Anda di halaman 1dari 9

SIAPA ITU PAULUS

Alain Badiou

Bagi Badiou, Paulus ialah seorang pujangga sekaligus pemikir, ia memiliki karakter yang
kuat, tidak tergoyahkan, tidak gampang berubah, Paulus ialah seorang figur yang militan. Kenapa
harus memperbincangkan “Rasul” Paulus?
Badiou menganggap teks Paulus ialah sebagai fable, dongeng. Paulus mencoba memberi
pengabaran dan penekanan yang mereduksi kristianitas menuju sebuah pernyataan tunggal, bahwa
“Yesus telah dibangkitkan”, di mana ini merupakan point yang menakjubkan, di luar akal sehat
(point fabuleux) dan ini salah satu komponen atau narasi dari dongeng itu sendiri (point de fable),
sebuah kegagalan untuk menyentuh hal yang imanen. Paulus mereduksi kekeristenan hingga ke
point ini lalu merubahnya menjadikan sebuah narasi yang dianggap nyata yang memberikan
kekuatan bagi seseorang untuk melawan kenyataan.
Narasi paulus ialah narasi yang mampu mengkonstruksi sebuah subjek dari ketiadaan
identitasnya, menunda terhadap “event” yang hanya memiliki bukti pada dirinya sendiri hingga itu
dideklarasikan oleh subjek. Kita mungkin akan keberatan bahwa kenyataan saat ini ialah kenyataan
yang didesign dari dongeng belaka.
Apa yang Paul inginkan, apa yang dimaksud dengan kondisi-kondisi untuk sebuah
keistimewaan bersama (universal singularity)? Apa yang Paul inginkan kemungkinan untuk
mengabarkan kabar baik injil, keluar dari kandang kekakuan, exclusivity, yaitu batasan terhadap
kaum yahudi yang berupa larangan-larangan di dalamnya, namun sebaliknya. Tidak membiarkan
itu ditentukan oleh peraturan secara umum, atau etatisme, dikarenakan etatisme ialah peraturan
yang dimiliki oleh emperium romawi dan masyarakat romawi secara khusus. Membahas tentang
kondisi-kondisi dan hak-hak mereka yang diasosiasikan oleh etatisme emperium romawi ketika
itu, rakyat romawi bangga terhadap hal ini. Tapi Paulus tidak membiarkan kategori-kategori
hukum romawi pada zaman itu untuk mendikte, diasosiasikan atau memiliki hubungan yang kuat
dengan persoalaan-persoalaan kaum kristen ketika itu. Budak, wanita, semua orang dari semua
golongan dan dari semua profesi pekerjaan akan diakui tanpa adanya pembedaan atau
keistimewaan.
Prosedur Paulus secara umum ialah sebagai berikut: ada “event”, dan jika kebenaran
konsisten dalam deklarasi “event-event” itu maka ada dua hal yang terjadi terhadap seorang yang
percaya terhadap deklarasi ini:

1. Semenjak kebenaran ialah “bersifat pengalaman” itu bukanlah bersifat struktural,


axiomatic (self-evident) ataupun berdasarkan peraturan. Tidak ada ada prinsip atau
statemen yang umum yang bertanggung jawab untuk hal itu, maupun struktur dari subject
yang mengikuti pada perjalanannya hingga kebangkitanya. Maka dampaknya tidak ada
yang bisa disebut dengan hukum kebenaran.

2. Kebenaran dijelaskan sebagai inti sari kekuatan dari deklarasi yang subjektif. Itu bukanlah
sebagai sesuatu yang “ada” sebelumnya, melainkan itu merupakan rekonsitusi. Kebenaran
tidak di dirikan diatas subtansi hubungan antara individu dengan komunitas atau subtansi
yang sejarah ia dapat ciptakan terhadap proses menuju kebenaran itu sendiri. Kebenaran
merupakan garis diagonal yang relatif satu sama lain pada setiap subjek. Kebenaran
menurut Paulus bukanlah untuk mendirikan identitas yang partikular melainkan itu
ditawarkan untuk semua orang.
Bagi Paulus menurut Badiou kesetian pada deklarasi sangatlah krusial, kebenaran ialah
merupakan sebuah proses, deklarasi ialah iman atau kesaksian (pistis), kemudian cinta atau
kebaikan hati (agepe), maka melalui kedua komponen ini (asumsi dari prosedur kebenaran) telah
tercapai, yakni harapan itu sendiri (certainty).
Kapanpun Paulus berbicara dalam tulisanya, ia selalu menggambarkan bahwa faktanya ia
berbicara sebagai subjek dan ia menjadi subjek yang ia bicarakan. Ia menjadi subjek ini ketika ia
melakukan perjalanan ke Damascus sebagai zeaolous pharisee dengan tujuan untuk mempresekusi
umat kristiani, kemudian ada petir yang menyambar dan suara yang berkata “atas berkat tuhan
saya adalah saya”, kejadian ini ialah permulaan atas paulus sebagai subjek baru, ini ialah cerita
biografi Paulus yang dikonstruksi dalam Perjanjian Baru. Maka Paulus tidaklah dikonversi
melalui gereja bahkan ia tidak pernah diceritakan di dalam alkitab, dengan demikian ini merupakan
sebuah fondasi atau dasar dari pengalaman, awal kebangkitan dari sebuah subjek yang baru.
Narasi yang dibawakan dalam surat kisah para rasul merupakan bentuk yang dipinjam dari
retorika dongen yunani. Terlebih lagi surat-surat paulus secara kanon dikumpulkan di dalam
perjanjian baru setidaknya 1000 tahun setelah kematianya bahkan ahli exegesis telah menunjukan
bukti, bahwa surat-surat Paulus banyak diantaranya ialah apokrif (tidak asli atau yang
kebenarannya diragukan).
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan rasul (apostle/apostolos)? Untuk menjadi rasul
tidaklah penting untuk menjadi teman yang selalu menemani yesus, yang menjadi saksi terhadap
peristiwa itu sendiri. Paulus yang mengklaim absahan dirinya sendiri, berdasarkan pengalamnya
yang subjektif ia telah diakui sebagai rasul. Ini jelas merupakan tantangan bagi mereka yang telah
melihat yesus dan sebagai penjamin kebenaran. Paulus sendiri menyebut golongan ini, ialah
golongan mulia tapi tuhan tidak menunjukan keberpihakan. Gal. 2:6: “Dan mengenai mereka yang
dianggap terpandang itu--bagaimana kedudukan mereka dahulu, itu tidak penting bagiku, sebab
Allah tidak memandang muka--bagaimanapun juga, mereka yang terpandang itu tidak
memaksakan sesuatu yang lain kepadaku.”
Seorang rasul bukanlah mereka yang menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri
ataupun mereka dengan sebuah ingatan. Maka seorang rasul ialah dia yang menyerahkan diri
dalam kabar tuhan, seseorang yang akan “dapat menaklukan kematian”. Seorang filusuf ialah
seorang dengan kebenaran yang abadi dan seorang rasul ialah seorang dengan penuh keyakinan,
tahu tentang apa yang akan terjadi. Seorang rasul ialah seorang yang mendengar kemungkinan
yang tidak diperdengarkan, seseorang yang bergantung kepada peristiwa penganugerahan rahmat,
yang pada umumnya membicarakan “ketidaktahuan” tentang apa yang ia ketahui, bersifat menipu.
1 Kor. 8:2 : “Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu "pengetahuan", maka ia
belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya.”
Jadi, bagaimana seseorang tahu bahwa dia ialah rasul? Menurut Paulus ialah seseorang
yang tanpa bukti, mereka yang “tidak melihat”, sebaliknya mereka ialah yang mengetahui bahwa
pengetahuan yang empiris dan konseptual akan runtuh. Seperti sabda Paulus: “Kasih tidak
berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1 Kor.
13:8).
Paulus juga seorang yang teguh, tegas mempertahankan pendapatnya dalam pembicaraan
kerapuhan. Deklarasi atau pernyataan secara eksplisit tidaklah memiliki kekuatan, terhadap yang
dideklarasikan, juga tidak dapat memiliki kebenaran yang meyakinkan tentang pengalaman
transendental seseorang. Itu bukanlah singularitas dari subjek yang dapat menjustifikasi apa yang
subjek katakan, melainkan apa yang ia katakan, yang menemukan singularitas dari sang subjek.
Bagi Paulus, inkarnasi kristus (Christ – event), merupakan peristiwa penting yang suci
kepada semua preskripsi, peristiwa yang heterogeneous terhadap sistem, tata hukum yang
partikular yang mengatur suatu bangsa, peristiwa anugerah tanpa konsep, tanpa tata-cara yang
layak. Tidak lain, ialah peristiwa yang dituliskan dalam hukum yang tak lengkang waktu dan
diperbincangkan dalam perbincangan yang kekal, tertera pada taurat. Itu adalah peristiwa yang
membebaskan kita dari tata hukum yahudi.
Paulus berpendapat bahwa inkarnasi kristus ialah pure event, di mana penghapusan
perbedaan antara yahudi dan orang yunani, dalam hal kebangsaan dan perbedaan secara kultural.
Seperti yang Paulus beritakan: “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani.
Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru
kepada-Nya.” (Roma. 10:12). Deklarasi bahwa kekristenan merupakan keuniversalan yang
potensial.
Menurut Paulus, ia memahami “event” yang tidak nyata, ialah “event” yang nyata. Metode
Paulus ialah metode anti-philosophers, yang mana membatasi real-event ke dalam “effective
truth”. Bagi Nietzsche itu merupakan “Grand politics”, “archi-scientific analytic” untuk Lacan,
dan “mystical aesthetics” bagi Wittgenstein. Posisi subjektif dari Paulus ialah lebih kasar, daripada
pendekatan terapeutik modernitas, yang menginginkan kesembuhan dari kemuakan filosofis.
Thesis Paulus bukanlah filosofi melainkan, ialah sebuah kesalahan, suatu ilusi yang
penting, sebuah khayalan sejauh ini. Perbincangan tenrang kebijaksanaan, kearifan “wisdom”
nampaknya telah usang, ini yang diceritakan pada kisah para rasul di mana Paulus bertemu dengan
filusuf yunani di Areopagus. Kelihatanya filusuf-filusuf itu tertawa ketika Paulus berpidato
panjang lebar dengan tajam tentang kebangkitan. Ini merupakan ide yang disjungsi, bukan yang
bertentangan. Formula disjungsi tuhan ialah “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya
dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia." (1 Kor. 1.25). Metode
paulus ialah favoritism, keunggulan kebodohan terhadap wisdom, kelemahan terhadap kekuatan,
tidak lain ini merupakan penghilangan formula superioritas atau kemahiran spesifikasi seseorang.
Maka adanya ketikdamungkinan untuk membicarakan filosofi di dalamnya, dengan begitu
pemikiran Paulus ialah pintu keluar untuk pelepasan kontrol atau suprioritas terhadap sesuatu hal.
Paulus tidak pernah berhenti memberitahukan kita, bahwa yahudi mencari tanda dan
menuntut keajaiban, sementara bagi orang Yunani, mereka mencari “pengetahuan”,
“kebijaksanaan”, dan mengajukan pertanyaan “apakah umat kristiani menyatakan bahwa kristus
telah disalibkan. Serta pernyataan yang kuat tentang keuniversalan terdapat di 1 Korintus 3:9,
“Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah.”. We are
all theou sunergoi, God's coworkers. Ini merupakan maxim yang impresif, di mana figure tuan
runtuh dan mereka menjadi partner kerja yang equal. Semua kesetaraan hadir di dalam menajalani
sebuah pekerjaan, yakni mereka berpartisipasi dalam prosedur kebenaran dan mereka menjadi
prosedur kebenaran itu sendiri. Ini adalah metafora dari “event” seorang putera yang melepaskan
beban hukum yang memberatkan dan menggantikanya dengan sebuah hukum, yang meringankan,
melepaskan beban, menolong dan memberi kebaikan untuk semuanya. Hukum yang egalitarian.

Alain Badiou: Paulus Melawan Sistem

Ada dua point penting yang Paulus ajarkan:

1. Iman yang menyelamatkan kita, bukan apa yang kita kerjakan


2. Kita tidak lagi dinaungi oleh hukum, melainkan rahmat Tuhan.

Serta ada 4 konsep/objek yang mengatur 2 subtansi di mana subjek harus memilih. 4 konsep itu
ialah:

a. Iman (pistis/faith)
b. Perbuatan (ergon/work)
c. Rahmat/anugerah (kharis/grace)
d. Hukum (nomos/law)

Subtansi pertama ialah tubuh (flesh/sarx), yang mana akan mengalami kematian, yang
terletak di antara sistem/hukum dan “perbuatan”. Subtansi kedua roh (spirit/pneuma) yang
memiliki kehidupan, yang terletak di antara anugerah dan iman. Garis yang menghubungkan antar
kedua subtansi atau objek ialah penebusan melalui Yesus Kristus1.
Mengapa harus melawan hukum atau sistem hingga menuju sisi kematian? Karena hukum
ini merupakan hukum yang partikular dimana perbuatan mencerminkan partikularitasan tersebut.
Hukum atau sistem yang menghalangi subjektivitas anugerah yang universal, yang menuntun kita,
kepada keyakinan yang sempurna. Sistem atau hukum ketika itu mengobjektivikasi jalan
penebusan dan melarang seseorang untuk menjalaninya menuju anugerah di dalam christ-event.
Anugerah merupakan lawan dari sistem dan hukum di kala itu. Polemik antara “apa yang
seharusnya” melawan logika dari “hak dan kewajiban” hadir mengusik hati Paulus, hingga ia
melawan “tugas dan aturan”, seperti yang terjadi di Damascus ketika itu.
Sunat atau tidak sunat dibenarkan melalui iman, karena monotheism sejatinya ialah tuhan
untuk semuanya, untuk kemanusiaan tanpa pengecualian. Kemanusiaan ialah meliputi mereka
yang disunat maupun yang tidak disunat. Bagi paulus hukum hanya dirancang untuk sebuah
partikularitas, maka ini bukanlah “the one” (hakikat ilahi yang transendental: monotheism).
Hukum mengatur tata-kelaukan, dunia yang penuh mutliplitas, namun christ-event sebagai
evental-grace mengatur hukum itu sendiri, seperti yang tertera di roma 5:20, “tetapi hukum Taurat
ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak,
di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”.
Dilanjutkan pada Roma 5:21, “supaya, sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut,
demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk hidup yang kekal, oleh Yesus Kristus,
Tuhan kita.”. Maka hukum ialah “dosa”, hukum yang memandu kristus menuju kematianya,
penebusan manusia akan dosa-dosanya. Menurut Paulus hukum ialah properti dari hasrat dengan
dengan ketidaksadaran yang hadir ke dalam subjek untuk mengerakan subjek yang “mati”. Hukum
adalah dari kehidupan menuju hasrat, tapi dengan menjalankan hukum subjek hanya menjalani
jalan kematian secara tidak sadar.
Apa itu dosa? Itu bukanlah hasrat, dosa merupakan hasrat kehidupan yang terotomatisasi,
bergerak tanpa kesadaran. Hukum dibutuhkan agar membongkar otomatisasi hasrat kehidupan,

1
Paulus menyoroti perihal kehidupan dan kematian. Jiwa ialah kehidupan, sementara “daging”
ialah kematian. Kristianitas secara radikal mendisasosiasikan antara kematian dengan
kebangkitan, mereka tidaklah sama, bahkan keduanya tidaklah dialektis, memiliki interkoneksi
satu sama lain, dalam artian harga dari sebuah penderitaan ialah membebaskan kita dari dosa dan
karenanya kita memperoleh akses terhadap kehidupan yang kekal nanti, melainkan bagi Badiou
kematian kristus di kayu salib, mengisyaratkan tuhan menjadi manusia, “the eternal truth” menjadi
hal yang imanen ketika itu, sehingga menjadi dapat diakses oleh semua manusia. Di sini Badiou
anti-Hegelian, dikarenakan meniadakan dialektika antara kehidupan dan kematian, hingga
disintesakan dalam truth-event. Kita sebagai makhluk yang fana, telah disentuh oleh anugerah
tuhan untuk memasuki kehidupan abadi melalui inkarnasi Yesus yang menderita, dan kematianya,
lalu dibangkitkan menuju kehidupan yang abadi. Kematian Yesus bukanlah event itu sendiri,
namun resurrection yang merupakan event, menegaskan tuhan dan kemanusiaan, fakta bahwa
infinite dimension dari kebenaran yang abadi juga dapat diakses oleh manusia yang fana dengan
keterbatasanya.
otomatisasi yang repetitif. Hukum memfiksasi objek yang kita hasrati, mengikat hasrat
terhadapnya, terlepas dari apapun yang subjek kehendaki. Ini merupakan “preobjectal” sesuatu
yang ada, hasrat yang terotomatisasi. Tanpa hukum, aturan maka subjek hanya menjalani karnaval
kematian, tanpa tahu tujuan. Jelas Paulus menyatakan bahwa ini masalah ketidaksadaran, di mana
Paulus menyebut ini dengan aksi involunteer, apa yang saya tidak inginkan (ho ou the-lo). Hasrat
kehidupan difiksasi dan dibongkat oleh hukum yang mana, hukum adalah pusat dari subjek, hukum
menyempurnakan subjek sebagai ketidaksadaran yang terotomatisasi, aksi involunteer membuka
jalan terhadap kematianya dengan kehormatan.
Paulus seseorang yang anti-kantian, otonomi hasrat dosa dalam diri sendiri namun
objeknya difiksasi oleh 10 perintah tuhan, yang mendesign dampak akhirnya ialah kedatangan
subjek yang tinggal dan mengontrol “tempat kematiaan” atau mereka yang “mati”. Seperti yang
paulus bilang pada Roma 7:11 “sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk
menipu aku dan oleh perintah itu ia membunuh aku.”. Jika subjek berada di sisi kematian, maka
kehidupan di sisi keberdosaan. Itu bukan lagi saya yang bertindak, melainkan dosa di diri saya.
Teks Paulus yang kompleks lainya yang membicarakan tentang hukum juga terdapat pada
Roma 7:7-23 “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa?
Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga
tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: "Jangan mengingini!"
Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam
diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati. Dahulu aku hidup tanpa hukum
Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya aku mati. Dan
perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada
kematian.
Sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk menipu aku dan oleh perintah
itu ia membunuh aku. Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar
dan baik. Jika demikian, adakah yang baik itu menjadi kematian bagiku? Sekali-kali tidak! Tetapi
supaya nyata, bahwa ia adalah dosa, maka dosa mempergunakan yang baik untuk mendatangkan
kematian bagiku, supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa. Sebab
kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa
dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku
perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.
Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat
itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku.
Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang
baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.
Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa
yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak
aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.
Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang
jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-
anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan
membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.”
Dosa ialah jalan kematian, namun dengan hukum jalan kematian itu, yang mana telah mati
menjadi hidup kembali. Hukum memberi kehidupan hingga kematian, subjek datang sebagai
“kehidupan” terhadap jiwa yang jatuh ke dalam kematian, untuk menghidupkanya kembali.
Hukum mendistribusikan kehidupan pada jalan kematian, dan kematian pada jalan kehidupan.
Kehidupan yang mati ialah dosa
Menurut Paulus, seseorang yang mematuhi hukum ialah ia memisahakan proses befikir
dengan apa yang ia lakukan. Mereka yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa di dalam 10 perintah
tuhan ialah “the dead self” dan mereka yang menjalankan aturan ialah “involuntary automation of
living desire atau sosok yang tidak berdaya” dan “christ-event/subjet” ialah di antara keduanya.
Hukum melemahkan subjek dari kemampuan berfikir, disebabkan firman memaksakan perintah.
Namun jalan keselamatan bagi Paulus ialah hidup yang dijustifikasia atau yang dibenarkan, maka
di sana ada jalan keselamatan di mana seseorang bisa memisahkan proses berfikir dengan
kebebasan kehendak yang ia ingin lakukan.

PAUL’S SUMMONS TO MESSIANIC LIFE: AWAKENING


Giorgio Agamben

Apa itu terbangunya kesadaran (egerthenai) menurut Paulus? Ialah sebuah proses yang
menghadirkan kesadaran, dalam hal ini paulus membicarakan bahwa kesadaran ialah seperti
bangun dari tidur, seperti yang tertera pada Roma 13:11 “Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu
mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari
tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi
percaya.”
Paulus juga mengajak bagi mereka yang “tertidur” dalam Roma 13:13, “Marilah kita hidup
dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam
percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.” Maka di sini kita dapat melihat
juga definisi Paulus tentang apa itu “tertidur”. Kata pesta di sana merupakan asosiasi terhadap
pesta orang romawi, seperti pesta makan malam yang digambarkan pada lukisan Pompei, ada
perempuan yang mencium pria, orang-orang berargumentasi dalam judi dan berkelahi atau mereka
yang berkompetisi dalam bermabuk-mabukan. Oleh karena itu Paulus menyerukan bagi mereka
yang jatuh di dalam pekerjaan kegelapan “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu
marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata
terang! - Roma 13:12.”. “Awakening” juga dimkanai oleh Paulus seperti memberikan nasihat
untuk melampaui kelesuan moral layaknya filusuf yunani disebabkan “awakening” meliputi
pengetahuan (eidotes), objek dan kesadaran, kesadaran bukanlah “the self”, atau terdapat pada
pikiran, melainkan sadar terhadap kairos (messianic event). Maka pengetahuan di sini ialah sadar
akan kematian dan kebangkitan yesus itu hadir, diyakini dalam kehidupan sebagai jalan
keselamatan hingga akhirnya mengatakan “kami percaya” (awakening).
Bagaimanapun Paulus juga harus mempertanggungjawabkan terhadap apa yang ia
sampaikan kepada jemaat Galatia “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku
dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku,
supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak
minta pertimbangan kepada manusia - 1:15–16. Ini sebuah identifikasi bahwa Paulus menempati
posisi spesial terhadap kematian Messiah dan Paulus terlalu memusatkan perhatianya kepada
kematian yesus di kayu salib dan bagi mereka yang menghina kematian paulus (hero kok mati?
Plot tuhan itu anti-hero).Ini bisa dilihat pada 2 Korintus. 5:14 “Sebab kasih Kristus yang
menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua
orang, maka mereka semua sudah mati.”. Hal yang hampir serupa dinyatakan juga pada Roma
5:6–8, “Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga
akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu, bahwa
manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita
menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. Jadi
jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.”.
Bahkan Paulus melontarkan ancaman euphemistic, yang terdapat di 1 Korintus. 1:18,
“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi
bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah”.
Serta Paulus menyatakan bahwa Paulus mati untuk kita semua pada 2 Korintus 2:14-15,
“Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang
sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk
semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia,
yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.”. Paulus dalam teks di atas
memformulasikan substansi messianic event dalam bentuk premis: “One died for all” (heis huper
panton apethanen), disamping cinta karunia Messiah terdapat pada kita “the love of the Messiah
grasps us,” or “holds us fast” (heagape tou Christou sunechei hemas). Serta Paulus melontarkan
empathy atau penggambaran dengan kalimat “so then all died” ( ara hoi pantes apethenon ). Maka
teks Galatia 2:19–20 menjadi masuk akal, ketika ia berbicara “Sebab aku telah mati oleh hukum
Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus;
namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak
Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Teks tersebut menyoroti
“saya” (ego) mengacu personal atau paradigmatic di mana “I have been crucified with the Messiah;
it is no longer I who live” (Christosunestauromai; zode ouketi ego).
Bahkan kematian Yesus juga diperuntukan bagi mereka yang lemah dan yang tidak percaya
tuhan “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada
waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma. 5:6), serta 1 Korintus 1:27-28 “Tetapi apa yang bodoh
bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi
dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat dan apa yang tidak terpandang dan yang hina
bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang
berarti.

Paulus dan Romantisasi Ke-Universalan:

Roma 6:3–4, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam
Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? (eagnoeite hoti, hosoi ebaptisthemen eis Christon
Iesoun, eis ton thanaton autou ebaptisthe¯men). Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-
sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan
dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang
baru”. Menyiratkan bahwa kita akan berbagi kuburan bersama dengan-NYA dimulai dari baptis,
diakhiri oleh kematian (sunetaphemen oun auto dia tou baptismatos eis ton thanaton). Messianic
event bagi Paulus ialah kematian yesus itu sendiri yang kemudian menyertainya dalam kehidupan,
merubahnya sebagai pengikut, pengabdi terhadap Messiah. 2 Korintus 10-11, “Kami senantiasa
membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di
dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut
karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini”. Lalu
dilanjutkan dengan Filipi 3:10-11, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-
Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam
kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.”.
Paul’s New Movement: Paul and Truth Event
Slavoj Zizek

Badiou menyebut apapun yang partikular mengandung multitude, situasi atau kondisi yang
dibentuk, di sisi lain memberi kita peluang untuk mempertimbangkan situasi itu sebagai the one
(monotheism, Tuhan), seperti kondisi sosial merupakan bentuk partikularitas dari multidude
“kondisi”. Maka itu merupakan bentuk “representasi” atau “penggandaan”. Sementara “event”
muncul dalam sebuah situasi, itu terlekatkan dalam setiap situasi, memperlihatkan apa yang
“official situation” harus bendung atau kekang. Serta “event” menyesuaikan diri, terikat pada
tempat di mana ia dilahirkan. “Event” juga memiliki hal yang berpengaruh dalam dirinya yang
menentukan arah geraknya:

1. Event terhadap dirinya: penamaan “event” yang mewakilkan terhadap aktivitas “event”,
penaamaan subjective.
2. Operator: penggerak, atau tujuan akhir dari “event” tersebut, freedom, equality, fraternity
merupakan motor penggerak dari Revolusi Prancis.
3. Subjek: merupakan agen dari “truth event” di mana melibatkan diri, yang merasakan di
berbagai irisan-irisan sejarah “event” tersebut atau merupakan dampak-dampak dari “event”
itu.

Event ini merupakan rangkaian beragam situasi-situasi, ketertidakhinggaan urutan “truth


event”. Sementara subjek ialah kontingen yang terbatas, ia melayani kebenaran dirinya sendiri,
kebenaran yang mentransendensi sang subjek, sejak subjek hanya dapat bekerja dalam multiple
situasi-situasi yang terbatas, akses terbatas terhadap kebenaran. Jadi ia melihat apa yang
menurutnya benar. Di bawah ringkikan suara kebenaran yang ia suarakan, dalam sekup
pemahamanya yang terbatas, particular being yang ditentukan oleh lingkungan kita yang spesifik,
dari lingkup perspektif manusia.
Christ’s event, merupakan inkarnasi dan kematianya, operatornya ialah penebusan atau
“last judgment”, sedangkan subjectnya ialah kumpulan tulisan mereka yang percaya atau mereka
yang turut serta dalam Christ’s event. Di samping itu badiou berbicara mengenai “truth”
merupakan symptomal torison, pelintiran mental, jaringan pengetahuan dari “being”, kekurangan
dan kelebihan “event” terperangkap dalam dirinya sendiri. Maka ketika “faith” seseorang
berbicara terhadap apa yang ia yakini, yang ia lihat sebagai permasalahan secara tidak langsung,
mereka telah mereduksi itu dalam marginal lokalitas, marginal malfunctionings, kontingen
terhadap kesalahan. Badiou memahami postmodernism sebagai sesuatu metafisikal atau
transcendental truth, oleh karena itu ia menentang anti-platonic2 dan post-modernism yang dapat
mengarahkan kita terhadap konsekuensi bencana totalitarianism. Di sisi lain nilai fundamental dari
post-modernism ialah tidak adanya “event”, tidak ada yang benar-benar terjadi, “truth-event”
hanya merupakan yang terjadi dalam angan-angan, ilusi.

2
Maka kita sombong dengan keangkuhan subjektif, di mana subjek “berpura-pura” dan “bertindak” membawa
tatanan kosmik yang menanggap itu sebagai “humble instrument” yang tak lain ialah kerendahan hati yang palsu.
Bukan hanya kekristenan yang melibatkan “a higher truth” untuk mendistrupsi tatanan “paganisme”. Kekristenan
merupakan sebuah ide yang mensuspensi kebenaran ide-ide lain terhadap terhadap kebenaran dalam subjek atau
kebenaran keteraturan tatanan kosmik. Seperti ide Plato terhadap dibalik tatanan yang kita kira “sempurna”
(misleading reality), dibaliknya ada tatanan yang tidak berubah, Plato memilih reasons dibandingkan dengan senses
untuk menjelaskan maksudnya, namun reasons juga terkadang tidak berjalan dengan baik bahkan untuk Plato
sendiri.
Badiou juga menyebut mereka yang berusaha menamai “the truth-event”, merupakan
bentuk dari subject-language, usaha ini sia-sia dari sudut pandangan ilmu pengetahuan, fakta,
karena subject-language ini hanya mengacu terhadap referensi positive-Being. Ketika kekeristenan
membicarakan, penebusan dosa oleh Kristus, revolusi emansipasi, cinta dan “so-on”. Fakta
menolak mereka semua, sebaliknya hanya menilai itu semua sebagai frase-frase kosong, political-
messianic jargon, poetic hermeticism. Seperti kamu menceritakan seseorang yang kamu cintai
kepada temanmu yang tidak mencintai orang yang kamu maksudkan. Subject-language melibatkan
jargon yang “terasa”, “terlihat” valid hanya dari dalam, namun tidak dari luar. Namun kekosongan3
yang diciptakan oleh “subject-language” akan tersisi oleh tujuan akhir dari “truth-event”. Already,
not yet?
Universal singular menurut Badiou adalah sebuah event yang menginterpelasi semua
individu (terlepas dari latar belakang sejarah-sosial mereka) menuju dan memasuki “subjects”
secara bersama-sama. Kekristenan yang memiliki landasan event yang sangat luar biasa yakni
kebangkitan Kristus, bukanlah “truth-event” atau kebenaran yang sebenarnya melainkan serupa
dengan “truth-event”, disebabkan Paulus ialah seseorang yang teoritikus antiphilosophical
terhadap prosedur kebenaran, bahwa Christ’s-event dikonstitusi oleh anugerah, mereka yang
menyadari ini ialah seseorang yang militan, karya dari kasih dan anugerah tuhan. Kebangkitan
melalui kesetiaan iman.

3
Ketiadaan ialah ontological truth, ketiadaan menghasilkan sebuah event dan keimanan.

Anda mungkin juga menyukai