Anda di halaman 1dari 148

MALPRAKTIK MEDIS

Oleh : Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.

Editor : Kadarudin, S.H., M.H.

Desain Sampul : Ahmad Rizal Ali Samad


Tata Letak : Gisky Ambarwati Ali Samad

Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh


Pustaka Pena Press
Anggota IKAPI Sul-Sel
Perum. Bumi Tamalnrea Permai (BTP)
Jl. Kejayaan Blok K, Nomor 85, Makassar 90245
Telp. (0411) 540958, E-mail: pustakapena@yahoo.com

Cetakan Kesatu, September 2015


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-602-71518-4-0
xii + 129 hlm

Hak Cipta@2015, ada pada penulis


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
All right reserved
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit
MALPRAKTIK MEDIS

PROF. DR. ANDI SOFYAN, S.H., M.H.

Editor :

Kadarudin

Penerbit Pustaka Pena Press, Makassar, 2015


UNDANG-UNDANG RI NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 8
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.

Pasal 9
1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki
hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b) Penggandaan Ciptaan da-
lam segala bentuknya; (c) penerjemahan Ciptaan; (d) pengadaptasian, pengaran-
semenan, atau pentransformasian Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinan-
nya; (f) pertunjukan Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan; (h) Komunikasi Ciptaan; dan
(i) penyewaan Ciptaan.
2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan
Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.

SANKSI PELANGGARAN

Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.100. 000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas perkenan-Nya telah
memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan buku ini yang berjudul “Malpraktik Medis”
walaupun dalam wujud yang sangat sederhana.
Buku ini penulis tulis atas dasar kurangnya pengetahuan
masyarakat umum tentang malpraktik medis, atau bahkan para
praktisi yang notabene menjalankan profesinya sehari-hari baik
sebagai tenaga medis maupun penegak hukum, sehingga melalui
tulisan atau buku ini penulis merasa perlu untuk memberikan pe-
mahaman mengenai malpraktik kepada semua pihak yang mera-
sa membutuhkan informasi atau pengetahun dibidang malpraktik
medis.
Buku ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama yang ditandai
dengan pemisahan antar bab, yakni pendahuluan pada bab perta-
ma, rumusan malpraktik medis dan jenis-jenisnya pada bab ke-
dua, permasalahan medikolegal pada bab ketiga, pertanggung-
jawaban malpraktik medis pada bab keempat, dan terakhir penu-
tup pada bab kelima.

Kata Pengantar ( v )
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari ke-
sempurnaan sebagaimana pepatah Indonesia “tak ada gading
yang tak retak”, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan masukan yang sifatnya membangun
guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan buku-buku selan-
jutnya. Harapan penulis, semoga buku ini dapat berguna dalam
pembangunan ilmu hukum khususnya di bidang hukum kese-
hatan.
Akhir kata, Wassalam.

Makassar 15 Agustus 2015


Penulis,

Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.

( vi ) Kata Pengantar
PENGANTAR EDITOR
Kurang dari dua bulan setelah terbitnya buku ini untuk
pertama kalinya, empat tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 No-
pember 2011 Maria de Jesus (32 tahun, seorang ibu tiga anak)
yang sedang mengandung anak ke-empatnya (berumur 20 ming-
gu) harus meninggal di meja operasi di Queen's Hospital in Rom-
ford, Essex (sebuah kota kecil di London Timur, Inggris). Ironis-
nya, kematian Maria bukan dikarenakan proses alamiah yang bia-
sanya menjadi faktor kematian ibu atau kematian anak yang di-
kandung, namun kematiannya tersebut disebabkan oleh tindakan
malpraktik seorang dokter muda (dr. Yahya Al Abed) dalam me-
lakukan tindakan medis.
Sebagaimana diberitakan theguardian, bahwa pada awal-
nya tanggal 31 Oktober 2011 Maria datang ke rumah sakit terse-
but pada akhir pekan karena mengalami usus buntu, namun se-
orang dokter muda tanpa didampingi oleh seniornya melakukan
tindakan medis yang berujung kepada tindakan kelalaian medis,
yang seharusnya ia mengoperasi penyakit usus buntu yang diala-
mi Maria, dokter mudah tersebut malah mengangkat indung telur

Pengantar Editor ( vii )


dari ibu yang sedang hamil tersebut. Tidak sampai dua minggu
dari tanggal operasi (7 Nopember 2011), Maria datang kembali ke
Rumah Sakit Queen's di Romford, Essex, karena merasakan sakit
perut yang luar biasa (sama dengan sakit yang perta-ma ketika se-
belum usus buntunya di operasi), dan pada saat itu-lah kesalahan
tindakan medis dokter muda diketahui.
Terungkap kemudian bahwa ternyata dr. Yahya Al Abed
masih belum berpengalaman (pengalaman terbatas) dalam mela-
kukan operasi, ia pun bekerja di Rumah Sakit Queen's di Rom-
ford, Essex belum cukup 1 (satu) bulan, dan salahnya dokter mu-
da tersebut tidak menginformasikan kepada dokter yang lebih se-
nior sebelum melakukan tindakan medis pertama.
Akhirnya pada tanggal 11 Nopember 2011 dengan ter-
paksa oleh dokter lain seorang bayi yang berjenis kelamin laki-
laki terpaksa dikeluarkan dari rahim Maria dalam keadaan me-
ninggal, dan tidak berselang beberapa jam kemudian Maria-pun
ikut menjemput ajal dalam keadaan proses operasi.
dr. Yahya Al Abed dalam keterangannya pada saat hea-
ring sidang panel di Manchester mengakui bahwa dirinya salah
dengan mengangkat indung telur si ibu pada saat operasi usus
buntu, ia juga mengakui bahwa tindakan operasi tersebut diluar
batas kompetensinya, dan mengaku bersalah ketika melakukan

( viii ) Pengantar Editor


tindakan medis dan mulai terjadi beberapa kesalahan, ia tidak
memanggil/menghubungi dr. Cooker (dokter ahli bedah senior di
Rumah Sakit Queen's di Romford, Essex).
Dari gambaran kasus di atas, tercermin bahwa tugas dan
tanggung jawab seseorang yang menyandang gelar dokter dan
menjalankan profesi medis sangatlah berat, karena pekerjaannya
tersebut berhubungan langsung dengan nyawa setiap orang yang
membutuhkan jasa pelayanannya. Oleh sebab itu, seorang dokter
tidak boleh sembarangan melakukan tindakan medis, apalagi tin-
dakan yang dilakukannya diluar batas kompetensinya. Sebagai-
mana kasus di atas, akibat yang timbul bukanlah akibat resiko
medis melainkan akibat dari kelalaian medis.
Buku ini hadir untuk memberikan pemahaman awal ten-
tang malpraktik medis bagi para pembaca (dari berbagai latar be-
lakang), khususnya bagi dokter dan praktisi hukum dalam mene-
gakkan norma dan kaidah hukum agar dapat mengetahui sampai
batas-batas mana akibat tindakan medis seorang dokter dikatakan
sebagai resiko medis atau malpraktik medis. Hal ini penting dike-
tahui agar kasus di atas dan/atau sekian banyak kasus-kasus lain-
nya dapat diminimalisir jika memang kelalaian adalah sebuah ke-
niscayaan. Sehingga dokter dalam menjalankan tindakan medis
dapat berhati-hati dan lebih profesional dengan dilandasi tang-

Pengantar Editor ( ix )
gung jawab dan integritas yang tinggi atas profesi yang diemban-
nya.
Melalui ikhtiar awal yang dilakukan oleh Profesor Andi
Sofyan (Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakul-
tas Hukum Universitas Hasanuddin) sebagai penulis buku ini,
yang memiliki asa untuk berkontribusi memberikan pemahaman
awal tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik medis hing-
ga sampai batas-batas mana tindakan kedokteran dapat dikatakan
tidak bertentangan dengan hukum, disiplin ilmu kedokteran, dan
etika kedokteran.
Selamat membaca . . .
Makassar, 28 Agustus 2015
Editor,

Kadarudin, S.H., M.H.

( x ) Pengantar Editor
DAFTAR ISI

Kata Pengantar  v
Pengantar Editor  vii
Daftar Isi  xi

Bab 1 Pendahuluan  1

A. Latar Belakang Masalah  1


B. Rumusan Masalah  8
C. Tujuan Penelitian  8
D. Manfaat  9
E. Teori-Teori yang Digunakan  9
F. Metode Penelitian  29

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis dan Jenis-Jenisnya  33


A. Rumusan Malpraktik Medis  33
B. Jenis-Jenis Malpraktik Medis  47
C. Contoh Kasus  48

Bab 3 Permasalahan Medikolegal  57


A. Tindakan Medis  57
B. Kelalaian Medis  60
C. Resiko Medis  64
D. Perbedaan Mendasar antara Malpraktik Medis,
Tindakan Medis, Kelalaian Medis, dan

Daftar Isi ( xi )
Resiko Medis  67

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik Medis  73


A. Tanggung Jawab Pidana  77
B. Tanggung Jawab Perdata  86
C. Tanggung Jawab Disiplin Ilmu Kedokteran  93
D. Tanggung Jawab Etik  109

Bab 5 Penutup  115


A. Kesimpulan  115
B. Saran  117

Daftar Pustaka  119


Tentang Penulis
Tentang Editor

( xii ) Daftar Isi


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupa-
kan salah satu hak dari sekian banyak hak yang dimiliki oleh
manusia sebagai individu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (YME),
hak-hak tersebut lazim kita kenal sebagai Hak Asasi Manusia
(HAM). HAM tidak dapat dilanggar, dikurangi atau dibatasi (se-
lama dalam batas-batas kewajaran), bahkan di cabut oleh sia-
papun juga. Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia dalam
menjalankan kehidupannya, ada saatnya merasakan sakit, ka-
rena kesehatan manusia itu terbatas, keterbatasan kesehatan
manusia tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas yang mele-
bihi batas kemampuannya, pekerjaan, lingkungan, atau bah-
kan dari makanan yang dikonsumsi.
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya dituju-
kan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampu-
an hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahte-
raan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Un-

Bab 1 Pendahuluan ( 1 )
dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Keseha-
tan adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan YME kepa-
da semua makhluk ciptaannya di muka bumi, karena jika fisik
(tubuh) dalam keadaan sehat, maka segala aktivitas yang di-
inginkan hampir pasti bisa dilakukan. “Kesehatan merupakan
harga yang mahal” menurut persepsi kebanyakan orang jika ia
dalam kondisi tidak sehat (sakit), sedangkan sebaliknya, “per-
sepsi sehat itu murah” juga dinyatakan oleh kebanyakan orang
yang kondisi fisiknya dalam keadaan sehat. Umumnya orang
tidak sadar bahwa kesehatan itu penting untuk dijaga sehingga
ia tidak menghiraukan segala faktor yang memungkinkan diri-
nya diserang oleh berbagai macam penyakit, ketika dirinya sa-
kit, disitulah ia baru menyesal dan sadar bahwa kesehatan itu
adalah hal yang paling penting di dalam hidupnya.
Pada saat manusia dalam keadaan sakit, maka sudah
selayaknya atau sewajarnya jika ia menginginkan untuk men-
dapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi dirinya, be-
gitupun dengan keluarga dari orang tersebut, sudah pasti me-
nginginkan hasil yang terbaik bagi anggota keluarganya yang di
rawat di rumah sakit. Dalam keadaan tersebut (proses pelaya-
nan kesehatan), berbagai kemungkinan dapat saja terjadi, apa-
kah ia akan segera sembuh, sembuh namun membutuhkan pe-
rawatan yang cukup lama, atau bahkan bisa saja kemungkinan

1Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29


Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

( 2 ) Bab 1 Pendahuluan
terburuk dapat terjadi, yakni penyakitnya semakin parah atau
meninggal dunia.
Sejalan dengan seorang pasien yang sedang mengalami
perawatan medis, seorang dokter juga dalam menjalankan pro-
fesinya dibidang medis, pastinya juga menginginkan hasil yang
terbaik dan maksimal dari setiap tindakan medis yang ia laku-
kan terhadap pasiennya. Namun keinginan manusia adakala-
nya juga tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, bisa saja
yang diinginkan oleh seorang pasien yang menjalani perawatan
medis dan seorang dokter yang menjalankan profesinya sebagai
tenaga medis berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada,
kondisi demikian juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor, bisa karena takdir (walaupun alasan ini sebenarnya ti-
dak ilmiah), bisa karena kurangnya kerjasama dari si pasien
sendiri (tidak mengindahkan hal-hal yang diperintahkan dokter
baik selama masa ia menjalani perawatan medis, maupun sete-
lah ia menjalani perawatan medis atau biasa dikenal dengan is-
tilah recovery), atau bahkan bisa saja karena kelalaian dokter
sehingga ia dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai telah
melakukan malpraktik dibidang medis. Pada saat dokter mela-
kukan tindakan malpraktik, maka pada saat itulah ia diperha-
dapkan oleh hukum.
Hukum diadakan bukan demi hukum, namun ia harus
berguna bagi masyarakat yang diaturnya. Maka hukum bukan-
lah sesuatu yang berdiri sendiri secara mandiri terlepas dari

Bab 1 Pendahuluan ( 3 )
masyarakatnya. Hukum adalah pencerminan masyarakat (Ha-
maker). Hukum adalah pandangan, pendapat dan pendirian
yang dianut di dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu pula. Dengan perubahan zaman, maka
hukumnya pun akan turut berubah pula. Hukum diperlukan
demi adanya tata-tertib di dalam masyarakat. Dengan adanya
hukum, maka timbullah rasa kepastian di dalam kehidupan
manusia (Predictability : Roscoe Pound). Manusia di dalam ma-
syarakat tersebut akan tahu apa yang boleh dilakukan dan apa
yang dilarang. la tidak akan ragu-ragu lagi dalam melakukan
tindakannya.2 Begitupun dengan dokter atau profesi-profesi la-
in yang dijalankan oleh seseorang.
Dokter dalam kaitan menjalankan profesinya terhadap
pasien di rumah sakit, paling tidak ada beberapa peraturan
yang harus ia pedomani, peraturan dimaksud adalah Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran,3 Undang-Undang Republik Indonesia No-
mor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,4 Undang-Undang Re-
publik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,5

2 J. Guwandi, Dokter, Pasien, dan Hukum, (Jakarta: Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Indonesia, 2007), hlm. 2
3Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
4Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
5Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072).

( 4 ) Bab 1 Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan,6 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 ten-
tang Rekam Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetu-
juan Tindakan Kedokteran. Sejumlah peraturan tersebut7 men-
jadi pedoman bagi seorang dokter dalam menjalankan profe-
sinya.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan
yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan
medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidi-
kan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus
menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kema-
juan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.8 Sehingga ka-
rena hal tersebut, maka seorang dokter dalam menjalankan
profesinya tentu menjalankannya dengan upaya sungguh-

6Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298,


(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607).

7 Masih banyak peraturan lain yang tidak disebutkan dalam buku ini,

seperti Kode Etik dan peraturan di internal organisasi kedokteran lainnya.


8 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, namun pada penjelasan umum


tersebut dalam teks aslinya terdapat kata dokter dan dokter gigi

Bab 1 Pendahuluan ( 5 )
sungguh, maksimal, berintegritas tinggi, dan professional. Na-
mun di dalam kenyataanya dibeberapa negara maju seperti
United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus mal-
praktik medik banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya
meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun
1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali
lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan kea-
daan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan
di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam be-
berapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter
atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012,
tercatat ada 183 kasus kelalaian medik, atau bahasa awamnya
malpraktik yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indone-
sia. Malpraktik ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui
sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktik yang terjadi selama
ini, sudah ada 29 dokter yang izin praktiknya dicabut
sementara, ada yang tiga bulan dan ada yang enam bulan.9
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan mal-
praktik ke konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat men-
capai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding

9Dokter Indonesia Online, lihat di http://dokterindonesiaonline.com,


baca juga Majalah Forum Keadilan Nomor 17, Tahun VII, Edisi 30 Nopember
1998 yang memberitakan kasus malpraktik “Dua Dokter Beroperasi, Dua
Saluran Terpotong” yang terjadi di RSUD Sorong Propinsi Irian Jaya (kini
bernama Propinsi Jayapura).

( 6 ) Bab 1 Pendahuluan
tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan
kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi
atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 ka-
sus malpraktik di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus
dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33
kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan
dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam ka-
sus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diha-
ruskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan
dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus mal-
praktik. “Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu
yang didapatkan itu kurang dipraktikan atau terjadi penyim-
pangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu
yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang ter-
tentu. Di samping kasus malpraktik, beberapa kasus lain yang
juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga pencabutan
izin praktik di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ing-
kar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dok-
ter. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gu-
gatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat
dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan
diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan
terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan

Bab 1 Pendahuluan ( 7 )
pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan
faktor-faktor lainnya.10
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas,
maka penulis merasa perlu untuk mengeluargan gagasan
dalam bentuk tulisan, guna memberikan pengetahuan kepada
masyarakat dan praktisi kesehatan tentang pengaturan hukum
Malpraktik Medis sebagaimana yang akan dipaparkan pada
bab-bab selanjutnya di dalam buku ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diru-
muskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah rumusan malpraktik medis yang te-
pat dan jenis-jenisnya?
2. Bagaimanakah permasalahan medikolegal dalam pe-
layanan medis?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum dan etik
bagi pelaku malpraktik medis?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
yang hendak dicapai di dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui rumusan malpraktik medis yang
tepat dan jenis-jenisnya.
10 Dokter Indonesia Online, Ibid. baca juga Harian Fajar Edisi Rabu 24
April 2004 yang memberitakan “Dokter Operasi Pakai Senter” di RSUD I Lagaligo
di Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan dan “Gunting di Perut
Selama 18 Bulan” yang terjadi di Sydney, Australia.

( 8 ) Bab 1 Pendahuluan
2. Untuk mengetahui permasalahan medikolegal dalam
pelayanan medis.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dan
etik bagi pelaku malpraktik medis.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat
yang diharapkan di dalam penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan dan dapat digunakan
sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu hu-
kum dan ilmu kedokteran, khususnya dalam meng-
kaji malpraktik medis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masu-
kan dan menjadi salah satu acuan bagi para praktisi,
khususnya bagi praktisi hukum dan praktisi medis
agar lebih berhati-hati dan teliti dalam menjalankan
profesinya
3. Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan sehingga
masyarakat umum mendapatkan informasi mengenai
gambaran malpraktik medis secara benar (tidak me-
nyesatkan) dan komprehensif.

E. Teori-Teori yang Digunakan


Guna memperkaya pengetahuan, dan lebih tajam da-
lam menganalisis, maka penulis menggunakan beberapa teori

Bab 1 Pendahuluan ( 9 )
agar permasalahan mengenai malpraktik medis dalam buku ini
dapat dianalsis secara proporsional. Dalam buku ini, penulis
menggunakan 2 (dua) teori, yakni teori kesalahan dan teori
pertanggungjawaban, sebagaimana dipaparkan dibawah ini.

1. Teori Kesalahan
Kesalahan menurut teori (dalam hukum pidana) terdiri
dari :
- Kesengajaan; dan
- Kelalaian.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengaja-
an dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesala-
han. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding
dengan kelalaian (kealpaan/culpa). Karenanya ancaman pidana
pada suatu tindak pidana (delik)11 jauh lebih berat apabila ada-

11 Adami Chazawi menerangkan bahwa “Di Indonesia sendiri setidak-


nya dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah
Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perun-
dang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan dari istilah Strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa
pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan
yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Strafbaar feit,
terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan
sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan
pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Se-
mentara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan perbuatan sehingga secara
harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai suatu perbuatan
yang dapat dipidana”. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), Ba-
gian 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 67-68; adapun istilah yang dipakai
Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam menerjemahkan Strafbaar feit adalah istilah
perbuatan pidana. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka

( 10 ) Bab 1 Pendahuluan
nya kesengajaan daripada dibanding dengan kelalaian. Bahkan
ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kelalai-
an tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dila-
kukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti
misalnya pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP)12 dan pasal
pengrusakan barang-barang (Pasal 406 KUHP)13 dan lain seba-
gainya.14

Cipta, 2008), hlm. 86; dan Leden Marpaung menggunakan istilah “delik”. Leden
Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 7; Ter Haar memberi definisi untuk delik yaitu tiap-tiap penggangguan ke-
seimbangan dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau
sekelompok orang. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm. 18. Menurut Bambang Waluyo pengertian tindak pidana (delik) ada-
lah “perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Strafbare Feiten)”. Bam-
bang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 6; R. Abdoel Djamali menambahkan bahwa : “Peristiwa pidana yang juga
disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana”. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 175; terakhir Pompe yang menya-
takan bahwa perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai : “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang de-
ngan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu de-
mi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. P.A.F.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 182.
12Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, KUHP, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Baru, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm.
132; juga dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1996), hlm.
258
13 Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, Ibid., hlm.
146; juga dalam R. Soesilo, Ibid., hlm. 278
14 Zain Recht, Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana (Kum-
pulan Tulisan-Tulisan Hukum), 23 Nopember 2012.

Bab 1 Pendahuluan ( 11 )
Bagaimanakah mendefinisikan kesengajaan? Kitab Un-
dang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak memberi
definisi mengenai hal tersebut, sehingga kita dapat merujuk pa-
da Memorie van Toelicting (risalah penjelasan undang-undang),
yakni sengaja (dolus) berarti menghendaki dan mengetahui
(willens en wetens). Pelaku (tindak pidana) harus menghendaki
dan mengetahui apa yang dilakukannya. Kata sengaja dalam
undang-undang meliputi semua perkataan dibelakangnya, jadi
meliputi juga akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini dikenal
dua teori yaitu :
a. Teori membayangkan (voorstellings theori) dari Frank,
yaitu suatu perbuatan hanya dapat dikehendaki, se-
dangkan suatu akibat hanya dapat dibayangkan
saja;
b. Teori kemauan (wills theory) dari von Hippel, bahwa
sengaja itu ada kalau akibat itu memang dikehenda-
ki dan dapat dibayangkan sebagai tujuan.

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, dikenal berbagai


macam kesengajaan (dolus), antara lain :15
- Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang
yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan
terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai
objek yang lain.

15 Ibid.

( 12 ) Bab 1 Pendahuluan
- Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana ter-
lebih dahulu.
- Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan ting-
kat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
- Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan ting-
kat ketidakpastian objek, misalnya menembak sege-
rombolan orang.
- Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pelaku
(tindak pidana) dapat memperkirakan satu dan lain
akibat. Misalnya meracuni sumur.
- Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditu-
jukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada aki-
bat perbuatannya.
- Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang me-
nyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak
diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan
dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, sese-
orang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan
tergilas mobil (dolus ini berlaku pada KUHP/Code Pe-
nal Perancis, namun KUHP Indonesia tidak menga-
nut dolus ini).

Bab 1 Pendahuluan ( 13 )
Sedangkan tingkatan sengaja adalah sebagai berikut :
a. Sengaja sebagai niat.
Akibat delik adalah motif utama untuk suatu
perbuatan yang seandainya tujuan itu tidak ada
maka perbuatan tidak dilakukan.
Misalnya : (a) berniat membunuh (b), lalu memi-
numkan racun kepadanya;
b. Sengaja kesadaran akan kepastian; dan
c. Sengaja insaf akan kemungkinan (dolus eventu-
alis).

Sedangkan kelalaian menurut Kamus Besar Bahasa


Indonesia, memberikan pengertian kelalaian dari asal kata lalai
yang berarti "tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengin-
dahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya), lengah".16 Da-
lam an Indonesian-English Dictionary, kelalaian diartikan dari
kata neglect, carelessness.17 Dalam Kamus Hukum Edisi Leng-
kap, terjemahan dari culpa (Lat.) atau schuld (Bid.), atau debt,
guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah "kekhilafan atau kelalaian
yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak
pidana yang dapat ditindak atau dituntut".18 Istilah culpa sering

16Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Kementerian Pendi-


dikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
17 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, an
Indonesian-English Dictionary (Jakarta: Gramedia, 2003).
18 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa
Belanda, Indonesia, Inggris, (Semarang Aneka Ilmu, tanpa tahun).

( 14 ) Bab 1 Pendahuluan
diperlawankan dengan kata dolus, delict, opzet (Bld.). Dalam
Black's Law Dictionary19 disebutkan bahwa: "Kelalaian adalah
kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya orang lain
yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan
tersebut; ia merupakan suatu tindakan yang umumnya orang
lain yang wajar dan hati-hati tidak akan melakukan dalam kea-
daan yang sama, atau kegagalan untuk melakukan apa yang
oleh orang lain pada umumya dengan hati-hati dan wajar jus-
tru akan melakukan dalam keadaan yang sama".20
Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kelalai-
an (culpa), namun dari penjelasan pembuat undang-undang
(KUHP) atau Memorie van Toelichting (MvT) dapat diketahui
bahwa schuld atau culpa merupakan kebalikan murni dari
dolus (sengaja) maupun kebetulan (casus), yang dituntut adalah
bahwa orang kurang berpikir cermat, kurang pengetahuan,
atau bertindak kurang terarah dibanding dengan orang lain pa-
da umumnya. Dari Memorie van Antwoord (memori jawaban)
yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang
sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan

Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, USA:


19

West a Thomson Reuters business, 2009.


20 Teks aslinya : Negligence is the failure to use such care as reasonable

prudent and careful person would use under similar circumstances; it is doing
some of act which a person of ordinary prudence would not have done under
similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would
have done under similar circumstances. Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana
Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, (Yogyakarta: Andi Offset,
2010), hlm. 31-32

Bab 1 Pendahuluan ( 15 )
kemampuannya secara keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat
salah karena kelalaiannya, tidak menggunakan kemampuan
yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut seharusnya ia gu-
nakan.21 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia Modern,
kelalaian berasal dari kata lalai yang diartikan sebagai lengah,
kurang ingat, tidak mengindahkan kewajiban pekerjaan dan
sebagainya, terlupa, dan tidak sadar.22
Kelalaian (culpa) dipandang telah ada bila seseorang
kurang hati-hati, lalai dan kurang teliti, atau kurang mengam-
bil tindakan pencegahan. Jurisprudensi menginterpretasikan
culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau
kurang hati-hati.
Pada umumnya, kelalaian dibedakan atas :23
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya
dan berharap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya se-

21 Jan Remmelink. Hukum Pidana, (Buku terjemahan), (Jakarta, Gra-


media Pustaka Utama, 2003), hlm. 176-177 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Op.
Cit., hlm. 32

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta:


22

Pustaka Amani, 2002), hlm. 192


23 Zain Recht, Loc.Cit.

( 16 ) Bab 1 Pendahuluan
suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat mendu-
ga sebelumnya.

Perbedaan tersebut bukan berarti bahwa kelalaian yang disa-


dari itu sifatnya lebih berat dari pada kelalaian yang tidak disa-
dari. Kerapkali justru karena tanpa berpikir akan kemungkinan
timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van
Hattum mengatakan, bahwa “kelalaian yang disadari itu adalah
suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemung-
kinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus
eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kelalaian
sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pe-
ngertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip).
Penentuan kelalaian seseorang harus dilakukan dari luar,
harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana seharusnya
si pelaku itu berbuat.

2. Teori Pertanggungjawaban
Dasar-dasar pertanggungjawaban pidana sangat erat
kaitannya dengan tujuan hukum pidana, sehingga ada baiknya
jika dibahas terlebih dahulu mengenai tujuan hukum pidana.
Tujuan hukum pidana dalam perkembangannya dikenal 3 (tiga)
teori yang berkaitan dengan tujuan diberlakukannya hukum

Bab 1 Pendahuluan ( 17 )
pidana. Ketiga teori tersebut dikenal sebagai teori mutlak, teori
relatif, dan teori gabungan. Berikut uraiannya :24

a. Teori mutlak berlandaskan pada filosofi bahwa keja-


hatan itu tidak boleh ada, dan tidak diizinkan baik
menurut norma kesusilaan maupun norma hukum,
maka kejahatan itu seharusnya dipidana. Hanya de-
ngan “membalas” kejahatan itu dengan penambahan
penderitaan, maka dapat dinyatakan bahwa perbua-
tan (yang jahat) itu tidak dapat dihargai. Teori mut-
lak ini berabad-abad lamanya dapat diterima karena
sesuai dengan pengalaman manusia bahwa setiap
serangan yang dilakukan oleh orang lain akan me-
nimbulkan reaksi serangan pembalasan dari pihak
yang diserang.
b. Teori relatif yang berkembang kemudian menyebut-
kan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah untuk
pembalasan, melainkan untuk :
- Prevensi umum, yaitu bahwa pemerintah berwe-
nang menjatuhkan pidana untuk mencegah rakyat
umumnya melakukan tindak pidana. Van Veen
menegaskan tiga fungsi yaitu untuk menegaskan

24 Herkutanto, Tanggung Jawab Pidana dalam Hukum Kesehatan,

Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI de-


ngan R.S. Pusat Pertamina, (Jakarta, 26 Mei 1994), hlm. 10-11

( 18 ) Bab 1 Pendahuluan
wibawa pemerintah, menegakkan norma dan
membentuk norma.
- Prevensi khusus, yaitu bahwa manusia (pelaku
tindak pidana) dikemudian hari akan menahan
diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi karena
perbuatannya akan menimbulkan penderitaan.
Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan mem-
perbaiki.
- Fungsi perlindungan, dengan dipidannya si pelaku
kejahatan dengan dicabut kebebasannya, maka
masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang
dilakukannya.
c. Teori gabungan dikembangkan pertama-tama oleh
Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini menganut ke-
dua paham di atas sekaligus (pemidanaan sebagai
pembalasan dan sebagai pencegahan). Menurut pen-
dapatnya tujuan pidana adalah perbaikan tata tertib
masyarakat. Tujuan penting lainnya adalah prevensi
umum dan penimbulan rasa takut kepada (calon)
penjahat.

Dasar pemidanaan dalam hukum pidana dikenal asas


pokok yang penting yaitu “nulla poena” (nulla poena sine prae-
via lege poenali) yang artinya adalah “tidak ada perbuatan yang
dapat dipidana tanpa penetapan sebelumnya oleh undang-un-
dang”. Dengan demikian suatu perbuatan hanya dapat dipida-

Bab 1 Pendahuluan ( 19 )
na bila suatu undang-undang dengan tegas telah mengatur
bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini telah
diatur dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dari uraian
tersebut, Nampak bahwa pertanggungjawaban pidana baru
akan muncul bila norma-norma hukum pidana yang tertulis
dalam undang-undang dilanggar.25
Bila seseorang akan dibebani pertanggungjawaban pi-
dana maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :26
a. Adanya sikap tindak/perbuatan oleh manusia yang
dapat bertanggungjawab.
Pelaku yang melakukan perbuatan itu harus bebas
dapat menentukan kehendaknya (vrijwilligheid). Ar-
tinya jika pelaku tersebut sakit jiwa atau masih di
bawah umur, maka syarat pemidanaan ini tidak
terpenuhi. Yang terancam sanksi pidana adalah
pelaku itu sendiri, bukan orang lain (orang tuanya,
atau atasannya). Hal ini sesuai dengan asas mens
rea dan actus reus, dimana sasaran hukum pidana
adalah mental yang jahat (mens rea), yang diwujud-
kan dalam perbuatan yang jahat pula (actus reus).
b. Perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang
Hal sesuai dengan asas nulla poena sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Jadi harus dapat ditunjuk-

25 Ibid., hlm. 11
26 Ibid., hlm. 11-12

( 20 ) Bab 1 Pendahuluan
kan ketentuan/pasal mana yang dilanggar oleh pe-
laku.
c. Perbuatan pelaku yang melanggar hukum.27
Perbuatan pelaku tersebut jelas-jelas terbukti me-
menuhi rumusan tindak pidana yang telah dite-
tapkan oleh undang-undang, yang artinya melang-
gar norma dalam hukum pidana.
d. Terdapat unsur kesalahan pada pelaku.
Kesalahan (schuld) ini dari segi hukum pidana di-
kenal sebagai kesengajaan (dolus) dan kelalaian
(culpa).

Sedangkan dalam hukum perdata, tuntutan tanggung-


jawab hukum perdata dapat diajukan seseorang kepada siapa
saja yang telah menyebabkan kerugian akibat tindakan-tin-
dakan orang lain atau badan hukum. Atas dasar itu, maka
tanggungjawab tenaga pelayanan kesehatan baru timbul bila
seorang pasien mengajukan gugatan kepada tenaga pelayanan
kesehatan untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan

27 Perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengaki-


batkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, dan kegonca-
ngan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu
masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga apabila peraturan-peraturan
kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (lang-
sung). Maka tergantunglah dari nilai besarnya kegoncangan itu, apakah peratu-
ran hukum menuntut agar kegoncangan itu meskipun secara langsung hanya
mengenai peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan, atau sopan santu, harus
dicegah semaksimal mungkin seperti mencegah suatu perbuatan yang langsung
melanggar hukum. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipan-
dang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 7

Bab 1 Pendahuluan ( 21 )
yang merugikan pasien. Ganti rugi bisa meliputi biaya yang
telah atau akan dikeluarkan, juga kerugian yang diderita, ke-
munduran nilai dan sebagainya. Dasar tuntutan perdata dia-
jukan berpijak pada beberapa teori :28
a. Pelanggaran kontrak;
b. Perbuatan yang disengaja; dan
c. Kelalaian.

Berdasarkan hukum perdata tenaga pelayanan


kesehatan melakukan malpraktik karena :29
a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata);30
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365
KUH Perdata);31
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan keru-
gian (Pasal 1366 KUH Perdata);32 dan
d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab (Pa-
sal 1367 KUH Perdata).33

28 Poppy Gunawarman, Tanggung Jawab Perdata, Kumpulan Makalah


Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Perta-
mina, (Jakarta, 26 Mei 1994), hlm. 16-17
29 Ibid., hlm. 17
30 Lihat R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Burgelijk Wetboek, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hlm. 324


31 Ibid., hlm. 346
32 Ibid.
33 Ibid.

( 22 ) Bab 1 Pendahuluan
Wanprestasi34 (cacat prestasi) atas perjanjian terapeu-
tik, misalnya :35

i. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dila-


kukan;
ii. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagai-
mana dijanjikan.
Contoh : Dokter spesialis plastik menjanjikan hidung
pasien akan mancung setelah di operasi,
tetapi hasilnya malah sebaliknya.
iii. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
iv. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.

Beberapa kriteria untuk menilai dan membuktikan ada-


nya pelanggaran perjanjian terapeautik yang dilakukan tenaga
pelayanan kesehatan yaitu :36

34 Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan


kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat.
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006), hlm. 226; Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi ya-
itu (1) perjanjian tetap ada; (2) harus membayar ganti rugi; (3) beban resiko ber-
alih untuk kerugian kepada yang melakukan wanprestasi; dan (4) jika perikatan
lahir dari perjanjian timbal balik, maka pihak yang dirugikan dapat membebas-
kan diri dari perjanjian tersebut.
35 Poppy Gunawarman, Loc.Cit., hlm. 17

36 Ibid.

Bab 1 Pendahuluan ( 23 )
a. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga pelayanan ke-
sehatan tidak cukup layak dan tidak professional
seperti apa yang diharapkan oleh pasien;
b. Terjadi pelanggaran kewajiban;
c. Pelanggaran tersebut merupakan penyebab cedera
atau kerugian terhadap pasien.

Gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan


bahwa tenaga pelayanan kesehatan betul-betul telah mengada-
kan perjanjian yang kemudian dia melakukan wanprestasi ter-
hadap perjanjian tersebut. Gugatan perdata tersebut bisa beru-
pa tuntutan-tuntutan :37
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c. Ganti rugi saja;
d. Pembatalan perjanjian; atau
e. Pembatalan disertai ganti rugi.

Pembelaan tenaga pelayanan kesehatan atas tuntutan


perdata. tenaga pelayanan kesehatan yang dituntut lalai dan
dimintakan supaya kepadanya membayar ganti rugi atas kela-
laiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa
macam alasan untuk membebaskan diri dari ganti rugi (huku-
man). Pembelaan tersebut ada 6 (enam) macam, yaitu :38

37 Ibid.
38 Ibid., hlm. 17-18

( 24 ) Bab 1 Pendahuluan
a. adanya keadaan yang memaksa (ovemacht force maje-
ur);39
b. pasien sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti con-
tractus);
c. pasien ditolong dalam keadaan gawat darurat;
d. pasien telah melepaskan tuntutannya atas ganti rugi
(pelepasan hak);
e. peraturan mengenai jangka waktu boleh menuntut
(statue of limitation);
f. workmen’s compensation.

Atas uraian tersebut di atas, tenaga pelayanan kese-


hatan tidak dapat lepas dari tanggungjawab hukum perdata da-
lam melaksanakan tugas profesinya. Untuk menghindari dari
tuntutan itu tenaga pelayanan kesehatan harus memberikan
pelayanan menurut standar profesinya dengan sungguh-sung-
guh dan itikad baik. Disamping itu, perlu juga tenaga pelaya-
nan kesehatan untuk mengetahui dan menambah pengetahuan
dalam bidang hukum kesehatan dan segala aspek-aspeknya.
Sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki tenaga pelayanan
kesehatan dapat waspada dan responsif atas perubahan kesa-
daran masyarakat terhadap hukum.40

39 Penjelasan lebih lengkap mengenai ovemacht/force majeur dalam


buku Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan dari Undang-Undang, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 18

40 Poppy Gunawarman, Op.Cit., hlm. 18

Bab 1 Pendahuluan ( 25 )
Setelah dijelaskan tanggung jawab dalam hukum pida-
na dan dalam hukum perdata yang keduanya merupakan tang-
gung jawab dibidang hukum, selanjutnya akan dibahas menge-
nai tanggung jawab dibidang profesi kedokteran, yakni tang-
gung jawab disiplin dan tanggung jawab etik. Tanggung jawab
disiplin dan tanggung jawab etik merupakan dua tanggung
jawab yang tidak berhubungan langsung dengan hukum, na-
mun kedua tanggung jawab ini bisa dijadikan dasar pemberat
jika memang dalam tindakannya tersebut beraspek hukum,
baim itu hukum pidana maupun hukum perdata.
Profesi kedokteran dan kedokteran gigi memiliki kelu-
huran karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan
untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profe-
sionalnya sebagai dokter dan dokter gigi, selain terikat oleh
norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh
norma disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan akan menja-
min mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran
profesinya. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,41 Pasal 55 ayat (1)
yang mengatur bahwa “aturan-aturan dan/atau ketentuan pe-
nerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus
diikuti oleh dokter dan dokter gigi”. Aturan-aturan tersebut ter-

41Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,


(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

( 26 ) Bab 1 Pendahuluan
sebar dalam UU praktik kedokteran, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran In-
donesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik
Profesi dan juga kebiasaan umum (common practice) di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi. Pelanggaran disiplin dapat
dikelompokan dalam 3 hal, yaitu:42
a. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kom-
peten;
b. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien
tidak dilaksanakan dengan baik; dan
c. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan ke-
hormatan profesi kedokteran.

Sedangkan tanggung jawab dibidang etik adalah setiap


sikap tindak seseorang yang menjalankan profesi sebagai dok-
ter harus mencerminkan dan menjunjung tinggi kode etik ke-
dokteran, terutama yang diatur secara umum dalam 4 pasal
pertama, yakni :

Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, meng-
hayati dan mengamalkan sumpah dokter.

42Tince P. Soemoele, Disiplin Profesi Kedokteran, lihat di http://m.kom


pasiana.com/ tinceinge/disiplin-profesi-kedokteran

Bab 1 Pendahuluan ( 27 )
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan stan-
dar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebe-
basan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari
perbuatan yang bersifat memuji diri.

Serta pasal-pasal lainnya (dengan total 17 pasal) di


dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, sebagaimana terakhir
kali diperbaharui pada tanggal 19 April 2002 di Jakarta,
namun pasal-pasal lainnya hanya merupakan penjabaran dari
4 (empat) pasal utama di atas.
Profesi dokter sejak perintisannya telah membuktikan
sebagai profesi yang luhur dan mulia. Keluhuran dan
kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yang harus
ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu :43
1. Sifat ketuhanan;
2. Kemurnian niat;

43 Mukaddimah Pedoman Pelaksanaan Kodek Etik Kedokteran Indo-


nesia

( 28 ) Bab 1 Pendahuluan
3. Keluhuran budi;
4. Kerendahan hati;
5. Kesungguhan kerja; dan
6. Integritas ilmiah dan sosial.
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan
berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan per-
tolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik. Agar
dalam hubungan tersebut keenam sifat dasar di atas dapat
tetap terjaga, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman
pelaksanaan profesi. Kode Etik Kedokteran Indonesia dida-
sarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat, yaitu Pancasila
yang telah sama-sama diakui oleh Bangsa Indonesia sebagai
falsafah hidup bangsa.44 Kode etik inilah yang merupakan
tanggung jawab seorang dokter yang dijadikan dasar dalam
menjalankan pekerjaan profesinya sehari-hari.

F. Metode Penelitian
Secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau
cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, pengertian ini
diambil dari istilah metode yang berasal dari Bahasa Yunani,
“methodos” yang artinya “jalan menuju”. Bagi kepentingan ilmu
pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-

44 Ibid.

Bab 1 Pendahuluan ( 29 )
proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.45 Oleh
karena itu, di untuk menjawab rumusan-rumusan masalah
dalam buku ini, maka digunakan metode penelitian.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam buku ini adalah
jenis penelitian hukum normatif,46 yakni penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem nor-
ma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundangan, dan doktrin (aja-
ran).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statue approach).47 Dalam
konteks ini, ketentuan-ketentuan yang akan ditelaah dan dikaji
adalah beberapa instrumen hukum hukum nasional yang ber-
kaitan dengan hukum kesehata, praktik kedokteran, dan mal-
praktik medis. Selain menggunakan statue approach, diguna-
kan juga pendekatan konseptual (conceptual approach).48 Ada-
pun yang dimaksud pendekatan konseptual, adalah pende-
katan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

45 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung:

Mandar Maju, 2008), hlm. 13

46 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum,


Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 34
47Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Pre-
nada Media Group, 2010), hlm. 96
48 Ibid. hlm. 137

( 30 ) Bab 1 Pendahuluan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya pada
bidang hukum kesehatan, yang di dalamnya berkenaan dengan
peranan, fungsi, tujuan, dan tanggung jawab seseorang yang
menjalankan profesi kedokteran sebagai salah satu profesi dibi-
dang medis.

2. Bahan Hukum
Dalam penelitan hukum normatif, maka sumber data
yang digunakan adalah bahan-bahan hukum, yang terdiri da-
ri49 :
a) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat, meliputi peraturan
perundang-undangan, peraturan lain dan keputusan
menteri yang berkaitan dengan kajian malpraktik
medis;
b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, meliputi buku-buku dan jurnal-jurnal pene-
litian hukum baik yang berbentuk fisik maupun hasil
dari penelusuran (browsing) internet.
c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pri-
mer dan bahan hukum sekunder, meliputi kamus

49 Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum


Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 16

Bab 1 Pendahuluan ( 31 )
dan ensiklopedia yang berkaitan dengan kajian mal-
praktik medis.

3. Analisis Bahan Hukum


Setelah bahan-bahan hukum berhasil dikumpulkan
dengan menggunakan teknik yang telah ditetapkan di atas, ke-
mudian dilakukan analisis dengan menggunakan analisis data
kualitatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menje-
laskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan per-
masalahan yang berkaitan dengan kajian malpraktik medis.

4. Batasan Kajian
Walaupun dalam buku ini terdapat beberapa kalimat
yang tertulis “dokter dan dokter gigi” namun dalam buku ini
secara khusus hanya dikaji mengenai malpraktik medis oleh
seorang dokter. Penggunaan kata dokter dan dokter gigi dalam
beberapa kalimat hanya didasarkan aturan perundang-unda-
ngan dan peraturan lain yang menyebutkan demikian atau
literatur yang dikutip menjelaskan seperti itu. Oleh karenanya,
agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami buku ini, maka
perlu dijelaskan batasan kajian dimaksud.

( 32 ) Bab 1 Pendahuluan
BAB II
RUMUSAN MALPRAKTIK MEDIS
& JENIS-JENISNYA
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang
kesalahan di dalam bidang professional. Tindakan malpraktik
medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lain-
nya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan
melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan
yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan
terhadap pasien dengan teliti dan cermat.50 Bagaimanakah ru-
musan malpraktik medis, jenis-jenis dan contoh kasusnya?
Pemaparannya sebagai berikut.

A. Rumusan Malpraktik Medis


Ada ungkapan, kesehatan adalah tidak segala-galanya,
tetapi tanpa kesehatan kesehatan menjadi tidak berarti. Prinsip
untuk sehat memang idaman semua orang, karena kesehatan
menjadi pondasi segalanya. Orang sering mengatakan, kalau
badannya sehat bisa berusaha untuk menunjang kegiatan yang
lain, dan sebaliknya kalau badannya tidak sehat segalanya bisa
kurang atau tidak berfungsi. Untuk mengarah agar menjadi
sehat atau selalu sehat merupakan tujuan yang sangat sulit
50 Dokter Indonesia Online, Loc.Cit.

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 33 )


dicapai oleh setiap orang. bagi orang berkeinginan sehat harus
selalu berusaha dengan berbagai cara untuk memulihkan dan
meningkatkan kesehatannya. Usaha ke arah sehat ini tidak
menjamin keberhasilan, dan yang paling menyedihkan kalau
usahanya itu tidak berhasil atau justru menambah sakit. Kalau
akibat sakitnya sesorang itu bukan karena unsur kesalahan
medis bisa dikatakan tidak dipersoalkan, akan tetapi datang-
nya sakit itu karena unsur kesalahan atau kelalaian tindakan
medis menjadi dilematis, karena tujuannya seseorang berobat
mencari penyembuhan atau peningkatan kesehatan yang diper-
oleh justru kebalikannya. Hal semacam ini dimungkinkan ke-
salahan bertindak seorang tenaga medis, yang lebih dikenal
sebagai sebutan malpraktik.51 Kenyataan bahwa malpraktik bi-
sa kapan saja terjadi, maka diperlukan kehati-hatian bagi tena-
ga atau petugas medis dalam melayani masyarakat sebagai pa-
sien yang menerima jasa, dan pelayanan jasa tersebut harus
diberikan secara maksimal.
Pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,52 mengatur bahwa
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedok-
teran mempunyai kewajiban :

51 Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik,


(Jakarta: Permata Aksara, 2011), hlm. 1

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,


52

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

( 34 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien; 

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih
baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan; 

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia; 

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya; dan 

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Arti malpraktik secara medik menurut M. Jusuf Ha-


manfiah adalah kelalaian seorang dokter untuk memperguna-
kan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan
ukuran yang lazim orang lain mengobati pasien untuk ukuran
standar dilingkungan yang sama. Kelalaian diartikan pula de-
ngan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelaya-
nan medik.53

53 M. Jusuf Hamanfiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,

(Surabaya: Buku Kedokteran BGC, 1999), hlm. 87 dalam Mudakir Iskandarsyah,


Op.Cit.

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 35 )


Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebut-
kan istilah malpraktik dengan malapraktik54 yang diartikan de-
ngan: "praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi
undang-undang atau kode etik." Kamus Inggris-Indonesia John
M. Echols dan Hasan Shadily Cetakan ke-12 mengartikan mal-
practice atau malpraktik adalah: "(1) salah mengobati, cara me-
ngobati pasien yang salah; (2) tindakan yang salah". Sedangkan
arti malpractice, dalam Dorland's Medical Dictionary 27th Edi-
tion, adalah: "praktik yang tidak tepat atau yang menimbulkan
masalah"; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah"
("improper or injurious practice; inskillful and faulty medical or
surgical treatment"). Istilah malpractice dalam Stedman's Medical
Dictionary diartikan sebagai: "kesalahan penanganan pasien ka-
rena ketidaktahuan, ketidak-hati-hatian, kelalaian, atau ada-
nya niat jahat" (mistreatment of patient through ignorance, care-
lessness, neglect, or criminal intent).55
Black's Law Dictionary 5M ed. menyebutkan: "Malprak-
tik adalah setiap sikap-tindak yang salah, kurang ketrampilan
dalam ukuran yang tidak wajar. Istilah ini umumya digunakan
terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara, dan akun-
tan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukannya pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandai-

54 Istilah ini juga digunakan oleh dalam buku Anonim, Malapraktik,

Catatan Jujur Sang Dokter, (Jakarta: Bhuana Ilmu Polpuler, 2011).

55 Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 27

( 36 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


an yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di
dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan,
atau kerugian pada penerima layanan yang memercayai mere-
ka, termasuk di dalamnya adalah sikap-tindak profesi yang sa-
lah, kurang ketrampilan yang tidak wajar, menyalahi kewajiban
profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk, ilegal, atau
sikap-tindak amoral." (Any professional misconduct, unreason-
able lack of skill This term is usually applied to such conduct b}
doctors, lawyers, and accounts. Failure of one rendering proffesi-
onal services to exercise that degree of skill and learnng common-
ly applied under the circumstances in the community by the ave-
rage prudent reputable member of the profession with the result
of injury, loss or damage to the recipient of those services of those
entitled to rely upon them. It is any proffesional misconduct, un-
reasonable lack of skill or fidelity in professional or yudiciary du-
ties, evil practice, or illegal or immoral conduct).56
Pengertian lain dinyatakan oleh Veronica bahwa istilah
malpraktik berasal dari malpractice yang pada hakikatnya ada-
lah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai
akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dok-
ter.57 Selanjutnya J. Guwandi menyebutkan bahwa malpraktik
adalah istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stig-

56 Ibid., hlm. 27-28


57 Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi,
Ibid., hlm. 28

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 37 )


matis, menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang me-
megang suatu profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli
hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya.
Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut
malpraktik medik.58 Sedangkan malpraktik medik menurut
Safitri Hariyani yang mengutip dari pendapat Vorstman dan
Hector Treub dan juga atas rumusan Komisi Annsprakelijkheid
dari KNMG (IDLnya Belanda), adalah "Seorang dokter melaku-
kan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan,
tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak mem-
biarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya
dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan peme-
riksaan dan diagnosis serta melaku-kan atau membiarkan se-
suatu tersebut."59
Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam
menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau
bukan, Leenen menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip
oleh Fred Ameln, yaitu :60

58J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta, Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004), hlm. 20dalam Ari Yunanto
dan Helmi, Ibid.

Safitri Hariyani, Sengketa medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan


59

Antara Dokter dengan Pasien. (Jakarta: Diadit Media, 2005), hlm. 63 dalam Ari
Yunanto dan Helmi, Ibid.
60 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. (Jakarta:
Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 28-
29

( 38 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


- Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen)
dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dok-
ter bertindak onvoorzichteg, tidak teliti, tidak berhati-
hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sa-
ngat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur culpa
lata;
- Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik
(volgens de medische standaard);
- Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori
keahlian medis yang sama (gemiddelde bewaamheid
van gelijke medische categorie);
- Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke om-
standigheden);
- Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsio-
nal (asas propor-sionalitas) dengan tujuan kongkret
tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet
handelingsdoel).

Sungguh tidak mudah menentukan tindakan dokter itu


suatu malpraktik medik atau bukan. Dalam hal ini sesuai
dengan pendapat Leenen, menurut Guwandi, ada beberapa per-
tanyaan yang harus dijawab :61

61 J. Guwandi, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP: "Perjanjian


Terapuetik antara Dokter dan Pasien", (Jakarta, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2006), hlm. 14 dalam Ari Yunanto dan Helmi,
Ibid., hlm. 29-30

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 39 )


1) Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak
akan melakukan demikian?
2) Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa se-
hingga sebenarnya tidak akan dilakukan oleh te-
man sejawatnya yang lain?
3) Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, inten-
tional)?
4) Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undang-
undang?
5) Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu
medical error!
6) Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)?
7) Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung
dengan kelalaian dari pihak dokter?
8) Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau di-
bayangkan (foreseeabilily) sebelumnya?
9) Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat
(inherent risk) pada tindakan medik tersebut?
10) Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipa-
sinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena
obat-obat tertentu?

Pendapat lain dikemukakan oleh Adami Chazawi yang


menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi kalau dokter
atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam

( 40 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang
melanggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prin-
sip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewe-
nang; dengan menimbulkan akibat (causaal verband) kerugian
bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa
pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban
hukum bagi dokter.62
Sedangkan menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan
dokter dapat digolong-kan sebagai tindakan malpraktik harus-
lah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut :63
1) Adanya tindakan, dalam arti "berbuat" atau "tidak
berbuat" (peng-abaian);
2) Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh
orang di bawah pengawasannya (seperti oleh pera-
wat), bahkan juga oleh penyelia fasilitas kesehatan,
seperti rumah sakit, klinik, apotek, dan lain-lain;
3) Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik be-
rupa tindakan diagnostik, terapi, atau manajemen
kesehatan;
4) Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
5) Tindakan tersebut dilakukan secara :

62 Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin


Hukum. (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hlm. v dalam Ari Yunanto dan
Helmi, Ibid., hlm. 30
63 Munir Fuady. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter),

(Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 2 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.,
hlm. 30-31

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 41 )


a. melanggar hukum, dan atau;
b. melanggar kepatutan, dan atau;
c. melanggar kesusilaan, dan atau;
d. melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
6) Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-ha-
tian (kelalaian, kecerobohan);
7) Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya menga-
lami :
a. salah tindak, dan atau;
b. rasa sakit, dan atau;
c. luka, dan atau;
d. cacat, dan atau;
e. kematian, dan atau;
f. kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau;
g. kerugian lainnya terhadap pasien;
yang menyebabkan dokter harus bertanggung jawab se-
cara administrasi, perdata, maupun pidana.

Herkutanto mengutip dari World Medical Association


Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44"'
World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang
menyebutkan bahwa: "Malpraktik medis adalah kegagalan dok-
ter untuk memenuhi standar prosedur dalam penanganan pa-
sien, adanya ketidak-mampuan atau kelalaian sehingga me-
nimbulkan penyebab langsung adanya kerugian pada pasien."
(Medical malpractice involves the physician's failure to conform to

( 42 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


the standard care for treatment of the patient's condition, or lack
of skill, or negligence in providing care to the patient, which is
the direct cause of an injury to the patient).64
Menurut Ninik Marianti Malpraktik adalah suatu kesa-
lahan yang terjadi dalam tindakan medis, kesalahan mana dila-
kukan tidak dengan sengaja, melainkan karena adanya unsur
lalai, yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang dok-
ter, akibat dari tindakan itu, pasien menjadi cacat atau mati.
Tindakan dokter yang tidak menguntungkan ini merupakan
akibat dari :65
a. Tidak mengetahui;
b. Tidak melakukan pemeriksaan yang jeli sebelum-
nya; atau
c. Melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan stan-
dar profesi seorang doker.

Standar profesi diartikan sebagai “tindakan yang meme-


nuhi pengetahuan yang biasanya dimiliki oleh seorang dokter
(average) dalam bidang kedokteran tersebut, menurut situasi
dimana tindakan itu dilakukan. Tanggung jawab pidana seo-

64 Herkutanto, Dimensi Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Lokakarya


Nasional Hukum dan Etika Kedokteran. Makasar 26 - 27 Januari 2008. Procee-
ding. Ikatan Dokter Indonesia Cabang Makasar dalam Ari Yunanto dan Helmi,
Ibid., hlm. 31
65 Ninik Marianti, Malapraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pidana
dan Perdata, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 35

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 43 )


rang dokter yang berhubungan dengan malpraktik ini diatur di
dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUH Pidana.66
Makna malpraktik sebagaimana telah diuraikan, yang
dapat disimpulkan seorang dokter dikatakan telah melakukan
praktek yang buruk atau malpraktek manakala dalam melaku-
kan pelayanan medik, dia tidak memenuhi persyaratan-persya-
ratan atau standar-standar yang telah ditentukan seperti, da-
lam kode etik kedokteran, standar profesi, standar pelayanan
medik, maupun dalam standar operasional prosedur. Akibat
perbuatan pelayanan medis dibawah standar dan melanggar
kode etik tersebut, maka pasien mengalami kerugian. Seorang
dokter baru diperbolehkan melakukan praktek kedokteran ma-
nakala dia telah lulus dari pendidikan kedokterannya, terdaftar
atau teregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia, mendapat
surat izin praktek dari pejabat yang berwenang di kabupa-
ten/kota yang bersangkutan berada. Demikian pula dalam me-
lakukan praktek kedokteran atau pelayanan medis dokter ha-
rus berusaha keras untuk memenuhi standar-standar yang te-
lah ditetapkan. Dengan tidak terpenuhinya standar-standar
dimaksud dan berakibat pasien mengalami kerugian, maka
dokter tersebut telah dapat dikualifikasikan melakukan mal-
praktek.67

66 Ibid., hlm. 35-36


67 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi

Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Karya Putra


Darwati, 2012), hlm. 263-264

( 44 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


Oleh karena itu, dokter dikatakan melakukan malpraktek, jika
:68
1) Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran yang sudah berlaku umum
dikalangan profesi kedokteran;
2) Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar
profesi (tidak lege artis);
3) Melakukan kegiatan yang berat atau memberikan
pelayanan dengan tidak hati-hati; dan atau
4) Melakukan tindakan medik yang bertentang dengan
hukum.

Berdasarkan sekian banyak pengertian malpraktik oleh


para pakar yang telah disebutkan di atas, menurut penulis sen-
diri, pengertian malpraktik medis :

Malpraktik medis adalah pelayanan keseha-


tan yang tidak sesuai atau bertentangan de-
ngan etika profesi, standar profesi, standar
pelayanan profesi, standar prosedur opera-
sional, hak penerima pelayanan kesehatan,
kewajiban tenaga kesehatan dan atau ke-
tentuan peraturan perundang-undangan ter-
kait.

68 Ibid., hlm. 265

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 45 )


Jika diperhatikan antara pengertian pakar satu dengan
pakar lainnya, juga dalam definisi kamus yang satu dengan ka-
mus yang lainnya, tampak banyak persamaan dan hanya ada
beberapa variasi dari sudut pandang serta kriteria dalam me-
nentukan sebuah perbuatan malpraktik. Namun paling tidak
hal-hal yang demikian itu telah memberikan kita gambaran
mengenai perbuatan malpraktik, walaupun bukanlah rumusan
yang baku dalam menjustifikasi sebuah perbuatan malpraktik,
karena ilmu pengetahuan terus berkembang, maka niscaya pe-
rubahan-perubahan redaksi dan sudut pandang pasti terus
berubah (berkembang), walaupun dalam segi pemaknaan hal
tersebut adalah sama.
Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
akhir dari pengobatan menurut R. Hariadi adalah sebagai
berikut :69
(1) Perjalanan dan komplikasi dari penyakitnya sen-
diri (clinical course of the disease);
(2) Resiko medik (medical risk);
(3) Resiko tindakan operatif (surgical risk);
(4) Efek samping pengobatan dan tindakan medik
(adverse effect or reactine);
(5) Akibat keterbatasan fasilitas (limitation of resour-
ces);

69 Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik

Dokter dalam Transaksi Terapeutik, (Surabaya: Srikandi, 2007), hlm. 23 dalam


dalam Mudakir Iskandarsyah, Ibid., hlm. 2

( 46 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


(6) Kecelakaan medik (medical accident);
(7) Ketidaktepatan diagnosis (error of judgement);
(8) Kelalaian medik (medical negligence);
(9) Malpraktik medik (medic malpractice).

B. Jenis-Jenis Malpraktik Medis


Malpraktik medis ini merupakan suatu istilah yang se-
lalu berkonotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Menu-
rut J. Guwandi malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi
2 (dua) jenis :70

1) Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willwns en wetens


handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain malpraktik
dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melaku-
kan abortus tanpa indikasi medis, melakukan eutha-
nasia,71 memberi surat keterangan medis yang isinya
tidak benar, dan sebagainya;
2) Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena
kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasi-
en karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit

70 Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 264


71 Mengenai Euthanasia lihat lebih lanjut dalam buku Djoko Prakoso
dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia, dan Hukum
Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), dan buku Ahmad Wardi Muslich,
Euthanasia Menurut Pandangan Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014).

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 47 )


pasien bertambah berat dan kemudian meninggal
dunia (abandomen).

Perbedaannya yang lebih jelas tampak kalau kita meli-


hat pada motif yang dilakukannya, misalnya : 72
1) Pada malpraktek (dalam arti sempit) tindakannya di-
lakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya
memang sudah terarah kepada akibat yang hendak
ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya,
walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengeta-
hui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan de-
ngan hukum yang berlaku, sedangkan
2) Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan un-
tuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang
timbul itu disebabkan karena adanya kelalaian yang
sebenarnya terjadi diluar kehendaknya.

C. Contoh Kasus
Dalam sub bab ini, penulis mencoba uraikan contoh
kasus nyata (real) dugaan malpraktik medis baik yang diberita-
kan oleh media maupun yang terdapat dalam tulisan-tulisan
jurnal.
Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law, “malpraktek bisa
diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-
hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional, tindakan

72 Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 264-265

( 48 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis”. Kasus
malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi
di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga
profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan un-
dang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat ke-
lalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada
orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan
dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang ak-
hirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh
kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit,
kasus yang paling sering di bicarakan di media-media dianta-
ranya adalah kasus Prita Mulyasari.73

Kasus Pertama :
Dugaan malpraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari
Berikut ini akan dipaparkan kronologi singkat kasus
yang menimpa Prita Mulyasari ketika berobat ke Rumah Sakit
(RS) Omni International.74
7 Agustus 2008, Pukul 20:30
Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan kelu-
han panas tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan labo-

73 Dokter Indonesia Online, Loc.Cit.


74 Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca
yang dibuat Prita, Lihat di http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronolo
gi-kasus-prita-mulyasari-13940.html dalam Erni Dwita Silambi, Prita Mulyasari
vs RUmah Sakit Omni Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Inter-
nasional, Jurnal Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Vol. I No. 1 Edisi Juli 2013, hlm. 49-50

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 49 )


ratorium: Thrombosit 27.000 (normal 200.000), suhu badan 39
derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan diberi
suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah.
8 Agustus 2008
Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi
181.000. Mulai mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri te-
tap diinfus. Tangan kiri mulai membangkak, Prita minta dihen-
tikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke 39 derajat.
9 Agustus 2008
Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia
terkena virus udara. Infus dipindahkan ke tangan kanan dan
suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya Prita terserang sesak
nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan ka-
nan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan
menolak disuntik lagi.
10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter me-
nyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami
pembengkakan pada leher kiri dan mata kiri.
11 Agustus 2008
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 de-
rajat. Prita memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan
mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak sesuai
fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit 27.000,
tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasal-

( 50 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


nya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia ak-
hirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak
diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid. Di rumah
sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi kare-
na dia terserang virus yang menular.

Kasus Kedua :
Dugaan malpraktik yang dialami oleh Muhammad Raihan75
Kasus dugaan malpraktik yang dilakukan Rumah Sakit
Medika Permata Hijau (RSMPH) Jakarta terhadap bocah beru-
sia 12 tahun bernama Muhammad Raihan belum juga usai.
Bahkan, kabar terakhir menyebutkan kalau kondisi Raihan
masih lumpuh total dan tak ada perubahan yang cukup mem-
bahagiakan. "Masih berjuang. Sebab, Raihan masih mengalami
kelumpuhan total seperti sebelumnya", kata Yunus/ayah Rai-
han (Rabu, 18 Februari 2015).
Yunus menceritakan kalau Raihan belum bisa melaku-
kan apa pun hingga hari ini, hanya terbaring lemah di atas ran-
jang di bawah pengasuhan sang Bunda, Oti Puspa Dewi. "Bah-
kan Raihan hanya terbaring tanpa respons dan menunggu
mukjizat," kata Yunus menambahkan. Raihan, lanjut Yunus,
saat ini menjalani perawatan di rumah. Kontrol ke medis dan
pengobatan alternatif masih terus dilakukan Yunus dan Oti
demi kesembuhan bocah kelahiran Jambi, 30 Juni 2002. "Na-

75 Kondisi Terakhir Bocah Raihan si Korban Malapraktik, lihat di


http://Health-Liputan6.com

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 51 )


mun terkadang tetap menjalani rawat inap dan ke UGD. Sebab,
kadang kala ada masalah yang kondisi darurat yang terjadi
pada Raihan". kata Yunus.
Berikut kronologis yang terjadi pada Muhammad Rai-
han saat operasi usus buntu pada hari Sabtu, 22 September
2012, versi ayahnya, Muhammad Yunus, dalam surat elektro-
nik yang diterima oleh liputan6.com :
Pukul 04.00 WIB
Raihan dibawa oleh Ibundanya, Oti Puspa Dewi, ke Rumah Sa-
kit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta dengan maksud untuk
mendapatkan pengobatan atas sakit yang diderita Raihan. Pe-
nanganan awal ditangani oleh bagian IGD Rumah Sakit Medika
Permata Hijau (MPH) Jakarta. Setelah pihak IGD melakukan
tindakan, selanjutnya Raihan dimasukkan di ruang rawat inap
anak di lantai 5 Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Ja-
karta.
Sekitar Pukul 10.00 WIB
Dokter spesialis Anak melakukan kunjungan pada Raihan dan
melakukan diagnosa awal dan menduga Raihan mengalami sa-
kit usus buntu.
Sekitar Pukul 13.00 WIB
Ibunda Raihan melakukan konsultasi ke dokter Bedah Umum
dan mendapat penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh
Raihan adalah usus buntu dan disampaikan secara mendesak
agar segera dilakukan tindakan operasi.

( 52 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


Pukul 13.30 WIB
- Terjadi pembicaraan via telepon antara ayahanda
Raihan, Muhammad Yunus (yang sedang berada di
Kalimantan Selatan) dengan dokter bedah umum Ru-
mah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta yang
telah menyarankan untuk segera dilakukan operasi
pada Raihan. Muhammad Yunus pun menanyakan
mengapa anaknya harus segera dioperasi. Dijelaskan
oleh dokter bedah umum bahwa Raihan mengalami
usus buntu akut yang secepatnya untuk segera di-
operasi, jika tidak dioperasi dikhawatirkan akan ter-
jadi infeksi.
- Dalam pembicaraan via telepon antara Yunus dengan
dokter bedah umum tersebut, Yunus memohon ke-
pada dokter tersebut untuk dilakukan semacam se-
cond opinion atas dugaan usus buntunya Raihan.
Dan sekalian meminta dirawatinapkan terlebih dahu-
lu guna dilakukan observasi lebih lanjut atas dugaan
dokter tersebut. Namun, dokter bedah umum terse-
but tetap menyatakan Raihan menderita usus buntu
akut dan harus sesegera mungkin diambil langkah
operasi sore hari itu juga.
- Muhammad Yunus menanyakan apa efek yang akan
terjadi jika dilakukan operasi dan jika tidak dilaku-
kan operasi secepat itu seperti permintaan dokter be-

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 53 )


dah tersebut. Dokter tersebut menjawab, bahwa ope-
rasi yang akan dilakukan Raihan adalah operasi kecil
dan biasa dilakukan oleh dokter tersebut. Lalu 2
atau 3 hari setelah operasi dokter meyakinkan bah-
wa Raihan sudah bisa pulang. Namun jika tidak se-
gera dioperasi, dikhawatirkan akan terjadi infeksi
atau pecah dan kemungkinan bisa menjadi operasi
besar.
- Bukan hanya Yunus yang meminta untuk tidak dila-
kukan operasi tersebut, istrinya Oti Puspa Dewi juga
melakukan hal yang sama. Oti meminta untuk dila-
kukan pemeriksaan berupa dilakukannya USG un-
tuk melihat kebenaran dugaan tersebut, namun ti-
dak dilakukan oleh dokter tersebut dan menyatakan
tidak perlu. Karena menurut pengalamannya, hal ini
umum terjadi dan sudah 99 persen usus buntu akut.
- Penolakan awal untuk tidak segera dilakukan operasi
tersebut mengingat kondisi psikologis Raihan, terle-
bih saat itu ayahnya sedang tidak berada di sam-
pingnya. Dan orangtua Raihan merasa bahwa hal ini
tidak separah dugaan dokter tersebut sambil me-
nunggu kepulangan ayahnya dari Kalimantan.
Sekitar Pukul 16.00 s/d selesai
Akhirnya setelah menerima keyakinan dokter tersebut
dan harapan terbaik untuk Raihan, operasi pada Raihan dila-

( 54 ) Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . .


kukan dengan dokter yang terlibat dalam operasi itu adalah
dokter bedah umum dan dokter anastesi.
Sekitar Pukul 18.00
Tiba-tiba ibunda Raihan, Oti Puspa Desi, dipanggil ke dalam
ruang operasi untuk melihat Raihan yang sudah dalam kea-
daan kritis dan terkulai tidak sadarkan diri tanpa adanya per-
tolongan yang maksimal. Pihak keluarga pun akhirnya me-
nyangsikan kelengkapan peralatan di ruangan operasi tersebut.
Sampai saat ini M. Yunus masih menunggu itikad baik dari
pihak Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta
terkait dugaan malpraktik yang menimpa Muhammad Raihan.

Bab 2 Rumusan Malpraktik Medis . . . ( 55 )


BAB III
PERMASALAHAN MEDIKOLEGAL

Permasalahan medikolegal menjadi salah satu pemba-


hasan inti dari buku-buku malpraktik yang ada saat ini. Hal ini
dikarenakan permasalahannya yang sangat kompleks, serta di-
butuhkan kejelian dan ilmu yang mumpuni agar dapat membe-
dakan perbuatan satu dengan perbuatan lainnya. Perbuatan-
perbuatan dimaksud adalah tindakan medis, kelalaian medis,
dan resiko medis. Berikut pemaparannya :

A. Tindakan Medis
Tindakan medis merupakan salah satu permasalahan
di dalam kajian medikolegal. Sederhananya, tindakan medis ini
merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter (secara profe-
sional) terhadap pasien yang membutuhkan jasanya, baik itu
dalam hal memulihkan kesehatannya (recovery) maupun juga
menghilangkan penyakit yang si pasien derita.
Pendapat lain disebutkan bahwa tindakan medis adalah
tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tu-
juan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 57 )


menghilangkan atau mengurangi penderitaan.76 Meski memang
harus dilakukan, tetapi tindakan medis tersebut ada kalanya
atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medis ada-
lah suatu tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan
oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan teruta-
ma bagi para pasien yang mengalami gangguan kesehatan.
Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan
oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlu-
kan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertim-
bangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik ha-
rus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut ha-
rus benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik
tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat se-
suai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehing-
ga dapat di pertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Budi
Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan
suatu keputusan etik, seorang dokter harus :77
1) Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat, profesi, dan pasien.
2) Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan
keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis
yang dihadapi.

76 Samsi Jacobalis, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran,


Etika Medis, dan Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), hlm. 128 dalam Ari Yu-
nanto dan Helmi, Op.Cit., hlm. 39

77 Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 39-40

( 58 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik
yang dilakukan dokter sebagaimana disebutkan di atas juga
menjadi pedoman bagi seorang dokter dalam menjalankan pro-
fesinya, sehingga jika kedua hal tersebut di atas dijalankan de-
ngan sungguh-sungguh, dilandasi dengan integritas tinggi dan
penuh rasa tanggung jawab, maka seorang dokter tersebut ba-
ru dikatakan sebagai seorang dokter yang profesional.
Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu
tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila me-
menuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu
tujuan yang kongkret.
2) Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku da-
lam ilmu kedokteran
3) Sudah mendapat persetujuan dan pasien.

Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak secara


lege artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu
tindakan medik dapat dimasukkan dalam pengertian pengania-
yaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di
atas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yu-
ridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti ba-
gi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan
hukum administratif.78 Selain itu juga memiliki arti bagi disip-

78Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Jakarta:


Bina Rupa Aksara, 1996), hlm. 45 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 40

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 59 )


lin profesi dan etika profesi yang tidak kalah penting dengan
kualifikasi yuridis.

B. Kelalaian Medis
Kelalaian medis juga merupakan salah satu permasa-
lahan di dalam kajian medikolegal. Karena kelalaian ini meru-
pakan tindakan yang tidak professional seorang dokter, dimana
ketidak profesionalannya dapat diukur dari :
1) Tidak dipertimbangkannya nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat, profesi, dan pasien dalam
menjalankan profesinya.
2) Tidak dipertimbangkannya etika, prinsip-prinsip
moral, dan keputusan-keputusan khusus pada
kasus klinis yang dihadapi dalam menjalankan
profesinya.

Treub, seorang pakar hukum pidana dari Belanda, me-


nyebutkan bahwa yang penting adalah ketelitian dan kehati-
hatian yang wajar yang dapat diharapkan dari seorang dokter.
Bukan ukuran dari seorang dokter yang terpandai atau yang
paling hati-hati, tetapi ukuran dari seorang dokter rata-rata
pada umumnya. Treub mengatakan bahwa: "Baru dapat dikata-
kan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melaku-
kan atau tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik
bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama,
akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melaku-

( 60 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


kan".79 Untuk berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kela-
laian, menurut J. Guwandi, harus dipenuhi empat unsur yang
dikenal dengan nama 4-D, yaitu :80
a. Duty to Use Due Care
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk
mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubu-
ngan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit.
Dengan adanya hubungan hukum maka implikasi-
nya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat ru-
mah sakit itu harus sesuai dengan standar pelaya-
nan medik agar pasien jangan sampai menderita
cedera karenanya. Adagium primum non-nocere
terutama harus ditaati. Hubungan pasien-dok-
ter/rumah sakit itu sudah harus ada pada saat pe-
ristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan
juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan per-tele-
pon. Di dalam kasus "O'Neil v. Montefiori Hospital, 11
App, Div. 2d 132. 202 N.Y. 2d 436 (1st Dep. I960)",
seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon de-
ngan seorang pasien tentang kondisinya. Tanpa me-

79 J. Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), (Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994), hlm. 20 dalam Ari
Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 32-33
80 J. Guwandi, Dugaan Malprakek Medik & Draft RPP: “Perjanjian Tera-
pieutik antara Dokter dan Pasien”, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006), hlm. 99 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm.
35-37

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 61 )


meriksa lebih dahulu secara fisik, dokter tersebut
mengizinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah
sakit dengan hanya memesan agar besok pagi kem-
bali lagi ke rumah sakit. Namun pasien itu pada ma-
lam harinya ternyata meninggal dunia. Pengadilan
berpendapat bahwa seorang dokter yang telah mene-
rima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan di-
obati, namun tanpa memeriksa lagi pasiennya, telah
terbukti adanya kewajiban sebagaimana terdapat pa-
da unsur pertama: Duty of due care.

b. Deriliction (Breach of Duty)


Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/
perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan
standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyim-
pangan dari standar tersebut maka ia dapat diper-
salahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat
diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada re-
kam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain.
Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian je-
lasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi,
maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa lo-
quitur. Tolok ukur yang dipakai secara umum adalah
sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan seting-
kat di dalam situasi dan keadaan yang sama.

( 62 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


c. Damage (Injury)
Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik
adalah "cedera atau kerugian" yang diakibatkan pada
pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit
dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai
menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury,
harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut
ganti kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dalam
bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk da-
lam arti gangguan mental yang hebat (mental angu-
ish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap priva-
si orang lain.

d. Direct Causation (Proximate Cause)


Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berda-
sarkan malpraktik medik, maka hams ada hubungan
kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dok-
ter) dan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien
sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan
saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti
kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian
tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien.

Sebagaimana penjelasan di atas, maka kelalaian medis


ini bisa dilihat dari dua aspek, pertama ketika seorang dokter
tersebut melakukan tindakan medis, namun tindakannya ter-

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 63 )


sebut tidak sesuai dengan tindakan yang semestinya dilakukan
oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (aktif/
melakukan tindakan), kedua ketika seorang dokter tersebut ti-
dak melakukan tindakan medis, namun tidak melakukan tin-
dakan medis tersebut tidak sesuai dengan seharusnya dilaku-
kan oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (pasif/
tidak melakukan tindakan).

C. Resiko Medis
Resiko medis juga merupakan salah satu permasalahan
di dalam kajian medikolegal. Resiko dalam setiap pekerjaan
pasti ada, resiko tersebut ada yang tingkatannya besar, sedang,
bahkan adapula tingkatan resiko pekerjaan yang rendah. Bu-
kan hanya pekerjaan, profesipun demikian, sehingga resiko se-
kecil apapun mesti diperhitungkan oleh seseorang yang menja-
lankan profesinya dalam bidang apapun, karena ada resiko
yang juga tidak dapat dihindari dalam pelaksanaannya, namun
meminimalisir resiko adalah satu-satunya jalan terbaik guna
terhindarnya masalah besar yang mungkin saja akan terjadi
dikemudian hari.
Setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko
yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari resiko
adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas me-
rupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bah-
wa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari
ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di

( 64 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu,
untuk mencegah terjadinya resiko yang tidak diharapkan, se-
orang profesional harus selalu berpikir cermat dan bertindak
hati-hati agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin terja-
di. Menurut Herkutanto dengan mengutip World Medical Asso-
ciation Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari
44"' World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992,
yang menyebutkan bahwa resiko medis atau yang lazim disebut
sebagai untoward result adalah suatu kejadian luka/resiko
yang terjadi sebagai akibat dari tindakan medik yang oleh sua-
tu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan
akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini
secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggungjawa-
ban.81
Setiap tindakan medik selalu mengandung resiko, seke-
cil apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulkan resiko
yang besar, sehingga pasien menderita kerugian/celaka. Dalam
hal terjadi resiko, baik yang dapat diprediksi maupun yang ti-
dak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan per-
tanggungjawaban. Dalam ilmu hukum terdapat adagium
volontie non fit injura atau asumpsion of risk. Maksud adagium
tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke da-
lam suatu bahaya (resiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak
dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila

81 Herkutanto dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 46

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 65 )


resiko itu benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertang-
gungjawaban kepada seseorang karena resiko terjadi bukan
karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apa-
bila resiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien ti-
dak dapat menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang
tenaga medik.82
Disini terlihat bahwa satu-satunya persoalan medico-
legal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hu-
kum adalah persoalan resiko medis, hal ini memang sangat te-
pat oleh karena setiap tindakan medis pasti memiliki resiko,
namun yang menjadi poin pentingnya adalah apakah resiko
tersebut telah ia perkirakan sebelumnya atau tidak, selanjut-
nya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien dan ke-
luarganya atau tidak. Hal terakhir ini menjadi penting karena
pasien dan keluarganya pasti menginginkan tindakan medis
yang terbaik bagi diri dan keluarganya, namun tidak semua pa-
sien atau keluarga pasien memiliki latar belakang medis yang
dapat mengetahui atau mendeteksi potensi resiko yang akan
terjadi akibat tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dok-
ter, sehingga perlu dijelaskan sebelumnya agar pasien dan
keluarganya sama-sama paham terhadap resiko yang bisa saja
terjadi akibat tindakan seorang dokter tersebut, dengan catatan
bahwa resiko tersebut bukan akibat dari ketidakmampuan atau

82 Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.

( 66 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


ketidaktahuan seorang dokter akibat tindakan medis yang dila-
kukannya.

D. Perbedaan Mendasar antara Malpraktik Medis, Tindakan


Medis, Kelalaian Medis, dan Resiko Medis
Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan
kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang berbeda.
Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan te-
tapi di dalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur ke-
lalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat da-
ri definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pe-
ngertian yang lebih luas daripada negligence karena selain
mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional,
dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti
kesengajaan tersirat ada motif (mens rea, guilty mind), sedang-
kan arti negligence lebih berintikan ketidak-sengajaan (culpa),
kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak
peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang
timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Harus diakui
bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan
(criminal malpractice) dan yang sampai terungkap ke pengadilan
memang tidak banyak. Demikian pula di luar negeri yang tun-
tutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti keru-
gian. Namun perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu, mal-

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 67 )


praktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang
dilakukan :83
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens han-
delen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perun-
dang-undangan atau malpraktik dalam arti sempit, mi-
salnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indi-
kasi medik, melakukan eutanasia, memberi surat kete-
rangan medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena
kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien
karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pa-
sien bertambah berat dan kemudian meninggal.

Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif


yang dilakukan, yaitu :84
1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tin-
dakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari
tindakannya memang sudah terarah kepada akibat
yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap
akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya
mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan de-
ngan hukum yang berlaku.

83 Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 37-38


84 J. Guwandi (1994), dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 38

( 68 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


2. Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan un-
tuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang
timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

Mengacu pada rumusan-rumusan yang dikemukakan


di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai malpraktik medik,
yaitu bahwa yang dimaksud malpraktik medik adalah kesala-
han baik sengaja maupun tidak dengan disengaja (lalai) dalam
menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan Standar
Profesi Medik (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO)
dan berakibat buruk/fatal dan atau mengakibatkan kerugian
lainnya pada pasien, yang mengharuskan dokter bertanggung
jawab secara administratif dan atau secara perdata dan atau
secara pidana. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 29 Ta-
hun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa stan-
dar profesi medik adalah batasan kemampuan minimal yang
harus dikuasai seorang dokter untuk dapat melakukan kegia-
tan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disu-
sun oleh Ikatan Dokter Indonesia. Sedangkan standar prosedur
operasional adalah suatu perangkat instruktif tentang langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses
kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional disusun oleh

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 69 )


institusi tempat dokter bekerja (rumah sakit, puskesmas, dan
lain-lain). 85
Sedangkan kelalaian medis ini bisa dilihat dari dua as-
pek, pertama ketika seorang dokter tersebut melakukan tinda-
kan medis, namun tindakannya tersebut tidak sesuai dengan
tindakan yang semestinya dilakukan oleh dokter pada umum-
nya atas dasar pengetahuan (aktif/melakukan tindakan), kedua
ketika seorang dokter tersebut tidak melakukan tindakan me-
dis, namun tidak melakukan tindakan medis tersebut tidak se-
suai dengan seharusnya dilakukan oleh dokter pada umumnya
atas dasar pengetahuan (pasif/tidak melakukan tindakan). Ba-
ru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak me-
meriksa, melakukan atau tidak melakukan yang dokter-dokter
lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan
yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau ti-
dak melakukan. Serta setiap tindakan medis pasti memiliki re-
siko, namun yang menjadi poin pentingnya adalah apakah re-
siko tersebut telah ia perkirakan sebelumnya atau tidak, selan-
jutnya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien dan
keluarganya atau tidak. Hal sangat penting karena pasien dan
keluarganya pasti menginginkan tindakan medis yang terbaik
bagi diri dan keluarganya, namun tidak semua pasien atau ke-
luarga pasien memiliki latarbelakang medis yang dapat menge-
tahui atau mendeteksi potensi resiko yang akan terjadi akibat

85 Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.

( 70 ) Bab 3 Permasalahan Medikolegal


tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, sehingga
perlu dijelaskan sebelumnya agar pasien dan keluarganya sa-
ma-sama paham terhadap resiko yang bisa saja terjadi akibat
tindakan seorang dokter tersebut, dengan catatan bahwa resiko
tersebut bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidakta-
huan seorang dokter akibat tindakan medis yang dilakukannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan 5 (lima) poin penting
sebagai berikut :
1. Tindakan medis dapat berujung kepada malpraktik
medis dan/atau mengakibatkan resiko medis;
2. Kelalaian medis merupakan bagian dari malpraktik
medis;
3. Malpraktik medis meliputi kesengajaan ataupun ke-
lalaian medis (berdasarkan teori kesalahan sebagai-
mana dijelaskan pada bab sebelumnya);
4. Malpraktik medis (secara umum) dan kelalaian medis
(secara khusus) yang berasal dari tindakan medis da-
pat dimintakan pertanggungjawaban hukum.
5. Resiko medis tidak dapat dimintai pertanggungjawa-
ban hukum.

Bab 3 Permasalahan Medikolegal ( 71 )


BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN
MALPRAKTIK MEDIS

Sebagaimana telah diungkapkan dan dijelaskan pada


bab-bab sebelumnya bahwa setiap pekerjaan dan profesi memi-
liki konsekuensi atau pertanggungjawaban masing-masing. Ka-
rena pekerjaan dan profesi tersebut membutuhkan tindakan
profesional (baik dibidang jasa maupun barang/produk yang
dihadilkan), sehingga espektasi seorang pemakai jasa atau pro-
duk tersebut sangatlah ideal, ini berbanding terbalik dengan
seseorang yang menjalankan pekerjaan atau profesinya (dibi-
dang apapun), karena ia harus memikirkan segala hal terma-
suk resiko yang akan timbul akibat pekerjaan yang ia lakukan,
atau akibat jasa dan pelayanan yang ia berikan, hal ini berlaku
kepada semua profesi yang digeluti, tidak terkecuali profesi ke-
dokteran. Profesi kedokteran dan profesi medis lainnya adalah
salah satu profesi yang memiliki resiko atau tanggung jawab
yang sangat tinggi, ini dikarenakan profesinya berkaitan lang-
sung dengan kesehatan, keselamatan, bahkan nyawa seseorang
(pasien).

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 73 )


Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
baik merupakan salah satu hak (hak asasi manusia) yang dia-
tur dalam di dalam Pasal 12 Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), kovenan inter-
nasional tersebutpun telah di ratifikasi (di sahkan) oleh Peme-
rintah Republik Indonesia pada tahun 2005 dengan di undang-
kannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights. Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini merupakan turunan dari
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal
Declaration of Human Rights yang di deklarasikan pada tanggal
10 Desember 1948, karena sifatnya yang tidak mengikat (dalam
hukum internasional di sebut soft law) karena dalam bentuk
deklarasi (yang tidak memberikan sarana untuk di ratifikasi)
sehingga dibuatlah aturan turunan yang mengikat (dalam
hukum internasional di sebut hard law) karena dalam bentuk
kovenan (memberikan sarana untuk di ratifikasi) agar negara
dapat tunduk dan melaksanakan atau mengimplementasikan
seluruh hak asasi yang termasuk ke dalam hak asasi manu-
sia.86
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupa-
kan satu profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pan-

86 Nilawati Adam, Korelasi Hukum antara Tujuan Pengaturan dan Asas

Praktek dalam Undang-Undang Keperawatan, Jurnal “Justitia” Fakultas Hukum


Universitas Ichsan Gorontalo, Vol. II No. 2 Edisi Maret 2015, hlm. 207

( 74 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
dangan masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan prak-
tek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui pendidi-
kan dan pelatihan yang cukup panjang. Karena dari profesi ini-
lah banyak sekali digantungkan harapan hidup dan/atau ke-
sembuhan dari pasien serta keluarganya yang sedang menderi-
ta sakit. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai
manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan
kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya
yang pernuh dengan resiko ini tidak dapat menghindarkan diri
dari kekuasaan kodrat dan iradat Allah, karena kemungkinan
pasien cacat dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan
standar profesi atau standart Operating Procedure (SOP) dan/
atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini
seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terka-
dang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi kedokteran se-
bagai medical malpractice.87
Sebagaimana diketahui, bahwa profesi kedokteran bu-
kanlah bidang ilmu pasti yang semuanya terukur. Profesi ke-
dokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau per-
paduan antara penggetahuan dan seni (science and art). Seperti
dalam melakukan diagnosis merupakan seni tersendiri bai dok-
ter, karena setelah mendengar keluhan pasien, dokter akan me-

87 Syahrul Machmud, Op.Cit, hlm. 1 lebih jauh baca artikel Jurnal Andi
Sofyan, A Juridical Aspect of Medical Malpractice, Jurnal Medika Nusantara (Nu-
santara Medical Journal), Vol. 21 No. 1 Edisi Januari-Maret 2000, Fakultas Ke-
dokteran Universitas Hasanuddin, hlm. 64-68

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 75 )


lakukan imajinasi dan melakukan pengamatan yang seksama
terhadap pasiennya. Pengetahuan atau teori-teori kedokteran
serta pengalamannyayang telah diterimanya selama ini menjadi
dasar melakukan diagnosa terhadap penyakit pasien, diharap-
kan diagnosisnya mendekati kebenaran. Berkaitan dengan pro-
fesi kedokteran ini, belakangan marak diberitakan dalam mass
media nasional, baik melalui media elektroknik maupun media
cetak, bahwa banyak ditemui praktek-praktek malpraktek yang
dilakukan kalangan dokter Indonesia. bahkan menurut laporan
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Pusat tercatat kurang le-
bih terdapat 150 kasus malpraktik di Indonesia walau sebagian
besar tidak sampai ke meja hijau (pengadilan). Demikian pula
laporan masyarakat kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari
tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 terdapat 306 kasus
pengaduan dugaan malpraktik.88
Manusia sebagai subjek hukum yang dalam artian pe-
mangku hak dan kewajiban, tidak hanya memiliki hak atau
menuntut hak-haknya saja, oleh karena itu agar terjadi keseim-
bangan maka manusia juga berkewajiban menjalankan rambu-
rambu kehidupan sebagaimana yang telah diatur di dalam
setiap norma, baik itu norma agama,89 norma sosial,90 norma

88 Harian Sinar Harapan Edisi 29 April 2005 dalam Syahrul Machmud,


Ibid, hlm. 1-2
89 Diatur dalam kitab suci masing-masing agama
90 Tata pergaulan di masyarakat

( 76 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
kesusilaan,91 dan norma hukum.92 Setiap tindakan manusia
mempunyai konsekuensi, begitupun manusia dalam menjalan-
kan jabatan atau sebuah profesi, maka tindakannya tersebut
memiliki konsekuensi, baik itu konsekuensi profesi maupun
konsekuensi hukum.
Dalam buku ini, akan dibahas jenis-jenis konsekuensi
yang akan dihadapi oleh seorang dokter sebagai salah satu te-
naga medis dalam menjalankan profesinya. Berikut uraian je-
nis-jenis konsekuensi dimaksud.

A. Tanggungjawab Pidana
Hukum bisa timbul dalam bentuk : perjanjian interna-
sional (treaties, conventions), perundang-undangan suatu nega-
ra tertentu, hukum kebiasaan atau yurisprudensi. Bahkan jika
ada kekosongan hukum (rechts-vacuum) maka hakim pun ber-
kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum dengan upaya
menemukannya (rechtsvinding : Paul Scholten). Kepustakaan
yang sudah diterima jika terdapat kekosongan hukum, dapat
pula dipakai sebagai pedoman hakim dalam memutuskan
suatu perkara. Misalnya dalam perkara malpraktik medis yang
masih terhitung baru di Indonesia, sehingga pengaturannya
pun bisa dibilang masih belum lengkap dan tidak rinci. Timbul
pertanyaan, Bagaimana jika ada perkara malpraktik medik

91 Nilai kepatutan dan kepantasan


92 Diatur dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang
berlaku

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 77 )


yang diajukan ke Pengadilan? Bolehkah seorang hakim memu-
tuskan bahwa hukum belum membuat pengaturannya yang
jelas? Untuk ini jawabannya terletak pada "Ketentuan Umum
tentang Perundang-undangan untuk Indonesia" (Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia). Di dalam Pasal 22
dikatakan bahwa "Seorang hakim yang menolak memberi kepu-
tusan hukum berdasarkan alasan tidak diatur, hukumnya ti-
dak jelas atau perundang-undangannya tidak lengkap, dapat
dltuntut berdasarkan penolakan memberi keputusan hukum".
(De regter, die weigert regt te spreken, onder voorwendsel van
stilzwijgen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofde
van regtsweigering vervolgd worden). Dengan demikian maka
seorang hakim harus berusaha sampai bisa memberikan kepu-
tusannya dengan mencari bahan materinya sampai dapat. Bah-
kan ilmu pengetahuan dan kepustakaan pun dapat dipakai se-
bagai sumber hukum.93
Khusus dalam sub bab tanggung jawab pidana ini, pe-
nulis hanya membatasinya pada pelanggaran terhadap Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Re-
publik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedok-
teran,94 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Ta-

93 J. Guwandi (2007), Op.Cit., hlm. 2

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,


94

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

( 78 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
hun 2009 tentang Kesehatan.95 KUHP mengatur mengenai
tanggung jawab pidana yang berkaitan atau ada kaitannya de-
ngan malpraktik medis di dalam 12 (dua belas pasal), pasal-
pasal dimaksud adalah :
1. Pasal 267 KUHP yang mengatur tentang Pemal-
suan Surat Keterangan Dokter;
2. Pasal 299 KUHP yang mengatur tentang Pembe-
rian Harapan untuk Menggugurkan Kehamilan;
3. Pasal 322 KUHP yang mengatur tentang Rahasia
Kedokteran;
4. Pasal 344 KUHP yang mengatur tentang Eutana-
sia;
5. Pasal 346 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
6. Pasal 347 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
7. Pasal 348 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
8. Pasal 349 KUHP yang mengatur tentang Aborsi;
9. Pasal 351 KUHP yang mengatur tentang Pengani-
ayaan yang Merusak Kesehatan;96
10. Pasal 359 KUHP yang mengatur tentang Kelalaian
yang Menyebabkan Kematian;

95 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

96 Lebih lanjut bahasan mengenai delik penganiayaan sehingga


membedakannya dengan malpraktik medis baca artikel jurnal Andi Sofyan,
Persetujuan Tindakan Medik dalam Hubungan Delik Penganiayaan, Jurnal
Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21 No. 2 Edisi April-Juni
2000, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, hlm. 110-115

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 79 )


11. Pasal 360 KUHP yang mengatur tentang Kelalaian
yang Menyebabkan Luka; dan
12. Pasal 361 KUHP yang mengatur tentang Pembera-
tan Pidana dan Pidana Tambahan.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, aturan me-
ngenai tanggung jawab pidana yang relevan dengan malpraktik
medis terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1)97 dipidana dengan pidana penjara pa-
ling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara
asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi sementara sebagaimana

97 Pasal 29 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi

yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda


registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi”.

( 80 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)98 dipi-
dana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara
asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi bersyarat sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 32 ayat (1)99 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp.100.
000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 36100 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
98 Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi sementara
dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang
melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di
Indonesia”.
99 Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi bersyarat
diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia”.
100Pasal 36 mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 81 )


denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (se-
ratus juta rupiah).

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja mengguna-
kan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tan-
da registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi dan/atau surat izin praktik se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(1)101 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja mengguna-
kan alat, metode atau cara lain dalam mem-
berikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang ber-
sangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter
101Pasal 73 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang meng-
gunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.

( 82 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau
surat izin praktik sebagaimana dimaksud da-
lam Pasal 73 ayat (2)102 dipidana dengan pi-
dana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (se-
ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling la-
ma 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan na-
ma sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 41
ayat (1);103 

b. dengan sengaja tidak membuat rekam me-
dis sebagai-mana dimaksud dalam 
Pasal
46 ayat (1);104 atau 


102 Pasal 73 ayat (2) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang meng-
gunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada mas-
yarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik”.
103 Pasal 41 ayat (1) mengatur bahwa “Dokter atau dokter gigi yang
telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik
kedokteran”.
104Pasal 46 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”.

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 83 )


c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau hu-
ruf e.105 


Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aturan mengenai
tanggung jawab pidana yang relevan dengan malpraktik medis
terdapat dalam Pasal 191, Pasal 193, dan Pasal 194.
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan prak-
tik pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka
berat atau kematian dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda

Pasal 51 mengatur bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksa-


105

nakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :


a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, ke-
cuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu mela-
kukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

( 84 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus ju-
ta rupiah).

Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ta-
hun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.
000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipi-
dana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam praktek yang terjadi selama ini, malpraktek me-


dis dalam arti yang sengaja dilakukan (intentional, dolus, opze-
tiljk) dan melanggar undang-undangn dan berintikan kesenga-
jaan (criminal malpractice) dalam arti kesengajaan tersirat ada-
nya motif (mens rea, fuilty mind) tidaklah banyak yang terung-
kap di pengadilan pidana, yang sering terjadi adalah kelalaian
atau negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), ku-

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 85 )


rang hati-hati, kurang teliti, acuh, semberono, sembarangan,
dan tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun
akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.106

B. Tanggungjawab Perdata
Prosedur penyelesaian kasus sengketa medis secara
perdata pada Peradilan Umum, sebagai berikut :107
Pasien dapat mengajukan gugatan kerugian secara per-
data ke pengadilan, selain mengadukan Dokter atau Dokter
Gigi yang diduga lalai malapraktik ke MKDKI (Majelis Kehor-
matan Disiplin Kedokteran Indonesia) sesuai Pasal 66 ayat 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Tanggung jawab hukum adalah
tanggung jawab yang diakui dan ditegakkan oleh pengadilan
diantara para pihak yang berperkara. Tanggung jawab di
bidang hukum perdata dari seorang tenaga kesehatan muncul
dalam bentuk tanggung gugat, bahwa Dokter dan Dokter Gigi
dapat digugat di muka pengadilan karena perbuatannya.
Gugatan dalam hukum perdata dapat dilakukan wanprestasi
atau berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan dapat
muncul karena kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.108

106 Syahrul Machmud, Op.Cit., hlm. 265


107 Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 26-30

Siti Ismijati Jenie, Tanggung jawab Perdata di Dalam Pelayanan


108

Medis Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Materiil, Mimbar Hukum, Vol. 18,

( 86 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
Penggugat yang menggugat dalam lingkup Peradilan
Umum, menggunakan hukum acara perdata. Pengertian hu-
kum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo109 adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menja-
min ditaatinya hukum Perdata materiil dengan perantaraan
Hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya men-
jamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret lagi
dapatlah dikatakan, hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa
serta memutusnya dan pelaksanaan putusannya. Tuntutan
hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh penga-
dilan untuk mencegah "eigenrichting" atau tindakan menghaki-
mi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan
untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang
bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian.
Menurut Rinanto Suryadhimirtha, Penggugat harus da-
pat membuktikan dalil-dalil tuduhannya terhadap Tergugat, hal

Nomor 3, 2006 sebagaimana dikutip Antari Innaka, Tanggung Jawab Keperda-


taan Bidan Dalam Pelayanan Kesehatan, Makalah yang disampaikan dalam Se-
minar Sehari Hukum Kesehatan Penyelesaian Dugaan Mai Praktik Pada Pelaya-
nan Kebidanan di Yogyakarta tanggal 31 Juli 2010 dalam Rinanto Suryadhi-
mirtha, Ibid., hlm. 27
109 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty,
1981), hlm.2 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 27

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 87 )


ini diatur dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBG atau Pasal 1865
KUH Perdata yang menyatakan: "Setiap orang yang mendalil-
kan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan
haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain,
menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut".
Dalam kaitan dengan tanggung jawab perdata, gugatan
Penggugat ada 2 (dua) macam gugatan, yaitu gugatan wanpres-
tasi dan perbuatan melawan hukum. Menurut Antari Innaka110
gugatan berdasarkan wanprestasi dalam hukum perikatan,
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak dipenuhinya
suatu prestasi oleh salah satu pihak (debitur) karena adanya
unsur kesalahan. Kesalahan itu sendiri dapat berupa :
a. Kesengajaan, yaitu perbuatan yang menyebabkan
tidak terpenuhinya kewajiban itu memang dikehen-
daki/diketahui oleh si debitur;
b. Kelalaian, yaitu orang yang melakukan perbuatan
itu hanya mengetahui adanya kemungkinan bahwa
akibat yang merugikan itu akan timbul

Akibat dari adanya gugatan berdasarkan wanprestasi


itu adalah timbulnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi
sebagaimana diatur di dalam Buku III KUH Perdata. Di dalam
transaksi teraupetik, gugatan berdasarkan wanprestasi dapat

110 Antari Innaka, Loc.Cit., hlm. 4 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid.,


hlm. 28

( 88 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
diajukan apabila seorang tenaga kesehatan yang berpraktik se-
cara mandiri atau suatu lembaga (Rumah Sakit) telah berjanji
untuk memberikan pelayanan kesehatan atau transaksi tera-
peutik, tetapi kemudian ternyata bahwa ia tidak melaksanakan
janji tersebut, padahal ia tidak dalam keadaan memaksa.111
Dengan terjadinya wanprestasi tentu saja akan menim-
bulkan gugatan kerugian bagi si pasien. Oleh karena itu, si pa-
sien berhak menuntut dan mendapatkan ganti rugi. Hak pasien
untuk mendapatkan ganti rugi atas suatu wanprestasi, di sam-
ping didasarkan pada ketentuan hukum perikatan juga dida-
sarkan pada ketentuan hukum kesehatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan sebagai be-
rikut :112
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya;

b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pa-


da ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam kea-
daan darurat.
111 Ibid.
112 Ibid.

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 89 )


Ketentuan ayat (1) tersebut sebenamya menunjuk pada
ketentuan mengenai pemberian ganti rugi yang diatur dalam
KUH Perdata. Sebenamya rumusan Pasal 58 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
tersebut, di samping sebagai dasar hukum gugatan wanprestasi
juga dapat digunakan sebagai dasar hukum gugatan berdasar-
kan perbuatan melawan hukum.113
Gugatan berdasarkan wanprestasi hanya dapat dituju-
kan terhadap orang/lembaga yang merupakanpihakdi dalam
perjanjianpenyembuhan. Jadi, apakah gugatan wanprestasi itu
akan ditujukan kepada tenaga kesehatan atau Rumah Sakit
tergantung pada perjanjiannya. Besarnya ganti kerugian ini
harus disesuaikan dengan besarnya kerugian yang diderita
pasien. Kerugian itu sendiri dapat dibedakan menjadi kerugian
material dan kerugian immaterial. Kerugian material ditentu-
kan dalam Pasal 1243 KUH Perdata berupa :114
a. Biaya (kosten) yaitu segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan;
b. Rugi (scaden) yaitu berkurangnya harta kekayaan
kreditur akibat wanprestasi; dan
c. Bunga (interessen) yaitu keuntungan yang dihara-
pkan tidak diperoleh karena adanya wanprestasi.

113 Ibid.
114 Ibid., hlm. 4-5 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 29

( 90 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
Pengaturan tentang ganti rugi yang terdapat dalam
Pasal 1246 KUH Perdata menyebutkan bahwa biaya, rugi,
bunga yang dapat dituntut penggantiannya meliputi :115
a. Kerugian yang senyatanya diderita yaitu kerugian
yang merupakan akibat langsung dan serta merta
dari wanprestasi tersebut;
b. Keuntungan yang diharapkan yang hilang kare-
na adanya wanprestasi tersebut.

Sementara itu, untuk kerugian immaterial hingga saat


ini belum ada pedomannya. Oleh karena itu, dalam menen-
tukan besarnya kerugian immaterial sangat subjektif. Adapun,
gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh pasien
dapat dilakukan dengan mendasarkan ketentuan pada UU
Kesehatan maupun ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata.
Bedanya dengan gugatan berdasar wanprestasi adalah dida-
sarkan pada transaksi teraupetik (hubungan kontraktual). Da-
sar hukum gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum
adalah :116
a. Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia No-
mor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagaima-
na telah dikemukakan di atas;

115 Ibid.

116 Ibid., hlm. 5 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 30

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 91 )


b. Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa:
Tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang mem-
bawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang
yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian
itu mengganti kerugian tersebut";
c. Pasal 1366 KUH Perdata yang menentukan bahwa:
"Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaiannya atau kurang hati-hatinya";
d. Pasal 1367 KUH Perdata, yang menentukan bahwa:
"Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk keru-
gian karena perbuatannya sendiri, tetapi juga un-
tuk kerugian karena perbuatannya orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh
barang-barang yang ada di bawah pengurusannya

Perbuatan melawan hukum, selain perbuatan sese-


orang bertentangan dengan Undang-undang, juga jika sese-
orang berbuat atau tidak berbuat yang:117
a. Melanggar hak orang lain;
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang
berbuat;
c. Berlawanan dengan kesusilaan; dan

117 Setiawan dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 30

( 92 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
d. Tidak sesuai dengan kepatutan dan kecermatan ten-
tang diri atau orang lain dalam pergaulan hidup ber-
masyarakat.

Apabila seorang pasien yang merasa dirugikan hendak


mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum
terhadap tenaga kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan,
maka ia harus dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu
perbuatan melawan hukum dengan kriteria seperti tersebut di
atas. Di samping itu, pasien juga hams dapat membuktikan
bahwa antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian
yang dideritanya ada hubungan kausal.118

C. Tanggungjawab Disiplin Ilmu Kedokteran


Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,119 MKDKI (Majelis Ke-
hormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) adalah Majelis yang
berwewenang menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan ilmu kedokteran gigi dan menetapkan
sanksi. Tince P. Soemoele menyebutkan setidaknya ada 28
(dua puluh delapan) bentuk-bentuk pelanggaran disiplin kedok-

118 Ibid.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,


119

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 93 )


teran yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 17/KKI/Per/VIII/2006, yaitu:120
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompe-
ten;
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi
lain yang memiliki kompetensi lain yang sesuai;
(rujukan bisa tidak dilakukan bila: kondisi pasien
tidak memungkinkan untuk dirujuk, keberadaan te-
naga medis lain atau sarana kesehatan yang lebih
tepat sulit dijangkau atau didatangkan, atas kehen-
dak pasien).
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan
tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk me-
laksanakan pekerjaan tersebut;
(delegasi kepada tenaga kesehatan harus sesuai
kompetensi dan ketrampilan mereka, tanggung jawab
tetap pada dokter)
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti se-
mentara yang tidak memiliki kompetensi dan kewe-
nangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberi-
tahuan perihal penggantian tersebut;
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi ting-
kat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa

120 Tince P. Soemoele, Loc.Cit.

( 94 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan
pasien;
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang se-
harusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan
yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung
jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau
pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan
pasien;
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien;
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan
memadai (adequate information) kepada pasien atau
keluarganya dalam melakukan praktik kedokte-
ran;121
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh perse-
tujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali
atau pengampunya;122
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan
rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau etika profesi;
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk meng-
hentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ke-

121 Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban perdata

122 Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban perdata

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 95 )


tentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan per-
undang-undangan dan etika profesi;
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehi-
dupan pasien atas permintaan sendiri dan atau ke-
luarganya;
(dalam kondisi sakit terminal, dimana upaya kedok-
teran kepada pasien merupakan kesia-siaan/futile
menurut state of the art ilmu kedokteran, maka de-
ngan persetujuan pasien dan atau keluarga dekat-
nya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan
tetapi dengan memberikan perawatan yang layak).
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerap-
kan pengetahuan atau ketrampilan atau teknologi
yang belum diterima atau di luar tatacara praktik
kedokteran yang layak;
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran de-
ngan menggunakan manusia sebagai subjek pene-
litian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lem-
baga yang diakui pemerintah;
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan di-
rinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang ber-
tugas dan mampu melakukannya;
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan
terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah

( 96 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau etika profesi;
(alasan dokter atau dokter gigi untuk menolak atau
mengakhiri pelayanan kepada pasien: pasien mela-
kukan intimidasi kepada dokter, pasien melakukan
kekerasan kepada dokter, pasien berperilaku meru-
sak hubungan saling percaya tanpa alasan)
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi;
(alasan pembenaran: permintaan MKDKI, Majelis
hakim dalam sidang pengadilan, sesuai peraturan
perundang-undangan).
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan
kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara
benar dan patut;
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tin-
dakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman
mati;
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan nar-
kotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA)
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-un-
dangan dan etika profesi;

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 97 )


21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi
atau tindakan kekerasan terhadap pasien di tempat
praktek;123
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi
yang bukan haknya;124
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau
meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat
/alat kesehatan.;
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebi-
han kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik li-
san ataupun tulisan, yang tidak benar atau menye-
satkan;
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alko-
hol serta zat adiktif lainnya;
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Re-
gistrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau
sertifikat yang tidak sah;
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik; atau
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat
bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk peme-
riksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disip-
lin.

123 Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana


124 Hal ini juga dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana

( 98 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
Pasal 64 UU RI No. 29 Tahun 2004, mengatur bahwa :
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan ka-
sus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Pasal 66 UU RI No. 29 Tahun 2004, diatur bahwa :


(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan 
dokter atau dokter gigi da-
lam menjalankan praktik kedokteran dapat menga-
dukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehor-
matan Disiplin Kedokteran Indonesia. 

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat : 

a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau
dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 99 )


Dalam penyelesaian sengketa medik melalui MKDKI
tidak ada prosedur untuk diselesaikan dengan cara mediasi, re-
konsiliasi maupun negosiasi antara dokter dan dokter gigi de-
ngan pasien dan atau kuasasnya, dan MKDKI tidak berwenang
untuk memutuskan ganti rugi kepada pasien.125 Selanjutnya
Pasal 69 UU RI No. 29 Tahun 2004, mengatur bahwa :
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia mengikat 
dokter, dokter gigi, dan Konsil
Kedokteran Indonesia. 

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi
atau surat izin praktik;126 
dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan 
kedokteran atau kedokteran
gigi.127 


Rinanto Suryadhimirta, Hukum Malapraktik Kedokteran, Disertai Ka-


125

sus dan Penyelesaiannya, (Yogyakarta: Total Media, 2011), hlm. 20-21

126 Rekomendasi pencabutan STR atau SIP sementara selama-lamanya

1 tahun, atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP tetap atau selama-
lamanya. Tince P. Soemoele, Loc.Cit.

( 100 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006 diatur bahwa setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dok-
ter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran da-
pat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI atau
Ketua MKDKI-P (ditingkat propinsi). Apabila tidak mampu me-
ngadukan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI atau MKDKI-P.
Dalam hal pengaduan dilakukan secara lisan, Sekretariat
MKDKI atau MKDKI-P memfasilitasi atau membantu pembua-
tan permohonan pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud di-
tandatangani oleh pengadu atau kuasanya. Untuk melengkapi
keabsahan pengaduan MKDKI dan MKDKI-P dapat melakukan
verifikasi atas aduan yang dimasukkan. 
Untuk melakukan ve-
rifikasi sebagaimana dimaksud Ketua MKDKI dapat mengang-
kat orang untuk melakukan pekerjaan tersebut.128
Selanjutnya pengaduan sebagaimana dimaksud seku-
rang-kurangnya harus memuat : (i) identitas pengadu dan pa-
sien; 
(ii) nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter
gigi; (iii) waktu tindakan dilakukan; 
(iv) alasan pengaduan; (v)
alat bukti bila ada; dan
(vi) pernyataan tentang kebenaran
pengaduan. 
Kelengkapan atas kekurangan dokumen pengadu-
127 Dapat berupa: pendidikan formal, pelatihan dalam pengetahuan
dan atau ketrampilan, magang, sekurang-kurangnya 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Tince P. Soemoele, Ibid.
128 Pasal 2

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 101 )


an sebagaimana dimaksud, oleh MKDKI atau MKDKI-P dapat
diminta kepada yang mengadukan. 
Pengaduan dapat diproses
walaupun tidak memenuhi kelengkapan dokumen pengaduan
sebagaimana dimaksud (pernyataan tentang kebenaran penga-
duan) apabila pada pemeriksaan awal ditemukan kebenaran
atas pengaduan tersebut. 
Dalam hal pengaduan oleh Menteri,
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, Organisasi
Profesi Kedokteran dan Kedokteran Gigi dan Konsil Kedokteran
Indonesia pengaduan tersebut tidak perlu menyatakan bahwa
isi permohonan pengaduan adalah benar adanya. Untuk kepen-
tingan pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disip-
lin kedokteran oleh MKDKI atau MKDKI-P, pihak-pihak yang
terkait harus memberikan informasi, surat/dokumen dan alat
bukti lainnya yang diperlukan MKDKI atau MKDKI-P.129
MKDKI atau MKDKI-P melakukan pemeriksaan awal
atas aduan yang diterima. Untuk melakukan pemeriksaan awal
sebagaimana dimaksud, Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pe-
meriksa Awal. Majelis Pemeriksa Awal pada MKDKI terdiri dari
3 (tiga) orang yang diangkat dari Anggota MKDKI. Untuk me-
lengkapi berkas dalam pemeriksaan awal dapat dilakukan in-
vestigasi oleh Majelis Pemeriksa Awal. Dalam melaksanakan
investigasi sebagaimana dimaksud, Majelis Pemeriksa Awal da-
pat menunjuk orang untuk pekerjaan tersebut.
Majelis Peme-
riksa Awal pada MKDKI-P terdiri dari 3 (tiga) orang yang di-

129 Pasal 3

( 102 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
angkat dari MKDKI-P dan atau MKDKI. 
Melakukan pemerik-
saan awal sebagaimana dimaksud, antara lain keabsahan adu-
an, keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik atau
disiplin atau menolak pengaduan karena tidak memenuhi sya-
rat pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI
dan melengkapi seluruh alat bukti. Bilamana dari hasil peme-
riksaan awal ditemukan bahwa pengaduan yang diajukan ada-
lah pelanggaran etik maka MKDKI atau MKDKI-P melanjutkan
pengaduan tersebut kepada organisasi profesi. Bilamana peme-
riksaan awal ditemukan bahwa pengaduan tersebut adalah du-
gaan pelanggaran disiplin maka ditetapkan Majelis Pemeriksa
Disiplin oleh Ketua MKDKI. Setiap keputusan Majelis Pemerik-
sa Awal dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari kerja harus
disampaikan kepada Ketua MKDKI atau ketua MKDKI-P.130
Selambatnya-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja sesudah hasil pemeriksa awal diterima dan
lengkap dicatat dan benar, MKDKI segera membentuk Majelis
Pemeriksa Disiplin untuk MKDKI dan 28 (dua puluh delapan)
hari untuk MKDKI-P. Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan
dalam Keputusan Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokte-
ran Indonesia. Untuk hal tertentu dan alasan yang sah dan
dibenarkan maka Ketua MKDKI dapat menangguhkan pemben-
tukan Majelis Pemeriksa Disiplin.131 Majelis Pemeriksa Disiplin

130 Pasal 6

131 Pasal 7

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 103 )


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (tujuh) ayat (1) berjum-
lah 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang. Majelis Pemeriksa Disiplin
ditetapkan oleh Ketua MKDKI. Ketua Majelis Pemeriksa Disiplin
ditetapkan oleh Ketua MKDKI.
Majelis Pemeriksa Disiplin dipi-
lih dari anggota MKDKI dan/atau MKDKI-P yang salah satunya
harus ahli hukum yang bukan tenaga medis. Majelis Pemeriksa
Disiplin MKDKI-P dapat diangkat dari anggota MKDKI dan/
atau anggota MKDKI-P.132
Hari pemeriksaan ditetapkan oleh Majelis Pemeriksa Di-
siplin selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penetapan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh MKDKI. Bilamana
tempat tinggal dokter atau dokter gigi yang diadukan jauh, ma-
ka Majelis Pemeriksa Disiplin dapat menetapkan hari pemerik-
saan selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sejak
tanggal penetapan Majelis Pemeriksa Disiplin oleh Ketua
MKDKI. Pemanggilan terhadap dokter atau dokter gigi yang di-
adukan dianggap sah, apabila telah menerima surat panggilan
yang dibuktikan dengan surat tanda terima panggilan atau
bukti penerimaan surat tercatat. Bilamana Majelis Pemeriksa
Disiplin tidak dapat bersidang sebagaimana yang diatur maka
Ketua MKDKI dapat menangguhkan atas permintaan salah
seorang anggota Majelis Pemeriksa Disiplin.133 Majelis Peme-
riksa Disiplin bersifat independen yaitu dalam menjalankan

132 Pasal 8

133 Pasal 9

( 104 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
tugasnya tidak terpengaruh oleh siapapun atau lembaga lain-
nya.134
Majelis Pemeriksa Disiplin hanya memeriksa dokter
atau dokter gigi terregistrasi. Majelis Pemeriksa Disiplin tidak
melakukan mediasi, rekonsiliasi dan negosiasi antara dokter
atau dokter gigi dengan pasien atau kuasanya. Bilamana dipan-
dang perlu, Majelis Pemeriksa Disiplin dapat meminta pasien
untuk hadir dalam sidang.135 Penanganan atas tuntutan ganti
rugi pasien tidak menjadi kewenangan MKDKI atau MKDKI-
P.136 Pemeriksaan dokter atau dokter gigi yang diadukan dila-
kukan dalam bentuk Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin. Sidang
Majelis Pemeriksa Disiplin dipimpin oleh Ketua Majelis Peme-
riksa Disiplin dan didampingi oleh anggota Majelis Pemeriksa
Disiplin dan seorang panitera yang ditetapkan oleh Ketua
MKDKI.137 Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dihadiri oleh dok-
ter atau dokter gigi yang diadukan, dan dapat didampingi oleh
pendamping. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang diadukan
tidak hadir dalam persidangan pertama dua kali berturut-turut
dan/atau tidak menanggapi panggilan tanpa alasan yang sah
dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Sidang Majelis
Pemeriksa Disiplin dapat meminta kepada Kepala Dinas Kese-

134 Pasal 10
135 Pasal 11
136 Pasal 12
137 Pasal 13

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 105 )


hatan setempat atau Ketua Organisasi Profesi untuk menda-
tangkan dokter atau dokter gigi yang dimaksud. Dalam hal dok-
ter atau dokter gigi yang diadukan tidak dapat hadir dalam per-
sidangan karena alasan yang sah maka persidangan dapat
ditunda oleh Ketua MKDKI. Alasan yang sah yang disebabkan
oleh gangguan kesehatan fisik dan/atau mental lebih dari 30
(tiga puluh) hari harus melalui pemeriksaan kesehatan yang
ditunjuk oleh MKDKI.138
Sidang Majelis Pemeriksa Disiplin dilakukan secara ter-
tutup.139 Alat bukti yang dapat diajukan pada persidangan Ma-
jelis Pemeriksaan Disiplin dokter atau dokter gigi yang diadu-
kan dapat berupa :140
a. surat-surat/ dokumen-dokumen tertulis;
b. keterangan saksi-saksi;
c. pengakuan teradu;
d. keterangan ahli;
e. barang bukti. 


Keputusan sidang Majelis Pemeriksa Disiplin adalah


merupakan keputusan MKDKI atau keputusan MKDKI-P yang
mengikat Konsil Kedokteran Indonesia, dokter atau dokter gigi
yang diadukan, pengadu, Departemen Kesehatan, Dinas Kese-

138 Pasal 14
139 Pasal 15
140 Pasal 19

( 106 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
hatan Kabupaten/Kota serta institusi terkait. Keputusan dapat
berupa :
a. Tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran di-
siplin kedokteran; atau
b. Terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin
kedokteran dan pemberian sanksi disiplin.

Pengaduan yang telah diputuskan pada MKDKI atau


MKDKI-P tidak dapat diadukan kembali.141 Sanksi disiplin da-
pat berupa :142
a. pemberian peringatan tertulis; 

b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi
atau Surat Izin Praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau


Surat Izin Praktik dapat berupa rekomendasi pencabutan Surat
Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-
lamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi pencabutan Surat
Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya.
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, dapat berupa :
a. pendidikan formal;

141 Pasal 27
142 Pasal 28

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 107 )


b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampi-
lan, magang di institusi pendidikan atau sarana pela-
yanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan
kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3
(tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Sebagai bukti telah melaksanakan kewajiban mengikuti


pendidikan atau pelatihan ditetapkan oleh kolegium terkait.143
Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan dalam sidang
Majelis Pemeriksa Disiplin. Pengambilan Keputusan Majelis Pe-
meriksa Disiplin dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam
hal tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah, Ketua Ma-
jelis Pemeriksa Disiplin dapat mengambil keputusan dengan
suara terbanyak.144 Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin ha-
rus diucapkan/dibacakan dalam sidang Majelis Pemeriksa Di-
siplin dan terbuka untuk umum. Keputusan Majelis Pemeriksa
Disiplin pada MKDKI dan MKDKI-P adalah bersifat final.145
MKDKI selaku penegak disiplin profesi dokter berperan
aktif menerima pengaduan-pengaduan yang bersumber dari pi-
hak internal maupun eksternal akibat ketidakdisiplinan dokter
dalam menjalankan profesinya. Dilihat dari jenis-jenis pelang-
garan disiplin sebagaimana yang telah disebutkan di atas, ma-
ka terdapat beberapa jenis pelanggaran disiplin yang mengarah
143 Pasal 28
144 Pasal 29
145 Pasal 30

( 108 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
kepada masalah hukum, baik itu terkait dengan bidang hukum
perdata maupun bidang hukum pidana. Oleh sebab itu, kede-
pan perlu dipikirkan kembali apakah jenis-jenis pelanggaran
(pelanggaran disiplin yang mengarah kepada pelanggaran hu-
kum) tersebut masih relevan dengan pelanggaran disiplin atau
tidak, sebagaimana terakomodasi di dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006.

D. Tangungjawab Etik
Berdasarkan pedoman organisasi dan tata laksana ker-
ja MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dok-
ter Indonesia) mengatur, jika belum terbentuk MKDKI (Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan MKDKI-P (Ma-
jelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Propinsi), maka
sengketa medik tersebut dapat diperiksa di MKEK IDI pada
masing-masing propinsi di Indonesia. Sebagaimana termuat
dalam kata pengantar pedoman organisasi dan tata laksana
kerja MKEK IDI yang menerangkan MKEK saat itu bahkan
hingga kini di banyak propinsi, merupakan satu-satunya lem-
baga penegak etika kedokteran sejak berdirinya IDI. MKEK da-
lam peran kesejarahannya mengemban juga sebagai lembaga
penegak disiplin kedokteran yang sebelumnya kini dipegang

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 109 )


oleh MKDKI. Termasuk dalam masa transisi ketika MKDK
Propinsi belum terbentuk.146
Pengaduan dalam pedoman organisasi dan tata laksana
kerja MKEK IDI menyatakan, pengaduan dapat berasal dari,
langsung oleh pengadu (pasien, teman sejawat, tenaga keseha-
tan lainnya, institusi kesehatan, dan organisasi profesi), ruju-
kan/banding dari MKEK Cabang untuk MKEK Wilayah atau
rujukan/banding dari MKEK Wilayah untuk MKEK pusat, te-
muan IDI setingkat, temuan dan atau permintaan divisi pembi-
naan etika profesi MKEK setingkat, hasil verifikasi MKDKI atau
lembaga disiplin profesi atau lembaga pembinaan etika yang
menemukan adanya dugaan pelanggaran etika sesuai keten-
tuan yang berlaku serta hal-hal lain yang akan ditentukan
kemudian oleh MKEK Pusat sesuai dengan asas keadilan dan
pencapaian tujuan pembinaan etika profesi.147 Dalam hal ini
pengaduan disampaikan melalui IDI Cabang/Wilayah atau
langsung ke MKEK Cabang/Wilayah tempat kejadian perkara
kasus aduan tersebut. Selanjutnya, diatur bahwa pengaduan
diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus me-
muat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik Dok-
ter dan waktu tindakan dilakukan, alasan sah pengaduan serta
bukti-bukti atau keterangan saksi atau petunjuk yang menun-

146 Ikatan Dokter Indonesia, Pedoman Organisasi Dan Tata Laksana


Kerja Majelis Kehormatan Efife Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indo-
nesia, Jakarta, 2008, hlm. 3 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 24
147 Pasal 22 ayat (1)

( 110 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
jang dugaan pelanggaran etika tersebut.148 Terhadap penela-
ahan kasus ini urutannya mempelajari keabsahan surat penga-
duan, bila perlu mengundang pasien atau keluarga pengadu
untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan, bila perlu
mengundang Dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diper-
lukan serta bila diperlukan melakukan kunjungan ke tempat
kejadian/perkara.149
Ketua majelis pemeriksa divisi kemahkamahan MKEK
berhak mengundang ketua komite medik Rumah Sakit, panitia
etik Rumah Sakit atau Dokter lain sebagai saksi.150 Adapun
barang bukti yang diperiksa oleh MKEK tetapi tidak disita, an-
tara lain surat-surat, Rekam Medik, obat atau bagian obat, alat
kesehatan, benda-benda, dokumen, kesaksian-kesaksian ahli
atau petunjuk yang terkait langsung dalam pengabdian profesi
atau hubungan Dokter pasien yang masing-masing menjadi
teradu-pengadu atau para pihak, bilamana MKEK IDI dapat
meminta diperlihatkan, diperdengarkan, dikopi, difoto, diganda-
kan atau disimpannya barang bukti asli.151
Dalam sidang pembuktian di MKEK, MKEK dapat
meminta kehadiran saksi dan saksi ahli. Saksi adalah tenaga
medis, tenaga kesehatan, pimpin an sarana kesehatan, komite

148 Pasal 22 ayat (5)


149 Pasal 23
150 Pasal 24
151 Pasal 25

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 111 )


medik, perorangan atau praktisi kesehatan lainnya yang men-
dengar atau melihat atau yang ada kaitannya langsung dengan
kejadian/perkara atau Dokter yang diadukan. Sedangkan saksi
ahli adalah Dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan yang
tidak terkait langsung dengan kejadian/perkara dan tidak
memiliki hubungan keluarga atau kedinasan dengan Dokter
teradu atau dengan pasien pengadu.152
MKEK IDI berwenang melakukan audit medis sesuai
Pasal 22 ayat (1) tentang pengaduan dalam pedoman organisasi
dan tata laksana kerja MKEK IDI. Adapun fungsi audit medis
dalam pelayanan kesehatan, wadah audit medis dibentuk un-
tuk menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ke-
tentuan etik dan hukum yang cukup rumit dan pelik dengan
permasalahan yang sangat kompleks. Dengan menyadari hal
tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik
perlu ditingkatkan. Menurut Bahder Johan Nasution dalam
memfungsikan mekanisme audit medis, diperlukan adanya
suatu standar operasional sebagai tolok ukur untuk mengenda-
likan kualitas pelayanan medis. Standar operasional ini bertu-
juan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas kewe-
nangan dan tanggung jawab etik dan hukum Dokter terhadap
pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical
staff dan sebaliknya. Standar operasional ini juga akan menga-
tur hubungan antara tenaga medis dengan sesama teman seja-

152 Pasal 27

( 112 ) Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . .


Medis . . .
wat Dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan para medis,
serta merupakan tolok ukur sebagai Dokter untuk menilai da-
pat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika
terjadi kerugian bagi pasien. Tegasnya menurut sepengetahuan
penulis fungsi audit medis tidak lain adalah untuk mencegah
berbagai kemungkinan terjadinya maltreatment dan malpractice
serta berusaha mencari penyelesaian.153
Audit medis secara profesional yang dilakukan MKEK
IDI memiliki semua persyaratan untuk menentukan, apakah
seorang Dokter telah bertindak sesuai atau tidak dengan pro-
sedur medis atau standar profesi kedokteran. Anggota MKEK
IDI biasanya terdiri dari para Dokter senior yang berpenga-
laman dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan spesiali-
sasinya, serta mempunyai dedikasi yang tinggi serta diakui lo-
yalitasnya dalam pelayanan kesehatan oleh sesama rekan seja-
wat Dokter.154 Disinilah letak kemandirian IDI sebagai organi-
sasi atau wadah bagi organisasi kedokteran di seluruh Indone-
sia. kemandirian ini diperlukan karena IDI selaku penegak
etika kedokteran harus berperan aktif guna membina dan
memperbaiki kinerja kedokteran yang tidak berlandaskan atau
bertentangan dengan nilai-nilai etika kedokteran.

153 Rinanto Suryadhimirtha, Op.Cit., hlm. 25-26


154 Ibid., hlm. 26

Bab 4 Pertanggungjawaban Malpraktik . . . ( 113 )


BAB V
PENUTUP
Sebagai penutup dalam tulisan buku malpraktik medis
ini, maka penulis akan memaparkan poin-poin kesimpulan dan
beberapa rekomendasi. Kesimpulan ini merupakan ikhtisar dari
Bab 2 hingga Bab 4, yang ketiga bab ini merupakan inti pem-
bahasan dalam buku ini. Rekomendasi penulis hadirkan dalam
buku ini sebagai pelengkap dan sebagai bahan masukan untuk
menjadi dasar isu yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan
di masa yang akan datang demi perbaikan dan perkembangan
hukum kesehatan dimasa mendatang. Poin-poin kesimpulan
dan rekomendasi dimaksud adalah sebagai berikut :

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya,
maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan malpraktik medis adalah pelayanan kese-
hatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
etika profesi, standar profesi, standar pelayanan pro-
fesi, standar prosedur operasional, hak penerima pe-
layanan kesehatan, kewajiban tenaga kesehatan dan
atau ketentuan peraturan perundang-undangan ter-

Bab 5 Penutup ( 115 )


kait. Jenis malpraktik medis dikelompokkan menjadi
dua, yakni : (i) tindakan malpraktik medis atas dasar
sengaja (dolus, vorsatz, willwns en wetens handelen,
intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-
undangan; dan (ii) tindakan malpraktik medis atas
dasar tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau
karena kelalaian.
2. Tindakan medis dapat berujung kepada malpraktik
medis dan/atau mengakibatkan resiko medis; Kela-
laian medis merupakan bagian dari malpraktik me-
dis; Malpraktik medis meliputi kesengajaan ataupun
kelalaian medis (berdasarkan teori kesalahan seba-
gaimana dijelaskan pada bab sebelumnya); Malprak-
tik medis (secara umum) dan kelalaian medis (secara
khusus) yang berasal dari tindakan medis dapat di-
mintakan pertanggungjawaban hukum; dan Resiko
medis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hu-
kum.
3. Tanggung jawab yang akan dihadapi oleh seorang
dokter sebagai salah satu tenaga medis dalam menja-
lankan profesinya adalah tanggung jawab pidana
(yang mengacu pada KUH Pidana, Undang-Undang
Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Keseha-
tan), tanggung jawab perdata (yang mengacu pada
KUH Perdata), tanggung jawab disiplin ilmu kedok-

( 116 ) Bab 5 Penutup


teran (yang mengacu pada Undang-Undang Praktek
Kedokteran, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006, dan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Per/VIII/2006),
dan tanggung jawab etik (yang mengacu pada Kode
Etik Kedokteran, dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran).

B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kepada seluruh tenaga medis (khususnya dokter
yang menjalankan praktik kedokteran), sudah seyo-
giyanya dalam memberikan pelayanan kesehatan
berpedoman pada aturan hukum, peraturan disip-
lin, dan kode etik yang berlaku;
2. Kepada MKDKI dan MKEK, harus seaktif mungkin
memberikan pembinaan, khususnya sosialisasi bagi
para dokter dalam menjalankan profesinya agar da-
pat bekerja secara profesional;
3. Kepada masyarakat (sebagai pengguna jasa pelaya-
nan kesehatan), harus lebih informatif sebelum
mendapatkan penanganan medis, agar mendapat-
kan pelayanan dan tindakan yang benar serta
maksimal, dan berani untuk melapor jika terjadi ke-
janggalan yang berakibat pasien, atau keluarga

Bab 5 Penutup ( 117 )


yang di rawat mengalami kerugian akibat pelayanan
atau tindakan medis yang diberikan.

( 118 ) Bab 5 Penutup


DAFTAR PUSTAKA
BUKU :

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tin-


dak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya
Hukum Pidana), Bagian 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

_____________, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Dok-


trin Hukum. Malang: Bayu Media Publishing, 2007.

Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Positif


dan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta,


2008

Anonim, Malapraktik, Catatan Jujur Sang Dokter, Jakarta:


Bhuana Ilmu Polpuler, 2011.

Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Tin-


jauan dan Perspektif Medikolegal, Yogyakarta: Andi Off-
set, 2010.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Ban-


dung: Mandar Maju, 2008.

DaftarPustaka ( 119 )
Bambang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Si-
nar Grafika, 2008.

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Ja-


karta: Bina Rupa Aksara, 1996.

Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak


Asasi Manusia, dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia In-
donesia, 1984.

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafi-


katama Jaya, 1991.

Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Mal-


praktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya:
Srikandi, 2007.

Ikatan Dokter Indonesia, Pedoman Organisasi Dan Tata Laksa-


na Kerja Majelis Kehormatan Efife Kedokteran, Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 2008.

J. Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Jakarta: Ba-


lai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1994.

_________, Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.

( 120 ) Daftar Pustaka


_________, Dugaan Malprakek Medik & Draft RPP: “Perjanjian
Terapieutik antara Dokter dan Pasien”, Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006.

_________, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP: "Perjanjian Te-


rapuetik antara Dokter dan Pasien", Jakarta, Balai Pe-
nerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006.

_________, Dokter, Pasien, dan Hukum, Jakarta: Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Indonesia, 2007.

Jan Remmelink. Hukum Pidana, (Buku terjemahan), Jakarta,


Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:


Sinar Grafika, 2005.

M. Jusuf Hamanfiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,


Surabaya: Buku Kedokteran BGC, 1999.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta,


2002.

________, KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Ba-


ru, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

DaftarPustaka ( 121 )
Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malprak-
tik, Jakarta: Permata Aksara, 2011.

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hu-


kum, Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013.

Munir Fuady. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik


Dokter), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005.

Ninik Marianti, Malapraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pida-


na dan Perdata, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Ban-


dung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2010.

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang


Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, Ban-
dung: Mandar Maju, 1994.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Raja-


wali Pers, 2005.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bo-
gor: Politea, 1996.

( 122 ) Daftar Pustaka


R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Burgelijk Wetboek, Jakarta: Pradnya Paramita,
2006.

Rinanto Suryadhimirta, Hukum Malapraktik Kedokteran, Diser-


tai Kasus dan Penyelesaiannya, Yogyakarta: Total Me-
dia, 2011.

Safitri Hariyani, Sengketa medik, Alternatif Penyelesaian Perse-


lisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit
Media, 2005.

Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum


Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.

Samsi Jacobalis, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedok-


teran, Etika Medis, dan Bioetika, Jakarta: Sagung Seto,
2005.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Li-


berty, 1981.

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hu-


kum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Mal-
praktek, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012.

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia,


Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

DaftarPustaka ( 123 )
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipandang


dari Sudut Hukum Perdata, Bandung: Mandar Maju,
2000.

JURNAL :

Andi Sofyan, A Juridical Aspect of Medical Malpractice, Jurnal


Medika Nusantara (Nusantara Medical Journal), Vol. 21
No. 1 Edisi Januari-Maret 2000, Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

___________, Persetujuan Tindakan Medik dalam Hubungan Delik


Penganiayaan, Jurnal Medika Nusantara (Nusantara
Medical Journal), Vol. 21 No. 2 Edisi April-Juni 2000,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Erni Dwita Silambi, Prita Mulyasari vs RUmah Sakit Omni In-


ternasional Dalam Perspektif Hukum Nasional dan In-
ternasional, Jurnal Hukum internasional Fakultas Hu-
kum Universitas Hasanuddin, Vol. I No. 1 Edisi Juli
2013.

Nilawati Adam, Korelasi Hukum antara Tujuan Pengaturan dan


Asas Praktek dalam Undang-Undang Keperawatan, Jur-

( 124 ) Daftar Pustaka


nal “Justitia” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Go-
rontalo, Vol. II No. 2 Edisi Maret 2015.

Siti Ismijati Jenie, Tanggung jawab Perdata di Dalam Pelayanan


Medis Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Materiil,
Mimbar Hukum, Vol. 18, Nomor 3, 2006.

KAMUS :

Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition,


USA: West a Thomson Reuters business, 2009.

Dorland's Medical Dictionary 27th Edition.

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris,


an Indonesian-English Dictionary Jakarta: Gramedia,
2003.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ja-
karta: Balai Pustaka, 2008.

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Ja-


karta: Pustaka Amani, 2002.

Stedman's Medical Dictionary.

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa


Belanda, Indonesia, Inggris, Semarang Aneka Ilmu, tan-
pa tahun.

DaftarPustaka ( 125 )
MAKALAH/ARTIKEL :

Antari Innaka, Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pela-


yanan Kesehatan, Makalah yang disampaikan dalam
Seminar Sehari Hukum Kesehatan Penyelesaian Du-
gaan Malpraktik Pada Pelayanan Kebidanan di Yogya-
karta tanggal 31 Juli 2010.

Herkutanto, Tanggung Jawab Pidana dalam Hukum Kesehatan,


Kumpulan Makalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan,
Kerjasama PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina,
Jakarta, 26 Mei 1994.

_________, Dimensi Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Loka-


karya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran. Makasar
26 - 27 Januari 2008. Proceeding. Ikatan Dokter
Indonesia Cabang Makasar.

Poppy Gunawarman, Tanggung Jawab Perdata, Kumpulan Ma-


kalah Kursus Dasar Hukum Kesehatan, Kerjasama
PERHUKI dengan R.S. Pusat Pertamina, Jakarta, 26
Mei 1994.

Zain Recht, Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana


(Kumpulan Tulisan-Tulisan Hukum), 23 Nopember
2012.

( 126 ) Daftar Pustaka


WEBSITE :

Dokter Indonesia Online, lihat di http://dokterindonesiaonline.


com.

Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat


pembaca yang dibuat Prita, Lihat di http://hukum.kom
pasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita-mulya
sari-13940.html

Kondisi Terakhir Bocah Raihan si Korban Malapraktik, lihat di


http://Health-Liputan6.com

Tince P. Soemoele, Disiplin Profesi Kedokteran, lihat di http://


m.kompasiana.com/tinceinge/disiplin-profesi-kedokte
ran

MAJALAH & KORAN :

Harian Fajar Edisi Rabu 24 April 2004 yang memberitakan


“Dokter Operasi Pakai Senter” di RSUD I Lagaligo di
Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan dan
“Gunting di Perut Selama 18 Bulan” yang terjadi di
Sydney, Australia.

Majalah Forum Keadilan Nomor 17, Tahun VII, Edisi 30 No-


pember 1998 yang memberitakan kasus malpraktik
“Dua Dokter Beroperasi, Dua Saluran Terpotong” yang

DaftarPustaka ( 127 )
terjadi di RSUD Sorong Propinsi Irian Jaya (kini berna-
ma Propinsi Jayapura).

UNDANG-UNDANG & PERATURAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004


tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, (Tambahan Lem-
baran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 2009 Nomor 144, (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009


tentang Rumah Sakit, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, (Tambahan Lemba-
ran Negara Republik Indonesia Nomor 5072).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014


tentang Tenaga Kesehatan, Lembaran Negara Republik

( 128 ) Daftar Pustaka


Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, (Tambahan Lem-
baran Negara Republik Indonesia Nomor 5607).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/


MENKES/PER/ III/2008 tentang Rekam Medis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/


MENKES/PER/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/


VIII/2006

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 17/KKI/Per/


VIII/2006

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia

DaftarPustaka ( 129 )
PENULIS

Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. Lahir di Bonelohe


(Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan), tanggal 05 Ja-
nuari tahun 1962. Pekerjaan saat ini sebagai Pengajar (Dosen),
Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Mengajar pada
Program Sarjana (S1) di Fakultas Hukum UNHAS, Program Ma-
gister (S2), dan Program Doktor (S3) Pascasarjana UNHAS. Ma-
ta kuliah yang diampu adalah Hukum Pidana, Hukum Acara
Pidana, Kriminologi, Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Keseha-
tan, Delik-Delik di Dalam Kodifikasi, dan Delik-Delik di Luar
Kodifikasi. Beralamat di Kompleks Perumahan Dosen Unhas,
Blok D No. 2 Tamalanrea, Kota Makassar. Dapat dihubungi me-
lalui : gazaliahmad343@yahoo.com
EDITOR

Kadarudin, S.H., M.H. Lahir di Ujung Pandang (Propin-


si Sulawesi Selatan), tanggal 14 Mei tahun 1989. Menyele-
saikan Pendidikan Sarjana Hukum (2009), Internship Program
pada Bulan April – Nopember di Post Graduate Universität
Wien, Vienna, Austria. (2010), Magister Hukum (2012), dan te-
lah menyelesaikan pendidikan sebagai Mediator bersertifikat
Mahkamah Agung RI (2015). Saat ini sedang dalam tahap pe-
nyelesaian studi Program Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Pasca-
sarjana Universitas Hasanuddin. Beralamat di Perumahan
Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Blok M, No. 409E Tamalanrea,
Kota Makassar. Dapat dihubungi melalui :
kadarudin.alanshari@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai