Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO
MAKALAH LENGKAP
BHOM-2018
Bandung Hematology Oncology Meeting 2018
The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO
PENERBIT
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO
MAKALAH LENGKAP
BHOM-2018
Bandung Hematology Oncology Meeting 2018
The Indonesian
Society of
Hematology
Medical
Oncology
ISHMO
PENERBIT
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
EDITOR
Amaylia Oehadian
Indra Wijaya
Dimmy Prasetya
i
DAFTAR ISI
Judul Hal
Editor ...................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................... ii-iii
Penulis ...................................................................................... iv-v
Immune chekpoint inhibitor awbGi imunoterapi kanker ............ 1
Kasus : Pasien imun thrombositopenia purpura sekunder karena
lupus eritematosus sistemik ........................................................ 19
Cyramza, A new Standart of Care in treatmen of 2nd line Gastric
Cancer ...................................................................................... 25
Metastastic Breast cancer + Case Sharing ................................... 27
The new indication of Eribulin in STS + Case Sharing .................. 29
Terapi Target pada Kanker Payudara .......................................... 37
Tatalaksana Resistensi Terapi Target Pada Kanker Paru ............. 49
Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Paraneoplastik ................. 67
Diagnosis Anemia Dan Transfusi Red Blood Cell .......................... 81
Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi: Parenteral Versus Oral
Supplement ................................................................................. 111
Diatesis Hemorhagik Pada Wanita .............................................. 127
Pendekatan Diagnosis Dan Tatalaksana Trombositosis .............. 151
Pendekatan Diagnosis dan tatalaksana APS ................................ 165
Patofisiologi dan Tatalaksana Kaheksia pada Kanker .................. 183
Patofisiologi dan Tatalaksana Nyeri Kanker ................................ 201
ii
Patofisiologi dan Tatalaksana Gangguan Psikologi Pasien Kanker
...................................................................................................... 211
Incorporation of Brentuximab Vedotin in the Treatment of
Lymphoma: Current Evidence and Potential Use in Indonesia .... 221
How Should we Personalize Front-line Theraphy in mCRC ......... 229
Limfoma Non Hodgkins Agresif: Tatalaksana Terkinin ................ 237
Tatalaksana Limfoma Non Hodgkins Indolent ............................. 253
Tatalaksana Koagulopati Perioperatif .......................................... 261
Indication for Perioperatif Blood Component Transfusion ......... 285
Pencegahan dan Tatalaksana Trombosis Vena pada Perioperatif
...................................................................................................... 297
iii
PENULIS
iv
Sutiadi Kusuma, dr., SpPD
Ivan Lumban Toruan, dr., SpPD
Suhartono, dr., SpPD
Shinta Oktya Wardhani, dr., SpPD
Heny Syahrini, dr., SpPD
M. Fuad, dr., SpPD
v
Immune checkpoint inhibitor sebagai imunoterapi
kanker
Amaylia Oehadian
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Sistem imun berperan penting dalam mengkontrol dan
eradikasi kanker. Pada keganasan terdapat bermacam-macam
mekanisme supresi imun yang akan mencegah efektivitas
imunitas anti tumor.1 Berbagai penelitian berusaha untuk
mengaktifkan fungsi sel T sehingga dapat mengeradikasi
kanker. Pada makalah ini akan dibahas evasi tumor dan
surveilans imun, prinsip terapi terhadap sistem imun untuk
mengontrol keganasan dan peranan immune checkpoint
inhibitor dalam terapi kanker
Keterangan :
Cancer immunoediting merupakan mekanisme
supresor tumor ekstrinsik yang terjadi hanya setelah
terjadi transformasi selular dan kegagalan mekanisme
2
intrinsic tumor supresor. Cancer immunoediting terdiri
dari 3 fase :
o Eliminasi
Pada fase eliminasi, imuntias inate dan adaptif
bekerja sama menghancurkan sel kanker sebelum
adanya gejala klinis. Bila fase ini berjalan dengan
lengkap, host akan bebas dari kanker
o Ekuilibrium
Sel kanker yang tidak terdestruksi pada fase
eliminasi, akan memasuki fase ekuilibrium.
Pertumbuhan sel kanker dicegah dengan
mekansme imunologi. Sel T, lnterleukin 12,
interferon gamma diperlukan untuk
mempertahankan sel kanker dalam keadaan
dorman.
Fase ekuilibrium merupakan peranan sistem imun
adaptif
Pada fase ini terjadi editing imunogenisitas tumor.
Sebagai akibat seleksi imun pada sel kanker yang
tidah stabil secara genetik, dapat terjadi varian sel
kanker dengan sifat :
▪ Tidak dikenali lagi oleh sistem imun adaptif
(kehilangan varian antigen atau sel tumor
dengan defek prosesing atau presentasi
antigen
▪ Sel kanker menjadi tidak sensitive terhadap
mekanisme efektor imun
▪ Terjadi keadaan imunosupresif pada tumor
microenvirontment
o Fase escape
3
Pada fase ini pertumbuhan tumor tidak dapat
dihambat oleh sistem imun. Sel tumor akan
menyebabkan gejala klinis
Immune checkpoint
Checkpoint merupakan regulator negatif imunologis. Terapi
antibodi terhadap checkpoint menunjukan perbaikan yang
bermakna dan tampaknya merupakan komponen utama
terapi imun pada keganasan. 1
5
Gambar 3. CTLA-4 immunologic checkpoint.1
Keterangan :
Aktivasi sel T memerlukan presentasi antigen
berupa molekul major histocompatibility
complex (MHC) sebagai tambhan dari signal
kostimulasi yang dihasilkan ketika B7 pada
antigen presenting cell (sel dendritic)
berhubungan dengan CD28 pada sel T. Setelah
teraktivasi, untuk mempertahankan homeostasis
normal, CTLA-4 akan mengalami translokasi ke
membrane plasma dan selanjutnya akan
menyebabkan down regulation fungsi sel T
7
Keterangan :
PD-1 terekspresi pada sel T yang teraktivasi. Interaksi
PD-1 dan ligannya (PD-L1 dan PD-L2), merupakan
proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap
dalam respon imun. Sel dendritik meregulasi nagatif
aktivitas sel T melalui PD-1 dan interaksi antara B7 dan
PD-L1. Jalur PD-1 berperan penting dalam lingkungan
mikro tumor. PD-L1 yang terekspresi pada tumor
berinteraksi dengan PD-1 pada sel T untuk mensupresi
fungsi sel T efektor.
9
Gambar 5. Deplesi Treg intratumoral dengan anti CTLA-4.4
Keterangan :
Anti CTLA-4 berikatan dengan reseptor CTLA-4 pada Treg
dengan adanya makrofag non klasik yang mengekspresi
CD68, CD163 dan FC R. Penghambatan CTLA-4
menimbulkan deplesi Treg melalui andibody-dependent
cell-mediated cytotoxicity yang mengakibatkan
peningkatan rasio sel T efektor : Treg. Selanjutnya, sel
kanker akan dieliminasi melalui aktivasi sel T efektor.
• Anti-CTLA-4 antibody
• Ipilimumab
Ipilimumab merupakan immune checkpoint
inhibitor pertama yang disetujui
penggunaannya karena memperbaiki
kelangsingan hidup penderita melanoma
metastatik. Ipilimumab juga disetuji sebagai
terapi ajuvan melanoma risiko tinggi, sebagai
alternative terapi interferon.3
10
• Tremelimumab
Tremelimimab merupakan antibodi
monoklonal terhadap CTLA-4, tidak
menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup
dibandingkan kemoterapi pada penderita
melanoma stadium lanjut. Hal ini
kemungkinan disebabkan jadwal pemberian
yang kurang adekuat. Penelitian-penelitan
sedang dilakukan untuk menggabungkan
pemberian tremelimumab dengan obat lain.3
11
Keterangan :
Sel tumor dengan PD-L1 mempunyai afinitas tinggi
terhadap reseptor PD-1 pada Treg. Proses ini dapat
dihambat dengan antibody PD-L1 atau PD-1. PD-1/PD-L1
interaksi dapat mengaktivasi fungsi supresor sel T
sitotoksik, menurunkan ekspresi FOXP3 pada Treg, dan
meningkatkan rasio sel T efektor : Treg untuk
mengeliminasi sel kanker.
13
▪ Kohort C : pembrolizumab 2 mg/kg atau10
mg/kg + carboplatin AUC 6 + pemetrexed 500
mg/m2 setiap 3 minggu sebanyak 4 siklus
diikuti pemetrexed 500 mg/m2 +
pembrolizumab 2 mg/ kg atau 10 mg/kg setiap
3 minggu, respon keseluruhan : 71%
▪ Pada pemantauan 12 bulan, median
kelangsungan hidup bebas penyakit adalah
10.3 (3.7–not reached) bulan pada kohort A,
not reached (4.1– not reached) bulan kohort
B dan 10.2 (6.3–15.2) bulan pada kohort C.8
• KEYNOTE-024
Merupakan penelitian random, open-label, fase III
yang membandungkan pembrolizumab dengan
SOC platinum-based chemotherapy padapasien
NSCLC metastatic yang belum medapat terapi
dengan PD-L1 TPS ⩾ 50%. Subjek mendapat
pembrolizumab 200 mg (dosis tetap) setiap 3
minggu sampai progresivitas penyakit atau
sampai 2 tahun, atau kemoterapi standar
(carboplatin + paclitaxel, pemetrexed +
carboplatin/cisplatin, gemcitabine +
carboplatin/cisplatin sampai 4–6 siklus, diikuti
pemeliharaan pemetrexed, untuk nonsquamous
histologi.9
• KEYNOTE-042
Merupakan penelitian random, open-label, fase III
yang membandingkan pembrolizumab dengan
SOC platinum-based chemotherapu pada pasien
14
NSCLC localy advanced atau metastatic dengan
PD-L1 TPS >1%. yang belum mendapat terapi.5
• KEYNOTE-189
Merupakan penelitian acak tersamar ganda, fase
III untuk membandingkan pembrolizumab +
platinum-doublet chemotherapy versus
platinum-doublet chemotherapy saja sebagai
terapi lini pertama pasien NSCLC localy advanced
dan metastatic tanpa memandang ekspresi PD-
L1.5
• KEYNOTE-407
Merupakan penelitian acak tersamar ganda, fase
III untuk membandingkan pembrolizumab +
platinum-doublet chemotherapy versus
platinum-doublet chemotherapy saja sebagai
terapi lini pertama pasien NSCLC tipe skuamous
localy advanced dan metastatic tanpa
memandang ekspresi PD-L1.5
• KEYNOTE-598
Merupakan penelitian random, fase III yang
membandingkan pembrolizumab 200 mg dosis
tetap setiap 3 minggu versus pembrolizumab +
ipilimumab 1 mg/kg setiap 6 minggu pada pasien
NSCLC dengan TPS ⩾ 50%.5
• Nivolumab
15
Efek samping
Immune-related adverse events (irAEs) biasanya berlangsung
sementara tetapi kadang-kadang berat atau fatal. 10 Efek irAEs
yang penting dan sering adalah :
• dermatologi
• diare, colitis
• endorrinopati
• hepatotoksik
Ringkasan
Cepatnya penemuan dalam bidang imunologi dan biologi
kanker berkembang pesat berdasarkan fondasi penemuan
beberapa decade sebelumnya. Berkembangnya pengetahuan
bahwa sistem imun berperan dalam inisasi, progresi dan
metastase tumor berlanjut menjadi perkembangan terapi
imun pada keganasan, Checkpoint inhibitor sudah menjadi
terapi utama pada berbagai kanker dan memperbaiki
kelangsungan hidup pada beberapa pasien. Penelitian-
penelitian kombinasi imunoterapi masih terus dikembangkan.
16
Daftar Pustaka
1. Postow MA, Callahan MK, Wolchok JD. Immune Checkpoint
Blockade in Cancer Therapy. J Clin Oncol 2015; 33:1974-
1982.
2. Vesely MD, Kershaw MH, Schreiber RD, Smyth MJ. Natural
Innate and Adaptive Immunity to Cancer. Annual Review of
Immunology 2011; 29:235.
3. Shoushtari AN, Wolchok J, Hellman M. Principles of cancer
immunotherapy
Feb 08, 2018, available from : www.uptodate.com
4. Nair VS, Elkord E. Immune checkpoint inhibitors in cancer
therapy : a focus on T-regulatory cells. Immunology and Cell
Biology 2018;96:21-33
5. Rihawi K, Gelsomino F, Sperandi F, Melotti B, Fiorention M,
Casolari L, et al. Pembrolizumab in the treatment of
metastatic non-small cell lung cancer: a review of current
evidence. Ther Adv Respir Dis 2017, Vol. 11(9) 353 –373.
6. Hui R, Ghandi L, Carcereny Costa E, et al. Long-term OS for
patients with advanced NSCLC enrolled in the KEYNOTE-001
study of pembrolizumab (pembro). J Clin Oncol 2016;
34(Suppl. 15): 9026.
7. Herbst RS, Baas P, Kim D-W, et al. Pembrolizumab versus
docetaxel for previously treated, PD-L1-positive, advanced
non-small-cell lung cancer (KEYNOTE-010): a randomised
controlled trial. Lancet 2016; 387: 1540–1550.
8. Gadgeel SM, Stevenson J, Langer CJ, et al. Pembrolizumab
(pembro) plus chemotherapy as front-line therapy for
advanced NSCLC: KEYNOTE-021 cohorts A-C. J Clin Oncol
2016; 34(Suppl. 15): 9016.
9. Reck M, Rodriguez-Abreu D, Robinson AG, et al.
Pembrolizumab versus chemotherapy for PD-L1-positive
non-small-cell lung cancer. N Engl J Med. Epub ahead of
print 8 October 2016.
10. Postow MA, Callahan MK, Wolchok JD. Patient selection
criteria and toxicities associated with checkpoint inhibitor
immunotherapy, May 2018, available from :
www.uptodate.com
17
18
DISKUSI KASUS :
PASIEN IMUN THROMBOSITOPENIA PURPURA
SEKUNDER KARENA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
PENDAHULUAN
Imun trombositopenia purpura (ITP) adalah penyakit autoimun
yang ditandai dengan peningkatan penghancuran trombosit di
sirkulasi darah tepi.1,2 ITP di klasifikasikan berdasarkan usia
pasien (ITP dewasa atau ITP anak) dan berdasarkan
lamatrombositopenia, ITP akut (1-3 bulan) dan ITP kronis (lebih
dari 12 bulan). Diantara ITP akut dan ITP kronik disebut ITP
persisten (3-12 bulan).2 Angka kejadian ITP diperkirakan 5
persen setiap 100.000 anak dan antara 1,6 sampai 3,9 persen
setiap 100.000 dewasa. 2,3
19
yang mendasari ITP kronis pada dewasa adalah penyakit lupus
erythematosus sistemik.4 ITP pada anak selain bisa membaik
secara spontan juga memiliki respon yang sangat baik
terhadap pengobatan, sedangkan ITP pada dewasa memiliki
respon pengobatan yang kurang baik. Satu per tiga dari kasus
ITP pada dewasa bersifat persisten dan relative resisten
terhadap pengobatan.2
Presentasi Kasus :
Seorang wanita, 37 tahun masuk rumah sakit (MRS) pada bulan
September 2017 dengan ptechiae dan bruishing pada hampir
seluruh kulit. Penderita menyatakan sudah sering mengalami
bercak bercak perdarahan di bawah kulit sejak lebih kurang 2
tahun yang lalu, tetapi tidak pernah sebanyak sekarang. Dari
anamnesa didapatkan keluhan sering sariawan, sumer, rash
yang muncul bila terpapar sinar matahari, rambut rontok dan
penurunan berat badan sejak satu bulan sebelum MRS. Paien
ini juga memiliki riwayat mengalami perdarahan lambung,
nyeri ulu hati dan mual sejak satu hari sebelum MRS. Pasien ini
memiliki riwayat mengalami radang sendi dan sering minum
jamu dan obat-obat penghilang nyeri (NSAID) sejak 3 tahun
sebelum MRS.
20
Gambar 1. Echimosis dan bruising pada kulit pasien
21
Apus Darah Tepi Eritrosit : Normokrom normositer, normoblast (-)
Leukosit : shift to the left sampai metamyelosit
Trombosit : Kesan jumlah kurang, giant thrombosit
(+)
23
24
Cyramza, A New Standard of Care in Treatment of 2nd
line Gastric Cancer
Abstract
Stomach cancer, the third leading cause of worldwide cancer-
related mortality accounts for more than 750,000 deaths each
year. Approximately half of the global incidence of new cases
occurs in Eastern Asia, where the mortality rates are also the
highest. Chemotherapy remains the standard of care for
advanced gastric cancer and can prolong survival and improve
quality of life compared with best supportive care. Vascular
endothelial growth factor (VEGF) is continuously expressed
throughout tumour growth and development. Over-
expression of VEGF-A is associated with poor overall survival
and disease-free survival in patients with gastric cancer.
Ramucirumab, a human IgG-1 monoclonal antibody that
targets VEGF receptor 2, is the first molecularly targeted agent
proven to be effective in second-line therapy for advanced
gastric cancer when used alone or in combination with
chemotherapy. In this talk, we will cover the latest treatment
development in advanced gastric cancer.
25
26
Metastatic Breast Cancer + Case Sharing
Hilman Tadjudin
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
References:
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S et al. Cancer
incidence and mortality worldwide: sources, methods and
major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer
2015;136(5):E359-86
2. Cardoso F, Harbeck N, Fallowfield L et al. Locally recurrent
or metastatic breast cancer: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann
Oncol 2012;23(Suppl 7):vii1 1-9.
3. Hayat MJ, Howlader M, Reichman ME, et al. Cancer
statistics, trends and multiple primary cancer analysesfrom
the surveillance, epidemiology and end results (SEER)
program. Oncologist 2007;123(1):20-37.
4. Cortes J, Vidal M. Beyond taxanes: the next generation of
microtubule-targeting agents. Breast Cancer Res Treat
2012;133(3):821-30.
5. Swami U, Chaudhary I, Ghalib MH et al. Eribulin – a review
of preclinical and clinical studies. Crit Rev Oncol Hematol
2012;81(2):163-84.
28
The new indication of Eribulin in STS + case sharing
Een Hendarsih
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSU Haji Surabaya
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018
30
considering the anatomical site and the related expected
sequelae versus the pathological aggressiveness.
Reoperation in reference centres must be considered in the
case of R1 resections (microscopic tumour at the margin), if
adequate margins can be achieved without major morbidity,
taking into account tumour extent and tumour biology (e.g. re-
excision can be spared in extracompartmental atypical
lipomatous tumours). In the case of R2 surgery (macroscopic
tumour at the margin), reoperation in reference centres is
mandatory, possibly following preoperative treatments if
adequate margins cannot be achieved, or if surgery is
mutilating.
Management of advanced/metastatic disease is complex,
depending on diverse presentations and histologies, and
should always be multidisciplinary. Metachronous (disease-
free interval 1 year), resectable lung metastases without
extrapulmonary disease are managed with surgery as standard
treatment, if complete excision of all lesions is feasible.3 When
surgery of lung metastases is selected, an abdominal CT scan
and a bone scan or a fluorodeoxyglucose (FDG)-PET are
mandatory to confirm that lung metastases are ‘isolated’.
Extrapulmonary metastatic disease is treated with ChT as the
standard treatment. Standard ChT is based on anthracyclines
as the first-line treatment. There is no formal demonstration
that multi-agent ChT is superior to single-agent ChT with
doxorubicin alone in terms of OS. However, a higher response
rate can be expected, in particular, in a number of sensitive
histological types, according to several, although not all,
randomised clinical trials.4
31
Therefore, multi-agent ChT with adequate-dose
anthracyclines plus ifosfamide may be the treatment of choice,
particularly in subtypes sensitive to ifosfamide, when a tumour
response is felt to be potentially advantageous and patient
performance status is good. Dacarbazine has some activity as
a second-line therapy (mostly in LMS and solitary fibrous
tumour.5
Angiosarcoma is highly sensitive to taxanes, which can be a
treatment option in this histological subtype.6 Doxorubicin plus
dacarbazine is an option for multi-agent, first-line ChT of LMS
or of solitary fibrous tumours.7 Imatinib is standard medical
therapy for those rare patients with dermatofibrosarcoma
protuberans and GITs. After failure of anthracycline-based
ChT, or the impossibility to use it, the following criteria may
apply, although high-level evidence is lacking. Patients who
have already received ChT may be treated with ifosfamide, if
they did not progress on it previously. Highdose ifosfamide (14
g/m2) may be an option also for patients who have already
received standard-dose (9 g/m2) ifosfamide.8
One trial showed that gemcitabine/docetaxel is more
effective than gemcitabine alone as second-line ChT, with
special reference to LMS and undifferentiated pleomorphic
sarcoma, but these data have not been confirmed
(equivalence in response rate, PFS and OS) in a second
randomised trial conducted in LMS only; in both trials, toxicity
was superior with the combination of docetaxel and
gemcitabine.9 Dacarbazine has some activity as a second-line
therapy (mostly in LMS and solitary fibrous tumour). A
randomised phase III trial showed that eribulin was superior to
dacarbazine in patients with liposarcomas and LMS.10 In table
32
1, we summarized treatment options for advanced or
metastatic, high-grade soft tissue sarcoma.11
34
Referensi
1. Thomas C, Movva S. Eribulin in the management of
inoperable soft tissue sarcoma: patient selection and
survival. Onco Targets and Therapy 2016;9: 5619-27
2. Casali PG, Abecasis N, Bauer S, Biagini R, Bielack S, et al on
behalf of the ESMO Guidelines Committee and EURACAN.
Soft tissue and visceral sarcomas: ESMO-EURACAN Clinical
Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow up.
Ann Oncol 2018;Supplement 0: iv1-iv17
3. Rosenberg SA, Tepper J, Glatstein E et al. The treatment of
soft-tissue sarcomas of the extremities: prospective
randomized evaluations of (1) limb-sparing surgery plus
radiation therapy compared with amputation and (2) the
role of adjuvant chemotherapy. Ann Surg 1982; 196: 305–
315.
4. Blackmon SH, Shah N, Roth JA et al. Resection of pulmonary
and extrapulmonary sarcomatous metastases is associated
with long-term survival. Ann Thorac Surg 2009; 88: 877–884
5. Antman K, Crowley J, Balcerzak SP et al. An intergroup phase
III randomized study of doxorubicin and dacarbazine with or
without ifosfamide and mesna in advanced soft tissue and
bone sarcomas. J Clin Oncol 1993; 11: 1276–1285.
6. Penel N, Bui BN, Bay JO et al. Phase II trial of weekly
paclitaxel for unresectable angiosarcoma: the ANGIOTAX
Study. J Clin Oncol 2008; 26: 5269–5274.
7. Lorigan P, Verweij J, Papai Z et al. Phase III trial of two
investigational schedules of ifosfamide compared with
standard-dose doxorubicin in advanced or metastatic soft
tissue sarcoma: a European Organisation for Research and
Treatment of Cancer Soft Tissue and Bone Sarcoma Group
Study. J Clin Oncol 2007; 25: 3144–3150.
8. Le Cesne A, Antoine E, Spielmann M et al. High-dose
ifosfamide: circumvention of resistance to standard-dose
ifosfamide in advanced soft tissue sarcomas. J Clin Oncol
1995; 13: 1600–1608.
9. Maki RG, Wathen JK, Patel SR et al. Randomized phase II
study of gemcitabine and docetaxel compared with
gemcitabine alone in patients with metastatic soft tissue
35
sarcomas: results of sarcoma alliance for research through
collaboration study 002 [corrected]. J Clin Oncol 2007; 25:
2755–2763.
10. Jimeno A. Eribulin: rediscovering tubulin as an anticancer
target. Clin Cancer Res 2009; 15:3903–3905.
11. Gino K. In Hu JS and Tseng WW Treatments of advanced,
metastatic soft tissue sarcoma: latest evidence and clinical
considerations. Ther Adv Med Oncol 2017:9(8): 533-550
12. Yoshida T, Ozawa Y, Kimura T, et al. Eribulin mesilate
suppresses experimental metastasis of breast cancer cells
by reversing phenotype from epithelial–mesenchymal
transition (EMT) to mesenchymal–epithelial transition
(MET) states. Br J Cancer 2014; 110: 1497–1505.
13. Schoffski P, Ray-Coquard IL, Cioffi A, et al. Activity of eribulin
mesylate in patients with soft-tissue sarcoma: a phase II
study in four independent histological subtypes. Lancet
Oncol 2011; 12: 1045–1052.
14. Kawai A, Araki N, Naito Y, et al. Phase II study of eribulin in
patients with previously treated advanced or metastatic soft
tissue sarcoma. Jpn J Clin Oncol 2017; 47: 137–144.
15. Schöffski P, Maki RG, Italiano A, et al. Randomized, open-
label, multicenter, phase III study of eribulin versus
dacarbazine in patients (pts) with leiomyosarcoma (LMS)
and adipocytic sarcoma (ADI). www.thelancet.com
Published online February 10, 2016
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)01283-0.
Diunduh 10/9/2018 jam 22.55
36
TERAPI TARGET PADA KANKER PAYUDARA
ABSTRAK
Kanker payudara adalah jenis kanker yang paling umum
ditemukan pada wanita.1,2,3 Kanker payudara merupakan
penyakit heterogen dengan beberapa subkelompok yang
disertai tanda tanda molekuler yang bervariasi. Heterogenitas
inilah yang berkontribusi terhadap berbagai prognosis dan
respon pengobatan pada pasien kanker payudara. Subtipe
utama yang diketahui yaitu luminal A, luminal B, dan
epidermal growth factor (Her2) (ErbB2).2 Kanker payudara
triple negative adalah mereka yang tidak termasuk kelompok-
kelompok tersebut. Kanker luminal A dan B merupakan
subkelompok kanker payudara yang positif untuk reseptor
hormon (estrogen dan progesteron). Kanker payudara dengan
Her2 positif menunjukkan peningkatan ekspresi Her2 melalui
peningkatan ekspresi gen dan ekspresi berlebih dari reseptor
permukaan sel.1,2 Dengan terobosan terbaru dalam biologi
molekuler dan imunoterapi, terapi target yang sangat spesifik
telah disesuaikan dengan patofisiologi spesifik dari berbagai
jenis kanker payudara. Perkembangan terakhir ini telah
37
berkontribusi pada protokol pengobatan yang lebih efisien dan
spesifik pada pasien kanker payudara.1
PENDAHULUAN
Terapi target kanker yaitu obat atau substansi lain yang
menghambat pertumbuhan dan penyebaran sel kanker
dengan cara mengganggu molekul spesifik pada sel kanker
yang terlibat dalam pertumbuhan dan progresifitas sel-sel
kanker tersebut. Tujuan terapi target adalah untuk
membersihkan tubuh dari sel-sel kanker tanpa merusak
ataupun jika terjadi kerusakanpun sangat minimal dari sel-sel
yang normal.3
Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang
mekanisme biologis karsinogenesis dan perubahan kejadian
molekuler telah mengarah pada identifikasi target molekuler
baru dan pengembangan terapi yang ditargetkan. Dalam dua
dekade terakhir, beberapa antibodi monoklonal (Mab) dan
penghambat molekul kecil telah dikembangkan dan diuji
dalam uji klinis yang menargetkan karakteristik kanker seperti
pertumbuhan sel, kelangsungan hidup, angiogenesis, dan
metastasis. Beberapa agen yang ditargetkan secara signifikan
meningkatkan kelangsungan hidup dan hasil dari pasien kanker
payudara. Salah satu perkembangan dalam bidang terapi yang
ditargetkan adalah trastuzumab, suatu Mab terhadap tumor
reseptor faktor pertumbuhan epidermal 2 (HER2) yang
mengekspresikan tumor secara berlebihan dan terbukti efektif
dalam terapi kanker payudara HER2-positif. Dalam waktu yang
lebih baru, lapatinib penghambat reversibel selektif dari kedua
HER1 dan HER2 dan bevacizumab, suatu Mab terhadap faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) juga telah berhasil
38
meningkatkan angka kesembuhan, kualitas hidup, dan
pencegahan penyakit pada pasien kanker. Selain itu,
penargetan kedua HER2 dengan trastuzumab dan VEGF
dengan bevacizumab dalam kombinasi dengan kemoterapi
telah menjadi tonggak lebih lanjut dari terapi target molekuler
pada kanker payudara.4
Berdasarkan histologi dan imunokimia, sel-sel kanker
payudara dibagi menjadi berbagai subtipe, luminal A, luminal
B, Her2 dan triple negative. (gambar 1)2. Subtipe ini sangat erat
kaitannya dengan terapi dan pronostik dari kanker payudara
ini.
Anti Her-2
Terapi target kanker payudara paling efisien saat ini adalah
yang menargetkan overekspresi protein HER2 di permukaan
sel kanker payudara.
41
HER2 telah disetujui untuk digunakan dalam kasus metastase
dan/atau (neo) adjuvant (Gambar 3).5
1. Trastuzumab
Obat yang pertama kali dikenal dari golongan anti-
HER2, trastuzumab, adalah suatu antibodi monoklonal
humanized yang diarahkan pada domain ekstraseluler
reseptor transmembran HER2. Kemajuan terbaru
termasuk tersedianya obat suntik subkutan dan
biosimilar yang memperluas aksesibilitas dan
ketersediaan obat.1,2,3,5
Pada kanker payudara metastasis, transtuzumab
telah disetujui oleh FDA pada tahun 1989 untuk
dikombinasikan dengan golongan taxan, sebagai
backbone kemoterapi, terbukti dapat meningkatkan
PFS dan OS. Tetapi trastuzumab dapat juga
dikombinasikan dengan golongan vinka alkaloid,
platinum dan alkilator. Sebaiknya tidak
mengkombinasikan trastuzumab dengan
doxorubisin/cyclophosphamid karena didapatkan
kejadian kardiotoksisitas yang tinggi (27%). Saat ini,
transtuzumab, dapat digabungkan dengan kemoterapi
atau anti-estrogen pada terapi awal, dan secara umum
kemudian dapat digabungkan dengan regimen yang
mengandung T-DM1 atau lapatinib. Dari beberapa
42
penelitian terbukti, transtuzumab dapat diberikan
sebagai neoadjuvant atau adjuvant pada kanker
payudara HER2 positif dan diberikan selama 1
tahun.1,2,3,4,5,6
2. Lapatinib
Lapatinib adalah suatu small-molecule inhibitor ganda
HER1/HER2. Pada kanker payudara HER2 positif,
metastasis, lapatinib dapat ditambahkan pada
capesitabine (Regimen XL), terbukti menaikkan PFS
sebanyak 50%. Pada kondisi early juga Lapatinib dapat
ditambahkan terhadap taxane, dengan peningkatan
hasil, tetapi harus diperhatikan efek samping
gastrointestinal terutama diare, dan jika
dikombinasikan dengan paclitaxel memerlukan
pengurangan dosis. Lapatinib jika dikombinasikan
dengan trastuzumab dapat meningkatkan OS jika
dibandingkan transtuzumab sendiri. Tetapi saat ini
lapatinib belum diindikasikan sebagai neoadjuvant
atau adjuvant karena penelitiannya (ALTTO) tidak
memperlihatkan hasil yang bermakna.2,5
3. Pertuzumab
Pertuzumab adalah suatu antibodi monoclonal anti
HER-2, tetapi berbeda dengan trastuzumab, dia terikat
pada domain heterodimerisasi. Pada penelitian
CLEOPATRA, penambahan pertujumab terhadap
trastuzumab dan taxane pada terapi pertama,
meningkatkan baik PFS maupun OS, 16 bulan. Hal ini
menjadikannya sebagai terapi standar baru dalam
terapi pertama. Pertuzumab juga memberikan
keuntungan jika ditambahkan pada trastuzumab
43
dengan antiestrogen (regimen THP), dibuktikan
dengan penelitian PERTAIN, dimana pertuzumab
meningkatkan PFS selama 3 bulan jika dibandingkan
aromatase inhibitor dan trastuzumab saja.5 Untuk
setting neoadjuvant, penelitian NeoSPHERE
menunjukkan bahwa penambahan pertuzumab
terhadap kemoterapi dan trastuzumab secara
signifikan menunjukkan respon patologik komplit.
Dibuktikan juga dengan penelitian adjuvant APHINITY.
Oleh karena itu, pertuzumab dapat dipakai sebagai
neoadjuvant atau adjuvant pada kanker payudara high
risk (reseptor hormon negatif, dengan positif node),
diberikan bersama transtuzumab selama 1 tahun.
Manfaat pada pada stadium 1 dan 2 belum jelas.2,5
4. T-DM1
T-DM1 suatu konjugate antibodi dan obat,
menghubungkan emtansine, inhibitor tubulin pada
trastuzumab, secara fungsional menyimpan toksisitas
sitotoksik bebas, yang dikirimkan secara intraseluler
pada sel-sel yang mengekspresikan HER-2 secara
berlebihan. Efek samping yang dapat terjadi yaitu
diare dan trombositopenia, tetapi secara umum dapat
ditoleransi dengan baik. T-DMT1 lebih inferior
dibanding regimen standar untuk metastase pada
terapi pertama (regimen THP) tetapi lebih baik
digunakan untuk regimen line ke dua. Saat ini, T-DM1,
terapi lini ke-2 dan diberikan tunggal.5 T-DM1 tidak
ada tempatnya pada penggunaan neoadjuvant
ataupun adjuvant kanker payudara stadium awal.5,6
44
5. Neratinib
Ini adalah salah satu kelas inhibitor molekul kecil HER1
/ HER2 yang telah dikembangkan selama beberapa
tahun. Meskipun toksisitas adalah isue yang sangat
penting, yaitu diare mendominasi, penetrasi sistem
saraf pusat juga salah satu yang menarik untuk obat
kelas ini. Dalam uji coba lini pertama NEFERT-T,
neratinib ditambah paclitaxel menunjukkan manfaat
yang serupa dengan trastuzumab ditambah paclitaxel,
tetapi lebih inferior dibanding rejimen lini pertama
THP. Peran neratinib saat ini pada kasus metastasis
tidak jelas; diperlukan studi tambahan. Penggunaan
sebagai adjuvant sudah disetujui oleh FDA pada tahun
2017, terutama pada kasus high risk (Node positif),
dengan reseptor hormon positif.5
45
Penghambat CDK 4/6
Rb fosforilasi oleh CDK 4/6 mempromosikan fase
transisi G1-ke-S dan bahwa jalur ini dapat diregulasi dalam sel-
sel yang resisten endokrin. Jika CDK 4/6 dapat diblokir dan
kontrol atas siklus sel dapat diambil kembali, mungkin sel-sel
kanker akan tetap sensitif terhadap terapi endokrin. PALOMA-
1, uji coba acak pertama dari penghambat CDK 4/6 pada
kanker payudara, adalah studi fase II untuk mengevaluasi
letrozole plus palbociclib, sebuah penghambat CDK 4/6, versus
letrozole sendiri sebagai terapi lini pertama untuk pasien
kanker payudara. Didapatkan hasil PFS 20,2 bulan untuk
lengan palbociclib. Data fase III berikutnya (PALOMA-2)
mengkonfirmasi penggandaan PFS ini dengan penggunaan
palbociclib di garis depan, dan dua tambahan penghambat CDK
4/6, ribociclib dan abemaciclib. Ketiga agen ini telah
memperpanjang hidup yang tak terhitung jumlahnya ketika
digunakan dengan aromatase inhibitor sebagai bagian dari
terapi lini pertama untuk kasus metastasis, atau dengan
fulvestrant dalam terapi lini kedua. Beberapa uji klinis sedang
berlangsung (NCT02513394, NCT03155997) atau
direncanakan (NCT03285412) untuk melihat penggunaan
penghambat CDK 4/6 pada tahap II / III risiko tinggi (kanker
payudara ER-positif ) untuk melihat apakah inkorporasi obat-
obatan kelas ini ke dalam terapi adjuvant mengurangi risiko
perkembangan kasus metastasis.5,6
Penghambat mTOR
mTOR mengaktivasi ER dalam mode ligand-independen,
dan hiperaktif jalur ini telah diamati pada sel kanker payudara
yang resisten endokrin. Oleh karena itu, mTOR telah menjadi
target rasional untuk meningkatkan keefektivitas terapi
46
hormonal. Percobaan BOLERO 2 menunjukkan bahwa, pada
pasien dengan kanker payudara metastasis dengan ER positif
yang resisten terhadap letrozole atau anastrozole, diberi
exemestan sebagai terapi berikutnya, suatu penghambat
mTOR everolimus, bila diberikan dengan exemestan, dapat
memperpanjang PFS dari 4,1 bulan menjadi 10,6 bulan.
Everolimus digunakan secara teratur sekarang dalam
pengobatan pasien dengan kanker payudara metastasis.1,5
KESIMPULAN
Jumlah terapi yang ditargetkan untuk pengobatan
kanker payudara stadium lanjut berkembang pesat. Bagian
utama untuk penargetan adalah bagian ekstraseluler reseptor
faktor pertumbuhan epidermal manusia-1 (EGFR / Her1),
Faktor Pertumbuhan Endotel Vaskular (VEGF), reseptor faktor
pertumbuhan epidermal manusia-2, 3 dan 4 (Her2, Her3 dan
Her4 ). Penghambat tirosin kinase molekul kecil menargetkan
domain intraseluler Her1 dan Her2. Reseptor ini menimbulkan
fungsi seluler mereka dengan memberi sinyal melalui berbagai
kaskade sinyal intraseluler yang mencakup jalur RAF / MEK dan
PI3K / Akt / mTOR yang juga menjadi target terapi baru. Selain
reseptor permukaan sel dan kaskade sinyal intraseluler, terapi
baru telah menargetkan proses intra sel, termasuk siklus sel
dan mekanisme perbaikan DNA. Selain itu, terdapat juga terapi
target yang lebih awal ditemukan yaitu manipulasi hormonal
melalui regulasi sintesis estrogen dan reseptor estrogen.1,2,3,4,5
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Masoud V dan Pagès G. Targeted therapies in breast cancer:
New challenges to fight against resistance. World J Clin
Oncol. 2017;10;8(2):120-34.
2. Sharp A dan Harper-Wynne C. Treatment of Advanced
Breast Cancer (ABC): The Expanding Landscape of Targeted
Therapies. J Cancer Biol Res. 2014; 2(1):1036.
3. Gerber DE. Targeted therapies. A new generation of cancer
treatments. Am Fam Physician. 2008;77(3):311-319
4. Munagala R, Aqil F, Gupta RC. Promising molecular targeted
therapies in breast cancer. Indian J Pharmacol. 2011;43(3);
236-45.
5. Meisel JL, Venur VA, Gnant M, Carey L. Evolution of targeted
Therapy in Breast Cancer : Where precision Medicine Began.
ASCO. 2018.
6. Alvarez R, Valero V, Hartobagyi GN. Emerging Targeted
Therapies for Breast Cancer. J Clin Oncol 2010; 28:3366-
3379.
48
Tatalaksana Resistensi Terapi Target Pada Kanker Paru
Indra Wijaya
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
49
Walaupun demikian adanya resistensi dapat terjadi sehingga
menyebabkan kegagalan terapi atau kekambuhan tumor.
Resistensi ini umumnya terjadi pada 9 – 14 bulan
pengobatan. Terdapat beberapa mekanisme kejadian yang
dapat menyebabkan resistensi, walaupun masih banyak yang
belum diketahui pasti tetapi sekitar 50% pasien disebabkan
resistensi didapat (acquired resistance) mutasi T790M di
ekson 20 di gen EGFR. Pengetahuan tentang mekanisme
resistensi ini penting untuk menentukan armamentarium
terapi selanjutnya yang akan diberikan agar pasien
mendapatkan manfaat yang maksimal.
Pendahuluan
Hingga saat ini kanker paru masih merupakan kanker yang
menyebabkan kematian paling tinggi di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, lebih dari 200.000 kasus baru diketahui setiap
tahunnya dan menyebabkan kematian hingga 27% dari seluruh
kematian akibat kanker. Pengobatan dengan kemoterapi
konvensional dengan berbasis platinum hanya sedikit
memberikan efek terhadap pemanjangan overall survival (OS).
Penemuan mutasi-mutasi gen penggerak (“driver mutation”)
merupakan langkah besar dalam pengobatan kanker paru
khususnya pada jenis non-small cell lung cancer (NSCLC).
Dengan menjadikan gen-gen tersebut sebagai target terapi,
saat ini pengobatan kanker paru memasuki era terapi target
yang individual (personalized targeted treatment).
EGFR merupakan reseptor enzim tirosin kinase yang
berperan pada aktivasi jalur sinyal phosphoinositide 3-kinase
(PI3K)-AKT, signal transducer and activator of transcription
(STAT) dan mitogen-activated protein kinase (MAPK), yang
50
terbukti meningkatkan sel, migrasi dan kesintasan sel kanker.
Hampir 80% pasien adenokarsinoma EGFR mut+ terbukti
memberikan efek pengobatan yang lebih baik dengan PFS
mencapai 10 – 14 bulan. Panduan dari American Society of
Clinical Oncology (ASCO), European Society for Medical
Oncology (ESMO) dan National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) telah merekomendasikan EGFR TKI sebagai
lini pertama pengobatan dengan EGFR mut+.
Meskipun EGFR TKI memberikan respons pengobatan yang
lebih baik dan cukup lama tetapi pasien akhirnya tetap akan
mengalami progresifitas penyakit dalam waktu sekitar satu
tahun pengobatan, sehingga membatasi efikasi jangka panjang
dari EGFR TKI. Hal ini disebabkan resistensi yang didapat dan
berbagai mekanisme resistensi diperoleh untuk TKI EGFR telah
banyak dilaporkan dalam literatur. Mekanisme yang paling
sering adalah adanya mutasi di T790M (threonine-to-
methionine substitution mutation at position 790).
Prevalensinya mencapai hampir 50 – 55%, baik pada
penggunaan EGFR TKI generasi pertama maupun kedua. Selain
itu, masih banyak mekanisme lain yang berperan terhadap
kejadian resistensi tersebut (gambar.1), tetapi sekitar 30%
kasus, masih belum jelas mekanisme yang pasti.
51
Gambar 1. Mekanisme resistensi generasi pertama EGFR TKI
↑E, increased expression;
↑A, increased activation;
↑R, up-regulation;
↓R, down-regulation;
↓E, loss of expression.
Resistensi Primer
Mutasi Somatik EGFR
Sensitifitas tumor terhadap TKI tergantung dari jenis mutasi
EGFR. Mutasi yang paling sering adalah substitusi L858R di
ekson 21 (40% kasus) dan delesi ekson 19 (45% kasus)
umumnya sensitif terhadap TKI sedangkan tipe mutasi lain
memberikan sifat resistensi. Insersi atau duplikasi ekson 20 (4-
9% kasus) dan beberapa jenis mutasi lain juga telah dilaporkan
seperti G719X dan LB61X dengan kejadian yang lebih rendah.
(gambar.2)
52
Gambar 2. Mutasi somatic di EGFR
53
Polimorfisme EGFR yang berhubungan dengan
resistensi primer
T790M
Mutasi ini jarang ditemukan, hanya sekitar 0,5% dari
penderita kanker paru non-perokok. Selain itu, mutasi T790M
juga diduga berhubungan sindrom kanker paru pada keluarga
dan respons yang buruk terhadap pemberian gefitinib,
monoterapi maupun kombinasi dengan kemoterapi.
V843I
Beberapa laporan kasus membuktikan mutasi V8431
berhubungan dengan mutasi L858R dan L861Q dari gen EGFR
dengan presentasi kanker paru pada beberapa anggota
keluarganya dan mengalami resistensi terhadap gefitinib dan
erlotinib. Mekanisme mengapa mutasi V8431 menyebabkan
resistensi TKI tidak diketahui pasti tetapi diduga karena efek
onkogenik akibat fosforilasi EGFR yang meningkat dan
menyebabkan peningkatan sinyal protein dibawahnya.
54
terapi yang rendah. Penelitian random fase III dari EURTAC
memperlihatkan bahwa ekspresi BIM yang tinggi sebelum
pengobatan TKI merupakan penanda panjangnya PFS
(HR=0,49; P=0,0122) dan OS (HR=0,53; P=0,0323).
55
- Amplifikasi HER2
Amplifikasi HER2 dilaporkan sekitar 12% kasus mutasi
EGFR. Mirip seperti MET, diyakini bahwa HER2
mempunyai sinyal parallel EGFR yang dapat
mengaktifkan jalur dibawahnya.
- MAPK amplification
Penelitian mengidentifikasi amplifikasi MAPK1 pada
resistensi erlotinib resisten pada pasien NSCLC EGFR
mutan. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
sinyal ERK dan ternyata dapat diatasi dengan
memotong jalur amplifikasi MEK ataupun ERK. Jalur
RAS/MAPK ini berpotensi menyebabkan AR dan
terlepas dari adanya mutasi KRAS yang memang
terpisah dengan mutasi EGFR.
- Mutasi BRAF
Walaupun baru dilaporkan hanya sekitar 1%
resistensi EGFR TKI dapat disebabkan mutasi dari
56
BRAF dan dapat diatasi dengan pengobatan
penghambat MEK.
57
Tranformasi histologi
Beberapa penelitian melaporkan tranformasi histologi dari
pasien NSCLC EGFR mutasi yang resisten terhadap TKI
menjadi small cell lung cancer (SCLC), sebanyak 3% pasien.
Penyebabnya tidak diketahui pasti tetapi tumor menjadi
sensitif dengan pengobatan regimen SCLC dengan EGFR
mutasi tetap positif.
Aktivasi AXL
AXL adalah reseptor tirosin kinase yang menginduksi
proliferasi, migrasi dan invasi sel kanker. Beberapa laporan
menyebutkan aktivasi AXL berhubungan dengan resistensi
TKI pada EGFR mut+, kejadiannya sekitar 20%.
Aktivasi NFκB
NFκB merupakan regulator transkripsi gen yang
mengontrol proliferasi dan pertumbuhan sel, termasul sel
kanker. Penelitian menyebutkan aktivasi NFκB juga
berhubungan dengan resistensi TKI pada pengobatan
EGFRmut+ dan penghambatan NFκB terbukti memperbaiki
sensitifitas pengobatan.
58
Aktivasi jalur alternatif lain
Beberapa model lain dilaporkan berhubungan dengan
resistensi EGFR TKI, tetapi belum mempunyai bukti yang
cukup kuat dan efikasi terhadap klinis. Jalur – jalur tersebut
antara lain Wnt-tankyrase-β-catenin, NF-1, DAPK, FGF2 dan
FGFR1, ADAM17, JAK2, ROR1, VEGF, Notch-1, IGF dan lain-
lain.
60
pengembangannya dihentikan. Afatinib (BIBW2992) telah
digunakan sebagai lini pertama pada pasien EGFR mut+ (LUX-
Lung 2, 3, 6 dan 7) dan sebagai lini kedua dan ketiga pasien
dengan AR dengan penggunaan generasi pertama (LUX-lung 1,
4 dan 5). Sejauh ini afatinib memperlihatkan hasil yang baik
dalam hal disease control rate dan PFS dalam LUX-lung 1 dan
2. LUX-lung 5 memperlihatkan manfaat kombinasi dengan
paklitaksel dan afatinib setelah pasien AR terhadap gefitinib
dan/atau erlotinib setelah mendapat pengobatan afatinib
tunggal.
Dacomitinib, merupakan generasi kedua yang mampu
bekerja terhadap semua HER terbukti mampu mengatasi
mutasi T790M. Studi ARCHER 1009 dan NCIC CTG BR.26
merupakan penelitian fase 3 ternyata gagal mencapai tujuan
yang diharapkan, tidak terdapat perbedaan PFS antara
dacomitinib dan dibandingkan erlotinib pada lini kedua dan
ketiga pada pengobatan NSCLC, walaupun terdapat perubahan
respons yang signifikan.
Beberapa penelitian terakhir melihat manfaat terapi
kombinasi untuk mengatasi resistensi yang disebabkan mutasi
sekunder. Salah satunya percobaan pada cell line dan
percobaan tikus dengan menggunakan afatinib dan
cetuksimab (monoclonal antibodi anti EGFR) memberikan hasil
pengecilan tumor yang dramatis. Penelitian fase I/II dengan
regimen yang sama juga memberikan hasil pada 40% pasien.
TKI EGFR generasi ketiga mempunyai target tidak hanya
pada mutasi EGFR tetapi juga terhadap mutasi T790M (tabel
2). Olmutinib memberikan respons terapi 76.5% dalam waktu
kurang dari 4 minggu pengobatan terhadap pasien-pasien
NSCLC yang resisten terhadap TKI; 18 dari 27 pasien dengan
61
mutasi T790M. Osimertinib memberikan respons terapi
sampai 64% pada pasien dengan T790M. Beberapa obat lain
seperti rociletinib juga memberikan harapan yang menjanjikan
tetapi masih dalam penelitian lanjutan.
Immunoterapi
Penelitian-penelitian retrospektif menemukan bahwa
mutasi EGFR berhubungan dengan respons yang rendah
terhadap penghambat PD-1/PD-L1 dan sesuai dengan
rendahnya ekspresi PD-L1 dan CD8+ TIL. Hingga saat ini belum
cukup bukti yang menjadikan imunoterapi (pembrolizumab,
nivolumab atau atezolizumab) sebagai pengobatan pasien-
63
pasien EGFR mutasi. Beberapa penelitian fase 1 masih sedang
berjalan hingga saat ini.
Kesimpulan
Menargetkan mutasi EGFR pada pasien kanker paru NSCLC
memberikan harapan pengobatan yang sangat menjanjikan,
namun terjadinya resistensi didapat tetap menjadi pekerjaan
berat berikutnya yang sulit diatasi. Sebagian mekanisme AR
telah dapat diidentifikasi, seperti mutasi sekunder di EGFR,
aktivasi protein alternatif yang hilir dari pensinyalan atau
aktivasi EGFR protein yang memberi sinyak ke jalur sinyal
EGFR. Mekanisme lebih lanjut dari AR masih dalam obeservasi
dalam banyak penelitian.
Regimen pengobatan baru TKI EGFR dalam kombinasi
dengan terapi yang menargetkan EGFR dengan cara yang
berbeda atau target itu protein alternatif sedang berusaha
untuk mengatasi yang diketahui mekanisme resistensi.
Generasi ketiga TKI EGFR yang mengatasi sebagian besar
mekanisme resistensi yaitu mutasi T790M; sampai saat ini
masih memberikan hasil yang menjanjikan.
64
Daftar Pustaka
1. Wu SG, Shih JY. Management of acquired resistance to EGFR
TKI–targeted therapy in advanced non-small cell lung cancer.
Molecular Cancer. 2018: 17;38: 1-14.
2. Brugger W, Thomas M. EGFR–TKI resistant non-small cell lung
cancer (NSCLC): New developments and implications for future
treatment. Lung Cancer. 2012:2– 8.
3. Westover D, Zugazagoitia J, Cho BC, Lovly CM, Paz-Ares L.
Mechanisms of acquired resistance to first- and second-
generation EGFR tyrosine kinase inhibitors. Annals of Oncology
29 (Supplement 1):2018: i10–i19.
4. Socinski M, Villaruz Lc, Ross J. Understanding mechanisms of
resistance in the epithelial growth factor receptor in non-small
cell lung cancer and the role of biopsy at progression. The
Oncologist 2017;22:3–11.
5. Stewart EL, Tan SZ, Liu G, Tsao MS. Known and putative
mechanisms of resistance to EGFR targeted therapies in NSCLC
patients with EGFR mutations—a review. Transl Lung Cancer
Res. 2015;4(1):67-81.
6. Castellanos E, Feld E, Horn L. Driven by Mutations: The
Predictive Value of Mutation Subtype in EGFR-Mutated Non–
Small Cell Lung Cancer. 2014. J Thorac Oncol. 12 (4): 612 – 23.
7. Rotow J, Bivona TG. Understanding and targeting resistance
mechanisms in NSCLC. Nat Rev 2017;17: 637 – 58.
8. Okamoto I, Morita S, Tashiro N, Imamura F, Inoue A, Seto T, et
al. Real world treatment and outcomes in EGFR mutation-
positive non-small lung cancer: Long-term follow-up of a large
patient cohort. Lung Cancer 117 (2018) 14–19.
9. Lin JJ, Shaw AT. Resisting Resistance: Targeted Therapies in Lung
Cancer. Trends Cancer. 2016; 2(7): 350–64.
10. Remon J, Besse B. Unravelling signal escape through maintained
EGFR activation in advanced non-small cell lung cancer (NSCLC):
new treatment options. ESMO Open 2016;1:e000081-11.
11. Zhou C, Yao LD. Strategies to Improve Outcomes of Patients with
EGFR-Mutant Non–Small Cell Lung Cancer: Review of the
Literature. J Thorac Oncol. 11 (2): 174 – 86
65
12. Chan BA, Hughes BGM. Targeted therapy for non-small cell lung
cancer: current standards and the promise of the future. Transl
Lung Cancer Res 2015;4(1):36-54.
66
Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Paraneoplastik
Sutiadi Kusuma
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Sejak 100 tahun yang lalu telah diketahui terdapat gejala –
gejala klinis pada pasien dengan keganasan yang ternyata tidak
berhubungan baik dengan sel tumor itu sendiri, maupun
proses metastasisnya. Kumpulan gejala – gejala klinis tersebut
kemudian dikenal dengan nama Sindrom Paraneoplastik.
Terminologi Sindrom Paraneoplastik itu sendiri mulai
digunakan pada era tahun 1940. Hingga saat ini terminologi
tersebut dinilai belum terlalu menjelaskan hubungan antara
gejala klinis yang timbul dengan penyakit keganasan yang
mendasarinya.1,2
Prevalensi Sindrom Paraneoplastik adalah 8%. Sedangkan
pada pasien – pasien dengan kegansan yang sedang menjalani
perawatan di rumah sakit, mencapai 10%. Kasus – kasus
keganasan yang sering dijumpai dengan kejadian Sindrom
Paraneoplastik adalah2 :
1. Kanker Paru Sel Kecil (SCLC)
2. Karsinoma traktus urinarius
3. Keganasan ginekologi
67
4. Limphoma
5. Melanoma maligna
6. Kanker payudara
7. Timoma
8. Tumor mesenkial
Seiring perkembangan tekhnologi dalam tatalaksana pasien
– pasien dengan keganasan, terjadi peningkatan usia harapan
hidup. Namun diperkirakan juga terjadi peningkatan angka
prevalensi Sindrom Paraneoplastik.1,2
Kejadian Sindrom Paraneoplastik dapat meningkatkan
angka mortalitas pada pasien – pasien dengan keganasan.
Gejala – geajala klinis seringkali timbul sebelum kondisi
keganasan itu sendiri terdiagnosis. Oleh karena itu
pemahaman yang baik, peningkatan efektifitas dalam
mendiagnosa, serta tatalaksana yang baik dan optimal akan
memberikan harapan peningkatan kualitas hidup para
pasien.1,2
Definisi
Sampai saat ini belum terdapat definisi yang tepat untuk
menjelaskan Sindrom paraneoplastik. Deskripsi yang banyak
digunakan adalah kemampuan sel – sel tumor untuk
mensekresi hormone funsional peptidase dan hormon –
hormon lainnya, dan terjadinya immune cross-activity. Pada
kondisi sel tumor mensekresi hormon – hormon, gejala klinis
berhubungan dengan sistem endokrin. Sedangkan pada
keadaan immune cross-activity akan berhubungan dengan
timbulnya gejala klinis pada sistem persarafan.1
68
Manifestasi Klinis
Dapat terjadi berbagai macam manifestasi gejala klinis pada
seseorang dengan Sindrom Paraneoplastik, tergantung kepada
organ atau sistem yang terlibat. Dengan memahami dengan
baik keluhan dan gejala klnis yang melibatkan organ dan sistem
tersebut, maka tatalaksana akan menjadi lebih baik.1,2
Pathogenesis
Secara umum terdapat empat mekanisme yang
menjadi penyebab Sindrom Paraneoplastik, yaitu1,2,3,4 :
1. Terjadinya sekresi hormon – hormon yang berlebihan
2. Terjadinya sekresi sitokin yang berlebihan
3. Terjadinya proses konversi pada hormon – hormon
steroid
4. Autoimun
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia adalah bentuk Sindrom Paraneoplastik yang
tersering dijumpai. Diperkirakan hingga mencapai 5% pasien –
pasien dengan keganasan akan mengalami hiperkalsemia.
Literatur lain menyebutkan 30% pasien keganasan dengan
kejadian hiperkalsemia. Berdasarkan data pada pasien – pasien
yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, terdapat
25% kasus hiperkalsemia dengan penyakit dasar adalah
70
keganasan. Angka mortalitas mencapai 50% dengan median
survival tidak melebihi 30 hari.1,2,5
71
Sistem Organ Gambaran Klinis
Neurologi : Fatique
Gangguan kesadaran
Leukoencephalopathy
Koma
Gastrointestinal : Mual
Muntah
Konstipasi
Ulkus peptikum
Pankreatitis
Kardiovaskular : Pemendekan interval QT
Perubahan segmen ST menyerupai
klinis infark miokard
Aritmia ventricular
Hipertensi
Renal : Diabetes Insipidus Nephrogenik
Acute Kidney Injury
72
pertimbangan hasil – hasil pemeriksaan dapat membutuhkan
waktu beberapa hari. Pada pasein dengan gejala klinis yang
jelas, dan konsentrasi kalsium > 14mg/dL, pemberian terapi
secara optimal harus segera dilakukan. Sedangkan pada pasien
dengan konsentrasi kalsium antara 12 – 14 mg/dL maka
keputusan memulai terapi berdasarkan penilaian klinis pada
masing – masing pasien.8,9
Carcinoid Syndrome
Carcinoid syndrome (CS) adalah Sindrome
75
Paraneoplastik yang berhubungan dengan terjadinya sekresi
berlebihan beberapa hormon. Antara lain polypeptide, amine
vasoaktif, dan prostaglandin. Gejala utama CS adalah
kemerahan di wajah yang disertai hipotensi, takikardi, diare,
bronkokonstriksi, dipsnea, dan carcinoid heart disease. CS
banyak dijumpai pada kasus neuroendocrine tumors (NET).
Dengan adanya metastasis ke hepar dan gambaran bronchial
carcinoid.14,15
76
Gambar 3. Patofisiologi Carcinoid Syndrome14
77
EPO Producing Tumors
Erythropoietin adalah suatu glikoprotein yang terutama
dihasilkan oleh ginjal, dan berperan dalam proses
eritropoiesis. Peningkatan produksi eritropoietin akan
menyebabkan terjadinya eritrositosis. Pada pasien – pasien
dengan karsinoma sel ginjal, hepatocellular karsinoma, dan
hemangioblastoma cerebral dijumpai adanya eritrositosis.
Selain itu EPO dapat memicu terjadinya kista renal, adenoma
metanephrik, hemangioma renal, dan hidronephrosis yang
disebabkan oleh polisitemia.17,18
Kesimpulan
Sindrom paraneoplastik sering ditemukan pada kasus – kasus
kanker paru, thymoma, limphoma, dan kanker payudara.
Kejadian Sindrom Paraneoplastik akan meningkatkan angka
morbiditas hingga mortalitas. Manifestasi klinis yang timbul
akan berhubungan dengan sistem organ yang terlibat. Dengan
tatalaksana yang komprehensif maka pengelolaan Sindroma
paraneoplastik akan memberikan hasil yang baik.
78
Daftar Pustaka :
1. Loraine CP, David EG. Paraneoplastic Syndrome : An Approach
to Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc.2010;85:838-54
2. Monika W, Agata RW, Aleksandra L, Andrzej P, Grzegorz D.
Paraneoplastic syndrome in daily clinic practice. Journal of
Pre-Clinical and Clinical Research.2014;8;71-75
3. Spinazze S, Schrijvers D. Metabolic emergencies. Crit Rev
Oncol Hematol.2006;58:78-89
4. Sugiyono S, Abdulmuthalib. Sindrome Paraneoplastik. In : Aru
WS, Bambang S, Idrus A, Marcelus SK, Siti S. eds. Buku Ajar
Penyakit Dalam 4th ed. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2006:898-899
5. Hala A, Asma A. Endocrine Paraneoplastic Syndrome : A
Review.Endocrinol Metab Int J.2015;1:1-12
6. Ismaila MJ, George DL, Carole BM. Hypercalcemia of
malignancy in Hospitalized patients. Hospital
Physician.2006;November:29-35
7. Whitney G. Cancer-related Hypercalcemia. Journal of
Oncology Practice.2016:12
8. Aibek EM. Hypercalcemia of Malignancy : An Update on
Pathogenenis and Management. North Am J Med
Sci.2015;7:483-93
9. Hillel S, Ilya GG. Hypercalcemia of malignancy and new
treatment options. Therapeutics and Clinical Risk
Management. 2015;11:1779-1788
10. Raftopoulus H. Diagnosis and management of hyponatremia
in cancer patients. Support Care Cancer.2007;15:1341-1347
11. Jameson JL, Jhonson BE. Paraneoplastic syndrome :
endocrinology/hematologic. In : Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, Hauser EL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York,
NY:McGraw Hill Medical;2008:617-622
12. Christie PT. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
Secretion. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/246650
13. Paul Grant.The diagnosis and management of inpatient
hypontremia and SIADH.Eur J Clin Invest 2015;45:888-94
79
14. Anezka C, Rubin de Celis F, Joao G, Rachel PR. Carcinoid
syndrome : update on pathophysiology and treatment. Clinics.
2018;73
15. Mota JM, Sousa LG, Riechelmann RP. Complications from
carcinoid syndrome review of the current disease.available at
http//dx.doi.org/10322/ecancer2016
16. Modin IM, Kidd M, Latich I, Zikusoka MN, Shapiro MD. Current
status of gastrointestinal carcinoid.
Gastroenterology.2005;128:1717-51
17. Kosuke U, Shigetaka S, Katsuaki C, Makoto N, Fukuko M,
Tokumasa H et al. Successful treatment of erythropoietin-
producing advanced renal cell carcinoma after targeted
therapy using sunitinib : case report and review of literature.
Molecular and Clinical Oncology.2013;1:112-116
18. Westenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates
proliferation of human renal cel carcinoma cells. Kidney
Int.2000;58:647-657
19. Matthew EH, Murat O, Arcasoy, Kimberly LB, John PK, Mark D.
Erythropoietin Biology in Cancer. Clin Cancer Res. 2006;12:
80
DIAGNOSIS ANEMIA DAN TRANSFUSI RED BLOOD CELL
(RBC)
M. Fuad
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
Bandung 27-28 Oktober 2018
Abstrak
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah
merah berkurang sehingga kapasitas pembawa oksigen tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Menurut World
Health Organization (WHO) anemia diperkirakan terjadi pada
1,6 miliar orang di dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada
anak usia prasekolah (47,4%), diikuti oleh wanita hamil
(41,8%), wanita yang tidak hamil (30,2%), anak usia sekolah
(25,4%), dan laki-laki (12,7%).
Anemia merupakan manifestasi klinis dari berbagai
penyakit, dimana untuk mendiagnosisnya diperlukan
pendekatan diagnostik yang terstruktur. Pendekatan yang
direkomendasikan adalah menggabungkan gejala klinis,
pertimbangan patofisiologi, karakteristik sel darah merah, dan
aktivitas sumsum tulang.
Hitung darah rutin lengkap (full blood count (FBC)),
diferensial dan hitung retikulosit dengan pemeriksaan darah
mikroskopis harus dilakukan sejak awal. Hitung retikulosit
menggambarkan status sumsum tulang seperti penurunan
aktivitas dan respon terhadap anemia.
81
Sel-sel darah merah diproduksi di sumsum tulang dari
myeloid sel progenitor, dimana produksi sumsum tulang
membutuhkan lingkungan mikro dan substrat yang memadai
(termasuk zat besi, vitamin B12 dan folat) untuk sintesis
hemoglobin (Hb), protein dan DNA. Erythropoiesis
dikendalikan oleh erythropoietin (EPO) yang disintesis oleh
peritubular fibroblas di korteks ginjal sebagai respons terhadap
berkurangnya tekanan oksigen.
Transfusi merupakan salah satu cara untuk tatalaksana
anemia, tranfusi yang optimal harus menyediakan sel darah
merah yang cukup untuk memaksimalkan hasil klinis dan
menghindari transfusi yang tidak perlu. Harus
dipertimbangkan banyak faktor dalam memutuskan apakah
akan diberikan transfusi pada pasien dengan anemia, tidak
hanya berdasarkan keputusan semata-mata pada ada atau
tidak adanya gejala atau pada tingkat hemoglobin tertentu.
Keputusan akhir untuk transfusi harus menggabungkan status
klinis, co-morbiditas, dan persetujuan individu pasien.
Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di
seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang.(1) Menurut
World Health Organization (WHO) anemia adalah suatu
kondisi dimana jumlah sel darah merah berkurang sehingga
kapasitas pembawa oksigen tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis. Anemia diperkirakan terjadi pada 1,6
miliar orang di dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak
usia prasekolah (47,4%), diikuti oleh wanita hamil (41,8%),
82
wanita yang tidak hamil (30,2%), anak usia sekolah (25,4%),
dan laki-laki (12,7%).(2)
Anemia merupakan manifestasi klinis dari berbagai
penyakit, dimana untuk mendiagnosisnya diperlukan
pendekatan diagnostik yang terstruktur. Pendekatan yang
direkomendasikan adalah menggabungkan gejala klinis,
pertimbangan patofisiologi, karakteristik sel darah merah, dan
aktivitas sumsum tulang.(3)
Sel-sel darah merah diproduksi di sumsum tulang dari
myeloid sel progenitor, dimana produksi sumsum tulang
membutuhkan lingkungan mikro dan substrat yang memadai
(termasuk zat besi, vitamin B12 dan folat) untuk sintesis
hemoglobin (Hb), protein dan DNA. Erythropoiesis
dikendalikan oleh erythropoietin (EPO) yang disintesis oleh
peritubular fibroblas di korteks ginjal sebagai respons terhadap
berkurangnya tekanan oksigen. (3)
Ketika mendiagnosis pasien dengan anemia, ada dua
pertanyaan mendasar yang harus dipertimbangkan: (i) Apakah
penyebab anemia?; dan (ii) Apa urgensi untuk memperbaiki
anemia, yaitu transfusi darah atau intervensi mendesak
lainnya yang diperlukan?
Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul
oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah
adalah berapakah nilai Hb yang dianggap abnormal. Nilai
normal Hb sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada
83
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. WHO menetapkan cut off point
Anemia untuk keperluan penelitian adalah sebagai berikut:
Laki-laki < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl dan
wanita hamil < 11g/dl.(1,2,3,4)
Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (3)
1. Berdasarkan karakteristik sel darah merah (ukuran sel
darah merah, kromia dan morfologi):
• mikrositik hipokromik
• normokromik makrositik
• normokromik normositik
• morfologi:
- leuco-erythroblastic
- mikro-/makroangiopati.
2. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya:
• penurunan produksi / output sumsum tulang :
- sumsum tulang aplasia / infiltrasi
- haematopoiesis tidak efektif, misalnya anemia
megaloblastik, myelodysplastic syndromes (MDSs),
HIV
- Kekurangan substrat
- Insufisiensi eritropoietin
• Kerusakan/kehancuran perifer:
- perdarahan
- sekuestrasi
- hemolisis.
84
Pendekatan diagnostik untuk pasien yang dicurigai anemia
Anemia dapat bermanifestasi dalam berbagai kelainan,
maka diperlukan pendekatan diagnostik yang ringkas (Gambar
1). Pendekatan ini dibuat berdasarkan klasifikasi di atas, gejala
klinis dan temuan hitung darah tepi. (5)
Pasien umumnya datang dengan gejala anemia, yaitu cepat
lelah, dyspnoea, dan penurunan upaya toleransi fisiologis.
Tingkat keparahan gejala tergantung pada derajat anemia dan
tingkat penurunan hemoglobin (Hb). Oleh karena itu, pada
tingkat Hb tertentu, anemia akibat kehilangan darah akut
cenderung bermanifestasi lebih parah daripada anemia onset
perlahan (minggu ke bulan). Gejala selama masa kanak-kanak
harus dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan
kelainan kongenital yang diwariskan dalam bentuk anemia,
misalnya thalassemia. (3)
Anamnesa
Riwayat yang terperinci sangat diperlukan dalam anamnesa
dan sering sekali membantu dalam menyingkirkan banyak
kemungkinan penyebab anemia selama pemeriksaan,
diantaranya: (3)
• Anamnesa terhadap keluhan dan lamanya keluhan
• Riwayat transfusi sebelumnya
• Riwayat makanan, termasuk pica (keinginan untuk makanan
yang tidak biasa, umumnya berhubungan dengan defisiensi
besi)
• Riwayat perjalanan (ke daerah endemis malaria atau daerah
infeksi lainnya)
• Perubahan kebiasaan buang air besar
• Perdarahan (misalnya gastrointestinal dan genito-urinarius)
85
• Riwayat penggunaan obat (misalnya antikoagulan,
antiplatelet, obat renotoxic,
antikonvulsan)
• Penyakit kronis (mis. HIV, tuberculosis (TB))
• Operasi (misalnya gastrektomi, operasi usus kecil)
• Sedang menjalani kehamilan saat ini atau baru melahirkan.
• Riwayat keluarga (terutama pada anak-anak).
Pemeriksaan klinis
Beberapa tanda dan gejala dapat dijumpai. Pemeriksaan
yang sistematis diperlukan untuk mencari kemungkinan
penyebab, di antaranya: (3)
• pemeriksaan selaput kulit dan mukosa:
- Pucat adalah tanda klinis kardinal anemia, yang harus
dikonfirmasi dengan mengukur tingkat hemoglobin
86
- Stomatitis angular
- Glositis pada defisiensi nutrisi
- Koilonychia (kuku berbentuk sendok) pada kekurangan zat
besi
- Beruban dini, yang sering menyertai anemia megaloblastik
- Scleral icterik, yang menunjukkan kemungkinan hemolisis
atau eritropoiesis yang tidak efektif.
• Neuromuskular:
- Kelemahan otot
- Sakit kepala, kurang konsentrasi, mengantuk, tinnitus
- Parestesia, neuropati perifer, ataksia dan hilangnya rasa
getaran, dan proprioception pada anemia pernisiosa.
• Kardiovaskular:
- Sirkulasi hiperdinamik dengan haemik flow murmur
- Gagal jantung.
• Tanda-tanda infeksi, keganasan (misalnya limfoma,
leukemia, metastasis carcinoma):
- Hepatosplenomegali
- Limfadenopati
- Manifestasi perdarahan (petechiae, purpura, ecchymosis),
kegagalan sumsum tulang.
Pemeriksaan laboratorium
Hitung darah rutin lengkap (full blood count (FBC)),
diferensial dan hitung retikulosit dengan pemeriksaan darah
mikroskopis harus dilakukan sejak awal. Hitung retikulosit
menggambarkan status sumsum tulang seperti penurunan
aktivitas dan respon terhadap anemia. (6)
Indeks produksi retikulosit/ reticulocyte production index
(RPI) menggambarkan representasi aktivitas sumsum tulang
yang lebih akurat daripada hitung retikulosit yang terisolasi,
87
untuk mengoreksi tingkat anemia dan adanya retikulosit yang
belum matang dalam darah perifer. RPI dihitung sebagai
berikut:
• RPI = % retikulosit × hematokrit pasien / 45% ÷ waktu
pematangan retikulosit (hari) dalam darah perifer.
Waktu pematangan retikulosit dihitung sebagai berikut:
• hematokrit > 40% = 1 hari, 30 - 40% = 1,5 hari, 20 - 30% = 2
hari, <20% = 2,5 hari
Penurunan RPI menandakan respon sumsum tulang yang
suboptimal untuk koreksi dari anemia. Petunjuk untuk
penyelidikan lebih lanjut berasal dari indeks sel darah merah
(Gambar 1) dan mikroskopi smear perifer darah (Tabel 1).
Pemeriksaan sumsum tulang jika dicurigai patologi, mis.
infiltrasi sumsum tulang, kegagalan sumsum tulang, dan
myelodysplasia. Aspirasi sumsum tulang memberikan
gambaran penilaian morfologis sel secara detail, tetapi
arsitektur terganggu, sedangkan jika dilakukan biopsi trephine
arsitektur dapat dipertahankan, yang memungkinkan untuk
mendeteksi jaringan sel yang patologi, seperti granulomata
dan fibrosis. (3)
88
Penyebab penting anemia karena tidak adekuat produk
sumsum tulang
Penyebab kegagalan produksi sel darah merah termasuk
kekurangan erytropoietin (biasanya sekunder akibat penyakit
ginjal kronis), defisiensi substrat, tidak efektif erythropoiesis,
sumsum tulang aplasia / hypoplasia dan kerusakan sumsum
tulang (keganasan / fibrosis), yang semuanya ditandai dengan
RPI rendah.
89
Sjögren); obat-obatan (berbagai macam, termasuk sulfonamid,
antikonvulsan, antimalaria; bahan kimia (misalnya benzena);
dan faktor lingkungan (misalnya pestisida pertanian dan
radiasi). Idiopatik adalah kelompok terbesar. paroxysmal
nocturnal Haemoglobinuria (PNH), yang disebabkan oleh
perluasan klone dengan mutasi gen glycosyl phosphatidyl-
inositol, bermanifestasi dengan triad klinis hemolisis,
trombosis dan kegagalan sumsum tulang. Klone PNH bisa
terdeteksi pada aliran cytometry.
Beberapa kelainan bawaan ditandai dengan
hipoplasia/aplasia sumsum tulang (mempengaruhi satu atau
lebih garis sel hematopoietik), dan biasanya disertai oleh satu
atau lebih kelainan somatik, yaitu bagian dari sindrom klinis.
Sindrom kegagalan sumsum tulang yang diwariskan mungkin
muncul saat lahir atau berkembang di masa kanak-kanak.
Sindrom yang mempengaruhi ketiga garis sel termasuk anemia
Fanconi, sindrom Schwachman Diamond dan dyskeratosis
congenita. Aplasia sel darah merah murni ditandai oleh
terisolasi, sering parah anemia dengan retikulositopenia yang
ditandai. Itu mungkin bawaan (Sindrom Diamond Blackfan)
atau diperoleh (termasuk infeksi virus, gangguan
limfoproliferatif, gangguan autoimun atau obat-obatan). (3)
90
Immunohistokimia noda juga tersedia untuk mengidentifikasi
subtipe dan tipe sel pada sumsum tulang bagian biopsi
trephine. (3)
Kekurangan substrat
Kekurangan zat besi adalah penyebab paling umum
anemia, diperkirakan terjadi pada 15% dari populasi dunia.
Penyebab defisiensi besi dapat secara luas diklasifikasikan
sebagai asupan besi yang tidak adekuat (mis. kekurangan
nutrisi, malabsorpsi besi) atau kehilangan besi yang berlebihan
(sebagian besar karena pendarahan). Paling sering terjadi pada
91
anak kecil dan wanita usia subur karena kebutuhan besi
meningkat terkait dengan pertumbuhan cepat dan kehilangan
darah saat menstruasi / kehamilan. (7)
Kekurangan zat besi menyebabkan anemia mikrositik
dan/atau hipokromik. Studi serum besi menunjukkan feritin
serum rendah dan meningkat kadar transferin (TF), dan
saturasi persentase TF rendah. Diagnosis banding untuk
anemia mikrositik termasuk anemia penyakit kronis, trait
thalassemia dan anemia sideroblastik. Frekuensi dari diagnosa
banding ini tergantung pada populasi demografi, trait
thalassemia sering terjadi pada pasien keturunan India atau
Mediterania, anemia penyakit kronis sering terjadi pada pasien
dengan infeksi kronis (mis. HIV atau TB), keganasan atau
gangguan autoimun. anemia penyakit kronis disebabkan oleh
kombinasi defisiensi besi fungsional (karena blokade besi
retikuloendotelial), dan defisiensi atau resistensi Erytropoietin.
(8)
92
Anemia megaloblastik adalah anemia nutrisi utama lainnya
yang disebabkan oleh vitamin B12 atau kekurangan folat.
Karena keduanya dibutuhkan untuk biosintesis purin,
kekurangan gizi menghambat sintesis DNA normal, yang
menghasilkan haematopoiesis yang tidak efektif.
Kekurangan vitamin B12 adalah penyebab anemia
megaloblastik yang paling sering terlihat dalam praktik sehari
hari, penyebab paling umum adalah anemia pernisiosa, yang
disebabkan oleh gangguan absorpsi vitamin B12 berhubungan
dengan kerusakan sel parietal lambung dan akibat defisiensi
faktor intrinsik. Sebaliknya, defisiensi diet dan fase postpartum
paling sering menyebabkan penurunan folat.
Anemia megaloblastik didiagnosis dengan menunjukkan
kadar vitamin B12 atau folat serum yang rendah, bersama
dengan karakteristik morfologi apus darah tepi (termasuk
makro ovalositosis, tear drops, jumlah fragmen sel darah
merah yang bervariasi dan basophilic stippling dan
hipersegmentasi (pergeseran ke kanan) neutrofil). Yang
penting, anemia megaloblastik tidak universal macrocytic, dan
tidak dapat dikesampingkan semata-mata karena sel normal
atau bahkan volume sel rata-rata rendah.(3)
93
merah 100-200 mL. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1-
6o celsius. Bila menggunakan antikoagulan citrate phosphatase
dextrose adenin (CPDA) maka masa simpan sel darah merah ini
adalah 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila
menggunakan citrate phosphatase dextrose (CPD) masa
simpan dari sel darah merah ini hanya 21 hari. Komponen sel
darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer,
dextrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60%
dan masa simpan sampai 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan
sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki
kemampuan oksigenasi seperti darah lengkap. (9)
Selama beberapa dekade, keputusan untuk transfusi sel
darah merah/ red blood cells (RBC) didasarkan pada "aturan
10/30", transfusi digunakan untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin darah di atas 10 g / dL (100 g / L) dan
hematokrit di atas 30 persen(10). Namun, kekhawatiran
mengenai transmisi patogen yang ditularkan melalui darah dan
upaya pengendalian biaya menyebabkan penataan ulang
mengenai praktik transfusi pada tahun 1980-an. Pada tahun
1988 “The National Institutes of Health” melakukan konferensi
untuk membuat konsensus tentang Transfusi RBC
Perioperative yang menyarankan bahwa tidak ada kriteria
tunggal yang harus digunakan sebagai indikasi untuk terapi
komponen sel darah merah, dan bahwa beberapa faktor yang
terkait dengan status klinis pasien dan kebutuhan pengiriman
oksigen harus dipertimbangkan(11).
Selama 30 tahun berikutnya, sejumlah besar bukti klinis
dihasilkan, banyak publikasi tentang pedoman untuk
pengaturan transfusi RBC yang berbeda beda. Secara umum
dari pedoman ini adalah kebutuhan untuk menyeimbangkan
94
manfaat mengobati anemia dengan keinginan untuk
menghindari transfusi yang tidak perlu, dengan biaya efektif
dan potensi bahaya minimal. Ini membutuhkan keterampilan
dan ketajaman diagnostik yang cukup seorang dokter yang
akan memberikan transfusi pada pasiennya. (12)
95
oleh peningkatan konsentrasi laktat arteri dan perubahan
kemiringan rasio ekstraksi oksigen.
Saat istirahat, ada cadangan besar distribusi oksigen. Dengan
demikian, jika volume intravaskular dipertahankan selama
perdarahan dan status kardiovaskular tidak terganggu,
pengiriman oksigen secara teoritis akan memadai sampai
hematokrit turun di bawah 10 persen karena curah jantung
yang lebih besar, pergeseran kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin ke kanan, dan peningkatan ekstraksi oksigen
dapat mengkompensasi penurunan kandungan oksigen arteri
(tabel 1). (10,13)
Beberapa individu tidak konsisten menggambarkan
perubahan elektrokardiogram (ECG) dengan iskemia miokard,
ada sedikit bukti pengiriman oksigen yang tidak memadai, dan
penurunan hemoglobin dikaitkan dengan peningkatan
progresif stroke volume dan denyut jantung (cardiac output),
dan pengurangan progresif resistensi pembuluh darah
sistemik. Denyut jantung meningkat secara linier sebagai
respons terhadap anemia isovolemik akut. (14)
Fungsi kognitif akan segera bereaksi dan memori terganggu
ketika konsentrasi hemoglobin berkurang menjadi 5 hingga 6
g/dL(15). Kapasitas pembawa oksigen darah tidak secara
langsung mencerminkan pengiriman oksigen ke jaringan(16) .
Pertimbangan sebelumnya merupakan respon klinis yang
optimal pada orang dewasa yang sehat. Namun, transfusi
darah biasanya diberikan kepada pasien yang sakit dengan
komorbiditas yang mendasarinya, dan ada kekhawatiran
bahwa mekanisme kompensasi dapat terganggu pada pasien
yang sakit kritis, terutama pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Saat ini uji multisenter acak terkontrol
96
menunjukkan bahwa hemoglobin 10 g / dL dibandingkan
dengan target nilai hemoglobin 7 hingga 8 g / dL memberikan
hasil yang setara atau lebih baik pada sebagian besar populasi
pasien. (17)
97
transfusi ganda. (Reaksi imunologi, Reaksi hemolitik dan
Transfusi terkait cedera paru akut/ transfusion releted acut
lung injury (TRALI))
● Volume yang berlebihan biasanya terjadi pada orang tua,
anak kecil, dan penderita dengan gangguan fungsi jantung.
● Hiperkalemia selama penyimpanan darah di bank darah
kalium akan dilepaskan dari sel darah merah, hiperkalemia
dapat terjadi pada transfusi masif, penderita dengan
gangguan fungsi ginjal, dan bayi baru lahir.
● Kelebihan zat besi akan terjadi setelah sejumlah besar
transfusi untuk anemia kronis [28].
98
Untuk sebagian besar pasien dengan hemodinamik yang
stabil, disarankan mempertimbangkan transfusi saat
hemoglobin 7 sampai 8 g/dL, dengan ambang batas
berdasarkan nilai aman dalam uji klinis dengan populasi yang
pasien yang sesuai. Penilaian tingkat hemoglobin pasca
transfusi dapat dilakukan sedini mungkin setelah15 menit
selesai transfusi, selama pasien tidak aktif perdarahan. (23)
Untuk menghindari transfusi yang tidak perlu dalam
praktik transfusi maka diberikan transfusi satu unit RBC pada
satu waktu, tidak meminta beberapa unit, untuk pasien yang
hemodinamik stabil yang tidak terjadi perdarahan aktif. (22)
99
beberapa situasi. Ketika transfusi digunakan pada pasien yang
bergejala, penting untuk menentukan apakah gejala telah
membaik setelah transfusi, karena ini dapat memandu
pengambilan keputusan lebih lanjut. (22)
100
Penyakit kardiovaskular
Keputusan apakah transfusi pasien dengan penyakit
kardiovaskular harus mempertimbangkan sifat gangguan
kardiovaskular. Sebagai contoh, ada kemungkinan bahwa
pasien dengan ACS memerlukan ambang berbeda untuk
transfusi dibandingkan pasien dengan penyakit arteri koroner
stabil atau pasien dengan gagal jantung kongestif. Penyakit
arteri koroner yang sudah ada sebelumnya ambang batas
transfusi 8 g/dL dianggap cukup aman untuk pasien tanpa
gejala dengan penyakit arteri koroner stabil(27,28).
Gagal jantung
Anemia dan gagal jantung / heart failure (HF) sering muncul
bersamaan dengan berbagai penyebab (misalnya, perubahan
sitokin, anemia dilusi, terapi medis untuk HF). Banyak ahli
menganggap anemia sebagai penanda prognosis buruk pada
individu dengan gagal jantung.
Pendekatan terhadap transfusi (termasuk ambang batas
yang lebih restriktif untuk individu tanpa gejala dan transfusi
untuk individu dengan gejala jika hemoglobin <10 g / dL) dan
strategi manajemen lainnya pada pasien dengan gagal jantung
tetap diperlukan (misalnya perhatian pada peningkatan beban
volume dari transfusi) (29)
101
Unit perawatan intensif / syok septik
Transfusi restriktif tampaknya lebih aman pada pasien di
unit perawatan intensif (ICU), dengan pengecualian pasien
dengan penyakit jantung iskemik / sindrom koroner akut.
Penggunaan ambang 7 g/dL pada pasien hemodinamik stabil di
ICU dianggap cukup dengan menggunakan strategi transfusi
restriktif (sel darah merah ditransfusikan untuk konsentrasi
hemoglobin <7 g/dL dan hemoglobin dipertahankan pada 7
sampai 9 g/dL). (30,31)
Perdarahan akut
Perdarahan akut adalah pengaturan klinis yang sangat
menantang di mana untuk mengevaluasi ambang transfusi sel
darah merah. Untuk pasien dengan perdarahan masif atau
yang hemodinamik tidak stabil, transfusi harus dipandu
dengan parameter hemodinamik (misalnya, denyut nadi dan
tekanan darah), laju perdarahan, dan kemampuan untuk
menghentikan pendarahan, bukan hanya kadar hemoglobin.
Oleh karena itu, penggunaan transfusi pada pasien
pendarahan akut tidak dapat didasarkan pada ambang batas
hemoglobin saja. Untuk pasien yang mengalami perdarahan
tetapi hemodinamik stabil, beberapa panduan pada pasien
dengan perdarahan gastrointestinal atas, yang mendapatkan
transfusi secara restriktif 8 g/dL dianggap aman ketika ada
akses untuk tindakan endoskopi yang cepat. (32,33)
Bedah non-jantung
Hasil dari uji coba secara acak pada pasien yang menjalani
operasi panggul menunjukkan bahwa cukup menggunakan
102
strategi restriksi batas bawah 8 g/dL tanpa adanya gejala
anemia, bahkan pada pasien lansia dengan komorbid faktor
risiko kardiovaskular(22,34)
Bedah jantung
Data meta analisis pada tahun 2018 menunjukkan bahwa
strategi transfusi restriktif dengan ambang hemoglobin 7,5
hingga 8 g/dL memberikan hasil baik pada pasien yang
menjalani operasi jantung dengan bypass kardiopulmonal(27).
103
chelating dianjurkan setelah transfusi sekitar 10 hingga 20 unit
sel darah merah pada pasien yang memerlukan transfusi sel
darah merah(35).
Pasien onkologi
Ada dua kelompok besar pasien onkologi yang dapat
diindikasikan untuk transfusi:
● Pasien yang menjalani kemoterapi mielosupresif
● Pasien kanker terminal dengan perawatan paliatif
Pendekatan transfusi darah berbeda untuk kelompok-
kelompok ini tergantung pada tujuan terapi. Dalam
pengobatan belum ada uji coba acak yang membandingkan
ambang transfusi pada pasien yang menjalani terapi kanker
(misalnya, dengan anemia yang diinduksi oleh kemoterapi).
Pasien yang menjalani terapi kanker dengan tujuan kuratif
harus ditransfusi sama dengan pasien lainnya, dengan
transfusi untuk gejala dan pertimbangan ambang batas
hemoglobin antara 7 sampai 8 g/dL tanpa adanya gejala. (22)
Perawatan paliatif
Studi observasional menunjukkan bahwa transfusi
menggambarkan perbaikan gejala untuk pasien dengan kanker
stadium lanjut. Studi-studi ini menunjukkan bahwa individu
dengan anemia memiliki respon bervariasi terhadap gejala
yang muncul. Penggunaan transfusi pada pasien onkologi
harus dibuat berdasarkan kasus per kasus. (35,36,37).
104
RINGKASAN DAN REKOMENDASI
● Anemia dikaitkan dengan hasil klinis yang buruk.
Namun, uji klinis acak diperlukan untuk menentukan
apakah transfusi bermanfaat atau berbahaya pada
pasien anemia.
● Ada bukti uji klinis yang sangat baik yang menunjukkan
bahwa kebijakan restriktif transfusi pada konsentrasi
hemoglobin 7 hingga 8 g / dL memiliki panduan untuk
keputusan transfusi pada sebagian besar pasien.
Konsentrasi hemoglobin ini aman pada sebagian besar
populasi pasien sehingga dapat meningkatkan hasil
klinis dan akan mengurangi transfusi yang tidak perlu.
● Semua pasien harus dinilai secara klinis ketika hendak
diberikan transfusi. Pasien stabil transfusi mungkin tidak
diperlukan bahkan ketika kadar hemoglobin 7 hingga 8 g
/ dL.
● Untuk sebagian besar pasien hemodinamik stabil yang
dirawat di rumah sakit, termasuk di unit perawatan
intensif atau dalam keadaan syok septik,
direkomendasikan transfusi untuk mempertahankan
hemoglobin pada kadar > 7 g / dL (Grade 1B).
● Untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
mendasari, menjalani operasi ortopedi, atau operasi
jantung, serta pasien rawat jalan, direkomendasikan
transfusi darah untuk mempertahankan hemoglobin
pada ≥7 hingga 8 g / dL sampai 10 g/dL (Grade 1B);
Namun, mungkin ada kasus di mana pasien tidak
menunjukkan gejala pada hemoglobin <8 g / dL, dan
menurut penilaian dokter tidak diperlukan transfusi.
105
● Pasien simtomatik dengan hemoglobin <10 g/dL harus
ditransfusikan untuk memperbaiki ketidakstabilan
hemodinamik dan gejala iskemia miokard.
● Untuk pasien dengan sindrom koroner akut, dapat
digunakan pendekatan individual. Rekomendasi
transfusi dilakukan ketika hemoglobin < 8 g/dL; dengan
mempertimbangkan transfusi ketika hemoglobin antara
8 dan 10 g / dL; dan dipertahankan hemoglobin ≥10 g /
dL pada pasien dengan gejala atau iskemia yang sedang
berlangsung.
● Pasien yang membutuhkan transfusi masif (misalnya,
trauma atau perdarahan yang sedang berlangsung)
sering tidak dapat dikelola menggunakan ambang
hemoglobin.
● Transfusi mungkin tepat dalam perawatan paliatif.
Beberapa program rumah sakit menyediakan transfusi
darah untuk kenyamanan dan meredakan gejala.
106
KEPUSTAKAAN
1. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna publising 2014; 6: 2575-82.
2. World Health Organization. The Global Prevalence of Anaemia
in 2011. Geneva: WHO, 2015.
3. Alli N, Vaughan J, Patel M. Anaemia: Approach to diagnosis.
SAMJ 2017;107:1:23-27
4. De Benoist B, McLean E, Ines E, et al. Worldwide prevalence of
anaemia 1993 - 2005. Geneva: WHO, 2008
5. Means RT Jr, Glader B. Anaemia: General considerations. In:
Greer JP, Arbor DE, Glader B, et al., eds. Wintrobe’s Clinical
Hematology. 13th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2013.
6. Lawrie D, Coetzee LM, Becker P, Mahlangu J, Stevens W,
Glencross DK. Local reference ranges for full blood count and
CD4 lymphocyte count testing. S Afr Med J 2009;99(4):243-248.
7. Lopez A, Cacoub P, Macdougall IC, Peyrin-Biroulet L. Iron
deficiency anaemia. Lancet 2016;387(10021):907-916.
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)60865-0
8. Punnonen K, Irjala K, Rajamaki A. Serum transferrin receptor
and its ratio to serum ferritin in the diagnosis of iron deficiency.
Blood 1997;89(3):1052-1057.
9. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna publising 2014; 6: 2839-43.
10. Wang JK, Klein HG. Red blood cell transfusion in the treatment
and management of anaemia: the search for the elusive
transfusion trigger. Vox Sang 2010; 98:2.
11. Consensus conference. Perioperative red blood cell transfusion.
JAMA 1988; 260:2700.
12. Blood transfusion. National Institute for Health and Care
Excellence; National Clinical Guideline Centre, London, 2015.
13. Weiskopf RB, Viele MK, Feiner J, et al. Human cardiovascular
and metabolic response to acute, severe isovolemic anemia.
JAMA 1998; 279:217.
14. Weiskopf RB, Feiner J, Hopf H, et al. Heart rate increases linearly
in response to acute isovolemic anemia. Transfusion 2003;
43:235.
107
15. Weiskopf RB, Kramer JH, Viele M, et al. Acute severe isovolemic
anemia impairs cognitive function and memory in humans.
Anesthesiology 2000; 92:1646.
16. Nielsen ND, Martin-Loeches I, Wentowski C. The Effects of red
Blood Cell Transfusion on Tissue Oxygenation and the
Microcirculation in the Intensive Care Unit: A Systematic
Review. Transfus Med Rev 2017; 31:205.
17. Carson JL, Duff A, Poses RM, et al. Effect of anaemia and
cardiovascular disease on surgical mortality and morbidity.
Lancet 1996; 348:1055.
18. Carson JL, Noveck H, Berlin JA, Gould SA. Mortality and
morbidity in patients with very low postoperative Hb levels who
decline blood transfusion. Transfusion 2002; 42:812.
19. Hanna EB, Alexander KP, Chen AY, et al. Characteristics and in-
hospital outcomes of patients with non-ST-segment elevation
myocardial infarction undergoing an invasive strategy according
to hemoglobin levels. Am J Cardiol 2013; 111:1099.
20. Carson JL, Stanworth SJ, Roubinian N, et al. Transfusion
thresholds and other strategies for guiding allogeneic red blood
cell transfusion. Cochrane Database Syst Rev 2016;
10:CD002042.
21. Carson JL, Guyatt G, Heddle NM, et al. Clinical Practice
Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion
Thresholds and Storage. JAMA 2016; 316:2025.
22. Carson JL and Kleinman S. Indications and hemoglobin
thresholds for red blood cell transfusion in the adult 2018.
https://www.uptodate.com/contents/indications-and-
hemoglobin-thresholds-for-red-blood-cell-transfusion-in-the-
adult.
23. Elizalde JI, Clemente J, Marín JL, et al. Early changes in
hemoglobin and hematocrit levels after packed red cell
transfusion in patients with acute anemia. Transfusion 1997;
37:573.
24. Carson JL, Brooks MM, Abbott JD, et al. Liberal versus restrictive
transfusion thresholds for patients with symptomatic coronary
artery disease. Am Heart J 2013; 165:964.
108
25. Rao SV, Jollis JG, Harrington RA, et al. Relationship of blood
transfusion and clinical outcomes in patients with acute
coronary syndromes. JAMA 2004; 292:1555.
26. Sherwood MW, Wang Y, Curtis JP, et al. Patterns and outcomes
of red blood cell transfusion in patients undergoing
percutaneous coronary intervention. JAMA 2014; 311:836.
27. Carson JL, Stanworth SJ, Alexander JH, et al. Clinical trials
evaluating red blood cell transfusion thresholds: An updated
systematic review and with additional focus on patients with
cardiovascular disease. Am Heart J 2018; 200:96.
28. Docherty AB, O'Donnell R, Brunskill S, et al. Effect of restrictive
versus liberal transfusion strategies on outcomes in patients
with cardiovascular disease in a non-cardiac surgery setting:
systematic review and meta-analysis. BMJ 2016; 352:i1351.
29. Swedberg K, Young JB, Anand IS, et al. Treatment of anemia
with darbepoetin alfa in systolic heart failure. N Engl J Med
2013; 368:1210.
30. Hébert PC, Wells G, Blajchman MA, et al. A multicenter,
randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements
in critical care. Transfusion Requirements in Critical Care
Investigators, Canadian Critical Care Trials Group. N Engl J Med
1999; 340:409.
31. Hébert PC, Carson JL. Transfusion threshold of 7 g per deciliter-
-the new normal. N Engl J Med 2014; 371:1459.
32. Villanueva C, Colomo A, Bosch A, et al. Transfusion strategies
for acute upper gastrointestinal bleeding. N Engl J Med 2013;
368:11.
33. Jairath V, Kahan BC, Gray A, et al. Restrictive versus liberal blood
transfusion for acute upper gastrointestinal bleeding
(TRIGGER): a pragmatic, open-label, cluster randomised
feasibility trial. Lancet 2015; 386:137.
109
110
Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi: parenteral versus
oral supplement?
Pendahuluan
Diperkirakan Anemia defisiensi besi (ADB) adalah
menurunnya jumlah produksi sel darah merah karena
berkurangnya cadangan besi dalam tubuh.1 Anemia terjadi
pada seperempat dari populasi dunia yaitu 8,8% dari
keseluruhan penyakit dimana ADB menjadi penyebab
terbanyak.2 Di Amerika diperkirakan kejadian ADB dialami oleh
1-2% seluruh populasi dewasa.4
Mengapa ADB ini penting untuk kita bahas, karena
ADB memiliki prevalensi yang tinggi, makin meningkat pada
orang tua, wanita, dan anak-anak. ADB menurunkan
kemampuan kerja karena sering disertai dengan adanya
kelelaha, gangguan kognitif, infertilitas yang akan menurunkan
kualitas hidup dan meningkatkan biaya kesehatan.2 ADB
banyak didapatkan pada beberapa penyakit kronis seperti
Ceiac disease, penyakit Inflammatory Bowel Disease(IBD),
penyakit gagal ginjal kronis dan penyakit gagal jantung
111
kongestif memiliki resiko tinggi menderita anemia defisiensi
besi yang akan mempengaruhi outcome dari penyakit kronik
tersebut.2 ADB berhubungan dengan trombositosis reaktif
yang meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli.2
Patogenesis ADB
Zat besi merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk membentuk haemoglobin.
Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu2,3:
1. Zat besi dalam hemoglobin.
2. Cadangan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin
3. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
4. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti
mioglobin dan beberapa enzim antara lain sitokrom,
katalase, dan peroksidase.
Zat besi terikat dalam haemoglobin memiliki fungsi khusus,
yaitu mengangkut oksigen untuk metabolisme jaringan.
Sebagian lain zat besi terikat dalam sistem retikuloendotelial
(RES) dihati dan sumsum tulang sebagai depot besi (cadangan).
Sebagian kecil zat besi dijumpai sebagai transporting iron
binding protein (transferin) dan sedikit sekali didapati dalam
enzim katalisator pada proses metabolisme tubuh. Pada
keadaan ADB maka fungsi-fungsi tersebut akan terganggu.2
112
Gambar 1. Metabolisme zat besi3
Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan anemia dan
defisiensi zat besi.1 Manifestasi klinis ADB adalah adanya gejala
dan simtoms anemia yang ditandai dengan keluhan cepat
Lelah, pucat, takikardi/palpitasi dan takipneu serta manifestasi
defisiensi zat besi (Gambar 2) yaitu atrofi papil lidah,
koilonychia dan Cheilosis.6 Pada anak-anak bisa disertai
gangguan pertumbuhan dan gangguan kognitif.6
115
Tabel 2. Parameter laboratorium untuk membedakan ADB &
anemia kronis5
Anemia Kronis
ADB
Infeksi Kronis Kanker Inflamasi
Iron serum Rendah Rendah Rendah Rendah
Transferin Rendah/Normal Rendah/Normal Rendah/Normal Meningkat
Saturasi
Rendah Rendah Rendah Rendah
Transferin
Feritin(ng/ml
>30 >30 >30 <30
)
Sitokin Meningkat Meningkat Meningkat Normal
80
40
20
0
0 20 40 60 80 100
100-Specificity
PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit yang mendasari
Terapi penyakit yang sering mendasari ADB seperti kelainan
ginekologi yang menyebabkan terjadinya menometrorargia,
atau perdarahan gastrointestinal harus mendapatkan terapi
definif terlebih dahulu sebelum kita lakukan terapi pemberian
preparat besi.1
118
koreksi defisit zat besi yaitu pemberian suplementasi besi per
oral dan intravena.3
Tabel 3. Penghitungan Defisiensi dan dosis Zat besi (iron)
intravena.3
Formula menghitung defisiensi zat besi (iron)
Total defisiensi zat besi (mg) = Berat badan (kg) x (Hb Ideal – Hb saat ini
g/dL+ depot zat besi (500mg)
Formula menghitung Dosis iron intravena
Iron(mg) = 0,3 x berat badan(lbs) x (100-Hb sekarang (g/dl) x 100/Hb yang
diinginkan
119
Bila dibutuhkan respon terapi yang lebih cepat, atau pasien
mengalami intoleransi preparat besi oral, atau pada pasien
dengan IBD (Inflamatory Bowel Disease), pasien dengan
uptake pencernaan terganngu (paska reseksi gaster dan
duodenum), atau pada pasien dimana kehilangan zat besi
dalam jumlah besar masih berlangsung (menomethrorrargia)
maka pemberian preparat besi intravena (tabel 5) lebih
direkomendasikan.4
Tabel 5. Sediaan preparat besi intravena.4
Preparat besi intravena Dosis
Pro Kontra
• Mudah didapatkan di apotik & toko • Absorbsi zat besi lambat
obat • Efek samping pencernaan
• Nyaman menyebabkan kepatuhan pasien
• Murah menurun.
• Efektif bila tidak ada gangguan • Pada beberapa penyakit tertentu
pencernaan uptake zat besi terganggu (pada
autoimun gastritis)
• Resiko injuri mukosa saluran cerna
yang beresiko meningkatkan
terjadinya eksaserbasi pada pasien
IBD
• Menyebabka perubahan microbiota
usus dan resiko potensi tumorogenic
Preparat besi intravena
120
Pro Kontra
• Waktu pengembalian defisit zat • Pemberiannya harus dilakukan oleh
besi lebih cepat. tenaga medis di RS sehingga biaya nya
• Aman asalkan bukan High lebih mahal.
molecular iron dextran. • Resiko menyebabkan kelebihan zat
• Efektif pada pasien dengan besi dan merupakan oksidatif stress
gangguan absorbs usus sementara.
• Resiko terjadi reaksi anafilaksis
terutama pada sediaan yang
mengandung dekstran.
121
Algoritma terapi ADB pada gambar 7 dapat menjadi
pertimbangan penentuan pemilihan terapi ADB dengan
preparat oral atau Iron intravena serta kebutuhan terhadap
Deficiency Anemia (IDA) | March 2018
Hb >90 g/L Hb 60-90 g/L Hb <60 g/L† Hb <70 g/L Hb 70-100 g/L
or Hb <80 g/L + pre-existing cardiac
Address cause disease/evidence of impaired tissue oxygenation
of IDA
PO iron PO or IV iron*** 1 unit RBC
(IV iron # ideally in Reassess for additional
out-pt IV clinic vs ED) 1 unit RBC Consider 1
†Consider referral to pediatric hematology if the pediatric
patient is not tolerating oral iron and/or not improving. IV unit RBC
iron should only be administered by specialist.
***Oral iron is a suitable option to IV iron if: Not
tried/failed in the past, no contraindications and/or May need to consider 1 IV iron ideally in IV iron ideally in
adherence concerns. unit RBC out-pt IV clinic out-pt IV clinic
Check iron stores 2-4 weeks post therapy for repletion, if not replete, re-investigate cause.
Check iron stores after 2-4 m onths to ens ureID does n’t recur,ifrecurs re-investigate and/or refer for further assessment.
Continue with iron therapy for additional 4-6 months if Hb normal.
Maintenance with a low dose of iron therapy may be required for patients with ongoing needs e.g., menses, dietary, growth spurts.
122
melakukan evaluasi lagi 12 bulan setelah haemoglobin
normal.1 Berikut ini kami tampilkan alternatif algoritma untuk
evaluasi paska terapi preparat besi yang bisa digunakan
sebagai acuan monitoring pengobatan.13
PROGNOSIS
ADB memiliki prognosis baik jika penyebab anemia nya murni
karena kekurangan zat besi dan penyakit yang mendasari
diketahui dan di terapi. Gejala dan manifestasi ADB akan
membaik dengan pemberian terapi preparat besi.13
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang paling sering
terjadi. Setiap ADB ditegakkan maka perlu dilanjutkan dengan
identifikasi penyakit yang mendasari. Penatalaksanaan anemi
meliputi terapi replacement zat besi yang bertujuan untuk
123
mencapai hemoglobin yang normal dan memperbaiki
penyimpanan cadangan besi. Untuk mencapai tujuan tersebut
terapi utama nya adalah dengan melakukan koreksi terhadap
penyakit yang mendasari dan pemberian preparat besi.
Modalitas terapi preparat besi yang ada bisa diberikan secara
per oral dan parenteral, dimana pemilihan nya sangat
dipengaruhi oleh kondisi pasien dan adanya komorbiditas yang
menyertai. Prognosis ADB baik jika penyakit yang mendasari
bisa teratasi.
Referensi
1. Short MW and Domagalski JE, Iron Deficiency Anemia:
Evaluation and management Am Fam Physician. 2013;87(2):98-
104.
2. Jimenez K, Kulnigg-Dabsch S, Gasche C, Management of iron
deficiency anemia, Gastroenterology & Hepatology vol.11(4),
April 2015.
3. Wright JA, Richards T, Srai SKS, The role of iron in the skin and
cutaneous wound healing, frontiers in pharmacology, July
2014.vol5(156).
4. Sullivan S, Austhof SI, Managing iron deficiency anemia in
patients on home parenteral nutrition, Ospen vol25(3) 2016.
5. Polin V dkk, Iron deficiency: From diagnosis to treatment.
Digestive and Liver Disease 45(2013):803-809.
6. Carter P, Anemia, Clinical Medicine, April 2011.
7. Metha S et all, Reticulocyte hemoglobine via a vis serum ferritin
as a marker of bone marrow iron stores in iron deficiency
anemia, J Assoc. Physicians India, 2016 Nov;64(11):38-42
8. Wardhani SO dan Oehadian A, Reticulocyte hemoglobine
equivalent (Ret-He) sebagai parameter cadangan besi sumsum
tulang, Kumpulan Naskah Abstrak KOPAPDI XVII Surakarta
2018.
9. Edmonton, AB, Toward optimized practice iron deficiency
anemia, http://www topal bertadoctors.org, March 2018.
10. Abhilashini GD, Sagili H, Rani R, Intravenous Iron sucrose and
124
oral iron for the treatmentof iron deficiency anemia in
pregnancy, Journal of Clinical and Diagnostic Research 2014
May Vol.8(5): OC04-OC07.
11. Canadian agency for drug drug and technologies in health, Oral
iron for anemia: a review of the clinical effectiveness and
guideline, CADTH Rapid response service, Januari 2016.
12. Goddard AF, James MW, Mclntyre AS, Scott BB, Guidelines for
the management of iron deficiency anemia, Gut 2011;60:1309-
1316.
13. Reinisch W, Staun M, Bhandari S, Munoz M, State of the iron:
How to diagnose and efficiently treat iron deficiency anemia in
inflammatory bowel disease. Journal of Chron’s and Colitis
(2013) 7,429-440
125
126
Diatesis Hemorhagik pada Wanita
Abstrak
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi
yang timbul karena kelainan fungsi hemostasis. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan.
Dilihat dari patogenesisnya maka diathesis hemostatis
hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik
karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis
hemoragik karena faktor koagulasi.
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik.
Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang
baik dan interaksi yang kompleks antar komponennya, yaitu
endotel, trombosit, dan kaskade koagulasi.
Pendekatan diagnosis diastesis hemoragik diawali
anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah
defek yang dicurigai akuisita atau kongenital. Pemeriksaan
penunjang yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan
gangguan perdarahan adalah (1) waktu perdarahan/bleeding
time, (2) hitung trombosit, (3) waktu protrombin atau PT, dan
(4) waktu tromboplastin parsial atau PTT.
Diatesis hemoragik yang sering terjadi pada wanita
diantaranya adalah penyakit Von Willebrand, idiopatik
127
trombositopenia purpura, perdarahan abnormal uterus.
Etiologi perdarahan abnormal uterus dibagi 2 yaitu kelainan
struktural (Polyp, Adenomyosis, Leimyoma, Malignancy) dan
non struktural (Coagulopathy, Ovulatory dysfunction,
Endometrial, Endometrial, Iatrogenic, Not yet cllasified).
Kata kunci: diatesis hemoragik, hemostasis, perdarahan
abnormal
Pendahuluan
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi
yang timbul karena kelainan faal hemostasis. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan.
Dilihat dari patogenesisnya maka diathesis hemostatis
hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik
karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis
hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik.
Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang
baik dan interaksi yang kompleks antar komponennya, yaitu
endotel, trombosit, dan kaskade koagulasi. Sel endotel
mengatur beberapa aspek hemostasis. Dalam keadaan normal
sel endotel memperlihatkan sifat antitrombosit, antikoagulan,
dan fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau aktivasi, sel endotel
memperlihatkan fungsi prokoagulan. Keseimbangan antara
aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel endotel
menentukan apakah akan terjadi pembentukan trombus,
peningkatan pembentukan trombus, ataukah disolusi
trombus.(3)
128
Hemostasis
Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua
mekanisme fisiologi yang digunakan oleh tubuh untuk
melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah
proses tubuh yang secara simultan menghentikan perdarahan
dari tempat cedera, sekaligus mempertahankan darah dalam
keadaan cair di dalam komponen vaskular.(3,4) Sistem
hemostasis berfungsi memulai pembekuan darah dan
menghentikan perdarahan. Koagulasi merupakan proses
merubah darah menjadi bekuan darah seperti agar. Sistem
hemostasis juga mencegah pembekuan yang tidak diinginkan
dan trombosis. Kelainan pada hemostasis dapat menimbulkan
perdarahan atau trombosis.(3,4)
Rangkaian peristiwa pada hemostasis pada lokasi jejas
vaskular secara umum, yaitu: (3,4)
• Setelah jejas awal terjadi terdapat periode vasokonstriksi
arteriol yang singkat, yang sebagian besar disebabkan oleh
mekanisme refleks neurogenik dan diperkuat oleh sekresi
faktor lokal, seperti endotelin (vasokontriktor kuat yang
berasal dari endotel). Namun efeknya berlangsung sesaat,
dan perdarahan akan terjadi kembali karena efek ini tidak
dimaksudkan untuk mengatasi trombosit dan sistem
pembekuan. (gambar 1.A)
• Jejas endotel juga membongkar matriks ekstraseluler
(ECM) subendotel yang sangat trombogenik, yang
memungkinkan trombosit menempel dan menjadi aktif,
yaitu mengalami suatu perubahan bentuk dan melepaskan
granula sekretoris. Dalam beberapa menit, produk yang
disekresikan telah merekrut trombosit tambahan
129
(agregasi) untuk membentuk sumbat hemostatik. Kejadian
ini merupakan proses hemostasis primer. (gambar 1.B)
• Faktor jaringan, suatu faktor prokoagulan dilapisi
membran yang disintesis oleh endotel, juga dilepaskan
pada lokasi jejas. Faktor ini bekerja bersama dengan faktor
trombosit yang disekresikan untuk mengaktifkan kaskade
koagulasi, dan berpuncak pada aktivitas trombin.
Selanjutnya trombin akan memecah fibrinogen dalam
sirkulasi menjadi fibrin tidak terlarut, menghasilkan suatu
deposisi anyaman fibrin. Trombin juga menginduksi
rekruitmen trombosit dan pelepasan granula lebih lanjut.
Rangkaian hemostasis sekunder ini memerlukan waktu
lebih lama dibandingkan dengan pembentukan trombosit
awal. (gambar 1.C)
• Fibrin terpolimerisasi dan agregat trombosit membentuk
suatu sumbat permanen yang keras untuk mencegah
perdarahan lebih lanjut. Pada tahapan ini, mekanisme
kontraregulasi (misalnya aktivator plasminogen jaringan
(t-PA) digerakan untuk membatasi sumbat hemostatik
pada lokasi jejas. (Gambar 1.D)
130
Pendekatan Diagnosis Diastesis Hemoragika
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menentukan apakah
defek yang dicurigai akuisita atau kongenital (diwariskan) dan
mekanisme mana yang tampaknya berperan (mekanisme
primer atau sekunder). Anamnesis harus menentukan letak
terjadinya perdarahan, keparahan, dan lamanya perdarahan,
umur awitan, apa saja yang telah dikerjakan untuk
mengendalikan perdarahan, apakah perdarahan spontan atau
diimbas, riwayat keluarga, anamnesis obat, pengalaman
pasien dengan trauma terdahulu (misalnya, tindakan bedah,
biopsi, ekstraksi gigi). Pemeriksaan fisik menentukan sifat
perdarahan (misalnya petekie, ekimosis, hematoma,
hemartrosis, perdarahan selaput lendir) dan mengidentifikasi
tanda-tanda penyakit primer sistemik. Manifestasi perdarahan
khas pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis primer
(interaksi trombosit dan pembuluh darah) adalah perdarahan
selaput lendir (misalnya epistaksis, hematuria, menoragia,
gastrointestinal), petekie di kulit dan selaput lendir, dan lesi
ekimosis kecil-kecil yang multipel. Tanda perdarahan khas
pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis sekunder
(sistem koagulasi) adalah perdarahan-dalam ke dalam sendi
dan otot, lesis ekimosis yang luas dan hematoma.(2,5)
Berbagai pemeriksaan yang digunakan dalam evaluasi
awal pasien dengan gangguan perdarahan adalah (1) waktu
perdarahan/bleeding time mencermikan watu yang diperlukan
pada pungsi kulit untuk menghentikan perdarahan, (2) hitung
trombosit, (3) waktu protrombin atau PT yang diukur dalam
detik guna menguji keadekuatan jalur pembekuan eksterinsik
dan umum yang mencerminkan waktu yang dibutuhkan
131
plasma untuk membeku, (4) waktu tromboplastin parsial atau
PTT guna menguji pembekuan interinsik dan umum.(2,5)
132
• Purpura alergik, terdiri atas :
a. Sindrom Henoch – Schonlein
Penyakit ini adalah penyakit yang lebih sering dijumpai pada
anak- anak akibat kompleks imun setelah infeksi akut.
Timbulnya suatu Ig A – mediated vasculitis. Gejalanya berupa
purpura, rasa gatal, pembengkakan sendi, nyeri abdomen, dan
hematuria. Biasanya bersifat self limiting, tapi kadang – kadang
berkembang menjadi gagal ginjal.
b. Purpura pada arthritis rematoid, SLE, poliarteritis
nodosa dan penyakit kolagen lain karena terjadinya
vaskulitis.
• Purpura karena infeksi, misalnya pada sepsis akibat infeksi
meningokokus.
• Scurvy defisiensi vitamin C yang menimbulkan kerusakan
bahan interseluler (kolagen) sehingga pembuluh darah
mudah pecah, sehingga terjadi perifollicular petekie.
• Purpura karena steroid yang mengakibatkan atrofi
jaringan ikat penyangga kapiler bawah kulit sehingga
pembuluh darah mudah pecah.
135
Faktor von willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein
multimer heterogen dalam plasma. Faktor tersebut memiliki
dua fungsi utama, yaitu:
1. Memudahkan adhesi trombosit ke subendotel pembuluh
darah
2. Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu
protein koagulasi darah yang penting.
b. Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan perdarahan herediter
yang paling umum. Diturunkan sebagai satu sifat (trait)
dominan autosomal dengan prevalensi sekitar 1/100 sampai
3/100.000 orang. Namun, PVW berat dengan riwayat
perdarahan yang mengancam jiwa terjadi pada kurang dari 5
orang per 1 juta penduduk di Negara Barat. (7,8)
136
dengan kadar PVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang
terberat. Bentuk ini jarang terjadi. (7,8)
d. Gambaran Klinik
Gejala yang paling sering terjadi meliputi perdarahan
gusi, hematuria, epistaksis, perdarahan saluran kemih, darah
dalam feses, mudah memar, dan menorragi. Pasien PVW
simtomatik, biasanya pada tampilan klinis ditemukan adanya
137
perdarahan mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar,
menorragi, dan perdarahan gusi dan intestinal. Pasien dengan
kadar faktor VIII yang sangat rendah menunjukkan hemartrosis
dan perdarahan jaringan dalam tubuh. PVW dapat diturunkan
sebagai satu sifat dominan atau resesif autosomal. Terdapat
riwayat yang jelas dalam keluarga dengan perdarahan
abnormal dan berat, namun ekspresi gen yang mengalami
mutasi sangat bervariasi. (7,8)
Orangtua dengan autosomal dominan, gejala yang nyata
pada keturunannya 30 – 40%. Pasien dengan gen resesif
tunggal khas asimtomatik dapat menunjukkan kadar aktivitas
antigen FVW abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda,
yang diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen
cacat menghasilkan penyakit berat tipe PVW. Meskipun jarang,
PVW yang didapat terlihat pada pasien dengan keadaan
penyakit limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi
terhadap FVW. (7,8)
Tipe Gambaran
1 Defisiensi parsial
2A Varian FVW ditandai dengan kehilangan multimer BM tinggi
dan penurunan fungsinya yang tergantung trombosit
(platelet-dependent)
2B FVW dengan kehilangan multimer BM tinggi disebabkan oleh
peningkatan afinitas terhadap GP1b trombosit
2M Varian FVW dengan penurunan fungsi tergantung trombosit
yang tidak berkaitan dengan kehilangan multimer BM tinggi
2N Varian FVW dengan penurunan afinitas terhadap faktor VIII
3 Defisiensi berat FVW
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Von Willebrand(7)
138
e. Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan kecurigaan terhadap
gambaran klinis dan kecakapan pemanfaatan laboratorium.
Bila pasien kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila
PVW dianggap faktor penyebab perdarahan pada pasien, maka
lakukan pengobatan secara empiris dan pemeriksaan
laboratorium rumit ditunda sampai klinis stabil dan tidak
mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu. (7)
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola
diagnosis paling sering merupakan kombinasi, diantaranya: (7,8)
• Pemanjangan bleeding time (BT)
• Penurunan kadar FVW plasma
• Penurunan secara parallel kadar aktivitas biologi
diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin
• Penurunan aktivitas faktor VIII
Keberagaman hasil tes laboratorium dikaitkan pada
sifat-sifat kelainan yang heterogen pada PVW dan kadarnya
dalam plasma dipengaruhi oleh tipe golongan darah ABO,
kelainan sistem saraf pusat, system inflamasi, dan kehamilan.
Evaluasi Penapisan
Untuk menegakkan penyakit von Willebrand harus
dilakukan pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT. (7,8)
• PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila
penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit
sedang hitung trombosit normal.
• Defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII mengikat
FVW menyebabkan pemanjangan APTT, sekunder akibat
139
menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk
menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus
kadar FVW dan fungsinya.
140
Pengelolaan segera
Beberapa faktor pemberat dapat menentukan beratnya
tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian, diagnosis yang
tepat dapat ditunda, namun tindakan harus disesuaikan
dengan sebanyak mungkin faktor pendorong yang potensial. (7)
Hal tersebut termasuk, diantaranya: (7,8)
• Menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit
• Secara empiris memberikan FVW, dan
• Transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya
perdarahan.
Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif.
Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun
kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol
perdarahan klinis yang berat.
141
terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada
situasi tersebut, trombosit harus normal begitu kelainan FVW
diperbaiki. Pada pasien defek kongenital, metabolisme
trombosit memerlukan transfuse trombosit normal. Pada
pasien dengan defek yang didapat sekunder terhadap
pemberian obat, uremia, dan penyakit hati akan merespon
terhadap DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya.
Peningkatan kadar FVW dapat mengkompensasi kelainan yang
bersumber dari trombosit. (7,8)
143
Gambar 2 : Patogenesis ITP(9)
d. Gambaran Klinis
Mula tidak jelas (insidious) dengan perdarahan ptekie,
mudah memar dan menoragia pada wanita. Perdarahan
mukosa terjadi pada kasus berat tetapi perdarahan
intracranial jarang. Berat perdarahan pada ITP lebih kecil
daripada yang terlihat pada pasien, dengan derajat
trombositopenia sebanding dari kegagalan sumsum tulang, ini
disebabkan peredaran trombosit yang kebanyakan muda dan
berfungsi lebih baik pada ITP. Limpa teraba hanya dalam 10%
kasus.
Terjadi perdarahan ringan hingga sedang. Berat dan
frekuensinya berkorelasi dengan jumlah trombosit.(9,10)
• Trombosit >50.000/mm3 asimtomatik
• Trombosit 30.000-50.000/mm3 : luka memar atau
hematoma
• Trombosit 10.000-30.000/mm3 : perdarahan spontan,
menorrhagia, perdarahan memanjang.
144
• Trombosit <10.000/mm3 : perdarahan mukosa (epistaksis,
perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria), risiko
perdarahan system saraf pusat (umumnya subarachnoid)
Pada ITP kronis jarang terjadi infeksi atau pembesaran
limpa. Remisi spontan jarang terjadi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan: (9,10)
1. Gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau
mukosa
2. Pemeriksaan darah perifer : trombositopenia (<
150.000/mL) tanpa adanya sitopenia yang lain;
3. Apusan darah tepi : giant trombosit normal atau
meningkat
4. Sumsum tulang (bukan indikasi rutin): Selularitas
sumsum tulang normal, banyak megakaryosit
agranuler atau tidak mengandung trombosit.
e. Tatalaksana
1. Terapi umum
Hindari aktivitas fisik yang berlebihan untuk
mencegah trauma, terutama trauma kepa dan
menghindari penggunaan obat obatan yang
mempengaruhi fungsi trombosit. (9,10)
2. Tatalaksana medikamentosa
• Lini pertama :
- Glucocorticoid. Oral dexametason 40 mg selama 4
hari tanpa titrasi turun atau prednison dosis 1
mg/kgBB/hari per oral selama 2 minggu kemudin
titrasi turun. Tanda adanya respon baik ialah
peningkatan trombosit >30.000 /mm3, atau
trombosit >50.000/mm3 setelah 10 hari terapi awal,
dan berhentinya perdarahan.(9,10)
145
- Imunoglobulin IV. Berguna untuk menghambat
ikatan autoantibodi dengan trombosit yang
bersirkulasi. Diberikan dengan dosis 1g/kgBB/hari
selama 1-2 hari berturut turut. Imunoglobulin
digunakan bila terjadi perdarahan internal, adanya
purpura yang progresif, serta kadar trombosit
<5000/mm3. Walaupun sudah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari. (9,10)
• Lini kedua :
- Splenektomi. Dipertimbangkan pada pasien yang
simtomatik persisten dan trombositopenia berat
(trombosit <10.000/mm3. Setelah mendapat terapi
prednison. Respon bervariasi (50-80%).(9,10)
- Pada pasien yang tidak membaik dengan terapi
standar kortikosteroid dan imunoglobulin dapat
diberikan pilihan terapi rituximab, obat
imunosupresif (azatriopin, siklofosfamid), serta
golongan agonis reseptor trombopoietin /TPO-RA
(romiplastin, eltrombopag). (9,10)
146
Diagram 2. Algoritma tatalaksana ITP(10)
148
ovulasi telah dipastikan atau pasien tidak berhasil dengan
terapi hormon. Pemeriksaan ultrasonografi membantu
mengkonfirmasi adanya fibroid atau patologi lain. (11,12)
149
Daftar Pustaka
1. Rubin R. Bleeding Diathesis. In: Criner GJ, D’Alonzo GE (eds)
Critical Care Study Guide. Springer, New York. 2002;20:316-38
2. Drews RE. Approach to the Adult with a Bleeding Diathesis. In:
Leung LK, Tirnauer JS (eds). Uptodate. 2018
3. Cito S, Mazzeo MD, Badimon L. A Riview of Macroscopic
Thrombus Modeling Methods. Thrombosis Research.
2013;131:116-24
4. Leung LK. Overview of Hemostasis. In: Manucci PM, Tirnauer JS
(eds). Uptodate. 2018
5. Bashwari LA, Ahmed MA. The Approach to A Patient With
Bleeding Disorder: For The Primary Care Physician. J Family
Community Med. 2007;14(2):53-8
6. Journeycake JM, George R, Buchanan. Coagulation Disorder.
Pediatric in Review. 2003;24(3):83-91
7. Laffan MA, Lester W, O’Donnel JS, et al. The Diagnosis
and Management of Von Willebrand disease. British
Journal of Haematology, 2014;167:45
8. Lilicrap D, James P. Von Willebrand Disease: An
Introduction for the Primary Care Physician. World
Federation of Hemophilia. 2009: 1-7
9. Zufferey A, Kapur R, Semple JW. Pathogenesis and
Therapeutic Mechanism in Immune Trombocytopenia. J
Clin Med. 2017;6(16):1-21.
10. George JN, Arnold DM. Immune Thrombocytpopenia (ITP)
in Adults: Initial Treatment and Prognosis. In: Leung LK,
Tirnauer JS (eds). Uptodate. 2018
11. Committee on Practice Bulletins—Gynecology. Practice
bulletin no. 128: Diagnosis of Abnormal Uterine Bleeding
in Reproductive-Aged Women. Obstet Gynecol.
2012;120:197.
12. Munro MG, Critchley HO, Broder MS, et al. FIGO Classification
System (PALM-COEIN) For Causes Of Abnormal Uterine
Bleeding In Nongravid Women Of Reproductive Age. Int J
Gynaecol Obstet. 2011;113:3.
150
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Trombositosis
Abstrak
Definisi trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit
≥450 x 109/L. Diagnosis banding trombositosis sangatlah luas
dan mendiagnosis trombositosis tidak mudah. Penyebab
utama trombositosis dibagi menjadi 3 yaitu trombositosis
klonal, reaktif (sekunder) dan familial. Perbedaan penyebab
trombositosis ini penting untuk evaluasi, prognosis, dan
pengobatan. Trombositosis klonal berhungan dengan
keganasan mieloproliferatif terutama esensial trombositosis
dan polisitemia vera serta berhubungan dengan risiko
terjadinya trombosis, sehingga diperlukan terapi yang
adekuat. Makalah ini akan membahas mekanisme yang
mendasari trombositosis, perbedaan trombositosis esensial
dan sekunder, cara pendekatan diagnosis trombositosis serta
pengobatan trombositosis.
151
Patofisiologi Trombositosis
Trombopoietin merupakan hormon penting dalam
regulasi proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Beberapa
sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11)
juga memiilki peranan penting dalam produksi trombosit.
Megakariosit dan trombosit memiliki reseptor untuk
trombopoietin yaitu reseptor c-MPL. Trombopoietin berikatan
dengan reseptor c-MPL pada permukaan trombosit di dalam
plasma, dan trombopoietin yang tidak berikatan menyebabkan
proliferasi megakariosit. Pada keadaan trombosit menurun,
kadar trombopoietin bebas dalam plasma meningkat sehingga
menstimulasi megakariositopoiesis, begitu juga sebaliknya
(Gambar 1a). Pada kasus trombositosis reaktif, keadaan
inflamasi dapat merangsang produksi trombopoietin di hati.1-2
Kadar trombopoietin plasma dan IL-6 meningkat pada
trombositosis reaktif. IL-6 berperan sebagai acute phase
reactant pada keadaan inflamasi dan keganasan. IL-6
menyebabkan peningkatan ekspresi messenger-RNA (mRNA)
trombopoietin pada hati (Gambar 1b).2
Kadar trombopoietin juga meningkat pada
tormbositosis klonal melalu mekanisme gangguan regulasi
reseptor c-MPL sehingga meningkatkan sintesis trombopoietin
(Gambar 1c). Pada trombositosis esensial terjadi gangguan
klonal pada platelet dan ekspresi megakariosit terhadap c-MPL
sehingga menyebabkan gangguan ikatan trombopoietin dan
menyebabkan tingginya kadar trombopoietin bebas di dalam
plasma. Berbeda dengan kelainan mieloproliferatif lainnya,
yang terdapat proliferasi pembelahan hematopoietsis
sehingga menurunkan growth factor tertentu sebagai
mekanisme feedback untuk mengatur diferensiasi dan
152
proliferasi pembelahan hematopoiesis. Antara lain, penurunan
kadar serum eritropoietin pada polisitemia vera dan
penurunan kadar granulocyte colony stimulating factor (GCSF)
pada leukemia myeloid kronis. Pada kelainan mieloproliferatif
terdapat penurunan ikatan trombopoietin terhadap
megakariosit karena penurunan jumlah dan fungsi reseptor
trombopoietin, tetapi pada trombositosis esensial, progenitor
tersebut meningkat sebagai reaksi terhadap hormon, sehingga
meningkatkan proliferasi megakariosit dan produksi
trombosit.2
153
Perbedaan trombositosis esensial versus sekunder
Trombositosis reaktif diatur oleh peningkatan kadar
trombopoitein endogen, IL-6 dan sitokin lain atau katekolamin
yang dihasilkan saat inflamasi, infeksi, keganasan dan stress.
Penyebab tersering trombositosis sekunder dapat dilihat dari
tabel 1.2
155
Pendekatan diagnosis trombositosis
Penyebab tersering trombositosis adalah reaktif
trombositosis, yang dapat terdiagnosis melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan tes laboratorium.2
Pada anamnesa kita menanyakan riwayat keluarga
dengan trombositosis atau kelainan hematologis lainnya,
mencari penyakit sistemik yang mendasarinya, komplikasi
perdarahan atau thrombosis dan komorbid penyakit lainnya
seperti diabetes, hipertensi, atau dislipidemi, serta
menanyakan gaya hidup dan riwayat pengobatan.1,2
Prevalensi gejala konstitusional pada pasien
trombositosis esensial relatif tinggi, namun sebagian besar
pasien terdiagnosis tanpa gejala. Gejala klinis yang bisa didapat
antara lain sakit kepala, sinkop, pusing, sakit dada, parestesi
akral, telinga berdenging, eritromelalgia atau gangguan
penglihatan. Terdapat manifestasi perdarahan, yaitu
epistaksis, easy bruising, petekhie, perdarahan traktus
gastrointestinal berulang. Sedangkan manifestasi trombosis
lebih sering didapatkan pada orang tua, antara lain dibagi
menjadi trombosis vena (vena hepatika, mesenterika, aksila,
lienalis, priapism, emboli paru) dan trombosis arteri (transient
cerebral ischemia). Pemeriksaan fisik ditemukan splenomegali
(80% penderita) atau hepatomegali.1,2
Pemeriksaan laboratorium awal yang dibutuhkan
adalah darah dan morfologi darah tepi (pada seri eritrosit
biasanya normokrom normositer, dapat hipokrom mikrositer
jika perdarahan kronik, pada seri lekosit dapat lekositosis,
bergeser ke kiri sampai metamielosit, eosinofilia, basofilia
ringan dan pada seri trombosit dapat bergumpal-gumpal,
abnormalitas bentuk, ukuran dan struktur (heavy granulation),
giant trombosit, kadang-kadang didapatkan fragmen
megakariosit). Evaluasi status zat besi tubuh, inflamasi (CRP)
dan BCR-ABL. Pemeriksaan 3 mutasi gen pada awal
laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis trombositosis
esensial, yaitu Janus kinase 2 (JAK2), thrombopoietin (MPL)
156
dan calreticulin (CALR). Mutasi gen yang terdeteksi
menunjukkan adanya kelainan/neoplasma mieloid, namun
tidak terdeteksinya mutasi gen tidak menyingkirkan diagnosis
trombositosis esensial.1,2
Pemeriksaan laboratorium selanjutnya adalah aspirasi
sumsum tulang dan biopsy, serta pemeriksaan lainnnya seperti
faktor von Willebrand.1
157
Diagnosis trombositosis esensial menurut WHO 2016
adalah didapatkan semua 4 kriteria mayor atau 3 kriteria
mayor awal dengan kriteria minor.1,3,4
Kriteria Mayor:3,4
1. Trombosit ≥450 x 109/L
2. Biopsi Sumsum Tulang menunjukkan proliferasi
megakariosit dengan jumlah yang meningkat,
megakarisosit matur dengan nukleus yang
hiperlobulasi. Tidak ada peningkatan proses
granulopoiesis atau eritropoiesis secara signifikan dan
sangat jarang terdapat peningkatan serat retikulin
(grade 1)
3. Tidak memenuhi kriteria WHO untuk CML -BCR ABL,
Polisitemia Vera (PV), Prefibrotic Myelofibrosis (PMF),
Myelodisplasia Syndrome (MDSs) atau keganasan
mieloid lainnya.
4. Adanya mutasi JAK2, CALR atau MPL
Kriteria Minor:3,4
Adalnya marker klonal atau tidak adanya bukti
trombsitosis reaktif.3,4
158
Gambar 2. Diferensial diagnosis trombositosis. 1,3,4
159
Pengobatan terapi trombositosis esensial bertujuan
untuk mengurangi resiko trombosis dan atau perdarahan.
Terdapat startifikasi resiko menurut the European
LeukemiaNet (ELN), yaitu teridiri dari resiko rendah dan resiko
tinggi sesuai kriteria usia ≥60 tahun, riwayat trombosis atau
perdarahan mayor dan jumlah trombosit ≥1500 x 109. Tujuan
stratifikasi resiko ini untuk pendekatan terapi, hal ini
tercantum pada table di bawah ini.1,5
160
Pada Blood Cancer Group 2018 membagi
trombositosis esensial menjadi 4 grup, yaitu “very low-risk
group” (tidak ada faktir resiko trombosis, termasuk riwayat
trombosis, JAK2/MPL mutasi dan usia tua), “low-risk group”
(adanya mutasi JAK2/MPL pada usia muda tanpa riwayat
trombosis), “intermediate-risk group” (JAK2/MPL unmutated
pada usia tua tanpa riwayat trombosis) dan “high risk” (adanya
trombosis atau terdapat mutasi JAK2/MPL pada usia tua.
Berikut gambar algoritma trombositosis esensial.7
161
Obat-obat sitoreduksi:
1. Hidroksiurea
Dosis awal pemberian adalah 15 – 30 mg/kg/hari,
biasanya mengurangi trombositosis dalam waktu
2 – 6 minggu.8
2. Interferon
Rekombinan interferon (IFN) mempunyai efek
sitoreduksi tanpa efek samping mutagenik. Dosis nya
21 – 35 juta unit/minggu sub kutan selama 4 – 6
minggu (fase induksi) kemudian dosis pemeliharaan
terkecil untuk mempertahankan remisi komplit
(trombosit <450.000 /mm3) atau remisi parsial
(trombosit <600.000 /mm3). Dosis pemeliharaan
biasanya berkisar antara 3 juta unit 3 kali seminggu,
sampai 3 juta unit/hari.8
3. Anagrelide :
Anagrelide merupakan senyawa imidazo (2,1-b)
quinazolin-2-one dengan efek inhibisi agregasi
trombosit melalui penghambatan cyclic nucleotide
phosphodiesterase dan phospholipase A2. Efektif
terhadap trombositosis pada > 80% penderita,
diindikasikan pada penderita yang tidak dapat
mentolerir efek samping hidroksiurea. Dosis dimulai 4
x 0,5 mg/hari atau 2 x 1 mg/hari. Penyesuaian dosis
dilakukan setiap minggu, biasanya memerlukan rata-
rata 2 – 3 mg/hari. Penurunan jumlah trombosit
sebanyak 50% biasanya dicapai dalam waktu 11 hari.9
4. Busulfan
Busulfan merupakan obat alkilating dengan kerja
spesifik terhadap proliferasi megakariosit. Dosis yang
dipergunakan antara 2-4 mg/hari, disesuaikan dengan
respon hematologis dan pemeriksaan trombosit setiap
minggu. Setelah jumlah trombosit normal, kontrol
jangka panjang dapat dicapai dengan pemberian
intermiten. Busulfan memiliki efek karsinogenik
162
sehingga membatasi penggunaannya hanya pada
orang tua.8
Reference:
1. Rumi E and Cazzola M. How I treat essential
thrombocythemia. Blood. 2016;17(128):20
2. Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;
350(12):1211-1219.
3. Vannucchi AM and Barbui T. Thrombocytosis and
thrombosis. Hematology 2007. AS
4. Arber DA, Orazi A, Hasserjian R, et al. The 2016 revision to
the World Health Organization classification of myeloid
neoplasms and acute leukemia. Blood. 2016;127(20):2391-
2405.
5. Carobbio A, Antonioli E, Guglielmelli P, et al. Leukocytosis
and risk stratification assessment in essential
thrombocythemia. J Clin Oncol. 2008; 26(16):2732-2736.
6. Carobbio A, Finazzi G, Antonioli E, et al. Hydroxyurea in
essential thrombocythemia: rate and clinical relevance of
responses by European LeukemiaNet criteria. Blood.
2010;116(7): 1051-1055.
7. Tefferi A, Vannucchi AM, Barbui T. Essential
thrombocythemia treatment algorithm 2018. Blood Cancer
Journal (2018)8:2
8. Gale ER. Basic Sciences of Myeloproliferative Diseases :
Pathogenic Mechanisms of ET and PV. International Journal
of Hematology, Supplement II 2002 ;76: 305-310.
9. Roberts Pharmaceutical Corporation. The Standard of Care
for ET : Agrylin 1999.
163
164
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana APS
Definisi
Sindroma antifosfolipid merupakan sindroma dengan
karakteristik adanya trombosis vaskuler (arterial atau vena)
dan /atau morbiditas kehamilan yang berhubungan dengan
tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan
dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid – aPL).3
165
Pustaka lain mendefinisikan sindroma antifosfolipid sebagai
penyakit sistemik autoimun ditandai trombosis vena atau
thrombosis arteri dengan atau tanpa morbiditas kehamilan
disertai antibodi antifosfolipid pada plasma penderita dengan
trombosis vena dan/atau arteri dan/atau komplikasi
kehamilan berulang.4
166
• Antikardiolipin antibodi dan b2-glikoprotein antibodi
akan meningkatkan aktivasi dan adesi trombosit ke
endotel.5
• Adanya aktivasi endotel vaskuler yang akan
meningkatkan adesi monosit dan trombosis.5
• Peningkatan ekspresi tissue factor pada permukaan
monosit.5
• Inhibisi aktivitas protein C, protein S dan factor-faktor
koagulasi lain. Pada penderita dengan antibodi
antifosfolipid dapat ditemukan juga antibodi terhadap
heparin/heparan sulfat, protrombin, platelet-
activating factor, tissue-type plasminogen activator,
protein S, annexin (2, IV dan V), tromboplastin,
oxidized low density lipoprotein, trombomodulin,
kininogen, factor VII, VIIa dan XII.5
• Antibodi terhadap heparan/heparan sulfat pada
tempat ikatan dengan antitrombin III dapat
mengaktivasi koagulasi dengan cara menghambat
pembentukan kompleks heparin-antitrombin-
5
trombin.
• Antibodi terhadap oxidized low density lipoprotein
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
aterosklerosis.5
• Aktivasi komplemen melalui perlekatan aPL ke
permukaan endotel dapat menimbulkan kerusakan
endotel dan merangsang trombosis yang berperan
dalam terjadinya kematian fetus.5
167
• Paparan terhadap fosfolipid selama aktivasi
trombosis dan apoptosis selular. 6 (fosfolipid anion
yang dalam keadaan normal berada intraselular
mengalami redistribusi ke kompartemen
ekstraseluler). 6
• Peroksidase kardiolipin. 6
• Aktivasi trombosis dengan atau tanpa antibodi anti
trombosis.6
• Predisposisi genetik.6
Manifestasi klinis
Secara klinis, sindroma antifosfolipid terdiri dari 2 jenis :
• Sindroma antifosfolipid primer
Adanya antibodi antifosfolipid pada penderita dengan
trombosis idiopatik tanpa adanya penyakit autoimun
atau faktor lain seperti infeksi, keganasan,
hemodiálisis atau antibodi antifosfolipid yang
diinduksi oleh obat-obatan.1
• Sindroma antifosfolipid sekunder
168
Adanya antibodi antifosfolipid dan trombosis pada
penderita dengan penyakit autoimun, terutama lupus
eritematosus sistemik dan artritis rematoid.1
Sindroma antifosfolipid
mikroangiopati Trombosis
yang
mengancam
jiwa
Sindroma
antifosfolipid
katastropik
Bagan 1. Spektrum klinis sindroma antifosfolipid. 1
171
• Jantung
Infark miokardial, mikrotombi miokardial,
miokarditis, abnormalitas katup
• Paru-paru
Acute respiratory distress syndrome, perdarahan
alveoler
• Ginjal
Gagal ginjal akut, mikroangiopati trombotik,
hipertensi
• Gastrointestinal
Infark atau gangren usus, hati, limpa
• Hematologi
Koagulasi intravaskuler diseminata (pada
sindroma antifosfolipid katastropik)
• Lain-lain
Mikrotrombi, mikroinfark
Pemeriksaan penunjang :
• IgG dan IgM antikardiolipin antibodi.9
• IgG dan IgM anti-b2-glikoprotein .9,10
• Test lupus antikoagulan.9
174
Kriteria diagnostik
Diagnostik didasarkan pada kriteria International Consensus
Statement on an Update of the Classification Criteria for
Definite Antiphospholipid Síndrome tahun 2006.9
Kriteria klinis :
1. Trombosis vaskular: 1 atau lebih episode
trombosis vena, arterial atau pembuluh darah
kecil pada jaringan atau organ. Trombosis harus
dikonfirmasi dengan kriteria objektif yang telah
divalidasi (pemeriksaan imaging atau
histopatologi)
2. morbiditas kehamilan :
• satu atau lebih kematian fetus dengan
morfologi normal pada usia > 10 minggu
kehamilan, atau
• satu atau lebih kelahiran prematur sebelum
usia 34 minggu karena eklampsi, preeklamsi
atau insufisiensi plasenta, atau
• tiga atau lebih kematian embrio (< 10 minggu)
, tanpa adanya kelainan kromosom ayah dan
ibu atau kelainan anatomi ibu atau penyebab
hormonal
Kriteria laboratorium :
1. Lupus antikoagulan (LA) terdapat di plasma pada dua
atau lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan
minimal 12 minggu
2. Anticardiolipin antibodi (aCL) IgG dan atau IgM pada
serum atau plasma dengan titer moderat atau tinggi
(>40 unit GPL atau MPL atau >99th persentil) pada dua
175
atau lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan
minimal 12 minggu dengan metode ELISA
3. Anti B2Glikoprotein antibodi IgG dan atau IgM pada
serum atau plasma (titer >99 persentil) pada dua atau
lebih pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan minimal
12 minggu dengan metode ELISA
Terapi :
Terapi untuk trombosis pada sindroma antifosfolipid adalah :
Antikoagulan
• Heparin11
Heparin bekerja sebagai antikoagulan yang berikatan
dengan antitrombin III dan menginaktivasi trombin.
Heparin juga berikatan dengan faktor koagulasi lain
seperti faktor Xa danenghambat konversi fibrinogen
menjadi fibrin untuk mencegah pembentukan bekuan.
Unfaractionated heparin (UFH) digunakan sebagai
infus kontinu intravena oleh karena waktu paruh
pendek dan memerlukan terapi sambungan dengan
anti vitamin K (warfarin) sampai nilai terapeutik
tercapai. Nlai aPTT (activated partial thromboplastin
time) mencapai dua kali nilai awal aPTT. Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) termasuk
enoxaparin (1, g/kgBB setiap 12 jam) dan dalteparin
(200unit/kgBB.hari subkutan).
• Warfarin
Pada umumnya warfarin saja cukup untuk terapi
trombosis vena. Meskipun demikian, penambahan
aspirin atau dipiridamol pada terapi warfarin dapat
mencegah rekurensi trombosis arteri.11 Warfarin
menurunkan fungsi vitamin K dengan menghambat
produksi faktor koagulasi II, VII, X, protein C dan
protein S. Rekomendasi terkini mempertahankan nilai
international normalized ration (INR) 2,5-3,0 untuk
176
episode pertama dari VTE atau VTE yang relaps yang
sedang berhenti pengobatan. Penggunaan warfarin
tidak boleh diberikan pada kehamilan,
hipersensitivitas, perdarahan masif yang mengancam
nyawa, tingkat kepatuhan yang buruk.
• Antikoagulan terbaru12 yaitu Direct Thrombin inhibitor
(dabigatran etexilate) dan Direct anti-Xa inhibitor
(rivaroxaban, apixaban, edoxaban). Keuntungan
utama terapi terbaru ini adalah sedikitnya interaksi
antar obat dan makanan, tidak memerlukan
monitoring ketat dan efek perdarahan yang lebih
sedikit. Studi The Rivaroxaban in Antiphospholipid
Syndrome Trial (RAPS) menunjukkan studi prospektif
non inferior antara warfarin dan rivaroxaban pada
penderita APS dengan trombosis vena. The 14th
International Congress on Antiphospholipid Antibodies
Task Force (ICAATF) merekomendasikan warfarin
tetap menjadi terapi utama pada APS dibandingkan
DOAC, tetapi DOAC dapat dipertimbangkan diberikan
apabila terdapat intoleransi/alergi atau tingkat
kepatuhan pasien yang buruk12
Hidroksiklorokuin (HCQ)
Data penelitian pemberian hidroksiklorokuin dalam
pencegahan tromboemboli pada sindroma antifosfolipid
masih terbatas. Hidroksiklorokuin lebih sering digunakan
177
pada penderita tanpa tromboemboli arterial.11 Mekanisme
anti trombosis oleh HCQ mencakup inhibisi agregasi dan
adesi trombosit, menurunkan kadar kolesterol,
menghambat produksi antiphospholipid antibodi dan
ikatan aPL-B2GP1 ke permukaan phospholipid.
Terapi Lain
• Statin
• Rituximab
• Intravenous Immunoglobulin (IvIg)
• Plasmapharesis
178
3. Sindroma tipe III
• Serebrovaskuler: clopidogrel dengan heparin sub
kutan jangka panjang. Setelah keadaan stabil
dalam jangka panjang, heparin dapat dihentikan,
clopidogrel tetap diteruskan
• Retinal : clopidogrel, bila gagal, ditambahkan
heparin sub kutan jangka panjang.
4. Sindroma tipe IV
• Terapi tergantung jenis trombosis
5. Sindroma tipe V
• Aspirin 81 mg/hari sebelum konsepsi diikuti
heparin 5000 unit setiap 12 jam segera setelah
konsepsi
6. Sindroma tipe VI
• Tidak ada indikasi yang jelas untuk pemberian
terapi antitrombotik
Terapi antitrombotik jangan dihentikan sampai antibodi
antikardiolipin menjadi negatif dalam waktu 4-6 bulan.
First event
Direkomendasikan pemberian antikoagulan warfarin
dengan target INR antara 2-3 pada penderita dengan
trombosis vena dalam atau emboli paru yang pertama
kali terjadi. Warfarin diberikan selama minimal 6
bulan.5
Recurrent disease
Direkomendasikan pemberian warfarin life-long
dengan target INR 2-3. Bila terjadi trombosis berulang
selama terapi warfarin dengan target INR 2-3,
direkomendasikan untuk menaikkan target INR 3,1-4
dan /atau menambahkan aspirin dosis rendah.5
180
8. Berhati-hati bahwa trombosis tetap dapat terjadi
meski dalam pengobatan antikoagulan adekuat dan
profilaksis
• Terapi faktor presipitasi (misalnya infeksi)
• Heparin, diikuti warfarin (target INR 2-3)
• Metilprednisolon 1gram IV /hari selama 3 hari, diikuti
steroid parenteral atau oral ekivalen dengan
prednison 1-2 mg/kg
• Plasma exchange dan/atau IVIG (400 mg/kg /hari
selama 5 hari bila didapatkan adanya mikroangiopati
(trombositopenia, anemi hemolitik mikroangiopati)
• Siklofosfamid (diberikan pada sindroma antifosfolipid
yang berhubungan dengan lupus eritematosus
sistemik dengan komplikasi yang mengancam jiwa.
• Terapi eksperimental : fibrinolitik, prostasiklin, ancrod,
defibrotide, antisitokin, immunoadsorption, anti sel B
antibodi (rituximab)
Ringkasan
Sindroma antifosfolipid merupakan penyebab trombosis
dengan manifestasi klinis dari asimptomatis sampai trombosis
yang mengancam jiwa. Berdasarkan ada atau tidaknya
penyakit dasar, terbagi menjadi sindroma antifosfolipid primer
dan sekunder. Manifestasi klinis utama adalah trombosis vena
dan/atau arteri serta morbiditas kehamilan. Untuk
kepentingan terapi, sindroma antifosfolipid dibagi ke dalam 6
tipe sindroma. Diagnostik didasarkan pada kriteria
International Consensus Statement on an Update of the
Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Síndrome
tahun 2006. Terapi yang diberikan adalah antikoagulan dan
anti agregasi trombosit.
181
Daftar Pustaka :
1. Baker WF, Bick RL. The clinical spectrum of antiphospholipid syndrome.
Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:33-52.
2. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl
J Med 2002;346:752-63.
3. Bermas B, Erkan D, Schur PH. Clinical manifestations and diagnosis of
antiphospholipid syndrome. Available from : www.uptodate.com
4. De Groot PG, Derksen RHWM. Patophysiology of the antiphospholipid
syndrome. J Thromb Haemost 2005;3:1854-60.
5. Bermas BL, Schur PH. Pathogenesis of the antiphospholipid syndrome.
Available from : www.uptodate.com
6. Baker WF, Bick RL, Farreed J. Controversies and unresolved issues in
antiphospholipid syndrome pathogenesis and management. Hematol
Oncol Clin N Am 2008;22:155-74.
7. Bick RL.In : Bick RL, ed. Disorders of thrombosis and hemostasis clinical
and laboratory practice. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Williams and
Wilkins;2002.p..
8. Bick RL, Baker WF. Treatment optioins for patients who have
antiphospholipid syndromes. Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:145-
53.
9. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera R, et
al. International consensus statement on an uptodate of the
classification criteria for definite antiphospholipid syndrome (APS).
Journal of Thrombosis and Hemostasis 2006 ;4:295-306.
10. Pengo W. Anti-b2-glykoprotein I antibody testing in the laboratory
diagnosis of antiphospholipid syndrome. J Thromb Haemost
2006;3:1158-9.
11. Bermas BL, Schur PH. Treatment of the antiphospholipid syndrome.
Available from : www.uptodate.com
12. Arachchillage DJ, Cohen H. Use of newer anticoagulants in
antiphospholipid syndrome, Curr Rheum Rep 2013;15:1-9.
13. Erkan D, Cervera R, Asherson R. Catastrophic Antiphospholipid
Syndrome. Where do we stand? Arthritis Rheum 2003; 48:3320-7
182
Patofisiologi dan Tatalaksana Kaheksia pada Kanker
Mohamad Luthfi
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Kaheksia pada kanker merupakan gangguan yang
ditandai dengan kehilangan berat badan yang tidak disadari
terutama pada otot skelet dan jaringan lemak disebabkan
karena hilangnya regulasi homeostasis keseimbangan energi
dan protein.1,2 Diperlukan konsensus mengenai definisi dan
kriteria spesifik yang secara adekuat dapat menjelaskan
kaheksia pada kanker. Definisi yang jelas dan dapat diterima
secara luas oleh dokter dan peneliti akan membantu dalam
identifikasi dan pengobatan pasien kaheksia serta
pengembangan obat terapeutik potensial. Konsensus
internasional Delphi pada tahun 2011 memberikan definisi
kaheksia pada kanker sebagai sindrom multifaktorial yang
ditandai oleh hilangnya massa skeletal otot secara terus
menerus (dengan atau tanpa kehilangan massa lemak) yang
tidak sepenuhnya dapat ditatalaksana dengan nutrisi
konvensional.3
Kaheksia disebabkan oleh kombinasi berbagai
variabel yaitu asupan makanan yang menurun dan perubahan
metabolik, pengeluaran energi yang meningkat, katabolisme
183
yang berlebihan dan peradangan. Proses terjadinya kaheksia
melibatkan berbagai mediator yang berasal dari sel-sel kanker,
termasuk sel-sel inflamasi dan sel-sel system imun. Gangguan
endokrin, metabolik dan sistem saraf pusat bersama dengan
mediator tersebut menyebabkan perubahan katabolik pada
otot rangka dan otot jantung serta jaringan adiposa.
Mekanisme kaheksia pada jaringan terjadi akibat aktivasi
inflamasi, proteolisis, autofagi dan lipolisis. Kaheksia
berhubungan dengan berbagai morbiditas yang meliputi
gangguan fungsional, metabolisme, imunitas tubuh dan
diperburuk oleh toksisitas dan komplikasi terapi kanker.1,2
Kaheksia pada kanker dipengaruhi oleh berbagai
komponen yang dirangsang oleh tumor dan menyebabkan
gangguan fungsional progresif, komplikasi perawatan, kualitas
hidup yang buruk dengan konsekuensi peningkatan toksisitas
kemoterapi, komplikasi operasi dan mortalitas.4
Epidemiologi
Kanker adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar 14 juta kasus baru
dan 8,2 juta kematian. Kaheksia pada kanker seringkali tidak
tercatat pada statistik kanker nasional di negara manapun dan
tidak dikategorikan sebagai penyebab kematian. Namun, hal
ini terutama terkait dengan penyakit yang tak tersembuhkan
dan sangat lazim di akhir kehidupan. Dengan demikian, tingkat
kematian akibat kanker adalah batas atas yang masuk akal
untuk jumlah orang yang terkena cachexia. Cachexia juga
dapat terjadi pada kanker yang dapat disembuhkan dan dapat
dibalikkan dengan pengobatan kanker yang mendasari.5
Diagnosis kaheksia pada kanker didasarkan pada tingkat
penurunan berat badan dan indeks massa tubuh yang rendah.
184
Sebagian besar data prevalensi berasal dari studi prevalensi
nasional atau program skrining kaheksia di pusat kanker
nasional.6-9
185
Prevalensi kaheksia (didefinisikan sebagai> 5% penurunan
berat badan dalam 6 bulan sebelumnya) berdasarkan lokasi
kanker (a) dan persentase rata-rata penurunan berat badan
pada berbagai jenis kanker
Patofisiologi
Gangguan Keseimbangan Energi
Kanker menyebabkan gangguan pada kontrol
homeostatik normal dari keseimbangan energi. Pengurangan
asupan makanan merupakan salah satu masalah utama dan
pada beberapa kasus merupakan penyebab utama penurunan
berat badan akibat kanker. Asupan energi biasanya lebih
rendah daripada pengeluaran energi saat istirahat dan defisit
kalori dapat melebihi 1.200 kkal per hari.11-12
Sintesis protein otot yang menurun juga diketahui
sebagai penyebab kehilangan berat badan pada kanker. Bukti
bahwa sintesis protein dapat diaktifkan kembali dengan
pemberian nutrisi memperkuat pentingnya peranan asupan
makanan dalam etiologi kaheksia pada kanker.13,14
Pengukuran pengeluaran energi tubuh, lipolisis,
glukoneogenesis, sintesis protein, degradasi protein dan
konsumsi substrat telah dilakukan pada populasi pasien
dengan kaheksia pada kanker. Pengeluaran energi istirahat
yang meningkat mendorong keseimbangan energi negatif dan
sebagian berhubungan dengan metabolisme tumor.15
Kanker berkompetisi dengan organ dan jaringan lain
untuk mendapatkan bahan bakar energi dan substrat
biosintetik dan memiliki tingkat metabolisme intrinsik yang
berhubungan dengan terkait dengan metabolisme aerobik dan
aneroerobik kanker. Peningkatan pengeluaran energi
disebabkan karena peradangan dan siklus metabolisme
186
(peningkatan laju metabolisme substrat yang melibatkan
hidrolisis ATP). Sebagai contoh, peningkatan laju glikolisis
seluruh tubuh secara bersamaan akan meningkatkan laju
glukoneogenesis siklus asam laktat yang meningkat > 300%. 16
Ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi pada
kanker17
187
REE dapat diukur secara akurat menggunakan
kalorimetri tidak langsung atau dihitung menggunakan
berbagai persamaan. Metabolisme dan peradangan tumor
dapat meningkatkan REE dan secara bersamaan akan
mengurangi asupan energi dan menggeser keseimbangan
energi menjadi keseimbangan energi negatif. Perawatan
kanker juga akan mempengaruhi keseimbangan energi.
Asupan energi dapat turun > 50% (~ 1.200 kkal per hari) selama
kemoradioterapi untuk kanker kepala dan leher. 17
Sitokin Pro-Kaheksia
Zat-zat yang kompleks yang dihasilkan oleh tumor
merupakan faktor penting terhadap terjadinya yang kaheksia
pada kanker. Tumor mengeluarkan molekul-molekul seperti
sitokin pro-inflamasi, eikosanoid, heat shock protein 70
(HSP70) dan HSP90 , superfamili transforming growth factor -
β (TGFβ) yang secara langsung menimbulkan katabolisme pada
jaringan target. Meningkatnya peradangan yang ditimbulkan
oleh tumor juga berpartisipasi dalam pembentukan faktor pro-
inflamasi katabolik. Efektor ini memodulasi kontrol
homeostatik dalam SSP, merangsang sinyal neural katabolik
melalui sistem saraf simpatik, pelepasan kortikosteroid
adrenal dan memberikan gangguan berupa gejala anoreksia
dan kelelahan. Output humoral, neurologis dan perubahan
perilaku ini secara langsung mengaktifkan proteolisis dan
lipolisis pada organ target terutama otot skelet, jaringan
adiposa dan otot jantung.18
Faktor pro-inflamasi dengan efek katabolik telah
diduga merupakan mediator terjadinya kaheksia pada kanker.
Prostaglandin (khususnya, prostaglandin E2) dikenal sebagai
mediator yang berperan pada tumour-induced bone resorption
188
dan sindrom paraneoplastik hiperkalsemia, telah dibuktikan
dalam percobaan pada hewan sebagai memiliki peranan
sebagai mediator katabolisme pada otot skeletal.19
Mediator inflamasi peptida pada kaheksia
diantaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), yang merupakan
pengatur utama otot skeletal, Interleukin-1 (IL-1), tumor
necroes factor (TNF), Interferon-γ (IFNγ), leukaemia inhibitory
factor (LIF), growth/differentiation factor 15 (GDF15) ) dan
TNF-related weak inducer of apoptosis (TWEAK; juga dikenal
sebagai TNFSF12). Mediator tersebut memberi sinyal melalui
reseptor permukaan sel masing-masing dan mengaktifkan
faktor transkripsi selektif, yang pada gilirannya menyebabkan
transkripsi komponen ubiquitin-proteasome dan autofagi.
Molekul sinyaling tersebut oleh tumor atau sel-sel imunitas
dan aktivitasnya menyebabkan terjadinya katabolisme pada
organ target seperti otot rangka.20
Selain sitokin inflamasi, faktor sirkulasi lainnya
menunjukkan aktivitas pro-cachectic terhadap otot skeletal.
Activin A merupakan anggota dari superfamili TGF-β yang
dihasilkan oleh tumor dan sel imunitas tubuh39. Activin A
menyebabkan terjadinya atrofi; ekspresi activin A yang tinggi
pada tikus menyebabkan penurunan berat badan dan
kehilangan massa otot skelet dengan potensi lebih tinggi dari
IL-6. Sitokin pro-kaheksia lainnya adalah TWEAK yang
termasuk keluarga TNF. TWEAK bekerja melalui anggota
superfamili reseptor TNF 12A (TNFRSF12A) dan bila
diekspresikan pada tumor akan berkorelasi dengan kaheksia.
Activin A dan TWEAK dapat meningkatkan terjadinya atrofi
otot pada kelaianan yang bukan disebabkan oleh kanker. Uji
klinis studi intervensi yang menargetkan aktivin A dan TWEAK
189
telah dimulai pada penyakit kanker dan non-kanker. Hasil
penelitian ini dapat menentukan apakah terapi lini tunggal
terhadap activin A, TWEAK atau TNFRSF12A cukup untuk
menyelamatkan atrofi otot pada pasien dengan kanker.21
Pada model tikus, ekspresi E3 ubiquitin-protein
ligase Trim63 (juga dikenal sebagai Murf1) dan F-box,
didapatkan hanya protein 32 (Fbxo32, juga dikenal sebagai
atrogin 1)) yang merupakan bagian dari ATP-dependent jalur
ubiquitin-proteasome memiliki ekspresi sangat meningkat.
Ekspresi unsur-unsur ini sebagian besar dikendalikan oleh
transcription factors forkhead box protein O1 (Foxo1) and
Foxo3 yang diduga berfungsi sebagai simpul regulasi antara
proses anabolik dan katabolik. Pada kondisi fisiologis, RAC
serine / threonine-protein kinase (AKT) memfosforilasi protein
FOXO menyebabkan terjadinya lokalisasi sitoplasma. Pada
kaheksia, aktivitas AKT sering mengalami supresi untuk
mempengaruhi sitokin inflamasi atau untuk menurunkan
kadar insulin-like growth factor I (IGFI) yang merangsang
anabolisme otot. Aktivitas AKT yang menurun menyebabkan
defosforilasi protein FOXO yang menyebabkan degradasi
protein myo-fibrillar terutama protein filamen tebal seperti
rantai berat miosin. AKT juga mengaktifkan serine / threonine-
protein kinase mTOR kompleks 1 (mTORC1) yang akan
mengaktifkan ribosomal protein S6 kinase-β1 (S6K1) dan
menyebabkan efek anabolik pada jaringan otot. 21
Selain itu, faktor-faktor inflamasi seperti sitokin dan
angiotensin II akan mengurangi aktivitas AKT sehingga
menyebabkan induksi katabolisme protein otot. Selain efek
pada otot, faktor transkripsi FOXO memiliki peran penting
dalam mentranskripsi gen yang terlibat dalam sistem autofagi.
190
Dalam kondisi fisiologis, homeostasis otot skeletal
membutuhkan autofagi untuk menghilangkan protein dan
organel yang rusak. Pada kaheksia, peningkatan regulasi gen
autofagi menyebabkan aktivasi jalur autofagi yang berlebihan
yang berkontribusi terhadap peningkatan kerusakan otot
skeletal.22
Penelitian klinis diperlukan untuk memahami peran
masing-masing sintesis dan degradasi protein, sistem
ubiquitin-proteasome, autofagi dan jalur sinyal spesifik pada
mekanisme kehilangan protein otot. Tingkat proteolisis
seluruh tubuh yang diteliti dengan menggunakan pendekatan
pelacak isotop didapatkan meningkat dengan rata-rata 40%.
Pengukuran fluks asam amino steady-state pada pasien kanker
menunjukkan bahwa kehilangan otot tidak selalu disebabkan
oleh peningkatan degradasi protein.23
Pada pemeriksaan analisis RNA dan protein pada
spesimen biopsi otot, komponen jalur ubiquitin-proteasome
dikaitkan dengan penurunan berat badan pada pasien dengan
penurunan berat badan pada pasien dengan kanker.
Penurunan tingkat sintesis protein-otot telah di jelaskan pada
pasien dengan cachexia terkait kanker, seperti penurunan jalur
AKT dan menipisnya protein myofibrillar. Namun, aktivitas AKT
otot tidak selalu berkurang pada model kanker cachexia atau
pada pasien kanker.24
191
Gambar 1. Hubungan antar-organ pada kaheksia pada kanker18
192
molekul ini bertindak secara akut dengan mengikat reseptor
pada populasi neuronal hipotalamus, seperti pro-
opiomelanocortin dan Agouti-related protein neurons yang
menyebabkan katabolisme otot-protein skeletal dan lipolisis.
Studi regulasi CNS pada kaheksia pada kanker sampai saat ini
terbatas pada penelitian kadar sistemik atau pemberian
peptida neuromodularisasi, seperti hormon yang mengatur
nafsu makan.26
193
Gambar 2. Jalur sinyaling yang terlibat dalam atrofi otot sklelet
yang disebabkan kanker21
Penatalaksanaan
Kaheksia pada kanker berevolusi sesuai waktu
sehingga tujuan penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan
tahap evolusi. Mayoritas pasien dengan kanker stadium lanjut
pada paru-paru, pankreas, esofagus, perut, usus dan hati akan
mengalami kaheksia sehingga diperlukan pencegahan dan
penatalaksaan sistematis untuk manajemen pada kasus
tersebut. Uji fase III mengadopsi strategi intervensi dini dimulai
pada pasien dengan penurunan berat badan minimal (≥2%). 2
Sekuele katabolik akibat perawatan kanker dapat
menambah secara substansial keseluruhan penurunan berat
badan. Sebagai contoh, penurunan berat badan pada pasien
yang menerima kemoterapi neoadjuvant untuk kanker
esofagus-lambungn adalah 4,2 kg) 117 atau kemoradioterapi
untuk kanker kepala dan leher adalah 11,4 kg.11
194
Terapi Nutrisi dan Metabolik
Pemberian nutrisi yang adekuat merupakan terapi
utama pada kaheksia pada kanker. Pendekatan lini pertama
meliputi suplemen gizi oral (cairan steril, semi-padat atau
bubuk yang menyediakan macronutrients dan mikronutrien
untuk penderita yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
mereka melalui diet oral) dan konsultasi ahli nutrisi untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan. Penderita
kaheksia dengan penyebab dominan penurunan berat badan
karena defisit asupan makanan (misalnya, mereka yang
menerima kemoterapi dosis tinggi menjelang transplantasi
sumsum tulang, di mana defisit asupan oral dapat melebihi
1.200 kkal per hari), diperlukan manajemen nutrisi aktif
dengan nutrisi enteral dan / atau parenteral).5
Jika asupan makanan tambahan tetap tidak
mencukupi setelah konsultasi diet dan suplemen gizi oral maka
dilakukan eskalasi dengan pemberian nutrisi buatan enteral
atau parenteral. Obat-obat orexigenic (perangsang nafsu
makan) telah dikembangkan untuk mengatasi rendahnya nafsu
makan pada pasien-pasien dengan kaheksia. Kanabinoid,
kortikosteroid, dan progestogen memiliki peranan sebagai
perangsang nafsu makan namun penggunaannya dibatasi oleh
efek samping dari obat-obat tersebut. Kortikosteroid dapat
meningkatkan nafsu makan namun menyebabkan terjadinya
atrofi otot skelet. Progestogen dapat menyebabkan atrofi otot
dan meningkatkan risiko tromboemboli. Terapi baru untuk
meningkatkan asupan makanan saat ini sedang diteliti
diantaranya adalah growth hormone secretagogue receptor
type 1 (reseptor ghrelin) agonists dan reseptor melanocortin 4
antagonis; Obat-obat tersebut bekerja pada hipotalamus
195
dengan mengatur nafsu makan dan perasaan kenyang, dan t
memiliki efek sistemik meningkatkan anabolisme protein dan
penyimpanan energi.28
Defisit anabolik sebagian dapat diatasi dengan
pemeliharaan aktivitas fisik. Penderita harus diberi dukungan
agar mereka dapat berolahraga dalam kapasitas aman.13,121.
Pasien kanker yang menjalani perawatan onkologi aktif
menunjukkan bahwa latihan aerobik, latihan ketahanan dan
kombinasi keduanya meningkatkan kekuatan otot tubuh
bagian atas dan bawah dibandingkan dengan perawatan
biasa.28
Symptom Control
Kaheksia umumnya disertai dengan berbagai kondisi
komorbiditas, respon pengobatan kanker dan toksisitas serta
nyeri dan gejala lainnya. Gejala merupakan sumber yang cukup
besar dari heterogenitas klinis pada pasien yang kehilangan
berat badan dan dapat berubah dengan cepat selama
perjalanan penyakit dan rencana pengobatan. Tatalaksana
yang baik pada gejala nyeri dan dan gejala lainnya memiliki
peranan penting dalam tatalaksana kaheksia. Penyebab
penurunan berat badan yang berpotensi reversibel harus
dikenali dan dikelola dengan tepat sehingga dapat segera
dilakukan intervensi.29
Penurunan berat badan harus ditatalaksana sesuai
dengan penyebabnya disertai tatalaksnan efektif untuk gejala
nyeri, mual, muntah, masalah gigi, disfagia, obstruksi esofagus,
malabsorpsi, gangguan endokrin dan metabolisme,
kecemasan, depresi dan insomnia. Pendekatan tim
multidisipliner untuk perawatan suportif diperlukan. Layanan
klinis diperlukan dengankemitraan antara dokter, perawatan
196
paliatif dan komunitas onkologi sehingga didapatkan
manajemen yang efisien dari gejala yang berkontribusi
terhadap kaheksia.29
Tatalaksana Multimodal
Kompleksitas kaheksia pada kanker membutuhkan
strategi penilaian yang berfokus pada asupan makanan, rasa
sakit dan gejala, khehilangan spesifik massa otot dan lemak,
faktor katabolik, beban tumor, inflamasi sistemik dan
perubahan status endokrin serta kondisi klinis, konsekuensi
fungsional dan psikososial dari penyakit tersebut. Pendekatan
multimodal pada berbagai segi dari kaheksia kemungkinan
akan menjadi pendekatan yang optimal.30
Daftar Pustaka
1. Baracos VE, Martin L, Korc M, Guttridge DC, Kenneth CH, Fearon
KCH. Cancer-associated cachexia. Nature Reviews 2018;4: 1-18
2. DeWys WD. Pathophysiology of cancer cachexia: current
understanding and areas for future research. Cancer Res. 1982;
42 (Suppl.) : 721s–726s.
3. Fearon, K. et al. Definition and classification of cancer cachexia:
an international consensus. Lancet Oncol. 2012; 12 : 489–495.
4. Kazemi-Bajestani SMR, Mazurak VC, Baracos V. Computed
tomography-defined muscle and fat wasting are associated with
cancer clinical outcomes. Semin. Cell Dev. Biol. 2016; 54, 2–10.
5. Arends J. ESPEN guidelines on nutrition in cancer patients. Clin.
Nutr. 2017; 36, 11–48.
6. Pressoir, M. Prevalence, risk factors and clinical implications of
malnutrition in French Comprehensive Cancer Centres. Br. J.
Cancer 2010; 102: 966–971
7. Bozzetti F. Screening the nutritional status in oncology: a
preliminary report on 1,000 outpatients. Support. Care Cancer
2009; 17 : 279–284.
8. Segura A. An epidemiological evaluation of the prevalence of
malnutrition in Spanish patients with locally advanced or
metastatic cancer. Clin. Nutr. 2005; 24 : 801–814.
9. Hébuterne X. Prevalence of malnutrition and current use of
nutrition support in patients with cancer.
10. Amano K. C-Reactive protein, symptoms and activity of daily living
in patients with advanced cancer receiving palliative care. J.
Cachexia Sarcopenia Muscle 2017; 8: 457–465
11. Kubrak C.. Clinical determinants of weight loss in patients
receiving radiation and chemoirradiation for head and neck
cancer: a prospective longitudinal view. Head Neck 2012; 35 :
695–703.
198
12. Silver HJ, Dietrich MS, Murphy BA. Changes in body mass, energy
balance, physical function, and inflammatory state in patients
with locally advanced head and neck cancer treated with
concurrent chemoradiation after low-dose induction
chemotherapy. Head Neck 2007; 29: 893–900.
13. Engelen MP, Klimberg, VS, Allasia A. Deutz NEP. Presence of
early stage cancer does not impair the early protein metabolic
response to major surgery. J. Cachexia Sarcopenia Muscle 2017;
8: 447–456.
14. Engelen MP, Safar AM, Bartter T, Koeman F, Deutz NEP. High
anabolic potential of essential amino acid mixtures in advanced
nonsmall cell lung cancer. Ann. Oncol. 2016; 26: 1960–1966.
15. Hall KD, Baracos VE. Computational modeling of cancer cachexia.
Curr. Opin. Clin. Nutr. Metab. Care 2008; 11: 214–221
16. Beck SA, Tisdale MJ. Effect of cancer cachexia on
triacylglycerol/fatty acid substrate cycling in white adipose tissue.
Lipids 39, 1187–1189 (2004).
17. Friesen DE, Baracos, VE, Tuszynski JA. Modeling the energetic
cost of cancer as a result of altered energy metabolism:
implications for cachexia. Theor. Biol. Med. 2015; 12: 17.
18. Murphy KT. The pathogenesis and treatment of cardiac atrophy
in cancer cachexia. Am. J. Physiol. Heart Circ. Physiol.2016; 310:
H466–H477.
19. Tashjian AH. Role of prostaglandins in the production of
hypercalcemia by tumors. Cancer Res. 1978: 38: 4138–414.
20. Fearon KCH, Glass DJ, Guttridge, DC. Cancer cachexia: mediators,
signaling, and metabolic pathways. Cell Metab.2012: 16: 153–
166.
21. Sato S, Ogura Y, Tajrishi MM, Kumar A. Elevated levels of TWEAK
in skeletal muscle promote visceral obesity, insulin resistance,
and metabolic dysfunction. FASEB J. 2015: 29: 988–1002.
22. Milan G. Regulation of autophagy and the ubiquitin-proteasome
system by the FoxO transcriptional network during muscle
atrophy. Nat. Commun. 2015: 6: 6670
23. Gallagher IJ. Suppression of skeletal muscle turnover in cancer
cachexia: evidence from the transcriptome in sequential human
muscle biopsies. Clin. Cancer Res.2012: 18: 2817–2827.
199
24. Stephens NA. Evaluating potential biomarkers of cachexia and
survival in skeletal muscle of upper gastrointestinal cancer
patients. J. Cachexia Sarcopenia Muscle2015: 6: 53–61.
25. Burfeind, KG, Michaelis, KA, Marks DL. The central role of
hypothalamic inflammation in the acute illness response and
cachexia. Semin. Cell Dev. Biol. 2016: 54: 42–52.
26. DeBoer MD. Ghrelin and cachexia: will treatment with GHSR-1a
agonists make a difference for patients suffering from chronic
wasting syndromes? Mol. Cell. Endocrinol. 2011; 340: 97–105
27. Rohm M. An AMP-activated protein kinase– stabilizing peptide
ameliorates adipose tissue wasting in cancer cachexia in mice.
Nat. Med. 2016; 22: 1120–1130
28. Stene GB. et al. Effect of physical exercise on muscle mass and
strength in cancer patients during treatment — a systematic
review. Crit. Rev. Oncol. Hematol. 2013; 88: 573–593
29. Smith TJ. American Society of Clinical Oncology provisional
clinical opinion: the integration of palliative care into standard
oncology care. J. Clin. Oncol.2012; 30: 880–887
30. Aapro, M. et al. Early recognition of malnutrition and cachexia in
the cancer patient: a position paper of a European School of
Oncology Task Force.
Ann. Oncol.2014; 25: 1492–1499.
200
Patofisiologi dan Tatalaksana Nyeri Kanker
Dimmy Prasetya
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
202
title>JAMA Oncol.</full-title></periodical><pages>505-
527</pages><volume>1(4)</volume><dates><year>20
13</year></dates><urls></urls></record></Cite></End
Note> HYPERLINK \l "_ENREF_1" \o "Brevik, 2009 #2"
1 , HYPERLINK \l "_ENREF_2" \o "Collaboration, 2013
#1" 2
203
4. Modulasi : descending inhibition dan fasilitasi input
yang mempengaruhi transmisi nociceptive pada
tingkat medulla spinalis.4
205
Mekanisme nyeri kanker terutama pada stadium
lanjut melalui beberapa mekanisme :
❖ Kerusakan jaringan dan inflamasi
❖ Stimulus noxious Mekanik, kimiawi dan
thermal
❖ Eksitabillitas dan sensitisasi ujung saraf tepi,
akibat dari rangangan transmitter (proton,
ion kalium, ATP, bradykinin, prostaglandin,
serotonin dan leukotrient)
❖ Sinyal elektrik aberan, peningkatan transmisi
dan aktivasi postsynap yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf yang melepaskan asam
amino (glutamate, substan P).
❖ Sensitisasi sentral akibat dari aktivasi
reseptor NMDA
❖ Metastasis tulang1,2
3. Evaluasi nyeri kanker
Evaluasi nyeri pada penderita kanker
❖ Percayailah keluhan nyeri pasen
❖ Luangkan waktu diskusikan keluhan nyeri
dengan pasen
❖ skala nyeri
❖ anamnesis nyeri secara detail
❖ pemeriksaan fisik lengkap
❖ pemilihan analgetika untuk terapi nyeri
❖ monitor hasil pengobatan
Tingkat berat nyeri tidak bisa diukur secara
obyektif, saat ini untuk praktik sehari hari
penilaian nyeri menggunakan skala nyeri.
Terdapat beberapa skala yang bisa digunakan
206
seperti skala angka, skala verbal dan visual. Skala
angka merupakan yang paling umum digunakan,
pasen menyebutkan tangka nyerinya dari 0 (tidak
ada nyeri) sampai 10 (sangat nyeri). Visual
analogue scale (VAS) dengan menggunakan garis
10 cm dan pasien diminta untuk menunjukkan
dimana rasa nyerinya, kemudian kita ukur dengan
penggaris.6
207
Gambar 3. Alur pemilihan obat analgetik berdasarkan WHO step
ledder6
209
bersamaan dengan obat non opioid yang
sudah ada sebelumnya (step 1 WHO).6,7
Tabel1. Dosis equivalen opioid potensi kuat7
210
IV. Kesimpulan
1. Nyeri kanker harus merupakan penilaian paling
awal pada modalitas terapi kanker itu sendiri.
2. Panduan WHO step ledder analgetic sampai saat ini
masih valid digunakan dengan penyesuaian
pemilihan obat yang lebih fleksibel pada tingkat
nyeri sedang-berat
3. Opioid potensi kuat meruakan pilihan analgetik
pada nyeri tingkat sedang-berat yang harus
diberikan tanpa keraguan dengan dosis titrasi
sesuai dengan evaluasi tingkat nyeri.
4. Dapat dilakukan pengalihan (switching) antara satu
golongan opioid kerja kuat dengan golongan
lainnya sesuai kebutuhan dan dosis equivalennya.
Daftar Pustaka
ADDIN EN.REFLIST 1. Brevik H, Chemy N, Collett B, Conno Fd,
Filbet M, Foubert AJ, et al. Cancer-related pain: a pan European
survey of prevalence, treatment, and patien attitudes Annals of
Oncology. 2009;20:1420-33.
2. Collaboration GBoDC. The Global Burden of Cancer. JAMA Oncol.
2013;1(4):505-27.
3. Force It. Descroption of chronic pain syndrome and definition of
pain terms. 1994.
4. Gold MS, Gebhart GF. Nociceptor sensitization in pain
pathogenesis. NatMed. 2010:1-10.
5. Cohen SP, Mao J. Neuropathic pain: mechanism and their clinical
implication. BMJ;348:f7656. 2014.
6. Ripamonti CI, Santini D, Maranzano E, Berti M, Roila F.
mangement of cancer pain: ESMO clinical practice guidelines.
annal oncol. 2012;23:1-16.
7. Teoh PJ, Camm CF. NICE opioid in paliative care. Annals of medical
and surgical 2012;1:44-8.
211
212
Patofisiologi dan Tatalaksana Gangguan Psikologi
Pasien Kanker
Santi Andayani
KSM Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Kanker merupakan salah satu penyakit kronis yang angka
kejadiannya meningkat setiap tahun. Setiap penyakit fisik yang
dialami seseorang tidak hanya mengenai fisik, tetapi juga
dapat memengaruhi kondisi psikologik dan kehidupan
sosialnya. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien kanker,
gangguan psikologik sering dijumpai sebagai akibat kanker
tersebut. Tatalaksana kanker dan gangguan psikologik pada
pasien kanker memerlukan peran dari banyak pihak, baik
pasien, petugas kesehatan maupun keluarga, sehingga penting
untuk mengetahui patofisiologi serta tatalaksama gangguan
psikologik untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik
bagi pasien kanker.
214
bertujuan untuk mengembalikan kontrol homeostatis dan
membantu proses adaptasi. Respon hormonal jaras HPA telah
lama dianggap merupakan reaksi fisiologik non spesifik dari
stimuli yang berlebihan terutama rangsangan emosional yang
berhubungan dengan situasi stres.
Pada kondisi stres terjadi hiperaktivitas jaras HPA, nukleus
paraventrikular di hipotalamus akan mengeluarkan CRH
(corticotropin releasing hormone) yang memicu kelenjar
hipofise anterior mensekresikan ACTH (adrenocorticotropic
hormone) yang akan mengaktifkan korteks adrenal untuk
mengeluarkan glukokortikoid (kortisol). Terdapat mekanisme
umpan balik negatif dari glukokortikoid yang dihasilkan
terhadap sekresi CRH dan ACTH, sehingga tubuh akan selalu
dalam kondisi keseimbangan baik terhadap peningkatan atau
penurunan kadar glukokortikoid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal.
Kortisol merupakan mediator utama pada respon stres
fisiologik dan memengaruhi berbagai sistem di tubuh untuk
bereaksi terhadap stresor, sehingga kadar kortisol ini yang
sering digunakan sebagai indeks respon stres. Peningkatan
kadar kortisol yang akut dan sementara merupakan suatu hal
yang adaptif, namun peningkatan kadar dalam waktu yang
lama memiliki dampak yang negatif. Peningkatan kadar
kortisol jangka panjang akan menurunkan fungsi negative
feedback. Respon emosional negatif akan mengganggu
pengaturan jaras HPA. (Novak et al, 2013)
215
Gambar Sistem Respon Stres
216
Patofisiologi Gangguan Psikologik
Respon stres melibatkan beberapa sistem yang terdapat dalam
tubuh, yaitu jaras hypotalamic pituitary adrenal (HPA), sistem
saraf otonom, sistem metabolik dan sistem imun. Otak
merupakan organ kunci yang berperan sebagai mediator
utama reaktivitas stres dan target ketahanan stres serta proses
kerentanan karena menentukan dan mengatur respon perilaku
dan fisiologis terhadap stres tertentu. Beberapa area di otak
yang berperan dalam respon stres meliputi hipokampus,
amigdala dan area kortek prefrontal. Beberapa sistem yang
terdapat di area ini bersama-sama berperan pada pengelolaan
respon terhadap stres fisiologis maupun perilaku sehingga
terjadi adaptasi pada jangka waktu pendek atau maladaptif
pada jangka panjang.
Selain memengaruhi jaras HPA, stres juga akan menginduksi
katekolamin melalui jaras simpatik adrenal medulllary. Pada
saat terpapar stres, lapisan dalam medulla adrenal
mengeluarkan adrenalin dan noradrenalin, dua
neurotransmiter yang merupakan komponen penting pada
fight or flight response.
Respon terhadap stres berupa peningkatan glukokortikoid
akan membantu penghentian respon fight and flight. Pada
kondisi stres akut, respon jaras HPA memiliki efek positif
termasuk memperbaiki mood yang positif, namun apabila
peningkatan glukokortikoid terjadi dalam waktu yang lama
atau sering akan mengancam viabilitas saraf dan
meningkatkan risiko penyakit-penyakit fisik yang terkait stres
(disfungsi kognitif, hipertensi, diabetes, dll.) dan gangguan
psikologik (kecemasan, depresi, adiksi obat, dll.). Stres yang
berulang atau kronik akan memengaruhi kemampuan umpan
217
balik negatif sehingga produksi kortisol akan berlebih pada
awal tetapi bisa menjadi sangat berkurang pada tahap
selanjutnya, sementara sistem stres yang lain masih
hiperresponsif. Hal ini terjadi karena hilangnya kontrol dari
kortisol (loss of counter regulatory control).
218
Beberapa masalah psikososial yang sering dialami oleh pasien
kanker adalah perubahan citra tubuh, perubahan peran dalam
keluarga dan pekerjaan, perubahan dimensi sosial dan
hubungan interpersonal, serta timbulnya gejala
neuropsikiatrik.
219
Beberapa gangguan psikiatrik yang sering terjadi adalah
gangguan mood, gangguan cemas, gangguan kognitif, dan
gangguan psikotik. Pada umumnya pasien kanker yang
menderita penyakit ini akan mengalami gejala ganguan
psikiatrik seperti kemarahan, kesedihan, kecemasan, dan
kehilangan harapan. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan
baik, dampaknya akan menurunkan kualitas hidup. Harapan
hidup pasien kanker yang mengalami gangguan psikiatrik
biasanya lebih pendek.
Rasa marah pasien saat menghadapi kenyataan bahwa dirinya
mengidap kanker dengan segala macam tindakan yang akan
dihadapi, membuatnya akan merasa tidak nyaman dengan
dirinya dan frustasi karena keadaaan yang sulit untuk diatasi.
Selain itu, kehilangan kemampuan untuk mandiri merupakan
salah satu hal yang ditakuti oleh pasien. Sikap kemarahan ini
jika tidak ditangani dapat mengakibatkan gejala depresi.
Pasien yang kehilangan harapan, semakin malas untuk
berinteraksi dengan orang lain dan mengisolasi dirinya.
Kehilangan motivasi dengan perawatan yang berkepanjangan
tentunya sangat melelahkan. Gejala depresi juga berkaitan
dengan aktivitas saraf otonom. Pasien akan mengalami
jantung yang berdebar, sesak napas, serta rasa kelelahan
karena tegang yang berlebihan. Hal ini pun akan dikaitkan
dengan perasaan takut akan hilangnya intregitas diri,
hilangnya kepercayaan diri karena memiliki tubuh yang tidak
sempurna.
220
untuk memberikan dukungan agar pasien mampu
mengekspresikan emosinya. Keterlibatan keluarga dan orang-
orang terdekat pasien untuk menemani dan mendukung
selama menjalani perawatan akan membuat pasien merasa
termotivasi, sehingga tidak merasa sendiri dan terisolasi.
Intervensi didasarkan pada empati dan kasih sayang serta
fokus yang mendalam pada kehidupan pasien, serta pengaruh
kanker pada kehidupan sehari-hari.
Prinsip perawatan paliatif pada pasien kanker adalah
meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup pasien
kanker, sekalipun penyakitnya tidak dapat disembuhkan.
namun pasien harus diminimalkan dalam penderitaannya.
Penanganan paliatif harus komprehensif meliputi sisi fisik,
psikologik, sosial dan spiritual. Berbagai intervensi dapat
dilakukan baik secara farmakologik maupun non farmakologik.
Tatalaksana farmakologik
Pemberian anti depresi, anti cemas dan anti psikotik terbukti
efektif. Pemilihan jenis obat tentunya berdasarkan kondisi
pasien dan indikasi.
221
Simpulan
Pasien yang mendapatkan diagnosis kanker akan mengalami
perubahan dalam kehidupannya, baik secara fisik, psikologik
maupun sosial. Sangat penting bagi para profesional
perawatan kanker untuk menyediakan perawatan terpadu dan
komprehensif dalam tatalaksana pasien kanker.
Referensi
McEwen BS, Gianaros PJ. Central role of the brain in stress and
adaptation: Links to sosioeconomic status, health, and disease.
Ann NY Acad Sci. February 2010; 1186: 190-220
Juruena MF, Cleare AJ, Pariante CM. The Hypothalamic
Pituitary Adrenal Axis, Glucocorticoid receptor function and
relevance to depression. Rev Bras Pisquiatr 2004; 26(3): 189-
201
Grassi L, Spiegel D, Riba M. Advancing psychosocial care in
cancer patients. December 2017
Gorban LM. The psychosocial impact of cancer on the
individual, family, and society. Oncology Nyrsing Society. 2006.
Yadav P, Jaroli DP. Psycological and behavioral changes in
cancer patients and their atittude toward the stressful
condition and physiological changes. Journal of Solid Tumor.
Vol. 1 No. 1. Agustus. 2001
222
Title: Incorporation of Brentuximab Vedotin in the
Treatment of Lymphoma: Current Evidence and
Potential Use in Indonesia.
Purwanto I1
1. Associate Professor, Department of Internal
Medicine, Hematology and Medical Oncology Division,
Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Email:
dribnupwt@yahoo.com.
223
CD30 is expressed in 14-25% of B cell lymphoid malignancies
and 90% of T cell lymphoid malignancies (5,6,7).
Overexpression of CD30 contributes towards
lymphomagenesis through anti-apoptotic mechanism,
resulting in cell survival (8). Inhibition of CD30 by brentuximab
vedotin has been proven to be efficacious in lymphoma
patients expressing CD30, both in HL and NHL. First significant
result came from a phase 2 study by Younes et al, which
demonstrated 75% ORR in relapsed or refractory HL patients
with 34% patients experiencing complete remission (9).
Similarly, positive result was also observed in a phase 3
AETHERA trial assessing the effectiveness of brentuximab
vedotin given as early consolidation after autologous stem-cell
transplantation. In this trial, brentuximab arm showed
significantly improved progression-free survival (PFS), with a
stratified hazard rate (HR) of 0.57, equivalent to a 43%
reduction in the HR for PFS. The median PFS in the
brentuximab arm was 42.9 months vs. 24.1 months in the
placebo arm (10). Both trials showed manageable safety
profile with peripheral neuropathy and neutropenia reported
to be the most common side effects (9,11). Given as
combination with gemcitabine, 57% of pediatric and young
adult patients with relapsed or refractory HL showed complete
response within the first four cycles of treatment and 31%
patients experienced partial response or stable disease after
cycle 4 (12).
226
Bibliography
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser R, Mathers C, Rebelo
M, et al. Cancer incidence and mortality worldwide: sources,
methods and major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer.
2015 Mar; 136(5):E359-86.
2. Moccia AA, Donaldson J, Chhanabhai M, Hoskins PJ, Klasa RJ,
Savage KJ, et al. International Prognostic Score in advanced-
stage Hodgkin's lymphoma: altered utility in the modern era. J
Clin Oncol. 2012 Sep; 30(27): 3383-8.
3. Sehn LH, Berry B, Chhanabhai M, Fitzgerald C, Gill K, Hoskins P,
et al. The revised International Prognostic Index (R-IPI) is a
better predictor of outcome than the standard IPI for patients
with diffuse large B-cell lymphoma treated with R-CHOP.
Blood. 2007 Mar; 109(5): 1857-61.
4. DeVita VT. DeVita, Hellman, and Rosenberg's Cancer: Principles
& Practice of Oncology. 8th ed. DeVita VT, Lawrence TS,
Rosenberg SA, editors. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2008.
5. Hu S, Xu-Monette ZY, Balasubramanyam A, Manyam GC, Visco
C, et al. CD30 expression defines a novel subgroup of diffuse
large B-cell lymphoma with favorable prognosis and distinct
gene expression signature: a report from the International
DLBCL Rituximab-CHOP Consortium Program Study. Blood.
2013 Apr; 121(14): 2715-24.
6. Slack GW, Steidl C, Sehn LH, Gascoyne RD. CD30 expression in
de novo diffuse large B-cell lymphoma: a population-based
study from British Columbia. Br J Haematol. 2014 Dec; 167(5):
608-17.
7. Onaindia A, Martínez N, Montes-Moreno S, Almaraz C,
Rodríguez-Pinilla SM, et al. CD30 Expression by B and T Cells: A
Frequent Finding in Angioimmunoblastic T-Cell Lymphoma and
Peripheral T-Cell Lymphoma-Not Otherwise Specified. Am J
Surg Pathol. 2016 Mar; 40(3): 378-85.
8. van der Weyden CA, Pileri SA, Feldman AL, Whisstock J, Prince
HM. Understanding CD30 biology and therapeutic targeting: a
227
historical perspective providing insight into future directions.
Blood Cancer J. 2017 Sep; 7(9): e603.
9. Younes A, Gopal AK, Smith SE, Ansell SM, Rosenblatt JD, et al.
Results of a pivotal phase II study of brentuximab vedotin for
patients with relapsed or refractory Hodgkin's lymphoma. J
Clin Oncol. 2012 Jun; 30(18): 2183-9.
10. Moskowitz CH, Nademanee A, Masszi T, Agura E, Holowiecki J,
et al. Brentuximab vedotin as consolidation therapy after
autologous stem-cell transplantation in patients with Hodgkin's
lymphoma at risk of relapse or progression (AETHERA): a
randomised, double-blind, placebo-controlled, phase 3 trial.
Lancet. 2015 May; 385(9980): 1853-62.
11. Nademanee A, Sureda A, Stiff P, Holowiecki J, Abidi M, et al.
Safety Analysis of Brentuximab Vedotin from the Phase III
AETHERA Trial in Hodgkin Lymphoma in the Post-Transplant
Consolidation Setting. Biol Blood Marrow Transplant. 2018
May; pii: S1083-8791(18)30298-2.
12. Cole PD, McCarten KM, Pei Q, Spira M, Metzger ML.
Brentuximab vedotin with gemcitabine for paediatric and
young adult patients with relapsed or refractory Hodgkin's
lymphoma (AHOD1221): a Children's Oncology Group,
multicentre single-arm, phase 1-2 trial. Lancet Oncol. 2018
Sep; 19(9): 1229-38.
13. Abramson JS, Arnason JE, LaCasce AS, Redd R, Barnes JA, et al.
Brentuximab vedotin plus AVD for non-bulky limited stage
Hodgkin lymphoma: A phase II trial. J Clin Oncol. 2015; 33(15
Suppl.): 8505.
14. Kumar A, Casulo C, Yahalom J, Schöder H, Barr PM, et al.
Brentuximab vedotin and AVD followed by involved-site
radiotherapy in early stage, unfavorable risk Hodgkin
lymphoma. Blood. 2016 Sep; 128(11): 1458-64.
15. Connors JM, Jurczak W, Straus DJ, Ansell SM, Kim WS, et al.
Brentuximab Vedotin with Chemotherapy for Stage III or IV
Hodgkin's Lymphoma. N Engl J Med. 2018 Jan; 378(4): 331-44.
16. Eichenauer DA, Plütschow A, Kreissl S, Sökler M, Hellmuth JC,
et al. Incorporation of brentuximab vedotin into first-line
228
treatment of advanced classical Hodgkin's lymphoma: final
analysis of a phase 2 randomised trial by the German Hodgkin
Study Group. Lancet Oncol. 2017 Dec; 18(12): 1680-7.
17. Gibb A, Pirrie S, Linton K, Paterson K, Davies A, et al. Results of
a phase II study of brentuximab vedotin in the first line
treatment of Hodgkin lymphoma patients considered
unsuitable for standard chemotherapy (BREVITY). Hemmatol
Oncol. 2017; 35(Suppl.2): 80–81.
18. Jacobsen ED, Sharman JP, Oki Y, Advani RH, Winter JN, et al.
Brentuximab vedotin demonstrates objective responses in a
phase 2 study of relapsed/refractory DLBCL with variable CD30
expression. Blood. 2015 Feb; 125(9): 1394-402.
19. Yasenchak CA, Farber CM, Budde LE, Ansell SM, Advani R, et al.
Brentuximab Vedotin in Combination with RCHOP As Front-
Line Therapy in Patients with DLBCL: Interim Results from a
Phase 2 Study. Blood. 2014; 124(21): 1745.
20. Ranuhardy D, Suzanna E, Sari RM, Hadisantoso DW, Andalucia
R, Abdillah A. CD30, CD15, CD50, and PAX5 Expressions as
Diagnostic Markers for Hodgkin Lymphoma (HL) and Systemic
Anaplastic Large Cell Lymphoma (sALCL). Acta Med Indones.
2018 Apr; 50(2): 104-9.
229
230
How should we personalize front-line therapy in mCRC?
Hery Aprijadi
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncolgy Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Prognosis metastatic colorectal cancer (mCRC) saat ini masih
rendah dengan survival 5 tahun berkisar 13%. Terdapat banyak
faktor-faktor penentu terapi antara lain presentasi klinis,
biologi tumor (sebaran metastasis, progresivitas, dan marker
biokimia dan molekuler), penyakit komorbid, faktor
sosioekonomi serta toksisitas terapi. Akhir-akhir ini para
peneliti mendapatkan obat-obat baru sehingga strategi
pengobatan menjadi bervariasi dan kompleks. Tujuan
kemoterapi pada mCRC bersifat paliatif dan meningkatkan
kualitas hidup. Berikut ini secara singkat pendekatan
pengobatan kanker kolorektal metastatik.
Biomarker prediktif
Perkembangan biomarker prediktif pada mCRC yang
dikembangkan sejak 10 tahun terakhir membantu klinisi dalam
terapi lini pertama mCRC. Mutasi onkogen RAS (KRAS dan
NRAS) didapatkan pada separuh penderita mCRC, yang
menyebabkan aktivasi jalur RAS-RAF-ERK dan resisten
terhadap terapi anti-EGFR. Adanya mutasi pada RAF.
Khususnya BRAF V600E didapatkan pada 5-18% ca colon dan
231
prognosisnya buruk. Pada kelompok dengan RAS wild-type,
penelitian menunjukkan letak tumor primer dapat
memprediksi respons terapi anti-EGFR, yaitu bila letaknya di
sisi kiri memberikan survival yang signifikan dibandingkan bila
letaknya di sisi kanan. mCRC juga memperlihatkan instabilitas
mikrosatelit (MSI) sekitar 4-9% yang disebabkan oleh genotip
dengan mismatch repair deficiency (dMMR). Terapi PD1-
blockade menunjukkan respons lebih baik pada mCRC dengan
status MSI-high.
232
Lokasi tumor primer mCRC WT: kiri dan kanan
Asal embriologi colon dikotomus. Colon kanan proksimal
berasal dari midgut sedangkan colon kiri distal berasal dari
hindgut. Pada trial E2290 ternyata pasien dengan mCRC sisi kiri
pada pemberian leucovorin-5FU memberikan OS lebih panjang
(15,8 vs 10,9; P<0,001). Pada studi cohort RAS WT
CALBG/SWOG80405 didapatkan pasien dengan tumor sisi kiri
mempunyai OS lebih panjang (33,3 vs19,4; P<0,001). Lokasi
tumor juga dapat memprediksi respons terapi biologi yaitu
19,3 bulan lebih lama pada tumor kiri yang mendapat
cetuximab (36 vs 16,7 bulan; P<0,001). Hal yang sama juga
pada pasien yang mendapat bevacizumab.
233
Tabel 1. perbandingan respons kemoterapi berdasarkan lokasi
tumor mCRC mutasi RAS dan BRAF
234
Pada kondisi pasien yang baik dengan gejala simtomatik yang
berat, intensifikasi terapi dengan triplet 5-FU/leucovorin,
oxaliplatin dan irinotecan (FOLFOXIRI) dapat merupakan
pilihan. Grup GONO membandingkan FOLFOXIRI dan FOLFIRI
menunjukkan peningkatan RR (60% vs 35%; P<0,001), tetapi
efek samping meningkat seperti neurotoksisitas, stomatitis,
diare dan neutropenia. Hal yang sama juga bila bevacizumab
ditambahkan pada FOLFOXIRI memberikan peningkatan
signifikan pada median OS (29,8 vs 25,8 bulan; P=0,03).
Gambar 2 menunjukkan algoritme penatalaksanaan mCRC
berdasarkan ESMO guidelines.
Terapi pemeliharaan
Setelah terapi induksi, terapi pemeliharaan merupakan pilihan
khususnya pasien dengan kemoterapi berbasis oxaliplatin.
Terapi pemeliharaan kombinasi capecitabine plus
235
bevacizumab ditunjukkan pada CAIRO 3 dan AIO0207
memperpanjang PFS. Pasien yang mendapat FOLFIRI dapat
dilanjutkan sepanjang pengecilan tumor berlanjut dan efek
samping dapat ditoleransi.
236
Defisiensi mismatch repair (dMMR) mCRC
MMR merupakan sistem pertahanan integritas DNA. Peran
utama MMR adalah mengoreksi mismatch (insersi dan delesi)
nukleotida. Sel yang mengalami mutasi pada gen tertentu akan
melakukan kesalahan dalam membuat kopi DNA di dalam sel.
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kanker.
dMMR menyebabkan akumulasi mutasi somatik. Anti-PD-1
pembrolizumab menunjukkan respons yang baik pada pasien
mCRC progresif yang refrakter terhadap kemoterapi. Hal ini
menunjukkan dengan inhibisi PD-1 mengakibatkan sistem
imun mampu mengenal neoantigen yang berasal dari tumor
dMMR dengan mutasi tinggi, yang diketahui dari fenotipe MSI
nya.
Simpulan
Perkembangan penemuan obat-obat baru dan pengelolaan
interdisiplin ilmu menyebabkan meningkatnya survival pasien
mCRC. Sejumlah pilihan terapi meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. Karakteristik tumor antara
lain biologi tumor, marker biologi, letak tumor, sebaran tumor
serta faktor komorbid menentukan jenis terapi dan prognosis
penderita mCRC.
237
Daftar pustaka
1. King GT, Lieu CH, Messersmith WA. Frontline strategies for
metastatic colorectal cancer: new side to the story. AJHO
2016;12 (10):4-11.
2. Holch J, Stintzing S, Heinemann V. treatment of metastatic
colorectal cancer: standard of care nad future perspective.
Visc Med 2016;32:178-83.
3. Vogel A, Hofheinz RD, Kubicka S, Arnold D. treatment
decisions in metastatic colorectal cancer-Beyond first and
second line combination therapies. Cancer Treat Rev
2017;59:54-60.
4. Cutsem EV, Cervantes A, Adam R, Sobrero A, Van Krieken JH,
et al. ESMO consensus guidelines for the management of
patients with metastatic colorectal cancer. Annals of Oncol
2016;27:1386-422.
5. Salvatore L, Aprile G, Arnoldi E, Aschele C, Carnaghi C, et al.
management of metastatic colorectal cancer patients:
guidelines of the Italian medical oncology association
(AIOM). Esmo open 2017.
238
Limfoma Non Hodgkin Agresif :
tatalaksana terkini
Amaylia Oehadian
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Pendahuluan
Di Indonesia pada tahun 2008-2012 limfoma merupakan
keganasan yang paling sering ditemukan, angka kejadian
peringkat ke-9 pada wanita dan ke-6 pada laki laki. Limfoma
merupakan keganasan dengan urutan ke-5 yang paling sering
ditemukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan
Sadikin pada periode tahun 2008-2012 (peringkat ke 3 pada
laki-laki dan ke 6 pada wanita). Limfoma Non Hodgkin (NHL)
agresif adalah tipe limfoma yang tumbuh dan menyebar
dengan cepat dan mempunyai simptom yang berat. Limfoma
Non Hodgkin agresif juga dikenal sebagai High-Grade limfoma
dan intermediate-grade limfoma. Di RSUP Dr. Hasan Sadikin,
limfoma tipe agresif adalah 98,9% dari seluruh limfoma selama
tahun 2008-2014.
Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan 30-58%
penderita non Hodgkin lymphoma.1
239
Pada makalah ini akan dibahas faktor risiko, diagnostik,
prognosis, prinsip terapi dan penelitian terbaru terapi limfoma
non Hodgkin dengan fokus pada tipe Diffuse large B cell
lymphoma
Faktor risiko
Faktor risiko DLBCL antara lain.1 :
• Riwayat keluarga dengan limfoma
• Penyakit autoimun
• Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV)
• Infeksi hepatitis C
• Indeks massa tubuh yang tinggi
• Usia dewasa muda
Diagnosis
• Biopsi eksisi merupakan metode yang optimal untuk
diagnosis
Biopsi eksisi memungkinkan untuk mendapatkan
gambaran struktur kelenjar getah bening dan bahan
yang adekuat untuk pemeriksaan fenotipe dan
molekuler dan flowsitometri serta ekstraksi DNA dan
RNA.1
• Imunohistokimia
Panel imunohistokimia yang direkomendasikan adalah
CD20, CD79a, BCL6, CD10, MYC, BCL2, Ki67, IRF4,
CyclinD1, CD5 and CD23.1
• Gene expression profiling (GEP)
Penentuan fenotipe asal sel dengan gene expression
profiling merupakan faktor prognosis utama pada
DLBCL.
240
Terdapat 3 tipe fenotipe DLBCL yaitu :
• Fenotipe germinal center (GCB) .1
• Fenotipe activated B cell (non GCB) .1
• Fenotipe unclassified.1
• Fluorescence in situ hybridization (FISH)
Prognosis
Prognosis berdasarkan International Prognostic Index dapat
dilihat pada tabel 1.
241
• lebih dari satu ekstranodal
• peningkatan LDH (52)
• Keterlibatan testis, ginjal, adrenal
• MYC gene rearrangement
• Pertimbangan khusus
242
bortezomib pada tipe DLBCL yang ditentukan
dengan gene expression prolife sedang
berlangsung.8
• Lenalidomide sebagai agen tunggal menunjukkan
aktivitas selektif pada subtype non-GCB.9
• Ibrutinib (oral Bruton’s tyrosine kinase inhibitor)
menunjukkan aktivitas selektif pada ABC-DLBCL.
Penelitian fase III ibrutinib dikombinasikan
dengan R-CHOP pada populasi non-GCB sedang
berlangsung. 10
R-CHOP21xx6-8
R-CHOP21 6-8(R-CHOP21
R-miniCHOP21
x 6 untukx IPI
6 rendahganti
)ataudoxorubicin
R-CHOP14 x 6
(R-CHOP21 x 6 dengan gemcitabine,
untuk IPI rendah etoposide, liposomal
)atau R-CHOP14 doxorubicin atau lainnya
x 6 dengan 8R (RC(X)OP21 x 6 atau
terapi paliatif
kemoterapi
>2
Dapat
relaps/progresif
transplantasi
berbasis tidak
platinum
Dapat
dapat
(R-DHAP,
transplantasi
transplantasi
R-ICE, tidak
R-GDP)
transplantasi
dapat
sebagai terapi
alogenik,
transplantasi alogenik, uji klinik dengan obat baru uji klinik dengan obat
Ringkasan tatalaksana DLBCL berdasarkan Rekomendasi
ESMO tahun 2015.1
243
Diagnosis dan patologi/biologi molekuler.1
• Diagnosis harus dilakukan di laboratorium
hematopatologi yang direferensikan dengan keahlian
interpretasi morfologi, penentuan fenotipe dan
pemeriksaan molekuler
• Biopsi secara operasi merupakan metode diagnostik
yang optimal
• Needle-core dan biopsi secara endoskopi hanya
dilakukan pada penderita yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan biopsi secara operasi
• Biopsi aspirasi jarum halus tidak dapat digunakan
sebagai satu-satunya pemeriksaan untuk
mendiagnosis DLBCL
• Diagnosis morfologi DLBCL harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan imunofenotipe
• Bila terdapat keraguan diagnosis, dapat
dipertimbangkan pemeriksaan PCR-based method
untuk menunjukkan monoklonalitas sel B
• Direkomendasikan pemeriksaan BCL2 dan MYC
rearrangement dengan interphase FISH pada pasien
baru dan pasien relaps yang akan menjalani terapi
kuratif
244
• FDG-PET/CT direkomendasikan sebagai baku emas
staging DLBCL
• Bila Contrast enhanced CT tidak diperiksa sebelum
PET/CT, perlu dilakukan contrast enhanced CT bila
diperlukan, dikombinasikan dengan PET/CT. Biopsi
sumsum tulang dapat dihindari bila PET/CT scan
menunjukkan lesi di tulang atau sumsum tulang yang
mengindikasikan stadium lanjut. Biopsi sumsum tulang
diindikasikan pada kasus dengan PET negative, bila
hasil akan mengubah prognosis dan terapi, terutama
bila direncanakan pemberikan imunokemoterapi yang
lebih singkat
• Untuk kecurigaan limfoma susunan syaraf pusat, MRI
merupakan modalitas pemeriksaan yang
direkomendasikan
• Punksi lumbal diagnostic harus dipertimbangkan pada
penderita risiko tinggi
• Fungsi jantung (left ventricular ejection fraction) harus
diperiksa sebelum memulai terapi
• Staging menggunakan klasifikasi Ann Arbor
• IPI dan aa IPI harus dievaluasi untuk prognosis
Terapi.1
• Strategi terapi harus distratifikasi berdasarkan umur,
IPI dan kemungkinan dose-intensified
• Uji klinik direkomendasikan
• Pada keadaan high tumor load, perlu dilakukan
pencegahan terjadinya sindroma lisis tumor
• Penurunan dosis karena toksisitas hematologi harus
sedapat mungkin dihindari
245
• Adanya risiko febrile neutropenia merupakan
pertimbangan untuk pemberikan profilaksis
hematopoietic growth factors pada penderita yang
mendapat terapi kuratif dan pada penderita usia di
atas 60 tahun
• Untuk penderita muda, low-risk (aa-IPI=0), tanpa bulky
disease :
• 6 siklus kemoterapi CHOP dan 6 siklus
rituximab setiap 12 hari merupakan standar
terapi
• Radioterapi konsolidasi pada daerah non-
bulky tidak terbukti bermanfaat baik pada
pasien yang mendapat rituximab atau tidak
• Pada penderita muda low-intermediate risk (aa-IPI=1)
atau IPI low risk (aa-IPI=0) dengan bulky disease
• R-CHOP 6 siklus dengan radioterapi pada
daerah bulky atau R-ACVBP
• Pada penderita muda high-risk dan high-intermediate
risk (aa-IPI>2)
• Prioritas untuk uji klinik
• CHOP 6-8 siklus dengan 8 siklus rituximab
setiap 21 hari merupakan regimen yang paling
banyak digunakan
• R-CHOP dose dense setiap 14 hari tidak
menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup
dibandingkan R-CHOP tiap 21 hari
• Terapi intensif R-ACVBP atau R-CHOEP sering
digunakan, tetapi regimen-regimen ini belum
dibandingkan secara langsung dengan R-CHOP
246
• High dose Chemotherapy dengan ASCT
(autologous stem cell transplant) sebagai lini
pertama masih merupakan Penelitian dan
dapat dipertimbangkan pada pasien high-risk
tertentu
• Peranan interim PET untuk memilih pasien
yang mendapat manfaat dari ASCT konsolidasi
atau radioterapi masih dalam Penelitian
• Untuk pasien usia 60-80 tahun
• 6-8 siklus CHOP dengan 8 siklus Rituximab
setiap 21 hari merupakan regimen standar
• Bila R-CHOP diberikan setiap 14 hari, cukup
diberikan 6 siklus CHOP dan 8 siklus rituximab
• Perlu assessment geriatri komprehensif untuk
menilak komorbid dan penurunan fungsional
sebagi pedoman pemilihan terapi pada
penderita usia lanjut dnegan prognosis buruk
• R-CHOP biasanya dapat digunakan sampai
usia 80 tahun pada pasien dengan keadaan
baik. Perlu dipertimbangkan modulasi terapi
sesuai dengan asesmen geriatri
• Untuk pasien usia > 80 tahun
• R-mini CHOP dapat menginduksi remisi
komplit dan kelangsungan hidup jangka
panjang
• Penggantian doxorubicin dengan gemcitabine,
etoposide atau liposomal doxorubicin atau
regimen tanpa doxorubicin dapat
dipertimbangkan dati awal atau setelah 4
siklus pada pasien dengan gangguan jantung
247
atau pada pasien frail atau kondisi yang tidak
baik
• Profilaksis Susunan Syaraf pusat
• Direkomendasikan pada pasien dengan high-
intermediate dan high-risk IPI, terutama bila
disertai 1 atau lebih keterlibatan ekstranodal
atau dengan keterlibatan testis, ginjal atau
adrenal
• Pasien dengan infeksi HIV harus menerima
terapi yang sama dengan pasien HIV negatif
• Profilaksis antiviral atau pemantauan HBV-
DNA periodic dan terapi antiviral
direkomendasikan pada pasien yang
sebelumnya terpapar Hepatitis B virus yang
mengalami reaktivasi selama terapi
• Evaluasi respon.1
• FDG-PET/CT merupakan standar untuk
evaluasi respon
• Pada adanya residual metabolic aktif, bila
dipertimbangkan terapi salvage,
direkomendasikan biopsy
• Evaluasi interim :
• Imaging setelah 3-4 siklus untuk
mengevaluasi adanya progresivitas
• Perubahan terapi tidak hanya dari hasil
interim PET/CT, kecuali bila jelas ada
bukti progresivitas
• Evaluasi PET setelah 1-2 siklus
merupakan prediktif keberhasilan terapi
pada uji klinik
248
• Pemantauan.1 :
• Anamnesa dan pemeriksaan fisik setiap 3
bulan selama 1 tahun, setiap 6 bulan selama 2
tahun berikutnya, kemudian 1 tahun sekali,
dengan perhatian pada terjadinya keganasan
sekunder dan efek samping kemoterapi jangka
panjang
• Pemeriksaan darah dilakukan pada bulan ke 3,
6, 12 dan 24, hanya untuk mengevaluasi
symptom atau gejala klinis yang memerlukan
terapi lanjutan
• Pemeriksaan radiologi pada bulan ke 3,6,12
dan 24 setelah selesai terapi menggunakan CT
scan merupakan hal yang sering dilakukan
pada praktik klinis. Tidak terdapat bukti yang
kuat bahwa pemantauan imaging pada
penderita dengan respon komplit
memberikan manfaat pada kelangsungan
hidup. Hal ini dapat meningkatkan risiko
keganasan sekunder. Pemantauan rutin
dengan PET scan tidak direkomendasikan.
Ringkasan
Limfoma Non Hodgkin (NHL) agresif adalah tipe
limfoma yang tumbuh dan menyebar dengan cepat
dan mempunyai simptom yang berat. Limfoma Non
Hodgkin agresif juga dikenal sebagai High-Grade
limfoma dan intermediate-grade limfoma. Di RSUP Dr.
Hasan Sadikin, limfoma tipe agresif adalah 98,9% dari
seluruh limfoma selama tahun 2008-2014. Diffuse
249
large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan 30-58%
penderita non Hodgkin lymphoma. Pertimbangan
pemilihan terapi memerlukan evaluasi skor aa IPI,
adanya bulky disease, usia dan subtipe histopatologi.
FDG-PET/CT direkomendasikan untuk penentuan
staging, menilai respon interim setelah 3-4 siklus dan
evaluasi respon pada akhir terapi.
Daftar Pustaka
1. Tilli H, Gomes da Silva M, Vitolo U, Jack A, Meignan M, Lopez-
Guillermo A, et al. Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL):
ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment
and follow-up. Annals of Oncology 2015;26(Supplement
5):v116–v125,2015 doi:10.1093/annonc/mdv304.
2. Coiffier B, Sarkozy C. Diffuse large B-cell lymphoma: R-CHOP
failure—what to do?. Hematology 2016 ;366-78.
3. Savage KJ, Johnson NA, Ben-Neriah S et al. MYC gene
rearrangements are associated with a poor prognosis in
diffuse large B-cell lymphoma patients treated with R-CHOP
chemotherapy. Blood 2009; 114: 3533–3537.
4. Barrans S, Crouch S, Smith A et al. Rearrangement of MYC is
associated with poor prognosis in patients with diffuse large
B-cell lymphoma treated in the era of rituximab. J Clin Oncol
2010; 28: 3360–3365
5. Cheah CY, Herbert KE, O’Rourke K et al. A multicentre
retrospective comparison of central nervous system
prophylaxis strategies among patients with high-risk diffuse
large B-cell lymphoma.Br J Cancer 2014; 111: 1072–1079.
6. Molina TJ, Canioni D, Copie-Bergman C et al. Young patients
with non-germinal center B-cell-like diffuse large B-cell
lymphoma benefit from intensified chemotherapy with
ACVBP plus rituximab compared with CHOP plus rituximab:
analysis of data from the Groupe d’Etudes des Lymphomes de
l’Adulte/lymphoma studyassociation phase III trial LNH 03–
2B. J Clin Oncol 2014; 32: 3996–4003.
250
7. Dunleavy K, Pittaluga S, Czuczman MS et al. Differential
efficacy of bortezomib plus chemotherapy within molecular
subtypes of diffuse large B-cell lymphoma. Blood2009; 113:
6069–6076.
8. Hernandez-Ilizaliturri FJ, Deeb G, Zinzani PL et al. Higher
response to lenalidomide in relapsed/refractory diffuse large
B-cell lymphoma in nongerminal center B-cell-like
thaningerminalcenterB-cell-likephenotype.
Cancer2011;117:5058–5066.
9. Czuczman MS, Davies A, Linton KM et al.A phase 2/3
multicenter, randomizedstudy comparing the efficacy and
safety of lenalidomide versus investigator’s choice in
relapsed/refractoryDLBCL.Blood(ASHAnnualMeetingAbstract
s)2014;124:628
10. Younes A, Thieblemont C, Morschhauser F et al. Combination
of ibrutinib with rituximab, cyclophosphamide, doxorubicin,
vincristine, and prednisone (R-CHOP) for treatment-naive
patients with CD20-positive B-cell non-Hodgkin lymphoma: a
non-randomised, phase 1b study. Lancet Oncol 2014; 15:
1019–1026.
251
252
Tatalaksana Limfoma Non Hodgkins Indolent
Pendahuluan
Berdasarkan presentasi klinisnya, maka LNH dapat dibagi
menjadi 2 kelompok utama, yakni LNH agresif dan LNH
indolen. LNH indolen sering tidak diketahui kapan terjadinya,
limfadenopati biasanya tidak cepat membesar, tidak jarang
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, serta
sitopenia perifer. Diantara berbagai jenis LNH indolen, yang
sering ditemukan adalah limfoma folikuler (21-40%), leukemia
limfositik kronik (6%), limfoma zona marginal (5%).
Anamnesis
Selain pembesaran kelenjar, sekitar 50% penderita LNH datang
dengan keluhan lemah badan, demam lama, asites, efusi
pleura, atau keluhan lain tergantung organ tubuh yang
terkena, misalnya:
253
- Limfoma gastrointestinal: Penurunan BB, mual/muntah,
nyeri perut, ileus, perdarahan saluran cerna.
- Limfoma susunan syaraf pusat: nyeri kepala, kejang,
kelumpuhan, meningitis.
- Beberapa gejala lain dapat merupakan kondisi darurat pada
onkologi, seperti: Tamponade jantung, sindroma vena cava
superior, hiperleukositosis, obstruksi saluran nafas akut,
hyperuricemia, ikteris, thrombosis vena, hemolitik anemia,
trombositopenia.
Juga perlu ditanyakan tentang hal-hal yang dapat
mencetuskan terjadinya limfoma secara umum, seperti:
- Riwayat keluarga, penggunaan imunosupresan,
transplantasi organ.
- Paparan terhadap pestisida, cat rambut.
- Infeksi virus: HIV, HTLV, EBV, Hepatitis B, Hepatitis C.
- Penyakit otoimun (Lupus, artritis rematoid, tiroiditis,
sindrom Sjogren)
- Cryoglobulinemia
- Penyakit Crohn, Gastritis akibat H. pylori
- Obesitas
Pemeriksaan Fisik
Diperlukan pemeriksaan fisik yang seksama, terutama
pembesaran kelenjar yang tidak nyeri, tidak terfiksasi pada
struktur sekitarnya, dengan konsistensi yang kenyal.
254
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis LNH indolen diperlukan biopsi
eksisi. Biopsi inti (Core needle biopsy) hanya dilakukan pada
kondisi tertentu, misalnya penderita dengan keadaan umum
yang kurang baik. Aspirasi biopsi jarum halus (FNAB) sangat
tidak dianjurkan untuk menegakkan diagnosis LNH.
Penentuan Stadium
Karena pengobatan sangat tergantung dengan stadium
penyakit, maka penentuan stadium harus dilakukan secara
baik dan benar. Beberapa panduan menyarankan pencitraan
dengan CT scan mulai dari leher, toraks, abdomen dan pelvis.
Juga perlu dilakukan aspirasi sumsum tulang untuk
memastikan ada tidaknya keterlibatan sumsum tulang. Bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan PET CT scan untuk lebih
meyakinkan stadiumnya.
255
A: tanpa gejala sistemik, B: dengan gejala sistemik
(demam, keringat malam, penurunsn berat badan
(B symtoms). Ref: Skarin. Dana-Farber Cancer
Institute. Atlas of Diagnostic Oncology.1991
Penentuan Risiko
Berbeda dengan LNH agresif yang menggunakan International
Prognostic Index (IPI) sebagai penentu prognostik, maka
khusus untuk LNH folikuler dikenal dengan nama FLIPI dan
FLIPI-2 yang merupakan revisi FLIPI. FLIPI adalah factor
prognostik yang dibuat sebelum era rituximab, dan berkorelasi
dengan kesintasan hidup (overall survival=OS), sedangkan
FLIPI-2, dibuat pada era rituximab yang bertujuan untuk
256
menentukan prakiraan waktu terjadinya progrsivitas penyakit
(progression-free survival=PFS). Jadi baik FLIPI maupun FLIPI-2
tidak digunakan untuk menentukan penderita mana yang
harus segera diberi pengobatan.
FLIPI-2
Parameter FLIPI
<12
LDHgr/dL
Usia >60gr/Dl
Stadium
Hb
Hb <12 tahun<12
III-IV >60 gr/Dlfaktor:
tahun
Keterlibatan
gr/dL
<12 Marka
sumsum risiko rendah, 2 faktor:
B2- Hb <12
tulang gr/Dl risiko
<12
Pengobatan
Stadium I-II: Hanya sebagian kecil penderita yang terdeteksi
pada stadium I-II. Radioterapi (Involved field radiotherapy)
sebanyak 24 Gy merupakan terapi terpilih. Apabila tidak ada
gejala sistemik, limfadenopati <3, ukuran <3 cm, dan tidak ada
pembesaran limpa serta parameter hematologi normal, maka
kelompok ini cukup di observasi dengan ketat saja atau diberi
imunoterapi dengan rituximab saja.
257
fludarabine, mitoxantrone). Pilihan rejimen harus berdasarkan
kondisi umm, penyakit penyerta, dan pilihan penderita.
Pemantauan
Pada umumnya hal-hal dibawah ini dianjurkan oleh beberapa
panduan di Eropa dan Amerika:
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik setiap 3 bulan selama 2
tahun pertama, lalu tiap 6 bulan pada tahun-tahun
berikutnya.
- Pemeriksaan laboratorium setiap 6 bulan selama 2 tahun
pertama, selanjutnya diperiksa atas indikasi saja.
- Pada penderita yang menjalani radioterapi daerah leher,
perlu diperiksa fungsi tiroid pada 1, 2, dan 5 tahun setelah
radioterapi.
258
- Pemeriksaan foto toraks dan ultrasonografi setiap 6 bulan
selama 2 tahun pertama. Pemeriksaan CT scan atau PET CT
scan tidak dianjurkan untuk pemantauan, harus
berdasarkan indikasi yang kuat.
Kepustakaan
1. Federico M, Bellei M, Marcheselli L et al. Follicular lymphoma
international prognostic index 2: a new prognostic index for
follicular lymphoma developed bythe international follicular
lymphoma prognostic factor project. J Clin Oncol 2009;27:
4555–4562.
2. Hoskin PJ, Kirkwood AA, Popova B et al. 4 Gy versus 24 Gy
radiotherapy for patients with indolent lymphoma (FORT): a
randomised phase 3 non-inferioritytrial. Lancet Oncol 2014;
15: 457–463.
3. Solal-Céligny P, Bellei M, Marcheselli L et al. Watchful waiting
in low-tumor burden follicular lymphoma in the rituximab era:
results of an F2-study database. J Clin Oncol 2012; 30: 3848–
3853.
4. Friedberg JW, Byrtek M, Link BK et al. Effectiveness of first-line
managementstrategies for stage I follicular lymphoma:
analysis of the National LymphoCare Study. J Clin Oncol 2012;
30: 3368–3375.
5. Ardeshna KM, Qian W, Smith P et al. Rituximab versus a
watch-and-wait approach in patients with advanced-stage,
asymptomatic, non-bulky follicular lymphoma: an open-label
randomised phase 3 trial. Lancet Oncol 2014; 15: 424–435.
6. Rummel M, Niederle N, Maschmeyer G et al. Bendamustine
plus rituximab versus CHOP plus rituximab as first-line
treatment for patients with indolent and mantlecell
259
lymphoma: an open-label, multicentre, randomised, phase 3
non-inferiority trial. Lancet 2013; 381: 1203–1210.
7. Flinn IW, van der Jagt R, Kahl BS et al. Randomized trial of
bendamustinerituximab or R-CHOP/R-CVP in first-line
treatment of indolent NHL or MCL: the BRIGHT study. Blood
2014; 123: 2944–2952.
8. Federico M, Luminari S, Dondi A et al. R-CVP versus R-CHOP
versus R-FM for the initial treatment of patients with
advanced-stage follicular lymphoma: results of the FOLL05
trial conducted by the Fondazione Italiana Linfomi. J Clin
Oncol 2013; 31:1506–1513.
9. Vidal L, Gafter-Gvili A, Salles G et al. Rituximab maintenance
for the treatment of patients with follicular lymphoma: an
updated systematic review and meta-analysis of randomized
trials. J Natl Cancer Inst 2011; 103: 1799–1806.
10.Pettengell R, Schmitz N, Gisselbrecht C et al. Rituximab
purging and/or maintenance in patients undergoing
autologous transplantation for relapsed follicular lymphoma:
a prospective randomized trial from the Lymphoma Working
Party of the European Group for Blood and Marrow
Transplantation. J Clin Oncol 2013; 31: 1624–1630.
260
Tatalaksana Koagulopati Perioperatif
Heny Syahrini
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
I. PENDAHULUAN
Hemostasis fisiologis merupakan keseimbangan antara
koagulasi (pembentukan bekuan) dan fibrinolisis
(penghancuran bekuan) untuk mencegah terjadinya kondisi
ekstrim seperti perdarahan dan trombosis.
Ketidakseimbangan hemostasis fisiologis menyebabkan
kondisi koagulopati, yang ditandai dengan ketidakmampuan
darah untuk membeku. Koagulopati dapat disebabkan
berkurangnya atau tidak adanya protein-protein pembekuan
darah atau adanya disfungsi maupun rendahnya kadar
platelet. Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan spontan
secara langsung atau perdarahan yang berlebihan setelah
adanya trauma, tindakan operasi, ataupun terapi medikal.1
Koagulopati perioperatif berdampak pada hasil akhir
pasien yang dapat menyebabkan hilangnya darah dan
meningkatkan kebutuhan transfusi. Mengetahui gangguan
yang sudah ada sebelumnya dan memahami prinsip-prinsip
hemostasis dan perubahannya selama pembedahan
merupakan hal yang diperlukan dalam tatalaksana pasien
261
yang aman, sehingga konsep minimalisasi paparan transfusi
darah pada pasien dapat terwujud.2
Evaluasi pasien preoperatif sangat diperlukan untuk
mengathui pasien-pasien yang beresiko untuk terjadinya
perdarahan yang lebih banyak saat operatif, misalnya pada
kasus koagulopati primer seperti Hemofilia, penyakit von
willebrand, ataupun gangguan koagulasi yang disebabkan
karena obat-obatan seperti anti platelet maupun antagonis
vitamin K. Beberapa kuesioner standar telah didesain untuk
mengetahui tipikal perdarahan (mukosa vs bukan mukosa)
dan waktu perdarahan yang terjadi (segera vs lambat, sejak
kecil vs sudah dewasa), sedang menggunakan antikoagulan
atau anti platelet. Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah
pasien yang kita hadapi memiliki gangguan perdarahan yang
ringan atau berat, dan gangguan tersebut apakah turunan
atau didapat. Berikut ini kuesioner yang telah didesain 3:
- koagulopati yang telah diketahui (riwayat perdarahan
pasien maupun keluarganya yang mengindikasikan
adanya kecenderungan perdarahan yang berat)
- epistaksis tanpa alasan yang jelas
- hematoma, ptekie pada tubuh atau lokasi yang tidak
biasa yang alasannya tidak diketahui
- gangguan penyembuhan luka
- perdarahan yang memanjang setelah terjadinya
abrasi/luka, selama atau setelah pembedahan, selama
atau setelah ekstraksi gigi.
- adanya gangguan dalam darah dan membutuhkan
produk darah setelah pembedahan
262
- hipermenorargia yang membutuhkan beberapa
pembalut perharinya, perdarahan yang lebih dari 7 hari
setelah mentruasi pertama kalinya.
- obat-obatan yang mempengaruhi koagulasi seperti anti
nyeri, anti trombosis dan anti platelet, obat-obat bebas,
dan faktor diet
Bila salah satu hal di atas dijawab “ya”, riwayat
perdarahan dikatakan abnromal. Di populasi pasien dewasa,
riwayat perdarahan yang abnormal berkisar 11%. 3
Koagulasi dicapai melalui interaksi ketiga komponen
berikut yaitu endotel vaskuler, protein koagulasi, dan
platelet. Pada tabel 1 dapat dilihat beberapa penyebab
tersering gangguan koagulasi dari pemeriksaan
laboratorium. Aktivitas hati yang intak merupakan dasar
koagulasi yang adekuat karena seluruh protein koagulasi
kecuali faktor VIII disintesis utamanya di hati. Pemanjangan
prothrombine time (PT) menunjukkan adanya defek pada
jalur ekstrinsik dan biasanya disebabkan insufisiensi hati
ataupun defisiensi vitamin K yang disebabkan jeleknya
absorbsi, nutrisi atau kolestasis. Pemanjangan partial
tromboplastine time (PTT) menunjukkan defisiensi pada jalur
intrinsik.4
Tabel 1. Diagnosa banding gangguan perdarahan berdasarkan
pemeriksaan koagulasi4
263
II. KOAGULOPATI BAWAAN
Gangguan koagulasi / koagulopati ini dapat berupa
bawaan (diturunkan) atau dapatan. Koagulopati bawaan ini
yang cukup sering dijumpai berupa hemofilia A dan B
maupun penyakit von willebrand.
A. HEMOFILIA
Hemofilia ditandai dengan berkurangnya salah satu faktor
koagulasi yang menyebabkan peningkatan resiko perdarahan
saat pembedahan maupun sesudahnya. Pada pasien
hemofilia tidak dijumpai disfungsi platelet dan waktu
perdarahannya normal. Hemofilia A merupakan hemofilia
yang paling sering dijumpai, berkaitan dengan defisiensi
faktor VIII. Sementara hemofilia B (penyakit Chrismas)
disebabkan defisiensi faktor IX. Kondisi keduanya merupakan
sex-linked recessive inheritance. Penyakit hemofilia ini bisa
juga karena dapatan, kasusnya jarang tetapi dapat
mengancam jiwa oleh karena adanya autoantibodi pada
faktor VIII, hal ini terjadi dikaitkan dengan adanya malignansi,
penyakit autoimun, reaksi obat dan kehamilan. Derajat
keparahan perdarahan dihubungkan dengan derajat
defisiensinya. Pada kasus perdarahan spontan, hemarthrosis
yang klasik, terjadi pada kasus berat (faktor VIII < 1%), untuk
defisiensi yang sedang (faktor VIII 1-5%) dan untuk yang
ringan (faktor VIII 5-<40%) dapat diperkirakan terjadinya
perdarahan hanya setelah trauma atau pembedahan.
Beberapa wanita pembawa sifat secara signifikan terjadi juga
penurunan faktor koagulasi dan secara klinis seperti kasus
ringan. Hal ini penting diketahui pada praktek obstetri dan
periode peri operatif, dimana terapi pengganti yang spesifik
mungkin diperlukan.5,6
264
The World Federation Hemophilia (WFH) merekomendasikan
kepada pasien hemofilia A yang akan menjalani operasi
mayor, kadar faktor VIII preoperatif sebaiknya 80-100%.
Paska operasi kadar faktor VIII dipertahankan 60-80% hari ke
1-3, 40-60% selama hari ke 4-6 dan 30-50% selama paska
operasi minggu ke-2. Pada pasien dengan hemofilia B
konsentrasi faktor IX sedikit lebih rendah dibandingkan
faktor VIII pada hemofilia A, yaitu 60-80% pre operatif, 40-
60% untuk paska operasi hari ke 1-3, 30-50% untuk hari ke 4-
6, dan 20-40 % untuk selama paska operasi minggu ke-2.
Target konsentrasi tersebut dapat disesuaikan berdasarkan
ketersediaan faktor konsentrat. Untuk wilayah dimana
sumber faktor konsentrat lebih susah tersedia, maka target
konsentrasi menjadi lebih rendah 10-20 % untuk pre operasi
dan sampai 20-50% paska operasi dibanding dari target di
atas. Penyesuaian konsentrasi faktor tersebut sebaiknya
dipertahankan 5-7 hari atau sampai luka sembuh setelah
tindakan operasi minor atau 10-14 hari setelah tindakan
operasi mayor. Untuk tindakan minor prosedur invasif
seperti lumbal punksi, bronkoskopi dengan brushing atau
biopsi, endoskopi gastrointestinal dengan biopsi,
pemeriksaan analisa gas darah arterial, maka pemberian
terapi pengganti hanya sebelum prosedur. 6
Dosis faktor VIII yang dapat digunakan pada operasi mayor
untuk preoperatif 40-50 IU/kg bolus intravena dan operasi
minor 20-30 IU/kg bolus intravena, Faktor IX 80-120 IU/kg
bolus intravena dan 40-70 IU/kg bolus intravena. Paska
operasi dapat diberikan sesuai target yang akan dicapai
(tabel 2 dan 3).7
265
Banyak pasien hemofia ringan sampai sedang yang
memproduksi faktor VIII 3-6 kali lebih tinggi disebabkan
responnya terhadap pemberian 1-deamino-8-D-arginine
vasopressin (DDAVP), hal ini cukup adekuat untuk mengatasi
pembedahan minor.7
Tabel 2. Panduan target kadar faktor koagulasi pada dewasa
dengan operasi mayor7
Interval
Frekwensi
Kadar Faktor* Dosis (IU/kg)
(jam)
PrePre
op#op#40-50 80-120 40-50
1-3 80-100 80-10080-120
20-25 60-80 8-
*setelah
4-6 60-80 bolus pre-op,
60-80 15-20 50-60kadar yang7 dan
8-12 12 diharapkan dievaluasi
seterusnya 40-60 40-
berdasarkan dosis selanjutnya
#Dosis faktor puncak yang diharapkan adalah 80-100%
FPre
PreVIII
op# F IX20-30
op# F VIII40-70
F IX F VIII
1-3F IX Pre40-50
40-50
20-30op# 20-25
20-30 40-70 12 1-3
40-70 40-60 24 40-
4
4 dst^ 20-30
4 dst^ 20-30 20-30 20-30 30-50 24 24 *setelah
20-30
bolus pre-op,
20-30
*setelah bolus pre-op, kadar yang diharapkan dievaluasi
berdasarkan dosis selanjutnya
#Dosis faktor puncak yang diharapkan adalah 40-60%
^Durasi untuk operasi minor bisa kurang dari 4 hari
B. Penyakit Von Willebrand
Kelainan pada penyakit ini adalah adanya gangguan
produksi faktor von willebrand (vWF), berperan utama dalam
adesi platelet pada lapisan subendotelial. Sebagai tambahan,
266
vWF berperan sebagai molekul pembawa faktor VIII dalam
sirkulasi. Presentasi klinis ditandai dengan adanya
perdarahan mukosa dan mudah memar yang dikaitkan
dengan pemanjangan waktu perdarahan yang terjadi pada
mayoritas keluarga, dimana kejadian ini diturunkan dengan
autosomal dominan. Penyakit von willebrand ditemukan
pada 20% wanita yang mengalami menorargia. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk diagnostik berupa vWF ristocetin
cofactor activity (vWF Rco), vWF Ag dan F VIII coagulant
activity (F VIII C). 5
Tatalaksana penyakit von willebrand, sebisa mungkin
menghindari komponen darah untuk mengontrol
perdarahan. Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat
dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan minor seperti
menorargia atau epistaksis dan hal ini dapat diberikan paska
operasi. DDAVP dapat diberikan 90 menit sebelum
dilakukannya tindakan operasi dengan dosis 0,3Ug/kgBB
yang dapat meningkatkan vWF Ag (von willebrand factor
antigen) dan faktor VIII 2-5 kali kadar sebelumnya pada
mayoritas pasien yang mengalami gangguan secara
kuantitatif vWF Ag. Dosis dapat diulang setiap 12-24 jam.
Untuk melengkapi vWF juga dapat diberikan Cryoprecipitate
atau konsentrat dari plasma manusia. Cryoprecipitate
diberikan jika hanya kondisi mengancam jiwa dan konsentrat
tidak tersedia. vWF yang berasal dari plasma dapat
mencegah perdarahan lebih dari 90% kasus pasien dengan
penyakit von willebrand. Untuk kasus perdarahan atau
pencegahan pada operasi mayor dapat diberikan 40-60 IU/kg
dengan lanjutan untuk pemeliharaan 20-40 IU/kg setiap 8-24
jam. Pada operasi mayor kadar vWF Rco dan F VIII
267
dipertahankan> 50 IU /dL untuk 7-10 hari. Untuk operasi
minor, dosis yang diberikan lebih rendah. Kadar vWF Rco
(vWF ristocetin cofactor activity) dan F VIII dipertahankan> 30
IU /dL (lebih dianjurkan > 50IU/dL) untuk 1-5 hari.5
269
Sebuah literatur menyebutkan kebijakan “wait and
see” pada pasien yang menjalani operasi transplantasi hati
lebih disukai dibandingkan transfusi komponen darah untuk
profilaksis. Komponen darah diberikan bila dijumpai adanya
perdarahan aktif, bukan perdarahan karena tindakan bedah.
Kebijakan ”wait and see” merupakan kebijakan yang cukup
aman untuk dapat diadopsi pada prosedur tindakan bedah
pada pasien sirosis. Strategi prohemostatik farmakologik
memberikan keuntungan dengan mengurang resiko
perdarahan selama tindakan invasif pada pasien yang
memiliki kecenderungan perdarahan. Prothrombine Complex
Concentrate (PCC) memberikan perbaikan status hemostatik
pasien dengan sirosis dibanding pemakaian FFP dan sebagai
hemostatik dasar pada pasien yang menjalani operasi
transplantasi hati. Keuntungan pemakaian PCC dibanding FFP
adalah volume lebih sedikit, memperbaiki keseimbangan
hemostasis dan mengurangi resiko perdarahan perioperatif.
Fibrinogen konsentrat juga dapat memperbaiki hemostasis
dapat digunakan bersamaan dengan PCC ataupun sebagai
monoterapi.9
Pasien gangguan hati yang menjalani operasi mayor
dengan anestesi umum merupakan kelompok resiko tinggi.
Namun pada pasien dengan gangguan hati, dimana anestesi
regional dipertimbangkan sebagai alternatif, maka sebaiknya
koagulopati harus dinilai dan dikoreksi ketika dijumpai
indikasi.8
B. Immune Thrombocytopenia
Imun Trombositopenia (ITP) sebelumnya dikenal dengan
Idiopatik Trombositopenia Purpura, yang merupakan
270
gangguan autoimun yang ditandai dengan berkurangnya
jumlah trombosit pada darah perifer. Pada dewasa sehat
jumlah trombosit normal 150 – 450 x 109/L, sementara
hitungan trombositopenia bila kurang dari 100 x 109/L. Pada
dewasa insiden ITP berkisar 2-4 per 100.000. Perdarahan
intrakranial merupakan komplikasi yang serius pada pasien
ITP.10
Akibat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien
dengan jumlah trombosit kurang dari 20-30 x 109/L, secara
klinis direkomendasikan terapi bila jumlah trombosit kurang
dari 30 x 109/L atau berapapun kadar trombosit dimana
dijumpai perdarahan yang bermakna. Terapi sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi perdarahan yang terjadi pada
pasien, hitung trombosit yang diinginkan, gaya hidup yang
membuat pasien beresiko untuk terjadinya trauma, efek
samping terapi, dan pilihan pasien.10
Pasien ITP dapat dihadapkan pada suatu tindakan
operatif. Hal yang terpenting adalah, ketika keputusan untuk
tindakan operatif tersebut ditetapkan, apakah tindakan
tersebut elektif atau emergensi. Peningkatan trombosit
segera diperlukan pada pasien yang akan menjalani prosedur
bedah dengan resiko perdarahan yang besar. Mengganti
terapi steroid menjadi intravena imunoglobulin (IVIG), anti-D
atau rekombinan faktor VII (rfVIIa) pada seting emergensi
merupakan hal yang efektif, tetapi kombinasi terapi lini
pertama juga hal yang sesuai. Pilihan terapi yang akan
diberikan ini harus memperhatikan jenis tindakan yang akan
dilakukan (tabel 4).11
Tabel 4. Algoritme terapi pada induksi anestesi untuk pasien
ITP11
Elektif Emergensi
271
Emergensi
Elektif
272
Selain tipe tindakan operatif, perlu diperhatikan pula
jenis anestesi yang akan diberikan pada pasien tersebut.
Perhatian yang utama pada pasien trombositopenia yang
akan menjalani anestesi regional adalah terjadinya hematom
neuraxial yang dapat berkembang menjadi perdarahan.
Anestesi spinal ataupun epidural secara umum aman bila
kadar trombosit mencapai lebih dari 80 x 109/L. Beberapa
studi lainnya menyebutkan anestesi neuraxial akan aman
dilakukan pada nilai trombosit 50-80 x 109/L. Pada jenis
anestesi yang dipakai dengan menggunakan anestesi umum,
tidak ada panduan tertentu dalam menentukan nilai
trombosit. Algoritme tipe anestesi pada pasien ITP dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.11
274
terjadi) atau pencegahan sekunder (pasien sudah pernah
terjadi penyakit tersebut).12
Efek samping utama dari obat-obatan anti platelet
adalah perdarahan yang terkait dengan tindakan dokter
bedah maupun anestesi selama periode perioperatif. Ketika
mempertimbangkan apakah terapi tersebut dihentikan
atau diteruskan, pertama yang harus diketahui adalah
apakah obat tersebut diberikan untuk pencegahan primer
atau sekunder dan kedua mengetahui apakah pasien
tersebut beresiko tinggi atau rendah untuk penyakit oklusif.
Harus dipertimbangkan keseimbangan antara resiko
morbiditas dan mortalitas perdarahan atau pembekuan.12
Menurut tradisinya, perhatian utama tertuju pada
resiko perdahahan dan kecenderungan untuk
menghentikan obat-obatan antiplatelet pada periode
perioperatif. Jika antiplatelet tersebut diteruskan, rata-rata
penigkatan resiko kehilangan darah ketika mengkonsumsi
aspirin saja sekitar 2,5-20%. Kehilangan darah tersbut
semakin meningkat sampai 30-50% dengan aspirin dan
clopidogrel yang digunakan sebagai kombinasi. Kebutuhan
transfusi juga meningkat sampai 30% dan hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan resiko perdarahan
merupakan hal yang penting diperhatikan. Resiko untuk
terjadinya iskemik mirip dengan resiko pada pasien yang
diobservasi dengan penyakit jantung koroner yang stabil,
sekitar 2-6% untuk non fatal MI dan 1-5% untuk mortalitas
kardiak.12
Walaupun begitu, penghentian antiplatelet membuat
kondisi kembali menjadi hiperkoagulasi, dimana kondisi
hiperkoagulasi ini semakin diperberat dengan adanya
275
tindakan operasi, yang selanjutnya akan meningkatkan
kecenderungan kejadian kardiovaskuler. Penghentian
aspirin pada pasien dengan penyakit jantung koroner
menyebabkan 2 sampai 4 kali peningkatan angka kematian
atau infark miokard. Penghentian antiplatelet pada pasien
dengan pengakit jantung koroner yang menggunakan sten
merupakan prediktor mayor yang bebas terhadap
terjadinya oklusi sten. Kejadian non fatal infark miokard
meningkat berkisar 35 % dan rata-rata mortalitas
meningkat 20-40%. Algoritme untuk menghentikan
antiplatelet sebelum tindakan operasi dapat dilihat pada
gambar 2 berikut .12
Gambar 2. Algoritme preoperatif pasien yang menggunakan
antiplatelet12
Keterangan
MI - myocardial infarction; ACS - acute coronary
syndrome; PVD - peripheral vascular disease; PCI -
percutaneous coronary intervention; BMS - bare metal
stent; DES - drug eluting stent;
*Sten resiko rendah : yang mendapatkan aspirin saja
276
**Contoh situasi resiko rendah : 3 bulan setelah BMS, MI
yang tidak mengalami komplikasi dan PCI tanpa
pemsangan sten.
***Resiko perdarahan pada ruang yang sempit :
pembedahan spinal dengan ruang sempit, pembedahan
pada ruang belakang mata.
**** Resiko tinggi mebutuhkan diskusi dengan konsultan
anestesi/kardiologi dan mempertimbangkan terapi
”bridging” (contohnya secara simultan menggunakan
unfractinated heparin dan infus antagonis GP Iib/IIIa)
Penghentian aspirin harus dievaluasi maisng-masing
individu, jika aspirin atau clopidogrel dihentikan, regulasi
dini paska operasi merupakan hal yang penting.
Penggunaan antikoagulan
Beberapa antikoagulan yang sering dipakai adalah
unfractionated heparin (UFH), low molecular weight
heparin (LMWH), fondaparinux, vitamin K antagonis (VKA),
direct oral anti coagulants (DOACs).5
Penggunaan antikoagulan ini dipakai pada beberapa
keadaan, misalnya UFH sering dipakai pada kondisi
profilaksis perioperatif, terapi deep vein thrombosis (DVT)
maupun emboli paru, atau sering juga dipakai pada kasus
hemodialisis dan penyakit jantung. Untuk mengatasi efek
samping UFH, atau bila dijumpai perdarahan yang serius
maka dapat diberikan protamin intravena (1mg protamin
dapat mentralisir UFH 100 IU). Apabila UFH diberikan
secara intravena, maka dosis protamin yang diberikan
277
dengan menghitung dosis UFH yang sudah berjalan 2-3 jam
sebelumnya. Monitoring UFH yang diberikan dapat dinilai
melalui aPTT dan atau kadar faktor Xa.5
LMWH diperoleh dari UFH yang mengalami
depolimerisasi enzimatik atau kimiawi. Penggunaannya
cukup luas oleh karena profil risk/benefit, penggunaanya
hanya 1 kali sehari dan kurang membutuhkan pengamatan.
Pemberian protamin pada LMWH untuk mengatasi efek
samping tidak sepenuhnya dapat membalikkan efek
LMWH. Dosis protamin yang dapat digunakan 1mg per 100
anti Fxa unit dari LMWH (konversi enoxapparin 40mg =
4000 internasiona anti Fxa unit), diberikan pada saat
terjadinya perdarahan dalam 8 jam pemberian LMWH. Bila
perdarahan masih berlanjut dapat diberikan dosis
tambahan 0,5mg per 100 anti Fxa unit.5
Fondaparinux sering digunakan sebagai profilaksis
venous thromboembolism (VTE) ataupun sebagai inisial
pengobatan VTE dan infark miokard. Evaluasi rutin
koagulasi tidak diperlukan, evaluasi aktivitas anti faktor Xa
hanya pada kasus gangguan ginjal. Belum ada antidotum
untuk fondaparinux, tetapi dikatakan dapat dipakai
rekombinan faktor VIIa untuk mengendalikan perdarahan
yang banyak, pemakaian ini belum berbasis bukti.5
VKA sering dipakai sebagai profilaksis pasien dengan
atrial fibrilasi, yang memakai katup jantung, ataupun pada
kasus VTE. Evaluasi pemberian VKA dengan mengamati INR
(international normalized ratio). INR sebaiknya < 1,5
sebelum operasi dijalankan. Paska operasi dapat diberikan
heparin bila INR < 2. Bila kasus operasi merupakan
emergensi dapat diberikan PCC (25IU FIX/kg) dan
278
menambahkan vitamin K 5mg (intravena, subkutan,
maupun oral).5
Pasien yang menggunakan DOAC sama dengan pasien
yang menggunakan antikoagulan lainnya, merupakan hal
yang sangat penting untuk menentukan tatalaksana
perioperatif. Resiko trombosis bisa terjadi bila obatnya
dihentikan, tetapi resiko perdarahan juga bisa terjadi bila
obatnya diteruskan. Belum ada strategi yang pasti dalam
mengatasi efek samping DOAC tersebut. Untuk kasus
operasi yang perlu segera, maka dapat melihat algoritme
berikut (gambar 3).13
279
Resiko relatif pasien yang menggunakan antikoagulan
atau dengan penyakit tertentu yang dapat menggangu
sistem koagulasi/nilai trombosit dalam tindakan obstetrik
dapat dilihat pada tabel 5.8 Panduan untuk mengetahui
waktu yang tepat menghentikan ataupun melanjutkan
obat-obatan yang mengganggu sistem koagulasi pada
pasien yang akan menjalani operasi dengan tindakan
anestesi regional dapat dilihat pada tabel 6.8
280
Tabel 6. Rekomendasi waktu penghentian obat yang mengganggu
koagulasi sebelum operasi dengan anestesi blok neuraxial dengan
fungsi ginjal normal kecuali yang diindikasikan8
IV. KESIMPULAN
Koagulopati perioperatif berdampak pada hasil akhir
pasien yang dapat menyebabkan hilangnya darah dan
meningkatkan kebutuhan transfusi. Mengetahui gangguan
yang sudah ada sebelumnya dan memahami prinsip-prinsip
hemostasis dan perubahannya selama pembedahan
merupakan hal yang diperlukan dalam tatalaksana pasien
yang aman, sehingga konsep minimalisasi paparan transfusi
darah pada pasien dapat terwujud.
Pada pasien dengan gangguan koagulasi bawaan seperti
hemofilia perlu diketahui tindakan operasi apa yang akan
dijalani, mayor atau minor. Hal ini menentukan kebutuhan
dosis faktor konsentrat yang akan diberikan. Target kadar
281
faktor yang diharapkan disesuaikan dengan wilayah masing-
masing dalam ketersediaan faktor konsentrat. Untuk
penyakit von willebrand pemberian desmopresin dapat
membantu sebelum tindakan operasi dijalankan, bila
diperlukan dapat diberikan vWF berasal dari plasma
terutama pada operasi mayor.
Pada pasien gangguan hati kebijakan “wait and see” dapat
dijadikan panduan untuk pasien yang akan menjalani operasi.
Bila dijumpai perdarahan yang aktif atau perdarahan yang
terjadi bukan karena efek pembedahan dapat diberikan PCC,
menurut literatur lebih baik dibanding FFP. Untuk pasien
gangguan hati yang akan menjalani anestesi neuraxial,
sebaiknya gangguan koagulasi dikoreksi terlebih dahulu. Nilai
yang cukup aman bila aPTT rasio atau INR <=1,4
Pada pasien dengan ITP bila menjalani operasi elektif,
dapat diberikan obat-obatan untuk menaikkan nilai platelet
dan tidak dianjurkan transfusi platelet. Untuk kasus
emergensi sebaiknya pemilihan obat-obatannya yang dapat
menaikkan nilai platelet lebih cepat dan bila diperlukan
transfusi platelet untuk kasus yang mengancam jiwa. Nilai
platelet yang masih relatif aman sekitar 75 x 109/L walaupun
sebagian literatur ada yang menyebutkan 50 - 75 x 109/L.
Pada pasien yang menggunakan obat-obatan yang
mengganggu koagulasi sebaiknya obat-obatan tersebut
dihentikan berdasarkan waktu puncak ditambah 2x waktu
paruh. Penggunaan antiplatelet dihentikan 7 hari sebelum
operasi. Kecuali pada pasien-pasien yang beresiko tinggi dan
diperlukan operasi yang mendesak, obat dapat diteruskan.
282
V. REFERENSI
1. Grotke O, Fries D, Nascimento B. Perioperatively
acquired disorders of coagulation. Curr Opin Anesthesiol
2015, 28:113–122
2. Innerhofer P, Kienast J. Principles of perioperative
coagulopathy. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology 24 (2010) 1–14
3. Kozek-Langenecker SA. Perioperative coagulation
monitoring. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology 24 (2010) 27–40
4. Armas-Loughran B, Kalra R, Carson JL. Evaluation and
management of anemia and bleeding disorders in
surgical patients. Med Clin N Am 87 (2003) 229–242
5. Kozek-Langenecker SA, Afshari A, Albaladejo P,
Santullano CAA, Robertis ED, Filipescu DC, et al.
Management of severe perioperative bleeding -
Guidelines from the European Society of
Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol 2013; 30:270–382
6. Srivastava A, Brewer AK, Mauser-bunschoten EP, Key NS,
Kitchen S, Llinas A, et al. WFH GUIDELINES : Guidelines
for the management of hemophilia. Haemophilia (2013),
19, e1–e47
7. AHCDO. Guideline For The Management Of Patients
With Haemophilia Undergoing Surgicalprocedures.
2010. p1-13
8. Harrop-Griffiths W, Cook T, Gill H, Hill D, Ingram M,
Makris M, Malhotra S, et al. Regional Anaesthesia and
Patients with Abnormalities of Coagulation. Anesthesia
2013. p1-14
9. Lisman T, Porte RJ. Value of Preoperative Hemostasis
Testing in Patients with Liver Disease for Perioperative
Hemostatic Management. Anesthesiology 2017;
126:338-44
10. Khan AM, Mydra H, Nevarez A. Clinical Practice Updates
in the Management of Immune Thrombocytopenia. P&T
December 2017 • Vol. 42 No. 12
283
11. Ozbilgin S, Mehta T, Bussel JB. Poddighe D. Anaesthesia
recommendations for patients suffering from Immune
thrombocytopenia (ITP). 2016.
www.orphananesthesia.eu
12. Barker J, Telford R, Bolton T. Perioperative management
of antiplatelet drugs. Update in Anaesthesia |
www.anaesthesiologists.org
13. Tran H, Joseph J, Young L, McRae S, Curnow J, Nandurkar
H,et al. New oral anticoagulants: a practical guide on
prescription, laboratory testing and peri-
procedural/bleeding management. Internal Medicine
Journal 44 (2014).
284
Indication for Perioperative Blood Component
Transfusion
Suhartono
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
Introduction
Transfusion of blood and blood components is a common
therapeutic intervention for treating perioperative anemia,
thrombocytopenia and derangements in coagulation
parameter. Indeed, recent estimates suggest that
approximately 50% of the 24.000.000 annual transfusion in the
united states continue to take place in the perioperative
environment.
285
with increased mortality compared with liberal transfusion.
286
6 g/dl and 10 g/dl, need based transfusions may be given based
on ongoing indication of organ ischemia, potential bleeding,
patient’s intravascular volume status and risk for
complications of inadequate oxygenation. The minimum
acceptable level of hemoglobin varies for patients because
individual persons may vary in their ability to tolerate and
compensate for anemia. If a preoperative patient is anemic, an
attempt should be made to find and treat the underlying
cause. If surgical procedures are required sooner, red blood
cell transfusions may be given preoperatively to correct the
anemia.
Platelet
It is well known that patients with severe thrombocytopenia
predispose to spontaneous bleeding and that patients with low
platelet count might be at increased risk for perioperative
bleeding. Many surgeons, therefore, insist on platelet counts
of at least 50 x 103/mL for major procedures. In contrast,
clinical observations suggest no increased bleeding tendency
in invasive procedures despite low platelet count (< 50 x 103/
mL). In agreement with this clinical perception, recent
guidelines from the American Association of Blood Banks
suggest only a low-grade recommendation for prophylactic
platelet transfusion in major non-neuroaxial surgery when the
platelet count is < 50 x 103/mL.
288
rates were lower when using the threshold value of 50 103/mL
compared to a threshold value of 100 x 103/mL without
increasing bleeding rates or bleeding volumes in patients
undergoing coronary bypass surgery.
Platelet transfusion thresholds in surgery and invasive procedures
289
In the absence of massive transfusion or hemorrhagic shock,
anticoagulant therapy, or consumptive disorders, such as
disseminated intravascular coagulation, de novo coagulation
factor depletion as an underlying etiology for clinically
significant bleeding is rare. Indeed, it is understood that
adequate coagulation persists with approximately one-third of
normal clotting factor concentrations and fibrinogen levels 75
mg/dL. Although these abnormalities will result in
derangements of laboratory coagulation parameters, clinical
coagulopathy does not typically correlate. With improved
understanding of in vivo coagulation, as well as the risks of
transfusion therapies, there have been notable changes in the
clinical indications for perioperative plasma transfusion. At
present, the strongest indication for plasma transfusion is for
the treatment of active hemorrhage that is believed related to
multiple coagulation factor deficiencies.
290
• Immediate reversal of warfarin anticoagulation when
severe bleeding is present and PCCs are not
available.
291
testing in a recent review.
Fibrinogen Concentrate/Cryoprecipitate
The discussion regarding the perioperative administration of
fibrinogen concentrate is ongoing due to missing large
randomized trials. There is only 1 small randomized trial
showing the beneficial effect of fibrinogen administration after
major cardiac surgery. The administration of fibrinogen
concentrate or cryoprecipitate might reduce postoperative
bleeding and transfusion. However, the liberal fibrinogen
substitution in the perioperative setting cannot be
recommended for several reasons. First, bleeding in the
perioperative setting is often multifactorial. Second, threshold
levels for fibrinogen substitution are discordant. Third, current
recommendations about the substitution target to reduce the
incidence of allogeneic blood products transfusions are
unclear due to missing adequately powered randomized trials.
292
Finally, it is unclear whether fibrinogen substitution improves
patients outcomes.
Conclusion
Allogeneic red cell transfusion is a very common intervention
in the peri-operative period. The commonest trigger used to
guide red cell transfusion remains the Hb. Transfusion should
be considered if Hb below 80 g/dl and usually indicated if Hb is
below 7 g/dl. The decision to transfuse should be based on the
clinical condition of the patient (higher thresholds may be
appropriate in individual cases).
References
1. Clifford L, Kor D J and Stubbs J R. Perioperative transfusion
needs in Rossi’s Principles of Transfusion Medicine, 5th
edition. 2016
2. Monsef and Boettner. International Journal of Clinical
Transfusion Medicine 2015 ; 3 : 69
3. Kaur et al. Internet Journal of Medical Update (2013); Vol.8
(1): 46 - 50
4. Bolliger et al. Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia (2015); Vol 29 (3):p.768-76
5. National Blood Authority. Patient Blood Management
Guidelines : Perioperative. 2012
6. Shah et al. Anaesthesia 2015; 70 (Suppl. 1): 10–19
295
296
Pencegahan dan Tatalaksana Trombosis Vena pada
Perioperatif
Abstrak
Tindakan operasi bedah umum dikaitkan dengan risiko
trombosis vena (TV) yang signifikan. Prevalensi tinggi dan
onset yang sering asimtomatik dari kondisi ini
menggarisbawahi pentingnya penilaian risiko dan tindakan
profilaksis yang tepat. Penilaian risiko individu sangat penting
untuk pemilihan metode profilaktik yang tepat untuk pasien
bedah umum. Kompresi pneumatik intermiten (KPI) dan
stoking kompresi telah terbukti mengurangi risiko untuk
terjadinya TV paska operasi pada pasien bedah risiko rendah.
Pada pasien bedah risiko sedang dan tinggi, seperti mereka
dengan penyakit ganas, farmakologis profilaksis diberikan
hingga empat minggu. Unfractionated heparin (UFH) dan low
molecular weight heparin (LMWH) adalah aman dan efektif
untuk profilaksis TV pada populasi pasien ini. Namun, data
prospektif menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
berkembang gejala TV paska operasi, ternyata telah menerima
beberapa bentuk profilaksis, yang secara nyata tidak efektif.
Oleh karena itu, metode yang lebih efektif diperlukan untuk
pasien yang berisiko tinggi. Penghambat faktor Xa,
297
fondaparinux, juga telah terbukti aman dan efektif untuk
profilaksis TV pada pasien yang telah menjalani operasi
abdomen, terutama pada pasien dengan kanker. Hasil ini
menunjukkan bahwa fondaparinux dapat lebih meningkatkan
pencegahan TV pada populasi bedah umum. Tidak ada metode
profilaksis TV yang sesuai untuk setiap pasien. Oleh karena itu,
manfaat dan risiko dari masing-masing metode profilaksis TV
harus ditimbang untuk masing-masing pasien sehingga rejimen
profilaksis optimal dapat dimulai. Pengobatan TVD terdiri dari
tiga fase, fase awal (5-21 hari setelah diagnosis), pasien
menerima baik terapi parenteral dan transit ke vitamin K
antagonis (VKA) atau menggunakan direct oral anticoagulants
dosis tinggi (DOACs). Fase jangka panjang (setelah 3-6 bulan),
pasien diobati dengan VKA atau DOACs. Dan fase diperpanjang
(di luar 3-6 bulan pertama) didasarkan pada keseimbangan
manfaat / risiko dari antikoagulasi lanjutan.
Pendahuluan
TV meningkat tajam seiring bertambahnya usia (Gambar 1)
dan tampak stabil selama 25 tahun terakhir, meskipun dengan
strategi pencegahan. Wanita lebih sering terkena pada usia
yang lebih muda, rasio ini berbalik pada usia lanjut. Insiden
serupa pada orang kulit hitam tetapi lebih rendah pada orang
Asia.. Hampir 2/3 kasus TV adalah tombosis vena dalam (TVD),
dan 80% proksimal. TVD merupakan kelainan kardiovaskuler
ketiga tersering setelah penyakit koroner arteri dan stroke.
Studi populasi di Eropa baru-baru ini melaporkan kejadian TVD
70-140 kasus / 100.000 orang-tahun. 1-2
TVD dalam sebagian besar juga menjadi faktor predisposisi
terjadinya emboli paru (EP). TVD distal (di bawah lutut) lebih
298
sering dikaitkan dengan situasi sementara. sementara yang
proksimal ke kondisi kronis. Dalam 25-50% pertama episode
TVD, tidak ada faktor predisposisi yang teridentifikasi. Pada
pasien dengan TVD tanpa EP, tingkat mortalitas jangka pendek
dilaporkan 2-5%, lebih sering terjadi di proksimal daripada
distal. Risiko rekurensi TVD tinggi, terutama dalam 6 bulan
pertama. Komplikasi dini dan menengah meliputi trombosis
berkepanjangan, dan kekambuhan TVD dan EP.3-5
299
tambahan. Skor Villalta digunakan untuk diagnosis SPT dan
evaluasi pengobatan (Tabel 1).6-8
TV adalah komplikasi serius yang sering dijumpai dalam
praktek medis dan bedah. TVD dapat terjadi diatas 50% pada
pasien yang dihospitalisasi jika tidak mendapat profilaksis
meskipun banyak diantaranya adalah asimtomatik (Tabel 2).
Ini dapat memperpanjang masa lamanya perawatan di rumah
sakit, meningkatnya biaya obat dan pemeriksaan
laboratorium, serta potensial meyebabkan EP yang fatal. EP
tetap sebagai penyebab terbesar kematian yang sebenarnya
dapat dicegah. Data menunjukkan 1% dari semua kematian
pasien yang dihospitalisasi karena EP.9
Masalah tindak lanjut jangka panjang pasien tidak mudah
untuk dipecahkan dan banyak peristiwa TVD terjadi beberapa
minggu atau lebih lama setelah dipulangkan. Data mengenai
pengobatan readmisi, kematian, dan rawat jalan TVD yang
menggunakan LMWH mungkin sangat sulit untuk didapat dari
ahli bedah. Dokter yang sibuk pada umumnya tidak
mengaitkan stroke atau berbagai gejala paska operasi lainnya
karena disebabkan oleh TVD paska operasi. Tidak
mengherankan jika banyak orang merasa bahwa TVE tidak
menjadi masalah dalam praktik klinis.10
300
Tabel 1. Skor Vilalta
301
Diagnosis Trombosis Vena
Penilaian pra-tes probabilitas adalah langkah pertama
dalam algoritma diagnostik kecurigaan TVD (Gambar 2).
Sensitifitas dan spesifisitas gejala klinis rendah ketika
dipertimbangkan secara individual, namun kombinasi
menggunakan aturan prediksi, memungkinkan pra-uji
klasifikasi probabilitas klinis menjadi dua (DVT unlikely atau
likely) atau tiga kategori (probabilitas rendah, menengah, atau
tinggi) sesuai dengan peningkatan prevalensi penyakit. Skor
Wells telah divalidasi secara luas dan dapat diterapkan baik
untuk rawat jalan maupun rawat inap (Tabel 3). Panel pakar
mendukung probabilitas pra-tes dua tingkat yang dimodifikasi
karena mudah digunakan.11
304
poplitea, setelah kompresi penuh, adalah kriteria di AS yang
paling divalidasi.16
305
hampir setengah dari mereka adalah pasien bedah umum.
Karena data yang kuat menunjukkan TV berisiko tinggi pada
pasien bedah umum, studi klinis tanpa profilaksis tidak lagi
dilakukan pada populasi pasien ini, dan dengan demikian,
risiko saat ini dari TV pada pasien yang tidak terlindungi tidak
diketahui. Insiden TV pada populasi pasien ini tanpa profilaksis
adalah sekitar 30% dalam penelitian yang dilakukan pada
pertengahan hingga akhir 1970-an menggunakan metode
diagnostik obyektif yang sangat sensitif. Dengan profilaksis
farmakologis, insiden berkisar 4,6-8%. Meskipun keseriusan
kondisi dan prevalensinya, telah menunjukkan bahwa 25-62%
pasien bedah umum tidak menerima profilaksis apa pun. Di sisi
lain, data terbaru mengungkapkan bahwa lebih dari 50%
pasien mengalami TV paska operasi telah menerima profilaksis
farmakologis. Jelas, ada kebutuhan untuk meningkatkan
pencegahan TEV pada pasien bedah umum.
TV sulit didiagnosis karena sering asimtomatik dan, saat ini,
gejala tidak spesifik. Gejala TVD termasuk nyeri kaki, berat, dan
bengkak. Gejala EP termasuk nyeri dada, sesak napas,
takipnea, demam, hipotensi ortostatik sementara, pingsan,
kematian mendadak, dan stroke paska operasi. Meskipun
banyak ahli bedah mungkin berpikir bahwa TV paska operasi
tidak umum, banyak kemungkinan besar melihat tanda-tanda
TV sering, tetapi mengabaikan kemungkinan kaitan ke TV. Pada
70 hingga 80% pasien yang meninggal karena EP di rumah
sakit, diagnosis ini bahkan tidak dipertimbangkan sebelum
kematian pasien.
Tabel 4. berikut menunjukkan beberapa masalah yang
sering terlihat yang pada diagnosis pertama yang mungkin
tidak terkait dengan TVD. Caprini merekomendasikan untuk
306
mempunyai kecurigaan yang tinggi untuk pasien yang
menunjukkan manifestasi klinis ini. Tidak semua masalah
tersebut akan fatal atau serius, tetapi dapat menyebabkan
pasien untuk kemudian menjadi SPT atau memiliki insiden TVD
yang lebih tinggi jika mereka menjalani prosedur operasi
berikutnya
Pencegahan TV penting karena TV dengan gejala atau tanpa
gejala berhubungan dengan konsekuensi jangka panjang,
bahkan ketika kondisi didiagnosis dan diobati. Komplikasi
serius umum yang terkait dengan TVD SPT, yang ditandai oleh
kerusakan pembuluh darah permanen yang menyebabkan
pembengkakan kaki kronis yang memburuk di siang hari dan
mungkin disertai dengan adanya varises, edema , kelainan
kulit, dan ulserasi kulit. Dalam sebuah penelitian prospektif
dari 528 pasien dengan TVD yang dikonfirmasi dengan
venografi, 19% di antaranya adalah paska operasi, kejadian
kumulatif SPT pada dua, lima, dan delapan tahun setelah
diagnosis awal dan pengobatan adalah masing-masing 24,5%,
29,6%, dan 29,8%. SPT juga mnjadi masalah ekonomi yang
signifikan dari TVD. Diperkirakan bahwa 15 juta orang Amerika
menderita SPT dan dua juta hari kerja terlewatkan setiap tahun
karena kondisi tersebut.
TVD atau EP berulang juga merupakan konsekuensi klinis
umum dari TV. Insiden kumulatif TV berulang setelah dua,
lima, dan delapan tahun masing-masing adalah 17,2%, 24,3%,
dan 29,7%. Konsekuensi yang jarang, tetapi serius yang terkait
dengan TVD simtomatik dan tidak simtomatik adalah EP yang
fatal. Diperkirakan bahwa kurang dari 50% pasien yang hidup
satu tahun setelah EP akut. Selain itu, hampir 1% pasien yang
bertahan dengan EP akut akan mengalami hipertensi pulmonal
307
kronis. EP juga dikaitkan dengan stroke emboli pada pasien
dengan foramen ovale paten (FOP), suatu kondisi yang
diperkirakan ada pada 10% hingga hampir 30% dari populasi
umum. EP dapat menyebabkan tekanan yang meningkat di sisi
kanan jantung, yang dapat menyebabkan ekspansi FOP.
Gumpalan atau bagian gumpalan dapat berpindah dari bilik
kanan ke bilik kiri jantung melalui FOP yang diperluas,
menyebabkan kejadian iskemik serebral dan perifer yang
merupakan karakteristik emboli paradoks (perjalanan
gumpalan dari vena ke arteri). Ini merupakan konsekuensi
serius, melumpuhkan, dan terkadang fatal dari TV, sehingga
pentingnya pencegahan pada pasien yang berisiko, termasuk
pasien yang menjalani operasi umum.
Tabel 4. Manifestasi Umum dari Trombosis Vena Termasuk
Penyelidikan yang Diperlukan Untuk Mengungkap Semua
Kasus Penyakit.
308
Meskipun insiden TV yang tinggi telah ditunjukkan pada
pasien bedah umum, risiko TV bervariasi di antara pasien
bedah umum, dan metode yang berbeda dari profilaksis sesuai
untuk berbagai tingkat risiko. Pendekatan optimal untuk
penilaian risiko dan profilaksis TV harus menggabungkan
pedoman praktik berbasis bukti, konsensus, dan klinis.
Beberapa model penilaian faktor risiko telah diusulkan untuk
memprediksi risiko.17
309
ortopedi juga dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk
TV. Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap lebih dari
satu juta pasien bedah, kejadian TV simptomatik paling tinggi
di antara pasien yang menjalani bedah ortopedi pinggul atau
lutut, serta mereka yang menjalani bedah saraf invasif yang
melibatkan insisi otak, eksisi, atau biopsi. Prosedur lain yang
terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan untuk TV
termasuk bedah vaskular besar, reseksi usus kecil atau besar,
pintas lambung, kistektomi radikal, transplantasi ginjal, dan
amputasi di bawah lutut. Risiko rendah TV dilaporkan operasi
dengan diseksi leher radikal, perbaikan hernia inguinal, usus
buntu, kolesistektomi laparoskopi, prostatektomi
transurethral, perbaikan sistokel atau rektokel, perbaikan
ligamentum krukiatum, dan operasi tiroid atau paratiroid.
Kondisi medis tertentu, termasuk gagal jantung kongestif,
penyakit paru obstruktif kronik, infark miokardial, stroke,
sindrom nefrotik, gangguan radang usus, dan lupus
eritematosus sistemik diketahui meningkatkan risiko TV. Ada
hubungan yang kuat antara kanker dan TV. Pasien kanker yang
menjalani operasi memiliki peningkatan risiko dua sampai lima
kali lipat untuk TV paska operasi, dibandingkan dengan pasien
non kanker yang menjalani prosedur yang sama. Selain itu, di
antara pasien dengan TVD, mereka dengan kanker memiliki
lebih dari dua kali lipat peningkatan risiko kekambuhan TV
dibandingkan mereka yang tidak menderita kanker. Dalam
sebuah penelitian retrospektif terhadap 986 pasien yang
menjalani UV karena diduga TVD, 12% pasien dengan TVD yang
dikonfirmasi kemudian ditemukan menderita kanker.
Sebaliknya, telah ditunjukkan bahwa TV yang terlihat secara
klinis terdapat 15% dari pasien kanker, dengan insiden yang
310
jauh lebih tinggi dilaporkan pada studi postmortem.
Kemungkinan untuk terjadinya TV pada pasien kanker
meningkat di antara mereka dengan penyakit klinis yang lebih
lanjut dan bervariasi menurut jenis tumor. Keganasan yang
berasal dari rahim, otak, ovarium, pankreas, lambung, ginjal,
dan usus besar telah dikaitkan dengan risiko relatif tertinggi
untuk TEV.
Gangguan trombofilia yang didapat atau diturunkan juga
dapat meningkatkan risiko TV. Sebuah mutasi pada gen faktor
V yang menghasilkan resistensi terhadap aksi protein C, yang
dikenal sebagai faktor V Leiden, adalah penyebab paling umum
dari trombosit familial. Mutasi ini dapat meningkatkan risiko
TV menjadi 50 - 80 kali lipat dari populasi umum pada individu
yang mutasi homosigot dan tiga kali lipat pada individu
heterosigot. Penyebab paling umum kedua dari trombofilia
familial adalah mutasi prothrombin 20210A. Mutasi ini
dikaitkan dengan peningkatan tiga kali lipat dalam risiko TV.
Gangguan thrombofilia lainnya adalah sindroma antibodi
antifosfolipid. Kejadian tromboemboli dilaporkan pada sekitar
sepertiga pasien antiphospholipid positif. Risiko trombosis
berulang pada pasien ini berkisar 22 - 69%. Gangguan
trombofilia lainnya termasuk hiperhomosisteinemia; protein
C, protein S, dan defisiensi antitrombin; dan peningkatan
faktor koagulasi, termasuk faktor II, VIII, IX, dan XI. Deteksi
gangguan ini sangat penting untuk mengidentifikasi risiko
pasien yang sebenarnya untuk TV dan harus menjadi faktor
dalam mengambil keputusan apakah pasien menjalani operasi
atau tidak.
Risiko untuk TV berkisar dari sangat rendah hingga tinggi
pada pasien yang menjalani operasi bedah umum.
311
Penempatan kategori risiko tergantung pada keberadaan
faktor-faktor yang mempengaruhi risiko untuk TV, termasuk
jenis operasi, usia, imobilisasi, dan komorbiditas. Telah
ditunjukkan bahwa hingga 36% pasien bedah umum memiliki
tiga atau lebih faktor risiko, menempatkan mereka dalam
kelompok risiko tinggi. Ini adalah kelompok di mana
farmakologis TV profilaksis sangat dianjurkan. Jumlah faktor
yang dapat mempengaruhi risiko TV dan berbagai agen yang
tersedia untuk profilaksis TV dapat membuat penilaian dan
manajemen risiko menjadi sulit.
312
Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko telah disarankan sebagai sarana untuk
menentukan risiko untuk TV pada pasien yang menjalani
operasi dan memandu pemilihan tindakan profilaksis yang
tepat. Model penilaian risiko, seperti yang digambarkan pada
Tabel 6 dapat digunakan untuk menetapkan setiap pasien skor
faktor risiko total, yang kemudian dapat digunakan untuk
mengkategorikan pasien ke dalam satu dari empat kategori
risiko (sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi). Metode
yang tepat untuk profilaksis TV dapat dipilih berdasarkan
tingkat risiko pasien, dengan mempertimbangkan setiap
kontraindikasi terhadap profilaksis yang mungkin ada.
314
TEV pada populasi pasien ini dan mungkin sangat efektif pada
pasien di kategori risiko tinggi. Selain itu, untuk pasien dengan
risiko tinggi untuk TV, profilaksis mekanik dikombinasikan
dengan farmakologis profilaksis dapat lebih efektif daripada
profilaksis farmakologis saja. Hasil penelitian APOLLO
menekankan nilai gabungan profilaksis karena dalam
percobaan itu, kejadian TVD adalah 1,7% pada pasien bedah
umum risiko sedang dan tinggi.
316
Tabel 8. Lamanya Pemberian Profilaksis TV yang Menjalani
Pembedahan.
317
kurang (< 50 kg). Kerugian utama UFH adalah variabilitas dosis
antar individu yang membutuhkan pemantauan laboratorium
dan penyesuaian dosis. Selain itu, UFH dikaitkan dengan risiko
tinggi heparin induced thrombocytopenia (HIT). Untuk alasan
ini, LMWH parenteral adalah pilihan selanjutnya. LMWH
setidaknya sama efektifnya dengan UFH dan mungkin lebih
aman. Fondaparinux juga dapat digunakan sebagai agen
parenteral. Tetapi LMWH dan fondaparinux tidak memiliki
obat penawar khusus.
318
parenteral. Tetapi LMWH dan fondaparinux tidak memiliki
obat penawar khusus.
Baru-baru ini, DOACs muncul sebagai pilihan yang valid
untuk pengobatan DVT. Dabigatran dan edoxaban diberikan
setelah perawatan 7-9 hari pertama dengan agen parenteral.
Apixaban dan rivaroxaban dievaluasi juga sebagai obat
tunggal. DOACs memiliki waktu paruh eliminasi lebih lama
daripada UFH atau LMWH dan dapat terakumulasi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (bersihan kreatinin < 30 mL /
menit) atau fungsi hati (Child-Pugh kelas B atau C). Pasien
dengan fungsi ginjal dan / atau hati yang buruk, kehamilan /
laktasi, trombositopenia, dikeluarkan dari studi fase III. Pasien
dengan kanker aktif jarang diwakili (3-8% dari seluruh populasi
penelitian). DOACs setidaknya sama efektifnya dengan dan
mungkin lebih aman daripada pengobatan parenteral / VKA.
Meta-analisis (27.023 pasien) menunjukkan tingkat
kekambuhan VTE yang sama pada pasien yang menerima
DOAC atau terapi konvensional (2,0% vs 2,2%, RR 0,90).
Perdarahan mayor (RR 0,61), perdarahan fatal (RR 0,36),
perdarahan intrakranial (RR 0,37), dan perdarahan non mayor
yang relevan secara klinis (RR 0,73) secara signifikan lebih
rendah pada pasien yang diobati DOACs.
Pengangkatan bekuan (trombolisis/trombektomi) dini juga
dapat mencegah, setidaknya sebagian, terjadinya SPT.
Catheter-directed thrombolysis (CDT) lebih efisien daripada
lisis sistemik, terutama karena perdarahan yang lebih sedikit,
karena agen trombolitik langsung diberikan dalam bekuan.
Tiga percobaan terkontrol acak utama membandingkan
modalitas CDT yang berbeda di atas antikoagulan dan
kompresi, dengan kelompok kontrol (hanya antikoagulasi dan
319
kompresi). Percobaan CAVENT termasuk 209 pasien dengan
TVD akut pertama (iliaka, femoralis umum, dan / atau vena
femoralis bagian atas). Penambahan CDT dikaitkan dengan
penurunan SPT sebesar 26% selama 2 tahun (41,1% vs 55,6%,
P = 0,04) dibandingkan dengan antikoagulan saja. Jumlah sisa
trombus paska CDT berkorelasi dengan tingkat patensi vena
pada 24 bulan (P = 0,04). Ketahanan patensi vena pada 6 dan
24 bulan berkorelasi dengan kebebasan SPT (P <0,001). 3,2%
pasien mengalami perdarahan mayor, tetapi tidak ada
perdarahan intrakranial atau kematian. Secara keseluruhan,
percobaan tidak menemukan perbedaan jangka panjang (2
tahun) kualitas hidup antara pasien dengan atau tanpa CDT.
Hasilnya telah dikonfirmasi setelah 5 tahun pengamatan.
Pemindahan trombus mekanis saja tidak berhasil dan
memerlukan terapi tambahan trombolitik. Dalam studi PEARL
I dan II, hanya 5% pasien yang diobati tanpa trombolitik.
Hingga 83% pasien yang diobati dengan terapi berbasis
kateter, memerlukan terapi tambahan angioplasti, dan
stenting. Pemasangan stenting sebagai terapi utama TVD akut
tidak disarankan karena kurangnya data.
Filter vena kava dapat digunakan ketika antikoagulasi
benar-benar kontraindikasi pada pasien dengan TVD proksimal
yang baru didiagnosis. Salah satu komplikasi utama adalah
terbentuknya trombosis pada filter. Oleh karena itu,
antikoagulan harus dimulai segera setelah kontraindikasi tidak
ada dan filter dengan cepat dicabut. Penempatan filter
sebagai terapi tambahan antikoagulasi, tidak meningkatkan
kelangsungan hidup kecuali pada pasien dengan PE yang tidak
stabil secara hemodinamik atau setelah terapi trombolitik.
320
Peningkatan kekambuhan TVD terjadi dengan filter permanen
tetapi tidak dengan filter temporer.
Tujuan pengobatan non farmakologi kompresi adalah
untuk meredakan gejala vena dan akhirnya mencegah SPT.
Efektivitas stoking kompresi elastis telah dilakukan melalui
studi SOX. Sebanyak 806 pasien dengan TVD proksimal telah
diacak baik pada 2 perlakuan yaitu, kompresi tekanan 30-40
mmHg atau plasebo (<5 mmHg) stoking. Kumulatif 2 tahun
kejadian SPT adalah serupa (52,6% vs 52,3%; HR = 1,0). Tidak
ada perbedaan dalam tingkat keparahan atau kualitas hidup
SPT yang diamati. Namun, definisi kepatuhan (stoking yang
digunakan untuk > 3 hari / minggu) secara signifikan lebih
rendah daripada dalam studi sebelumnya (56% vs 90%).
Meskipun peran stoking dalam pencegahan SPT mungkin tidak
pasti, penggunaannya tetap merupakan pilihan yang rasional
untuk mengendalikan gejala akut TVD proksimal. Kompresi
yang terkait dengan mobilisasi dini dan latihan berjalan telah
menunjukkan efikasi yang signifikan dalam meredakan gejala
vena pada pasien dengan DVT akut. Perhatian khusus harus
digunakan pada pasien dengan penyakit arteri perifer yang
parah.21
Kesimpulan
Meskipun TV relatif umum terjadi sebagai komplikasi paska
operasi dan merupakan penyebab sering kematian mendadak
paska operasi, profilaksis TV masih kurang dimanfaatkan.
Karena TV sering asimtomatik dan, gejala tidak spesifik, ahli
bedah mungkin merasa bahwa mereka tidak sering melihat TV
dalam praktiknya. Namun, tanda-tanda TV termasuk nyeri
kaki, pembengkakan kaki, nyeri dada, sesak napas, hipotensi
321
ortostatik transien, kelebihan narkotik, pingsan, hipoksia,
kematian mendadak, stroke paska operasi, dugaan infark
miokard, dan pneumonia paska operasi, relatif umum timbul
setelah operasi.
Karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan yang
terkait dengan TV, risiko TV harus dipertimbangkan pada
semua pasien bedah umum. Dalam populasi ini, hampir 40%
pasien berada pada risiko tinggi TV ( ≥ 5 faktor risiko), oleh
karena itu memerlukan profilaksis TV. Skema stratifikasi risiko
dapat membantu untuk memandu intensitas kejadian
pembekuan darah. Skema stratifikasi risiko bermanfaat untuk
menilai risiko TV pada pasien bedah umum. Bersama dengan
pertimbangan kontraindikasi atau prakondisi, stratifikasi risiko
dapat digunakan untuk memandu ahli bedah dalam pemilihan
terapi profilaksis yang optimal untuk setiap pasien.
Data klinis menunjukkan bahwa penggunaan profilaksis
nonfarmakologik, seperti stoking dan KPI, dapat efektif pada
pasien dengan risiko rendah, risiko sedang, dan dapat lebih
meningkatkan perlindungan terhadap TV pada pasien berisiko
tinggi bila digunakan dalam kombinasi dengan agen
farmakologis. Terapi farmakologis, termasuk UFH dan LMWH,
direkomendasikan untuk digunakan pada semua risiko sedang
dan tinggi ( ≥ 3 faktor risiko) pasien bedah umum. Selain itu,
fondaparinux adalah pilihan pengobatan penting untuk pasien
berisiko tinggi yang menjalani operasi abdomen, terutama
untuk kanker. Telah terbukti bahwa profilaksis farmakologis
diperpanjang (hingga 4 minggu) dapat secara signifikan
mengurangi kejadian peristiwa TV dibandingkan dengan
profilaksis selama satu minggu. Berdasarkan data ini,
322
disarankan bahwa pasien risiko tinggi menerima profilaksis
farmakologis yang diperpanjang.
UFH adalah agen farmakologis yang paling murah dan aman
untuk digunakan pada pasien dengan gagal ginjal dan mereka
yang menjalani anestesi neuraksial. Namun, ini terkait dengan
HIT dan harus diberikan tiga kali sehari pada pasien yang
berisiko tinggi untuk TV. LMWH telah terbukti setidaknya aman
dan efektif seperti UFH, terkait dengan insiden HIT yang lebih
rendah, dapat diberikan satu atau dua kali sehari, dan dapat
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
kanker. LMWH harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan gagal ginjal atau pada mereka yang menjalani anestesi
neuraksial. Pemberian profilaksis penghambat faktor Xa,
fondaparinux, telah terbukti aman dan setidaknya sama
efektifnya dengan UFH dan LMWH untuk pencegahan TV
setelah pembedahan abdomen dan secara signifikan lebih
efektif daripada LMWH pada kanker pasien bedah.
Fondaparinux memiliki waktu paruh yang panjang,
memungkinkan untuk dosis sekali sehari, tetapi ini dapat
menjadi kerugian dalam hal komplikasi perdarahan dan tidak
dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal lanjut.
Tidak ada satu pun metode profilaksis TV yang optimal
untuk setiap pasien. Manfaat dan risiko masing-masing agen
harus dipertimbangkan untuk setiap pasien sehingga terapi
yang paling aman dan paling efektif dimulai. Sampai sekarang,
sedikit yang diketahui tentang durasi yang tepat dari langkah-
langkah ini; namun, pada pasien tertentu yang berisiko tinggi
untuk TV, dianjurkan profilaksis diperpanjang.
323
Untuk tatalaksana pasien sudah terjadi komplikasi TVD
paska operasi, pasien dengan TVD proksimal harus diberikan
anti-koagulan setidaknya selama 3 bulan. Pasien dengan TVD
distal yang terisolasi pada risiko kekambuhan tinggi harus
diberikan anti-koagulan, sama seperti untuk TVD proksimal.
Untuk pasien yang berisiko kekambuhan rendah pengobatan
dapat diberikan lebih singkat (4-6 minggu), bahkan pada dosis
anti koagulan yang lebih rendah, atau pengawasan ultrasound
dapat dipertimbangkan.
Dengan tidak adanya kontraindikasi, DOAC dapat
digunakan sebagai terapi anti-koagulan lini pertama pada
pasien non-kanker dengan DVT proksimal.
Daftar Pustaka
1. Heit JA. The epidemiology of venous
thromboembolism in the community. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2008;28:370–372.
2. Raskob GE, Angchaisuksiri P, Blanco AN, Buller H,
Gallus A, et. al. Thrombosis: a major contributor to
global disease burden. Arterioscler Thromb Vasc Biol
2014;34:2363–2371.
3. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N,
Fitzmaurice D, et. al. Task Force for the D,
Management of Acute Pulmonary Embolism of the
European Society of Cardiology. 2014 ESC guidelines
on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism. Eur Heart J 2014;35:3033–3069.
4. Galanaud JP, Kahn SR, Khau Van Kien A, Laroche JP,
Quere I. Epidemiology and man- agement of isolated
324
distal deep venous thrombosis]. La Revue De
Medecine Interne/ Fondee Par La Societe Nationale
Francaise De Medecine Interne 2012;33:678–685.
5. Mearns ES, Coleman CI, Patel D, Saulsberry WJ,
Corman A, Li D, Hernandez AV. Index clinical
manifestation of venous thromboembolism predicts
early recurrence type and frequency: a meta-analysis
of randomized controlled trials. J Thromb Haemost
2015;13:1043–1052.
6. Prandoni P, Kahn SR. Post thrombotic syndrome:
prevalence, prognostication and need for progress. Br
J Haematol 2009;145:286–295.
7. Baldwin MJ, Moore HM, Rudarakanchana N, Gohel M,
Davies AH. Post thrombotic syndrome: a clinical
review. J Thromb Haemost 2013;11:795–805.
8. Soosainathan A, Moore HM, Gohel MS, Davies AH.
Scoring systems for the postthrombotic syndrome. J
Vasc Surg 2013;57:254–261.
9. The Australia and Nee Zealand Working Party on the
Management and Prevention of Venous
Thromboembilism. Prevention of Venous
Thromboembolism. Best Practice Guidelines for
Australia and New Zealand 4th Edition.
10. Caprini JA. Thrombosis risk assessment as a guide to
quality patient care. Dis Mon 2005;51:70-78.
11. Geersing GJ, Zuithoff NP, Kearon C, Anderson DR, Ten
Cate-Hoek AJ, et. Al. Exclusion of deep vein thrombosis
using the Wells rule in clinically important subgroups:
individual patient data meta-analysis. BMJ
2014;348:g1340.
325
12. Righini M, Perrier A, De Moerloose P, Bounameaux H.
D-Dimer for venous thromboembolism diagnosis: 20
years later. J Thromb Haemost 2008;6:1059–1071.
13. Le Gal G, Robert-Ebadi H, Carrier M, Kearon C,
Bounameaux H, Righini M. Is it useful to also image the
asymptomatic leg in patients with suspected deep vein
thrombosis? J Thromb Haemost 2015;13:563–566.
14. Galanaud JP, Sevestre MA, Genty C, Pernod G, Quere I,
Bosson JL. Is it useful to also image the asymptomatic
leg in patients with suspected deep vein thrombosis?
Comment. J Thromb Haemost 2015;13:2127–2130.
15. Lewiss RE, Kaban NL, Saul T. Point of care ultrasound
for a deep venous thrombosis. Glob Heart 2013;8:329–
333.
16. Hamadah A, Alwasaidi T, Leg G, Carrier M, Wells PS, et.
al. Baseline imaging after therapy for unprovoked
venous thromboembolism: a randomized controlled
comparison of baseline imaging for diagnosis of
suspected recurrence. J Thromb Haemost
2011;9:2406–2410.
17. Caprini JA, Arcelus JI. Venous thromboembolism
prophylaxis in the general surgical patient. The Vein
Book, Elsevier Inc 2006:369-380.
18. Bahl V, Hu H, Henke PK, Wakefield TW, Campbell. A
validation study of retrospective venous
thromboembolism risk survey method. Ann Surg
2010;251:344-345.
19. Gould MK, Garcia DA, Wren SM, Karanicolas PJ,
Arcelus JI, et. al. Prevention of VTE in nonorthopedic
surgical patients: antithrombotic therapy and
326
prevention of thrombosis, 9th ed: American College of
Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice
Guidelines. Chest 2012 Feb;141(2 Suppl):e227S-e277S.
20. Falck Y, Francis CW, Jahanson NA, Curley C, Dahl OE,
et. al. Prevention of VTE in orthopedic surgery
patients: Antithrombotic Therapy and Prevention of
Thrombosis, 9th ed: American College of Chest
Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines.
Chest 2012 Feb;141(2S):e278S-e325S.
21. Mazzolai L, Aboyans V, Ageno W, Agnelli G, Alatri A, et.
al. Diagnosis and management of acute deep vein
thrombosis: a joint consensus document from the
European society of cardiology working groups of
aorta and peripheral vascular diseases and pulmonary
circulation and right ventricular function. European
Heart Journal 2017;00:1–14 .
327
328
Pathogenesis and Clinical Overview of Chronic Immune
Thrombocytopenia Purpura
Introduction
330
take place, which contributes to stimulating pathogenic
antibody production thereby contributing to the progression
of the disease.
Therapies of ITP
Based on the pathogenetic mechanisms, the treatment
strategies of ITP consist of (1) decreasing the autoreactive
nature of the immune response by targeting the autoreactive
antibody production and the platelets destruction; (2)
331
stimulating platelet production to increase platelet counts;
and (3) increasing platelets half-life. Indeed, the effectiveness
of the treatment depends on the initial trigger of the
thrombocytopenia, which is often multifactorial and target
component of adaptive immunity (T and B cells) as well as
inflammatory factors (cytokines and the presence of
autoantigens). Therefore, therapies targeting these two
aspects of the disease may be more efficient than
administrating a treatment affects one or the other.
332
in about 60% of the patients. The 2011 ASH guideline
recommended splenectomy as second-line treatment for ITP
with the recommendation to try to delay splenectomy to 6
months to 1 year after diagnosis. Splenectomy is not without
risk, surgery-related complications have been reported in up
to 25% of the cases, including about 1% mortality rate,
therefore is often not preferred by patients. Recently, data
suggest that < 25% of patients ITP undergo splenectomy.
Despite the risks, splenectomy is considered as one of
treatment modality for the long-term increase in platelet
counts in ITP.
334
Current Treatment Landscape in cITP
Lugyanti Sukrisman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
335
Benefit of PLD in MBC
Andhika Rachman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
336
Comparison Carboplatin-PLD versus carboplatin-
paclitaxel in Advanced recurrent ovarian cancer
Cosphiadi Irawan
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
337
Tatalaksana Anemia Hemolitik Autoimmun
338
Herceptin and its Biosimilars in eBC : What are the
things to consider in choosing between the two?
Djumhana Atmakusuma
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
339
Antibody Drug Conjugate (ADC) Therapy in
Relapsed/Refractory Hodgkin Lymphoma
Ikhwan Rinaldi
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
340
How can we convince eligible patients to use Dual
Blockage, Perjeta plus Herceptin, in HER2 + mBC?
Andhika Rachman
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
341
Unmet Needs in Relaps/Refractory Hodgkin Lymphoma
Treatment
Ronald Hukom
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RS Kanker Dharmais Jakarta
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
342
mCRC Case Sharing
Fifi Akwarini
Divisi Hematologi Onkologi Medik
Rumah Sakit Umum Santosa Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
343
Tatalaksana Myeloma Multipel
Rachmat Sumantri
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
344
Basic Immunotheraphy in cancer
Rachmat Sumantri
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Diajukan pada acara Bandung Hematology Oncology Meeting
27-28 Oktober 2018
345
The Important of PDL1 test in the era of
Immunotheraphy
346