Buku Malpraktik Medis PDF
Buku Malpraktik Medis PDF
Editor :
Kadarudin
Pasal 8
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.
Pasal 9
1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki
hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b) Penggandaan Ciptaan da-
lam segala bentuknya; (c) penerjemahan Ciptaan; (d) pengadaptasian, pengaran-
semenan, atau pentransformasian Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinan-
nya; (f) pertunjukan Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan; (h) Komunikasi Ciptaan; dan
(i) penyewaan Ciptaan.
2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan
Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
SANKSI PELANGGARAN
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.100. 000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas perkenan-Nya telah
memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan buku ini yang berjudul “Malpraktik Medis”
walaupun dalam wujud yang sangat sederhana.
Buku ini penulis tulis atas dasar kurangnya pengetahuan
masyarakat umum tentang malpraktik medis, atau bahkan para
praktisi yang notabene menjalankan profesinya sehari-hari baik
sebagai tenaga medis maupun penegak hukum, sehingga melalui
tulisan atau buku ini penulis merasa perlu untuk memberikan pe-
mahaman mengenai malpraktik kepada semua pihak yang mera-
sa membutuhkan informasi atau pengetahun dibidang malpraktik
medis.
Buku ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama yang ditandai
dengan pemisahan antar bab, yakni pendahuluan pada bab perta-
ma, rumusan malpraktik medis dan jenis-jenisnya pada bab ke-
dua, permasalahan medikolegal pada bab ketiga, pertanggung-
jawaban malpraktik medis pada bab keempat, dan terakhir penu-
tup pada bab kelima.
Kata Pengantar ( v )
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari ke-
sempurnaan sebagaimana pepatah Indonesia “tak ada gading
yang tak retak”, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan masukan yang sifatnya membangun
guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan buku-buku selan-
jutnya. Harapan penulis, semoga buku ini dapat berguna dalam
pembangunan ilmu hukum khususnya di bidang hukum kese-
hatan.
Akhir kata, Wassalam.
( vi ) Kata Pengantar
PENGANTAR EDITOR
Kurang dari dua bulan setelah terbitnya buku ini untuk
pertama kalinya, empat tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 No-
pember 2011 Maria de Jesus (32 tahun, seorang ibu tiga anak)
yang sedang mengandung anak ke-empatnya (berumur 20 ming-
gu) harus meninggal di meja operasi di Queen's Hospital in Rom-
ford, Essex (sebuah kota kecil di London Timur, Inggris). Ironis-
nya, kematian Maria bukan dikarenakan proses alamiah yang bia-
sanya menjadi faktor kematian ibu atau kematian anak yang di-
kandung, namun kematiannya tersebut disebabkan oleh tindakan
malpraktik seorang dokter muda (dr. Yahya Al Abed) dalam me-
lakukan tindakan medis.
Sebagaimana diberitakan theguardian, bahwa pada awal-
nya tanggal 31 Oktober 2011 Maria datang ke rumah sakit terse-
but pada akhir pekan karena mengalami usus buntu, namun se-
orang dokter muda tanpa didampingi oleh seniornya melakukan
tindakan medis yang berujung kepada tindakan kelalaian medis,
yang seharusnya ia mengoperasi penyakit usus buntu yang diala-
mi Maria, dokter mudah tersebut malah mengangkat indung telur
Pengantar Editor ( ix )
gung jawab dan integritas yang tinggi atas profesi yang diemban-
nya.
Melalui ikhtiar awal yang dilakukan oleh Profesor Andi
Sofyan (Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakul-
tas Hukum Universitas Hasanuddin) sebagai penulis buku ini,
yang memiliki asa untuk berkontribusi memberikan pemahaman
awal tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik medis hing-
ga sampai batas-batas mana tindakan kedokteran dapat dikatakan
tidak bertentangan dengan hukum, disiplin ilmu kedokteran, dan
etika kedokteran.
Selamat membaca . . .
Makassar, 28 Agustus 2015
Editor,
( x ) Pengantar Editor
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Pengantar Editor vii
Daftar Isi xi
Bab 1 Pendahuluan 1
Daftar Isi ( xi )
Resiko Medis 67
Bab 1 Pendahuluan ( 1 )
dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Keseha-
tan adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan YME kepa-
da semua makhluk ciptaannya di muka bumi, karena jika fisik
(tubuh) dalam keadaan sehat, maka segala aktivitas yang di-
inginkan hampir pasti bisa dilakukan. “Kesehatan merupakan
harga yang mahal” menurut persepsi kebanyakan orang jika ia
dalam kondisi tidak sehat (sakit), sedangkan sebaliknya, “per-
sepsi sehat itu murah” juga dinyatakan oleh kebanyakan orang
yang kondisi fisiknya dalam keadaan sehat. Umumnya orang
tidak sadar bahwa kesehatan itu penting untuk dijaga sehingga
ia tidak menghiraukan segala faktor yang memungkinkan diri-
nya diserang oleh berbagai macam penyakit, ketika dirinya sa-
kit, disitulah ia baru menyesal dan sadar bahwa kesehatan itu
adalah hal yang paling penting di dalam hidupnya.
Pada saat manusia dalam keadaan sakit, maka sudah
selayaknya atau sewajarnya jika ia menginginkan untuk men-
dapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi dirinya, be-
gitupun dengan keluarga dari orang tersebut, sudah pasti me-
nginginkan hasil yang terbaik bagi anggota keluarganya yang di
rawat di rumah sakit. Dalam keadaan tersebut (proses pelaya-
nan kesehatan), berbagai kemungkinan dapat saja terjadi, apa-
kah ia akan segera sembuh, sembuh namun membutuhkan pe-
rawatan yang cukup lama, atau bahkan bisa saja kemungkinan
( 2 ) Bab 1 Pendahuluan
terburuk dapat terjadi, yakni penyakitnya semakin parah atau
meninggal dunia.
Sejalan dengan seorang pasien yang sedang mengalami
perawatan medis, seorang dokter juga dalam menjalankan pro-
fesinya dibidang medis, pastinya juga menginginkan hasil yang
terbaik dan maksimal dari setiap tindakan medis yang ia laku-
kan terhadap pasiennya. Namun keinginan manusia adakala-
nya juga tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, bisa saja
yang diinginkan oleh seorang pasien yang menjalani perawatan
medis dan seorang dokter yang menjalankan profesinya sebagai
tenaga medis berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada,
kondisi demikian juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor, bisa karena takdir (walaupun alasan ini sebenarnya ti-
dak ilmiah), bisa karena kurangnya kerjasama dari si pasien
sendiri (tidak mengindahkan hal-hal yang diperintahkan dokter
baik selama masa ia menjalani perawatan medis, maupun sete-
lah ia menjalani perawatan medis atau biasa dikenal dengan is-
tilah recovery), atau bahkan bisa saja karena kelalaian dokter
sehingga ia dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai telah
melakukan malpraktik dibidang medis. Pada saat dokter mela-
kukan tindakan malpraktik, maka pada saat itulah ia diperha-
dapkan oleh hukum.
Hukum diadakan bukan demi hukum, namun ia harus
berguna bagi masyarakat yang diaturnya. Maka hukum bukan-
lah sesuatu yang berdiri sendiri secara mandiri terlepas dari
Bab 1 Pendahuluan ( 3 )
masyarakatnya. Hukum adalah pencerminan masyarakat (Ha-
maker). Hukum adalah pandangan, pendapat dan pendirian
yang dianut di dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu pula. Dengan perubahan zaman, maka
hukumnya pun akan turut berubah pula. Hukum diperlukan
demi adanya tata-tertib di dalam masyarakat. Dengan adanya
hukum, maka timbullah rasa kepastian di dalam kehidupan
manusia (Predictability : Roscoe Pound). Manusia di dalam ma-
syarakat tersebut akan tahu apa yang boleh dilakukan dan apa
yang dilarang. la tidak akan ragu-ragu lagi dalam melakukan
tindakannya.2 Begitupun dengan dokter atau profesi-profesi la-
in yang dijalankan oleh seseorang.
Dokter dalam kaitan menjalankan profesinya terhadap
pasien di rumah sakit, paling tidak ada beberapa peraturan
yang harus ia pedomani, peraturan dimaksud adalah Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran,3 Undang-Undang Republik Indonesia No-
mor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,4 Undang-Undang Re-
publik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,5
( 4 ) Bab 1 Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan,6 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 ten-
tang Rekam Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetu-
juan Tindakan Kedokteran. Sejumlah peraturan tersebut7 men-
jadi pedoman bagi seorang dokter dalam menjalankan profe-
sinya.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan
yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan
medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidi-
kan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus
menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kema-
juan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.8 Sehingga ka-
rena hal tersebut, maka seorang dokter dalam menjalankan
profesinya tentu menjalankannya dengan upaya sungguh-
7 Masih banyak peraturan lain yang tidak disebutkan dalam buku ini,
Bab 1 Pendahuluan ( 5 )
sungguh, maksimal, berintegritas tinggi, dan professional. Na-
mun di dalam kenyataanya dibeberapa negara maju seperti
United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus mal-
praktik medik banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya
meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun
1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali
lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan kea-
daan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan
di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam be-
berapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter
atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012,
tercatat ada 183 kasus kelalaian medik, atau bahasa awamnya
malpraktik yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indone-
sia. Malpraktik ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui
sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktik yang terjadi selama
ini, sudah ada 29 dokter yang izin praktiknya dicabut
sementara, ada yang tiga bulan dan ada yang enam bulan.9
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan mal-
praktik ke konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat men-
capai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding
( 6 ) Bab 1 Pendahuluan
tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan
kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi
atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 ka-
sus malpraktik di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus
dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33
kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan
dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam ka-
sus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diha-
ruskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan
dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus mal-
praktik. “Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu
yang didapatkan itu kurang dipraktikan atau terjadi penyim-
pangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu
yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang ter-
tentu. Di samping kasus malpraktik, beberapa kasus lain yang
juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga pencabutan
izin praktik di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ing-
kar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dok-
ter. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gu-
gatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat
dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan
diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan
terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan
Bab 1 Pendahuluan ( 7 )
pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan
faktor-faktor lainnya.10
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas,
maka penulis merasa perlu untuk mengeluargan gagasan
dalam bentuk tulisan, guna memberikan pengetahuan kepada
masyarakat dan praktisi kesehatan tentang pengaturan hukum
Malpraktik Medis sebagaimana yang akan dipaparkan pada
bab-bab selanjutnya di dalam buku ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diru-
muskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah rumusan malpraktik medis yang te-
pat dan jenis-jenisnya?
2. Bagaimanakah permasalahan medikolegal dalam pe-
layanan medis?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum dan etik
bagi pelaku malpraktik medis?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
yang hendak dicapai di dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui rumusan malpraktik medis yang
tepat dan jenis-jenisnya.
10 Dokter Indonesia Online, Ibid. baca juga Harian Fajar Edisi Rabu 24
April 2004 yang memberitakan “Dokter Operasi Pakai Senter” di RSUD I Lagaligo
di Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan dan “Gunting di Perut
Selama 18 Bulan” yang terjadi di Sydney, Australia.
( 8 ) Bab 1 Pendahuluan
2. Untuk mengetahui permasalahan medikolegal dalam
pelayanan medis.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dan
etik bagi pelaku malpraktik medis.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat
yang diharapkan di dalam penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan dan dapat digunakan
sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu hu-
kum dan ilmu kedokteran, khususnya dalam meng-
kaji malpraktik medis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masu-
kan dan menjadi salah satu acuan bagi para praktisi,
khususnya bagi praktisi hukum dan praktisi medis
agar lebih berhati-hati dan teliti dalam menjalankan
profesinya
3. Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan sehingga
masyarakat umum mendapatkan informasi mengenai
gambaran malpraktik medis secara benar (tidak me-
nyesatkan) dan komprehensif.
Bab 1 Pendahuluan ( 9 )
agar permasalahan mengenai malpraktik medis dalam buku ini
dapat dianalsis secara proporsional. Dalam buku ini, penulis
menggunakan 2 (dua) teori, yakni teori kesalahan dan teori
pertanggungjawaban, sebagaimana dipaparkan dibawah ini.
1. Teori Kesalahan
Kesalahan menurut teori (dalam hukum pidana) terdiri
dari :
- Kesengajaan; dan
- Kelalaian.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengaja-
an dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesala-
han. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding
dengan kelalaian (kealpaan/culpa). Karenanya ancaman pidana
pada suatu tindak pidana (delik)11 jauh lebih berat apabila ada-
( 10 ) Bab 1 Pendahuluan
nya kesengajaan daripada dibanding dengan kelalaian. Bahkan
ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kelalai-
an tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dila-
kukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti
misalnya pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP)12 dan pasal
pengrusakan barang-barang (Pasal 406 KUHP)13 dan lain seba-
gainya.14
Cipta, 2008), hlm. 86; dan Leden Marpaung menggunakan istilah “delik”. Leden
Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 7; Ter Haar memberi definisi untuk delik yaitu tiap-tiap penggangguan ke-
seimbangan dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau
sekelompok orang. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm. 18. Menurut Bambang Waluyo pengertian tindak pidana (delik) ada-
lah “perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Strafbare Feiten)”. Bam-
bang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 6; R. Abdoel Djamali menambahkan bahwa : “Peristiwa pidana yang juga
disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana”. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 175; terakhir Pompe yang menya-
takan bahwa perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai : “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang de-
ngan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu de-
mi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. P.A.F.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 182.
12Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, KUHP, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Baru, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm.
132; juga dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1996), hlm.
258
13 Lihat uraian lengkap pasal dimaksud dalam Moeljatno, Ibid., hlm.
146; juga dalam R. Soesilo, Ibid., hlm. 278
14 Zain Recht, Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana (Kum-
pulan Tulisan-Tulisan Hukum), 23 Nopember 2012.
Bab 1 Pendahuluan ( 11 )
Bagaimanakah mendefinisikan kesengajaan? Kitab Un-
dang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak memberi
definisi mengenai hal tersebut, sehingga kita dapat merujuk pa-
da Memorie van Toelicting (risalah penjelasan undang-undang),
yakni sengaja (dolus) berarti menghendaki dan mengetahui
(willens en wetens). Pelaku (tindak pidana) harus menghendaki
dan mengetahui apa yang dilakukannya. Kata sengaja dalam
undang-undang meliputi semua perkataan dibelakangnya, jadi
meliputi juga akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini dikenal
dua teori yaitu :
a. Teori membayangkan (voorstellings theori) dari Frank,
yaitu suatu perbuatan hanya dapat dikehendaki, se-
dangkan suatu akibat hanya dapat dibayangkan
saja;
b. Teori kemauan (wills theory) dari von Hippel, bahwa
sengaja itu ada kalau akibat itu memang dikehenda-
ki dan dapat dibayangkan sebagai tujuan.
15 Ibid.
( 12 ) Bab 1 Pendahuluan
- Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana ter-
lebih dahulu.
- Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan ting-
kat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
- Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan ting-
kat ketidakpastian objek, misalnya menembak sege-
rombolan orang.
- Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pelaku
(tindak pidana) dapat memperkirakan satu dan lain
akibat. Misalnya meracuni sumur.
- Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditu-
jukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada aki-
bat perbuatannya.
- Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang me-
nyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak
diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan
dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, sese-
orang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan
tergilas mobil (dolus ini berlaku pada KUHP/Code Pe-
nal Perancis, namun KUHP Indonesia tidak menga-
nut dolus ini).
Bab 1 Pendahuluan ( 13 )
Sedangkan tingkatan sengaja adalah sebagai berikut :
a. Sengaja sebagai niat.
Akibat delik adalah motif utama untuk suatu
perbuatan yang seandainya tujuan itu tidak ada
maka perbuatan tidak dilakukan.
Misalnya : (a) berniat membunuh (b), lalu memi-
numkan racun kepadanya;
b. Sengaja kesadaran akan kepastian; dan
c. Sengaja insaf akan kemungkinan (dolus eventu-
alis).
( 14 ) Bab 1 Pendahuluan
diperlawankan dengan kata dolus, delict, opzet (Bld.). Dalam
Black's Law Dictionary19 disebutkan bahwa: "Kelalaian adalah
kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya orang lain
yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan
tersebut; ia merupakan suatu tindakan yang umumnya orang
lain yang wajar dan hati-hati tidak akan melakukan dalam kea-
daan yang sama, atau kegagalan untuk melakukan apa yang
oleh orang lain pada umumya dengan hati-hati dan wajar jus-
tru akan melakukan dalam keadaan yang sama".20
Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kelalai-
an (culpa), namun dari penjelasan pembuat undang-undang
(KUHP) atau Memorie van Toelichting (MvT) dapat diketahui
bahwa schuld atau culpa merupakan kebalikan murni dari
dolus (sengaja) maupun kebetulan (casus), yang dituntut adalah
bahwa orang kurang berpikir cermat, kurang pengetahuan,
atau bertindak kurang terarah dibanding dengan orang lain pa-
da umumnya. Dari Memorie van Antwoord (memori jawaban)
yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang
sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan
prudent and careful person would use under similar circumstances; it is doing
some of act which a person of ordinary prudence would not have done under
similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would
have done under similar circumstances. Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana
Malpraktik Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, (Yogyakarta: Andi Offset,
2010), hlm. 31-32
Bab 1 Pendahuluan ( 15 )
kemampuannya secara keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat
salah karena kelalaiannya, tidak menggunakan kemampuan
yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut seharusnya ia gu-
nakan.21 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia Modern,
kelalaian berasal dari kata lalai yang diartikan sebagai lengah,
kurang ingat, tidak mengindahkan kewajiban pekerjaan dan
sebagainya, terlupa, dan tidak sadar.22
Kelalaian (culpa) dipandang telah ada bila seseorang
kurang hati-hati, lalai dan kurang teliti, atau kurang mengam-
bil tindakan pencegahan. Jurisprudensi menginterpretasikan
culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau
kurang hati-hati.
Pada umumnya, kelalaian dibedakan atas :23
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya
dan berharap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya se-
( 16 ) Bab 1 Pendahuluan
suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat mendu-
ga sebelumnya.
2. Teori Pertanggungjawaban
Dasar-dasar pertanggungjawaban pidana sangat erat
kaitannya dengan tujuan hukum pidana, sehingga ada baiknya
jika dibahas terlebih dahulu mengenai tujuan hukum pidana.
Tujuan hukum pidana dalam perkembangannya dikenal 3 (tiga)
teori yang berkaitan dengan tujuan diberlakukannya hukum
Bab 1 Pendahuluan ( 17 )
pidana. Ketiga teori tersebut dikenal sebagai teori mutlak, teori
relatif, dan teori gabungan. Berikut uraiannya :24
( 18 ) Bab 1 Pendahuluan
wibawa pemerintah, menegakkan norma dan
membentuk norma.
- Prevensi khusus, yaitu bahwa manusia (pelaku
tindak pidana) dikemudian hari akan menahan
diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi karena
perbuatannya akan menimbulkan penderitaan.
Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan mem-
perbaiki.
- Fungsi perlindungan, dengan dipidannya si pelaku
kejahatan dengan dicabut kebebasannya, maka
masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang
dilakukannya.
c. Teori gabungan dikembangkan pertama-tama oleh
Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini menganut ke-
dua paham di atas sekaligus (pemidanaan sebagai
pembalasan dan sebagai pencegahan). Menurut pen-
dapatnya tujuan pidana adalah perbaikan tata tertib
masyarakat. Tujuan penting lainnya adalah prevensi
umum dan penimbulan rasa takut kepada (calon)
penjahat.
Bab 1 Pendahuluan ( 19 )
na bila suatu undang-undang dengan tegas telah mengatur
bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini telah
diatur dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dari uraian
tersebut, Nampak bahwa pertanggungjawaban pidana baru
akan muncul bila norma-norma hukum pidana yang tertulis
dalam undang-undang dilanggar.25
Bila seseorang akan dibebani pertanggungjawaban pi-
dana maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :26
a. Adanya sikap tindak/perbuatan oleh manusia yang
dapat bertanggungjawab.
Pelaku yang melakukan perbuatan itu harus bebas
dapat menentukan kehendaknya (vrijwilligheid). Ar-
tinya jika pelaku tersebut sakit jiwa atau masih di
bawah umur, maka syarat pemidanaan ini tidak
terpenuhi. Yang terancam sanksi pidana adalah
pelaku itu sendiri, bukan orang lain (orang tuanya,
atau atasannya). Hal ini sesuai dengan asas mens
rea dan actus reus, dimana sasaran hukum pidana
adalah mental yang jahat (mens rea), yang diwujud-
kan dalam perbuatan yang jahat pula (actus reus).
b. Perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang
Hal sesuai dengan asas nulla poena sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Jadi harus dapat ditunjuk-
25 Ibid., hlm. 11
26 Ibid., hlm. 11-12
( 20 ) Bab 1 Pendahuluan
kan ketentuan/pasal mana yang dilanggar oleh pe-
laku.
c. Perbuatan pelaku yang melanggar hukum.27
Perbuatan pelaku tersebut jelas-jelas terbukti me-
menuhi rumusan tindak pidana yang telah dite-
tapkan oleh undang-undang, yang artinya melang-
gar norma dalam hukum pidana.
d. Terdapat unsur kesalahan pada pelaku.
Kesalahan (schuld) ini dari segi hukum pidana di-
kenal sebagai kesengajaan (dolus) dan kelalaian
(culpa).
Bab 1 Pendahuluan ( 21 )
yang merugikan pasien. Ganti rugi bisa meliputi biaya yang
telah atau akan dikeluarkan, juga kerugian yang diderita, ke-
munduran nilai dan sebagainya. Dasar tuntutan perdata dia-
jukan berpijak pada beberapa teori :28
a. Pelanggaran kontrak;
b. Perbuatan yang disengaja; dan
c. Kelalaian.
( 22 ) Bab 1 Pendahuluan
Wanprestasi34 (cacat prestasi) atas perjanjian terapeu-
tik, misalnya :35
36 Ibid.
Bab 1 Pendahuluan ( 23 )
a. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga pelayanan ke-
sehatan tidak cukup layak dan tidak professional
seperti apa yang diharapkan oleh pasien;
b. Terjadi pelanggaran kewajiban;
c. Pelanggaran tersebut merupakan penyebab cedera
atau kerugian terhadap pasien.
37 Ibid.
38 Ibid., hlm. 17-18
( 24 ) Bab 1 Pendahuluan
a. adanya keadaan yang memaksa (ovemacht force maje-
ur);39
b. pasien sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti con-
tractus);
c. pasien ditolong dalam keadaan gawat darurat;
d. pasien telah melepaskan tuntutannya atas ganti rugi
(pelepasan hak);
e. peraturan mengenai jangka waktu boleh menuntut
(statue of limitation);
f. workmen’s compensation.
Bab 1 Pendahuluan ( 25 )
Setelah dijelaskan tanggung jawab dalam hukum pida-
na dan dalam hukum perdata yang keduanya merupakan tang-
gung jawab dibidang hukum, selanjutnya akan dibahas menge-
nai tanggung jawab dibidang profesi kedokteran, yakni tang-
gung jawab disiplin dan tanggung jawab etik. Tanggung jawab
disiplin dan tanggung jawab etik merupakan dua tanggung
jawab yang tidak berhubungan langsung dengan hukum, na-
mun kedua tanggung jawab ini bisa dijadikan dasar pemberat
jika memang dalam tindakannya tersebut beraspek hukum,
baim itu hukum pidana maupun hukum perdata.
Profesi kedokteran dan kedokteran gigi memiliki kelu-
huran karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan
untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profe-
sionalnya sebagai dokter dan dokter gigi, selain terikat oleh
norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh
norma disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan akan menja-
min mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran
profesinya. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,41 Pasal 55 ayat (1)
yang mengatur bahwa “aturan-aturan dan/atau ketentuan pe-
nerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus
diikuti oleh dokter dan dokter gigi”. Aturan-aturan tersebut ter-
( 26 ) Bab 1 Pendahuluan
sebar dalam UU praktik kedokteran, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran In-
donesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik
Profesi dan juga kebiasaan umum (common practice) di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi. Pelanggaran disiplin dapat
dikelompokan dalam 3 hal, yaitu:42
a. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kom-
peten;
b. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien
tidak dilaksanakan dengan baik; dan
c. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan ke-
hormatan profesi kedokteran.
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, meng-
hayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Bab 1 Pendahuluan ( 27 )
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan stan-
dar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebe-
basan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari
perbuatan yang bersifat memuji diri.
( 28 ) Bab 1 Pendahuluan
3. Keluhuran budi;
4. Kerendahan hati;
5. Kesungguhan kerja; dan
6. Integritas ilmiah dan sosial.
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan
berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan per-
tolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik. Agar
dalam hubungan tersebut keenam sifat dasar di atas dapat
tetap terjaga, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia
yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman
pelaksanaan profesi. Kode Etik Kedokteran Indonesia dida-
sarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat, yaitu Pancasila
yang telah sama-sama diakui oleh Bangsa Indonesia sebagai
falsafah hidup bangsa.44 Kode etik inilah yang merupakan
tanggung jawab seorang dokter yang dijadikan dasar dalam
menjalankan pekerjaan profesinya sehari-hari.
F. Metode Penelitian
Secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau
cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, pengertian ini
diambil dari istilah metode yang berasal dari Bahasa Yunani,
“methodos” yang artinya “jalan menuju”. Bagi kepentingan ilmu
pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-
44 Ibid.
Bab 1 Pendahuluan ( 29 )
proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.45 Oleh
karena itu, di untuk menjawab rumusan-rumusan masalah
dalam buku ini, maka digunakan metode penelitian.
( 30 ) Bab 1 Pendahuluan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya pada
bidang hukum kesehatan, yang di dalamnya berkenaan dengan
peranan, fungsi, tujuan, dan tanggung jawab seseorang yang
menjalankan profesi kedokteran sebagai salah satu profesi dibi-
dang medis.
2. Bahan Hukum
Dalam penelitan hukum normatif, maka sumber data
yang digunakan adalah bahan-bahan hukum, yang terdiri da-
ri49 :
a) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat, meliputi peraturan
perundang-undangan, peraturan lain dan keputusan
menteri yang berkaitan dengan kajian malpraktik
medis;
b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, meliputi buku-buku dan jurnal-jurnal pene-
litian hukum baik yang berbentuk fisik maupun hasil
dari penelusuran (browsing) internet.
c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pri-
mer dan bahan hukum sekunder, meliputi kamus
Bab 1 Pendahuluan ( 31 )
dan ensiklopedia yang berkaitan dengan kajian mal-
praktik medis.
4. Batasan Kajian
Walaupun dalam buku ini terdapat beberapa kalimat
yang tertulis “dokter dan dokter gigi” namun dalam buku ini
secara khusus hanya dikaji mengenai malpraktik medis oleh
seorang dokter. Penggunaan kata dokter dan dokter gigi dalam
beberapa kalimat hanya didasarkan aturan perundang-unda-
ngan dan peraturan lain yang menyebutkan demikian atau
literatur yang dikutip menjelaskan seperti itu. Oleh karenanya,
agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami buku ini, maka
perlu dijelaskan batasan kajian dimaksud.
( 32 ) Bab 1 Pendahuluan
BAB II
RUMUSAN MALPRAKTIK MEDIS
& JENIS-JENISNYA
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang
kesalahan di dalam bidang professional. Tindakan malpraktik
medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lain-
nya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan
melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan
yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan
terhadap pasien dengan teliti dan cermat.50 Bagaimanakah ru-
musan malpraktik medis, jenis-jenis dan contoh kasusnya?
Pemaparannya sebagai berikut.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi,
Ibid., hlm. 28
Antara Dokter dengan Pasien. (Jakarta: Diadit Media, 2005), hlm. 63 dalam Ari
Yunanto dan Helmi, Ibid.
60 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. (Jakarta:
Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 87 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid., hlm. 28-
29
(Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 2 dalam Ari Yunanto dan Helmi, Ibid.,
hlm. 30-31
C. Contoh Kasus
Dalam sub bab ini, penulis mencoba uraikan contoh
kasus nyata (real) dugaan malpraktik medis baik yang diberita-
kan oleh media maupun yang terdapat dalam tulisan-tulisan
jurnal.
Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law, “malpraktek bisa
diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-
hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional, tindakan
Kasus Pertama :
Dugaan malpraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari
Berikut ini akan dipaparkan kronologi singkat kasus
yang menimpa Prita Mulyasari ketika berobat ke Rumah Sakit
(RS) Omni International.74
7 Agustus 2008, Pukul 20:30
Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan kelu-
han panas tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan labo-
Kasus Kedua :
Dugaan malpraktik yang dialami oleh Muhammad Raihan75
Kasus dugaan malpraktik yang dilakukan Rumah Sakit
Medika Permata Hijau (RSMPH) Jakarta terhadap bocah beru-
sia 12 tahun bernama Muhammad Raihan belum juga usai.
Bahkan, kabar terakhir menyebutkan kalau kondisi Raihan
masih lumpuh total dan tak ada perubahan yang cukup mem-
bahagiakan. "Masih berjuang. Sebab, Raihan masih mengalami
kelumpuhan total seperti sebelumnya", kata Yunus/ayah Rai-
han (Rabu, 18 Februari 2015).
Yunus menceritakan kalau Raihan belum bisa melaku-
kan apa pun hingga hari ini, hanya terbaring lemah di atas ran-
jang di bawah pengasuhan sang Bunda, Oti Puspa Dewi. "Bah-
kan Raihan hanya terbaring tanpa respons dan menunggu
mukjizat," kata Yunus menambahkan. Raihan, lanjut Yunus,
saat ini menjalani perawatan di rumah. Kontrol ke medis dan
pengobatan alternatif masih terus dilakukan Yunus dan Oti
demi kesembuhan bocah kelahiran Jambi, 30 Juni 2002. "Na-
A. Tindakan Medis
Tindakan medis merupakan salah satu permasalahan
di dalam kajian medikolegal. Sederhananya, tindakan medis ini
merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter (secara profe-
sional) terhadap pasien yang membutuhkan jasanya, baik itu
dalam hal memulihkan kesehatannya (recovery) maupun juga
menghilangkan penyakit yang si pasien derita.
Pendapat lain disebutkan bahwa tindakan medis adalah
tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tu-
juan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau
B. Kelalaian Medis
Kelalaian medis juga merupakan salah satu permasa-
lahan di dalam kajian medikolegal. Karena kelalaian ini meru-
pakan tindakan yang tidak professional seorang dokter, dimana
ketidak profesionalannya dapat diukur dari :
1) Tidak dipertimbangkannya nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat, profesi, dan pasien dalam
menjalankan profesinya.
2) Tidak dipertimbangkannya etika, prinsip-prinsip
moral, dan keputusan-keputusan khusus pada
kasus klinis yang dihadapi dalam menjalankan
profesinya.
C. Resiko Medis
Resiko medis juga merupakan salah satu permasalahan
di dalam kajian medikolegal. Resiko dalam setiap pekerjaan
pasti ada, resiko tersebut ada yang tingkatannya besar, sedang,
bahkan adapula tingkatan resiko pekerjaan yang rendah. Bu-
kan hanya pekerjaan, profesipun demikian, sehingga resiko se-
kecil apapun mesti diperhitungkan oleh seseorang yang menja-
lankan profesinya dalam bidang apapun, karena ada resiko
yang juga tidak dapat dihindari dalam pelaksanaannya, namun
meminimalisir resiko adalah satu-satunya jalan terbaik guna
terhindarnya masalah besar yang mungkin saja akan terjadi
dikemudian hari.
Setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko
yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari resiko
adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas me-
rupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bah-
wa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari
ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di
87 Syahrul Machmud, Op.Cit, hlm. 1 lebih jauh baca artikel Jurnal Andi
Sofyan, A Juridical Aspect of Medical Malpractice, Jurnal Medika Nusantara (Nu-
santara Medical Journal), Vol. 21 No. 1 Edisi Januari-Maret 2000, Fakultas Ke-
dokteran Universitas Hasanuddin, hlm. 64-68
A. Tanggungjawab Pidana
Hukum bisa timbul dalam bentuk : perjanjian interna-
sional (treaties, conventions), perundang-undangan suatu nega-
ra tertentu, hukum kebiasaan atau yurisprudensi. Bahkan jika
ada kekosongan hukum (rechts-vacuum) maka hakim pun ber-
kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum dengan upaya
menemukannya (rechtsvinding : Paul Scholten). Kepustakaan
yang sudah diterima jika terdapat kekosongan hukum, dapat
pula dipakai sebagai pedoman hakim dalam memutuskan
suatu perkara. Misalnya dalam perkara malpraktik medis yang
masih terhitung baru di Indonesia, sehingga pengaturannya
pun bisa dibilang masih belum lengkap dan tidak rinci. Timbul
pertanyaan, Bagaimana jika ada perkara malpraktik medik
97 Pasal 29 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 36100 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
98 Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi sementara
dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang
melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di
Indonesia”.
99 Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa “Surat tanda registrasi bersyarat
diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia”.
100Pasal 36 mengatur bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja mengguna-
kan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tan-
da registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi dan/atau surat izin praktik se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(1)101 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja mengguna-
kan alat, metode atau cara lain dalam mem-
berikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang ber-
sangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter
101Pasal 73 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang meng-
gunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling la-
ma 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan na-
ma sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41
ayat (1);103
b. dengan sengaja tidak membuat rekam me-
dis sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal
46 ayat (1);104 atau
102 Pasal 73 ayat (2) mengatur bahwa “Setiap orang dilarang meng-
gunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada mas-
yarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik”.
103 Pasal 41 ayat (1) mengatur bahwa “Dokter atau dokter gigi yang
telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik
kedokteran”.
104Pasal 46 ayat (1) mengatur bahwa “Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”.
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ta-
hun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.
000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipi-
dana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
B. Tanggungjawab Perdata
Prosedur penyelesaian kasus sengketa medis secara
perdata pada Peradilan Umum, sebagai berikut :107
Pasien dapat mengajukan gugatan kerugian secara per-
data ke pengadilan, selain mengadukan Dokter atau Dokter
Gigi yang diduga lalai malapraktik ke MKDKI (Majelis Kehor-
matan Disiplin Kedokteran Indonesia) sesuai Pasal 66 ayat 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Tanggung jawab hukum adalah
tanggung jawab yang diakui dan ditegakkan oleh pengadilan
diantara para pihak yang berperkara. Tanggung jawab di
bidang hukum perdata dari seorang tenaga kesehatan muncul
dalam bentuk tanggung gugat, bahwa Dokter dan Dokter Gigi
dapat digugat di muka pengadilan karena perbuatannya.
Gugatan dalam hukum perdata dapat dilakukan wanprestasi
atau berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan dapat
muncul karena kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.108
Medis Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Materiil, Mimbar Hukum, Vol. 18,
113 Ibid.
114 Ibid., hlm. 4-5 dalam Rinanto Suryadhimirtha, Ibid., hlm. 29
115 Ibid.
118 Ibid.
1 tahun, atau rekomendasi pencabutan STR atau SIP tetap atau selama-
lamanya. Tince P. Soemoele, Loc.Cit.
129 Pasal 3
130 Pasal 6
131 Pasal 7
132 Pasal 8
133 Pasal 9
134 Pasal 10
135 Pasal 11
136 Pasal 12
137 Pasal 13
138 Pasal 14
139 Pasal 15
140 Pasal 19
141 Pasal 27
142 Pasal 28
D. Tangungjawab Etik
Berdasarkan pedoman organisasi dan tata laksana ker-
ja MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dok-
ter Indonesia) mengatur, jika belum terbentuk MKDKI (Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan MKDKI-P (Ma-
jelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Propinsi), maka
sengketa medik tersebut dapat diperiksa di MKEK IDI pada
masing-masing propinsi di Indonesia. Sebagaimana termuat
dalam kata pengantar pedoman organisasi dan tata laksana
kerja MKEK IDI yang menerangkan MKEK saat itu bahkan
hingga kini di banyak propinsi, merupakan satu-satunya lem-
baga penegak etika kedokteran sejak berdirinya IDI. MKEK da-
lam peran kesejarahannya mengemban juga sebagai lembaga
penegak disiplin kedokteran yang sebelumnya kini dipegang
152 Pasal 27
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya,
maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan malpraktik medis adalah pelayanan kese-
hatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
etika profesi, standar profesi, standar pelayanan pro-
fesi, standar prosedur operasional, hak penerima pe-
layanan kesehatan, kewajiban tenaga kesehatan dan
atau ketentuan peraturan perundang-undangan ter-
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kepada seluruh tenaga medis (khususnya dokter
yang menjalankan praktik kedokteran), sudah seyo-
giyanya dalam memberikan pelayanan kesehatan
berpedoman pada aturan hukum, peraturan disip-
lin, dan kode etik yang berlaku;
2. Kepada MKDKI dan MKEK, harus seaktif mungkin
memberikan pembinaan, khususnya sosialisasi bagi
para dokter dalam menjalankan profesinya agar da-
pat bekerja secara profesional;
3. Kepada masyarakat (sebagai pengguna jasa pelaya-
nan kesehatan), harus lebih informatif sebelum
mendapatkan penanganan medis, agar mendapat-
kan pelayanan dan tindakan yang benar serta
maksimal, dan berani untuk melapor jika terjadi ke-
janggalan yang berakibat pasien, atau keluarga
DaftarPustaka ( 119 )
Bambang Waluyo, 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Si-
nar Grafika, 2008.
DaftarPustaka ( 121 )
Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malprak-
tik, Jakarta: Permata Aksara, 2011.
DaftarPustaka ( 123 )
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.
JURNAL :
KAMUS :
DaftarPustaka ( 125 )
MAKALAH/ARTIKEL :
DaftarPustaka ( 127 )
terjadi di RSUD Sorong Propinsi Irian Jaya (kini berna-
ma Propinsi Jayapura).
DaftarPustaka ( 129 )
PENULIS