Anda di halaman 1dari 3

Korea Selatan Legalkan Aborsi Setelah 66 Tahun Dilarang

Korea Selatan akhirnya melegalkan pengguguran kandungan atau aborsi setelah 66 tahun
aturan itu diberlakukan. Aturan baru yang tidak lagi mempidanakan pelaku pengguguran
kandungan diberlakukan mulai akhir tahun 2020.

Aturan baru membolehkan pengguguran kandungan merupakan hasil putusan hakim


pengadilan konstitusi yang bersidang pada hari Kamis, 11 April 2019. Sebanyak 7 dari 9
hakim pengadilan konstitusi memutuskan bahwa larangan menggugurkan kandungan tidak
konstitusional. Namun, pengguguran kandungan setelah usia janin 20
minggu akan tetap dianggap melanggar hukum. Dengan
keputusan pengadilan konstitusi ini, anggota parlemen
diberi waktu untuk merevisi hukum tentang pengguguran
kandungan dengan batas waktu 31 Desember 2020.

Keputusan pengadilan konstitusi, mengutip CNN News,


sebagai kemenangan bagi kelompok pendukung kehidupan
atau pro-choice di Korea Selatan.

Sebelumnya, wanita yang melakukan aborsi di Korea


Selatan akan diancam hukuman setahun penjara dan
membayar denda hingga 2 juta won atau setara dengan US$
1.780. Dokter dan paramedis yang membantu pengguguran
kandungan juga akan dihukum maksimal selama 2 tahun
penjara. Profesor hukum di Universitas Hongik di Seoul, Cho
Hee-kyoung mengatakan, sebenarnya pengadilan kriminal
hampir sama melegalkan aborsi di tahun 2012.

"Pengadilan sesungguhnya terbelah. Empat melawan empat


dan tidak ada pemungutan suara karena saat itu satu kursi
hakim lowong," ujarnya.

Tekanan untuk melakukan reformasi terhadap hukum aborsi


meningkat, baik secara domestik maupun internasional,
terpicu dengan pelegalan aborsi di Irlandia, negara yang
jauh pengaruhnya dari Gereja Katolik yang anti-aborsi.

Para dokter pada tahun 2014 melakukan protes dengan


membuat petisi menentang undang-undang yang
mempidanakan pelaku aborsi dengan usia janin di bawah 3
bulan. Seorang dokter mengatakan larangan pengguguran
kandungan telah mencederai haknya untuk bahagia, untuk
setara dan merdeka dalam menjalankan pekerjaan.

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, penganut Katolik,


menunjuk enam dari 9 hakim konstitusi untuk memutuskan
masalah aborsi. Moon dikenal sebagai pendukung
kesetaraan gender dan pelindung hak-hak minoritas. Dia
tidak berbicara kepada publik mengenai isu aborsi.

Tak hanya pendukung aborsi menggelar protes, sekitar


seribu orang anti aborsi juga menggelar protes di Seoul
bertajuk "March for Life".

Uskup di Seuol, Andrew Yeom Soo-Jung mendesak


masyarakat untuk memfokuskan diri pada menyelamatkan
bayi dan ibunya ketimbang fokus pada legalisasi aborsi.

SEOUL, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memutuskan pada Kamis


(11/4/2019) larangan aborsi yang ketat tidak konstitusional, sebuah keputusan penting yang
menandakan perubahan besar dalam berbagai aspek masyarakat. Panel 9 oleh Mahkamah
Konstitusi berakhir dengan hasil pemungutan suara 7-2. Pengadilan menemukan, larangan
langsung terhadap aborsi berdasarkan hukum pidana bertentangan dengan konstitusi. Putusan
tersebut mengharuskan parlemen untuk merevisi undang-undang terkait pada akhir tahun
depan.

"(Undang-undang saat ini) membatasi hak wanita hamil untuk memilih secara bebas, yang
bertentangan dengan prinsip bahwa pelanggaran terhadap hak seseorang harus dijaga
seminimal mungkin," demikian bunyi putusan, seperti dikutip dari Yonhap News. Pengadilan
juga menganggap tidak adil untuk memberi bobot lebih pada penilaian melindungi kehidupan
janin, ketika melanggar hak-hak perempuan. Keputusan ini diambil setelah 66 tahun Korea
Selatan untuk pertama kali memberlakukan UU 1953 yang dapat mengkriminalkan aborsi.

Pada 1973, melalui undang-undang terpisah, Korea Selatan mulai mengizinkan pengecualian
dalam beberapa kasus, seperti pemerkosaan, inses, atau terkait dengan kesehatan ibu atau
gangguan keturunan. Hukum soal larangan aborsi sebelumnya nmmenyebutkan, seorang
dokter akan dipenjara hingga dua tahun. Sementara bagi perempuan hamil, menjalani prosedur
dapat dihukum dengan penjara hingga satu tahun atau denda 2 juta won (sekitar Rp 24 juta).
Telah diputuskan hak janin untuk hidup harus dilindungi, namun tidak kalah pentingnya dengan
hak perempuan untuk membuat pilihan bebas. Kantor berita AFP mencatat, pada survei tahun
lalu menemukan satu dari lima perempuan Korea yang hamil telah melakukan aborsi, dan
hanya satu persen dari mereka memiliki alasan hukum untuk mengakhiri kehamilan.

Statistik pada 2011 menunjukkan, sebagian besar wanita Korea Selatan yang melakukan aborsi
dalam posisi menikah, tetapi kelompok hak asasi manusia menyebut mayoritas dari mereka
yang dituntut karena menjalani prosedur tersebut belum menikah, termasuk remaja. Pada
2017, seorang murid sekolah menengah mengaku terpaksa mengakhiri pendidikannya setelah
melakukan aborsi.

"Guru saya memberi tahu saya jika saya tidak meninggalkan sekolah, dia akan melaporkan saya
ke pihak yang berwenang," katanya dalam acara demonstrasi. "Dia bilang saya melakukan
dosa karena saya hamil saat masih sekolah," ujarnya. Banyak perempuan yang hubungannya
putus karena takut suami atau pasangannya dapat melaporkan masa lalu mereka kepada pihak
berwenang.

Anda mungkin juga menyukai