Anda di halaman 1dari 12

Kecanduan Internet, Gaya Hidup atau Gangguan Mental?

Studi Fenomenologi Kecanduan Media Sosial di Indonesia


Nuning Kurniasih
Program Perpustakaan dan Ilmu Informasi, Jurusan Komunikasi dan Informatika Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Abstrak
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana pengguna internet, yang merasa bahwa
mereka adalah pengguna internet yang berat, menafsirkan arti kecanduan internet. Studi
fenomenologi ini didasarkan pada wawancara dengan 9 informan yang melihat diri mereka
sebagai pecandu internet. Seorang ahli psikologi telah diwawancara untuk triangulasi. Metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data yakni wawancara mendalam, observasi, dan
interaksi langsung dengan media sosial informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
informan menghabiskan 1 hingga 8 jam setiap hari untuk mengakses internet, dan mereka
merasa kesal, marah, bosan, terbuang, terputus dari dunia, atau merasa seperti ada sesuatu yang
hilang ketika mereka tidak dapat mengakses internet, (6) informan memiliki komitmen sendiri
dalam bekerja. Namun, para informan tidak menganggap kecanduan internet mereka sebagai
hal yang kritis. Sebaliknya, mereka merasa bahwa ‘kecanduan’ mereka sebagai bagian dari
kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup.

Kata kunci: kecanduan internet, pecandu internet, gaya hidup, gangguan mental

1. Latar Belakang
1.1. Fenomena “Kecanduan Internet”
Internet telah menjadi bagian terbesar dari kehidupan seseorang. Banyak orang
yang tidak dapat hidup tanpa internet, memeriksa gadget sejak mereka bangun
hingga waktu tidur mereka. Global Web Index Q4 2015 melaporkan bahwa orang
Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 4 jam 42 menit menggunakan PC dan 3
jam 33 menit menggunakan ponsel. Sementara itu, orang Indonesia yang
mengakses media sosial dari berbagai macam perangkat menghabiskan rata-rata 2
jam 51 menit di media social dalam sehari [13]. Sebuah meme di internet
menggambarkan fenomena ini menggunakan piramida kebutuhan oleh Abraham
Maslow dengan mengganti kebutuhan dasar manusia – pada tombol piramida –

1
dengan Wi-Fi telah menjadi viral di media sosial. Ini menyiratkan bagaimana
orang-orang membutuhkan Wi-Fi lebih dari apapun dalam hidup mereka. Orang-
orang dengan ketergantungan tinggi pada internet ini maka dianggap sebagai
pecandu internet.

1.2. Kecanduan Internet dan Gangguan Mental


Istilah Kecanduan Internet (KI) diperkenalkan oleh Young pada tahun 1996
[26] dan kemudian secara umum diterima pada tahun 2000 [21]. Ini merupakan
konseptualisasi manusia yang tidak dapat membedakan antara kehidupan online
dan offline. Seorang psikiatri atau seorang dokter perlu mendiagnosis terlebih
dahulu untuk menilai seseorang sebagai pecandu internet. Kumpulan diagnosis
psikiatri yang resmi adalah Diagnostic and Statistical Manual Work Group untuk
Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-5) [23]. American
Medical Association, pada tahun 2006, tidak merekomendasikan KI dalam DSM-5
[8] berdasarkan pada gagasan bahwa KI berbeda dari kecanduan lainnya.
KI dianggap normal dimana orang-orang cenderung menghabiskan waktunya
untuk sesuatu hal yang baru dan seiring berjalannya waktu mereka nantinya akan
bisa mengendalikan diri mereka [21]. Sementara itu, beberapa ahli berpendapat
bahwa DSM-5 termasuk Gangguan Kecanduan Internet (GKI) berdasarkan
pertimbangan bahwa spektrum gangguan kompulsif-impulsif dari KI memenuhi
subtipe DSM-5, yaitu permainan yang berlebihan, keasyikan seksual dan e-
mail/pesan teks (sms) [5, 18]. Jahanian dan Seifury [12] menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara kecanduan internet dan kesehatan mental siswa
sehingga mereka menyarankan untuk membatasi frekuensi penggunaan internet.
Penelitian Storm [12, 14] juga membahas bahwa kecanduan internet dapat
mempengaruhi prestasi akademik, siswa mengalami depresi karena mereka merasa
kesepian, malu, lelah, dan kurang tidur. Selain itu, kecanduan internet juga
menyebabkan seseorang untuk menghindari tanggung jawab sosialnya, mengisolasi
dirinya, kehilangan dukungan sosial, bekerja tidak efisien, dan berkinerja buruk di
sekolah [15]. Dengan demikian, KI sebagai gangguan mental masih bisa
diperdebatkan [8, 18].

1.3. Pertanyaan Penelitiaan

2
Gangguan mental, menurut DSM-5, ditafsirkan secara berbeda oleh norma-
norma budaya, sosial dan nilai-nilai keluarga. Penilaian diagnostik perlu
mempertimbangkan perbedaan budaya sosial dalam setiap pengalaman, gejala dan
perilaku individu, keluarga maupun konteks sosial [1]. Gangguan mental atau
penyakit mental adalah masalah kesehatan yang memengaruhi perasaan seseorang,
pikiran, perilaku dan interaksi seseorang dengan orang lain. Seseorang dianggap
sebagai orang yang mengalami gangguan mental memiliki tiga gejala, yaitu stigma,
menunjukkan kondisi tertentu yang terkategori sebagai gangguan mental oleh
seorang ahli kesehatan mental dan sebagai hasil dari kontrol sosial dengan
menggunakan perilaku yang disetujui secara sosial [6]. Namun demikian, orang-
orang cenderung memberi label hanya berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang
mereka dengar, dan bagaimana perasaan mereka.
Dalam penelitian ini, beberapa pengguna aktif media sosial menganggap diri
mereka sebagai pecandu internet karena ketergantungan mereka yang tinggi pada
internet. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana seseorang,
yang mengakui dirinya sebagai pecandu internet, bukan dengan diagnosis medis,
menafsirkan arti kecanduan internet?” Sebagai sebuah fenomona, kecanduan
internet dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti aspek medis, psikologis,
informatika, hukum, etika, sosial, dll. Dalam penelitian ini, peneliti menganggap
fenomena ini dalam konteks ilmu sosial berdasarkan perspektif komunikasi yang
diperantarai dengan komputer. Ini adalah penelitian yang diperlukan mengingat
generasi saat ini adalah generasi internet.

1.4. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki (1) alasan di balik informan yang
kecanduan internet, (2) kebiasaan penggunaan internet, (3) waktu yang digunakan
untuk mengakses internet, (4) perasaan ketika mereka mengakses internet, (5)
perasaan ketika mereka tidak dapat mengakses internet, (6) sudut pandang informan
tentang korelasi antara kecanduan internet dan kinerja kerja mereka, (7) poin adiktif
tentang internet, dan (8) bagaimana mengalihkan perhatian informan dari internet.

2. Metode Penelitian

3
Ini adalah penelitian fenomenologis dari kecanduan internet. Fenomenologi
adalah pendekatan filosofi untuk mempelajari pengalaman manusia dalam realitas
kesadaran sendiri. Konsep utama fenomenologi adalah makna. Edmund Gustav
Albecht Husserl menyarankan bahwa untuk memperoleh makna, kita perlu mengubah
struktur pengalaman implisit menjadi eksplisit [28]. Fokus fenomenologi adalah
pengalaman dari kesadaran individu, termasuk tujuan dari suatu tindakan dan sifat dari
niatnya (intensionalitas). Intentionalitas (niat) adalah suatu objek yang berfokus pada
orientasi kesadaran dan tindakan [25]. Penelitian ini berusaha mencari makna/arti dari
kecanduan internet dari mereka yang menganggap dirinya sebagai pecandu internet.
Fenomenologi mempersepsikan pengalaman seseorang dari perspektif orang
pertama, sehingga menurut Husserl, peneliti harus meminimalkan prasangka dan untuk
bisa terbuka ada objek penelitian, untuk mengurangi pengetahuan objek dari sumber
lain [28]. Data primer dikumpulkan dengan mewawancarai dan mengamati akun media
sosial informan, sementara data sekunder dikumpulkan dari tinjauan pustaka. Penelitian
ini dilaksanakan dari Maret hingga Oktober 2016 dengan sembilan informan. Para
informan adalah pengguna aktif media sosial yang menganggap diri mereka sebagai
pecandu internet. Teknik analisis data berdasarkan pada tahap analisis fenomenologi
yang meliputi (1) membaca dan membaca, (2) pencatatan awal, (3) mengembangkan
kemunculan tema, (4) mencari hubungan di seluruh tema yang muncul, (5) berpindah
pada kasus berikutnya dan (6) mencari pola di seluruh kasus [25].

3. Penemuan dan Diskusi

3.1. Mengapa Informan Menganggap Diri Sendiri sebagai Pecandu Internet


Dalam penelitian ini, seluruh informan menganggap dirinya sendiri sebagai
pecandu internet dikarenakan: mereka menganggap internet adalah bagian yang
penting dari kehidupannya; mereka merasa tidak lengkap dan tersisih tanpa
internet; mereka menjadi cemas dan kesal ketika internet tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Internet memenuhi kebutuhan mereka akan media informasi dan ini tidak
tergantikan. Hal ini relevan dengan temuan Cisco Connected World, yang
menyarankan bahwa internet bagian integral dari kehidupan manusia, seperti udara,
air, makanan, dll., sehingga manusia tidak dapat hidup tanpanya [20].
Temuan ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan informan pada
internet. Ini sejalan dengan pernyataan bahwa generasi internet bukan tentang usia

4
seseorang akan tetapi tentang bagaimana sebuah generasi terhubung dengan
teknologi dan internet. Pada era internet ini, manusia selalu terhubung secara
digital, dapat mengakses informasi di mana saja dan kapan saja, percaya pada
hubungan sosial online, dan mampu menyeimbangkan antara kehidupan dan
pekerjaan mereka. Penemuan ini menunjukkan bagaimana informan, yang lahir
pada tahun 1980-an juga memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi dan interaksi yang
tinggi dengan internet.

3.2. Penggunaan Internet Informan


Para informan menggunakan internet terutama bertujuan untuk bekerja dan
berbisnis. Sementara itu, tujuan lain adalah untuk belajar, untuk mencari informasi,
untuk mendapatkan pengetahuan, berkomunikasi, berbelanja, hiburan, untuk
menguntit pengguna lain, dan untuk membujuk orang lain dengan tujuan tertentu.
Aktivitas internet yang biasa dilakukan oleh informan termasuk memeriksa email,
memeriksa media sosial, mengunjungi link yang menarik di media sosial, membaca
berita online, memeriksa blog statistik, browsing dan mencari majalah, buku, dan
informasi lainnya. Dalam hal pengguna media sosial, seorang informan menyatakan
bahwa ia mengatur beberapa kelompok di Facebook, termasuk kelompok
belajarnya di perguruan tinggi, di mana ia biasanya membagikan subjek materi dan
tes serta lelucon harian. Temuan ini menunjukkan bagaimana internet
meningkatkan kinerja pengguna. Murugan Anandarajan dan Claire A. Simmers
berpendapat bahwa internet dapat menjaga keseimbangan antara kehidupan dan
bekerja selama ada manajemen waktu [3].

3.3. Waktu yang Digunakan untuk Mengakses Internet Harian


Kemajuan teknologi ponsel memungkinkan manusia mengakses internet di
mana saja dan kapan saja. Pengguna internet tidak harus membuat waktu khusus
untuk dapat mengakses internet. Informan menghabiskan waktu 1 hingga 8 jam
setiap hari untuk mengakses internet, di mana durasi itu sendiri tergantung pada
kebutuhan informasi mereka dan ketersediaan waktu luang mereka. Bahkan
informan dapat menghabiskan lebih dari 12 jam untuk mengakses internet ketika
mereka memiliki waktu luang. Seorang informan bahkan mengakui bahwa ia tidak
dapat berhenti mengakses internet hingga jam tidurnya pada pukul 01.00 setiap
harinya. Namun, ada juga informan yang hanya mengakses internet sambil bekerja

5
dengan rata-rata 6 jam. Waktu rata-rata informan ini digunakan untuk mengakses
internet lebih tinggi dari rata-rata waktu yang digunakan orang Indonesia untuk
mengakses internet pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Global Web Index
Q4 2015, yaitu 4 jam dan 42 menit menggunakan PC, 3 jam dan 33 menit
menggunakan ponsel, dan 2 jam 51 menit menggunakan perangkat lain [13].

3.4. Perasaan Para Informan Ketika Terhubung dengan Internet


Saat terhubung ke internet, beberapa informan merasa berbeda karena itu adalah
kegiatan sehari-hari, beberapa merasa penasaran, beberapa merasa santai dan puas
karena pembaharuan informasi dan konektivitas berkecepatan tinggi, bahkan
kadang kala kehilangan waktu karena nya. Seorang informan bahkan
menggambarkan browsing di Facebook seperti seorang perokok yang memiliki
rokok dan seorang pecinta kopi meminum kopi tiap pagi, itu santai. Namun,
perasaan ini kadangkala terganggu dan berubah menjadi negatif ketika mereka
membaca berita kriminal, dll. Temuan ini menunjukkan bagaimana informan
merasa puas dan nyaman ketika mengakses internet, di mana kebutuhan informasi
mereka terpenuhi. Dalam [17] telah mempelajari tentang bagaimana orang-orang
menjadi bahagia dengan menggunakan internet.

3.5. Perasaan Para Informan Ketika Mereka Tidak Dapat Mengakses Internet
Para informan merasa kesal, marah, bosan, tersisih, terputus dari dunia, atau
merasa seperti ada sesuatu yang hilang ketika mereka tidak dapat mengakses
internet. Perasaan ini berasal dari pemenuhan informasi mereka dan kebutuhan
akses berkecepatan tinggi. Dalam [4], Azher berpendapat bahwa penggunaan
internet berlebihan menyebabkan kecanduan internet pada siswa dan menghasilkan
kecemasan dan stress.

3.6. Pandangan Para Informan tentang Kecanduan Internet dan Kinerja Kerja Mereka
Walaupun informan mendapati kecanduan internet mengganggu mereka,
namun mereka masih menganggapnya sebagai kondisi normal. Mereka memiliki
komitmen sendiri dalam bekerja. Mereka sangat menyadari untuk mengganti waktu
kerja atau waktu belajar mereka ketika internet mengganggu salah satunya. Sebagai
contoh, para informan memilih bekerja pada akhir pekan ketika mereka tidak bisa
menyelesaikan pekerjaan mereka karena internet. Seorang informan bahkan

6
mengakui bahwa internet tidak mengganggu pekerjaannya tetapi mengganggu
waktu luang bersama keluarganya. Penelitian Cardona, Kretschmer, dan Strobel
(2013) menunjukkan bahwa indikasi ICT memengaruhi produktivitas individu
secara positif dan signifikan. Namun, temuan lain oleh CISCO juga menunjukkan
44% responden dari professional generasi Y lebih fokus untuk bekerja di kantor dan
38% reponden lainnya dapat produktif di rumah dan di kantor [9].

3.7. Poin Kecanduan Internet


Poin kecanduan internet termasuk mengupdate informasi terbaru, dan
kebutuhan untuk terus belajar dan membaca. Seorang informan menyatakan bahwa
internet adalah penyedia informasi tak terbatas yang luar biasa dan tidak bisa
digantikan oleh media lain. Internet memberinya buku-buku yang tidak bisa dibeli
secara offline. Informan lain mengakui kebiasaan membaca informasi secara online
dan bagaimana ini cukup sulit untuk beralih ke sumber manual. Menurut seorang
ahli psikologi, aktivitas menggunakan internet memiliki siklusnya sendiri, ketika
seseorang memperoleh sesuatu yang positif atau konsekuensi yang menyenangkan
dari perilaku tertentu, akan ada pengulangan dan akhirnya membentuk suatu pola
[2]. Temuan penelitian ini mengindikasikan bagaimana informan memiliki
ketergantungan yang tinggi pada internet karena memenuhi kebutuhan informasi
mereka. Dalam [2], Quinn menyarankan faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang kecanduan internet termasuk mudahnya penggunaan, konten yang
lengkap, privasi, komunitas yang luas, kebebasan, menutupi rasa malu, rasa
penguasaan, interaktivitas, kemampuan untuk menemukan kembali, validasi,
disosiasi dan tanpa batas.

3.8. Bagaimana Mengalihkan Perhatian Para Informan dari Internet


Ada beberapa kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian informan dari
internet, yaitu tidur, mengemudi, terlibat dalam percakapan dengan orang lain,
menjalankan jadwal yang sibuk seperti belajar, belajar kelompok, membersihkan
rumah, bekerja, pertemuan keluarga, berkumpul dengan teman-teman, bepergian,
rekreasi, menonton TV atau bioskop, dan menjalani hobi. Seorang informan
mematikan ponsel nya ketika berlibur selama tiga hari tanpa gangguan apapun.
Seorang informan bahkan menyarankan sebaliknya, daripada menghentikan akses
orang hanya perlu menggunakan internet dengan benar, misalnya, dengan

7
menyediakan koneksi berkecepatan tinggi di perpustakaan. Julian Amriwijaya,
seorang ahli psikologi, menyatakan sulit untuk mengubah pola perilaku berulang
yang dapat membawa kesenangan, perlu hal lain untuk menggantikan kesenangan
itu dan kemauan yang kuat yang berasal dari diri sendiri [2]. Dengan kata lain,
ketika seseorang mencoba mengubah pola yang positif, ia membutuhkan rekondisi.
Rekonstruksi nalar dan kesadaran seseorang diperlukan untuk menjadi lebih baik.
Ketika seseorang mencoba untuk mengurangi penggunaan internetnya, maka dia
perlu mengetahui tujuan dari hal itu dan seberapa kuat komitmennya untuk
mencapai tujuan tersebut, dan kemudian perbaikan dapat disetujui. Pergantian
aktivitas atau kompensasi dibutuhkan untuk menggantikan kesenangan dalam
menggunakan internet, seperti berbelanja, bepergian, dll. Dalam konteks hubungan
interpersonal dan psikologi sosial, ada Teori Pertukaran Sosial oleh Harold Kelley,
George Homans, Richard Emerson dan Peter Blau [10,11]. Teori ini menguraikan
tentang bagaimana hubungan interpersonal seolah-olah transaksi perdagangan di
mana setiap transaksi dipengaruhi oleh imbalan, biaya, dan keuntungan. Dalam hal
ini, seseorang cenderung mengulangi perilaku yang sama atau mengubah perilaku
ketika nilai atau hasil yang didapatkan proporsional atau bahkan lebih dari investasi
itu sendiri.

4. Kesimpulan

Penemuan ini menunjukkan bahwa meskipun para informan menganggap


kecanduan internet cukup menjadi masalah, mereka tidak menganggapnya sebagai
gangguan mental. Mereka menyebut kecanduan mereka sebagai kebutuhan dan gaya
hidup. Dalam [5], Block menunjukkan 4 poin signifikan mengenai Gangguan Adiksi
Internet (IAD): 1) penggunaan berlebihan, 2) penarikan diri, 3) toleransi, dan 4) reaksi
negatif.
Sesuai dengan empat komponen ini, informan (1) menghabiskan 1 hingga 8 jam
untuk mengakses internet, (2) menjadi kesal, marah, bosan, tersisih, terpisah dari dunia,
merasa seperti ada sesuatu yang hilang ketika mereka tidak dapat mengakses internet,
(3) membutuhkan koneksi internet berkecepatan tinggi, (4) namun kemudian mereka
menyadari prioritas utama mereka adalah fokus dalam bekerja, untuk keluarga, dan
kehidupan sosial secara offline. Dengan demikian, informan masih memiliki kendali

8
atas diri mereka sendiri, mereka dapat membedakan dunia online dan offline, dan
produktivitas kerja mereka tetap terkendali.
Julian Amriwijaya, dosen Departemen Psikologi Umum dan Eksperimental,
Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran, menyatakan bahwa istilah kecanduan
internet perlu digunakan secara hati-hati. Julian juga menjelaskan bahwa kecanduan
internet belum diakui oleh DSM-5, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai
gangguan mental. Selama pengguna internet memiliki kontrol diri, ego yang kuat,
pengujian realitas yang baik atas ruang dan waktu, tidak merugikan dirinya sendiri dan
orang lain, maka hal positif nya adalah aktivitas itu sendiri berfungsi untuk memperluas
pengetahuan seseorang dan meningkatkan produktivitasnya [2].
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat
ketergantungan internet tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan mental, seperti
yang tunjukkan pada penemuan ini, di mana tinggi nya intensitas penggunaan internet
oleh para informan adalah untuk memenuhi pekerjaan atau kebutuhan bisnis mereka,
untuk belajar, mencari informasi, memperluas pengetahuan, berkomunikasi,
berbelanja, rekreasi, menguntit, dan membujuk orang untuk suatu tujuan. Dengan kata
lain, ketergantungan internet pada generasi internet adalah gaya hidup dan kebutuhan.

5. Ucapan Terima Kasih

Ini adalah penelitian independen dengan bantuan dari informan dan para ahli di
bidangnya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat,
baik informan maupun Julian Amriwijaya, sebagai ahli di bidangnya sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan tepat waktu. Saya juga ingin mengucapkan terima
kasih kepada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran atas dukungannya.

Referensi

[1] American Psychiatric Association, (2013). Diagnostic Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Washington, DC, London, England: American

Psychiatric Publishing. 


9
[2] J. Amriwijaya, (2016, September 05). Interview about Internet Addiction. (N. Kurniasih,

Interviewer). 


[3] M. Anandarajan and C. A. Simmers, Personal Web Usage in the Workplace: A Guide to

Effective Human Resources Management, IGI Global, Hershey, PA, 2003. 


[4] M. Azher, R. B. Khan, M. Salim, M. Bilal, A. Hussain, and M. Haseeb, “The


Relationship between Internet Addiction and Anxiety among students of University of
Sargodha,” in International Journal of Humanities and Social Science, vol. 4, pp. 288–293,

2014. 


[5] J. J. Block, “Issues for DSM-V: Internet addiction,” American Journal of Psychiatry,

vol. 165, no. 3, pp. 306–307, 2008. 


[6] B. Brülde, “The Concept of Mental Disorder (Philosophical Communications, Web

Series, No. 29)., Sweden,” Filosofiska institutionen Göteborgs universitet, 2003. 


[7] M. Cardona, T. Kretschmer, and T. Strobel, “ICT and productivity: Conclusions from
the empirical literature,” Information Economics and Policy, vol. 25, no. 3, pp. 109– 125,

2013. 


[8] H. Cash, C. D. Rae, A. H. Steel, and A. Winkler, “Internet addiction: A brief summary

of research and practice,” Current Psychiatry Reviews, vol. 8, no. 4, pp. 292–298, 2012. 


[9] CISCO, Connected World Technology Final Report, CISCO, San Jose, CA, 2014. 


[10] K. S. Cook and E. Rice, (2003). Chapter 3: Social Exchange Theory. In J.


Delamater(Ed.), Handbook of Social Psychology (p. Kluwer Academic/Plenum Publishers).

New York: 53-76. 


[11] R. Cropanzano and M. S. Mitchell, “Social exchange theory: An Interdisciplinary

review,” Journal of Management, vol. 31, no. 6, pp. 874–900, 2005. 


10
[12] R. Jahanian and Z. Seifury, “The impact of internet addiction on students’ mental health
in technical and vocational colleges in alborz province,” Middle East Journal of Scientific

Research, vol. 14, no. 11, pp. 1533–1538, 2013. 


[13] S. Kemp, Digital in 2016: We Are Social’s Compendium of Global Digital, Social and

Mobile Data Trends and Statistics, wearesocialsg, Singapore, 2016. 


[14] R. W. Kubey, M. J. Lavin, and J. R. Barrows, “Internet use and collegiate academic
performance decrements: Early findings,” Journal of Communication, vol. 51, no. 2, pp.

366–382, 2001. 


[15] S. Moidfar and K. H. Gatabi, “Investigating the Phenomenon of the Internet Addictive
Usage Among Adolescents and Youth (15-25 years of age) in the City of Tehran,” in

International Journal of Social Sciences(IJSS), vol. 1, pp. 75–81, 2011. 


[16] D. Moran, (2002). Introduction to Phenomenology. New York: Routledge. 


[17] T. Pénard, N. Poussing, and R. Suire, (2011, Julu). Does the Internet make people 


happier? Working Paper, No 2011-41. France: CEPS Instead. 


[18] R. Pies, “Should DSM-V Designate, Internet Addiction,” a Mental Disorder?

Psychiatry (Edgmont), vol. 6, no. 2, pp. 31–37, 2009. 


[19] M. Prensky, immigrants. (2001, Retrieved October 5). Digital natives, digital September
25, 2013, from Marc http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20- Prensky:
%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf.

[20] PricewaterhouseCoopers [PWC], (2012). The Power of The Net Generation. Virginia:

PWC. 


11
[21] PsychGuides.com, (2016). Getting Help for an Internet Addiction. Retrieved Septem-
ber 5, 2016, from PsychGuides.com: http://www.psychguides.com/guides/getting- help-for-

an-internet-addiction/. 


[22] B. A. Quinn, (2007). The Evolving Psychology of Online Use: From Computerphobia
to Internet Addiction. Texas: Texas Tech University. Retrieved from https://ttu-

ir.tdl.org/ttu-ir/bitstream/handle/2346/489/fulltext.pdf?sequence=1. 


[23] K. P. Rosenberg and L. C. Feder, (2014). An Introduction to Behavioral Addictions. In


K. P. Rosenberg, L. C. Feder, & Ed., Behavioral Addictions: Criteria, Evidence, and

Treatment (pp. 1-17). Amsterdam: Elsevier & Academic Press. 


[24] M. C. Shaw and D. W. Black, “Internet addiction: Definition, assessment, epidemi-

ology and clinical management,” CNS Drugs, vol. 22, no. 5, pp. 253–265, 2008. 


[25] J. A. Smith, P. Flowers, and a. M. Larkin, Interpretative Phenomenological Analysis:


Theory, Method and Research, Sage, Los Angeles London, New Delhi, Singapore,

Washington, 2009. 


12

Anda mungkin juga menyukai