Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera/trauma kepala merupakan salah satu masalah utama kesehatan di
Indonesia. Setiap hari dapat ditemukan kasus baru cedera kepala pada hamper
semua rumah sakit yang ada, mulai dari yang ringan hingga berat. Sebagian
besar pasien tersebut mengalami kecelakaan kendaraan bermotor dan tidak
menggunakan helm yang memadai atau bahkan tidak menggunakan helm
sama sekali. Di Australia, 3,5% dari seluruh kematian disebabkan oleh cedera
kepala, dan diperkirakan bahwa 9 dari setiap 100.000 pasien yang
membutuhkan perawatan rumah sakit akan meninggal.
Trauma kepala menimbulkan masalah yang serius dalam masyarakat kita
karena baik morbiditas maupun mortalitasnya masih sangat tinggi. Perawatan
pasien trauma kepala adalah masalah yang sangat kompleks dan merupakan
tanggung jawab yang berat.
Sebagai mahasiswa di bidang keperawatan, kita harus mampu
memberikan asuhan keperawatan professional pada penderita cedera kepala.
Untuk lebih mengetahui serta memahami asuhan keperawatan pada pasien
dengan trauma kepala, kami menyusun makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien dengan Trauma Kepala”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah dalam
makalah ini yaitu: “Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan
trauma kepala?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan trauma kepala.

1
2. Tujuan Khusus
a. Dapat memahami konsep penyakit trauma kepala
b. Dapat memahami dan melakukan pengkajian keperawatan pada
pasien dengan trauma kepala
c. Dapat memahami dan menentukan diagnosa keperawatan pada
pasien dengan trauma kepala
d. Dapat memahami dan menentukan intervensi keperawatan pada
pasien dengan trauma kepala

2
BAB II

KONSEP PENYAKIT

TRAUMA KEPALA

A. Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil. 2006).
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Sedangkan menurut
Smeltzer (2001), cedera kepala atau trauma kepala memiliki banyak
terminology di antaranya cedera kepala akut, cedera otak, cedera otak
traumatik (traumatic brain injury), cedera kepala tertutup, dan cedera kepala
penetrans. Cedera kepala akut merupakan istilah umum yang digunakan
dalam menjelaskan cedera kepala dan struktur yang berada di dalamnya,
sedangkan cedera otak hanya mengacu pada cedera yang terjadi pada organ
otaknya sendiri. Cedera otak aku merupakan salah satu kondisi yang dapat
disebabkan oleh kejadian traumatik atau cedera tusukan (penetrasi).
Sedangkan istilah cedera kepala tertutup sendiri mengacu pada cedera tumpul
otak yang tidak menimbulkan fraktur tengkorak terbuka. Cedera penetrasi
disebabkan oleh peluru atau benda – benda lainnya seperti pisau, senapan,
palu, maupun pemukul baseball.
Dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung

3
pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
bahkan dapat menyebabkan kematiaan.

B. Etiologi
Trauma kepala secara umum disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan pada kepala,
tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau cedera saat lahir.

C. Klasifikasi
Secara patologi, cedera kepala dapat di klasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1. Cedera Primer
Cedera primer dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus.
a. Cedera fokal menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur
tengkorak, laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural,
perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral.
1) Fraktur tengkorak
Biasanya diikuti dengan laserasi scalp, yaitu lapisan terluar
pelindung otak yang sangat kaya dengan pembuluh darah,
sehingga dapat menimbulkan perdarahan dalam jumlah banyak.
Fraktur basilar di fosa anterior dapat menimbulkan periorbital
ekimosis (raccoon atau panda eyes) dan rhinorrea (keluarnya
darah atau cairan otak dari hidung ). Sedangkan fraktur basiler
di fosa middle atau posterior dapat menimbulkan memar diatas
mastoid (battle sign) dan drainase darah atau cairan otak melalui
telinga (othorea)
2) Laserasi dan kontusio otak.
Biasaya ditemukan pada lobus frontal dan temporal.
Laserasi merupakan kondisi robeknya jaringan otak yang dapat
juga terjadi pada fraktur tengkorak depresi. Sedangkan
konstusio merupakan memarnya permukaan korteks otot. Pasien
dengan kondisi ini akan tampak gelisah, kehilangan ingatan
sementara, disfungsi motorik, gangguan bicara atau koma.

4
Pembedahan debridemen diperlukan jika tekanan intrakranial
sulit dikontrol dengan obat – obatan.
3) Hematoma
a) Hematoma epidural
Terjadi saat fraktur linear menembus tulang temporal
dan mengenai arteri meningeal. Pasien biasanya mengalami
perburukan secara cepat dan akhirnya meninggal. Mortalitas
dan morbiditasnya meningkat seiring dengan kecepatan
ekspansi hematoma dari perdarahan arteri, menimbulkan
herniasi uncal adalah kondisi ketika uncus (ujung anterior
parahippo campal gyrus berbentuk kait dan berada diatas
permukaan basomedial lobus temporal) mengalami displasi
akibat peningkatan tekanan intrakranial sehingga terjadi
kerusakan otak dan batang otak secara progresif. Herniasi
uncal ini menekan saraf kranial III, otak tengah, dan arteri
serebral posterior, sehingga menimbulkan koma dan gagal
napas (Hill, 2002).
Hematoma yang berada diantara dura dan cranium
dapat menekan dan menggeser otak. Penderita biasanya
mengalami perubahan pupil ipsilateral yang berkembang
dari pupil sluggish dan elliptical hingga terjadi dilatasi dan
terfiksasi pada salah satunya. Terdapat pula perubahan
simultan motorik kontralateral yang berkembang dari
hemiparese ringan, menjadi dekortikasi, eserebrasi, atau
flaccid paralys. Penaganan yang cepat dapat membuat
prognosisinya menjadi baik.
b) Hematoma subdural
Merupakan penyebab mortalitas dan mordibitas
tertinggi kedua dalam cedera kepala. Hematoma ini aslinya
berasal dari perdarahan vena korteks atau vena diantara
permukaan otak dengan dura, sehingga memiliki

5
progresivitas yang lebih lambat dibandingkan dengan
hematoma epidural. Terdapat 3 jenis hematoma yaitu :
 Akut : gejala tampak dalam 24 – 72 jam setelah cedera
dan biasanya membutuhkan pembedahan sedera
 Sub – akut : gejala muncul 72 jam sampai 2 minggu
pasca cedera dan membutuhkan pemantauan ketat
terhadap tanda – tanda peningkatan intracranial dan
herniasi. Pembedahan evakuasi bergantung dari
konsistensi dan ukuran bekuan yang ada.
 Kronis : gejala muncul setelah lebih dari dua minggu
pasca cedera. Perdarahan berjalan lambat dan lebih
banyak ruangan dalam otak yang terisi bekuan sebelum
korban mengalami gangguan neurologis. Angka
mortalitas berkisar dari 30 – 63 %.
c) Hematoma intraserebral
Area perdarahan pada hematoma serebral memiliki
batas yang tegas yaitu 2 cm atau lebih kedalam parenkim
otak. Hematoma ini menimbulkan defisit neurologis lokal
sesuai lokasi otak yang terkena. Operasi pengambilan
bekuan darah dilakukan jika memiliki batas tegas dan
mudah dicapai. Angka mortalitasnya berkisar antara 25 –
60%.
b. Cedera difus menyebabkan cedera mikroskopi seperti concussion
dan diffuse axonal injury.
1) Konkusi serebral
Konkusi serebral/otak merupakan kondisi hilangnya
kesadaran sesaat, dan amnesia biasanya berlangsung kurang dari
6 jam dengan sedikit atau tanpa gejala neurologis sisa. Hasil CT
scan menunjukka kondisi normal tanpa adanya lesi makroskopik
jaringan otak. Konkusi serebral sendiri merupakan bentuk
umum dari cedera kepala. Berdasarkan berat ringannya gejala
yang ditimbulkan, konkusi serebral dapat dibedakan menjadi

6
ringan dan klasik. Konkusi ringan merupakan disfungsi
neurologis sementara tanpa disertai hilangnya kesadaran
maupun ingatan. Sedangkan konkusi klasik meliputi disfungsi
neurologis sementara dan hilangnya kesadaran serta daya ingat
(amnesia).
Sebagian besar pasien akan sadar penuh dalam waktu 48
jam, tetapi biasanya masih menyisakan gejala sisa. Pada
beberapa kasus, cedera sekunder dapat terjadi akibat dari
hipoksia dan iskemia serebral. Hal ini akan memicu edema
serebral dan peningkatan intrakranial.
Sebagian pasien mungkin akan mengalami sindrom
pascakonkusi yaitu gejala sisa pascacedera setelah cedera kepala
ringan. Gejala yang dialami dapjat berlangsung dalam beberapa
minggu hingga satu tahun. Sedangkan komplikasi yang dapat
terjadi adalah perdarahan intrakranial (subdural, parenkimal,
maupun epidural).
2) Diffuse axonal
Biasanya diakibatkan oleh tabrakan kendaraan bermotor
pada kecepatan tinggi sehingga terjadi gesekan antara
permukaan substansia grisea dan substansia alba. Hal ini
mengakibatkan robekan dan perlukaan axon bermiclin dalam
substansia gricea. Hasil CT scan sering menunjukkan gambaran
normal atau terdapat tanda – tanda perdarahan pada korpus
kallosum, area periventrikular, atau batang otak. Angka
mordibitas dan mortilitasnya tinggi sesuai dengan tingkat
keparahan cedera ringan, sedang atau berat.
Cedera diffuse axonal ringan mengalami hilang kesadaran
antara 6 sampai 24 jam. Sedangkan pada derajat sedang, kondisi
koma memanjang dan angka mortalitas mencapai 20 %. Kondisi
koma yang lebih panjang terjadi pada cedera berat yang ditandai
dengan disfungsi batang otak yang memicu ketidakstabilan
hemodinamik dan jantung. Angka mortalitasnya meningkat

7
mampu mencapai 60 – 70 %. Disfungsi autonomic yang sering
terjadi pasca cedera ini ditandai dengan peningkatan tekanan
intrakranial, dilatasi pupil, diaphoresis, hipertensi takikardia dan
postur tubuh fleksi atau ekstensi abnormal.
3) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan pada ruang subarachnoid dan memicu
vasospasme ini terjadi pada sekitar 25 – 40 % pasien dengan
cedera otak akut. Pasien dengan perdarahan subarachnoid ini
membutuhkan waktu perawatan di ruang intensif yang lebih
lama. Vasospasme meningkat dihari ke- 3 hingga ke- 7 setelah
perdarahan dan menyusut pada hari ke -10.

D. Patofisiologi
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
1. Cedera Primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan, karena
tenaga kinetik mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini meliputi
akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-countercoup.
Akselerasi terjadi ketika objek bergerak membentur kepala yang sedang
dalam kondisi diam (statis). Deselerasi terjadi saat kepala yang sedang
bergerak membentur objek statis (mis., tembok). Akselerasi-deselerasi
terjadi dalam peristiwa tabrakan kendaraan bermotor dalam kecepatan
tinggi atau kendaraan yang menabrak pejalan kaki. Sedangkan coup-
countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi intrakranial terhadap
kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan pada daerah yang dekat
dengan area yang terbentur. Sedangkan cedera countercoup
menyebabkan kerusakan pada area yang berlawanan dengan benturan.
Kebanyakan kerusakan yang relatif dekat daerah yang terbentur,
sedangkan kerusakan cedera “kontra cup” berlawanan pada sisi desakan
benturan (Smeltzer, 2001)

8
2. Cedera Sekunder
Kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupakan perubahan
biofisik maupun biokimia yang mengganggu perfusi sehingga dapat
menimbulkan disfungsi neuronal sampai dengan kematian. Jika
penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan tekanan intrakranial,
pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan perfusi yang adekuat
(Bucher dan Melander, 1999).
Aliran darah serebral normalnya dipertahankan pada kisaran 50-150
mmHg. Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah serebral
berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh
darah serebral mengalami vasokontriksi. Aliran darah ke otak dikontrol
oleh mekanisme autoregulasi serebral. Kerusakan pada sistem
autoregulasi akan memengaruhi keberhasilan pengobatan yang dilakukan
(Bucher dan Melander, 1999).
Beberapa jam pascacedera, aliran darah serebral menurun hingga
setengah dari jumlah normal yaitu 50 mL/100 gram otak/menit. Iskemia
terjadi saat aliran darah serebral turun di bawah 20 mL/100 mg
otak/menit, dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai 10-15
mL/100 mg otak/menit.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang
spontan maupun traumatik. Mekanisme teradinya iskemia karena adanya
tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam
tengkorak yang volumenya tetap dan vasospasme reaktif pembuluh-
pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antar lapisan araknoid dan
piamater meningen. Biasanya perdarahan intraserebral secara cepat
menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran (Price dan
Wilson, 2006).
Hipoksia dan iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan
proses neurotoksik. Kondisi ini meliputi regulasi chanel ion kalsium,
natrium, dan kalium; pengeluaran exitotoxic asam amino; produksi
superoxide dan radikal bebas, perioksidasi lemak, dan pengeluaran
mediator inflamasi. Hal itu semua menimbulkan kerusakan sel serebral

9
dan jika tidak tertangani, dapat menyebabkan kematian sel. Secara
umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit
akan teradi infark atau kematian jaringan (Price dan Wilson, 2006).

E. Pathway

Sumber: Lang & Phipps (1996), Doengoes (2000), Carpenito (2000)

10
F. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan, menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa


minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.

2. Cedera kepala sedang, menurut Diane C (2002)


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
atau bahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, menurut Diane C (2002)
a. Amnesia: tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
sekitar fraktur, dan karena alasan ini diagnosis yang akurat tidak
dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x (Smeltzer, 2001)

11
G. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah
ke otak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardi)
dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin
meningkat. Hipotensi akan memperburuk keadaan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan
sistol 100-110 mmHg, pada penderita trauma kepala. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembuluh darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi
serebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas
oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama

12
kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan
nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis
untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan
obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara
intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
5. Infeksi

H. Penatalaksanaan
Aspek yang paling penting dalam penanganan cedera kepala adalah
pencegahan, atau pengenalan dan penatalaksanaan dini, pada cedera otak
sekunder (Britto & Hay, 2005). Adapun beberapa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada beberapa kondisi trauma kepala menurut Smeltzer (2001),
yaitu:
1. Fraktur tulang impresi
Umumnya tidak memerlukan tindakan pembedahan, tetapi
memerlukan observasi pasien yang ketat.
2. Fraktur tulang tanpa-impresi
Memerlukan intervensi pembedahan, kulit kepala dicukur dan di
bersihkan dengan banyak cairan salin untuk menghilangkan semua
jaringan mati, dan fraktur dipajankan. Fragmen-fragmen tulang
tengkorak di evaluasi dan daerah ini di bersihkan. Penutupan dura
dilakukan bila memungkinkan dan luka ditutup. Kerusakan yang luas
pada tengkorak dapat diperbaiki selanjutnya dengan lempeng logam atau
plastik bila diperlukan, pada saat membersihkan luka dan dura utuh,

13
fragmen yang terangkat dapat dikembalikan posisinya pada saat
pembedahan pertama, yang tidak perlu lagi melakukan karnioplasti. Luka
penetrasi membutuhkan pembedahan debridemen untuk mengeluarkan
benda-benda asing dan memperbaiki keadaan vital jaringan otak dan
untuk mengontrol hemoragi. Pengobatan antibiotik direncanakan segera,
dan terapi komponen darah diberikan bila diindikasikan.
3. Fraktur dasar tengkorak
Merupakan keadaan serius karena biasanya terbuka (mengenai sinus
paranasal atau telinga bagian tengah atau eksternal) dan dapat
menyebabkan bocornya cairan serebrospinal. Tanda halo, yang
merupakan kombinasi darah yang dikelilingi oleh noda berwarna
kekuning-kuningan, yang terlihat pada linen tempat tidur atau balutan
kepala dan ini merupakan kesan yang pasti adanya kebocoran cairan
serebrospinal. Nasofaring dan telinga eksternal harus dipertahankan
bersih dan selalu menutup telinga dengan gumpalan kapas steril atau
bantalan kapas steril dapat di tempel menutup lubang hidung atau pada
telinga untuk mengumpulkan cairan yang keluar. Pasien yang sadar
dianjurkan menahan bersin dan menekan hidung. Kepala biasanya
ditinggikan 30 derajat untuk menurunkan TIK dan meningkatkan
keluarnya cairan yang bocor secara spontan.
Beberapa penatalaksanaan therapi yang dapat diberikan pada pasien
dengan trauma/cedera kepala yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.

14
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
7. Pembedahan.
(Smeltzer, 2001)

I. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun pengkajian fisik dan evaluasi status neurologik mengarah pada
cedera kepala, namun keadaan abnormal kurang terlihat pada cedera kepala,
sehinggs perlu dilakukan deteksi melalui beberapa pemeriksaan, diantaranya
yaitu: (Menurut Doenges, Moorhouse, Geissler (2000) dan Smeltzer (2001)
1. Pencitraan
a. CT Scan (Computed Tomography Scanning)
Pemindaian CT kepala dapat membedakan dengan jelas derajat
perubahan jaringan halus yang mengabsorbsi sinar-x. cara ini akurat
dan aman dalam menggambarkan adanya sifat, lokasi, dan luasnya
lesi dengan baik dalam serebral atau ekstraserebral, hemoragi
intraventikular dan perubahan lambat akibat trauma (infark,
hidrosefalus), untuk mengevaluasi pasien dengan cedera kepala.
b. MRI
Lebih sensitif untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak
terdeteksi oleh ST scan
c. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan edema),
adanya fragmen tulang.
e. CT Angiografi Serebral
Angiografi serebral dapat juga digunakan dan menggambarkan
adanya hematoma supratentorial, ekstraserebral, dan intraserebral
serta kontusion serebral. Dengan tindakan ini dapat diperoleh
gambaran lateral dan anteroposterior tengkorak.

15
2. Laboratorium
a. GDA (Analisa Gas Darah)
Untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
b. Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK. Penungkatan laju metabolisme dan
diaforesis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hipernatremia)
3. Prosedur Diagnostik
EEG menunjukkan adanya/terjadinya gelombang patologis dan
perkembangan gelombang patologis.

16
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Data Biografi
Merupakan data dasar yang berkaitan dengan identitas klien
yang terdiri atas:
1) Identitas pasien, meliputi:
a) Nama,
b) Umur,
c) Jenis kelamin,
d) Suku bangsa,
e) Agama,
f) Pendidikan,
g) Pekerjaan,
h) Status,
i) Alamat.
2) Penanggung jawab, meliputi:
a) Nama,
b) Umur,
c) Agama,
d) Pendidikan,
e) Pekerjaan,
f) Hubungan,
g) Sumber biaya
b. Keluhan utama
Secara umum keluhan utama pasien adalah sakit kepala, lemah,
kurang konsentrasi, lupa ingatan, gangguan bicara dan gangguan
tingkah laku.

17
c. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat trauma baru (jatuh, kecelakaan kendaraan, luka tembak,
cedera tembak atau ledakan) (Smeltzer, 2001). Pada riwayat
kesehatan sekarang, dijelaskan pula waktu kejadian, penyebab
trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu divalidasi
tentang adanya riwayat trauma sebelumnya pada klien. Selain itu,
tanyakan pula mengenai riwayat penyakit yang mungkin di derita
sebelumnya seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Periksa jika ada anggota keluarga yang pernah menderita
penyakit sama atau menderita penyakit lainnya.
f. Riwayat psikososial
Secara intrapersonal, cari tahu perasaan yang dirasakan pasien
(cemas/sedih), sedangkan secara interpersonal cari tahu hubungan
dengan orang lain.
Pada pengkajian psikososial terhadap pasien cedera kepala, pada
umumnya ditemukan perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah
tersinggung, cemas, bingung, impulsif dan depresi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran dan keadaan umum pasien
Pada umumnya ditemukan perubahan tingkat kesadaran seperti
delirium atau koma. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan tingkat
kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Jika nilai
GCS 14-15 disebut cedera kepala ringan, 9-13 disebut cedera kepala
sedang dan 8 atau kurang disebut cedera kepala berat (Menurut
Hickey, 1989 & Hickey, 1997 dalam Japardi, :33). Penurunan nilai
GCS 2 atau lebih menunjukkan perburukan yang bermakna dan
harus segera dilaporkan pada dokter yang merawat.

18
b. Tanda-tanda vital
1) Suhu
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi
gangguan pengaturan suhu tubuh karena kerusakan pusat
pengatur suhu di hipotalamus. Metabolisme meningkat sekitar
10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini
sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang
sudah mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah
satu hasil metabolisme tubuh adalah CO2 yang merupakan
vasodilator dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
2) Nadi
Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang
disertai dengan cedera spinal, atau dapat juga dijumpai pada
tahap akhir dari peningkatan tekanan intrakranial. Takikardia
sebagai respons autonom terhadap kerusakan hipotalamus juga
dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah
dalam CSF atau lesi fossa posterior.
3) Tekanan Darah
Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera
kepala. Perfusi otak yang kurang dapat menyebabkan kerusakan
sel-sel otak secara menyeluruh. Jika hal ini terjadi, maka otak
akan mengalami swelling (pembengkakan secara menyeluruh),
dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan
kematian.
4) Frekuensi pernafasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran
tentang keadaan intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (>
28 kali permenit) dan tidak teratur, merupakan keadaan
emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter.
Tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen yang
diberikan.

19
c. Sistem Respirasi
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
d. Sistem Kardiovaskuler
Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan
aritmia.
e. Sistem Pencernaan
Mual, muntah, perubahan selera makan gangguan menelan
(batuk, disfagia).
f. Sistem Perkemihan
Inkontinensia /disfungsi.
g. Sistem Neurologi
Adanya gangguan komunikasi (kerusakan pada hemisfer dominan,
disfagia atau afasia) akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran (koma).
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), gangguan penglihatan
(pandangan ganda, seolah melihat gerakan dinding/lantai atau objek
diam), pengecapan dan pembauan serta pendengaran, kesemutan,
kebas pada ekstremitas, kejang dan sensitif terhadap sentuhan/
gerakan.
h. Sistem Muskuloskeletal
Lemah, lelah, kaku, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang, kehilangan tonus
otot.
(Doengoes, 1999 & Smeltzer, 2001).

20
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
- Kerusakan kognitif
- Kerusakan sensori-persepsi
- Penurunan kekuatan atau kontrol otot
2. Konfusi kronis berhubungan dengan cidera kepala
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuronmuskulur
4. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan
- Faktor biologis – status hipermetabolik
- Ketidakmampuan untuk mengonsumsi zat gizi-tingkat kesadaran
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan:
- Kurang ingatan, keterbatasan kognitif
- Kurang pajanan, tidak familiar dengan sumber informasi
6. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan:
- Krisis situasi
- Perubahan status mental anggota keluarga;perubahan peran keluarga
7. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma
kepala

21
C. Intervensi
Menurut Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia (2017), berikut ini adalah intervensi keperawatan pada pasien dengan
trauma kepala.

Diagnosis, Hasil, dan Intervensi Keperawatan

Diagnostik Keperawatan Hasil yang dicapai Intervensi


NANDA (NOC)* (NIC)*
Hambatan mobilitas fisik Konsekuensi imobilitas: Fisiologis Terapi Latihan Otot
berhubungan dengan: 1. Memperhatikan atau Independen
1. Kerusakan kognitif meningkatkan kekuatan dan 1. Tinjau kemampuan fungsional dan alsan
2. Kerusakan sensori-persepsi fungsi bagian tubuh yang hambatan/gangguan.
3. Penurunan kekuatan atau kontrol otot terganggu atau yang 2. Kaji derajat imobilitas, menggunakan skala
Definisi: mengompensasinya untuk menilai ketergantungan (0-4)
Keterbatasan dalam gerakan fisik atau 2. Mendapatkan posisi fungsi yang 3. Beri atau bantu latihan gerak (ROM)
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri optimal, yang dibuktikan dengan 4. Instruksikan dan bantu klien dengan program
dan terarah tidak terjadinya kontarktur dan latihan dan penggunaan alat mobilitas.
footdrop Yingkatkan aktivitras dan partisipasi dalam
perawtan diri sesuai toleransi.

22
Mobilitas: Perawatan Tirah Baring
1. Mendemonstrasikan teknik atau Independen
perilaku yang memampukan 1. Posisikan klien untuk menghindari kerusakan
pelaksanaan kembali aktivitas kulit dan jaringan akibat tekanan. Miringkan
2. Mempertahankan integritas kulit klien pada interval teratur, dan buat perubahan
dan fungsi kandung kemih dan posisi kecil di antara pergantian posisi
usus 2. Beri perawatan kulit dengan cermat, masase
dengan emollien. Beri linen dan pakaian basah,
dan pertahankan seprei terbebas dari kerutan
3. Pertahankan kesejajran tubuh fungsional
pinggul, tungkai bawah, dan tangan. Pantau
ketepatan penempatan alat dan tekanan dari alat
tersebut
4. Topang kepala dan butung tubuh, lengan dan
bahu, serta kaki dan tungkai bawah ketika klien
berada di kursi roda atau di kursi. Bantali alas
duduk kursi menggunakan busa atau bantalan
berisi air, dan bantu klien memindahkan berat
badan nya pada interval yang sering.

23
5. Beri perawatan mata dengan air mata artifisual
dan pelindung mata, sesuai indikasi.
6. Pantau keluaran urine. Catat warna dan bau
urine, bantu pelatihan kembali kandung kemih
jika tepat.
7. Beri cairan dalam toleransi individual (yaitu
sesuai masalah neurologis dan jantung), sesuai
indikasi.
8. Pantau eliminasi usus dan beri atau bantu
rutinitas defekasi secara terratur. Periksa
impaksi feses; gunakan stimulasi digital
(stimulasi dengan jari tangan), susuai indikasi.
Dudukan tegan klien tegak di kursi toilet atau
defekasi pada interval teratur. Tambahkan
serat, bulk dan jus buah kedlam diet, jika tepat
9. Inspeksi nyeri tekan lokal, kemerahan, kulit
hangat, ketegangan otot, atau vena yang
menyerupai tali di betis kaki, pantau dipsnea
mendadak, takipnea, demam, distres pernapsan

24
dan nyeri dada.
Kolaboratif:
1. Beri perawatan yang cermat, bersih atau aseptik
pertahankan teknik mencuci tangan yang baik.
2. Pantau area kerusakan integritas kulit (luka,
garis jahitan, tempat insersi slang invasif).
Perhatikan karakteristik drainase dan
kebersihan inflamasi.
3. Pantau suhu secara rutin, perhatikan terjadinya
mengigit, diaforesis, dan perubahan mental.
4. Dorong pernapasan dalam dan pengeluaran
pulmunal yang agresif . pantau karakteristik
sputum.
Konfusi Kronis berhubungan dengan Kognisi: Stimulasi Kognitif:
cidera kepala Mempertahankan atau mendapatkan Independen
kembali mentasi normal dan 1. Kaji rentang perhatikan dan distrakbilitas, catat
orientasi realita. tingkat ansietas.
Definisi: 2. Diskusikan bersama orang dekat untuk
Perburukan kecerdasan dan kepribadian membandingkan perilaku di masa lalu dan

25
yang ireversibel, jangka panjang dan Distrosi Kontrol Diri Terhadap kepribadian sebelum cedera dengan respons saat
/atau progresif serta dutandai dengan Pikiran: ini.
penurunan kemampuan 1. Mengenali perubahan dalam 3. Pertahankan konsistensitas semaksimal mungkin
menginterpretasikan stimulus berpikir dan berprilaku. dalam hal staf yang ditugaskan untuk merawat
lingkungan; penurunan kapsitas proses 2. Berpatisipasi dalam regimen klien.
pikir intelektual; dan manifestasikan terpeutik dan pelatihan kembali 4. Hadirkan realita secara ringkas dan singkat;
dengan gangguan memori, orientasi dan kognitif hindari menantang cara berpikir ilogis.
perlu. 5. Beri infomasi mengenai proses cdera yang
berhubungan dengan gejala. Jelskan prosedur
dan kuatkan penjelasan yang diberikan oleh
orang lain.
6. Tinjau kebutuhan evalusi neurologis secara
berulang.
7. Kurangi srimulus provokatif, kristisme negatif,
arumen, dan konffrontis.
8. Dengarkan dengan memperhatikan verbalisasi
klien dari pada pola atau isi bicara.
9. Tingkatkan sosialisasi dalam batsan individual
10. Hindari meninggalkan klien seorang dri

26
ketika sedang mengalami agitasi atau ketakutan.
Kolaboratif
1. Rujuk untuk evaluasi neuropsikologis sesuai
indikasi.
2. Koordinaskan partisipasi dalam pelatihan ulang
koginitif atau program rehabilotasi, sesuai
indikasi.
3. Rujuk ke kelompok pendukung dan layanan
sosial, dan konseling atau terapi, sesuai
kebutuhan.
Ketidakefektifan Pola Napas Status Pernapasan: Ventilasi Pemantaun Pernafasan
Yang berhubungan dengan kerusakan Mempertahankan pola pernapasan Independen
neuronmuskulur yang normal atau efektif, terbebas 1. Pemantauan frekuensi, Irama, keadekuatan
dari sianosis dengan gas darah, arteri pernapasan
Definasi: atau oksimeter nadi berada dalam 2. Catat kompetensi refleksi muntah & menelan
Inspirasi dan /atau ekspirasi yang tidak kisaran normal klien serta kemampuan klien untuk melindungi
memberi ventilasi adekuat dalam napsnya sendiri
3. Tinggikan kepala tempat tidur
4. Auskultasi suara napas

27
5. Pentau pengunaan obat dipesan pernapasan
seperti sedatif
Kolaboratif
1. pantau gas darah arteri
2. pantau foto rontgen dada
3. beri O2 tambahan
4. Bantu dengan fisioterapi dada
5. Bantu keluarga mengenali kebutuhan semua
anggota
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang Status nutrisi : Terapi Nutrisi
dari kebutuhan tubuh b.d - Mendemonstrasikan pemeliharaan Independen
- Faktor biologis – status berat badan yang diinginkan atau 1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk
hipermetabolik pertambahan berat badan secara dan menangani sekresi
- Ketidakmampuan untuk mengonsumsi progressive ke nilai yang dituju 2. Auskultasi suara bising usus, catat penurunan
zat gizi-tingkat kesadaran - Tidak mengalami gejala atau ketiadaan bising usus atau bising usus
malnutrisi, dengan nilai hiperaktif
Definisi : laboratorium berada dalam 3. Timbang berat badan sesuai indikasi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk kisaran normal 4. Beri pengamanan saat pemberian makan seperti
memenuhi keutuhan metabolik meninggikan kepala tempat tidur saat makan

28
atau selama pemberian makan melalui selang
5. Bagi makanan kedalam jumlah yang sedikit
tetapi sering
6. Tingkatkan lingkungan yang menyenangkan,
relax termasuk sosialisasi selama makan.
Dorong keluarga untuk membawa makanan
yang disukai oleh klien
7. Periksa adanya darah dalam feses, aspiran
lambung dan muntah
Kolaboratif
1. Konsultasi dengan ahli gizi atau tim
bantuan/pendukung nutrisi
2. Pantau studi laboratorium missal prealbumen
atau albumen, transverin, proil asam amino, zat
besi, nitrogen urea darah (BUN), studi
keseimbangan nitrogen, glukosa, aspartat amino
transverase (AST) dan alanin amino transverase
(ALT) serta elektrolit
3. Beri makanan dengan cara yang benar-IV,

29
pemberian makan dengan selang atau pemberian
makan oral dengan makanan lunak dan cairan
kental
4. Libatkan ahli terapi bicara, okupasi dan fisik
ketika terjadi masalah mekanis seperti kerusakan
reflex menelan, rahang tegang, kontraktur
tangan dan paralisis
Defisiensi Pengetahuan b.d : Pengetahuan : Manajemen Penyuluhan : Proses Penyakit
- Kurang ingatan, keterbatasan kognitif Penyakit Kronis Independent
- Kurang pajanan, tidak familiar dengan 1. Berpartisipasi dalam proses 1. Evaluasi kemampuan dan kesiapan klien dan
sumber informasi belajar orang terdekat untukl belajar
2. Mengungkapkan secara verbal 2. Tinjau informasi mengenai proses cidera dan
Definisi pemahaman tentang kondisi, efek setelah cidera
Ketiadaan atau defisiensi informasi prognosis dan kemungkinan 3. Tinjau dan kuatkan regimen terapeutik terbaru.
kogniti yang berkaitan dengan topic komplikasi Identifikasi cara setelah pulang.
tertentu 3. Mengungkapkan secara verbal 4. Diskusikan rencana untuk memenuhi
pemahaman tentang regimen kebutuhan perawatan diri
terapeutik dan rasional tindakan 5. Beri instruksi tertulis dan jadwalkan aktivitas,
4. Memulai perubahan gaya hidup medikasi dan fakta yang penting

30
yang diperlukan dan memulai 6. Identikasi tanda dan gejala resiko individual
keterlibatan dalam program seperti kebocoran lambat cairan cerebrospinal,
rehabilitasi kejang paska trauma, sakit kepala dan nyeri
5. Melakukan prosedur yang kronis
diperlukan secara benar 7. Diskusikan dengan klien/orang dekat tentang
perkembangan gejala seperti mengalami
kembali peristiwa traumatic (kilasbalik, pikiran
intrusive/ mengganggu, mimpi atau mimpi
buruk yang terulang); kebas psikis atau
emosional; dan perubahan gaya hidup,
termasuk mengadopsi merusak perilaku
merusak diri sendiri
8. Identifikasi sumber komunitas, termasuk
kelompok pendukung cedera kepala, layanan
social, fasilitas rehabilitasi, program rawat
jalan dan perawat member perawatan di rumah
atau perawat visit
9. Rujuk dan perkuat pentingnya perawatan
tindak lanjut oleh tim rehabilitasi

31
10. Beri perawatan perineum. Pertahankan
integritas system drainase tertutup jika
digunakan. Dorong asupan cairan yang adekuat
11. Pantau warna dan kejernihan urine. Catat
keberadaan bau urine yang tidak sedap
12. Periksa dan batasi akses orang yang
menjenguk klien atau pemberi asuhan yang
mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA)

Kolaboratif
Ambil specimen sesuai indikasi
Gangguan proses keluarga b.d Koping Keluarga : Peningkatan integritas keluarga :
- Krisis situasi 1. Mulai mengekspresikan Independen
- Perubahan status mental anggota perasaan secara bebas dan tepat 1. Catat komponen unit keluarga, ketersediaan
keluarga;perubahan peran keluarga 2. Mengidentifikasi sumber dan keterlibatan system pendukung
internal dan eksternal untuk 2. Dorong ekspresi masalah tentang keseriusan
Definisi : menghadapi situasi kondisi, kemungkinan kematian atau
Perubahan dalam hubungan dan / atau 3. Mengarahkan energy dalam cara inkapasitasi
fungsi keluarga yang bertujuan untuk 3. Dengarkan ekspresi ketidak berdayaan dan

32
merencanakan resolusi krisis keputusasaan
4. Mendorong dan memungkinkan 4. Dorong ekspresi dan akui perasaan. Jangan
anggota yang cidera mengalami menyangkal atau menenangkan klien atau
perkembangan kearah orang dekat bahwa semua akan baik baik saja
kemandirian 5. Dukung berduka keluarga atas
“kehilangan”anggota. Mengakui normalitas
berbagai perasaan dan sifat progress yang
berkelanjutan
6. Tekankan pentingnya dialog terbka yang
kontinu antar anggota keluarga
Risiko ketidakefektifan perfusi Perfusi Jaringan : Serebral Pemantauan Neurologis:
jaringan otak 1. Mempertahankan atau Independen
meningkatkan tingkat kesadaran, 1. Tentukan faktor yang berhubungan dengan
kognisi, dan fungsi motorik atau situasi individual, penyebab koma atau
Faktor risiko*: sensorik penurunan perfusi serebral dan potensial
Trauma kepala 2. Mendemonstrasikan tanda vital peningkatan tekanan intrakranial.
stabil dan tidak ada tanda 2. Pantau dan dokumentasikan status neurologis
peningkatan tekanan intrakranial dengan sering dan bandingkan dengan nilai
Definisi*: dasar:

33
Rentan mengalami penurunan sirkulasi 3. GCS selama 48am pertama.
jaringan otak yang dapat mengganggu 4. Evaluasi pembukaan mata˗˗spontan (terjaga),
kesehatan hanya terbuka terhadap stimulus nyeri, mata
tetap tertutup (koma).
5. Kaji respons verbal; catat apakah klien sadar,
terorientasi pada orang, tempat, dan waktu,
atau apakah mengalami konfusi, menggunakan
kata atau frase yang tidak tepat yang kurang
masuk akal.
6. Kaji respons motorik terhadap perintah
sederhana, perhatikan gerakan yang bertujuan
(mematuhi perintah, berupaya mendorong
manauhkan stimulus) dan gerakan yang tidak
bertujuan (postur tubuh). Peehatikan/catat
gerakan ekstremitas dan dokumentasikan sisi
kanan dan kiri secara terpisah.
7. Pantau tanda vital:
8. TD, perhatikan awitan dan keberlanjutan
hipertensi sistolik serta pelebaran tekanan nadi,

34
pantau hipotensi pada klien yag mengalami
trauma multipel.
9. Frekuensi dan trauma jantung, catat
bradikardia, pergantian antara bradikardia dan
........ dan distrimia lain.
10. Pernapasan, catat pola dan irama pernapasan,
termasuk periode apnea setelah hiperventilasi
dan pernapasan Cheyne Stokers.
11. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk,
kesamaan, dan reaktivitas terhadap cahaya.
12. Kaji posisi dan gerakan mata, catat apakah
bearada di posisi tengah ataukah menyimpang
ke salah satu sisi atau turun (ke arah bawah).
Catat teradinya kehilangan refleks mata boneka
atau refleks okulosefalik.
13. Catat ada atau tidaknya refleks˗˗berkedip,
batuk, muntah, dan Babinski.

35
Peningkatan Perfusi Otak:
Independen
1. Pantau suhu dan atur suhu lingkungan, sesuai
indikasi. Batasi penggunaan selimut; Beri
mandi air hangat jika terjadi demam. Balut
ekstermitas menggunakan selimut jika
digunakan selimut hipotermia.
2. Pantau asupan dan haluaran. Timbang, sesuai
indikasi. Catat turgor kulit dan status membran
mukosa.
3. Pertahankan kepala dan leher dalam posisi di
tengah atau dalam posisi netral. Topang
dengan gulungan handuk kecil dan bantal.
Hindari meletakkan kepala di atas bantal besar.
Secara periodik,periksa posisi dan ketepatan
kolar servikal atau tali trakeostomi jika
digunakan.
4. Beri periode istirahat antara aktivitas asuhan
dan batasi durasi prodesur.

36
5. Kurangi stimuli ekstra dan beri tindakan yang
membuat nyaman, seperti pijat punggung,
lingkungan tenang, suara halus, dan sentuhan
lembut.
6. Bantu klien menghindari atau membatasi
batuk, muntah, dan mengejan saat defekasi
atau mengedan, jika memungkinkan. Posisikan
kembali klien secara perlahan; cegah klien
menekuk lutut dan menekankan tumit ke kasur
untuk menaikkan tubuh ke bagian kepala
tempat tidur.
7. Hindari atau batasi penggunaan restrain.
8. Batasi ,jumlah dan durasi pelaksanaan
pengisapan (suctioning), mis., dua kali
pelaksanaan penghisapan dengan waktu
masing-masing kurang dari 10detik. Lakukan
hiperventilasi hanya jika diinikasikan.
9. Dorong orang dekat untuk berbicara dengan
klien.

37
10. Investigasi peningkatan gelisah, mengerang,
dan perilaku melindungi bagian tubuh yang
sakit.
11. Palpasi distensi kandung kemih; pertahankan
kepatenan drainase kemih ,jika digunakan.
Pantau konstipasi.
12. Observasi aktivitas kejang dan lindungi klien
dari cedera.

38
D. Implementasi
Implementasi adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal,
intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang
meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.

E. Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang


kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999)

39
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan
kematiaan. Seorang perawat professional harus terampil melakukan tindakan
keperawatan yang tepat dan sesegera mungkin pada pasien dengan cedera
kepala dengan tujuan untuk mencegah semakin parahnya cedera yang di
alami pasien.

B. Saran
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga
diri dari hal – hal yang dapat mengakibatkan cedera kepala harus ditingkatkan
melalui berbagai macam cara seperti penyuluhan, dan selebaran. Hal ini
dilakukan agar dapat mengurangi angka kejadian cedera kepala yang semakin
banyak terjadi akibat kurangnya kehati – hatian masyarakat dalam
berkendara, dan lain – lain. Seorang perawat professional juga perlu
meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam memberikan asuhan
keperawatan yang tepat bagi pasien cedera kepala.

40
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Sudddarth Edisi 8. Jakarta : EGC
Britto, J A. 2005. Kisi – Kisi Menembus Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia. 2017. Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis NANDA-I-2015-2017
INTERVENSI NIC HASIL NOC. Jakarta: EGC
Japardi, Iskandar. 2003. Pemeriksaan dan Sisi Praktis Merawat Pasien Cedera
Kepala. Artikel: Vol 7, No 1. Diakses dari http://www.jki.ui.ac.id/
index.php/jki/article/view/130 Pada Sabtu, 09 Maret 2019 Pukul 23.00 WIB
Fatimah, Vita. 2010. BAB II TINJAUAN TEORI. Diakses dari
http://repository.ump.ac.id/ 5214/2/Vita%20Fatimah%20BAB%20II.pdf
Pada Minggu, 10 Maret 2019 Pukul 13.12 WIB

41

Anda mungkin juga menyukai