="sesw2rf580fawberpdtpx2wsvaf9awz2rvax">2</key
201
></foreign-keys><ref-type name="Journal
Article">17</ref-
type><contributors><authors><author>H.
Brevik</author><author>N.
Chemy</author><author>B.
Collett</author><author>F. de
Conno</author><author>M.
Filbet</author><author>A.J.
Foubert</author><author>R.
Cohen</author></authors></contributors><titles><titl
e>Cancer-related pain: a pan European survey of
prevalence, treatment, and patien attitudes
</title><secondary-title>Annals of
Oncology</secondary-title></titles><periodical><full-
title>Annals of Oncology</full-
title></periodical><pages>1420-
1433</pages><volume>20</volume><dates><year>20
09</year></dates><urls></urls></record></Cite><Cite
><Author>Collaboration</Author><Year>2013</Year><
RecNum>1</RecNum><record><rec-number>1</rec-
number><foreign-keys><key app="EN" db-
id="sesw2rf580fawberpdtpx2wsvaf9awz2rvax">1</key
></foreign-keys><ref-type name="Journal
Article">17</ref-
type><contributors><authors><author>Global Burden
of Disease Cancer
Collaboration</author></authors></contributors><titl
es><title>The Global Burden of
Cancer</title><secondary-title>JAMA
Oncol.</secondary-title></titles><periodical><full-

202
title>JAMA Oncol.</full-title></periodical><pages>505-
527</pages><volume>1(4)</volume><dates><year>20
13</year></dates><urls></urls></record></Cite></End
Note> HYPERLINK \l "_ENREF_1" \o "Brevik, 2009 #2"
1 , HYPERLINK \l "_ENREF_2" \o "Collaboration, 2013
#1" 2

II. Patogenesis nyeri


Nyeri didefinisikan sebagai “Pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan
dengan kerusakan jaringan atau digambarkan sebagai
kerusakan sejenis”.3 Nyeri terjadi oleh karena adanya
proses yang disebut nociception yaitu proses dimana
suatu rangsang noxious (unpleasant) diterjemahkan dan
informasi tersebut disampaikan ke susunan saraf pusat.
Secara pasti bagaimana informasi melalui nociception
diartikan sebagai nyeri sampai saat ini belum ada
kepastian. ada nyeri tanpa nociception dan sebaliknya.
Secara klasik nociception meliputi 4 proses
1. Transduksi : merupakan konversi energy dari injuri
termal, mekanik atau kimiawi menjadi energy listrik
(impuls syaraf) melalui reseptor sensor yang
disebut nociceptor.
2. Transmisi : merupakan proses transmisi sinyal
syaraf dari lokasi nociceptor ke medulla spinalis dan
otak.
3. Persepsi : penterjemahan sinyal yang sampai ke
strktur fungsi lebih luhur sebagai rasa nyeri.

203
4. Modulasi : descending inhibition dan fasilitasi input
yang mempengaruhi transmisi nociceptive pada
tingkat medulla spinalis.4

Gambar 1. Jaras rangsang nyeri spinoretikular dan


spinotalamikus.
Nociceptor merupakan ujung saraf bebas yang
merupakan bagian dari serabut primer aferen Aẟ
dan C terdistribusi di seluruh tubuh (kulit, organ
dalam, otot, sendi, dan meningen), serabut ini
dapat terstimulasi oleh rangsang mekanik, thermal
maupun kimiawi. Mediator inflamasi (bradykinin,
serotonin, prostaglandin, sitokin dan H+ dapat
merangsang langsung nociceptor atau mengurangi
ambang rangsang nociceptor. Selain serabut Aẟ dan
C, terdapat pula serabut Aβ yang menghantarkan
rangsang stimulus non-noxious. Stimulus
dihantarkan melalui serabut-serabut tersebut ke
kornu dorsalis medulla spinalis dan diteruskan ke
otak melalui jaras spinotalamikus dan
204
spinoretikular, di otak pesan di apresiasi menjadi
rasa sakit, lokasi dan aspek emosional nyeri.
Transmisi rangsang nyeri tersebut di atas
dikontrol oleh mekanisme hambatan ditingkat
medula spinalis (gate control theory) dan melalui
descending inhibition pathway dari otak.4,5
III. Nyeri kanker
1. Epidemiologi
Nyeri kanker merupakan hasil ekspansi langsung
tumor, progresi-invasi dan kerusakan jaringan
sekitar tumor, metastasis tulang dan infiltrasi ke
jaringan syaraf. Nyeri kanker juga dapat merupakan
akibat dari modalitas terapi pada kanker
(pembedahan, radiasi dan kemoterapi) yang
diberikan. Agen kemoterapi seperti platinum,
taxane, vincristine, dapat menyebabkan nyeri yang
bersifat neuropati. Secara keseluruhan insiden
nyeri neuropati akibat agen kemoterapi bekisar
30%-70%. Radioterapi menyebabkan injuri,
insufisiensi aliran darah dan fibrois, dengan
insidensi nyeri antara 25-47%.2
Insidensi nyeri kanker akibat prosedur diagnostic
dan pembedahan mencapai 60-90%, post
mastectomy pain syndrome menyebabkan
menurunnya qualitas hidup pasen-pasen survivor
karsinoma payudara.
Prevalensi nyeri kanker pada kepala-leher 67-91%,
prostat 56-94%, Rahim 30-9-%, genitourinary 58-
90%, payudara 40-89%, pancreas 72-85%.
2. Mekanisme nyeri pada kanker

205
Mekanisme nyeri kanker terutama pada stadium
lanjut melalui beberapa mekanisme :
❖ Kerusakan jaringan dan inflamasi
❖ Stimulus noxious Mekanik, kimiawi dan
thermal
❖ Eksitabillitas dan sensitisasi ujung saraf tepi,
akibat dari rangangan transmitter (proton,
ion kalium, ATP, bradykinin, prostaglandin,
serotonin dan leukotrient)
❖ Sinyal elektrik aberan, peningkatan transmisi
dan aktivasi postsynap yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf yang melepaskan asam
amino (glutamate, substan P).
❖ Sensitisasi sentral akibat dari aktivasi
reseptor NMDA
❖ Metastasis tulang1,2
3. Evaluasi nyeri kanker
Evaluasi nyeri pada penderita kanker
❖ Percayailah keluhan nyeri pasen
❖ Luangkan waktu diskusikan keluhan nyeri
dengan pasen
❖ skala nyeri
❖ anamnesis nyeri secara detail
❖ pemeriksaan fisik lengkap
❖ pemilihan analgetika untuk terapi nyeri
❖ monitor hasil pengobatan
Tingkat berat nyeri tidak bisa diukur secara
obyektif, saat ini untuk praktik sehari hari
penilaian nyeri menggunakan skala nyeri.
Terdapat beberapa skala yang bisa digunakan

206
seperti skala angka, skala verbal dan visual. Skala
angka merupakan yang paling umum digunakan,
pasen menyebutkan tangka nyerinya dari 0 (tidak
ada nyeri) sampai 10 (sangat nyeri). Visual
analogue scale (VAS) dengan menggunakan garis
10 cm dan pasien diminta untuk menunjukkan
dimana rasa nyerinya, kemudian kita ukur dengan
penggaris.6

Gambar 2. Skala nyeri6


4. Terapi obat pada nyeri kanker
Panduan pemilihan analgetik untuk nyeri kanker
sampai saat ini masih menggunakan WHO
analgesic ladder, yang membagi pasien menjadi 3
golongan berdasarkan tingkat derajat nyeri dan
memberikan analgetik yang sesuai.6 7

207
Gambar 3. Alur pemilihan obat analgetik berdasarkan WHO step
ledder6

Pemilihan analgetik berdasarkan panduan WHO6


❖ Nyeri ringan (skala NRS 1-3)
Analgetik non Opioid seperti NSAID dan
parasetamol merupakan pilihan obat
analgesic pada kelompok ini. Tidak ada bukti
bahwa satu jenis NSAID lebih superior
dibandingkan NSAID lainnya dalam hal efikasi
dan keamaman, yang perlu diperhatikan pada
penggunaan NSAID adalah pada penggunaan
jangka panjang bisa mengakibatkan
perdarahan saluran cerna, disfungsi platelet
dan gagal ginjal. Golongan COX-2 inhibitor
meningkatkan risiko trombotik
6
kardiovaskular.
❖ Nyeri ringan-sedang
Pemilihan jenis analgesic pada kelompok ini
masih diliputi kontroversial, data
208
menunjukkan superioritas penggunaan opioid
dengan potensi lemah dibandingkan dengan
plasebo, tapi 14/16 studi RCT hanya
menggunakan single dose dan tidak ada data
penggunaan pada jangka panjang.
Penggunaan tramadol 200 mg atau 400 mg
setara dengan opioid potensi lemah tapi
dengan prevalensi efek samping mual, vertigo,
muntah dan anoreksia yang lebih tinggi. ESMO
guideline memberikan rekomendasi lemah
untuk pemberian tramadol dan opioid potensi
lemah pada kelompok ini. Alternatif lain dapat
diberikan opioid potensi kuat dosis kecil.6,7
❖ Nyeri sedang-berat
Opioid potensi kuat merupakan pilihan utama
pada kelompok ini. Morfin, metadon,
oxykodon, hidromorfon, fentanyl,
buprenorfin, oxymorfon merupakan golongan
opioid potensi kuat yang sering digunakan.
Oral morfin adalah pilihan utama, kecuali pada
pasen dengan nyeri berat yang membutuhkan
kerja obat lebih cepat dapat diberikan morfin
subkutan atau intravena yang dititrasi. Dosis
awal morfin parenteral yang diberikan adalah
1/3 dosis oral. Alternative lainnya yang setara
adalah hidromorfon atau oxycodon imediete
release. Buprenorfin merupakan obat terpilih
untuk pasen dengan gagal ginjal dan
hemodialysis. Opioid dapat diberikan

209
bersamaan dengan obat non opioid yang
sudah ada sebelumnya (step 1 WHO).6,7
Tabel1. Dosis equivalen opioid potensi kuat7

Penggunaan opioid potensi kuat kerja cepat selanjutnya


dapat dialihkan ke opioid kerja sedang atau kerja panjang
setelah nyeri terkontrol dan dosis kumulatif 24 jam
diketahui atau jika terdapat efek samping terhadap satu
jenis golongan opioid.7

210
IV. Kesimpulan
1. Nyeri kanker harus merupakan penilaian paling
awal pada modalitas terapi kanker itu sendiri.
2. Panduan WHO step ledder analgetic sampai saat ini
masih valid digunakan dengan penyesuaian
pemilihan obat yang lebih fleksibel pada tingkat
nyeri sedang-berat
3. Opioid potensi kuat meruakan pilihan analgetik
pada nyeri tingkat sedang-berat yang harus
diberikan tanpa keraguan dengan dosis titrasi
sesuai dengan evaluasi tingkat nyeri.
4. Dapat dilakukan pengalihan (switching) antara satu
golongan opioid kerja kuat dengan golongan
lainnya sesuai kebutuhan dan dosis equivalennya.

Daftar Pustaka
ADDIN EN.REFLIST 1. Brevik H, Chemy N, Collett B, Conno Fd,
Filbet M, Foubert AJ, et al. Cancer-related pain: a pan European
survey of prevalence, treatment, and patien attitudes Annals of
Oncology. 2009;20:1420-33.
2. Collaboration GBoDC. The Global Burden of Cancer. JAMA Oncol.
2013;1(4):505-27.
3. Force It. Descroption of chronic pain syndrome and definition of
pain terms. 1994.
4. Gold MS, Gebhart GF. Nociceptor sensitization in pain
pathogenesis. NatMed. 2010:1-10.
5. Cohen SP, Mao J. Neuropathic pain: mechanism and their clinical
implication. BMJ;348:f7656. 2014.
6. Ripamonti CI, Santini D, Maranzano E, Berti M, Roila F.
mangement of cancer pain: ESMO clinical practice guidelines.
annal oncol. 2012;23:1-16.
7. Teoh PJ, Camm CF. NICE opioid in paliative care. Annals of medical
and surgical 2012;1:44-8.

211
212
Patofisiologi dan Tatalaksana Gangguan Psikologi
Pasien Kanker

Santi Andayani
KSM Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Kanker merupakan salah satu penyakit kronis yang angka
kejadiannya meningkat setiap tahun. Setiap penyakit fisik yang
dialami seseorang tidak hanya mengenai fisik, tetapi juga
dapat memengaruhi kondisi psikologik dan kehidupan
sosialnya. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien kanker,
gangguan psikologik sering dijumpai sebagai akibat kanker
tersebut. Tatalaksana kanker dan gangguan psikologik pada
pasien kanker memerlukan peran dari banyak pihak, baik
pasien, petugas kesehatan maupun keluarga, sehingga penting
untuk mengetahui patofisiologi serta tatalaksama gangguan
psikologik untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik
bagi pasien kanker.

Stres dan Stresor


Stres adalah reaksi normal psikologis dan fisik untuk
kebutuhan kehidupan, tetapi bila stres tidak dapat ditangani
dengan baik maka stres dapat
merubah pikiran dan tubuh menjadi tidak normal.
213
Stres adalah suatu keadaan di mana seorang individu
mengalami ketidaknyamanan karena harus beradaptasi
dengan stresor. Stresor adalah suatu keadaan atau peristiwa
yang tidak mengenakkan bagi seseorang. Stresor bisa
berbentuk fisik, kimiawi, mikrobiologik, fisiologik, psikologik,
dan sosial. Stresor juga bisa terjadi secara akut maupun kronik.
Menurut Sutardjo A. Wiramihardja, ada beberapa bentuk
stresor psikososial, yaitu frustrasi (suatu momen saat individu
mengalami situasi tidak dapat lepas dari keadaan yang
menghambat untuk mencapai apa yang diinginkannya), konflik
(momen saat individu tidak dapat memilih), tekanan (momen
saat seseorang merasa terpaksa melakukan sesuatu yang tidak
ingin dilakukan), serta krisis (perubahan situasi atau kondisi
yang tidak dapat ditoleransi karena terlalu besar atau cepat).
Stresor yang ringan mungkin tidak menimbulkan masalah dan
pengaruh, bahkan dapat meningkatkan kualitas seseorang,
tetapi stres yang berat dan berlebihan dapat menyebabkan
gangguan. Berat ringannya tingkat stresor sangat subjektif bagi
tiap individu, demikian juga dengan kemampuan mengatasi
stresor (stress tolerance).

Stres, Respon Stres dan Jaras HPA


Definisi stres menurut Hans Selye adalah respon non spesifik
tubuh terhadap berbagai tuntutan. Definisi lain mengatakan
bahwa stres adalah suatu proses yang timbul atau dirasakan
dari tuntutan lingkungan yang dapat dinilai sebagai suatu
ancaman ataupun tidak tergantung dari kemampuan adaptasi
individu. Stres juga sering didefinisikan sebagai sebagai respon
tubuh terhadap suatu perubahan yang terjadi, berupa aktivasi
jaras HPA dan sistem saraf otonom. Respon terhadap stres

214
bertujuan untuk mengembalikan kontrol homeostatis dan
membantu proses adaptasi. Respon hormonal jaras HPA telah
lama dianggap merupakan reaksi fisiologik non spesifik dari
stimuli yang berlebihan terutama rangsangan emosional yang
berhubungan dengan situasi stres.
Pada kondisi stres terjadi hiperaktivitas jaras HPA, nukleus
paraventrikular di hipotalamus akan mengeluarkan CRH
(corticotropin releasing hormone) yang memicu kelenjar
hipofise anterior mensekresikan ACTH (adrenocorticotropic
hormone) yang akan mengaktifkan korteks adrenal untuk
mengeluarkan glukokortikoid (kortisol). Terdapat mekanisme
umpan balik negatif dari glukokortikoid yang dihasilkan
terhadap sekresi CRH dan ACTH, sehingga tubuh akan selalu
dalam kondisi keseimbangan baik terhadap peningkatan atau
penurunan kadar glukokortikoid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal.
Kortisol merupakan mediator utama pada respon stres
fisiologik dan memengaruhi berbagai sistem di tubuh untuk
bereaksi terhadap stresor, sehingga kadar kortisol ini yang
sering digunakan sebagai indeks respon stres. Peningkatan
kadar kortisol yang akut dan sementara merupakan suatu hal
yang adaptif, namun peningkatan kadar dalam waktu yang
lama memiliki dampak yang negatif. Peningkatan kadar
kortisol jangka panjang akan menurunkan fungsi negative
feedback. Respon emosional negatif akan mengganggu
pengaturan jaras HPA. (Novak et al, 2013)

215
Gambar Sistem Respon Stres

Respon Fisiologis Tubuh terhadap Stresor


Respon fisiologis tubuh terhadap stresor dapat digambarkan
sebagai model General Adaptation Syndrome dari Hans Selye.
Tahap pertama adalah reaksi alarm, tubuh bereaksi awal
terhadap stresor, tahap ini terdiri dari tahap shock (awal,
menurun) dan tahap counter shock (meningkat). Bila stresor
terjadi terus menerus maka tubuh akan memasuki tahap
resistance atau adaptasi, tubuh akan menunjukkan resistensi
terhadap stresor yang memapari dan terjadi adaptasi. Namun
bila stresor terus berlangsung maka akan terjadi tahap
exhaustion, tubuh kehilangan kemampuan adaptasi dan
akhinya terjadi kelelahan. (Taylor et al, 2012)

216
Patofisiologi Gangguan Psikologik
Respon stres melibatkan beberapa sistem yang terdapat dalam
tubuh, yaitu jaras hypotalamic pituitary adrenal (HPA), sistem
saraf otonom, sistem metabolik dan sistem imun. Otak
merupakan organ kunci yang berperan sebagai mediator
utama reaktivitas stres dan target ketahanan stres serta proses
kerentanan karena menentukan dan mengatur respon perilaku
dan fisiologis terhadap stres tertentu. Beberapa area di otak
yang berperan dalam respon stres meliputi hipokampus,
amigdala dan area kortek prefrontal. Beberapa sistem yang
terdapat di area ini bersama-sama berperan pada pengelolaan
respon terhadap stres fisiologis maupun perilaku sehingga
terjadi adaptasi pada jangka waktu pendek atau maladaptif
pada jangka panjang.
Selain memengaruhi jaras HPA, stres juga akan menginduksi
katekolamin melalui jaras simpatik adrenal medulllary. Pada
saat terpapar stres, lapisan dalam medulla adrenal
mengeluarkan adrenalin dan noradrenalin, dua
neurotransmiter yang merupakan komponen penting pada
fight or flight response.
Respon terhadap stres berupa peningkatan glukokortikoid
akan membantu penghentian respon fight and flight. Pada
kondisi stres akut, respon jaras HPA memiliki efek positif
termasuk memperbaiki mood yang positif, namun apabila
peningkatan glukokortikoid terjadi dalam waktu yang lama
atau sering akan mengancam viabilitas saraf dan
meningkatkan risiko penyakit-penyakit fisik yang terkait stres
(disfungsi kognitif, hipertensi, diabetes, dll.) dan gangguan
psikologik (kecemasan, depresi, adiksi obat, dll.). Stres yang
berulang atau kronik akan memengaruhi kemampuan umpan

217
balik negatif sehingga produksi kortisol akan berlebih pada
awal tetapi bisa menjadi sangat berkurang pada tahap
selanjutnya, sementara sistem stres yang lain masih
hiperresponsif. Hal ini terjadi karena hilangnya kontrol dari
kortisol (loss of counter regulatory control).

Masalah Psikososial pada Pasien Kanker


Meskipun sebagian besar kanker dapat diobati namun masih
banyak pasien memiliki ketakutan mendalam bahwa kanker
menimbulkan rasa sakit, penderitaan dan kematian. Stigma
negatif tentang kanker berkontribusi pada reaksi pasien
terhadap diagnosis kanker. Diagnosis kanker dapat
menciptakan rasa tidak aman dalam kehidupan pasien.
Apapun jenis kankernya, pasien dihadapkan pada
ketidakpastian terhadap masa depan yang tidak dapat
diprediksi. Diagnosis kanker mengarah pada serangkaian
masalah yang komplek, banyak perubahan yang terjadi pada
diri pasien, baik secara fisik, psikologik maupun sosial akibat
dari penyakit kankernya sendiri ataupun perawatannya.
Penderita kanker seringkali menghadapi tekanan psikologik
karena kanker menimbulkan implikasi seperti rasa sakit,
ketergantungan pada orang lain, ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan, hilangnya fungsi tubuh, dan sebagainya.
Penderita kanker juga sering mengalami rasa takut, cemas,
syok, putus asa, marah, serta depresi. Perubahan psikososial
yang timbul pada diri penderita kanker dapat berdampak
negatif pada penatalaksanaan serta kualitas hidupnya.
Masalah psikososial yang timbul dapat memengaruhi kondisi
pasien di semua stadium kanker. Respon emosional juga akan
memengaruhi morbiditas dan mortalitas (Holland, 2002)

218
Beberapa masalah psikososial yang sering dialami oleh pasien
kanker adalah perubahan citra tubuh, perubahan peran dalam
keluarga dan pekerjaan, perubahan dimensi sosial dan
hubungan interpersonal, serta timbulnya gejala
neuropsikiatrik.

Gangguan Psikiatrik pada Pasien Kanker


Gangguan psikiatrik merupakan sindrom, pola perilaku atau
kondisi psikologik seseorang yang secara klinik cukup
bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
(distress, impairment, atau disability) di dalam satu atau lebih
fungsinya dalam hubungan antara orang itu dengan
masyarakat.
Setiap orang berpotensi mengalami gangguan psikiatrik, salah
satu faktor risiko adalah penyakit fisik yang bersifat kronis
seperti kanker. Pasien rawat inap dan rawat jalan di rumah
sakit sebanyak 20-40% mengalami gangguan psikiatri, jumlah
ini 2 kali lipat dibandingkan dengan populasi umum. Berbagai
studi memperlihatkan bahwa ada kaitan yang erat antara
penyakit kronis dengan gangguan psikiatrik.
Selain masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, dan gangguan aktivitas, adanya gangguan psikososial
dan spiritual juga akan memengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya.
Fase yang berbeda dari setiap stadium kanker memicu
timbulnya gangguan psikiatrik, baik gangguan pikiran,
perasaan maupun perilaku. 30-40% pasien kanker mengalami
gangguan psikiatrik dan tidak teridentifikasi oleh dokter
sehingga tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat.

219
Beberapa gangguan psikiatrik yang sering terjadi adalah
gangguan mood, gangguan cemas, gangguan kognitif, dan
gangguan psikotik. Pada umumnya pasien kanker yang
menderita penyakit ini akan mengalami gejala ganguan
psikiatrik seperti kemarahan, kesedihan, kecemasan, dan
kehilangan harapan. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan
baik, dampaknya akan menurunkan kualitas hidup. Harapan
hidup pasien kanker yang mengalami gangguan psikiatrik
biasanya lebih pendek.
Rasa marah pasien saat menghadapi kenyataan bahwa dirinya
mengidap kanker dengan segala macam tindakan yang akan
dihadapi, membuatnya akan merasa tidak nyaman dengan
dirinya dan frustasi karena keadaaan yang sulit untuk diatasi.
Selain itu, kehilangan kemampuan untuk mandiri merupakan
salah satu hal yang ditakuti oleh pasien. Sikap kemarahan ini
jika tidak ditangani dapat mengakibatkan gejala depresi.
Pasien yang kehilangan harapan, semakin malas untuk
berinteraksi dengan orang lain dan mengisolasi dirinya.
Kehilangan motivasi dengan perawatan yang berkepanjangan
tentunya sangat melelahkan. Gejala depresi juga berkaitan
dengan aktivitas saraf otonom. Pasien akan mengalami
jantung yang berdebar, sesak napas, serta rasa kelelahan
karena tegang yang berlebihan. Hal ini pun akan dikaitkan
dengan perasaan takut akan hilangnya intregitas diri,
hilangnya kepercayaan diri karena memiliki tubuh yang tidak
sempurna.

Tatalaksana Gangguan Psikologik pada Pasien Kanker


Gangguan psikologik yang dialami pasien kanker harus
ditangani secara menyeluruh oleh psikiater atau psikolog klinis

220
untuk memberikan dukungan agar pasien mampu
mengekspresikan emosinya. Keterlibatan keluarga dan orang-
orang terdekat pasien untuk menemani dan mendukung
selama menjalani perawatan akan membuat pasien merasa
termotivasi, sehingga tidak merasa sendiri dan terisolasi.
Intervensi didasarkan pada empati dan kasih sayang serta
fokus yang mendalam pada kehidupan pasien, serta pengaruh
kanker pada kehidupan sehari-hari.
Prinsip perawatan paliatif pada pasien kanker adalah
meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup pasien
kanker, sekalipun penyakitnya tidak dapat disembuhkan.
namun pasien harus diminimalkan dalam penderitaannya.
Penanganan paliatif harus komprehensif meliputi sisi fisik,
psikologik, sosial dan spiritual. Berbagai intervensi dapat
dilakukan baik secara farmakologik maupun non farmakologik.

Tatalaksana farmakologik
Pemberian anti depresi, anti cemas dan anti psikotik terbukti
efektif. Pemilihan jenis obat tentunya berdasarkan kondisi
pasien dan indikasi.

Tatalaksana non farmakologik


Intervensi non farmakologik dapat dilakukan sendiri atau
kombinasi dengan terapi farmakologik. Bentuk intervensi
dapat berupa psikoedukasi, teknik relaksasi, konseling, dan
psikoterapi suportif tergantung dari kebutuhan pasien.
Pendampingan spiritual selama perawatan dan di akhir
kehidupan juga bermanfaat tidak hanya bagi pasien tetapi juga
untuk keluarga.

221
Simpulan
Pasien yang mendapatkan diagnosis kanker akan mengalami
perubahan dalam kehidupannya, baik secara fisik, psikologik
maupun sosial. Sangat penting bagi para profesional
perawatan kanker untuk menyediakan perawatan terpadu dan
komprehensif dalam tatalaksana pasien kanker.

Referensi
McEwen BS, Gianaros PJ. Central role of the brain in stress and
adaptation: Links to sosioeconomic status, health, and disease.
Ann NY Acad Sci. February 2010; 1186: 190-220
Juruena MF, Cleare AJ, Pariante CM. The Hypothalamic
Pituitary Adrenal Axis, Glucocorticoid receptor function and
relevance to depression. Rev Bras Pisquiatr 2004; 26(3): 189-
201
Grassi L, Spiegel D, Riba M. Advancing psychosocial care in
cancer patients. December 2017
Gorban LM. The psychosocial impact of cancer on the
individual, family, and society. Oncology Nyrsing Society. 2006.
Yadav P, Jaroli DP. Psycological and behavioral changes in
cancer patients and their atittude toward the stressful
condition and physiological changes. Journal of Solid Tumor.
Vol. 1 No. 1. Agustus. 2001

222
Title: Incorporation of Brentuximab Vedotin in the
Treatment of Lymphoma: Current Evidence and
Potential Use in Indonesia.

Purwanto I1
1. Associate Professor, Department of Internal
Medicine, Hematology and Medical Oncology Division,
Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Email:
dribnupwt@yahoo.com.

Lymphoma, a heterogenous group of neoplasms originating


from lymphoid organs, is responsible for 3.2% of all cancer
cases and 225,000 cancer-related mortality annually
worldwide (1). Scientific advances have resulted in significantly
improved survival among lymphoma patients with 5-year OS
reported to be around 67-98% for Hodgkin lymphoma (HL) and
4-year OS ranging from 55% to 94% for non-Hodgkin
lymphoma (NHL) (2,3). Although generally associated with
good prognosis, some subsets of lymphoma patients still have
poor prognosis, which includes relapsed and treatment
refractory patients (4). More effective treatment modalities
are needed in these patient subsets, especially for patients
who are not suitable to receive autologous stem cell
transplant. Brentuximab vedotin, an anti-CD30 targeted
therapy presents as an effective therapeutic option for these
patients.

223
CD30 is expressed in 14-25% of B cell lymphoid malignancies
and 90% of T cell lymphoid malignancies (5,6,7).
Overexpression of CD30 contributes towards
lymphomagenesis through anti-apoptotic mechanism,
resulting in cell survival (8). Inhibition of CD30 by brentuximab
vedotin has been proven to be efficacious in lymphoma
patients expressing CD30, both in HL and NHL. First significant
result came from a phase 2 study by Younes et al, which
demonstrated 75% ORR in relapsed or refractory HL patients
with 34% patients experiencing complete remission (9).
Similarly, positive result was also observed in a phase 3
AETHERA trial assessing the effectiveness of brentuximab
vedotin given as early consolidation after autologous stem-cell
transplantation. In this trial, brentuximab arm showed
significantly improved progression-free survival (PFS), with a
stratified hazard rate (HR) of 0.57, equivalent to a 43%
reduction in the HR for PFS. The median PFS in the
brentuximab arm was 42.9 months vs. 24.1 months in the
placebo arm (10). Both trials showed manageable safety
profile with peripheral neuropathy and neutropenia reported
to be the most common side effects (9,11). Given as
combination with gemcitabine, 57% of pediatric and young
adult patients with relapsed or refractory HL showed complete
response within the first four cycles of treatment and 31%
patients experienced partial response or stable disease after
cycle 4 (12).

Positive results in relapsed or refractory HL patients lead to


trials to incorporate brentuximab vedotin as first-line
treatment in combination with existing modalities. A phase 2
trial by Abramson et al, assessed the effectiveness of
224
brentuximab vedotin in combination with adriamycin,
vinblastine and dacarbazine (A-AVD) in 34 patients. At the end
of treatment, 30 patients (88%) were in complete remission
(CR), although side effects are observed to be worse than
generally expected in AVD treatment alone (13). Similarly,
Kumar et al observed 93.3% 1-year PFS in early stage
unfavorable risk HL patients given A-AVD followed by involved-
site radiotherapy (14). Compared to standard ABVD
(doxorubicin, bleomycin, vinblastine, and dacarbazine)
regimen, A-AVD is associated with better 2-year PFS (82.1 vs.
77.2%) as first-line treatment in stage 3-4 HL patients (15).
Brentuximab vedotin is also observed to be similarly effective
given in combination with other chemotherapy regimen.
Eichenauer et al reported CR of 94% (46/49 patients) in
advanced HL patients receiving BrECAPP (brentuximab
vedotin, etoposide, doxorubicin, cyclophosphamide,
procarbazine, and prednisone) and 88% CR (46/53 patients) in
patients receiving BrECADD (brentuximab vedotin, etoposide,
doxorubicin, cyclophosphamide, dacarbazine, and
dexamethasone)as their final treatment outcome, although 58
serious adverse events were reported, 32 events in 21 of 50
patients who received BrECAPP and 26 events in 18 of 52
patients who received BrECADD (16). Brentuximab vedotin
also presents as a unique option for patients unsuitable for
standard chemotherapy. Gibb et al observed 84% objective
response rate (ORR) in this patient segment given 2-16 cycles
(median 4) of brentuximab vedotin monotherapy (17).

Commonly used in treating HL, brentuximab vedotin has


shown modest activity in NHL patients expressing CD30.
Jacobsen et al observed ORR of 44% for relapsed/refractory
225
diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) patients, including 17%
CR (8 patients) (18). Given in combination with RCHOP as first-
line treatment in CD30-unselected high-intermediate/high-risk
DLBCL patients, Yasenchak et al observed ORR of 92% (11/12
patients), with 7 CR (58%), 4 partial remission (PR) (33%), and
1 progressive disease (PD), elucidating the potential of
brentuximab vedotin in treating certain NHL patients (19).

Although the effectiveness of brentuximab vedotin in


Indonesian patients is currently unknown, an observational
retrospective study recently reported that CD30 is expressed
in 30% (14/42) of Indonesian HL patients and 100% (3/3) in
systemic anaplastic large cell lymphoma (sALCL) patients,
suggesting its potential as a target for therapy in Indonesian
population (20). Despite its promising potential, widespread
use of brentuximab vedotin in Indonesia might be challenging
for 2 reasons. Firstly, examination of CD30 expression is not yet
widely available across Indonesia. Secondly, brentuximab
vedotin is currently not covered by Indonesian national
insurance. Its high price tag may not be affordable by most of
Indonesian population without the support of private health
insurance. Clinical trial on Indonesian population is needed to
provide evidence to support national coverage of brentuximab
vedotin for the treatment of lymphoma patients in Indonesia.

226
Bibliography
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser R, Mathers C, Rebelo
M, et al. Cancer incidence and mortality worldwide: sources,
methods and major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer.
2015 Mar; 136(5):E359-86.
2. Moccia AA, Donaldson J, Chhanabhai M, Hoskins PJ, Klasa RJ,
Savage KJ, et al. International Prognostic Score in advanced-
stage Hodgkin's lymphoma: altered utility in the modern era. J
Clin Oncol. 2012 Sep; 30(27): 3383-8.
3. Sehn LH, Berry B, Chhanabhai M, Fitzgerald C, Gill K, Hoskins P,
et al. The revised International Prognostic Index (R-IPI) is a
better predictor of outcome than the standard IPI for patients
with diffuse large B-cell lymphoma treated with R-CHOP.
Blood. 2007 Mar; 109(5): 1857-61.
4. DeVita VT. DeVita, Hellman, and Rosenberg's Cancer: Principles
& Practice of Oncology. 8th ed. DeVita VT, Lawrence TS,
Rosenberg SA, editors. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2008.
5. Hu S, Xu-Monette ZY, Balasubramanyam A, Manyam GC, Visco
C, et al. CD30 expression defines a novel subgroup of diffuse
large B-cell lymphoma with favorable prognosis and distinct
gene expression signature: a report from the International
DLBCL Rituximab-CHOP Consortium Program Study. Blood.
2013 Apr; 121(14): 2715-24.
6. Slack GW, Steidl C, Sehn LH, Gascoyne RD. CD30 expression in
de novo diffuse large B-cell lymphoma: a population-based
study from British Columbia. Br J Haematol. 2014 Dec; 167(5):
608-17.
7. Onaindia A, Martínez N, Montes-Moreno S, Almaraz C,
Rodríguez-Pinilla SM, et al. CD30 Expression by B and T Cells: A
Frequent Finding in Angioimmunoblastic T-Cell Lymphoma and
Peripheral T-Cell Lymphoma-Not Otherwise Specified. Am J
Surg Pathol. 2016 Mar; 40(3): 378-85.
8. van der Weyden CA, Pileri SA, Feldman AL, Whisstock J, Prince
HM. Understanding CD30 biology and therapeutic targeting: a

227
historical perspective providing insight into future directions.
Blood Cancer J. 2017 Sep; 7(9): e603.
9. Younes A, Gopal AK, Smith SE, Ansell SM, Rosenblatt JD, et al.
Results of a pivotal phase II study of brentuximab vedotin for
patients with relapsed or refractory Hodgkin's lymphoma. J
Clin Oncol. 2012 Jun; 30(18): 2183-9.
10. Moskowitz CH, Nademanee A, Masszi T, Agura E, Holowiecki J,
et al. Brentuximab vedotin as consolidation therapy after
autologous stem-cell transplantation in patients with Hodgkin's
lymphoma at risk of relapse or progression (AETHERA): a
randomised, double-blind, placebo-controlled, phase 3 trial.
Lancet. 2015 May; 385(9980): 1853-62.
11. Nademanee A, Sureda A, Stiff P, Holowiecki J, Abidi M, et al.
Safety Analysis of Brentuximab Vedotin from the Phase III
AETHERA Trial in Hodgkin Lymphoma in the Post-Transplant
Consolidation Setting. Biol Blood Marrow Transplant. 2018
May; pii: S1083-8791(18)30298-2.
12. Cole PD, McCarten KM, Pei Q, Spira M, Metzger ML.
Brentuximab vedotin with gemcitabine for paediatric and
young adult patients with relapsed or refractory Hodgkin's
lymphoma (AHOD1221): a Children's Oncology Group,
multicentre single-arm, phase 1-2 trial. Lancet Oncol. 2018
Sep; 19(9): 1229-38.
13. Abramson JS, Arnason JE, LaCasce AS, Redd R, Barnes JA, et al.
Brentuximab vedotin plus AVD for non-bulky limited stage
Hodgkin lymphoma: A phase II trial. J Clin Oncol. 2015; 33(15
Suppl.): 8505.
14. Kumar A, Casulo C, Yahalom J, Schöder H, Barr PM, et al.
Brentuximab vedotin and AVD followed by involved-site
radiotherapy in early stage, unfavorable risk Hodgkin
lymphoma. Blood. 2016 Sep; 128(11): 1458-64.
15. Connors JM, Jurczak W, Straus DJ, Ansell SM, Kim WS, et al.
Brentuximab Vedotin with Chemotherapy for Stage III or IV
Hodgkin's Lymphoma. N Engl J Med. 2018 Jan; 378(4): 331-44.
16. Eichenauer DA, Plütschow A, Kreissl S, Sökler M, Hellmuth JC,
et al. Incorporation of brentuximab vedotin into first-line

228
treatment of advanced classical Hodgkin's lymphoma: final
analysis of a phase 2 randomised trial by the German Hodgkin
Study Group. Lancet Oncol. 2017 Dec; 18(12): 1680-7.
17. Gibb A, Pirrie S, Linton K, Paterson K, Davies A, et al. Results of
a phase II study of brentuximab vedotin in the first line
treatment of Hodgkin lymphoma patients considered
unsuitable for standard chemotherapy (BREVITY). Hemmatol
Oncol. 2017; 35(Suppl.2): 80–81.
18. Jacobsen ED, Sharman JP, Oki Y, Advani RH, Winter JN, et al.
Brentuximab vedotin demonstrates objective responses in a
phase 2 study of relapsed/refractory DLBCL with variable CD30
expression. Blood. 2015 Feb; 125(9): 1394-402.
19. Yasenchak CA, Farber CM, Budde LE, Ansell SM, Advani R, et al.
Brentuximab Vedotin in Combination with RCHOP As Front-
Line Therapy in Patients with DLBCL: Interim Results from a
Phase 2 Study. Blood. 2014; 124(21): 1745.
20. Ranuhardy D, Suzanna E, Sari RM, Hadisantoso DW, Andalucia
R, Abdillah A. CD30, CD15, CD50, and PAX5 Expressions as
Diagnostic Markers for Hodgkin Lymphoma (HL) and Systemic
Anaplastic Large Cell Lymphoma (sALCL). Acta Med Indones.
2018 Apr; 50(2): 104-9.

229
230
How should we personalize front-line therapy in mCRC?

Hery Aprijadi
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncolgy Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Prognosis metastatic colorectal cancer (mCRC) saat ini masih
rendah dengan survival 5 tahun berkisar 13%. Terdapat banyak
faktor-faktor penentu terapi antara lain presentasi klinis,
biologi tumor (sebaran metastasis, progresivitas, dan marker
biokimia dan molekuler), penyakit komorbid, faktor
sosioekonomi serta toksisitas terapi. Akhir-akhir ini para
peneliti mendapatkan obat-obat baru sehingga strategi
pengobatan menjadi bervariasi dan kompleks. Tujuan
kemoterapi pada mCRC bersifat paliatif dan meningkatkan
kualitas hidup. Berikut ini secara singkat pendekatan
pengobatan kanker kolorektal metastatik.

Biomarker prediktif
Perkembangan biomarker prediktif pada mCRC yang
dikembangkan sejak 10 tahun terakhir membantu klinisi dalam
terapi lini pertama mCRC. Mutasi onkogen RAS (KRAS dan
NRAS) didapatkan pada separuh penderita mCRC, yang
menyebabkan aktivasi jalur RAS-RAF-ERK dan resisten
terhadap terapi anti-EGFR. Adanya mutasi pada RAF.
Khususnya BRAF V600E didapatkan pada 5-18% ca colon dan

231
prognosisnya buruk. Pada kelompok dengan RAS wild-type,
penelitian menunjukkan letak tumor primer dapat
memprediksi respons terapi anti-EGFR, yaitu bila letaknya di
sisi kiri memberikan survival yang signifikan dibandingkan bila
letaknya di sisi kanan. mCRC juga memperlihatkan instabilitas
mikrosatelit (MSI) sekitar 4-9% yang disebabkan oleh genotip
dengan mismatch repair deficiency (dMMR). Terapi PD1-
blockade menunjukkan respons lebih baik pada mCRC dengan
status MSI-high.

mCRC dengan RAS dan BRAF Wild-type (WT)


Pasien yang tidak menunjukkan mutasi RAS dan BRAF
memberikan respons yang baik pada pemberian kemoterapi
dan anti-EGFR. Cetuximab dan panitumumab merupakan
pilihan obat antibodi monoklonal anti-EGFR. CRYSTAL trial
yang mengkombinasikan regimen FOLFIRI dan cetuximab pada
pasien dengan KRAS exon 2 WT secara signifikan memperbaiki
RR (response rate), PFS (progression free survival) dan median
OS (overall survival). PRIME trial menunjukkan superioritas PFS
dan OS dengan penambahan panitumumab pada FOLFOX
penderita RAS WT (KRAS dan NRAS exon 2,3,4) dan
menunjukkan hasil perburukan bila RAS mutation menerima
terapi anti-EGFR. Sementara itu pemberian anti-EGFR pada
pasien dengan mutasi BRAF V600E tidak memberikan manfaat.
FIRE-3 dan CALBG/SWOG 80405 trial membandingkan
cetuximab dan bevacizumab. FIRE-3 menunjukkan
peningkatan OS pada pemberian cetuximab plus FORFIRI,
sedangkan CALGB/SWOG 80405 menunjukkan peningkatan OS
5,5 bulan pada cetuximab.

232
Lokasi tumor primer mCRC WT: kiri dan kanan
Asal embriologi colon dikotomus. Colon kanan proksimal
berasal dari midgut sedangkan colon kiri distal berasal dari
hindgut. Pada trial E2290 ternyata pasien dengan mCRC sisi kiri
pada pemberian leucovorin-5FU memberikan OS lebih panjang
(15,8 vs 10,9; P<0,001). Pada studi cohort RAS WT
CALBG/SWOG80405 didapatkan pasien dengan tumor sisi kiri
mempunyai OS lebih panjang (33,3 vs19,4; P<0,001). Lokasi
tumor juga dapat memprediksi respons terapi biologi yaitu
19,3 bulan lebih lama pada tumor kiri yang mendapat
cetuximab (36 vs 16,7 bulan; P<0,001). Hal yang sama juga
pada pasien yang mendapat bevacizumab.

Gambar 1. Perbedaan faktor klinis, marker molekul, dan profil


ekspresi gen Ca kolorektal kanan dan kiri

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa penelitian yang


membandingkan berdasarkan lokasi tumor kolorektal.

233
Tabel 1. perbandingan respons kemoterapi berdasarkan lokasi
tumor mCRC mutasi RAS dan BRAF

Adanya mutasi RAS dan RAF menyebabkan terjadinya


resistensi terhadap terapi anti-EGFR. Kemoterapi dengan atau
tanpa bevacizumab merupakan terapi standard untuk
kelompok ini. Regimen FOLFOX dan FOLFIRI merupakan yang
tersering digunakan. Tidak ada perbedaan RR, time to
progression atau OS pada kedua regimen. Pemberian
bevacizumab kombinasi dengan irinotecan, fluorouracil dan
leucovorin (IFL) menunjukkan perbaikan signifikan pada
median dan OS dibandingkan hanya placebo (20,3 vs 15,6
bulan; P<0,001). Beberapa regimen kemoterapi lain (FOLFOX,
FOLFIRI, CapeOx) juga dikombinasikan dengan bevacizumab
dan memberikan hasil yang sama. Keuntungan kombinasi
bevacizumab dengan kemoterapi ditunjukkan pada CAIRO-3
yang memperlihatkan peningkatan PFS ketika bevacizumab
dan capecitabine dilanjutkan setelah terjadi progresivitas
dengan CapeOx 6 siklus. Bevacizumab sebagai monoterapi
tidak memberikan hasil signifikan.

234
Pada kondisi pasien yang baik dengan gejala simtomatik yang
berat, intensifikasi terapi dengan triplet 5-FU/leucovorin,
oxaliplatin dan irinotecan (FOLFOXIRI) dapat merupakan
pilihan. Grup GONO membandingkan FOLFOXIRI dan FOLFIRI
menunjukkan peningkatan RR (60% vs 35%; P<0,001), tetapi
efek samping meningkat seperti neurotoksisitas, stomatitis,
diare dan neutropenia. Hal yang sama juga bila bevacizumab
ditambahkan pada FOLFOXIRI memberikan peningkatan
signifikan pada median OS (29,8 vs 25,8 bulan; P=0,03).
Gambar 2 menunjukkan algoritme penatalaksanaan mCRC
berdasarkan ESMO guidelines.

Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan mCRC

Terapi pemeliharaan
Setelah terapi induksi, terapi pemeliharaan merupakan pilihan
khususnya pasien dengan kemoterapi berbasis oxaliplatin.
Terapi pemeliharaan kombinasi capecitabine plus

235
bevacizumab ditunjukkan pada CAIRO 3 dan AIO0207
memperpanjang PFS. Pasien yang mendapat FOLFIRI dapat
dilanjutkan sepanjang pengecilan tumor berlanjut dan efek
samping dapat ditoleransi.

Terapi lini kedua


Terapi lini kedua biasanya dilakukan pada pasien dengan status
perfoma baik dan fungsi organ baik serta tergantung pilihan
terapi lini pertama. Pasien dengan bevacizumab naive, harus
diberikan antiangiogenik (bevacizumab atau aflibercept) pada
lini kedua. Pasien yang menerima bevacizumab pada lini
pertama, diberikan bevacizumab pasca pemberhentian atau
aflibercept/ramucirumab (kombinasi dengan FOLFIRI) bila
diberikan oxaliplatin pada lini pertama. Anti-EGFR kombinasi
dengan FOLFIRI/irinotecan diberikan untuk pasien dengan RAS
WT (BRAF WT). Penatalaksanaan terapi lini kedua dan terapi
pemeliharaan berdasarkan ESMO guidelines ditunjukkan pada
gambar3.

Gambar 3. Penatalaksanaan terapi lini kedua dan terapi


pemeliharaan

236
Defisiensi mismatch repair (dMMR) mCRC
MMR merupakan sistem pertahanan integritas DNA. Peran
utama MMR adalah mengoreksi mismatch (insersi dan delesi)
nukleotida. Sel yang mengalami mutasi pada gen tertentu akan
melakukan kesalahan dalam membuat kopi DNA di dalam sel.
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kanker.
dMMR menyebabkan akumulasi mutasi somatik. Anti-PD-1
pembrolizumab menunjukkan respons yang baik pada pasien
mCRC progresif yang refrakter terhadap kemoterapi. Hal ini
menunjukkan dengan inhibisi PD-1 mengakibatkan sistem
imun mampu mengenal neoantigen yang berasal dari tumor
dMMR dengan mutasi tinggi, yang diketahui dari fenotipe MSI
nya.

Simpulan
Perkembangan penemuan obat-obat baru dan pengelolaan
interdisiplin ilmu menyebabkan meningkatnya survival pasien
mCRC. Sejumlah pilihan terapi meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. Karakteristik tumor antara
lain biologi tumor, marker biologi, letak tumor, sebaran tumor
serta faktor komorbid menentukan jenis terapi dan prognosis
penderita mCRC.

237
Daftar pustaka
1. King GT, Lieu CH, Messersmith WA. Frontline strategies for
metastatic colorectal cancer: new side to the story. AJHO
2016;12 (10):4-11.
2. Holch J, Stintzing S, Heinemann V. treatment of metastatic
colorectal cancer: standard of care nad future perspective.
Visc Med 2016;32:178-83.
3. Vogel A, Hofheinz RD, Kubicka S, Arnold D. treatment
decisions in metastatic colorectal cancer-Beyond first and
second line combination therapies. Cancer Treat Rev
2017;59:54-60.
4. Cutsem EV, Cervantes A, Adam R, Sobrero A, Van Krieken JH,
et al. ESMO consensus guidelines for the management of
patients with metastatic colorectal cancer. Annals of Oncol
2016;27:1386-422.
5. Salvatore L, Aprile G, Arnoldi E, Aschele C, Carnaghi C, et al.
management of metastatic colorectal cancer patients:
guidelines of the Italian medical oncology association
(AIOM). Esmo open 2017.

238
Limfoma Non Hodgkin Agresif :
tatalaksana terkini

Amaylia Oehadian
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Di Indonesia pada tahun 2008-2012 limfoma merupakan
keganasan yang paling sering ditemukan, angka kejadian
peringkat ke-9 pada wanita dan ke-6 pada laki laki. Limfoma
merupakan keganasan dengan urutan ke-5 yang paling sering
ditemukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan
Sadikin pada periode tahun 2008-2012 (peringkat ke 3 pada
laki-laki dan ke 6 pada wanita). Limfoma Non Hodgkin (NHL)
agresif adalah tipe limfoma yang tumbuh dan menyebar
dengan cepat dan mempunyai simptom yang berat. Limfoma
Non Hodgkin agresif juga dikenal sebagai High-Grade limfoma
dan intermediate-grade limfoma. Di RSUP Dr. Hasan Sadikin,
limfoma tipe agresif adalah 98,9% dari seluruh limfoma selama
tahun 2008-2014.
Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan 30-58%
penderita non Hodgkin lymphoma.1

239
Pada makalah ini akan dibahas faktor risiko, diagnostik,
prognosis, prinsip terapi dan penelitian terbaru terapi limfoma
non Hodgkin dengan fokus pada tipe Diffuse large B cell
lymphoma

Faktor risiko
Faktor risiko DLBCL antara lain.1 :
• Riwayat keluarga dengan limfoma
• Penyakit autoimun
• Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV)
• Infeksi hepatitis C
• Indeks massa tubuh yang tinggi
• Usia dewasa muda

Diagnosis
• Biopsi eksisi merupakan metode yang optimal untuk
diagnosis
Biopsi eksisi memungkinkan untuk mendapatkan
gambaran struktur kelenjar getah bening dan bahan
yang adekuat untuk pemeriksaan fenotipe dan
molekuler dan flowsitometri serta ekstraksi DNA dan
RNA.1
• Imunohistokimia
Panel imunohistokimia yang direkomendasikan adalah
CD20, CD79a, BCL6, CD10, MYC, BCL2, Ki67, IRF4,
CyclinD1, CD5 and CD23.1
• Gene expression profiling (GEP)
Penentuan fenotipe asal sel dengan gene expression
profiling merupakan faktor prognosis utama pada
DLBCL.

240
Terdapat 3 tipe fenotipe DLBCL yaitu :
• Fenotipe germinal center (GCB) .1
• Fenotipe activated B cell (non GCB) .1
• Fenotipe unclassified.1
• Fluorescence in situ hybridization (FISH)

Berdasarkan translokasi kromosom, terdapat beberapa tipe


DLBCL yaitu :
• Double- hit lymphoma: translokasi BCL-2,
MYC.2
• Triple-hit lymphoma: translokasi BCL-2,
BCL-6 dan MYC.2
• Double expresors: ekspresi
2
imunohistokimia MYC dan BCL2 .

Kepentingan pilihan terapi dan prognostik gene rearangement


ini masih kontroversial.3.4

Prognosis
Prognosis berdasarkan International Prognostic Index dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. International Prognostic Index.1


Prinsip terapi
• Central nervous system (CNS) prophylaxis

Penderita dengan risiko tinggi kekambuhan di susunan syaraf


pusat adalah.5 :

• Penderita dengan IPI high-intermediate dan high-


risk

241
• lebih dari satu ekstranodal
• peningkatan LDH (52)
• Keterlibatan testis, ginjal, adrenal
• MYC gene rearrangement

Pada penderita -penderita ini direkomendasikan profilaksis


sususan syaraf pusat dengan menggunakan methotrexate
dosis tinggi intravena.5

• Pertimbangan khusus

Beberapa kasus DLBCL memerlukan pertimbangan


khusus antara lain :
• Subtipe activated B-cell (ABC) mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan germinal
centre B-cell (GCB) .6
• Regimen R-ACVBP (Rituximab, Doxorubicin,
Cyclophosphamide, Vincristin, Bleomycin,
Prednison) memberikan perbaikan kelangsungan
hidup dibandingkan R-CHOP pada populasi non-
GCB/ABC.6
• Subtipe ABC mempunyai karakteristik aktivasi jalur
NF-κB terus menerus, yang dapat menjadi target
terapi bortezomib dan lenalidomide.7
• Kombinasi bortezomib dengan dose-adjusted-
EPOCH (etoposide, vincristine, doxorubicin,
cyclophosphamide and prednisone) (DA-EPOCH)
menunjukkan aktivitas selektif pada penelitian
kecil DLBCL relaps/refrakter DLBCL tipe ABC.7
• Penelitian fase III di Inggris dan Swiss : REMoDL-B
membandingkan R-CHOP dengan R-CHOP-

242
bortezomib pada tipe DLBCL yang ditentukan
dengan gene expression prolife sedang
berlangsung.8
• Lenalidomide sebagai agen tunggal menunjukkan
aktivitas selektif pada subtype non-GCB.9
• Ibrutinib (oral Bruton’s tyrosine kinase inhibitor)
menunjukkan aktivitas selektif pada ABC-DLBCL.
Penelitian fase III ibrutinib dikombinasikan
dengan R-CHOP pada populasi non-GCB sedang
berlangsung. 10

Rekomendasi terapi DLBCL berdasarkan ESMO tahun 2015


dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rekomendasi terapi DLBCL berdasarkan ESMO


tahun 2015.1
Pertimbangkanprofilaksis
Pertimbangkan profilaksissusunan
susunansyaraf
syarafpusat
pusatpada
padapenderita
penderitadengan
dengan
risiko tinggi relaps pada susunan syaraf pusat

R-CHOP21xx6-8
R-CHOP21 6-8(R-CHOP21
R-miniCHOP21
x 6 untukx IPI
6 rendahganti
)ataudoxorubicin
R-CHOP14 x 6
(R-CHOP21 x 6 dengan gemcitabine,
untuk IPI rendah etoposide, liposomal
)atau R-CHOP14 doxorubicin atau lainnya
x 6 dengan 8R (RC(X)OP21 x 6 atau
terapi paliatif
kemoterapi
>2
Dapat
relaps/progresif
transplantasi
berbasis tidak
platinum
Dapat
dapat
(R-DHAP,
transplantasi
transplantasi
R-ICE, tidak
R-GDP)
transplantasi
dapat
sebagai terapi
alogenik,

transplantasi alogenik, uji klinik dengan obat baru uji klinik dengan obat
Ringkasan tatalaksana DLBCL berdasarkan Rekomendasi
ESMO tahun 2015.1

243
Diagnosis dan patologi/biologi molekuler.1
• Diagnosis harus dilakukan di laboratorium
hematopatologi yang direferensikan dengan keahlian
interpretasi morfologi, penentuan fenotipe dan
pemeriksaan molekuler
• Biopsi secara operasi merupakan metode diagnostik
yang optimal
• Needle-core dan biopsi secara endoskopi hanya
dilakukan pada penderita yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan biopsi secara operasi
• Biopsi aspirasi jarum halus tidak dapat digunakan
sebagai satu-satunya pemeriksaan untuk
mendiagnosis DLBCL
• Diagnosis morfologi DLBCL harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan imunofenotipe
• Bila terdapat keraguan diagnosis, dapat
dipertimbangkan pemeriksaan PCR-based method
untuk menunjukkan monoklonalitas sel B
• Direkomendasikan pemeriksaan BCL2 dan MYC
rearrangement dengan interphase FISH pada pasien
baru dan pasien relaps yang akan menjalani terapi
kuratif

Staging dan penilaian risiko.1


• Pemeriksaan fisik, status performans, penilaian
symptom B
• Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah termasuk
LDH, asam urat, skrining HIV, HBV dan HCV
• Elektroforesa protein

244
• FDG-PET/CT direkomendasikan sebagai baku emas
staging DLBCL
• Bila Contrast enhanced CT tidak diperiksa sebelum
PET/CT, perlu dilakukan contrast enhanced CT bila
diperlukan, dikombinasikan dengan PET/CT. Biopsi
sumsum tulang dapat dihindari bila PET/CT scan
menunjukkan lesi di tulang atau sumsum tulang yang
mengindikasikan stadium lanjut. Biopsi sumsum tulang
diindikasikan pada kasus dengan PET negative, bila
hasil akan mengubah prognosis dan terapi, terutama
bila direncanakan pemberikan imunokemoterapi yang
lebih singkat
• Untuk kecurigaan limfoma susunan syaraf pusat, MRI
merupakan modalitas pemeriksaan yang
direkomendasikan
• Punksi lumbal diagnostic harus dipertimbangkan pada
penderita risiko tinggi
• Fungsi jantung (left ventricular ejection fraction) harus
diperiksa sebelum memulai terapi
• Staging menggunakan klasifikasi Ann Arbor
• IPI dan aa IPI harus dievaluasi untuk prognosis

Terapi.1
• Strategi terapi harus distratifikasi berdasarkan umur,
IPI dan kemungkinan dose-intensified
• Uji klinik direkomendasikan
• Pada keadaan high tumor load, perlu dilakukan
pencegahan terjadinya sindroma lisis tumor
• Penurunan dosis karena toksisitas hematologi harus
sedapat mungkin dihindari

245
• Adanya risiko febrile neutropenia merupakan
pertimbangan untuk pemberikan profilaksis
hematopoietic growth factors pada penderita yang
mendapat terapi kuratif dan pada penderita usia di
atas 60 tahun
• Untuk penderita muda, low-risk (aa-IPI=0), tanpa bulky
disease :
• 6 siklus kemoterapi CHOP dan 6 siklus
rituximab setiap 12 hari merupakan standar
terapi
• Radioterapi konsolidasi pada daerah non-
bulky tidak terbukti bermanfaat baik pada
pasien yang mendapat rituximab atau tidak
• Pada penderita muda low-intermediate risk (aa-IPI=1)
atau IPI low risk (aa-IPI=0) dengan bulky disease
• R-CHOP 6 siklus dengan radioterapi pada
daerah bulky atau R-ACVBP
• Pada penderita muda high-risk dan high-intermediate
risk (aa-IPI>2)
• Prioritas untuk uji klinik
• CHOP 6-8 siklus dengan 8 siklus rituximab
setiap 21 hari merupakan regimen yang paling
banyak digunakan
• R-CHOP dose dense setiap 14 hari tidak
menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup
dibandingkan R-CHOP tiap 21 hari
• Terapi intensif R-ACVBP atau R-CHOEP sering
digunakan, tetapi regimen-regimen ini belum
dibandingkan secara langsung dengan R-CHOP

246
• High dose Chemotherapy dengan ASCT
(autologous stem cell transplant) sebagai lini
pertama masih merupakan Penelitian dan
dapat dipertimbangkan pada pasien high-risk
tertentu
• Peranan interim PET untuk memilih pasien
yang mendapat manfaat dari ASCT konsolidasi
atau radioterapi masih dalam Penelitian
• Untuk pasien usia 60-80 tahun
• 6-8 siklus CHOP dengan 8 siklus Rituximab
setiap 21 hari merupakan regimen standar
• Bila R-CHOP diberikan setiap 14 hari, cukup
diberikan 6 siklus CHOP dan 8 siklus rituximab
• Perlu assessment geriatri komprehensif untuk
menilak komorbid dan penurunan fungsional
sebagi pedoman pemilihan terapi pada
penderita usia lanjut dnegan prognosis buruk
• R-CHOP biasanya dapat digunakan sampai
usia 80 tahun pada pasien dengan keadaan
baik. Perlu dipertimbangkan modulasi terapi
sesuai dengan asesmen geriatri
• Untuk pasien usia > 80 tahun
• R-mini CHOP dapat menginduksi remisi
komplit dan kelangsungan hidup jangka
panjang
• Penggantian doxorubicin dengan gemcitabine,
etoposide atau liposomal doxorubicin atau
regimen tanpa doxorubicin dapat
dipertimbangkan dati awal atau setelah 4
siklus pada pasien dengan gangguan jantung
247
atau pada pasien frail atau kondisi yang tidak
baik
• Profilaksis Susunan Syaraf pusat
• Direkomendasikan pada pasien dengan high-
intermediate dan high-risk IPI, terutama bila
disertai 1 atau lebih keterlibatan ekstranodal
atau dengan keterlibatan testis, ginjal atau
adrenal
• Pasien dengan infeksi HIV harus menerima
terapi yang sama dengan pasien HIV negatif
• Profilaksis antiviral atau pemantauan HBV-
DNA periodic dan terapi antiviral
direkomendasikan pada pasien yang
sebelumnya terpapar Hepatitis B virus yang
mengalami reaktivasi selama terapi
• Evaluasi respon.1
• FDG-PET/CT merupakan standar untuk
evaluasi respon
• Pada adanya residual metabolic aktif, bila
dipertimbangkan terapi salvage,
direkomendasikan biopsy
• Evaluasi interim :
• Imaging setelah 3-4 siklus untuk
mengevaluasi adanya progresivitas
• Perubahan terapi tidak hanya dari hasil
interim PET/CT, kecuali bila jelas ada
bukti progresivitas
• Evaluasi PET setelah 1-2 siklus
merupakan prediktif keberhasilan terapi
pada uji klinik
248
• Pemantauan.1 :
• Anamnesa dan pemeriksaan fisik setiap 3
bulan selama 1 tahun, setiap 6 bulan selama 2
tahun berikutnya, kemudian 1 tahun sekali,
dengan perhatian pada terjadinya keganasan
sekunder dan efek samping kemoterapi jangka
panjang
• Pemeriksaan darah dilakukan pada bulan ke 3,
6, 12 dan 24, hanya untuk mengevaluasi
symptom atau gejala klinis yang memerlukan
terapi lanjutan
• Pemeriksaan radiologi pada bulan ke 3,6,12
dan 24 setelah selesai terapi menggunakan CT
scan merupakan hal yang sering dilakukan
pada praktik klinis. Tidak terdapat bukti yang
kuat bahwa pemantauan imaging pada
penderita dengan respon komplit
memberikan manfaat pada kelangsungan
hidup. Hal ini dapat meningkatkan risiko
keganasan sekunder. Pemantauan rutin
dengan PET scan tidak direkomendasikan.

Ringkasan
Limfoma Non Hodgkin (NHL) agresif adalah tipe
limfoma yang tumbuh dan menyebar dengan cepat
dan mempunyai simptom yang berat. Limfoma Non
Hodgkin agresif juga dikenal sebagai High-Grade
limfoma dan intermediate-grade limfoma. Di RSUP Dr.
Hasan Sadikin, limfoma tipe agresif adalah 98,9% dari
seluruh limfoma selama tahun 2008-2014. Diffuse

249
large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan 30-58%
penderita non Hodgkin lymphoma. Pertimbangan
pemilihan terapi memerlukan evaluasi skor aa IPI,
adanya bulky disease, usia dan subtipe histopatologi.
FDG-PET/CT direkomendasikan untuk penentuan
staging, menilai respon interim setelah 3-4 siklus dan
evaluasi respon pada akhir terapi.

Daftar Pustaka
1. Tilli H, Gomes da Silva M, Vitolo U, Jack A, Meignan M, Lopez-
Guillermo A, et al. Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL):
ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment
and follow-up. Annals of Oncology 2015;26(Supplement
5):v116–v125,2015 doi:10.1093/annonc/mdv304.
2. Coiffier B, Sarkozy C. Diffuse large B-cell lymphoma: R-CHOP
failure—what to do?. Hematology 2016 ;366-78.
3. Savage KJ, Johnson NA, Ben-Neriah S et al. MYC gene
rearrangements are associated with a poor prognosis in
diffuse large B-cell lymphoma patients treated with R-CHOP
chemotherapy. Blood 2009; 114: 3533–3537.
4. Barrans S, Crouch S, Smith A et al. Rearrangement of MYC is
associated with poor prognosis in patients with diffuse large
B-cell lymphoma treated in the era of rituximab. J Clin Oncol
2010; 28: 3360–3365
5. Cheah CY, Herbert KE, O’Rourke K et al. A multicentre
retrospective comparison of central nervous system
prophylaxis strategies among patients with high-risk diffuse
large B-cell lymphoma.Br J Cancer 2014; 111: 1072–1079.
6. Molina TJ, Canioni D, Copie-Bergman C et al. Young patients
with non-germinal center B-cell-like diffuse large B-cell
lymphoma benefit from intensified chemotherapy with
ACVBP plus rituximab compared with CHOP plus rituximab:
analysis of data from the Groupe d’Etudes des Lymphomes de
l’Adulte/lymphoma studyassociation phase III trial LNH 03–
2B. J Clin Oncol 2014; 32: 3996–4003.
250
7. Dunleavy K, Pittaluga S, Czuczman MS et al. Differential
efficacy of bortezomib plus chemotherapy within molecular
subtypes of diffuse large B-cell lymphoma. Blood2009; 113:
6069–6076.
8. Hernandez-Ilizaliturri FJ, Deeb G, Zinzani PL et al. Higher
response to lenalidomide in relapsed/refractory diffuse large
B-cell lymphoma in nongerminal center B-cell-like
thaningerminalcenterB-cell-likephenotype.
Cancer2011;117:5058–5066.
9. Czuczman MS, Davies A, Linton KM et al.A phase 2/3
multicenter, randomizedstudy comparing the efficacy and
safety of lenalidomide versus investigator’s choice in
relapsed/refractoryDLBCL.Blood(ASHAnnualMeetingAbstract
s)2014;124:628
10. Younes A, Thieblemont C, Morschhauser F et al. Combination
of ibrutinib with rituximab, cyclophosphamide, doxorubicin,
vincristine, and prednisone (R-CHOP) for treatment-naive
patients with CD20-positive B-cell non-Hodgkin lymphoma: a
non-randomised, phase 1b study. Lancet Oncol 2014; 15:
1019–1026.

251
252
Tatalaksana Limfoma Non Hodgkins Indolent

Trinugroho Heri Fadjari


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Pendahuluan
Berdasarkan presentasi klinisnya, maka LNH dapat dibagi
menjadi 2 kelompok utama, yakni LNH agresif dan LNH
indolen. LNH indolen sering tidak diketahui kapan terjadinya,
limfadenopati biasanya tidak cepat membesar, tidak jarang
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, serta
sitopenia perifer. Diantara berbagai jenis LNH indolen, yang
sering ditemukan adalah limfoma folikuler (21-40%), leukemia
limfositik kronik (6%), limfoma zona marginal (5%).

Berbeda dengan LNH agresif dimana sering sekitar 50%


ditemukan gejala sistemik (demam, penurunan berat badan,
keringat malam), pada LNH indolen hanya <20% yang disertai
gejala sistemik.

Anamnesis
Selain pembesaran kelenjar, sekitar 50% penderita LNH datang
dengan keluhan lemah badan, demam lama, asites, efusi
pleura, atau keluhan lain tergantung organ tubuh yang
terkena, misalnya:
253
- Limfoma gastrointestinal: Penurunan BB, mual/muntah,
nyeri perut, ileus, perdarahan saluran cerna.
- Limfoma susunan syaraf pusat: nyeri kepala, kejang,
kelumpuhan, meningitis.
- Beberapa gejala lain dapat merupakan kondisi darurat pada
onkologi, seperti: Tamponade jantung, sindroma vena cava
superior, hiperleukositosis, obstruksi saluran nafas akut,
hyperuricemia, ikteris, thrombosis vena, hemolitik anemia,
trombositopenia.
Juga perlu ditanyakan tentang hal-hal yang dapat
mencetuskan terjadinya limfoma secara umum, seperti:
- Riwayat keluarga, penggunaan imunosupresan,
transplantasi organ.
- Paparan terhadap pestisida, cat rambut.
- Infeksi virus: HIV, HTLV, EBV, Hepatitis B, Hepatitis C.
- Penyakit otoimun (Lupus, artritis rematoid, tiroiditis,
sindrom Sjogren)
- Cryoglobulinemia
- Penyakit Crohn, Gastritis akibat H. pylori
- Obesitas

Pemeriksaan Fisik
Diperlukan pemeriksaan fisik yang seksama, terutama
pembesaran kelenjar yang tidak nyeri, tidak terfiksasi pada
struktur sekitarnya, dengan konsistensi yang kenyal.

Pembesaran hati, limpa, dan pemeriksaan organ terkait sesuai


dengan keluhan penderita.

254
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis LNH indolen diperlukan biopsi
eksisi. Biopsi inti (Core needle biopsy) hanya dilakukan pada
kondisi tertentu, misalnya penderita dengan keadaan umum
yang kurang baik. Aspirasi biopsi jarum halus (FNAB) sangat
tidak dianjurkan untuk menegakkan diagnosis LNH.

Diagnosis secara patologi-anatomi (PA) harus sesuai dengan


klasifikasi WHO.

Penentuan Stadium
Karena pengobatan sangat tergantung dengan stadium
penyakit, maka penentuan stadium harus dilakukan secara
baik dan benar. Beberapa panduan menyarankan pencitraan
dengan CT scan mulai dari leher, toraks, abdomen dan pelvis.
Juga perlu dilakukan aspirasi sumsum tulang untuk
memastikan ada tidaknya keterlibatan sumsum tulang. Bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan PET CT scan untuk lebih
meyakinkan stadiumnya.

Endoskopi saluran cerna kadang diperlukan apabila secara


klinis dan pencitraan terdapat limfoma pada saluran cerna,
atau apabila hasil biopsi kelenjarnya menunjukkan adanya
limfoma sel mantel atau MALT (mucosa associated lymphoid
tissue).

Penentuan stadium dibuat berdasarkan klasifikasi Ann Arbor,


seperti tampak pada gambar dibawah ini.

255
A: tanpa gejala sistemik, B: dengan gejala sistemik
(demam, keringat malam, penurunsn berat badan
(B symtoms). Ref: Skarin. Dana-Farber Cancer
Institute. Atlas of Diagnostic Oncology.1991

Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Selain pencitraan, diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya
seperti:

- Hematologi: Hb, Leukosit, trombosit, hitung jenis.


- Asam urat, LDH, B2-mikroglobulin
- Penapisan infeksii HIV, Hepatitis B, Hepatitis C.
- Tes faal ginjal dan faal hati.

Penentuan Risiko
Berbeda dengan LNH agresif yang menggunakan International
Prognostic Index (IPI) sebagai penentu prognostik, maka
khusus untuk LNH folikuler dikenal dengan nama FLIPI dan
FLIPI-2 yang merupakan revisi FLIPI. FLIPI adalah factor
prognostik yang dibuat sebelum era rituximab, dan berkorelasi
dengan kesintasan hidup (overall survival=OS), sedangkan
FLIPI-2, dibuat pada era rituximab yang bertujuan untuk

256
menentukan prakiraan waktu terjadinya progrsivitas penyakit
(progression-free survival=PFS). Jadi baik FLIPI maupun FLIPI-2
tidak digunakan untuk menentukan penderita mana yang
harus segera diberi pengobatan.

Tabel 1. Perbedaan anatara FLIPI dan FLIPI-2

FLIPI-2
Parameter FLIPI
<12
LDHgr/dL
Usia >60gr/Dl
Stadium
Hb
Hb <12 tahun<12
III-IV >60 gr/Dlfaktor:
tahun
Keterlibatan
gr/dL
<12 Marka
sumsum risiko rendah, 2 faktor:
B2- Hb <12
tulang gr/Dl risiko
<12

0-1 faktor: risiko rendah, 2 faktor: risiko sedang, 3-5


faktor: risiko tinggi.

Pengobatan
Stadium I-II: Hanya sebagian kecil penderita yang terdeteksi
pada stadium I-II. Radioterapi (Involved field radiotherapy)
sebanyak 24 Gy merupakan terapi terpilih. Apabila tidak ada
gejala sistemik, limfadenopati <3, ukuran <3 cm, dan tidak ada
pembesaran limpa serta parameter hematologi normal, maka
kelompok ini cukup di observasi dengan ketat saja atau diberi
imunoterapi dengan rituximab saja.

Stadium III-IV: LNH indolen stadium lanjut termasuk limfoma


yang tidak dapat disembuhkan, tetapi sejak adanya rituximab
maka harapan hidup penderita menjadi jauh lebih baik.
Berdasarkan beberapa uji klinik yang telah dilakukan, maka kini
kombinasi rituximab plus kemoterapi menjadi terapi terpilih.
Beberapa rejimen yang dianjurkan antara lain: R-CHOP
(rituximab, cyclophosphamide, anthracyclin, oncovin,
prednisone), R-B (rituximab, bendamustine), R-FM (rituximab,

257
fludarabine, mitoxantrone). Pilihan rejimen harus berdasarkan
kondisi umm, penyakit penyerta, dan pilihan penderita.

Berbeda dengan LNH agresif, maka pada LNH indolen dikenal


terapi pemeliharaan dengan rituximab selama 2 tahun.
Dengan terapi pemeliharaan, angka kekambuhan berkurang
dari 59% menjadi 43% dalam kurun waktu 6 tahun (p<0.0001).

Apabila mengalami kekambuhan, sangat dianjurkan untuk


melakukan biopsi ulang. Hal ini disebabkan karena sebagian
kasus, LNH indolen dapat bertransformasi menjadi LNH
agresif, terutama jenis diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL).
Pemilihan rejimen kemoterapi sebaiknya yang tidak
menimbulkan resistensi silang, contoh: bila awalnya
menggunakan R-B maka saat kambuh dapat digunakan R-
CHOP dan sebaliknya. Pada penderita yang mengalami
kekambuhan <2 tahun, sebaiknya disarankan untuk menjalani
transplantasi sel punca otologus.

Pemantauan
Pada umumnya hal-hal dibawah ini dianjurkan oleh beberapa
panduan di Eropa dan Amerika:
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik setiap 3 bulan selama 2
tahun pertama, lalu tiap 6 bulan pada tahun-tahun
berikutnya.
- Pemeriksaan laboratorium setiap 6 bulan selama 2 tahun
pertama, selanjutnya diperiksa atas indikasi saja.
- Pada penderita yang menjalani radioterapi daerah leher,
perlu diperiksa fungsi tiroid pada 1, 2, dan 5 tahun setelah
radioterapi.

258
- Pemeriksaan foto toraks dan ultrasonografi setiap 6 bulan
selama 2 tahun pertama. Pemeriksaan CT scan atau PET CT
scan tidak dianjurkan untuk pemantauan, harus
berdasarkan indikasi yang kuat.

Kepustakaan
1. Federico M, Bellei M, Marcheselli L et al. Follicular lymphoma
international prognostic index 2: a new prognostic index for
follicular lymphoma developed bythe international follicular
lymphoma prognostic factor project. J Clin Oncol 2009;27:
4555–4562.
2. Hoskin PJ, Kirkwood AA, Popova B et al. 4 Gy versus 24 Gy
radiotherapy for patients with indolent lymphoma (FORT): a
randomised phase 3 non-inferioritytrial. Lancet Oncol 2014;
15: 457–463.
3. Solal-Céligny P, Bellei M, Marcheselli L et al. Watchful waiting
in low-tumor burden follicular lymphoma in the rituximab era:
results of an F2-study database. J Clin Oncol 2012; 30: 3848–
3853.
4. Friedberg JW, Byrtek M, Link BK et al. Effectiveness of first-line
managementstrategies for stage I follicular lymphoma:
analysis of the National LymphoCare Study. J Clin Oncol 2012;
30: 3368–3375.
5. Ardeshna KM, Qian W, Smith P et al. Rituximab versus a
watch-and-wait approach in patients with advanced-stage,
asymptomatic, non-bulky follicular lymphoma: an open-label
randomised phase 3 trial. Lancet Oncol 2014; 15: 424–435.
6. Rummel M, Niederle N, Maschmeyer G et al. Bendamustine
plus rituximab versus CHOP plus rituximab as first-line
treatment for patients with indolent and mantlecell

259
lymphoma: an open-label, multicentre, randomised, phase 3
non-inferiority trial. Lancet 2013; 381: 1203–1210.
7. Flinn IW, van der Jagt R, Kahl BS et al. Randomized trial of
bendamustinerituximab or R-CHOP/R-CVP in first-line
treatment of indolent NHL or MCL: the BRIGHT study. Blood
2014; 123: 2944–2952.
8. Federico M, Luminari S, Dondi A et al. R-CVP versus R-CHOP
versus R-FM for the initial treatment of patients with
advanced-stage follicular lymphoma: results of the FOLL05
trial conducted by the Fondazione Italiana Linfomi. J Clin
Oncol 2013; 31:1506–1513.
9. Vidal L, Gafter-Gvili A, Salles G et al. Rituximab maintenance
for the treatment of patients with follicular lymphoma: an
updated systematic review and meta-analysis of randomized
trials. J Natl Cancer Inst 2011; 103: 1799–1806.
10.Pettengell R, Schmitz N, Gisselbrecht C et al. Rituximab
purging and/or maintenance in patients undergoing
autologous transplantation for relapsed follicular lymphoma:
a prospective randomized trial from the Lymphoma Working
Party of the European Group for Blood and Marrow
Transplantation. J Clin Oncol 2013; 31: 1624–1630.

260
Tatalaksana Koagulopati Perioperatif

Heny Syahrini
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

I. PENDAHULUAN
Hemostasis fisiologis merupakan keseimbangan antara
koagulasi (pembentukan bekuan) dan fibrinolisis
(penghancuran bekuan) untuk mencegah terjadinya kondisi
ekstrim seperti perdarahan dan trombosis.
Ketidakseimbangan hemostasis fisiologis menyebabkan
kondisi koagulopati, yang ditandai dengan ketidakmampuan
darah untuk membeku. Koagulopati dapat disebabkan
berkurangnya atau tidak adanya protein-protein pembekuan
darah atau adanya disfungsi maupun rendahnya kadar
platelet. Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan spontan
secara langsung atau perdarahan yang berlebihan setelah
adanya trauma, tindakan operasi, ataupun terapi medikal.1
Koagulopati perioperatif berdampak pada hasil akhir
pasien yang dapat menyebabkan hilangnya darah dan
meningkatkan kebutuhan transfusi. Mengetahui gangguan
yang sudah ada sebelumnya dan memahami prinsip-prinsip
hemostasis dan perubahannya selama pembedahan
merupakan hal yang diperlukan dalam tatalaksana pasien

261
yang aman, sehingga konsep minimalisasi paparan transfusi
darah pada pasien dapat terwujud.2
Evaluasi pasien preoperatif sangat diperlukan untuk
mengathui pasien-pasien yang beresiko untuk terjadinya
perdarahan yang lebih banyak saat operatif, misalnya pada
kasus koagulopati primer seperti Hemofilia, penyakit von
willebrand, ataupun gangguan koagulasi yang disebabkan
karena obat-obatan seperti anti platelet maupun antagonis
vitamin K. Beberapa kuesioner standar telah didesain untuk
mengetahui tipikal perdarahan (mukosa vs bukan mukosa)
dan waktu perdarahan yang terjadi (segera vs lambat, sejak
kecil vs sudah dewasa), sedang menggunakan antikoagulan
atau anti platelet. Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah
pasien yang kita hadapi memiliki gangguan perdarahan yang
ringan atau berat, dan gangguan tersebut apakah turunan
atau didapat. Berikut ini kuesioner yang telah didesain 3:
- koagulopati yang telah diketahui (riwayat perdarahan
pasien maupun keluarganya yang mengindikasikan
adanya kecenderungan perdarahan yang berat)
- epistaksis tanpa alasan yang jelas
- hematoma, ptekie pada tubuh atau lokasi yang tidak
biasa yang alasannya tidak diketahui
- gangguan penyembuhan luka
- perdarahan yang memanjang setelah terjadinya
abrasi/luka, selama atau setelah pembedahan, selama
atau setelah ekstraksi gigi.
- adanya gangguan dalam darah dan membutuhkan
produk darah setelah pembedahan

262
- hipermenorargia yang membutuhkan beberapa
pembalut perharinya, perdarahan yang lebih dari 7 hari
setelah mentruasi pertama kalinya.
- obat-obatan yang mempengaruhi koagulasi seperti anti
nyeri, anti trombosis dan anti platelet, obat-obat bebas,
dan faktor diet
Bila salah satu hal di atas dijawab “ya”, riwayat
perdarahan dikatakan abnromal. Di populasi pasien dewasa,
riwayat perdarahan yang abnormal berkisar 11%. 3
Koagulasi dicapai melalui interaksi ketiga komponen
berikut yaitu endotel vaskuler, protein koagulasi, dan
platelet. Pada tabel 1 dapat dilihat beberapa penyebab
tersering gangguan koagulasi dari pemeriksaan
laboratorium. Aktivitas hati yang intak merupakan dasar
koagulasi yang adekuat karena seluruh protein koagulasi
kecuali faktor VIII disintesis utamanya di hati. Pemanjangan
prothrombine time (PT) menunjukkan adanya defek pada
jalur ekstrinsik dan biasanya disebabkan insufisiensi hati
ataupun defisiensi vitamin K yang disebabkan jeleknya
absorbsi, nutrisi atau kolestasis. Pemanjangan partial
tromboplastine time (PTT) menunjukkan defisiensi pada jalur
intrinsik.4
Tabel 1. Diagnosa banding gangguan perdarahan berdasarkan
pemeriksaan koagulasi4

263
II. KOAGULOPATI BAWAAN
Gangguan koagulasi / koagulopati ini dapat berupa
bawaan (diturunkan) atau dapatan. Koagulopati bawaan ini
yang cukup sering dijumpai berupa hemofilia A dan B
maupun penyakit von willebrand.
A. HEMOFILIA
Hemofilia ditandai dengan berkurangnya salah satu faktor
koagulasi yang menyebabkan peningkatan resiko perdarahan
saat pembedahan maupun sesudahnya. Pada pasien
hemofilia tidak dijumpai disfungsi platelet dan waktu
perdarahannya normal. Hemofilia A merupakan hemofilia
yang paling sering dijumpai, berkaitan dengan defisiensi
faktor VIII. Sementara hemofilia B (penyakit Chrismas)
disebabkan defisiensi faktor IX. Kondisi keduanya merupakan
sex-linked recessive inheritance. Penyakit hemofilia ini bisa
juga karena dapatan, kasusnya jarang tetapi dapat
mengancam jiwa oleh karena adanya autoantibodi pada
faktor VIII, hal ini terjadi dikaitkan dengan adanya malignansi,
penyakit autoimun, reaksi obat dan kehamilan. Derajat
keparahan perdarahan dihubungkan dengan derajat
defisiensinya. Pada kasus perdarahan spontan, hemarthrosis
yang klasik, terjadi pada kasus berat (faktor VIII < 1%), untuk
defisiensi yang sedang (faktor VIII 1-5%) dan untuk yang
ringan (faktor VIII 5-<40%) dapat diperkirakan terjadinya
perdarahan hanya setelah trauma atau pembedahan.
Beberapa wanita pembawa sifat secara signifikan terjadi juga
penurunan faktor koagulasi dan secara klinis seperti kasus
ringan. Hal ini penting diketahui pada praktek obstetri dan
periode peri operatif, dimana terapi pengganti yang spesifik
mungkin diperlukan.5,6

264
The World Federation Hemophilia (WFH) merekomendasikan
kepada pasien hemofilia A yang akan menjalani operasi
mayor, kadar faktor VIII preoperatif sebaiknya 80-100%.
Paska operasi kadar faktor VIII dipertahankan 60-80% hari ke
1-3, 40-60% selama hari ke 4-6 dan 30-50% selama paska
operasi minggu ke-2. Pada pasien dengan hemofilia B
konsentrasi faktor IX sedikit lebih rendah dibandingkan
faktor VIII pada hemofilia A, yaitu 60-80% pre operatif, 40-
60% untuk paska operasi hari ke 1-3, 30-50% untuk hari ke 4-
6, dan 20-40 % untuk selama paska operasi minggu ke-2.
Target konsentrasi tersebut dapat disesuaikan berdasarkan
ketersediaan faktor konsentrat. Untuk wilayah dimana
sumber faktor konsentrat lebih susah tersedia, maka target
konsentrasi menjadi lebih rendah 10-20 % untuk pre operasi
dan sampai 20-50% paska operasi dibanding dari target di
atas. Penyesuaian konsentrasi faktor tersebut sebaiknya
dipertahankan 5-7 hari atau sampai luka sembuh setelah
tindakan operasi minor atau 10-14 hari setelah tindakan
operasi mayor. Untuk tindakan minor prosedur invasif
seperti lumbal punksi, bronkoskopi dengan brushing atau
biopsi, endoskopi gastrointestinal dengan biopsi,
pemeriksaan analisa gas darah arterial, maka pemberian
terapi pengganti hanya sebelum prosedur. 6
Dosis faktor VIII yang dapat digunakan pada operasi mayor
untuk preoperatif 40-50 IU/kg bolus intravena dan operasi
minor 20-30 IU/kg bolus intravena, Faktor IX 80-120 IU/kg
bolus intravena dan 40-70 IU/kg bolus intravena. Paska
operasi dapat diberikan sesuai target yang akan dicapai
(tabel 2 dan 3).7

265
Banyak pasien hemofia ringan sampai sedang yang
memproduksi faktor VIII 3-6 kali lebih tinggi disebabkan
responnya terhadap pemberian 1-deamino-8-D-arginine
vasopressin (DDAVP), hal ini cukup adekuat untuk mengatasi
pembedahan minor.7
Tabel 2. Panduan target kadar faktor koagulasi pada dewasa
dengan operasi mayor7
Interval
Frekwensi
Kadar Faktor* Dosis (IU/kg)
(jam)

PrePre
op#op#40-50 80-120 40-50
1-3 80-100 80-10080-120
20-25 60-80 8-

*setelah
4-6 60-80 bolus pre-op,
60-80 15-20 50-60kadar yang7 dan
8-12 12 diharapkan dievaluasi
seterusnya 40-60 40-
berdasarkan dosis selanjutnya
#Dosis faktor puncak yang diharapkan adalah 80-100%

Tabel 3. Panduan target kadar faktor koagulasi pada dewasa


dengan operasi minor7
Dosis Bolus
Hari

FPre
PreVIII
op# F IX20-30
op# F VIII40-70
F IX F VIII
1-3F IX Pre40-50
40-50
20-30op# 20-25
20-30 40-70 12 1-3
40-70 40-60 24 40-
4

4 dst^ 20-30
4 dst^ 20-30 20-30 20-30 30-50 24 24 *setelah
20-30
bolus pre-op,
20-30
*setelah bolus pre-op, kadar yang diharapkan dievaluasi
berdasarkan dosis selanjutnya
#Dosis faktor puncak yang diharapkan adalah 40-60%
^Durasi untuk operasi minor bisa kurang dari 4 hari
B. Penyakit Von Willebrand
Kelainan pada penyakit ini adalah adanya gangguan
produksi faktor von willebrand (vWF), berperan utama dalam
adesi platelet pada lapisan subendotelial. Sebagai tambahan,

266
vWF berperan sebagai molekul pembawa faktor VIII dalam
sirkulasi. Presentasi klinis ditandai dengan adanya
perdarahan mukosa dan mudah memar yang dikaitkan
dengan pemanjangan waktu perdarahan yang terjadi pada
mayoritas keluarga, dimana kejadian ini diturunkan dengan
autosomal dominan. Penyakit von willebrand ditemukan
pada 20% wanita yang mengalami menorargia. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk diagnostik berupa vWF ristocetin
cofactor activity (vWF Rco), vWF Ag dan F VIII coagulant
activity (F VIII C). 5
Tatalaksana penyakit von willebrand, sebisa mungkin
menghindari komponen darah untuk mengontrol
perdarahan. Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat
dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan minor seperti
menorargia atau epistaksis dan hal ini dapat diberikan paska
operasi. DDAVP dapat diberikan 90 menit sebelum
dilakukannya tindakan operasi dengan dosis 0,3Ug/kgBB
yang dapat meningkatkan vWF Ag (von willebrand factor
antigen) dan faktor VIII 2-5 kali kadar sebelumnya pada
mayoritas pasien yang mengalami gangguan secara
kuantitatif vWF Ag. Dosis dapat diulang setiap 12-24 jam.
Untuk melengkapi vWF juga dapat diberikan Cryoprecipitate
atau konsentrat dari plasma manusia. Cryoprecipitate
diberikan jika hanya kondisi mengancam jiwa dan konsentrat
tidak tersedia. vWF yang berasal dari plasma dapat
mencegah perdarahan lebih dari 90% kasus pasien dengan
penyakit von willebrand. Untuk kasus perdarahan atau
pencegahan pada operasi mayor dapat diberikan 40-60 IU/kg
dengan lanjutan untuk pemeliharaan 20-40 IU/kg setiap 8-24
jam. Pada operasi mayor kadar vWF Rco dan F VIII

267
dipertahankan> 50 IU /dL untuk 7-10 hari. Untuk operasi
minor, dosis yang diberikan lebih rendah. Kadar vWF Rco
(vWF ristocetin cofactor activity) dan F VIII dipertahankan> 30
IU /dL (lebih dianjurkan > 50IU/dL) untuk 1-5 hari.5

III. KOAGULOPATI DIDAPAT


Pada kasus koagulopati didapat bisa disebabkan oleh
penyakit itu sendiri atau disebakan oleh obat-obatan yang
dapat mempengaruhi sistem koagulasi. Diantaranya adalah
gangguan hati, immune thrombocytopenia (ITP), pemakaian
obat-obatan seperti antikoagulan, antiplatelet, maupun non
steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs).8
A. Gangguan Hati
Hati merupakan organ yang menghasilkan banyak protein
yang berkaitan dengan hemostasis. Ada perubahan sistem
hemostasis pada penyakit hati akut maupun kronik. Pasien
dengan penyakit hati dapat terjadi trombositopenia dan
gangguan fungsi platelet, menurunnya kadar protein pro-
dan anti-koagulan, dan juga menurunnya kadar protein yang
terlibat dalam proses fibrinolisis. Perubahan-perubahan ini
dapat menyebabkan perubahan dalam skrining laboratorium
seperti hitung trombosit, prothrombine time, activated
partial thromboplastin time (aPTT) dan kadar fibrinogen.
Pasien yang memiliki gangguan hati dengan trombositopenia
dan atau dengan pemanjangan PT dan atau aPTT menjadi
cenderung untuk berdarah.9

Konfirmasi klinis menyebutkan bahwa pasien dengan


penyakit hati yang memiliki kecenderungan mudah berdarah
yang disebabkan tindakan operasi mayor yang berperan
membuat kehilangan darah (seperti tindakan transplantasi
268
hati) dan tingginya frekwensi perdahan gastrointestinal.
Pernyataan tersebut bahwa pasien dengan penyakit hati
yang memiliki kecenderungan mudah berdarah
menyebabkan seringnya dilakukan pemberian profilaksis
transfusi darah sebelum prosedur invasif dikerjakan
terutama pada pasien-pasien gangguan hati yang memiliki
trombositopenia atau pemanjangan PT dan atau aPTT.
Sebuah literatur menyebutkan bahwa pernyataan ini tidak
berbasis bukti (not evidenced base, banyak instansi tidak
memerlukannya, kemungkinan membahayakan.9
Pada pasien dengan gangguan hati, analisis invitro
menyebutkan bahwa kadar vWF meningkat yang disebabkan
kompensasi rendahnya nilai platelet. Menurut analisis invivo
menyebutkan bahwa fungsi platelet pada pasien sirosis hati
meningkat. Sehingga trombositopenia pada pasien gangguan
hati harus dibedan dengan trombositopenia pada pasien
dengan fungsi hati yang normal. Pemanjangan PT dan atau
aPTT juga sering dijumpai pada pasien dengan gangguan hati.
Hal ini disebabkan berkurangnya faktor-faktor prokoagulasi
seperti faktor VII, X, V, II, dan fibrinogen (PT) atau protein-
protein pada sistem kontak seperti faktor XI, IX, VII, X, V, II,
dan fibrinogen (aPTT). Berkurangnya faktor-faktor
prokoagulasi diikuti berkurangnya faktor-faktor antikoagulan
seperti antitrombin, protein C, dan protein S. Pada pasien
gangguan hati meskipun kadar fibrinogen berkurang dan
polimerisasi fibrin terlambat, kualitas bekuan fibrin yang
terbentuk relatif normal, dan secara potensial penurunan
kadar fibrinogen seimbang dengan struktur fibrin yang lebih
trombogenik.9

269
Sebuah literatur menyebutkan kebijakan “wait and
see” pada pasien yang menjalani operasi transplantasi hati
lebih disukai dibandingkan transfusi komponen darah untuk
profilaksis. Komponen darah diberikan bila dijumpai adanya
perdarahan aktif, bukan perdarahan karena tindakan bedah.
Kebijakan ”wait and see” merupakan kebijakan yang cukup
aman untuk dapat diadopsi pada prosedur tindakan bedah
pada pasien sirosis. Strategi prohemostatik farmakologik
memberikan keuntungan dengan mengurang resiko
perdarahan selama tindakan invasif pada pasien yang
memiliki kecenderungan perdarahan. Prothrombine Complex
Concentrate (PCC) memberikan perbaikan status hemostatik
pasien dengan sirosis dibanding pemakaian FFP dan sebagai
hemostatik dasar pada pasien yang menjalani operasi
transplantasi hati. Keuntungan pemakaian PCC dibanding FFP
adalah volume lebih sedikit, memperbaiki keseimbangan
hemostasis dan mengurangi resiko perdarahan perioperatif.
Fibrinogen konsentrat juga dapat memperbaiki hemostasis
dapat digunakan bersamaan dengan PCC ataupun sebagai
monoterapi.9
Pasien gangguan hati yang menjalani operasi mayor
dengan anestesi umum merupakan kelompok resiko tinggi.
Namun pada pasien dengan gangguan hati, dimana anestesi
regional dipertimbangkan sebagai alternatif, maka sebaiknya
koagulopati harus dinilai dan dikoreksi ketika dijumpai
indikasi.8

B. Immune Thrombocytopenia
Imun Trombositopenia (ITP) sebelumnya dikenal dengan
Idiopatik Trombositopenia Purpura, yang merupakan

270
gangguan autoimun yang ditandai dengan berkurangnya
jumlah trombosit pada darah perifer. Pada dewasa sehat
jumlah trombosit normal 150 – 450 x 109/L, sementara
hitungan trombositopenia bila kurang dari 100 x 109/L. Pada
dewasa insiden ITP berkisar 2-4 per 100.000. Perdarahan
intrakranial merupakan komplikasi yang serius pada pasien
ITP.10
Akibat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien
dengan jumlah trombosit kurang dari 20-30 x 109/L, secara
klinis direkomendasikan terapi bila jumlah trombosit kurang
dari 30 x 109/L atau berapapun kadar trombosit dimana
dijumpai perdarahan yang bermakna. Terapi sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi perdarahan yang terjadi pada
pasien, hitung trombosit yang diinginkan, gaya hidup yang
membuat pasien beresiko untuk terjadinya trauma, efek
samping terapi, dan pilihan pasien.10
Pasien ITP dapat dihadapkan pada suatu tindakan
operatif. Hal yang terpenting adalah, ketika keputusan untuk
tindakan operatif tersebut ditetapkan, apakah tindakan
tersebut elektif atau emergensi. Peningkatan trombosit
segera diperlukan pada pasien yang akan menjalani prosedur
bedah dengan resiko perdarahan yang besar. Mengganti
terapi steroid menjadi intravena imunoglobulin (IVIG), anti-D
atau rekombinan faktor VII (rfVIIa) pada seting emergensi
merupakan hal yang efektif, tetapi kombinasi terapi lini
pertama juga hal yang sesuai. Pilihan terapi yang akan
diberikan ini harus memperhatikan jenis tindakan yang akan
dilakukan (tabel 4).11
Tabel 4. Algoritme terapi pada induksi anestesi untuk pasien
ITP11
Elektif Emergensi
271
Emergensi
Elektif

Menurut panduan terkini pada - Berapapun nilai platelet saat


ITP : dioperasi
- Transfusi platelet tidak - Memastikan kombinasi terapi dan
diperlukan atau *transfusi platelet
- Memastikan bantuan dan - Terapi yang dapat digunakan
advis hematologis untuk - IVIg 1g/kg atau 2g/kg
mengetahui waktu yang - Methylprednisolon
tepat pada pasien 30mg/kg
- Waktu yang paling baik - Vinca alcaloids 0,03mg/kg
untuk tindakan operasi - Anti D 50-75Ug/kg
direncanakan kepada - Recombinan F VIIa 50-122
pasien Ug/kg
- Memastikan bantuan dan advis
hematologis untuk mengetahui
waktu yang tepat pada pasien

*membuat keputusan transfusi platelet

Efek cepat dari obat-obatan sebaiknya digunakan pada


kasus operasi emergensi dan hal tersebut diperlukan segera
untuk meningkatkan jumlah trombosit periode pre operatif.
IVIg (1g/kg dosis tunggal atau 2 dosis bila diperlukan) +
kortikosteroid (pulse or moderate-high dose) diikuti dengan
tambahan suspensi trombosit merupakan pilihan kombinasi
yang cukup sering dipakai. Suspensi trombosit sebaiknya
tidak diberikan pada kasus ITP untuk mengatasi
trombositopenianya kecuali merupakan kasus emergensi,
perdarahan yang mengancam jiwa oleh karena suspensi
tersebut membuat kehancuran platelet yang cepat. Jika
suspensi trombosit tersebut diperlukan, kemudian sebaiknya
memberikan IVIg dan atau pulse kortikosteroid untuk
meningkatkan masa hidup pada platelet yang ditransfusi.11

272
Selain tipe tindakan operatif, perlu diperhatikan pula
jenis anestesi yang akan diberikan pada pasien tersebut.
Perhatian yang utama pada pasien trombositopenia yang
akan menjalani anestesi regional adalah terjadinya hematom
neuraxial yang dapat berkembang menjadi perdarahan.
Anestesi spinal ataupun epidural secara umum aman bila
kadar trombosit mencapai lebih dari 80 x 109/L. Beberapa
studi lainnya menyebutkan anestesi neuraxial akan aman
dilakukan pada nilai trombosit 50-80 x 109/L. Pada jenis
anestesi yang dipakai dengan menggunakan anestesi umum,
tidak ada panduan tertentu dalam menentukan nilai
trombosit. Algoritme tipe anestesi pada pasien ITP dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.11

Gambar 1. Algoritme tatalaksana anestesi pada ITP11


*Tidak ada konsensus yang menyebutkan jumlah trombosit
untuk kontrol mengurangi trauma jalan nafas ataupun
perdarahan pada pasien ITP.
** Untuk nilai trombosit yang lebih rendah diperlukan
analisis yang cermat menilai keuntungan dalam
menghadapi resiko hematom kanal vertebra, dan diskusi
multidisiplin diperlukan.
273
Pada pasien ITP maupun trombositopenia gestasional,
penurunan nilai trombosit tetapi memiliki fungsi yang
normal. Pada situasi seperti ini para ahli anestesi yang
berpengalaman berpendapat bahwa tindakan blok
neuraxial cukup aman pada nilai trombosit > 50 x 109/L dan
fungsi yang stabil, tetapi asesmen per individu untuk
menilai “risk-benefit” harus dibuat. Jika nilai trombosit 50-
75 x 109/L dijumpai peningkatan resiko, jika nilai trombosit
20-50 x 109/L merupakan resiko tinggi, dan jika nilai
trombosit < 20 x 109/L merupakan resiko yang sangat
tinggi.11 Stratifikasi resiko ini dapat dilihat pada tabel 5.8
C. Penggunaan obat-obatan
Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menggunakan
terapi antirombotik. Antitrombotik ini dipakai sebagai
tromboprofilaksis yang dapat meningkatkan resiko
perdarahan pada pasien.1

Penggunaan anti platelet dan NSAID


Aspirin dan NSAID lainnya bekerja dengan menghambat
cyclooxygenase-1 platelet (COX-1). Meskipun efeknya
ireversibel, NSAID merupakan antiplatelet yang lemah oleh
karena mempengaruhi aktivasi platelet hanya dari salah
satu dari banyaknya jalur yang mempengaruhi platelet.5
Antiplatelet sering digunakan pada pasien-pasien
dengan penyakit kardiovaskuler (acute coronary syndrome
/ ACS ataupun myocardial infarction/ MI) dan penyakit
serebrovaskuler (transient ischemic attack /TIA atau strok).
Obat tersebut diberikan dengan tujuan sebagai pencegahan
primer (pasien memiliki faktor resiko tetapi belum pernah

274
terjadi) atau pencegahan sekunder (pasien sudah pernah
terjadi penyakit tersebut).12
Efek samping utama dari obat-obatan anti platelet
adalah perdarahan yang terkait dengan tindakan dokter
bedah maupun anestesi selama periode perioperatif. Ketika
mempertimbangkan apakah terapi tersebut dihentikan
atau diteruskan, pertama yang harus diketahui adalah
apakah obat tersebut diberikan untuk pencegahan primer
atau sekunder dan kedua mengetahui apakah pasien
tersebut beresiko tinggi atau rendah untuk penyakit oklusif.
Harus dipertimbangkan keseimbangan antara resiko
morbiditas dan mortalitas perdarahan atau pembekuan.12
Menurut tradisinya, perhatian utama tertuju pada
resiko perdahahan dan kecenderungan untuk
menghentikan obat-obatan antiplatelet pada periode
perioperatif. Jika antiplatelet tersebut diteruskan, rata-rata
penigkatan resiko kehilangan darah ketika mengkonsumsi
aspirin saja sekitar 2,5-20%. Kehilangan darah tersbut
semakin meningkat sampai 30-50% dengan aspirin dan
clopidogrel yang digunakan sebagai kombinasi. Kebutuhan
transfusi juga meningkat sampai 30% dan hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan resiko perdarahan
merupakan hal yang penting diperhatikan. Resiko untuk
terjadinya iskemik mirip dengan resiko pada pasien yang
diobservasi dengan penyakit jantung koroner yang stabil,
sekitar 2-6% untuk non fatal MI dan 1-5% untuk mortalitas
kardiak.12
Walaupun begitu, penghentian antiplatelet membuat
kondisi kembali menjadi hiperkoagulasi, dimana kondisi
hiperkoagulasi ini semakin diperberat dengan adanya

275
tindakan operasi, yang selanjutnya akan meningkatkan
kecenderungan kejadian kardiovaskuler. Penghentian
aspirin pada pasien dengan penyakit jantung koroner
menyebabkan 2 sampai 4 kali peningkatan angka kematian
atau infark miokard. Penghentian antiplatelet pada pasien
dengan pengakit jantung koroner yang menggunakan sten
merupakan prediktor mayor yang bebas terhadap
terjadinya oklusi sten. Kejadian non fatal infark miokard
meningkat berkisar 35 % dan rata-rata mortalitas
meningkat 20-40%. Algoritme untuk menghentikan
antiplatelet sebelum tindakan operasi dapat dilihat pada
gambar 2 berikut .12
Gambar 2. Algoritme preoperatif pasien yang menggunakan
antiplatelet12

Keterangan
MI - myocardial infarction; ACS - acute coronary
syndrome; PVD - peripheral vascular disease; PCI -
percutaneous coronary intervention; BMS - bare metal
stent; DES - drug eluting stent;
*Sten resiko rendah : yang mendapatkan aspirin saja
276
**Contoh situasi resiko rendah : 3 bulan setelah BMS, MI
yang tidak mengalami komplikasi dan PCI tanpa
pemsangan sten.
***Resiko perdarahan pada ruang yang sempit :
pembedahan spinal dengan ruang sempit, pembedahan
pada ruang belakang mata.
**** Resiko tinggi mebutuhkan diskusi dengan konsultan
anestesi/kardiologi dan mempertimbangkan terapi
”bridging” (contohnya secara simultan menggunakan
unfractinated heparin dan infus antagonis GP Iib/IIIa)
Penghentian aspirin harus dievaluasi maisng-masing
individu, jika aspirin atau clopidogrel dihentikan, regulasi
dini paska operasi merupakan hal yang penting.

Waktu penghentian dan memulai kembali obat-obatan


tersebut dapat juga dilihat pada tabel 6.8

Penggunaan antikoagulan
Beberapa antikoagulan yang sering dipakai adalah
unfractionated heparin (UFH), low molecular weight
heparin (LMWH), fondaparinux, vitamin K antagonis (VKA),
direct oral anti coagulants (DOACs).5
Penggunaan antikoagulan ini dipakai pada beberapa
keadaan, misalnya UFH sering dipakai pada kondisi
profilaksis perioperatif, terapi deep vein thrombosis (DVT)
maupun emboli paru, atau sering juga dipakai pada kasus
hemodialisis dan penyakit jantung. Untuk mengatasi efek
samping UFH, atau bila dijumpai perdarahan yang serius
maka dapat diberikan protamin intravena (1mg protamin
dapat mentralisir UFH 100 IU). Apabila UFH diberikan
secara intravena, maka dosis protamin yang diberikan
277
dengan menghitung dosis UFH yang sudah berjalan 2-3 jam
sebelumnya. Monitoring UFH yang diberikan dapat dinilai
melalui aPTT dan atau kadar faktor Xa.5
LMWH diperoleh dari UFH yang mengalami
depolimerisasi enzimatik atau kimiawi. Penggunaannya
cukup luas oleh karena profil risk/benefit, penggunaanya
hanya 1 kali sehari dan kurang membutuhkan pengamatan.
Pemberian protamin pada LMWH untuk mengatasi efek
samping tidak sepenuhnya dapat membalikkan efek
LMWH. Dosis protamin yang dapat digunakan 1mg per 100
anti Fxa unit dari LMWH (konversi enoxapparin 40mg =
4000 internasiona anti Fxa unit), diberikan pada saat
terjadinya perdarahan dalam 8 jam pemberian LMWH. Bila
perdarahan masih berlanjut dapat diberikan dosis
tambahan 0,5mg per 100 anti Fxa unit.5
Fondaparinux sering digunakan sebagai profilaksis
venous thromboembolism (VTE) ataupun sebagai inisial
pengobatan VTE dan infark miokard. Evaluasi rutin
koagulasi tidak diperlukan, evaluasi aktivitas anti faktor Xa
hanya pada kasus gangguan ginjal. Belum ada antidotum
untuk fondaparinux, tetapi dikatakan dapat dipakai
rekombinan faktor VIIa untuk mengendalikan perdarahan
yang banyak, pemakaian ini belum berbasis bukti.5
VKA sering dipakai sebagai profilaksis pasien dengan
atrial fibrilasi, yang memakai katup jantung, ataupun pada
kasus VTE. Evaluasi pemberian VKA dengan mengamati INR
(international normalized ratio). INR sebaiknya < 1,5
sebelum operasi dijalankan. Paska operasi dapat diberikan
heparin bila INR < 2. Bila kasus operasi merupakan
emergensi dapat diberikan PCC (25IU FIX/kg) dan

278
menambahkan vitamin K 5mg (intravena, subkutan,
maupun oral).5
Pasien yang menggunakan DOAC sama dengan pasien
yang menggunakan antikoagulan lainnya, merupakan hal
yang sangat penting untuk menentukan tatalaksana
perioperatif. Resiko trombosis bisa terjadi bila obatnya
dihentikan, tetapi resiko perdarahan juga bisa terjadi bila
obatnya diteruskan. Belum ada strategi yang pasti dalam
mengatasi efek samping DOAC tersebut. Untuk kasus
operasi yang perlu segera, maka dapat melihat algoritme
berikut (gambar 3).13

Gambar 3. Tatalaksana pasien mengkonsumsi DOAC untuk


tindakan operasi mendesak13
Keterangan
*Pemeriksaan koagulasi rutin tidak sensitif terhadap
apixaban. Pemeriksaan Anti Xa untuk apixaban belum
tersedia. aPCC: activated prothrombin complex
concentrate; 3F-PCC : 3-factor prothrombin complex
concentrate.

279
Resiko relatif pasien yang menggunakan antikoagulan
atau dengan penyakit tertentu yang dapat menggangu
sistem koagulasi/nilai trombosit dalam tindakan obstetrik
dapat dilihat pada tabel 5.8 Panduan untuk mengetahui
waktu yang tepat menghentikan ataupun melanjutkan
obat-obatan yang mengganggu sistem koagulasi pada
pasien yang akan menjalani operasi dengan tindakan
anestesi regional dapat dilihat pada tabel 6.8

Tabel 5. Resiko relatif blok neuraxial pada pasien obstetrik


dengan gangguan koagulasi8

Keterangan : *Meskipun anestesi umum tidak merupakan


faktor resiko sendiri tehadap gangguan koagulasi, tetapi
komponen ini dimasukkan dalam daftar faktor resiko untuk
menggarisbawahi alternatif anestesi regional bukan
merupakan hal yang tanpa resiko, menimbang “risk
benefit” diperlukan untuk memilih mana yang terbaik.

280
Tabel 6. Rekomendasi waktu penghentian obat yang mengganggu
koagulasi sebelum operasi dengan anestesi blok neuraxial dengan
fungsi ginjal normal kecuali yang diindikasikan8

Keterangan : waktu pengehantian obat adalah waktu puncak


+ 2 kali waktu paruh

IV. KESIMPULAN
Koagulopati perioperatif berdampak pada hasil akhir
pasien yang dapat menyebabkan hilangnya darah dan
meningkatkan kebutuhan transfusi. Mengetahui gangguan
yang sudah ada sebelumnya dan memahami prinsip-prinsip
hemostasis dan perubahannya selama pembedahan
merupakan hal yang diperlukan dalam tatalaksana pasien
yang aman, sehingga konsep minimalisasi paparan transfusi
darah pada pasien dapat terwujud.
Pada pasien dengan gangguan koagulasi bawaan seperti
hemofilia perlu diketahui tindakan operasi apa yang akan
dijalani, mayor atau minor. Hal ini menentukan kebutuhan
dosis faktor konsentrat yang akan diberikan. Target kadar

281
faktor yang diharapkan disesuaikan dengan wilayah masing-
masing dalam ketersediaan faktor konsentrat. Untuk
penyakit von willebrand pemberian desmopresin dapat
membantu sebelum tindakan operasi dijalankan, bila
diperlukan dapat diberikan vWF berasal dari plasma
terutama pada operasi mayor.
Pada pasien gangguan hati kebijakan “wait and see” dapat
dijadikan panduan untuk pasien yang akan menjalani operasi.
Bila dijumpai perdarahan yang aktif atau perdarahan yang
terjadi bukan karena efek pembedahan dapat diberikan PCC,
menurut literatur lebih baik dibanding FFP. Untuk pasien
gangguan hati yang akan menjalani anestesi neuraxial,
sebaiknya gangguan koagulasi dikoreksi terlebih dahulu. Nilai
yang cukup aman bila aPTT rasio atau INR <=1,4
Pada pasien dengan ITP bila menjalani operasi elektif,
dapat diberikan obat-obatan untuk menaikkan nilai platelet
dan tidak dianjurkan transfusi platelet. Untuk kasus
emergensi sebaiknya pemilihan obat-obatannya yang dapat
menaikkan nilai platelet lebih cepat dan bila diperlukan
transfusi platelet untuk kasus yang mengancam jiwa. Nilai
platelet yang masih relatif aman sekitar 75 x 109/L walaupun
sebagian literatur ada yang menyebutkan 50 - 75 x 109/L.
Pada pasien yang menggunakan obat-obatan yang
mengganggu koagulasi sebaiknya obat-obatan tersebut
dihentikan berdasarkan waktu puncak ditambah 2x waktu
paruh. Penggunaan antiplatelet dihentikan 7 hari sebelum
operasi. Kecuali pada pasien-pasien yang beresiko tinggi dan
diperlukan operasi yang mendesak, obat dapat diteruskan.

282
V. REFERENSI
1. Grotke O, Fries D, Nascimento B. Perioperatively
acquired disorders of coagulation. Curr Opin Anesthesiol
2015, 28:113–122
2. Innerhofer P, Kienast J. Principles of perioperative
coagulopathy. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology 24 (2010) 1–14
3. Kozek-Langenecker SA. Perioperative coagulation
monitoring. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology 24 (2010) 27–40
4. Armas-Loughran B, Kalra R, Carson JL. Evaluation and
management of anemia and bleeding disorders in
surgical patients. Med Clin N Am 87 (2003) 229–242
5. Kozek-Langenecker SA, Afshari A, Albaladejo P,
Santullano CAA, Robertis ED, Filipescu DC, et al.
Management of severe perioperative bleeding -
Guidelines from the European Society of
Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol 2013; 30:270–382
6. Srivastava A, Brewer AK, Mauser-bunschoten EP, Key NS,
Kitchen S, Llinas A, et al. WFH GUIDELINES : Guidelines
for the management of hemophilia. Haemophilia (2013),
19, e1–e47
7. AHCDO. Guideline For The Management Of Patients
With Haemophilia Undergoing Surgicalprocedures.
2010. p1-13
8. Harrop-Griffiths W, Cook T, Gill H, Hill D, Ingram M,
Makris M, Malhotra S, et al. Regional Anaesthesia and
Patients with Abnormalities of Coagulation. Anesthesia
2013. p1-14
9. Lisman T, Porte RJ. Value of Preoperative Hemostasis
Testing in Patients with Liver Disease for Perioperative
Hemostatic Management. Anesthesiology 2017;
126:338-44
10. Khan AM, Mydra H, Nevarez A. Clinical Practice Updates
in the Management of Immune Thrombocytopenia. P&T
December 2017 • Vol. 42 No. 12

283
11. Ozbilgin S, Mehta T, Bussel JB. Poddighe D. Anaesthesia
recommendations for patients suffering from Immune
thrombocytopenia (ITP). 2016.
www.orphananesthesia.eu
12. Barker J, Telford R, Bolton T. Perioperative management
of antiplatelet drugs. Update in Anaesthesia |
www.anaesthesiologists.org
13. Tran H, Joseph J, Young L, McRae S, Curnow J, Nandurkar
H,et al. New oral anticoagulants: a practical guide on
prescription, laboratory testing and peri-
procedural/bleeding management. Internal Medicine
Journal 44 (2014).

284
Indication for Perioperative Blood Component
Transfusion

Suhartono
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Introduction
Transfusion of blood and blood components is a common
therapeutic intervention for treating perioperative anemia,
thrombocytopenia and derangements in coagulation
parameter. Indeed, recent estimates suggest that
approximately 50% of the 24.000.000 annual transfusion in the
united states continue to take place in the perioperative
environment.

Perioperative blood transfusion addresses the preoperative,


intraoperative, and postoperative administration of blood and
blood components (e.g., red blood cells, platelets,
cryoprecipitate, and fresh-frozen plasma).

Transfusion of blood products carries certain inherent risks and


hence it should be undertaken only if it improves patient
outcome. A review of the literature was carried out to find the
indications and effects of transfusion on morbidity and
mortality of patients. There is high-quality evidence showing
that restrictive blood transfusion is safe and not associated

285
with increased mortality compared with liberal transfusion.

The morbidity and mortality associated with blood transfusion


are attributed to increased susceptibility and transmission of
infections, transfusion reactions, altered immune response,
circulatory overload, transfusion-related acute lung injury,
with resultant longer hospital stay and increased costs. Also
there is over utilization of components of blood leading to
growing gap between supply and demand.

Red blood cell transfusion


Anemia is prevalent in surgical patients and is associated with
increased morbidity and mortality. Allogeneic blood
transfusions have long been the first choice in addressing the
perioperative anemia in surgical patients. Such transfusions
have been shown to adversely influence clinical outcome,
prolong hospital stay, and increase complications and costs.2

The National Institutes of Health Preoperative Consensus


Conference concluded that “otherwise healthy patients with
hemoglobin values of 10 g/dl or greater rarely require
preoperative transfusion, whereas, those with acute anemia
with resulting hemoglobin values of less than 7 g/dl will
frequently require red cell transfusions”. Whether patients
with hemoglobin values between 7 and 10 g/dl should receive
transfusions depends on the patient’s clinical status. The
American Society of Anesthesiologists task force on
perioperative blood transfusion suggest that red blood cells
are usually administered when hemoglobin is less than 6 g/dl
in young healthy patient and are usually not required when
hemoglobin is more than 10 g/dl. Hemoglobin levels between

286
6 g/dl and 10 g/dl, need based transfusions may be given based
on ongoing indication of organ ischemia, potential bleeding,
patient’s intravascular volume status and risk for
complications of inadequate oxygenation. The minimum
acceptable level of hemoglobin varies for patients because
individual persons may vary in their ability to tolerate and
compensate for anemia. If a preoperative patient is anemic, an
attempt should be made to find and treat the underlying
cause. If surgical procedures are required sooner, red blood
cell transfusions may be given preoperatively to correct the
anemia.

Intraoperative anemia can be caused by acute blood loss as


well as hemodilution as a result of fluid administration and
hypotensive anesthesia. The decision to transfuse blood to the
patient should be based on estimation of volume of surgical
blood loss, rate of blood loss, patient’s clinical response to
blood loss and signs indicating inadequate tissue oxygenation.
A judgment is required to decide on the percent blood volume
that can be safely lost or the lowest hemoglobin that can be
tolerated. The ability of a patient to compensate for blood loss
will be limited by age, preexisting anemia, and evidence of
cardiorespiratory illness and use of drugs such as beta
blockers. The goal of red blood cell transfusion is to prevent
inadequate oxygenation, which causes tissue ischemia and
damage.

Postoperative hemoglobin drift can occur over a seven day


period due to various factors such as hemodilution, post
surgical blood loss and phlebotomy for diagnostic tests. The
decision to transfuse should be made after a careful
287
assessment of the general condition of the patient, coexisting
cardiopulmonary illness, signs of inadequate tissue
oxygenation and continued blood loss.

Platelet
It is well known that patients with severe thrombocytopenia
predispose to spontaneous bleeding and that patients with low
platelet count might be at increased risk for perioperative
bleeding. Many surgeons, therefore, insist on platelet counts
of at least 50 x 103/mL for major procedures. In contrast,
clinical observations suggest no increased bleeding tendency
in invasive procedures despite low platelet count (< 50 x 103/
mL). In agreement with this clinical perception, recent
guidelines from the American Association of Blood Banks
suggest only a low-grade recommendation for prophylactic
platelet transfusion in major non-neuroaxial surgery when the
platelet count is < 50 x 103/mL.

Threshold values for platelet transfusion depend on patients


characteristics and the type of surgical procedure. They might
be < 5 x 103/mL if the patient is not bleeding and not planned
for intervention or surgery. In patients who are bleeding or are
scheduled for surgery and invasive procedures, platelet count
is recommended to be > 50 x 103/mL. Finally, the threshold for
patients with intracranial bleeding or planned for intracranial
or spinal surgery often is set at 100 x 103/mL. The same
threshold of 100 x 103/mL used commonly in cardiac surgery.
A study by Avidan et al demonstrated that platelet transfusion

288
rates were lower when using the threshold value of 50 103/mL
compared to a threshold value of 100 x 103/mL without
increasing bleeding rates or bleeding volumes in patients
undergoing coronary bypass surgery.
Platelet transfusion thresholds in surgery and invasive procedures

Fresh Frozen Plasma


It has been estimated that approximately one-third of plasma
products are transfused for non-evidence-based indications. In
the United States, the most frequently cited rationale for
deviation from published guidelines is to correct abnormal
preprocedural coagulation screening tests in nonbleeding
patients. The rationale for transfusing plasma in this context is
based on three basic assumptions: (1) an elevated INR reliably
predicts bleeding complications, (2) administration of plasma
will normalize the INR, and (3) administration of plasma will
prevent bleeding complications. Importantly, all three
assumptions rest on minimal evidentiary support and when
considering the growing body of evidence suggesting a poor
correlation between coagulation screening test abnormalities
and periprocedural bleeding complications alongside the
increasingly appreciated risks of transfusion.

289
In the absence of massive transfusion or hemorrhagic shock,
anticoagulant therapy, or consumptive disorders, such as
disseminated intravascular coagulation, de novo coagulation
factor depletion as an underlying etiology for clinically
significant bleeding is rare. Indeed, it is understood that
adequate coagulation persists with approximately one-third of
normal clotting factor concentrations and fibrinogen levels 75
mg/dL. Although these abnormalities will result in
derangements of laboratory coagulation parameters, clinical
coagulopathy does not typically correlate. With improved
understanding of in vivo coagulation, as well as the risks of
transfusion therapies, there have been notable changes in the
clinical indications for perioperative plasma transfusion. At
present, the strongest indication for plasma transfusion is for
the treatment of active hemorrhage that is believed related to
multiple coagulation factor deficiencies.

Beyond massive bleeding, indications for plasma transfusion


are notably sparse. Specific examples of evidence based
indications for plasma transfusion include :
• Replacement of inherited single coagulation factor
deficiencies for which no virus-safe fractionated
product exists.
• Replacement of specific protein deficiencies.
• Replacement of multiple coagulation factor
deficiencies with associated severe bleeding, massive
transfusion, and/or disseminated intravascular
coagulation.
• As a component of plasma exchange in patients with
thrombotic thrombocytopenic purpura.

290
• Immediate reversal of warfarin anticoagulation when
severe bleeding is present and PCCs are not
available.


Besides these generally accepted indications for plasma


transfusion, plasma is regularly administered based on “expert
opinions” rather than randomized trials. For these indications,
threshold values are arbitrarily set. Some guidelines have
advocated a specific threshold based on hemostatic laboratory
assays (eg, PT/aPTT > 1.5 times normal or reduced factor
levels) before invasive procedures or in the bleeding patient,
while others have not given laboratory criteria or only state
“significantly increased coagulation time,” “abnormal
coagulation,” or “multiple factor deficiencies.” However, a
threshold value of international normalized ratio (INR) > 1.5
has never been evaluated in clinical trials but has been
recommended historically. Using a particular value of
conventional coagulation tests as a transfusion threshold
assumes that they are predictive for bleeding and that their
correction reduces blood loss. The modern viscoelastic assays,
TEG and ROTEM may enable physicians to make point of care
decisions regarding a patient’s ability to form thrombus and
thereby afford a more individualized and evidence-based
approach to plasma transfusion in the setting of trauma or
massive hemorrhage.

The ROTEM/ TEG-based algorithm showed significant


reduction in the use of plasma products compared to a
coagulation management based on conventional laboratory

291
testing in a recent review.

In the absence of massive bleeding, plasma is typically dosed


at 10–15 ml/kg predicted body weight with an expected
increase in clotting factor levels of 25–30%. This equates to
approximately 1 L of plasma in a typical 70 kg patient.
Importantly, however, recent studies have suggested that this
dosing regimen may often result in an inadequate repletion of
clotting factors. Indeed, recent evidence suggests that upward
of 30ml/kg of plasma may be needed to reliably achieve
desired coagulation factor levels, thereby ensuring adequate
hemostasis. However, a primary concern with this plasma
dosing regimen is the potential for volume overload,
particularly in those with baseline predisposing factors (e.g.,
congestive heart failure and advanced renal disease).

Fibrinogen Concentrate/Cryoprecipitate
The discussion regarding the perioperative administration of
fibrinogen concentrate is ongoing due to missing large
randomized trials. There is only 1 small randomized trial
showing the beneficial effect of fibrinogen administration after
major cardiac surgery. The administration of fibrinogen
concentrate or cryoprecipitate might reduce postoperative
bleeding and transfusion. However, the liberal fibrinogen
substitution in the perioperative setting cannot be
recommended for several reasons. First, bleeding in the
perioperative setting is often multifactorial. Second, threshold
levels for fibrinogen substitution are discordant. Third, current
recommendations about the substitution target to reduce the
incidence of allogeneic blood products transfusions are
unclear due to missing adequately powered randomized trials.
292
Finally, it is unclear whether fibrinogen substitution improves
patients outcomes.

Plasma threshold levels for fibrinogen substitution of 80 to 100


mg/dL are still widely reported and recommended in
guidelines. This minimal fibrinogen level of 100 mg/dL is more
of a historic and empiric value as it results from studies in
patients with afibrinogenemia and is not based on solid clinical
evidence. Today, many experts regard that minimal level as too
low of a threshold for initiating exogenous fibrinogen
replacement. The national guidelines in Germany and Austria
recommend higher levels of 150 to 200 mg/dL in concordance
with the Task Force of Advanced Bleeding Care in Trauma and
the European recommendations in perioperative bleeding. The
latter recommendations are based on newer reports from
bleeding patients after cardiac surgery, obstetric hemorrhage,
and in vitro studies showing that fibrinogen levels ≥ 200 mg/dL
are associated with improved clot formation and lower
bleeding tendency. Several studies used ROTEM for triggering
and dosing fibrinogen concentrates. Clot firmness in
thromboelastometric tests specific for fibrinogen (FIBTEM)
shows a very good correlation with fibrinogen levels.
Suggested threshold values in ROTEM ranged from 8 to 10 mm
in clot firmness after 10 or 15 minutes and in maximum clot
firmness. These threshold values might vary for different
surgical procedures or etiologies of bleeding (eg, trauma,
obstetrics, liver transplantation, cardiac surgery).

Over substitution with fibrinogen concentrates or


cryoprecipitate might be associated with thromboembolic
complications after cardiovascular surgery. A recent
293
propensity score analysis in patients undergoing cardiac
surgery found that substitution of fibrinogen level by
concentrates aiming for a target level of about 200 mg/dL was
not associated with worse one year outcomes. Recovery of
fibrinogen level happens within the first few days after surgery,
as fibrinogen is an acute-phase protein. Therefore, fibrinogen
or cryoprecipitate usually should be restricted to the
intraoperative period and the first hours after surgery.
Interestingly, no differences were found between fibrinogen
levels in substituted and non-substituted patients after the
first postoperative days.

Conclusion
Allogeneic red cell transfusion is a very common intervention
in the peri-operative period. The commonest trigger used to
guide red cell transfusion remains the Hb. Transfusion should
be considered if Hb below 80 g/dl and usually indicated if Hb is
below 7 g/dl. The decision to transfuse should be based on the
clinical condition of the patient (higher thresholds may be
appropriate in individual cases). 


Platelet transfusion in surgical patients is rarely indicated if the


platelet count is known to be greater than 100 x 109/L and is
usually indicated when the count is less than 50 x 109/L in the
precense of excessive bleeding.

FFP is indicated for replacement of coagulation factor


deficiencies with associated severe bleeding and urgent
reversal of warfarin therapy with severe bleeding.

Cryoprecipitate transfusion should be considered in patients


294
with bleeding, and based on a fibrinogen concentration
threshold of < 150 mg/dl.

References
1. Clifford L, Kor D J and Stubbs J R. Perioperative transfusion
needs in Rossi’s Principles of Transfusion Medicine, 5th
edition. 2016
2. Monsef and Boettner. International Journal of Clinical
Transfusion Medicine 2015 ; 3 : 69
3. Kaur et al. Internet Journal of Medical Update (2013); Vol.8
(1): 46 - 50
4. Bolliger et al. Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia (2015); Vol 29 (3):p.768-76
5. National Blood Authority. Patient Blood Management
Guidelines : Perioperative. 2012

6. Shah et al. Anaesthesia 2015; 70 (Suppl. 1): 10–19

295
296
Pencegahan dan Tatalaksana Trombosis Vena pada
Perioperatif

Ivan Lumban Toruan


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

Abstrak
Tindakan operasi bedah umum dikaitkan dengan risiko
trombosis vena (TV) yang signifikan. Prevalensi tinggi dan
onset yang sering asimtomatik dari kondisi ini
menggarisbawahi pentingnya penilaian risiko dan tindakan
profilaksis yang tepat. Penilaian risiko individu sangat penting
untuk pemilihan metode profilaktik yang tepat untuk pasien
bedah umum. Kompresi pneumatik intermiten (KPI) dan
stoking kompresi telah terbukti mengurangi risiko untuk
terjadinya TV paska operasi pada pasien bedah risiko rendah.
Pada pasien bedah risiko sedang dan tinggi, seperti mereka
dengan penyakit ganas, farmakologis profilaksis diberikan
hingga empat minggu. Unfractionated heparin (UFH) dan low
molecular weight heparin (LMWH) adalah aman dan efektif
untuk profilaksis TV pada populasi pasien ini. Namun, data
prospektif menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
berkembang gejala TV paska operasi, ternyata telah menerima
beberapa bentuk profilaksis, yang secara nyata tidak efektif.
Oleh karena itu, metode yang lebih efektif diperlukan untuk
pasien yang berisiko tinggi. Penghambat faktor Xa,
297
fondaparinux, juga telah terbukti aman dan efektif untuk
profilaksis TV pada pasien yang telah menjalani operasi
abdomen, terutama pada pasien dengan kanker. Hasil ini
menunjukkan bahwa fondaparinux dapat lebih meningkatkan
pencegahan TV pada populasi bedah umum. Tidak ada metode
profilaksis TV yang sesuai untuk setiap pasien. Oleh karena itu,
manfaat dan risiko dari masing-masing metode profilaksis TV
harus ditimbang untuk masing-masing pasien sehingga rejimen
profilaksis optimal dapat dimulai. Pengobatan TVD terdiri dari
tiga fase, fase awal (5-21 hari setelah diagnosis), pasien
menerima baik terapi parenteral dan transit ke vitamin K
antagonis (VKA) atau menggunakan direct oral anticoagulants
dosis tinggi (DOACs). Fase jangka panjang (setelah 3-6 bulan),
pasien diobati dengan VKA atau DOACs. Dan fase diperpanjang
(di luar 3-6 bulan pertama) didasarkan pada keseimbangan
manfaat / risiko dari antikoagulasi lanjutan.

Pendahuluan
TV meningkat tajam seiring bertambahnya usia (Gambar 1)
dan tampak stabil selama 25 tahun terakhir, meskipun dengan
strategi pencegahan. Wanita lebih sering terkena pada usia
yang lebih muda, rasio ini berbalik pada usia lanjut. Insiden
serupa pada orang kulit hitam tetapi lebih rendah pada orang
Asia.. Hampir 2/3 kasus TV adalah tombosis vena dalam (TVD),
dan 80% proksimal. TVD merupakan kelainan kardiovaskuler
ketiga tersering setelah penyakit koroner arteri dan stroke.
Studi populasi di Eropa baru-baru ini melaporkan kejadian TVD
70-140 kasus / 100.000 orang-tahun. 1-2
TVD dalam sebagian besar juga menjadi faktor predisposisi
terjadinya emboli paru (EP). TVD distal (di bawah lutut) lebih

298
sering dikaitkan dengan situasi sementara. sementara yang
proksimal ke kondisi kronis. Dalam 25-50% pertama episode
TVD, tidak ada faktor predisposisi yang teridentifikasi. Pada
pasien dengan TVD tanpa EP, tingkat mortalitas jangka pendek
dilaporkan 2-5%, lebih sering terjadi di proksimal daripada
distal. Risiko rekurensi TVD tinggi, terutama dalam 6 bulan
pertama. Komplikasi dini dan menengah meliputi trombosis
berkepanjangan, dan kekambuhan TVD dan EP.3-5

Gambar 1. Kejadian Trombosis Vena Berdasarkan Grup Umur.

Penyulit jangka panjang meliputi sindroma paska


trombotik (SPT), didefinisikan sebagai gejala vena kronis dan /
atau tanda-tanda sekunder terhadap TVD. Ini merupakan
komplikasi TVD kronis yang paling sering, terjadi pada 30-50%
pasien dalam waktu 2 tahun setelah TVD proksimal. Dalam 5-
10% kasus, SPT berat. Riwayat TVD ipsilateral sebelumnya,
lokasi proksimal (ilio-femoral > poplitea), dan residual
obstruksi vena merupakan faktor risiko SPT yang paling
signifikan. Obesitas dan kontrol INR yang buruk selama
pengobatan 3 bulan pertama adalah faktor risiko independen

299
tambahan. Skor Villalta digunakan untuk diagnosis SPT dan
evaluasi pengobatan (Tabel 1).6-8
TV adalah komplikasi serius yang sering dijumpai dalam
praktek medis dan bedah. TVD dapat terjadi diatas 50% pada
pasien yang dihospitalisasi jika tidak mendapat profilaksis
meskipun banyak diantaranya adalah asimtomatik (Tabel 2).
Ini dapat memperpanjang masa lamanya perawatan di rumah
sakit, meningkatnya biaya obat dan pemeriksaan
laboratorium, serta potensial meyebabkan EP yang fatal. EP
tetap sebagai penyebab terbesar kematian yang sebenarnya
dapat dicegah. Data menunjukkan 1% dari semua kematian
pasien yang dihospitalisasi karena EP.9
Masalah tindak lanjut jangka panjang pasien tidak mudah
untuk dipecahkan dan banyak peristiwa TVD terjadi beberapa
minggu atau lebih lama setelah dipulangkan. Data mengenai
pengobatan readmisi, kematian, dan rawat jalan TVD yang
menggunakan LMWH mungkin sangat sulit untuk didapat dari
ahli bedah. Dokter yang sibuk pada umumnya tidak
mengaitkan stroke atau berbagai gejala paska operasi lainnya
karena disebabkan oleh TVD paska operasi. Tidak
mengherankan jika banyak orang merasa bahwa TVE tidak
menjadi masalah dalam praktik klinis.10

300
Tabel 1. Skor Vilalta

Tabel 2. Insiden TVD tanpa Prifilaksis

301
Diagnosis Trombosis Vena
Penilaian pra-tes probabilitas adalah langkah pertama
dalam algoritma diagnostik kecurigaan TVD (Gambar 2).
Sensitifitas dan spesifisitas gejala klinis rendah ketika
dipertimbangkan secara individual, namun kombinasi
menggunakan aturan prediksi, memungkinkan pra-uji
klasifikasi probabilitas klinis menjadi dua (DVT unlikely atau
likely) atau tiga kategori (probabilitas rendah, menengah, atau
tinggi) sesuai dengan peningkatan prevalensi penyakit. Skor
Wells telah divalidasi secara luas dan dapat diterapkan baik
untuk rawat jalan maupun rawat inap (Tabel 3). Panel pakar
mendukung probabilitas pra-tes dua tingkat yang dimodifikasi
karena mudah digunakan.11

Gambar 2. Algoritme Diagnostik dan Manajemen TVD. AC,


anticoagulant, DOAC, direct oral anticoagulant.

Normal D-dimer merujuk TVD unlikely, tetapi tes D-dimer


spesifisitasnya rendah. Tes ELISA atau ELISA kuantitatif
(sensitifitas > 95%) memungkinkan mengesampingkan TVD
302
pada pasien dengan TVD unlikely. ELISA negatif D-dimer dapat
menyingkirkan TVD tanpa pengujian lebih lanjut pada 30%
pasien, dengan risiko tromboemboli selama jangka waktu 3
bulan < 1% tanpa pengobatan. Pada pasien dengan TVD likely,
tes D-dimer tidak diperlukan, yang diperlukan adalah
pencitraan. Antikoagulasi dapat dimulai jika tidak
dikontraindikasikan, pada pasien dengan TVD likely sampai
pencitraan dilakukan.12
USG vena (UV) adalah modalitas pencitraan TVD lini
pertama ini berdasarkan B-mode, dikombinasikan atau tidak
dengan USG Doppler berwarna, dan teknik kekuatan
pencitraan. Kriteria diagnostik DVT adalah lintas insersi
kompresi vena seksional, pencitraan trombus langsung dengan
pembesaran vena, dan aliran spektral dan warna Doppler
abnormal. UV dapat dilakukan dengan memeriksa hanya vena
femoralis, dan poplitea, atau dengan pencitraan luas vena kava
inferior, vena iliaka dan femoralis, dan vena betis (UV seluruh
kaki atau UV lengkap). Ada kontroversi mengenai apakah
mengeksplorasi kaki simtomatik saja, atau keduanya.13-14
Dalam TVD yang dicurigai secara klinis, UV memberikan
kepekaan keseluruhan 94,2% untuk proksimal, dan 63,5%
untuk TVD distal terisolasi, dengan spesifisitas keseluruhan
93,8%. Kombinasi dengan USG Doppler berwarna
meningkatkan sensitivitas tetapi menurunkan spesifisitas.
Ketika TVD dicurigai (tanpa gejala PE), pemberian antikoagulasi
dapat ditunda dengan aman pada pasien dengan UV lengkap
normal tunggal. Hal yang sama berlaku untuk UV terbatas yang
dapat diulang, dan diintegrasikan dalam strategi diagnostik
termasuk kemungkinan klinis, dan penilaian D-dimer. Secara
keseluruhan tingkat kejadian TV 3 bulan setelah UV lengkap
303
negatif adalah 0,57%, tetapi kedua metode dilaporkan setara.
15

Tabel 3. Skor Wells.

Pada pasien dengan TVD berulang yang dicurigai secara


klinis, perbandingan hasil tes dengan pencitraan awal pada
penghentian antikoagulasi, dapat dengan aman menyingkirkan
diagnosis kekambuhan. Peningkatan 2 sampai 4 mm diameter
vena antara dua pengukuran pada vena femoralis dan

304
poplitea, setelah kompresi penuh, adalah kriteria di AS yang
paling divalidasi.16

Trombosis Vena pada Pembedahan


Pasien yang menjalani operasi besar memiliki risiko
peningkatan hingga 20 kali lipat untuk menjadi TV, kondisi
asimtomatik yang sering meliputi TVD dan EP. Kakkar dan
rekan menunjukkan pada tahun 1975 bahwa tingkat TVD yang
diamati pada pasien bedah umum yang tidak menerima
profilaksis TV hampir 30%. Sebuah meta analisis dari uji coba
acak pada operasi bedah umum, bedah ortopedi, dan urologi,
yang dilakukan sebelum tahun 1988, melaporkan hasil yang
sama (27% insidensi dari TVD dan 3,4% insidensi EP yang fatal).
Data yang dikumpulkan dari lebih dari 50 percobaan yang
dipublikasikan antara tahun 1970 dan 1985 menunjukkan
bahwa insidensi TVD paska operasi secara keseluruhan
sebagaimana dinilai oleh tes ambilan fibrinogen, sebuah
penelitian nuklir di mana radiolabel fibrin dimasukkan ke
dalam trombus yang baru terbentuk, dari 19 hingga 29% pada
pasien yang tidak diobati yang menjalani operasi bedah umum.
Tingkat EP dalam studi ini adalah sekitar 1,6%, dan tingkat EP
yang fatal adalah 0,9%. Sebagian besar pasien yang termasuk
dalam analisis gabungan ini menjalani operasi gastro-intestinal
elektif, beberapa populasi penelitian juga termasuk pasien
yang telah menjalani pembedahan ginekologi, toraks, urologi,
atau vaskular.
Di Amerika Serikat, TVD dilaporkan hingga 145 individu per
100.000 individu per tahun pada populasi umum, dan EP
hingga 69 individu per 100.000. Sekitar 14 hingga 16% dari
semua gejala TV didiagnosis pada pasien paska operasi dan

305
hampir setengah dari mereka adalah pasien bedah umum.
Karena data yang kuat menunjukkan TV berisiko tinggi pada
pasien bedah umum, studi klinis tanpa profilaksis tidak lagi
dilakukan pada populasi pasien ini, dan dengan demikian,
risiko saat ini dari TV pada pasien yang tidak terlindungi tidak
diketahui. Insiden TV pada populasi pasien ini tanpa profilaksis
adalah sekitar 30% dalam penelitian yang dilakukan pada
pertengahan hingga akhir 1970-an menggunakan metode
diagnostik obyektif yang sangat sensitif. Dengan profilaksis
farmakologis, insiden berkisar 4,6-8%. Meskipun keseriusan
kondisi dan prevalensinya, telah menunjukkan bahwa 25-62%
pasien bedah umum tidak menerima profilaksis apa pun. Di sisi
lain, data terbaru mengungkapkan bahwa lebih dari 50%
pasien mengalami TV paska operasi telah menerima profilaksis
farmakologis. Jelas, ada kebutuhan untuk meningkatkan
pencegahan TEV pada pasien bedah umum.
TV sulit didiagnosis karena sering asimtomatik dan, saat ini,
gejala tidak spesifik. Gejala TVD termasuk nyeri kaki, berat, dan
bengkak. Gejala EP termasuk nyeri dada, sesak napas,
takipnea, demam, hipotensi ortostatik sementara, pingsan,
kematian mendadak, dan stroke paska operasi. Meskipun
banyak ahli bedah mungkin berpikir bahwa TV paska operasi
tidak umum, banyak kemungkinan besar melihat tanda-tanda
TV sering, tetapi mengabaikan kemungkinan kaitan ke TV. Pada
70 hingga 80% pasien yang meninggal karena EP di rumah
sakit, diagnosis ini bahkan tidak dipertimbangkan sebelum
kematian pasien.
Tabel 4. berikut menunjukkan beberapa masalah yang
sering terlihat yang pada diagnosis pertama yang mungkin
tidak terkait dengan TVD. Caprini merekomendasikan untuk
306
mempunyai kecurigaan yang tinggi untuk pasien yang
menunjukkan manifestasi klinis ini. Tidak semua masalah
tersebut akan fatal atau serius, tetapi dapat menyebabkan
pasien untuk kemudian menjadi SPT atau memiliki insiden TVD
yang lebih tinggi jika mereka menjalani prosedur operasi
berikutnya
Pencegahan TV penting karena TV dengan gejala atau tanpa
gejala berhubungan dengan konsekuensi jangka panjang,
bahkan ketika kondisi didiagnosis dan diobati. Komplikasi
serius umum yang terkait dengan TVD SPT, yang ditandai oleh
kerusakan pembuluh darah permanen yang menyebabkan
pembengkakan kaki kronis yang memburuk di siang hari dan
mungkin disertai dengan adanya varises, edema , kelainan
kulit, dan ulserasi kulit. Dalam sebuah penelitian prospektif
dari 528 pasien dengan TVD yang dikonfirmasi dengan
venografi, 19% di antaranya adalah paska operasi, kejadian
kumulatif SPT pada dua, lima, dan delapan tahun setelah
diagnosis awal dan pengobatan adalah masing-masing 24,5%,
29,6%, dan 29,8%. SPT juga mnjadi masalah ekonomi yang
signifikan dari TVD. Diperkirakan bahwa 15 juta orang Amerika
menderita SPT dan dua juta hari kerja terlewatkan setiap tahun
karena kondisi tersebut.
TVD atau EP berulang juga merupakan konsekuensi klinis
umum dari TV. Insiden kumulatif TV berulang setelah dua,
lima, dan delapan tahun masing-masing adalah 17,2%, 24,3%,
dan 29,7%. Konsekuensi yang jarang, tetapi serius yang terkait
dengan TVD simtomatik dan tidak simtomatik adalah EP yang
fatal. Diperkirakan bahwa kurang dari 50% pasien yang hidup
satu tahun setelah EP akut. Selain itu, hampir 1% pasien yang
bertahan dengan EP akut akan mengalami hipertensi pulmonal
307
kronis. EP juga dikaitkan dengan stroke emboli pada pasien
dengan foramen ovale paten (FOP), suatu kondisi yang
diperkirakan ada pada 10% hingga hampir 30% dari populasi
umum. EP dapat menyebabkan tekanan yang meningkat di sisi
kanan jantung, yang dapat menyebabkan ekspansi FOP.
Gumpalan atau bagian gumpalan dapat berpindah dari bilik
kanan ke bilik kiri jantung melalui FOP yang diperluas,
menyebabkan kejadian iskemik serebral dan perifer yang
merupakan karakteristik emboli paradoks (perjalanan
gumpalan dari vena ke arteri). Ini merupakan konsekuensi
serius, melumpuhkan, dan terkadang fatal dari TV, sehingga
pentingnya pencegahan pada pasien yang berisiko, termasuk
pasien yang menjalani operasi umum.
Tabel 4. Manifestasi Umum dari Trombosis Vena Termasuk
Penyelidikan yang Diperlukan Untuk Mengungkap Semua
Kasus Penyakit.

308
Meskipun insiden TV yang tinggi telah ditunjukkan pada
pasien bedah umum, risiko TV bervariasi di antara pasien
bedah umum, dan metode yang berbeda dari profilaksis sesuai
untuk berbagai tingkat risiko. Pendekatan optimal untuk
penilaian risiko dan profilaksis TV harus menggabungkan
pedoman praktik berbasis bukti, konsensus, dan klinis.
Beberapa model penilaian faktor risiko telah diusulkan untuk
memprediksi risiko.17

Faktor Resiko Trombosis Vena


Meskipun risiko untuk TV meningkat pada semua pasien
yang menjalani operasi bedah umum, risiko relatif untuk
perkembangan komplikasi paska operasi bervariasi antara
individu berdasarkan beberapa faktor, termasuk panjang
imobilisasi setelah operasi, jenis operasi yang dilakukan, dan
adanya kondisi komorbiditas (Tabel 5). Faktor risiko spesifik
pasien penting untuk TV termasuk usia (lebih tua dari 40
tahun), etnis, dan indeks massa tubuh lebih besar dari 25.
Sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini pada pasien
bedah umum menunjukkan bahwa, meskipun peningkatan
yang stabil dalam kejadian TV terlihat antara umur 40 dan 75
tahun, peningkatan ini tidak berlanjut di atas usia 75 tahun.18
Imobilisasi untuk jangka waktu yang lama merupakan
faktor risiko yang pasti untuk TV, dan mobilisasi dini setelah
operasi telah terbukti menurunkan risiko TV paska operasi.
Ada juga bukti kuat bahwa jenis prosedur bedah yang
dilakukan pasien memprediksi risiko TV paska operasi. Bedah
mayor umum (biasanya didefinisikan sebagai operasi abdomen
atau torakal yang memerlukan anestesi umum berlangsung ≥
45 menit) dikaitkan dengan risiko tinggi TV. Pembedahan

309
ortopedi juga dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk
TV. Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap lebih dari
satu juta pasien bedah, kejadian TV simptomatik paling tinggi
di antara pasien yang menjalani bedah ortopedi pinggul atau
lutut, serta mereka yang menjalani bedah saraf invasif yang
melibatkan insisi otak, eksisi, atau biopsi. Prosedur lain yang
terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan untuk TV
termasuk bedah vaskular besar, reseksi usus kecil atau besar,
pintas lambung, kistektomi radikal, transplantasi ginjal, dan
amputasi di bawah lutut. Risiko rendah TV dilaporkan operasi
dengan diseksi leher radikal, perbaikan hernia inguinal, usus
buntu, kolesistektomi laparoskopi, prostatektomi
transurethral, perbaikan sistokel atau rektokel, perbaikan
ligamentum krukiatum, dan operasi tiroid atau paratiroid.
Kondisi medis tertentu, termasuk gagal jantung kongestif,
penyakit paru obstruktif kronik, infark miokardial, stroke,
sindrom nefrotik, gangguan radang usus, dan lupus
eritematosus sistemik diketahui meningkatkan risiko TV. Ada
hubungan yang kuat antara kanker dan TV. Pasien kanker yang
menjalani operasi memiliki peningkatan risiko dua sampai lima
kali lipat untuk TV paska operasi, dibandingkan dengan pasien
non kanker yang menjalani prosedur yang sama. Selain itu, di
antara pasien dengan TVD, mereka dengan kanker memiliki
lebih dari dua kali lipat peningkatan risiko kekambuhan TV
dibandingkan mereka yang tidak menderita kanker. Dalam
sebuah penelitian retrospektif terhadap 986 pasien yang
menjalani UV karena diduga TVD, 12% pasien dengan TVD yang
dikonfirmasi kemudian ditemukan menderita kanker.
Sebaliknya, telah ditunjukkan bahwa TV yang terlihat secara
klinis terdapat 15% dari pasien kanker, dengan insiden yang
310
jauh lebih tinggi dilaporkan pada studi postmortem.
Kemungkinan untuk terjadinya TV pada pasien kanker
meningkat di antara mereka dengan penyakit klinis yang lebih
lanjut dan bervariasi menurut jenis tumor. Keganasan yang
berasal dari rahim, otak, ovarium, pankreas, lambung, ginjal,
dan usus besar telah dikaitkan dengan risiko relatif tertinggi
untuk TEV.
Gangguan trombofilia yang didapat atau diturunkan juga
dapat meningkatkan risiko TV. Sebuah mutasi pada gen faktor
V yang menghasilkan resistensi terhadap aksi protein C, yang
dikenal sebagai faktor V Leiden, adalah penyebab paling umum
dari trombosit familial. Mutasi ini dapat meningkatkan risiko
TV menjadi 50 - 80 kali lipat dari populasi umum pada individu
yang mutasi homosigot dan tiga kali lipat pada individu
heterosigot. Penyebab paling umum kedua dari trombofilia
familial adalah mutasi prothrombin 20210A. Mutasi ini
dikaitkan dengan peningkatan tiga kali lipat dalam risiko TV.
Gangguan thrombofilia lainnya adalah sindroma antibodi
antifosfolipid. Kejadian tromboemboli dilaporkan pada sekitar
sepertiga pasien antiphospholipid positif. Risiko trombosis
berulang pada pasien ini berkisar 22 - 69%. Gangguan
trombofilia lainnya termasuk hiperhomosisteinemia; protein
C, protein S, dan defisiensi antitrombin; dan peningkatan
faktor koagulasi, termasuk faktor II, VIII, IX, dan XI. Deteksi
gangguan ini sangat penting untuk mengidentifikasi risiko
pasien yang sebenarnya untuk TV dan harus menjadi faktor
dalam mengambil keputusan apakah pasien menjalani operasi
atau tidak.
Risiko untuk TV berkisar dari sangat rendah hingga tinggi
pada pasien yang menjalani operasi bedah umum.
311
Penempatan kategori risiko tergantung pada keberadaan
faktor-faktor yang mempengaruhi risiko untuk TV, termasuk
jenis operasi, usia, imobilisasi, dan komorbiditas. Telah
ditunjukkan bahwa hingga 36% pasien bedah umum memiliki
tiga atau lebih faktor risiko, menempatkan mereka dalam
kelompok risiko tinggi. Ini adalah kelompok di mana
farmakologis TV profilaksis sangat dianjurkan. Jumlah faktor
yang dapat mempengaruhi risiko TV dan berbagai agen yang
tersedia untuk profilaksis TV dapat membuat penilaian dan
manajemen risiko menjadi sulit.

Tabel 5. Faktor Resiko TV

312
Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko telah disarankan sebagai sarana untuk
menentukan risiko untuk TV pada pasien yang menjalani
operasi dan memandu pemilihan tindakan profilaksis yang
tepat. Model penilaian risiko, seperti yang digambarkan pada
Tabel 6 dapat digunakan untuk menetapkan setiap pasien skor
faktor risiko total, yang kemudian dapat digunakan untuk
mengkategorikan pasien ke dalam satu dari empat kategori
risiko (sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi). Metode
yang tepat untuk profilaksis TV dapat dipilih berdasarkan
tingkat risiko pasien, dengan mempertimbangkan setiap
kontraindikasi terhadap profilaksis yang mungkin ada.

Tabel 6. Lembar Penilaian Faktor Risiko Tombosis Vena.

Profilaksis Trombosis Vena


Selain mobilisasi agresif, American College of Chest
Physicians tidak merekomendasikan tindakan khusus untuk
pasien dengan risiko sangat rendah dan untuk resiko rendah
direkomendasikan intervensi non farmakologis (Tabel 7).
313
Terapi farmakologis UFH, atau LMWH, dan / atau tanpa
intervensi non farmakologis direkomendasikan untuk
pencegahan TV pada pasien dengan risiko sedang. Untuk
pasien dengan risiko tinggi, terapi farmakologis dan non
farmakologis direkomendasikan untuk profilaksis TV.19-20

Insiden TV pada pasien dalam kategori risiko sangat rendah


sekitar 2%, bahwa tindakan profilaksis kemungkinan besar
tidak akan mengurangi risiko lebih lanjut. Dengan demikian,
tidak ada langkah-langkah di atas ambulasi dini
direkomendasikan pada populasi pasien ini. Insiden TV
berkisar dari 10 hingga 80% pada kelompok yang tersisa, oleh
karena itu, tindakan profilaksis direkomendasikan dalam
kelompok-kelompok ini. Stoking elastis dan KPI mengurangi
insidensi TVD menjadi masing-masing 14% dan 3%, dan dapat
digunakan sendiri pada pasien dengan risiko rendah. Meskipun
KPI telah terbukti mengurangi insidensi TVD hingga 3% setelah
operasi umum, belum diteliti secara luas dalam bedah umum
dan tidak direkomendasikan sebagai satu-satunya metode
profilaksis pada pasien dengan risiko TV lebih besar daripada
risiko rendah.
Tindakan farmakologis telah terbukti menghasilkan insiden
TVD yang lebih rendah daripada metode mekanik profilaksis
dan karena itu direkomendasikan pada pasien dengan risiko
sedang dan tinggi untuk TV. UFH subkutan, LMWH, atau
fondaparinux dapat digunakan pada pasien dengan risiko
sedang dan tinggi untuk TV. Meskipun fondaparinux belum
banyak dipelajari seperti UFH atau LMWH pada pasien bedah
umum, hasil PEGASUS (4,6% insidensi TV) (Gambar 3)
menunjukkan bahwa fondaparinux efektif untuk profilaksis

314
TEV pada populasi pasien ini dan mungkin sangat efektif pada
pasien di kategori risiko tinggi. Selain itu, untuk pasien dengan
risiko tinggi untuk TV, profilaksis mekanik dikombinasikan
dengan farmakologis profilaksis dapat lebih efektif daripada
profilaksis farmakologis saja. Hasil penelitian APOLLO
menekankan nilai gabungan profilaksis karena dalam
percobaan itu, kejadian TVD adalah 1,7% pada pasien bedah
umum risiko sedang dan tinggi.

Tabel 7. Kategori Risiko untuk TV pada Pasien yang Menjalani


Bedah Umum dan Rekomendasi Profilaksis.

Gambar 3. Insiden TV dengan Metode Profilaksis Setelah


Operasi Bedah Umum.
315
Sebagai alternatif untuk model penilaian risiko, telah
disarankan bahwa tindakan thromboprofilaktik yang tepat
digunakan pada semua pasien bedah umum berisiko rendah.
Minimal, telah disarankan bahwa penggunaan stoking elastis,
perangkat kompresi berurutan, dan LMWH harus
dipertimbangkan pada semua pasien yang menjalani operasi
kanker, kelompok yang dianggap berisiko sedang untuk TV.
Goldhaber menyarankan menggunakan metode farmakologi
profilaksis untuk semua pasien yang dirawat di rumah sakit,
sesuai dengan protokol yang diimplementasikan dengan
mudah. Bagi pasien dengan kontraindikasi terhadap
farmakologis profilaksis, metode mekanis harus digunakan.
Pasien dengan risiko tinggi untuk TV harus menerima
kombinasi pengukuran farmakologis dan mekanis.
Mengenai lamanya penggunaan profilaksis TV memerlukan
studi lebih lanjut. Namun keputusan mengenai lamanya
pemberian profilaksis sebaiknya individual. Tetapi sebagai
panduan, pada banyak studi, pencegahan digunakan minmal
10 hari pada pasien dengan risiko tinggi. 10 hari atau lebih
pada pasien dengan operasi penggantian lutut, dan 28-35 hari
pada pasien dengan operasi penggantian panggul atau operasi
patah panggul (Tabel 8).

316
Tabel 8. Lamanya Pemberian Profilaksis TV yang Menjalani
Pembedahan.

Pengobatan Vena Trombosis Dalam


Pengobatan TVD terdiri dari tiga fase (Gambar 4). Fase awal
(5-21 hari setelah diagnosis), pasien menerima baik terapi
parenteral dan transit ke VKA atau menggunakan DOACs. Fase
jangka panjang (setelah 3-6 bulan), pasien diobati dengan VKA
atau DOACs. Perawatan awal dan jangka panjang adalah wajib
untuk semua pasien DVT. Keputusan pengobatan fase
diperpanjang (di luar 3-6 bulan pertama) didasarkan pada
keseimbangan manfaat / risiko dari antikoagulasi lanjutan.
Pada pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <
30 mL / menit), fungsi ginjal tidak stabil, atau risiko perdarahan
tinggi, i.v. UFH mungkin lebih disukai (waktu paruh yang
pendek dan reversibilitas dari protamin sulfat). Tetapi
kurangnya bukti yang mendungkung pemberian UFH pada
pasien dengan obesitas (BMI > 40 kg / m2), dan berat badan

317
kurang (< 50 kg). Kerugian utama UFH adalah variabilitas dosis
antar individu yang membutuhkan pemantauan laboratorium
dan penyesuaian dosis. Selain itu, UFH dikaitkan dengan risiko
tinggi heparin induced thrombocytopenia (HIT). Untuk alasan
ini, LMWH parenteral adalah pilihan selanjutnya. LMWH
setidaknya sama efektifnya dengan UFH dan mungkin lebih
aman. Fondaparinux juga dapat digunakan sebagai agen
parenteral. Tetapi LMWH dan fondaparinux tidak memiliki
obat penawar khusus.

Gambar 4. Tahap Pengobatan Trombosis Vena Dalam.

Pada pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <


30 mL / menit), fungsi ginjal tidak stabil, atau risiko perdarahan
tinggi, i.v. UFH mungkin lebih disukai (waktu paruh yang
pendek dan reversibilitas dari protamin sulfat). Tetapi
kurangnya bukti yang mendungkung pemberian UFH pada
pasien dengan obesitas (BMI> 40 kg / m2), dan berat badan
kurang (<50 kg). Kerugian utama UFH adalah variabilitas dosis
antar individu yang membutuhkan pemantauan laboratorium
dan penyesuaian dosis. Selain itu, UFH dikaitkan dengan risiko
tinggi trombositopenia yang diinduksi heparin. Untuk alasan
ini, LMWH parenteral adalah pilihan selanjutnya. LMWH
setidaknya sama efektifnya dengan UFH dan mungkin lebih
aman. Fondaparinux juga dapat digunakan sebagai agen

318
parenteral. Tetapi LMWH dan fondaparinux tidak memiliki
obat penawar khusus.
Baru-baru ini, DOACs muncul sebagai pilihan yang valid
untuk pengobatan DVT. Dabigatran dan edoxaban diberikan
setelah perawatan 7-9 hari pertama dengan agen parenteral.
Apixaban dan rivaroxaban dievaluasi juga sebagai obat
tunggal. DOACs memiliki waktu paruh eliminasi lebih lama
daripada UFH atau LMWH dan dapat terakumulasi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (bersihan kreatinin < 30 mL /
menit) atau fungsi hati (Child-Pugh kelas B atau C). Pasien
dengan fungsi ginjal dan / atau hati yang buruk, kehamilan /
laktasi, trombositopenia, dikeluarkan dari studi fase III. Pasien
dengan kanker aktif jarang diwakili (3-8% dari seluruh populasi
penelitian). DOACs setidaknya sama efektifnya dengan dan
mungkin lebih aman daripada pengobatan parenteral / VKA.
Meta-analisis (27.023 pasien) menunjukkan tingkat
kekambuhan VTE yang sama pada pasien yang menerima
DOAC atau terapi konvensional (2,0% vs 2,2%, RR 0,90).
Perdarahan mayor (RR 0,61), perdarahan fatal (RR 0,36),
perdarahan intrakranial (RR 0,37), dan perdarahan non mayor
yang relevan secara klinis (RR 0,73) secara signifikan lebih
rendah pada pasien yang diobati DOACs.
Pengangkatan bekuan (trombolisis/trombektomi) dini juga
dapat mencegah, setidaknya sebagian, terjadinya SPT.
Catheter-directed thrombolysis (CDT) lebih efisien daripada
lisis sistemik, terutama karena perdarahan yang lebih sedikit,
karena agen trombolitik langsung diberikan dalam bekuan.
Tiga percobaan terkontrol acak utama membandingkan
modalitas CDT yang berbeda di atas antikoagulan dan
kompresi, dengan kelompok kontrol (hanya antikoagulasi dan
319
kompresi). Percobaan CAVENT termasuk 209 pasien dengan
TVD akut pertama (iliaka, femoralis umum, dan / atau vena
femoralis bagian atas). Penambahan CDT dikaitkan dengan
penurunan SPT sebesar 26% selama 2 tahun (41,1% vs 55,6%,
P = 0,04) dibandingkan dengan antikoagulan saja. Jumlah sisa
trombus paska CDT berkorelasi dengan tingkat patensi vena
pada 24 bulan (P = 0,04). Ketahanan patensi vena pada 6 dan
24 bulan berkorelasi dengan kebebasan SPT (P <0,001). 3,2%
pasien mengalami perdarahan mayor, tetapi tidak ada
perdarahan intrakranial atau kematian. Secara keseluruhan,
percobaan tidak menemukan perbedaan jangka panjang (2
tahun) kualitas hidup antara pasien dengan atau tanpa CDT.
Hasilnya telah dikonfirmasi setelah 5 tahun pengamatan.
Pemindahan trombus mekanis saja tidak berhasil dan
memerlukan terapi tambahan trombolitik. Dalam studi PEARL
I dan II, hanya 5% pasien yang diobati tanpa trombolitik.
Hingga 83% pasien yang diobati dengan terapi berbasis
kateter, memerlukan terapi tambahan angioplasti, dan
stenting. Pemasangan stenting sebagai terapi utama TVD akut
tidak disarankan karena kurangnya data.
Filter vena kava dapat digunakan ketika antikoagulasi
benar-benar kontraindikasi pada pasien dengan TVD proksimal
yang baru didiagnosis. Salah satu komplikasi utama adalah
terbentuknya trombosis pada filter. Oleh karena itu,
antikoagulan harus dimulai segera setelah kontraindikasi tidak
ada dan filter dengan cepat dicabut. Penempatan filter
sebagai terapi tambahan antikoagulasi, tidak meningkatkan
kelangsungan hidup kecuali pada pasien dengan PE yang tidak
stabil secara hemodinamik atau setelah terapi trombolitik.

320
Peningkatan kekambuhan TVD terjadi dengan filter permanen
tetapi tidak dengan filter temporer.
Tujuan pengobatan non farmakologi kompresi adalah
untuk meredakan gejala vena dan akhirnya mencegah SPT.
Efektivitas stoking kompresi elastis telah dilakukan melalui
studi SOX. Sebanyak 806 pasien dengan TVD proksimal telah
diacak baik pada 2 perlakuan yaitu, kompresi tekanan 30-40
mmHg atau plasebo (<5 mmHg) stoking. Kumulatif 2 tahun
kejadian SPT adalah serupa (52,6% vs 52,3%; HR = 1,0). Tidak
ada perbedaan dalam tingkat keparahan atau kualitas hidup
SPT yang diamati. Namun, definisi kepatuhan (stoking yang
digunakan untuk > 3 hari / minggu) secara signifikan lebih
rendah daripada dalam studi sebelumnya (56% vs 90%).
Meskipun peran stoking dalam pencegahan SPT mungkin tidak
pasti, penggunaannya tetap merupakan pilihan yang rasional
untuk mengendalikan gejala akut TVD proksimal. Kompresi
yang terkait dengan mobilisasi dini dan latihan berjalan telah
menunjukkan efikasi yang signifikan dalam meredakan gejala
vena pada pasien dengan DVT akut. Perhatian khusus harus
digunakan pada pasien dengan penyakit arteri perifer yang
parah.21

Kesimpulan
Meskipun TV relatif umum terjadi sebagai komplikasi paska
operasi dan merupakan penyebab sering kematian mendadak
paska operasi, profilaksis TV masih kurang dimanfaatkan.
Karena TV sering asimtomatik dan, gejala tidak spesifik, ahli
bedah mungkin merasa bahwa mereka tidak sering melihat TV
dalam praktiknya. Namun, tanda-tanda TV termasuk nyeri
kaki, pembengkakan kaki, nyeri dada, sesak napas, hipotensi

321
ortostatik transien, kelebihan narkotik, pingsan, hipoksia,
kematian mendadak, stroke paska operasi, dugaan infark
miokard, dan pneumonia paska operasi, relatif umum timbul
setelah operasi.
Karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan yang
terkait dengan TV, risiko TV harus dipertimbangkan pada
semua pasien bedah umum. Dalam populasi ini, hampir 40%
pasien berada pada risiko tinggi TV ( ≥ 5 faktor risiko), oleh
karena itu memerlukan profilaksis TV. Skema stratifikasi risiko
dapat membantu untuk memandu intensitas kejadian
pembekuan darah. Skema stratifikasi risiko bermanfaat untuk
menilai risiko TV pada pasien bedah umum. Bersama dengan
pertimbangan kontraindikasi atau prakondisi, stratifikasi risiko
dapat digunakan untuk memandu ahli bedah dalam pemilihan
terapi profilaksis yang optimal untuk setiap pasien.
Data klinis menunjukkan bahwa penggunaan profilaksis
nonfarmakologik, seperti stoking dan KPI, dapat efektif pada
pasien dengan risiko rendah, risiko sedang, dan dapat lebih
meningkatkan perlindungan terhadap TV pada pasien berisiko
tinggi bila digunakan dalam kombinasi dengan agen
farmakologis. Terapi farmakologis, termasuk UFH dan LMWH,
direkomendasikan untuk digunakan pada semua risiko sedang
dan tinggi ( ≥ 3 faktor risiko) pasien bedah umum. Selain itu,
fondaparinux adalah pilihan pengobatan penting untuk pasien
berisiko tinggi yang menjalani operasi abdomen, terutama
untuk kanker. Telah terbukti bahwa profilaksis farmakologis
diperpanjang (hingga 4 minggu) dapat secara signifikan
mengurangi kejadian peristiwa TV dibandingkan dengan
profilaksis selama satu minggu. Berdasarkan data ini,

322
disarankan bahwa pasien risiko tinggi menerima profilaksis
farmakologis yang diperpanjang.
UFH adalah agen farmakologis yang paling murah dan aman
untuk digunakan pada pasien dengan gagal ginjal dan mereka
yang menjalani anestesi neuraksial. Namun, ini terkait dengan
HIT dan harus diberikan tiga kali sehari pada pasien yang
berisiko tinggi untuk TV. LMWH telah terbukti setidaknya aman
dan efektif seperti UFH, terkait dengan insiden HIT yang lebih
rendah, dapat diberikan satu atau dua kali sehari, dan dapat
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
kanker. LMWH harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan gagal ginjal atau pada mereka yang menjalani anestesi
neuraksial. Pemberian profilaksis penghambat faktor Xa,
fondaparinux, telah terbukti aman dan setidaknya sama
efektifnya dengan UFH dan LMWH untuk pencegahan TV
setelah pembedahan abdomen dan secara signifikan lebih
efektif daripada LMWH pada kanker pasien bedah.
Fondaparinux memiliki waktu paruh yang panjang,
memungkinkan untuk dosis sekali sehari, tetapi ini dapat
menjadi kerugian dalam hal komplikasi perdarahan dan tidak
dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal lanjut.
Tidak ada satu pun metode profilaksis TV yang optimal
untuk setiap pasien. Manfaat dan risiko masing-masing agen
harus dipertimbangkan untuk setiap pasien sehingga terapi
yang paling aman dan paling efektif dimulai. Sampai sekarang,
sedikit yang diketahui tentang durasi yang tepat dari langkah-
langkah ini; namun, pada pasien tertentu yang berisiko tinggi
untuk TV, dianjurkan profilaksis diperpanjang.

323
Untuk tatalaksana pasien sudah terjadi komplikasi TVD
paska operasi, pasien dengan TVD proksimal harus diberikan
anti-koagulan setidaknya selama 3 bulan. Pasien dengan TVD
distal yang terisolasi pada risiko kekambuhan tinggi harus
diberikan anti-koagulan, sama seperti untuk TVD proksimal.
Untuk pasien yang berisiko kekambuhan rendah pengobatan
dapat diberikan lebih singkat (4-6 minggu), bahkan pada dosis
anti koagulan yang lebih rendah, atau pengawasan ultrasound
dapat dipertimbangkan.
Dengan tidak adanya kontraindikasi, DOAC dapat
digunakan sebagai terapi anti-koagulan lini pertama pada
pasien non-kanker dengan DVT proksimal.

Daftar Pustaka
1. Heit JA. The epidemiology of venous
thromboembolism in the community. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2008;28:370–372.
2. Raskob GE, Angchaisuksiri P, Blanco AN, Buller H,
Gallus A, et. al. Thrombosis: a major contributor to
global disease burden. Arterioscler Thromb Vasc Biol
2014;34:2363–2371.
3. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N,
Fitzmaurice D, et. al. Task Force for the D,
Management of Acute Pulmonary Embolism of the
European Society of Cardiology. 2014 ESC guidelines
on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism. Eur Heart J 2014;35:3033–3069.
4. Galanaud JP, Kahn SR, Khau Van Kien A, Laroche JP,
Quere I. Epidemiology and man- agement of isolated
324
distal deep venous thrombosis]. La Revue De
Medecine Interne/ Fondee Par La Societe Nationale
Francaise De Medecine Interne 2012;33:678–685.
5. Mearns ES, Coleman CI, Patel D, Saulsberry WJ,
Corman A, Li D, Hernandez AV. Index clinical
manifestation of venous thromboembolism predicts
early recurrence type and frequency: a meta-analysis
of randomized controlled trials. J Thromb Haemost
2015;13:1043–1052.
6. Prandoni P, Kahn SR. Post thrombotic syndrome:
prevalence, prognostication and need for progress. Br
J Haematol 2009;145:286–295.
7. Baldwin MJ, Moore HM, Rudarakanchana N, Gohel M,
Davies AH. Post thrombotic syndrome: a clinical
review. J Thromb Haemost 2013;11:795–805.
8. Soosainathan A, Moore HM, Gohel MS, Davies AH.
Scoring systems for the postthrombotic syndrome. J
Vasc Surg 2013;57:254–261.
9. The Australia and Nee Zealand Working Party on the
Management and Prevention of Venous
Thromboembilism. Prevention of Venous
Thromboembolism. Best Practice Guidelines for
Australia and New Zealand 4th Edition.
10. Caprini JA. Thrombosis risk assessment as a guide to
quality patient care. Dis Mon 2005;51:70-78.
11. Geersing GJ, Zuithoff NP, Kearon C, Anderson DR, Ten
Cate-Hoek AJ, et. Al. Exclusion of deep vein thrombosis
using the Wells rule in clinically important subgroups:
individual patient data meta-analysis. BMJ
2014;348:g1340.

325
12. Righini M, Perrier A, De Moerloose P, Bounameaux H.
D-Dimer for venous thromboembolism diagnosis: 20
years later. J Thromb Haemost 2008;6:1059–1071.
13. Le Gal G, Robert-Ebadi H, Carrier M, Kearon C,
Bounameaux H, Righini M. Is it useful to also image the
asymptomatic leg in patients with suspected deep vein
thrombosis? J Thromb Haemost 2015;13:563–566.
14. Galanaud JP, Sevestre MA, Genty C, Pernod G, Quere I,
Bosson JL. Is it useful to also image the asymptomatic
leg in patients with suspected deep vein thrombosis?
Comment. J Thromb Haemost 2015;13:2127–2130.
15. Lewiss RE, Kaban NL, Saul T. Point of care ultrasound
for a deep venous thrombosis. Glob Heart 2013;8:329–
333.
16. Hamadah A, Alwasaidi T, Leg G, Carrier M, Wells PS, et.
al. Baseline imaging after therapy for unprovoked
venous thromboembolism: a randomized controlled
comparison of baseline imaging for diagnosis of
suspected recurrence. J Thromb Haemost
2011;9:2406–2410.
17. Caprini JA, Arcelus JI. Venous thromboembolism
prophylaxis in the general surgical patient. The Vein
Book, Elsevier Inc 2006:369-380.
18. Bahl V, Hu H, Henke PK, Wakefield TW, Campbell. A
validation study of retrospective venous
thromboembolism risk survey method. Ann Surg
2010;251:344-345.
19. Gould MK, Garcia DA, Wren SM, Karanicolas PJ,
Arcelus JI, et. al. Prevention of VTE in nonorthopedic
surgical patients: antithrombotic therapy and

326
prevention of thrombosis, 9th ed: American College of
Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice
Guidelines. Chest 2012 Feb;141(2 Suppl):e227S-e277S.
20. Falck Y, Francis CW, Jahanson NA, Curley C, Dahl OE,
et. al. Prevention of VTE in orthopedic surgery
patients: Antithrombotic Therapy and Prevention of
Thrombosis, 9th ed: American College of Chest
Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines.
Chest 2012 Feb;141(2S):e278S-e325S.
21. Mazzolai L, Aboyans V, Ageno W, Agnelli G, Alatri A, et.
al. Diagnosis and management of acute deep vein
thrombosis: a joint consensus document from the
European society of cardiology working groups of
aorta and peripheral vascular diseases and pulmonary
circulation and right ventricular function. European
Heart Journal 2017;00:1–14 .

327
328
Pathogenesis and Clinical Overview of Chronic Immune
Thrombocytopenia Purpura

Prof. DR. Dr. I. Made Bakta, SpPD-KHOM


Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018

Introduction

Immune thrombocytopenia (ITP) is an acquired


thrombocytopenia, defined as a platelet count < 100 x 109/L
and cause by immune destruction of platelets. ITP occurs in 2
to 4 /100.000 adults and results in variable bleeding
symptoms. ITP Working Group (IWG) defined the abbreviation
of ITP to be Immune Thrombocytopenia (neither Idiopathic nor
Purpura). IWG also removed the term “acute ITP”, instead they
proposed standardized terminology: (1) newly diagnosed ITP;
(2) persistent ITP; and (3) chronic ITP.

Pathogenesis and Pathophysiology

In the last several years, our understanding of the


pathophysiology of ITP has significantly improved. Previously,
ITP is assumed as a simple immune-mediated peripheral
destruction of platelets by splenic macrophage. It is now clear
that ITP is an acquired immune disorder where
thrombocytopenia results from pathologic platelet antibodies,
impaired megakaryopoiesis, and T cell-mediated destruction
of platelets, which each pathologic mechanism playing varying
roles in each patient.
329
As many as 60% to 70% of patients have platelet-specific
immunoglobulin G antibodies. These are generally directed at
the most abundant platelet surface glycoprotein, GP IIb/IIIa
and GP1b/IX/V. Other mechanisms have been proposed,
including antigenic cross-reactivity (mimicry), somatic
mutation, and defects in the elimination of autoreactive B-cell
clones. Plasma cells that produced autoreactive antibodies
have been reported to be present at higher levels in ITP, as well
as the B cell regulator (B-reg), and B-cell activating factor
(BAFF). B cells were shown to be increased in the red pulp of
spleen in ITP patients. B regulatory cells (B-reg), which
promote peripheral tolerance, are also impaired in ITP. Taken
together, impaired of plasma cells, B-regs, and B cells, leading
to the production of pathogenic antibodies. These antibodies,
via platelet and megakaryocyte opsonisation, trigger platelet
destruction in the spleen and liver as well as defective
megakaryopoiesis.
Abnormal T cells have been described in patients with ITP,
including higher T helper cell reactivity against platelets, and a
lower frequency of Tregs (CD4+ CD25+FoxP3+). Only 60% of ITP
patients have detectable autoantibodies, suggesting a non-
antibody mediated mechanism, especially T cells
abnormalities. Tregs appear to be the key cell types that may
be responsible for the initiation of ITP. T cells play a crucial
roles in ITP. Indeed, abnormal T cells subsets, including lower
Tregs and unbalanced Th17, Th10, and Th1 profiles, as well as
the presence of cytotoxic CD8+ T cells constitute the cellular
mechanisms of ITP pathogenesis. APC (antigen presenting
cell), primarily DC (dendritic cell), are also impaired in ITP,
which may suggest that abnormal self-antigen presentation

330
take place, which contributes to stimulating pathogenic
antibody production thereby contributing to the progression
of the disease.

In ITP, megakaryocytes (MKs) are clearly targeted by anti-


platelet autoantibodies binding GPIb and GPIIb/IIIa and this
induced both morphological and physiological changes. This
changes include a reduction of granules with a vacuolisation of
the cytoplasm and smoothing of the plasma membrane, and
apoptosis. MKs and the whole BM niche are thus also damaged
in ITP, which leads to impaired MKs maturation and platelet
production despite relatively normal TPO (thrombopoietin).

Several recent studies have also investigated the role of


Ashwell-Morell receptor (AMR) system in the liver as an
additional mechanism in ITP. Normally, platelets that have
been in circulation longer (senescent process) will lose sialic
acid. These platelets then recognized by the AMR and cleared
from the circulation. In ITP due to impairment of platelets
membrane this process is increased.

The pathogenesis of ITP is very complex, both antibody-


mediated and/or Tcell-mediated platelets destruction are key
processes. Many aspects of pathogenesis of ITP remain
unclear. But the advancement of the understanding of ITP
pathogenesis gives a substantial progress in the therapy of ITP.

Therapies of ITP
Based on the pathogenetic mechanisms, the treatment
strategies of ITP consist of (1) decreasing the autoreactive
nature of the immune response by targeting the autoreactive
antibody production and the platelets destruction; (2)
331
stimulating platelet production to increase platelet counts;
and (3) increasing platelets half-life. Indeed, the effectiveness
of the treatment depends on the initial trigger of the
thrombocytopenia, which is often multifactorial and target
component of adaptive immunity (T and B cells) as well as
inflammatory factors (cytokines and the presence of
autoantigens). Therefore, therapies targeting these two
aspects of the disease may be more efficient than
administrating a treatment affects one or the other.

There is substantial agreement, at least in newly diagnosed


patients, treatment is indicated in presence of bleeding
manifestations, or anyway if platelet count is below 30 x 109/L.
In absence of bleeding, a platelet count of 20x109/L is
compelling case for treatment.

First-line management: prednisone 1 mg/kg/day for 2 to 4


weeks has been standard first-line treatment for years.
Recently, high-dose dexamethasone (40 mg/d for 4 days) is
showed better long-term remission. Intravenous
methylprednisolone has been used in various regiment. Due to
the short response, maintenance therapy with oral prednisone
may be required. Corticosteroids supress macrophage
phagocytic function and reduced with antibody production.
Intravenous anti-D is appropriate for Rh(D) positive, non-
splenectomised ITP patients. Intravenous immunoglobulin G
(IVIG) is a very effective means to temporally raise platelet
counts in patients with acute bleeding episode.

Second-line management: splenectomy is the traditional


second-line treatment of ITP. A complete remission is achieved

332
in about 60% of the patients. The 2011 ASH guideline
recommended splenectomy as second-line treatment for ITP
with the recommendation to try to delay splenectomy to 6
months to 1 year after diagnosis. Splenectomy is not without
risk, surgery-related complications have been reported in up
to 25% of the cases, including about 1% mortality rate,
therefore is often not preferred by patients. Recently, data
suggest that < 25% of patients ITP undergo splenectomy.
Despite the risks, splenectomy is considered as one of
treatment modality for the long-term increase in platelet
counts in ITP.

The most recent clinical development that has changed the


landscape of second-line ITP therapy is thrombopoietin
receptor agonist (TPO-RA). TPO-RAs interact with TPO receptor
to increase platelet production as opposed to conventional
treatments that aim to slow platelet destruction mechanisms.
Currently 2 TPO-RAs are approved (by FDA) for treatment of
ITP in adults: the oral small-molecule eltrombopag and the
subcutaneous peptide antibody fusion protein (peptibody)
romiplostim. TPO-RAs are the only treatment option for
refractory ITP that has been shown to be effective in
randomized clinical trials. Notably, a recent real-world study
confirmed the high response rates, an overall response rate of
94.2% was reported with eltrombopag vs 80% with
romiplostim. TPO-RAs are safe and well tolerated, the adverse
events reported mostly mild to moderate. TPO-RAs have been
considered as life-long maintenance therapies, but recent
studies showed some patients have sustainable remission
after cessation of TPO-RAs. Further studies are needed to
confirm.
333
Off-label immune modulators
The treatments are used off-label to treat patients with ITP
and often are not supported by sufficient clinical evidence
from large randomized trial.

Rituximab: is a chimeric antibody directed against the CD20


antigen on B cells. It is thought to induce B cells apoptosis,
resulting depletion of B cells followed by decreases of anti-
platelet antibody. Rituximab is supposed have an indirect
influence on regulation of T cells. About 50% of resistant
chronic ITP patients present a short term response. However,
recent data may warrant re-evaluation of the role of rituximab
in the treatment of ITP, as the long-term results showed no
maintained significant benefit of rituximab vs placebo beyond
78 weeks of use.

Fostamatinib: inhibits FcR-triggered Syk-dependent


rearrangement during phagocytosis, especially in spleen.
Promising findings have been described in several
autoimmune diseases, including ITP. Fostamitinib represents
an active therapy targeting a previously unexplored
mechanism of ITP pathogenesis.

334
Current Treatment Landscape in cITP

Lugyanti Sukrisman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

335
Benefit of PLD in MBC

Andhika Rachman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

336
Comparison Carboplatin-PLD versus carboplatin-
paclitaxel in Advanced recurrent ovarian cancer

Cosphiadi Irawan
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

337
Tatalaksana Anemia Hemolitik Autoimmun

Prof. Iman Supandiman


Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018

338
Herceptin and its Biosimilars in eBC : What are the
things to consider in choosing between the two?

Djumhana Atmakusuma
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

339
Antibody Drug Conjugate (ADC) Therapy in
Relapsed/Refractory Hodgkin Lymphoma

Ikhwan Rinaldi
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

340
How can we convince eligible patients to use Dual
Blockage, Perjeta plus Herceptin, in HER2 + mBC?

Andhika Rachman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

341
Unmet Needs in Relaps/Refractory Hodgkin Lymphoma
Treatment

Ronald Hukom
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RS Kanker Dharmais Jakarta
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

342
mCRC Case Sharing

Fifi Akwarini
Divisi Hematologi Onkologi Medik
Rumah Sakit Umum Santosa Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

343
Tatalaksana Myeloma Multipel

Rachmat Sumantri
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

344
Basic Immunotheraphy in cancer

Rachmat Sumantri
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

345
The Important of PDL1 test in the era of
Immunotheraphy

Prof. Bethy S. Hernowo, dr., Sp.PA(K), PhD


KSM Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018

346

Anda mungkin juga menyukai