Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FITOKIMIA

Disusun oleh:

Nama : Virgiana Rahmawati Putri (10060311150)

Ajeng Sela Putri Suyono (10060312002)

Cinderi Maura Restu (10060312009)

Shift / Kelompok : A/1

Tanggal Praktikum : Senin, 20 Oktober 2014

Tanggal Laporan : Kamis, 13 November 2014

Asisten : Laduna Aniq, S.Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT B

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2014
I. Tujuan Percobaan :

I.1. Dapat menentukan golongan senyawa kimia yang dikandung pada suatu
simplisia, dan dapat menentukan komponen senyawa kimia simplisia yang
memiliki aktivitas biologi.

I.2. Dapat mengisolasi kandungan zat kimia dari simplisia kunyit, dapat
mengetahui langkah-langkah yang dilakukan dalam ekstraksi, dan dapat
mengetahui serta memahami metode apa saja yang digunakan pada
ekstraksi.

I.3. Dapat mengetahui komponen dalam ekstrak simplisia kunyit, dapat


mengetahui eluen yang sesuai untuk ekstrak kental kunyit melalui KLT.

I.4. Dapat mengetahui metode yang digunakan dalam fraksinasi, dan dapat
melakukan pemisahan untuk mendapatkan senyawa murni.

I.5. Dapat mengetahui dan memahami teknik pemisahan dan pemurnian suatu
senyawa, dan dapat menghasilkan isolat murni dari hasil pemurnian, serta
dapat menentukan golongan senyawa dari isolat yang dihasilkan
berdasarkan panjang gelombang yang ditunjukkan oleh alat
spektrofotometri.

II. Teori Dasar :

II.1. Skrining Fitokimia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di zona khatulistiwa


(tropik) dan terkenal mempunyai kekayaan alam dengan beranekaragam jenis
tumbuhan, tetapi potensi ini belum seluruhnya dimanfaatkan sebagai bahan
industri khususnya tumbuhan berkasiat obat. Masyarakat Indonesia secara turun-
temurun telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk bahan obat
tradisional baik sebagai tindakan pencegahan maupun pengobatan terhadap
berbagai jenis penyakit. Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional akan terus
berlangsung terutama sebagai obat alternatif, hal ini terlihat pada masyarakat
daerah yang sulit dijangkau oleh fasilitas kesehatan modern. Dalam masa krisis
ekonomi seperti saat ini, penggunaan obat tradisional lebih menguntungkan
karena relatif lebih mudah didapat, lebih murah dan dapat diramu sendiri, selain
itu bahan bakunya dapat ditanam di halaman rumah sebagai penghias taman
ataupun peneduh halaman rumah (Sulianti et al, 2005).

Uji fitokimia terhadap kandungan senyawa kimia metabolit sekunder


merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian mengenai tumbuhan obat
atau dalam hal pencarian senyawa aktif baru yang berasal dari bahan alam yang
dapat menjadi precursor bagi sintesis obat-obat baru atau menjadi prototype
senyawa aktif tertentu. Oleh karenanya, metode uji fitokimia harus merupakan uji
sederhana tetapi terandalkan. Metode uji fitokimia yang banyak digunakan adalah
metode reaksi warna dan pengendapan yang dapat dilakukan di lapangan atau di
laboratorium (Iskandar et al, 2012).

Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin


memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan
baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit
primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan
merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih
sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisma. Aktivitas biologi tanaman
dipengaruhi oleh jenis metabolit sekunder yang terkandung didalamnya. Aktivitas
biologi ditentukan pula oleh struktur kimia dari senyawa. Unit struktur atau gugus
molekul mempengaruhi aktivitas biologi karena berkaitan dengan mekanisme
kerja senyawa terhadap reseptor di dalam tubuh (Lisdawati et al., 2007).

Pada praktikum ini menggunakan simplisia kunyit :


Kunyit (Curcuma Domestica)
Klasifikasi Tanaman Kunyit :
Divisio : Spermatophyta
Sub-diviso : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zungiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val

Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan


(perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman ini banyak
dibudidayakan di Asia Selatan khususnya India, Cina, Taiwan, Indonesia (Jawa)
dan Filipina. Tanaman ini tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang
merupakan batang semu, tegak, bulat membentuk rimpang dengan warna hijau
kekuningan dan mempunyai pelepah daun . Kulit luar rimpang berwarna jingga
kecoklatan dan daging buah merah jingga kekuning-kuningan. Tanaman kunyit
siap dipanen pada umur 8-18 bulan, dimana saat panen terbaik adalah pada umur
tanaman 11-12 bulan. (Wahyuni, 2004)

Kandungan kunyit berupa zat kurkumin 10 %, Demetoksikurkumin 1-5 %


Bisdemetoksikurkumin, sisanya minyak atsiri atau volatil oil (Keton sesquiterpen,
turmeron, tumeon 60%, Zingiberen 25%, felandren, sabinen, borneol dan sineil),
lemak 1-3%, karbohidrat 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45-55%, dan
garam-garam Mineral (Zat besi, fosfor, dan kalsium) (Sharma R.A, A.J. Gescher,
W.P. Steward, 2005).

Golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia kunyit yaitu :


Kurkumin

Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 (BM = 368). Sifat kimia


kurkumin yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat perubahan pH
lingkungan. Kurkumin berwarna kuning atau kuning jingga pada suasana asam,
sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Kurkumin dalam suasana basa
atau pada lingkungan pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama dapat
mengalami proses disosiasi, kurkumin mengalami degradasi membentuk asam
ferulat dan feruloilmetan. Warna kuning coklat feruloilmetan akan mempengaruhi
warna merah dari kurkumin yang seharusnya terjadi. Sifat kurkumin lain yang
penting adalah kestabilannya terhadap cahaya (Tonnesen, 1985; Van der Good,
1997). Adanya cahaya dapat menyebabkan terjadinya degradasi fotokimia
senyawa tersebut. Hal ini karena adanya gugus metilen aktif (-CH2-) diantara dua
gugus keton pada senyawa tersebut. Kurkumin mempunyai aroma yang khas dan
tidak bersifat toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman
dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari
(Rahayu, 2010).

Kurkumin atau diferuloimetana pertama kali diisolasi pada tahun 1815.


Kemudian tahun 1910, kurkumin didapatkan berbentuk kristal dan bisa dilarutkan
tahun 1913. Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan
aseton. Sedangkan menurut Kiso (1985) kurkumin merupakan senyawa yang
sedikit pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial dan alkali
hidroksida, serta tidak larut dalam air dan dietileter.

Sifat-sifat kurkumin adalah sebagai berikut (Wahyuni, 2004):


Berat molekul : 368.37 (C = 68,47 %; H = 5,47 %; O = 26,06 %)
Warna : Light yellow
Melting point : 183ºC
Kelarutan : Larut dalam alkohol dan asam asetat glasial, tidak larut dalam
air.

Rumus struktur dari kurkumin yaitu :


Penapisan fitokimia dilakukan menurut metode Cuiley (1984). Penapisan
fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen kimia pada tumbuhan tersebut
secara kualitatif. Misalnya: identifikasi tannin dilakukan dengan menambahkan 1-
2 ml besi (III) klorida pada sari alkohol. Terjadinya warna biru kehitaman
menunjukkan adanya tanin galat sedang warna hijau kehitaman menunjukkan
adanya tanin katekol (Praptiwi et al, 2005).

Hingga saat ini sudah banyak sekali jenis fitokimia yang ditemukan, saking
banyaknya senyawa fitokimia yang didapatkan maka dilakukan penggolongan
senyawa agar memudahkan dalam mempelajarinya. Adapun golongan senyawa
fitokimia dapat dibagi sebagai berikut:

(1) Alkaloid. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan.

(2) Flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang
terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Semua flavonoid, menurut
strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang mempunyai sejumlah
sifat yang sama. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai
bentuk struktur. Semuanya mengandung atom karbon dalam inti dasarnya yang
tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang
dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk
cincin ketiga.

(3) Kuinon. Senyawa dalam jaringan yang mengalami oksidasi dari bentuk kuinol
menjadi kuinon.
(4) Tanin dan Polifenol. Tanin adalah polifenol tanaman yang berfungsi mengikat
dan mengendapkan protein.. Polifenol alami merupakan metabolit sekunder
tanaman tertentu, termasuk dalam atau menyusun golongan tanin.

(5) Saponin. sSponin adalah suatu glikosida yang ada pada banyak macam
tanaman. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai
bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari
metabolisme tumbuh-tumbuhan.

(6) Triterpenoid. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal


dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis dirumuskan dari hidrokarbon
yang kebanyakan berupa alcohol, aldehida atau asam karbohidrat.

(7) Skrining senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid. Serbuk simplisia


digerus dengan eter, kemudian dipipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan dalam
cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap hingga kering. Kepada hasil
pengeringan filtrat ditambahkan larutan vanillin 10% dalam asam sulfat pekat.
Terjadinya warna-warna menunjukkan adanya senyawa mono dan seskuiterpenoid
(Nurhari, 2010).

II.2. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan tahapan awal untuk dapat mengisolasi kandungan zat


kimia dari simplisia tanaman obat. Untuk melakukan proses ekstraksi ini, terlebih
dahulu simplisia dikeringkan kemudian dirajang untuk memperluas permukaan
kontak dengan pelarut dalam ekstraksi. (Ansel,1989).

Ekstraksi tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika sejumlah
bahan padat atau cair dari tanaman obat, menggunakan pelarut. Pada dasarnya,
proses yang terjadi selama ekstraksi adalah tercapainya kesetimbangan
konsentrasi antara pelarut dan residu padatan simplisia. Selama proses ekstraksi,
terjadi 2 proses yang berlangsung secara pararel yaitu:

1. Pembilasan senyawa-senyawa terekstraksi keluar dari sel tanaman


2. Melarutnya senyawa-senyawa terekstraksi keuar dari sel tanaman melalui
proses difusi yang berlangsung dalam 3 tahapan yaitu:
1. Penetrasi pelarut ke dalam sel-sel tanaman dan pengembangan sel
tanaman
2. Proses disolusi/melarutnya senyawa yang tertarik
3. Difusi senyawa terlarut untuk keluar dari sel-sel tanaman

Metode Ekstraksi
Ada beberapa metode yang umum digunakan dalam pengerjaan isolasi
bahan alam. Berdasarkan energi yang digunakan dapat disebutkan antara lain
ekstraksi dengan cara dingin dan panas (Ansel,1989).
1. Cara dingin
a. Maserasi: bahan yang mengadung musilago dan mengembang kuat
b. Perkolasi: kulit batang dan akar sebaiknya diperkolasi
2. Cara panas
a. Refluks: untuk mengisolasi senyawa tahan panas
b. Soxhlet: untuk simplisia yang mudah rusak karena panas.

Berikut penjelasan dari metode tersebut, yaitu :


A. Ekstraksi Dengan Metode Maserasi
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Istilah maceration
berasal dari bahasa latin macere, yang artinya “merendam”. Jadi maserasi dapat
diartikan sebagai proses dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk
direndam dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel,
sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989).

Maserasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan
nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau
setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan
aturan dalam buku resmi kefarmasian (Anonim,1986).
Prinsip Kerja Metode Maserasi
Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada
temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk ke dalam sel dari
tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama
proses maserasi (biasanya berkisar 2-14 hari) dilakukan pengadukan/pengocokkan
dan penggantian pelarut setiap hari. Pengocokkan memungkinkan pelarut segar
mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan simplisia yang sudah halus.
Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Ansel, 1989).
Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15º - 20º C dalam waktu
selama 3 hari sampai bahan-bahan yang larut, melarut (Ansel, 1989).
Pada umumnya maserasi dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan
derajat kehalusan yang cocok, dimasukkan kedalam bejana kemudian dituangi
dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari diserkai, ampas diperas.
Pada ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya, diaduk dan diserkai
sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan
ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari kemudian endapan
dipisahkan.
Gambar Alat Maserasi

Pelarut yang Digunakan dalam Metode Maserasi

Ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan bahan dalam tumbuhan.


Senyawa/kandungan dalam tumbuhan memiliki kelarutan yang berbeda-beda
dalam pelarut yang berbeda. Pelarut-pelarut yang biasa digunakan antara lain
kloroform, eter, alkohol, methanol, etanol, dan etilasetat. Ekstraksi iasanya
dilakukan secara bertahap dimulai dengan pelarut yang nonpolar (kloroform atau
n-heksana), semipolar (etilasetat atau dietil eter), dan pelarut polar (methanol atau
etanol) (Harbone, 1996).
Pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi harus memenuhi dua syarat,
yaitu pelarut tersebut harus merupakan pelarut yang terbaik untuk bahan yang
diekstraksi dan pelarut tersebut harus terpisah dengan cepat setelah pengocokkan.
Cairan penyari yang biasa digunakan dalam metode maserasi dapat berupa
air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka
untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang
diberikan pada awal penyarian (Depkes RI, 1980).

Keuntungan Maserasi
Keuntungan maserasi diantaranya adalah sebagai berikut :
 Unit alat yang digunakan sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam.
 Biaya operasionalnya relatif rendah
 Prosesnya relatif hemat penyari
 Proses maserasi ini menguntungkan dalam isolasi bahan alam karena
selama proses perendaman sampel akan terjadi proses pemecahan dinding
dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar
selnya sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut organik dan senyawa akan terekstraksi sempurna
karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan.
KekuranganMaserasi
Kekurangan maserasi diantaranya adalah sebagai berikut :
 Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu
terekstraksi sebesar 50% saja.
 Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari.

A. Ekstraksi Dengan Metode Perkolasi


Mekanisme kerjanya sebagai berikut, yaitu: serbuk simplisia ditempatkan
dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan
penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak
kebawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan diatasnya,
dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Kekuatan yang
berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan
permukaan, difusi, osmosa,adesi, daya kapiler dan daya geseran (Harbone, 1996).

Proses perkolasi:

 Pengembangan bahan
 Tahap maserasi antara
 Tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak)

Keuntungan:
 Tidak terjadi kejenuhan
 Pengaliran meningkatkan difusi (dengan dialiri cairan penyari sehingga zat
seperti terdorong untuk keluar dari sel)

Kerugian:

 Cairan penyari lebih banyak


 Resiko cemaran mikroba u/ penyari air karena dilakukan secara terbuka.

B. Ekstraksi Dengan Metode Soxhletasi

Ket: Gambar alat Soxhlet

Ekstraktor soxhlet adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk


mengekstrak suatu senyawa. Dan umumnya metode yang digunakan dalam
instrumen ini adalah untuk mengekstrak senyawa yang kelarutannya terbatas
dalam suatu pelarut namun jika suatu senyawa mempunyai kelarutan yang tinggi
dalam suatu pelarut tertentu, maka biasanya metode filtrasi
(penyaringan/pemisahan) biasa dapat digunakan untuk memisahkan senyawa
tersebut dari suatu sampel. Adapun demikian, prinsip kerja dari ekstraktor soxhlet
adalah salah satu model ekstraksi (pemisahan/pengambilan) yang menggunakan
pelarut selalu baru dalam mengekstraknya sehingga terjadi ektraksi yang kontinyu
dengan adanya jumlah pelarut konstan yang juga dibantu dengan pendingin balik
(kondensor) (Kusumardiyani,1992).
Untuk cara kerjanya, hal yang pertama yang harus dilakukan yaitu dengan
menghaluskan sampel (untuk mempercepat proses ekstraksi, karena luas
permukaannya lebih besar, jadi laju reaksi libih cepat berjalan) kemudian
sampelnya dibungkus dengan kertas saring (agar sampelnya tidak ikut kedalam
labu alas bulat ketika diekstraksi). Setelah itu dimasukkan batu didih (untuk
meratakan pemanasan agar tidak terjadi peledakan) ke dalam labu alas bulat.
Kemudian kertas saring dan sampel dimasukkan kedalam timbal, dan timbalnya
dimasukkan kedalam lubang ekstraktor. Setelah itu, pelarut dituangkan kedalam
timbal dan disana akan langsung menuju ke labu alas bulat. Kemudian dilakukan
pemanasan pada pelarut dengan acuan pada titik didihnya (agar pelarut bisa
menguap), uapnya akan menguap melalui pipa F dan akan menabrak dinding-
dinding kondensor hingga akan terjadi proses kondensasi (pengembunan), dengan
kata lain terjadi perubahan fasa dari fasa gas ke fasa cair. Kemudian pelarut akan
bercampur dengan sampel dan mengekstrak (memisahkan/mengambil) senyawa
yang kita inginkan dari suatu sampel. Setelah itu maka pelarutnya akan memenuhi
sifon, dan ketika pada sifon penuh kemudian akan dislurkan kembali kepada labu
alas bulat. Proses ini dinamakan 1 siklus, semakin banyak jumlah siklus maka bisa
di asumsikan bahwa senyawa yang larut dalam pelarut juga akan semakin
maksimal (Kusumardiyani,1992).

Keuntungan metode ini adalah:


1. Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan
terhadap pemanasan secara langsung.
2. Digunakan pelarut yang lebih sedikit
3. Pemanasannya dapat diatur

Kerugian dari metode ini:


1. Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di
sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan
reaksi peruraian oleh panas.
2. Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui
kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam
wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk
melarutkannya.
3. Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk
menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti
metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah kondensor
perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang
efektif.

C. Ekstraksi Dengan Metode Refluks

Ket: Gambar alat Refluks

Ekstraksi refluks digunakan untuk mengektraksi bahan-bahan yang tahan


terhadap pemanasan. Prinsipnya yaitu penarikan komponen kimia yang dilakukan
dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan
cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali
menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas
bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai
penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4
jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan. Keuntungannya
digunakan untuk mengekstraksi sampel–sampel yang memiliki tekstur kasar.
Kerugiannya yaitu butuh volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi
operator (Voight, 1995).
II.3. PEMANTAUAN EKSTRAK

Pemantauan ekstrak dilakukan untuk mengetahui komponen yang ada di


dalam ekstrak. Pemantauan komponen ekstrak dilakukan dengan metode
kromatografi lapis tipis (KLT) dan atau kromatografi kertas. Metode kromatografi
adalah cara pemisahan dua atau lebih senyawa atau ion berdasarkan pada
perbedaan migrasi dan distribusi senyawa atau ion-ion tersebut di dalam dua fasa
yang berbeda. Dua fasa ini bisa berwujud padat-cair, cair-cair, atau gas-cair. Zat
terlarut di dalam suatu fasa gerak mengaliri pada suatu fasa diam. Zat tertarut
yang memiliki afinitas terhadap fasa gerak yang lebih besar akan tertahan lebih
lama pada fasa gerak, sedangkan zat terlarut yang afinitasnya terhadap fasa gerak
lebih kecil akan tertahan lebih lama pada fasa diam. Dengan demikian senyawa-
senyawa dapat dipisahkan komponen demi komponen akibat perbedaan migrasi di
dalam fasa gerak dan fasa diam.

Dalam semua metode kromatografi terdapat fasa gerak dan fasa diam. Fasa
diam adalah fasa yang tidak bergerak, sedangkan fasa gerak adalah fasa yang
bergerak melalui fasa diam dan membawa komponen-komponen senyawa yang
akan dipisahkan. Pada posisi yang berbeda-beda, senyawa-senyawa yang berbeda
akan tertahan dan terabsorbsi pada fasa diam, dan kemudian satu demi satu
senyawa-senyawa ini akan terbawa kembali oleh fasa gerak yang melaluinya.
Dalam kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis, fasa gerak adalah pelarut
yang sesuai. Fasa diam pada kromatografi kertas adalah kertas yang menyerap
pelarut polar, sedangkan fasa diam pada kromatografi lapis tipis adalah pelat yang
dilapisi adsorben tertentu. Kedua jenis kromatografi ini menggunakan aksi
kapilaritas untuk menggerakkan pelarut melalui fasa diam.

Keakuratan hasil pemisahan dengan metode kromatografi bergantung pada


beberapa faktor berikut:

1. Pemilihan adsorben sebagai fasa diam


2. Kepolaran pelarut atau pemilihan pelarut yang sesuai sebagai fasa gerak
3. Ukuran kolom (panjang dan diameter) relatif terhadap jumlah material
yang akan dipisahkan.
4. Laju elusi atau aliran fasa gerak.

Dengan pemilihan kondisi yang sesuai, hampir semua komponen dalam


campuran dapat dipisahkan. Dua pemilihan mendasar untuk pemisahan secara
kromatografi adalah pemilihan jenis adsorben dan sistem pelarut. Pada umumnya,
senyawa non polar melewati penyangga lebih cepat dari pada senyawa polar,
karena senyawa non polar memiliki afinitas lebih kecil terhadap adsorben. Jika
adsorben yang dipilih mengikat semua molekul yang terlarut (baik polar maupun
non polar) dengan kuat, maka senyawa-senyawa tersebut tidak akan terangkat dari
penyangga. Sebaliknya, jika pelarut yang dipilih terlalu polar, semua zat terLarut
(polar maupun non polar) akan dengan mudah keluar dari penyangga, tanpa
adanya pemisahan. Adsorben dan pelarut sebaiknya dipilih sedemikian rupa
sehingga kompetisi molekul-molekul terlarut di antara kedua fasa terjadi dalam
kesetimbangan. Koefisien partisi, k, yang mirip dengan koefisien distribusi untuk
ekstraksi, merupakan tetapan kesetimbangan untuk distribusi molekul-molekuk
atau ion terlarut di antara fasa gerak dan fasa diam. Kesetimbangan ini lah yang
dapat memisahkan komponen-komponen dalam campurannya.

Fasa Diam

Silika gel, fasa diam yang paling umum digunakan sebagai fasa diam,
memiliki rumus empiris SiO2. Tetapi, pada permukaan partikel silika gel, terdapat
atom-atom oksigen yang terikat pada proton. Adanya gugus hidroksil ini
mengakibatkan permukaan silika gel sangat polar, sehingga analit organik yang
memiliki gugus fungsi polar akan tenkat dengan kuat pada permukaan partikel
silika gel dan senyawa yang non polar hanya berinteraksi lemah dengan silika gel.
Molekul yang memiliki gugus fungsi polar dapat terikat pada silika gel dalam dua
cara: melalui ikatan hidrogen dan metalui interaksi dipol-dipol. Pada gambar 1
diperlihatkan model interaksi analit senyawa oraganik dengan silika gel.
Fasa Gerak

Pada kromatografi yang menggunakan silika gel sebagai fasa diam, fasa
gerak yang digunakan adalah suatu pelarut organik atau campuran beberapa
pelarut organik. Ketika fasa gerak melalui permukaan silika gel, fasa gerak ini
membawa analit organik melalui partikel-partikel pada fasa diam. Tetapi, molekul
analit hanya bebas bergerak oleh adanya pelarut apabila molekul tersebut tidak
terikat pada permukaan silika gel.

Semua jenis kromatografi melibatkan proses kesetimbangan molekul-


molekul yang dinamis dan cepat diantara 2 fasa (diam dan gerak). Kesetimbangan
di antara kedua fasa tersebut bergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Kepolaran dan ukuran molekul yang akan dipisahkan
2. Kepolaran fasa diam
3. Kepolaran fasa gerak
Kepolaran molekul ditentukan oleh strukturnya. Dengan pemilihan fasa
gerak dan fasa diam, seseorang dapat mengubah kesetimbangan di antara kedua
fasa, dimana molekul-molekul yang akan dipisahkan berada dalam kesetimbangan
distribusi di antara kedua fasa ini (Gambar 3). Pada Gambar 4, molekul A
terabsorbsi lemah pada fasa diam, maka kesetimbangannya pada arah konsentrasi
yang lebih tinggi di dalam fasa gerak. Molekul B, sebaliknya, terabsorbsi kuat
pada fasa diam, sehingga konsentrasinya lebih tinggi pada fasa diam.
Berdasarkan gambar di atas kita dapat memilih fasa diam yang sesuai
dengan pemisahan yang diinginkan. Semakin polar senyawa yang akan
dipisahkan, maka jika digunakan fasa diam yang polar seperti silika gel, senyawa
tersebut akan terikat kuat pada fasa diam dan akan terpisah pada urutan terakhir.

Pada Gambar 8 terdapat daftar urutan golongan gugus fungsi senyawa


yang akan keluar lebih dulu dari fasa diam silika gel dan alumina yang polar.
Karakter elektropositif yang dimiliki alumunium atau silika dan karakter
elektronegatif oksigen menyebabkan silika dan alumina merupakan fasa diam
yang sangat polar. Oleh karena itu, semakin polar molekul yang akan dipisahkan,
semakin kuat interaksinya dengan fasa diam, akibatnya molekul tersebut akan
tertahan lebih lama dalam fasa diam. Sebaliknya, molekul non polar yang
afinitasnya lebih kecil terhadap fasa diam akan cenderung berada dalam fasa
gerak lebih lama dan akan terelusi lebih dahulu.
Pada Gambar 9 terdapat daftar urutan kepolaran pelarut yang biasa
digunakan dalam kromatografi. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa
kepolaran fasa gerak dapat mempengaruhi proses pemisahan, sehingga informasi
pada gambar 9 cukup membantu pemilihan fasa gerak yang sesuai untuk
pemisahan yang diinginkan.
Secara umum, jika pada kromatografi digunakan fasa diam yang polar,
pertama kali pilihan pelarut yang non polar sebagai fasa gerak untuk mengelusi
komponen dalam campuran. Selanjutnya, lakukan proses elusi dengan
penggantian fasa gerak dengan pelarut yang semakin lebih polar, sampai akhirnya
semua komponen terpisah dan keluar dari fasa diam.

II.4. FRAKSINASI

Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom,


perbedaan kemampuan adsorpsi terhadap zat-zat yang sangat mirip
mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut
kromatogram (Khopkar, 2008)

1. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang di dasarkan pada
pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu senyawa, baik
pengotornya maupun hasil isolasinya. Sebelumnya dilakukan percobaan tarhadap
kromatografi lapis tipis sebagai pencari kondisi eluen. Misalnya apsolsi yang
cocok dengan pelarut yang baik sehingga antara pengotor dan hasil isolasinya
terpisah secara sempurna (Sudjadi, 1986).
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan
berupa pita pada bagian atas kolom, penjerap yang berada dalam tabung kaca,
tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase gerak0, dibiarkan mengalir
melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau di dorong
dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang
berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom
(Sudjadi, 1986).
Kromatografi kolom dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya
rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi dan siap di pakai.
Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian
atas kolom atau pada lapisan prapenjerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam
kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut
yang cocok, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulam fraksi
(Sudjadi, 1986).
Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik bumi
(gravitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang
dilengkapi dengan kran. Ukuran keseluruhan kolom beragam, tetapi biasanya
panjangnya sekurang-kurangnya 10 kali garis tengah dalamnya dan mungkin juga
sampai 100 kalinya. Nisbah panjang terhadap lebar sebagian besar ditentukan oleh
mudah sukarnya pemisahan, nisbah lebih besar untuk pemisahan yang lebih sukar.
Ukuran kolom dan banyaknya penjerap ditentukan oleh bobot campuran linarut
yang akan dipisahkan. Sifat, derajat, atau tingkat keaktifan penjerap, dan ukuran
partikelnya betul-betul penting dalam pengembangan sistem kromatografi.
Ukuran penjerap biasanya lebih besar daripada untuk KLT. Kemasan kolom
biasanya 63-250 mikro meter untuk kolom yang dijalankan oleh gaya gravitasi
(Sudjadi, 1986).
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang masih
banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-
senyawa dalam jumlah yang banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasan
adsorben yang sering digunakan adalah silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan
Diaion.
Cara pembuatannya ada dua macam (Sudjadi, 1986):
1. Cara kering
Cara kering yaitu dengan cara silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang
telah diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
2. Cara basah
Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan
pengelusi yang akan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom melalui
dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk semua, sambil
kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika gel memapat, setelah silika gel
memapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben kemudian kran ditutup
dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu dilarutkan dalam eluen sampai
diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke
dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua,
dan kran dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan.
Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi.
Kolom dapat dibuat dari berbagai jenis material, seperti stainless steel,
aluminium, tembaga, gelas dan paduan silika. Sebagian besar sistem kolom
modern terbuat dari gelas atau paduan silika. Kolom konvensional dibuat dari
material pendukung yang dilapisi fase diam dari berbagai pembebanan yang
dikemas di dalam kolom. Kolom kapiler terdiri dari tabung kapiler panjang yang
didalamnya dilapisi dengan fase diam (fase diam dapat juga direkatkan langsung
pada permukaan silika). Sebagian besar kolom kapiler terbuat dari paduan silika
yang dilapisi polimer di bagian luarnya. Paduan silika sangat mudah pecah
sedangkan lapisan polimer tersebut bertindak sebagai pelindungnya (Agoes,
2007).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya
serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam
sedikit pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir
kedalam zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat
sehingga turun lebih lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan
turun lebih cepat. Zat yang di serap dari larutan secara sempurna oleh bahan
penyerap berupa pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa
tekanan udara masin-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus
sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Agoes, 2007).
2. Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi Suction Column and Vacuum liquid chromatography (VLC)
atau kromatografi cair vakum (KCV) adalah bentuk kromatografi kolom yang
khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak.
Kondisi vakuma adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas
ke bawah. Metode ini sering digunakan untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak
non-polar atau ekstrak semipolar (Gritter, 1991).
Suction coloumn merupakan alat kromatografi yang merupakan modifikasi
kromatografi kolom serapan. Prinsip pemisahannya sama dengan kromatografi
kolom serapan. Bedanya terletak pada adanya isapan pompa vakum di bagian
bawah kolom ini. Alat ini dirancang mengingat pada kromatografi kolom serapan
yang pengerjaannya memakan waktu yang cukup lama. Prinsip pemisahan
komponen kimia berdasarkan adsorpsi dan partisi serta dipercepat dengan isapan
pompa vakum. Seperti halnya kromatografi kolom serapan, senyawa yang akan
dipisahkan dilarutkan dengan pelarut yang cocok kemudian dimasukkan dalam
kolom isap, selanjutnya ditambahkan eluen, eluen yang mengalir turun yang
disebabkan oleh isapan pompa vakum. Hasil pemisahan ditampung dalam setiap
fraksi. Volume penampungan 25 ml/fraksi dan untuk berat sampel q 10 - 30 gram
volume penampungan 50 ml/fraksi. Adsorben yang digunakan sedikit lebih
berbeda yaitu 35 gram silica gel 7733 dan 10 gram silika gel 7731 (Gritter, 1991).
Manfaat dari kromatografi ini yaitu menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak
tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi. Dalam hal ini kita harus
memantau cara ekstraksi dan pemisahan pada setiap tahap, yaitu untuk melacak
senyawa aktif tersebut sewaktu dimurnihkan. Kadang-kadang keaktifan hilang
selama proses fraksinasi akibat ketidakmantapan senyawa itu, dan akhirnya
mungkin saja diperoleh senyawa berupa kristal tetapi keaktifan seperti yang
ditunjukkan oleh ekstrak asal (Harborne, 1987).
Fasa diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan dalam
KCV. Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi menjadi dua macam, yaitu
(Harborne, 1987):
 Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan melarutkan fasa
diam dalam fase gerak yang akan digunakan. Campuran kemudian dimasukkan ke
dalam kolom dan dibuat merata. Fase gerak dibiarkan mengalir hingga terbentuk
lapisan fase diam yang tetap dan rata, kemudian aliran dihentikan.
 Cara kering
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara memasukkan
fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi. Fase diam tersebut
selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan digunakan.
Kromatografi Vakum Cair mempunyai keuntungan yang utama
dibandingkan dengan kolom konvensional yaitu (Gritter, 1991):
1. Konsumsi fase gerak KCV hanya 80% atau lebih kecil disbanding dengan
kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase gerak lebih
lambat (10-100μl/menit).
2. Adanya aliran fase gerak lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal
jika digabung dengan spectrometer massa.
3. Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih pekat karenanya
jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel klinis.

Kerugian KCV (Kromatografi Cair Vakum) yaitu:

1. Membutuhkan waktu yang cukup lama.

2. Sampel yang dapat digunakan terbatas.

Kromatografi cair vakum dapat digunakan untuk fraksinasi dan memurnikan


fraksi. Metode KCV digunakan karena lebih efektif dan efisien dalam pemisahan
dibandingkan kromatografi kolom gravitasi. Kromatograficair vakum (KCV)
pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuwan dariAustralia untuk mengatasi
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk separasimenggunakan kolom kromatografi
klasik. Pada dasarnya metode ini adalahkromatografi lapis tipis preparatif yang
berbentuk kolom. Aliran fase gerak dalam metode ini diaktifkan dengan bantuan
kondisi vakum. Kromatograficair vakum pada awalnya digunakan untuk separasi
senyawaan steroid dan produk-produk natural dari laut. Kromatografi cair vakum
terdiri dari suatu corong Buchner yang memiliki kaca masir. Corong Buchner ini
diiisi dengan fase diam yang tingkat kehalusannya seperti yang umumnya dipakai
dalam kromatografi lapis tipis (70-230 mesh).

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan dengan bantuan pelarut atau dapat pula dikatakan
ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu
campuran homogeny menggunakan pelarut cair sebagai separating gen,
pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponene-
komponen dalam campuran. Ekstraksi pelarut cair-cair merupakan satu komponen
bahan atau lebih dari suatu campuran yang dipisahkan dengan bantuan pelarut,
ektraksi cair-cair tidak dapat digunakan apabila pemisahan campuran dengan cara
destilasi karena kepekaannya terhadap panas atau tidak ekonomis. Seperti pada
ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari pencampuran secara
intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair sempurna
(Gillis, 2001).

Ekstraksi memanfaatkan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut


yang tidak dapat bercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu
pelarut ke pelarut lain. Misalnya idion sebagai pencemar dalam air yang juga
mengandung zat terlarut lain yang tidak larut dalam karbon tetraklorida. dalam
kasus seperti ini, hampir semua iodion dapat diambil dengan mengaduk larutan air
dengan tetraklorida yang memungkinkan kedua fasa terpisah kemudian
mengurangi lapisan air dari lapisan karbon tetraklorida yang lebih besar. Makin
besar tetapan keseimbangan untuk partisi zat terlarut dari pelarut awalnya dalam
pelarut pemisah maka makin sempurna proses pemisahannya (Gillis, 2001, hal:
340).
Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak
meninggalkan pelarut yang pertarna sebagai media pembawa dan masuk ke dalam
pelarut kedua sebagai media ekstraksi. Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan
ekstraksi dan pelarut tidak. saling melarut atau hanya dalam daerah yang sempit.
Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang
besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di
antara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi
tetes-tetes kecil. Tentu saja pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh, karena
akan menyebabkan terbentuknya emulsi yang tidak dapat lagi atau sukar
sekali dipisah. Yang penting perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada
bidang batas tetap ada. Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan sedapat
mungkin segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat pemisahan, cairan yang
telah terdistribusi menjadi tetes-tetes harus menyatu kembali menjadi sebuah fasa
homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat
dipisahkan dari cairan yang lain. Kecepatan pembentukan fasa homogen ikut
menentukan keluaran sebuah ekstraktor cair-cair.
Dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh
distribusi sampel antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan membatasi
kemampuan pencampuran. Jika suatu zat terlarut dikocok dalam sistem 2 pelarut
yang tidak bercampur (melarutkan) maka zat terlarut akan terdistribusi di antara
kedua fase dan jika kesetimbangan tercapai, maka koefisien partisinya (Kd)
(Khopkar, 2003).

Kd = (konsentrasi zat terlarut pada pelarut A)


(konsentrasi zat terlarut pada pelarut B)

II.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Teknik pemisahan dan pemurnian adalah mekanisme suatu senyawa dengan


senyawa lain dalam rangka untuk menghasilkan senyawa murni. Isolat murni
dilakukan dari ECC maupun kolom. Dan biasanya didasarkan pada sifat
karakteristik senyawa yang dipisahkan. (R. J bannec 1972)
Campuran dapat dipisahkan dengan menggunakan berbagai macam metode.
Metode-metode tersebut, yaitu pengayakan, penyaringan, sentrifugasi, evaporasi,
pemisahan campuran dengan menggunakan magnet, sublimasi, destilasi, filtrasi,
kristalisasi dan kromatografi preparatif.
Metode dekantir digunakan untuk memisahkan campuran yang
penyusunnya berupa cairan dan padatan. Dalam hal ini, ukuran padatan cukup
besar sehingga mengendap di bagian bawah cairan. Dekantir dilakukan dengan
menuang cairan ke wadah lain secara hati-hati supaya padatan terpisah dari
campuran. Untuk mempermudah proses dekantir, dapat digunakan pengaduk pada
saat menuang cairan. Dengan demikian, cairan tidak mengalir keluar wadah dan
dapat terpisah dari padatan dengan baik. Namun, metode ini tidak dapat
memisahkan cairan dan padatan secara sempurna. Hal ini disebabkan kadang-
kadang masih ada cairan yang tersisa dalam wadah semula. Bisa juga terjadi,
sebagian padatan ikut masuk ke dalam wadah baru (Sudjadi, 1988).
Seperti halnya dekantir, proses penyaringan juga digunakan untuk
memisahkan campuran yang zat penyusunnya cairan dan padatan. Bedanya,
ukuran padatan cukup kecil sehingga tidak mengendap di dasar cairan, tetapi
tersebar pada cairan. Jika campuran jenis ini dipisahkan dengan dekantir, maka
padatan dan cairan tidak terpisah dengan baik. Untuk itu dilakukan penyaringan.
Penyaringan dilakukan dengan menuang campuran ke atas kertas saring dari
sebuah corong gelas. Kertas saring akan menahan padatan yang lebih besar dari
pada ukuran lubang saring. Padatan yang tertinggal pada kertas saring ini disebut
residu. Sementara zat dengan ukuran partikel lebih kecil dari ukuran lubang saring
akan lolos melalui kertas saring. Zat yang dapat melewati kertas saring ini disebut
filtrat (R. J bannec 1972).
Penguapan dan kristalisasi merupakan metode pemisahan campuran
berdasarkan titik didihnya. Titik didih setiap zat berbeda satu dengan yang lain.
Adanya perbedaan titik didih tersebut dapat dimanfaatkan untuk memisahkan
campuran dengan cara penguapan, maksudnya dua zat berbeda titik didihnya
dapat dispisahkan dengan cara penguapan (R. J bannec 1972).
Destilasi sederhana atau destilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia untuk
memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang
jauh. Suatu campuran dapat dispisahkan dengan destilasi biasa ini untuk
memperoleh senyawa murninya. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam
campuran akan menguap pada saat mencapai titik didih masing-masing.
Pemisahan senyawa dengan destilasi bergantung pada perbedaan tekanan uap
senyawa dalam campuran (Rahayu, 2011: 168-169).
Rekristalisasi adalah proses pertumbuhan kristal-kristal baru dari kristal-
kristal sebelumnya yang telah mengalami deformasi. Proses rekristalisasi
membutuhkan pergerakkan dan penyusunan kembali atom-atom. Penyusunan
kembali untuk rekristalisasi ini lebih mudah terjadi pada suhu tinggi.
Sublimasi proses pemurnian suatu zat dengan jalan memanaskan campuran
dan ditutup bagian atasnya ditutup dan diberi es batu. Sehingga menghasilkan
sublimat (perubahan wujud dari gas ke padat).
Sentrifugasi untuk memisahkan campuran berupa suspense dalam jumlah
kecil. Prinsipnya adalah memisahkan suatu campuran endapan dengan larutan
dimana partikel yang tersuspensi dalam larutan akan mengendap didasar tabung
dan terpisah (Ghisal Berti, E, L, 2008)
Filtrasi adalah teknik pemisahan yang berdasarkan pada perbedaan partikel
padat yang dinamakan residu dan cairannya dinamakan filtrate. (Keenan, 1984).
Kromatografi preparatif merupakan metode pemisahan yang didasarkan
pada perbedaan jarak retensi antara senyawa satu dengan senyawa lain terhadap
fase diam dimana senyawa satu dengan senyawa lainnya sebelumnya terlarut
dalam fase gerak.
Senyawa murni merupakan tujuan akhir dari sebuah proses isolasi bahan
alam. Isolat murni adalah isolat yang hanya mengandung satu senyawa tanpa
adanya gangguan senyawa lain.
Metode yang digunakan untuk menguji tingkat kemurnian suatu isolat,
sebagai berikut :
 Penetapan rentang titik lebur
Dimana suatu senyawa murni memiliki rentang titik lebur yang pendek.
 KLT satu dimensi
Berdasarkan pada sifat kepolaran suatu senyawa dalam isolat tersebut.
Pada KLT ini dimana diuji dengan menggunakan eluen yang bersifat non-polar,
kemudian semipolar dan yang terakhir bersifat polar. Dimana hasil akhir isolat
akan memberikan satu bercak dari hasil semua pengenmbangan pada semua eluen.
 KLT dua dimensi
Merupakan uji kemurnian berdasarkan pada perbedaan kepolaran dan arah
yang berbeda setiap eluen yang berbeda.

III. Alat dan Bahan :

III.1. Skrining Fitokimia

Alat yang diperlukan :

Mortir, tabung reaksi, kertas saring, penangas air, gelas kimia, penjepit tabung,
batang pengaduk, spatel, gelas ukur, dan cawan penguap.

Bahan yang diperlukan :

Amoniak 25 %, CHCl3, HCl 10 %, Pereaksi Dragendroff, Pereaksi Mayer,


Pereaksi Steasny, Peraksi Lieberman-Burchard, HgCl P 2,266 %, KI P 50 %,
Aquadest, Bismut Nitrat P 40 %, Asam Nitrat P, FECl3, Serbuk Mg, HCl P, NaOH
1 N, Gelatin 1 %, Na-Asetat, Eter, Vanilin 10 %, Asam Asetat Anhidrat, dan
Kloroform.

III.2. Ekstraksi

Alat yang diperlukan :

Alat Maserasi, vacuum rotary evaporator, neraca analitik, water bath, cawan
porselen, beaker glass 1000 mL, gelas ukur 500 mL, dan batang pengaduk.

Bahan yang diperlukan :

Rimpang kunyit, dan etanol 96%.

III.3. Pemantauan Ekstrak

Alat yang diperlukan :


Chamber, kaca arloji, pipa kapiler, kertas saring, plat KLT silica gel GF254, sinar
UV dengan 254 nm dan 352 nm, oven, gelas ukur, beaker glass.

Bahan yang diperlukan :

Etanol 96%, kloroform, etil asetat, ekstrak kental rimpang kunyit, fraksi n-heksan,
fraksi etil asetat, fraksi air.

III.4. Fraksinasi

Alat yang diperlukan :

Corong pisah, batang pengaduk, beaker glass, penangas air, pipet tetes, pipet
volume, fihler, klem, statif, corong gelas, kaca arloji, plat KLT, chamber, pipa
kapiler, alat spektrofotometri uv vis 254 nm, botol vial, oven, gelas ukur, dan
alumunium foil.

Bahan yang diperlukan :

Ekstrak kental kunyit, eluen, aquades, etanol, dan silica gel.

III.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Alat yang diperlukan :

Beaker glass, batang pengaduk, gelas ukur 10 mL, gelas ukur 100 mL, pipet

tetes, chamber, lampu UV 254 dan 352 nm, pipa kapiler, kaca arloji, vial,

spektrofotometer dan oven.

Bahan yang diperlukan :

Fraksi 7 yang telah diencerkan, eluen (kloroform:etil asetat = 9:1,5), plat KLT

preparatif, plat KLT analitik, alumunium foil, dan kertas perkamen.

IV. Prosedur :

IV.1. Skrining Fitokimia


A. Alkaloid

Simplisia dimasukkan kedalam mortir bersih, ditambahkan 5 mL amoniak


25%, kemudian digerus. Ditambahkan kedalam campuran tersebut 20 mL CHCl3
dan digerus kembali dengan kuat, disaring, dan diambil filtratnya (larutan 1).
Sebagian larutan A, dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan asam
klorida 10% v/v, dan terbentuk 2 fase. Fase air yang terbentuk dipisahkan (larutan
2). Larutan 1 diteteskan pada kertas saring, lalu disemprot dengan pereaksi
Dragendorff. Terbentuknya warna merah atau jingga pada kertas saring
menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid. Larutan 2 dibagi menjadi 2
bagian didalam tabung reaksi, tabung pertama ditambahkan pereaksi Dragendorff,
dan tabung kedua ditambahkan pereaksi Mayer. Terbentuknya endapan merah
bata dengan pereaksi Dragendorff atau endapan putih dengan pereaksi Mayer
menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid. Pengujian tersebut
dibandingkan terhadap blanko.

Pembuatan pereaksi Mayer:

Campuran 60 mL larutan Raksa Klorida P 2,266% b/v dan 10 mL larutan Kalium


Yodida P 50% b/v, ditambahkan air secukupnya hingga 100 mL.

Pembuatan pereaksi Dragendorff:

Campur 20 mL larutan Bismut nitrat P 40% b/v dalam Asam Nitrat P dengan 50
mL larutan kalium Yodida P 54,4% b/v, diamkan sampai memisah sempurna.
Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air secukupnya.

B. Senyawa Polifenolat

Simplisia atau bahan uji ditempatkan pada tabung reaksi lalu ditambahkan
air secukupnya. Lalu dipanaskan diatas penangas air dan disaring. Kedalam filtrat
ditambahkan larutan pereaksi besi (III) klorida dan timbulnya warna hijau atau
biru-hijau, merah ungu, biru-hitam hingga hitam menandakan positif fenolat atau
timbul endapan coklat menandakan adanya polifenolat. Dibandingkan terhadap
filtrat awal sebagai blanko.
C. Flavonoid

1 gram simplisia ditempatkan dalam gelas kimia, kemudian ditambahkan


100 mL air panas dan dididihkan selama 10 menit. Campuran disaring, filtrat
ditampung sebagai larutan A (yang nantinya akan digunakan untuk pemeriksaan
golongan senyawa flavonoid, saponin, dan kuinon). Sebanyak 5 mL larutan A
dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan serbuk Mg dan 1 mL
HCl pekat. Kepada campuran tersebut ditambahkan amilalkohol. Dikocok dengan
kuat, dibiarkan sampai terjadi pemisahan. Terbentuknya warna dalam lapisan
ammilalkohol menunjukkan adanya goolonngan senyawa flavonoid.
Dibandingkan terhadap filtrat awal sebagai blanko.

D. Saponin

Sebanyak 5 mL larutan A dimasukkan kedalam tabung reaksi, dikocok


secara vertikal selama 10 detik. Dibiarkan selama 10 menit. Terbentuknya busa 1
cm yang stabil didalam tabung reaksi menunjukkan adanya golongan senyawa
saponin dan busa tersebut masih bertahan (tidak hilang) setelah ditambahkan
beberapa tetes asam klorida.

E. Kuinon

Sebanyak 5 mL larutan A dimasukkan kedalam tabung reaksi. Ditambahkan


beberapa tetes larutan NaOH 1 N. Terbentuknya warna kuning hingga merah
menunjukkan adanya golongan senyawa kuinon. Dibandingkan terhadap filtrat
awal sebagai blanko.

F. Tanin

Sebanyak 1 gram simplisia ditambahkan 100 mL air panas, kemudian


dididihkan selama 15 menit. Campuran didinginkan, kemudian disaring dan filtrat
dibagi menjadi 3 bagian dalam tabung reaksi yang berbeda. Kedalam filtrat
pertama, ditambahkan larutan besi(III)klorida 1%. Terbentuknya warna biru tua
atau hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa golongan tanin. Kedalam
filtrat kedua, ditambahkan larutan gelatin 1%. Terbentuknya endapan putih
menunjukkan adanya senyawa golongan tanin. Kedalam filtrat ketiga,
ditambahkan 15 mL pereaksi Steasny, lalu dipanaskan diatas penangas.
Terbentuknya endapan merah muda menunjukkan adanya tanin katekat. Hasil uji
dari filtrat ketiga tadi disaring. Filtrat dijenuhkan dengan penambahan natrium
asetat, kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan besi(III)klorida 1%.
Terbentuknya warna biru tinta menunjukkan adanya tanin galat.

Pembuatan pereaksi Steasny:

2 bagian formaldehid 30% dicampurkan dengan 1 bagian HCl pekat.

G. Monoterpena dan Seskuiterpena

Simplisia atau bahan uji digerus dengan eter lalu disaring. Filtrat ditempatkan
dalam cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering. Ditambahkan
larutan vanilin 10% dalam HCl pekat. Timbulnya warna-warna menandakan
positif senyawa mono dan seskuiterpen.

H. Triterpenoid dan Steroid

Simplisia atau bahan uji digerus dengan eter lalu disaring. Filtrat
ditempatkan dalam cawan penguap dan dibiarkan menguap sampai kering.
Ditambahkan larutan pereaksi Lieberman-Burchard. Terjadinya warna merah-
ungu menandakan positif triterpenoid, sedangkan bila warna hijau-biru
menunjukkan positif steroid.

Pembuatan pereaksi Lieberman-Burchard:

Sebanyak 1 mL asam asetat anhidrat dicampur dengan 1 mL kloroform, lalu


didinginkan pada suhu 0°C, lalu ditambahkan 1 tetes HCl pekat.

IV.2. Ekstraksi

a. Maserasi

Alat maserator yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dan dibilas
dengan etanol serta dipasang sumbatan kapas pada bagian bawat alat dan pastikan
saluran pada bagian bawah maserator tertutup. Kemudian simplisia ditimbang
sebanyak 500 g dan dimasukkan ke dalam alat maserator, diratakan permukaan
simplisia dalam maserator kemudian ditambahkan pelarut etanol sebanyak 1,5
liter. Ditutup bagian atas maserator untuk menghindari penguapan pelarut dan
dibiarkan selama 24 jam. Disiapkan wadah penampung, kemudian dibuka saluran
pada bagian bawah maserator untuk mengambil filtrate. Setelah filtrate
tertampung, tutup kembali saluran dan di ulangi prosedur sebanyak 2 kali.

b. Pemekatan Ekstrak

Ekstrak cair dimasukkan ke dalam vaccum rotary evaporator, kemudian


diatur suhu evaporator pada suhu kurang lebih 30-40 oC. Dijalankan vaccum
rotary evaporator. Setelah pelarut berkurang, maka ditambahkan lagi ekstrak cair
sehingga sampai diperoleh ekstrak yang pekat.

IV.3. Pemantauan Ekstrak

A. Kromatografi Lapis Tipis

Disiapkan chamber kemudian dimasukkan kertas saring kedalamnya.


Disiapkan fase gerak/pengembang dengan eluen (kloroform : etil asetat = 9 : 1).
Kemudian dimasukkan fase gerak ke dalam chamber serta dimasukkan juga kertas
saring ke dalam chamber. Ditutup chamber dengan kaca arloji, dibiarkan bejana
jenuh dengan uap fase gerak/pengembang. Disiapkan pelat Silica gel GF254 analit,
kemudian ditotolkan ekstrak kental rimpang kunyit, fraksi n-heksan, fraksi etil
asetat dan fraksi air dengan menggunakan pipa kapiler. Dibiarkan mongering,
kemudian dimasukkan pelat KLT ke dalam chamber yang sudah jenuh oleh fase
gerak. Kemudian dibiarkan fase pengembang naik sampai batas spot yang diberi
tanda pada plat KLT. Setelah itu diangkat plat dan dibiarkan mengering.
Kemudian dilihat warna bercak di bawah sinar tampak, sinar ultra violet λ 254
nm, 352 nm dan dengan penampak bercak asam sulfat 10 % dalam methanol.

B. Kromatografi kertas
Disiapkan chamber kemudian dilapisi dengan kertas saring. Disiapkan fase
gerak/pengembang dengan eluen (kloroform:etil asetat = 9:1). Kemudian
dimasukkan fase gerak ke dalam chamber serta dimasukkan juga kertas saring ke
dalam chamber. Ditutup chamber dengan kaca arloji, dibiarkan bejana jenuh
dengan uap fase gerak/pengembang. Disiapkan kertas whatman No.1, kemudian
ditotolkan ekstrak kental rimpang kunyit, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan
fraksi air dengan menggunakan pipa kapiler. Dibiarkan mengering, kemudian
dimasukkan kertas whatman No.1 ke dalam chamber yang sudah jenuh oleh fase
gerak. Kemudian dibiarkan fase pengembang naik sampai batas spot yang diberi
tanda pada kertas whatman No.1. Setelah itu diangkat kertas whatman No.1 dan
dibiarkan mengering. Kemudian dilihat warna bercak di bawah sinar tampak,
sinar ultra violet λ 254 nm, 352 nm dan dengan penampak bercak asam sulfat 10%
dalam methanol.

IV.4. Fraksinasi

a. Ekstraksi Cair-cair

Disiapkan corong pisah ukuran 250 mL dalamkeadaan bersih. Sebelum


digunakan, dibilas dengan alkohol teknik terlebih dahulu. Kemudian dikeringkan.
Sebanyak 7 gram ekstrak kental simplisia dilarutkan dalam 100 mL aquades.
Campuran ini kemudian dimasukkan kedalam corong pisah (dipastikan keran
dibagian bawah corong pisah dalam keadaan tertutup). Ditambahkan kedalam
kolom tersebut 100 mL pelarut lain yang tidak bercampur dengan air. Penutup
corong pisah dipasangkan, penutup ditekan dengan telunjuk tangan kanan, jari
lain menggenggam badan corong pisah. Corong pisah dikocok dengan kuat (tetapi
tetap berhati-hati). Keran yang dibawah itu dibuka jika ingin menguragi tekanan
uap yang terjadi didalam corong pisah. Setelah beberapa kali pengocokan, corong
pisah disimpan dengan tegak pada klem, dibiarkan hingga kedua lapisan terpisah
dengan jelas. Lapisan bawah ditampung pada wadah bersih yang digunakan untuk
diuapkan. Dilakukan prosedur dengan menggunakan kepolaran yang berbeda.

b. Kromatografi Kolom dengan Cara Basah


Disiapkan sejumlah volume eluen yang komposisinya diperoleh dari data
pustaka atau dari data KLT. Disiapkan sejumlah botol vial ukuran 10 mL.
Sejumlah ekstrak kental ditimbang, dilarutkan kedalam sedikit eluen, atau pelarut
lain. Ditimbang sejumlah adsorben silica gel 60 (w gram) dimasukkan kedalam
sebagian eluen, diaduk, dan diperoleh lumpuran adsorben. Ujung kolom disumbat
dengan kapas bebas lemak. Eluen dimasukkan kedalam kolom, sambil dibiarkan
kran dibuka sdikit hingga eluen turun. Lumpuran adsorben dimasukkan sedikit
demi sedikit kedalam kolom, sampai diperoleh adsorben yang padat dan tidak ada
udara yang terjebak. Eluen diturunkan sampai lapisan tipis permukaan eluen
diatas permukaan adsorben. Kran ditutup. Dimasukkan sedikit demi sedikit
larutan ekstrak diatas permukaan adsorben. Ditambahkan eluen sedikit demi
sedikit pula, sampai permukaan eluen minimum sekitar 2 cm diatas permukaan
larutan ekstrak. Kran dibuka. Eluen diturunkan. Eluen diatas permukaan adsorben
jangan sampai kering. Eluen selalu ditambahkan pada bagian atas kolom. Fraksi
yang dihasilkan ditampung dalam botol vial. Fraksi yang diperoleh dipekatkan
dan ditimbang. Pemantauan fraksi dilakukan dengan KLT atau kromatografi
kertas. Dilihat warna bercak dibawah sinar tampak, sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 254 nm, 352 nm, dengan penampak bercak asam sulfat 10%
dalam metanol atau penampak bercak spesifik/khusus.

IV.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Diantara fraksi 1 hingga 11 dari hasil proses KCV yang diuji adalah fraksi
1, 4, 7, 10, dan 11. Dan pada fraksi 6 terbentuk Kristal. Setelah diperoleh fraksi
tersebut di uji dengan menggunakan KLT yang diperoleh bercak yang baik adalah
fraksi 7 dan sampel ekstrak kental.

 KLT analitik
Disiapkan chamber dan dimasukkan eluen yang sesuai yaitu kloroform dan
etil asetat dengan perbandingan 9 ml : 1,5 ml. dan dimasukkan kertas saring,
Kemudian dijenuhkan. Sambil menunggu penjenuhan plat KLT yang akan
digunakan diaktivasi terlebih dahulu dengan dimasukkan kedalam oven selama 10
menit. Setelah diaktivasi dibuat garis pada sisi atas dan sisi bawah plat KLT
masing-masing 1 cm. dan kemudian dilakukan penotolan sampel yang berupa
ekstrak kental, fraksi 1, fraksi 4, fraksi 7, fraksi 10 dan fraksi 11. Fraksi ini
dihasilkan dari hasil proses KCV (kromatografi cair vakum), jumlah penotolan
tiap sampel tersebut berbeda-beda berdasarkan kepekatan fraksinya. Kemudian
dilakukan elusi hingga batas akhir, setelah itu dilihat bercaknya dibawah sinar UV
254 nm dan 352 nm serta ditandai bercaknya dengan pensil. Lalu dihitung nilai Rf
dari bercak tersebut. Setelah itu siap untuk dilakukan KLT preparatif.

 KLT preparatif
Disiapkan chamber ukuran besar, dan disiapkan eluen yang sesuai
berdasarkan hasil KLT analitik yaitu campuran kloroform dan etil asetat (9 ml :
1,5 ml) dengan skala dalam 50 ml. dan disiapkan kertas saring kemudian
dijenuhkan. Satu jam sebelum proses penjenuhan berakhir plat KLT preparatif
diaktivasi terlebih dahulu didalam oven dan kemudian dibuat garis pada bagian
atas 1 cm dan bagian bawah 2 cm. kemudian dilakukan penyebaran sampel pada
plat KLT preparatif, berdasarkan hasil KLT analitik yang terlihat bercaknya pada
fraksi 7. Sehingga pada plat KLT dilakukan penyebaran sampel fraksi 7 secara
merata sabanyak 2 kali.
Setelah keadaan chamber sudah jenuh dimasukkan plat KLT preparatif
tersebut dan dibiarkan hingga proses elusi berakhir. Setelah proses elusi berakhir
plat KLT dikeluarkan dari chamber dan dibiarkan mongering, setelah kering
dilihat dibawah sinar UV pita noda yang dihasilkan. Kemudian dihitung nilai Rf
dan ditandai dengan jarum sisi pita yang terbentuk. Lalu dikerok bagian pita yang
telah ditandai dengan menggunakan spatel. Silica gel dari hasil kerokan yang
mengandung senyawa tersebut. Dimasukkan kedalam vial yang berbeda-beda
sesuai dengan jumlah pita yang didapat. Kemudian masing-masing silica yang
sudah dikerok ditimbang, setelah ditimbang dihaluskan dengan menggunakan
batang pengaduk dan lalu dilarutkan dengan methanol sebanyak 5 ml dan
didiamkan selama 24 jam. Berdasarkan hasil KLT preparatif kemudian di uji
kemurnian dengan menggunakan metode KLT satu dimensi, KLT dua dimensi
dan dengan melihat nilai absorbansinya.

 KLT satu dimensi

Dibuat eluen sebanyak 3 dimacam berdasarkan perbedaan kepolaran yaitu


eluen non-polar (kloroform : etil asetat (9 ml : 1,5 ml)), eluen semipolar
(kloroform : etil asetat (1,5 ml : 9 ml)), dan eluen polar (n-heksan : etil asetat (9
ml : 1 ml)). Kemudian dijenuhkan pada masing-masing chamber dan dimasukkan
kertas saring. Berdasarkan hasil KLT preparatif dihasilkan 3 isolat yaitu isolat 1
(bagian atas), isolat (bagian tengah) dan isolat 3 (bagian bawah). Disiapkan 3
buah KLT untuk dilakukan elusi. Kemudian masing-masing isolat ditotolkan pada
plat KLT yang telah disiapkan, kemudian masing-masing plat KLT dimasukkan
dalam chamber yang berisi eluen yang berbeda-beda kepolarannya. Kemudian
dilakukan elusi, setelah elusi berakhir dikeluarkan dari chamber dan dibiarkan
mengering lalu dilihat dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan
352 nm.

Setelah itu dilakukan karakterisasi dengan cara sampel isolat 1 dan 3, hasil
ini berdasarkan hasil KLT satu dimensi yang bercaknya menunjukkan hanya satu
bercak pada setiap eluen yang berbeda kepolaran. Kemudian isolat 1 dan 3
diteteskan kedalam plat tetes dan ditambahkan pereaksi Alcl3 dengan
ditambahkan dengan serbuk Mg serta ditambah pereaksi Fecl3. Dan masing-
masing isolate yang telah ditambahkan pereaksi ditotolkan pada plat KLT dan di
elusi dengan eluen yang berbeda yaitu eluen non-polar dan eluen semipolar.

 Absorbansi

Isolat 1 diteteskan sebanyak 2 tetes kedalam gelas ukur dan di ad 5 ml


dengan metanol, dan isolat 3 diteteskan sebanyak 4 tetes dan dimasukkan kedalam
gelas ukur dan di ad 5 ml methanol. Kemudian dimasukkan methanol kedalam
kuvet hingga batas kuvet sebagai blanko dan dimasukkan kedalam alat
spektrofotometri UV-Visibel. Dan diatur panjang gelombang pada 200 nm – 500
nm. Kemudian dimasukkan kuvet yang berisi isolate 1 yang telah diencerkan
kemudian dilihat nilai absorbansinya. Hal ini sama dilakukan pada isolat 3.

 KLT dua dimensi

Disiapkan eluen non-polar dan eluen semipolar kemudian dimasukkan


kertas saring untuk dijenuhkan. Selama pejenuhan dilakukan aktivasi pada KLT
dimasukkan kedalam oven, setelah penjenuhan selesai dimasukkan plat KLT pada
eluen non-polar yang sebelumnya telah diberi tanda pada bagian sisi plat
kemudian ditotolkan isolat 1 pada sebelah kanan bawah. Setelah proses elusi
berakhir plat KLT dipindahkan kedalam eluen yang kedua yaitu eluen semipolar
dan arah plat KLT diputar 90o. dan dibiarkan terelusi. Setelah elusi berakhir
dihitung nilai Rfnya.

V. Hasil Pengamatan dan Perhitungan :

V.1. Skrining Fitokimia

a. Perhitungan

1. Reagen Steasny 6. HCl 10% untuk 50 ml

2 V1.N1 = V2.N2
Formaldehid : x 50 ml = 33,3 ml
3
50 ml.10% = V2.37%
1
HCl Pekat : x 50 ml = 16,67 ml V2 = 13,51 ml ad 50 ml air
2

2. FECl3 1% untuk 50 ml 7. Pereaksi Dragendorff untuk 50 ml

1 4
FECl3 1% : x 50 ml =0,5 gram 10 ml larutan bismuth 40% : x 10
100 100

ad 50 ml ml = 4g

54,4
25 ml KI P 54,4% : x 25 ml =13,6
100

gram
3. Vanilin 10% untuk 50 ml 8. NaOH 1 N (50 ml aquades)

10 𝑔 1000
Vanilin 10% : x 50 ml = 5 gram N= .
100 𝑀𝑟 𝑉

𝑔 1000 40
1= . g= = 2 g NaOH
40 50 20

4. Gelatin 1% untuk 50 ml 9. Lieberman-Burchard

1 25 ml As.asetat anhidrat + 25 ml
Gelatin 1% : x 50 ml = 0,5 ml
100
kloroform

Lalu didinginkan pada suhu 00C lalu + 1

tetes HCl

5.Reagen Mayer untuk 50 ml

2,266
30 ml HgCl P 2,266% = x 30 =
100

0,7 g

50
5 ml KI 50 % = x 5 ml = 2,5 g
100

b. Data Pengamatan

Gambar
Nama Senyawa

1. Alkaloid

Hasilnya negatif, karena tidak menimbulkan

warna.

Tab 1 + Dragendroff : tidak berubah warna

Tab 2 + P.Mayer : Kuning terang.


2. Polifenolat

Reaksi positif adanya polifenol, sedangkan negatif

pada fenolat.

Tabung + HgCl : endapan coklat (+) polifenol

3. Saponin

Timbul gas setelah dikocok, tinggi busa 3 mm.

Setelah di + HCl : busa tetap ada. Ada lapisan

kuning di bagiann dasar tabung.

4. Kuinon

Larutan A + NaOH : merah, positif kuinon

5. Tanin
Tab 1 + FECl : warna jadi coklat (-)

Tab 2 + Gelatin : tidak ada endapan putih (-)

Tab 3 + P. Steasny : setelah dipanaskan tdk

terdapat endapan merah muda : (-) tanin katekat.

Tab 3 setelah di + Na-asetat + FECl3 : tdk ada

perubahan warna (-).

6. Mono dan Seskuiterpen

Warna awalnya kuning + vanilin 10% + HCl :

coklat. Hitam kopi (+) golongan mono dan

seskuiterpen.

7. Triterpenoid dan Steroid -

Simplisia + Lieberman-burchard : warna ungu (+)

triterpenoid.
8. Larutan Blanko

9. Flavonoid

Lar A : Kuning kecoklatan

Lar A + Mg : Tidak berubah

Lar A + Mg + HCl P : Warna pink di dasar tabung,

warna kuning diatas permukaan.

Lar A + Mg + HCl P + Amilalkohol : lapisan

kuning diatas permukaan.

V.2. Ekstraksi

Berat simplisia 500 gr Rimpang Kunyit (Curcumae domesticae Rhizoma)


Pelarut etanol sebanyak 1,5 L.

Berat cawan kosong 1 : 57,77 g


Berat cawan kosong 2 : 69,3 g
Berat cawan kosong 3 : 68, 19 g

Berat ekstrak sebelum pemekatan :


cawan berisi ekstrak 1 : 102,6 g
cawan berisi ekstrak 2 : 133,37 g
cawan berisi esktrak 3 : 131,42 g

Berat ekstrak sesudah dipekatkan :


Berat cawan 1 : 79 g
Berat cawan 2 : 79 g
Berat cawan 3 : 116 g

Berat total ektrak pekat :


Ekstrak Cawan 1 : 21,23 g
21,23 𝑔
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑥 100 % = 4,246 %
500 𝑔

Ekstrak Cawan 2 : 9,7 g


9,7 𝑔
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑥 100 % = 1,94 %
500 𝑔
Ekstrak Cawan 3 : 47,81 g
47,81𝑔
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑥 100 % = 9,562 %
500 𝑔

V.3. Pemantauan Ekstrak

Pemantauan ekstrak dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis


1. Jumlah ektrak kental: 78,8 gram
2. Jumlah fraksi air: 100 mL
3. Jumlah fraksi n-heksan sebelum dipekatkan: 80 ml
4. Jumlah fraksi etil asetat sebelum dipekatkan: 100 ml
Dari keempat fraksi tersebut dilakukan pemantaun
dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Bercak diamati
menggunakan sinar UV 254 nm.

Rf ekstrak Rf n-heksan
2,3 4
S1= = 0,28 S1= = 0,5
8 8
3
S2= = 0,375
8
4
S2= = 0,5
8

Rf fraksi etil asetat Rf fraksi air


2,3 4
S1= = 0,28 S1= = 0,5
8 8
3
S2= = 0,375
8
4
S2= = 0,5
8

V.4. Fraksinasi

Dari keempat fraksi dilakukan pemantauan dengan menggunakan metode


kromatografi lapis tipis. Bercak diamati menggunakan sinar UV 254 nm.
6,5
Rf ekstrak = = 0,83
7,8
6,5
Rf fraksi heksan = = 0,83
7,8
6,5
Rf fraksi etil asetat = = 0,83
7,8
6,5
Rf fraksi air = = 0,83
7,8
(ekstrak-n heksan-etil asetat-air)
( n-heksan: etil asetat = 1:9)

Rf ekstrak Rf n-heksan
2,3 4
S1= 8 = 0,28 S1= 8 = 0,5
3
S2=8 = 0,375
4
S2=8 = 0,5

Rf fraksi etil asetat Rf fraksi air


2,3 4
S1= 8 = 0,28 S1= 8 = 0,5
3
S2=8 = 0,375
4
S2=8 = 0,5

V.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Diantara fraksi 1 hingga 11 dari hasil proses KCV yang diuji adalah fraksi
1, 4, 7, 10, dan 11. Dan pada fraksi 6 terbentuk Kristal. Setelah diperoleh fraksi
tersebut di uji dengan menggunakan KLT yang diperoleh bercak yang baik adalah
fraksi 7 dan sampel ekstrak kental.

 KLT analitik:

Eluen Kloroform : etil asetat (9 ml : 1,5 ml)

Setelah dielusi dihasilkan 3 spot, yaitu :

𝑎 5
Spot 1 : Rf = = 8,1 = 0,62
𝑏
𝑎 3,6
Spot 2 : Rf = = 8,1 = 0,44
𝑏

𝑎 2,4
Spot 3 : Rf = = 8,1 = 0,30
𝑏

Ket : Pemantauan KLT sebelum KLT preparatif

Setelah ditemukan spot bercak yang jelas dan terpisah dengan baik,
kemudian dilakukan KLT preparafif. Eluen yang digunakan berdasarkan KLT
analitik yaitu kloroform dan etil asetat ( 9 ml : 1,5 ml). Dibuat dalam 50 ml, yaitu:

9
Kloroform : 10,5 x 50 ml = 42,86 ml

1,5
Etil asetat : 10,5 x 50 ml = 7,14 ml

Setelah dilakukan elusi KLT preparatif dilihat bercaknya dibawah sinar UV,
dihasilkan pita noda sebanyak 3, dengan nilai Rf. Sebagai berikut :

𝑎 2,5
Spot 1 (bagian atas) : Rf = = = 0,31 (non-polar)
𝑏 8

𝑎 6,7
Spot 2 (bagian tengah) : Rf = = = 0,84 (semipolar)
𝑏 8

𝑎 7,8
Spot 3 (bagian bawah) : Rf = = = 0,97 (polar)
𝑏 8

Kemudian dikerok pita nodanya, dan dipisahkan berdasarkan bagiannya


kemudian ditimbang, dan diperoleh :

Berat isolat 1(bagian atas / non-polar): 0,0850 g

Berat isolat 2 (bagian tengah/ semipolar): 0,0857 g


Berat isolat 3 (bagian bawah/polar): 0,1253 g

Pembuatan pereaksi:

1
Pereaksi Fecl3 1% = 100 x 50 ml = 0,5 g Fecl3

0,5 g Fecl3 dilarutkan dalam air dengan di ad sampai 50 ml.

10
Pereaksi H2SO4 10% = x 50 ml = 0,5 g
100

5 ml H2SO4 ditambahkan dengan 50 ml methanol.

5
Pereaksi Alcl3 5 % = 100 x 50 ml = 2,5 g di ad dengan methanol 50 ml.

Rf karakterisasi:

𝑎 3,2
Alcl3 : isolat 1 Spot 1 : Rf = = 5,9 = 0,54
𝑏

𝑎 3,7
Spot 2 : Rf = = = 0,63
𝑏 5,9

𝑎 3,4
Fecl3 : isolat 3 Spot 1 : Rf = = 5,9 = 0,57
𝑏

𝑎 4
Spot 2 : Rf = 𝑏
= 5,9
= 0,67

KLT satu dimensi:

𝑎 2,5
 Non- polar Rf = = = 0,31
𝑏 8
𝑎 6,7
 Semipolar Rf = = = 0,84
𝑏 8
𝑎 7,8
 Polar Rf = = = 0,97
𝑏 8
Ket : Pemantauan KLT satu dimensi.

Absorbansi pada alat spektrofotometri UV-Visibel:

Isolat Pengenceran Panjang Absorbansi Gambar Gambar


isolat gelombang spektogram absorbansi
1 2 tetes dalam 200 nm – 0,293 dan
5ml 500 nm 0,846
methanol

1 2 tetes dalam 300 nm – 0,257 dan


5ml 450 nm 0,813
methanol

3 4 tetes dalam 300 nm – 0,232 dan


5ml 450 nm 0,240
methanol

KLT dua dimensi

𝑎 1,8
 Spot 1 : Rf = = = 0,36 dalam eluen non-polar
𝑏 5
𝑎 0,9
 Spot 2 : Rf = = = 0,8 dalam eluen semipolar
𝑏 5
VI. Pembahasan :

VI.1. Skrining Fitokimia

Alkaloida

Skrining fitokimia merupakan tahap pemeriksaan awal untuk mendeteksi


keradaan golongan senyawa yang terdapat pada suatu bahan alam, ekstrak dan
fraksi yang diperoleh diidentifikasi komponen fitokimianya dengan metode
pereaksi warna, senyawa yang diperiksa adalah golongan seyawa alkaloid,
flavonoid, polifenolat, saponin, kuinon, tannin, monoterpen & seskuiterpen,
triterpenoid & steroid. Dengan menggunakan pereaksi mayer, steasny,
dragendorff.

Pada uji alkaloid ini sampel digerus dengan tujuan untuk menghancurkan
dinding sel yang sifatnya kaku sehingga senyawa metabolit sekunder yang berada
dalam vakuola mudah diambil, kemudian sampel ditambahkan dengan amoniak
dengan tujuan untuk melarutkan senyawa alkaloid kemudian ditambahkan dengan
kloroform (CHCl3) untuk memutuskan ikatan senyawa yang terkandung dalam
simplisia rimpang kunyit. Kemudian setelah itu disaring filtratnya bertujuan untuk
memisahkan residu dengan senyawa uji, lalu larutan tersebut dibagi kedalam 2
tabung reaksi untuk tidak melebihi kapasitas tabung reaksi setelah ditambahkan
dengan asam klorida, penambahan asam klorida bertujuan untuk menghilangkan
senyawa protein. Adanya protein yang mengendap dengan penambahan pereaksi
logam berat (pereaksi mayer) akan memberikan reaksi positif palsu pada beberapa
senyawa. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan
elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan ion logam.

Setelah ditambahkan asam klorida terjadi 2 fase lalu kedua fase ini
dipisahkan dengan menggunakan pipet, fase 1 dan fase 2 sebagai fase air.
Kemudian fase 1 direaksikan dengan pereaksi dragendorff dengan cara diteteskan
campuran larutan tersebut (fase 1) pada kertas saring dan setelah itu diteteskan
dengan pereaksi dragendorff, dan tidak menghasilkan perubahan warna.
Seharusnya berubah warna menjadi orange–merah hal ini disebabkan pereaksi
dragendorffnya yang terlalu encer.

Fase 2 dibagi menjadi 2 bagian kedalam tabung reaksi, tabung 1


ditambahkan pereaksi dragendorff. Berdasarkan uji ini tidak menghasilkan
perubahan warna apapun seharusnya terbentuk endapan coklat endapan ini adalah
kalium-alkaloida. Dan pada tabung reaksi 2 menggunakan pereaksi mayer dimana
atom nitrogen akan bereaksi dengan ion logam K+ akan membentuk endapan putih
akan tetapi pada reaksi ini tidak menunjukkan adanya endapan putih sehingga
menunjukkan tidak adanya golongan senyawa alkaloid.

Persamaan reaksi yang terjadi yaitu:

Polifenolat

Pada uji polifenolat, ditambahkan dengan pereaksi besi (III) klorida


menghasilkan warna biru kehitaman hal ini adanya reaksi logam dengan senyawa
golongan polifenolat. Hal ini menunjukkan adanya golongan senyawa fenolat dan
tidak terdapat senyawa polifenolat karena tidak membentuk endapan coklat.

Persamaan reaksi yang terjadi, yaitu:


Flavonoid

Pada uji ini, simplisia dilarutkan dalam air mendidih dengan tujuan untuk
melarutkan senyawa karena golongan senyawa flavonoid dapat larut dalam suhu
tinggi. Kemudian ditambahkan Mg dan HCl. Senyawa flavonoid akan bereaksi
dengan Mg dan dengan penambahan HCl sehingga akan terdeteksi senyawa
flavonoid. Dan ditambahkan amilalkohol, pada percobaan ini menghasilkan reaksi
perubahan warna pada kuning.

Persamaan reaksi yang terjadi adalah: Mg + 2 HCl → MgCl2 + H2 ↑

Saponin

Pada uji ini, campuran larutan simplisia, serbuk Mg dan Hcl dicampurkan
dan dikocok untuk melihat senyawa saponin, Saponin adalah senyawa aktif
permukaan yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air, hal ini terjadi
karena saponin memiliki gugus polar dan non-polar yang akan membentuk misel.
Timbulnya busa menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan
membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lain.
Penambahan asam klorida untuk mempertahankan busa agar stabil. Pada
percobaan ini tidak memberikan reaksi busa yang stabil sehingga tidak
menunjukkan adanya senyawa saponin.

Kuinon

Pada uji senyawa kuinon ditambahakan dengan NaOH bertujuan untuk


menarik senyawa kuinon yang akan tertarik dengan pelarut basa, kemudian
menghasilkan reaksi perubahan warna antara kuinon dengan NaOH, hal ini
menunjukkan adanya golongan senyawa kuinon.
Tanin

Pada uji tanin, simplisia dipanaskan dalam air panas bertujuan untuk
melarutkan senyawa tannin dalam simplisia kunyit sehingga terpisah dengan
tubuh sampel, kemudian dibagi menjadi 3 dalam tabung reaksi dan pada tabung 1
ditambahkan dengan pereaksi besi (III) klorida adanya reaksi perubahan warna
coklat. Pada tabung 2 ditambahkan dengan gelatin 1% tidak membetuk endapan
putih, dan pada tabung 3 ditambahkan dengan pereaksi steany tidak membentuk
endapan, setelah itu pada tabung 3 ditambahkan dengan natrium asetat dan
ditambahkan besi (III) klorida dan tidak terjadi perubahan warna, hal ini tidak
menunjukkan adanya golongan senyawa tanin.

Persamaan reaksi yang terjadi adalah:

Monoterpen dan seskuiterpen

Pada uji monoterpen dan seskuiterpen, simplisia digerus dan ditambahkan


eter menarik senyawa dan kemudian dikeringkan diatas penangas air untuk
menguapkan eter sebagai pelarut. Setelah itu ditambahkan dengan vanillin untuk
menghasilkan reaksi warna sehingga menghasilkan perubahan warna coklat
kehitaman. Hal ini menunjukkan adanya golongan senyawa monoterpen dan
seskuiterpen.

Triterpenoid dan steroid

Pada uji ini simplisia digerus untuk menghancurkan dinding sel sehingga
senyawa yang akan diuji mudah terlarut dalam pelarut, didalam pereaksi
Lieberman-Burchad ditambahkan ditambahkan kloroform untuk memutus ikatan
pada senyawa yang terdapat dalam kunyit. Lalu ditambahkan dengan asam asetat
dan Hcl untuk menghasilkan reaksi warna. Berdasarkan percobaan menghasilkan
waran ungu, hal ini menunjukkan adanya golongan senyawa triterpenoid. Dan
simplisia rimpang kunyit tidak mengandung senyawa steroid karena tidak
menunjukkan reaksi warna hijau-biru.

Persamaan reaksi yang terjadi adalah:

VI.2. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan tahapan awal untuk dapat mengisolasi kandungan zat


kimia dari simplisia tanaman obat. Tujuan dilakukan proses ekstraksi pada
percobaan ini adalah untuk mendapatkan kandungan zat kimia dari tanaman
rimpang kunyit dengan menggunakan etanol 96%. Metode ekstraksi yang
digunakan pada percobaan ini adalah metode maserasi. Maserasi merupakan
proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Metode maserasi digunakan
untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut
dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Prinsip metode
maserasi yaitu penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar, terlindung dari
cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan
larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi ). Peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel.
Pada proses ini digunakan etanol sebagai pelarut dilakukan karena etanol
termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut diharapkan etanol dapat
menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar. Proses ini sangat menguntungkan
dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan
akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara
di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma
akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena
dapat diatur lama perendaman yang dilakukan.

Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang


tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut
tersebut. Secara umum pelarut etanol merupakan pelarut yang banyak atau pelarut
universal digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena
dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.

Pada percobaan ini proses ektraksi dengan metode maserasi ini dilakukan
selama 3 kali dengan pengontrolan setiap 24 jam sekali untuk mengambil ekstrak
rimpang kunyit. Proses lanjut dari maserasi yaitu pemekatan dengan alat
evaporasi untuk diubah menjadi bentuk yang lebih pekat dari sebelumnya. Setelah
dilakukan evaporasi, ekstrak kemudian diuapkan hingga didapat ekstrak kental.
Prinsip dari evaporator yaitu memisahkan pelarut organic dengan zat kimia pada
tanaman obat berdasarkan penguapan dan tekanan

Pemilihan metode maserasi pada praktikum ini dilakukan karena pada


maserasi, tidak menggunakan alat-alat yang rumit dan waktunya pun lebih efisien.
Namun pada metode ini juga terdapat kekurangan yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan ekstrak etanol dari simplisia lebih banyak selain itu, pelarut
yang digunakan juga sangat banyak sehingga butuh proses yang lama untuk
mendapatkan ekstrak pekat kental dari simplisia yang diinginkan serta hasil
ekstrak lebih sedikit dari pada menggunakan metode soxhlet, serta tidak dapat
digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin,
tiraks dan lilin.

Pada proses pemekatan ekstrak didapatkan ekstrak kental rimpang kunyit


sebanyak :
- Ekstrak Cawan 1 : 21,23 g
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 4,246 %
- Ekstrak Cawan 2 : 9,7 g
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 1,94 %
- Ekstrak Cawan 3 : 47,81 g
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 9,562 %

VI.3. Pemantauan Ekstrak

Pemantauan ekstrak merupakan tahapan untuk untuk mengetahui komponen


yang ada dalam ekstrak rimpang kunyit. Pada praktikum ini dilakukan proses
pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis
(KLT). Metode kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan komponen
yang ada dalam ekstrak rimpang kunyit berdasarkan perbedaan kecepatan
perambatan komponen dalam medium berupa lempengan kromatografi.

Pada kromatografi lapis tipis, komponen-komponen suatu campuran


senyawa akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak.
Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan
melarutkan zat komponen campuran. Dalam praktikum pemisahan ekstrak
rimpang kunyit dengan metode KLT ini, fase diam yang digunakan adalah silika
gel GF254 yang bersifat polar dan fase geraknya yaitu pelarut campuran
(kloroform : etil asetat = 9:1) yang bersifat non polar. Fase diam silika gel GF254
yang mana G adalah Gypsum (pengikat) biasanya pengikat yang digunakan
adalah kalsium sulfat, F adalah Flouresence (panjang gelombang), dan 254 adalah
panjang gelombang yang digunakanyaitu 254 nm. Jadi arti GF254 adalah penjerap
silika gel dengan pengikat kalsium sulfat dengan ditambahkan indikator yang
dapat berflouresensi jika dideteksi pada sinar ultraviolet dengan panjang
gelombang 254 nm. Indikator flouresensi adalah senyawa yang memancarkan
sinar tampak jikadisinari dengan sinar ultraviolet.
Sebelum melakukan pemisahan, chamber harus dijenuhkan terlebuh dahulu.
Penjenuhan chamber bertujuan untuk mendapatkan uap dan tekanan yang sama
pada chamber sehingga diperoleh hasil pemisahan yang sempurna. Pada
penjenuhan ini dapat digunakan kertas saring yang dilapisi pada dinding chamber
sebagai indikator bahwa chamber sudah jenuh. Sambil menunggu penjenuhan
dilakukan penotolan sampel setiap fraksi sebanyak 10 µL pada plat silika gel
GF254. Dalam praktikum ini di gunakan pipa kapiler untuk penotolan. Pipa
kapiler yang digunakan adalah 2 µL, maka banyaknya penotolan yang dilakukan
sebanyak 5 x 2µL. Penotolan sampel digunakan sebesar 10 µL karena volume ini
merupakan rekomandasi terbaik untuk penotolan secara manual baik untuk data
KLT kualitatif dan kuantitatif. Plat yang sudah ditotol dengan cuplikan atau
sampel dimasukkan kedalam chamber yang sebelumnya sudah dijenuhkan.

Pengembangan dilakukan dengan memasukkan plat KLT yang telah


ditotolkan dengan 4 fraksi (ekstrak-nheksan-etil asetat-air) yang didapat ke dalam
chamber. Plat selanjutnya dielusi dengan eluen perbandingan 1:9 kloroform : etil
asetat. Saat pengembangan, chamber ditutup rapat agar eluen tidak menguap.
Setelah selesai pengembangan, plat dikeluarkan dari dalam chamber kemudian
plat diangin-anginkan agar eluen dalam plat cepat menguap. Setelah itu, plat
dideteksi dan diamati di bawah sinar UV 254 atau 366 nm lalu catat hasil dari
pengamatan yang dilakukan.

Data yang diperoleh dari KLT preparatif adalah nilai Rf yang berguna untuk
identifikasi senyawa. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh
oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari
titik asal. Setelah dideteksi di bawah sinar UV 366 nm terlihat 4 bercak (ekstrak-
nheksan-etil asetat-air) yang menghasilkan sport. Terlihat hanya sport ekstrak dan
fraksi etil asetat yang bercak berwarna kuning. Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa yang ada diekstrak rimpang kunyit terlarut dalam pelarut etil asetat yang
berwarna kuning keorange atau kuning peka. Nilai Rf yang diperoleh dari
pengukuran ekstrak, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air air adalah Rf
ekstrak S1 : 0,28, S2 : 0,375, S3 : 0,5, Rf fraksi n-heksan S1 : 0,5 , Rf fraksi etil
asetat S1 : 0,28, S2 : 0,375, S3 : 0,5 dan fraksi air S1 : 0,5. Ini membuktikan
bahwa komponen pada rimpang kunyit memiliki sifat non polar bahkan semi
polar. Dikarenakan senyawa didalam komponen rimpang kunyit larut dengan
fraksi etil asetat yang bersifat semi polar.

VI.4. Fraksinasi

Fraksinasi adalah metode yang digunakan untuk memurnikan senyawa


yang diinginkan atau senyawa target dari senyawa–senyawa lain. Metode
fraksinasi yang dilakukan pada praktikum ini adalah dengan metode ektraksi cair–
cair.
Metode ekstraksi cair–cair ini memiliki syarat yaitu menggunakan 2
pelarut cair tetapi tidak saling bercampur. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi
homogen karena pelarut yang digunakan yaitu pelarut yang memiliki sifat polar
dan sifat non polar. Sehingga, pelarut yang semi polar tidak dianjurkan untuk
diekstraksi cair cair ini, karena semi polar contohnya etanol disebut sebagai
pelarut universal, dimana dia akan mengikat senyawa polar dan juga non polar,
maka akan saling tercampur dan akan sulit dipisahkan.

Kalau senyawa polar dan non polar disatukan, maka akan terbentuk 2
lapisan yang berbeda. Prinsip dari metode ekstraksi cair–cair adalah pemisahan
dengan 2 pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga akan terpisahkan sesuai
dengan sifatnya (Like Dissolve Like). Like Dissolve Like adalah senyawa polar
akan larut dalam senyawa polar dan senyawa non polar akan larut dalam senyawa
non polar.

Dalam praktikum ini, digunakan corong pisah sebagai metode ekstraksi


cair–cair, dimana corong pisah ini cocok bagi ekstraksi cair–cair dengan dikocok
antara 2 pelarut dalam corong pisah, maka akan terpisah sesuai dengan
kepolarannya. BJ yang memiliki nilai rendah akan berada dilapisan atas dan BJ
yang tinggi akan berada dibawah. Jika kita tidak mengetahui BJ dari suatu
senyawa cukup dengan melakukan tes pelarut yang digunakan dengan pipet lalu
dimasukkan kedalam corong pisah, maka akan terlihat dimana pelarut dari pipet
akan menyatu dilapisan atas atau bawah.

Dalam praktikum kali ini, telah dilakukan ekstraksi cair–cair dua kali. Ini
dikarenakan terdapat kesalahan pada ekstraksi yang pertama, yaitu pada saat
pengocokan corong pisah terlalu kuat sehingga terdapat gelembung busa pada
bagian atas campuran. Maka harus diulang sampai tidak terdapat lagi gelembung
busa. Simplisia yang digunakan adalah Rimpang Kunyit (Curcumae domesticae
Rhizoma) yang telah menjadi ekstrak kental. Sebelum ekstrak kunyit dimasukkan
kedalam corong pisah, dilarutkan dahulu dengan etanol, supaya pada saat didalam
corong pisah, ekstrak tidak menggumpal. Namun, ekstrak yang digunakan
menjadi menggumpal, sulit larut dan sulit menyatu bersama pelarut – pelarutnya.
Hal tersebut bisa terjadi karena pemekatan yang dilakukan dikerjakan dirumah
sehingga suhu dan pemanasan tidak diperhatikan dengan baik, sehingga simplisia
terlalu pekat dan lengket.

Didalam corong pisah terdapat ekstrak kunyit yang sudah pekat dengan n-
heksan dan etil asetat. N-heksan adalah pelarut yang non polar, ditinjau dari
strukturnya, n-heksan merupakan senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus
kimia C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3. Dimana
senyawa non polar terlihat dari karbon yang dimilikinya adalah 6 karbon,
sehingga struktur yang lebih dari 2 karbon adalah senyawa non polar. BJ n-heksan
adalah 86,17 kg/mol. Etil asetat adalah pelarut polar, dengan rumus
CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan eter dari etanol dan asam asetat.

Setiap beberapa lama saat pengocokan, kran corong pisah dibuka. Ini
dilakukan supaya tekanan uap dalam corong pisah keluar, sehingga uap didalam
tidak ada. Karena, jika ada uap yang berlebihan didalam corong pisah dapat
menyebabkan tutup corong pisah akan lepas dengan sendirinya dan isi didalam
corong pisah akan keluar. Setelah 10 menit dikocok, corong pisah disimpan
dengan tegak pada klem dan statif supaya proses pemisahannya berjalan dengan
sempurna dan terlihat jelas pemisahannya. Lalu n-heksan ditampung, karena
ekstrak kunyit menggumpal dilapisan paling bawah maka hanya bisa dilakukan
mengambil n-heksan dengan pipet ukur pada bagian atas. Setelah beberapa lama
didiamkan untuk memisah, didapat fraksi n-heksan, fraksi air, ekstrak kunyit, dan
fraksi etil asetat yang telah terpisah dengan baik.

Setelah itu dilakukan perhitungan Rf untuk masing-masing pelarut dan


ekstrak. Didapat Rf dari fraksi n-heksan adalah 0,5. Rf dari etil asetat adalah 0,28;
0,375; dan 0,5. Rf dari fraksi air adalah 0,5. Dan Rf dari ekstrak adalah 0,28;
0,375, dan 0,5. Rf merupakan perbandingan laju spot/bercak dengan jarak pelarut
yang digunakan. Semakin kecil Rf, maka pemisahan akan semakin baik. Pada
hasil yang didapat melalui sinar UV, terdapat spot yang berwarna yang dapat
memudahkan dalam perhitungan Rf dari masing-masing fraksi. Spot berwarna ini
dihasilkan karena kurkumin memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor inilah
yang apabila diberi sinar UV akan menimbulkan bercak yang berwarna.

Dengan metode kromatografi cair vakum, pemisahan senyawa pada


ekstrak kurkumin dapat dilakukan. Sebelumnya, pada saat penyiapan alat KCV,
silica gel H yang digunakan sebagai fase diam ditimbang terlebih dahulu
sebanyak 75 gram. Silica ini dimasukkan kedalam kolom KCV hingga tanda batas
yang telah ditandai. Ini memudahkan untuk melihat batas penggunaan silica agar
tidak berlebihan. Silica ini kemudian divakum dan diratakan. Tujuan dari vakum
ini supaya silica menjadi padat dan tidak terdapat gelembung udara pada silica
yang akan mengganggu proses pemisahan.

Ekstrak kunyit yang digunakan pada percobaan KCV ini adalah sebanyak
5,1 gram. Ekstrak tersebut dilarutkan dalam etanol supaya ekstrak menjadi sedikit
mencair. Campuran ini kemudian dimasukkan kedalam mortir dan digerus serta
ditambahkan sedikit silica gel. Silica gel ini yang akan membuat campuran
ekstrak dan etanol menjadi serbuk ekstrak. Setelah itu serbuk ekstrak sedikit demi
sedikit ditambahkan kedalam kolom KCV. Dalam penambahan serbuk ekstrak ini
dilakukan dengan hati-hati dan dimasukkan sedikit-sedikit karena jika tidak hati-
hati akan merusak kolom yang telah memadat. Keatas serbuk ekstrak tersebut
diletakkan kertas saring seukuran kolom KCV. Kertas saring ini berfungsi untuk
menyaring eluen yang digunakan sebagai fase gerak. Setelah itu, setiap komposisi
pelarut dimasukkan kedalam kolom dengan menggunakan batang pengaduk.
Batang pengaduk ini digunakan supaya eluen yang digunakan mengalir secara
perlahan ke fase diamnya dan tidak merusak kolom yang telah dibuat. Setiap
eluen yang ditambahkan, hasil fraksinya ditampung pada botol bekas eluen
tersebut. Warna fraksi yang dihasilkan bermacam-macam dari yang bening hingga
coklat pekat. Kepekatan warna fraksi menunjukkan bahwa banyak terdapat
senyawa yang tertarik oleh eluen tersebut.

Setelah semua fraksi didapat, fraksi tersebut dipekatkan. Pemekatan ini


dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga masing-masing dari fraksi tersebut
dapat ditotolkan dengan mudah pada plat KLT. Sebelum penotolan pada plat
KLT, eluen yang cocok untuk digunakan sebagai fase gerak pada KLT adalah
perbandingan antara kloroform dan etil asetat dengan perbandingan 9,5:1. Eluen
ini bersifat semi polar. Sehingga, diharapkan dapat menarik senyawa baik polar
maupaun non polar. Eluen ini dijenuhkan terlebih dahulu dengan kertas saring.
Penjenuhan ini bertujuan supaya eluen yang digunakan menjadi jenuh dan dapat
dengan mudah menarik senyawa yang terkandung dalam fraksi. Setelah itu, plat
KLT yang telah ditotolkan fraksi tertentu (ekstrak, fraksi 1, fraksi 4, fraksi 7,
fraksi 10, dan fraksi 11) dielusi dengan pelarut tersebut. Elusi ini dilakukan untuk
menaikkan fase gerak ke fase diam pada plat KLT. Setelah dielusi, plat
dikeringkan dan dilihat dibawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan
352 nm. Didapat spot yang dihasilkan dari pemantauan tersebut. Spot ini
menimbulkan warna. Adanya warna pada spot ini memudahkan untuk perhitungan
Rf setiap spot dan menunjukkan berapa banyak senyawa yang telah terpisah, serta
dengan adanya spot berwarna ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung
didalamnya memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor ini merupakan gugus
yang dapat memberikan warna dibawah sinar UV. Warna ini ditimbulkan karena
gugus kromofor memiliki ikatan rangkap yang selang-seling pada struktur
senyawanya.
Dari pemantauan KLT tersebut didapat Rf dari spot eksttrak dan fraksi 7.
Rfnya sama yaitu pada spot pertama sebesar 0,55. Rf pada spot kedua yaitu
sebesar 0,525. Dan Rf pada spot ketiga adalah 0,4875. Semakin panjang spot yang
dihasilkan dan dapat memisah antar masing-masing spot, menunjukkan proses
pemisahan berjalan dengan baik. Sifat kepolaran dari silika gel yang bersifat
polar, akan lebih menarik senyawa polar pula berdasarkan sifat Like Dissolve
Like. Sehingga, senyawa yang lebih bersifat semi polar menuju non polar akan
terelusi lebih jauh dari senyawa yang bersifat polar.

Pada pemantauan KLT ini sebelumnya telah dilakukan percobaan dengan


menggunakan pelarut kloroforom:etil asetat = 9:1. Dengan perbandingan pelarut
ini, senyawa belum terpisah dengan baik. Masih banyak terdapat senyawa yang
menumpuk pada satu titik. Ini dikarenakan pelarut yang digunakan belum jenuh
dan juga dapat dikarenakan pelarut yang digunakan ini belum cocok untuk
memisahkan senyawa yang ingin dipisahkan.

VI.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Pada percobaan ini dilakukan teknik pemisahan dan pemurnian. Teknik


pemisahan dan pemurnian adalah mekanisme memisahkan suatu senyawa dengan
senyawa lain dalam rangka untuk menghasilkan suatu isolat murni. Pada teknik
pemisahan dan pemurnian ini dengan menggunakan KLT preparatif.

KLT preparatif merupakan metode pemisahan yang didasarkan pada


perbedaan jarak retensi antara senyawa satu dengan senyawa lain terhadap fase
diam dimana senyawa tersebut sebelumnya terlarut didalam fase gerak.
Kromatografi preparatif merupakan metode kromatografi untuk mendapatkan
isolat murni dimana pada kromatografi ini setiap senyawa akan terpisah menurut
tingkat kepolarannya dengan membentuk urutan pita-pita. Pita tersebut
selanjutnya dipisahkan untuk selanjutnya dilarutkan pada pelarut yang sesuai
sehingga akhirnya diperoleh isolate murni.

Sebelum dilakukan KLT preparatif, dilakukan pemantauan fraksi dan


pemantauan eluen. Percobaan ini menggunakan sampel ektrak kental kunyit dan
fraksi 7 hasil dari KCV. Kemudian ditotolkan pada KLT dengan eluen yang
sesuai yaitu menggunakan eluen kloroform : etil asetat dengan perbandingan 9 ml
: 1,5 ml. hasil eluen ini berdasarkan pemantauan sebelumnya hingga diperoleh
spot yang terpisah satu sama lain dengan jelas dan baik selain itu dilihat
berdasarkan nilai Rf. Pemantauan bertujuan untuk melihat polaritas masing-
masing senyawa yang terkandung didalam sampel kunyit yang berasal dari sampel
ekstrak kental kunyit. Setelah dilakukan pemantauan fraksi dengan KLT
kemudian dilakukan KLT preparatif.

Sebelum dilakukan penotolan sampel pada KLT penotolan berupa


penyebaran bertujuan untuk pada saat elusi diatas membentuk pita yang tidak
terputus sehingga lebih mudah melihat pitanya dan lebih mudah pada saat
pengerokkan setelah itu dilakukan penjenuhan didalam chamber yang berisi eluen
dengan campuran kloroform : etil asetat (9 ml : 1,5 ml). penjenuhan bertujuan
untuk seluruh ruang chamber terselimuti oleh campuran eluen yang akan
digunakan sehingga diperoleh sistem eluen yang mampu memisahkan antar
senyawa dalam jarak yang cukup jauh. Sebelum di jenuhkan ditambahkan dengan
kertas saring, kertas saring bertujuan untuk menandakan kejenuhan eluen ditandai
dengan terbasahi seluruhnya oleh uap eluen.

Plat yang telah dilewati eluen tersebut kemudian dikeluarkan dan dibiarkan
mengering untuk kemudian disinari dibawah sinar lampu UV agar noda yang
tercetak pada plat terlihat dengan jelas. pada panjang gelombang UV 254 dan 352
nm. Merupakan panjang gelombang yang jelas untuk melihat pita. Pita noda yang
terbentuk ditandai dengan jarum agar lebih jelas dalam proses pengerokkan. Pita
noda tersebut merupakan senyawa yang berhasil dipisahkan dan selanjutnya di uji
kemurnian.

Pada hasil KLT preparatif menghasilkan 3 pita. Kemudian pita noda yang
terbentuk dikerok dengan spatula dimana pada pita bagian atas (1), bagian tengah
(2) dan bagian bawah (3). Setelah dikerok dimasukkan kedalam vial dan
dilarutkan dengan methanol sebanyak 5 ml bertujuan untuk melarutkan senyawa
yang ada pada pita noda. Direndam selama 24 jam bertujuan untuk melarut secara
sempurna.

Dilihat berdasarkan hasil alat spektrofotometri UV-Visibel untu


memperoleh nilai absorbansi. Pada awal digunakan methanol sebagai blanko
bertujuan untuk menyamakan pelarut yang sesuai pada saat perendaman pita yang
diperoleh. Dan pada pengujian absorbansi pada fraksi 1 diperoleh nilai absorbansi
yang melebihi garis puncak disebabkan karena adanya silica yang terbawa sehinga
dapat menghambat pembacaan pada saat di spektro UV-Visibel. Sedangkan pada
saat pembacaan absorbansi pada fraksi 3 pada panjang gelombang 200 nm-500
nm terbaca sedikit karena kurang pekat fraksinya.

Kemudian dilakukan KLT satu dimensi dan KLT dua dimensi untuk
menguji tingkat kemurnian suatu senyawa. Pada KLT satu dimensi berdasarkan
pada sifat kepolaran senyawa dalam isolat tersebut. Dimana isolat diuji
menggunakan eluen non-polar terlebih dahulu kemudian ke eluen semipolar dan
yang terakhir kedalam eluen polar. Isolat ini akan menghasilkan satu bercak pada
semua hasil pengembangan dengan semua eluen. Dan pada KLT dua dimensi
hanya yang berbeda adalah perbedaan kepolaran dari setiap senyawa dan berbeda
arah. Berdasarkan pada hasil KLT keduanya menghasilkan nilai Rf yang sama.
Dan berdasarkan hasil satu dimensi diperoleh 2 bercak yang menandakan adanya
senyawa lain yang terbawa saat proses isolasi senyawa murni.

VII. Kesimpulan :

VII.1. Skrining Fitokimia

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Golongan senyawa kimia yang positif setelah diiuji yaitu golongan fenolat,
monoterpen dan seskuiterpen, flavonoid, kuinon.
2. Komponen senyawa kimia dari simplisia rimpang kunyit yang memiliki
aktivitas biologi adalah kurkumin.

VII.2. Ekstraksi
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Simplisia kunyit dapat diisolasi kandungan kimianya dengan ekstraksi.


2. Metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi simplisia kunyit yaitu
dengan metode maserasi, refluks, dan soxhlet.
3. Langkah-langkah dalam metode ekstraksi dilakukan sesuai prosedur yang
telah diberikan.

VII.3. Pemantauan Ekstrak

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Komponen yang ada dalam ekstrak kunyit yaitu bersifat semi polar menuju
non polar dilihat dari pemantauan melalui KLT.
2. Eluen yang sesuai untuk simplisia rimpang kunyit ini adalah eluen
campuran antara kloroform dan etil asetat dengan perbandingan 1 : 9.

VII.4. Fraksinasi

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Metode yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair dan kromatografi cair


vakum.
2. Pemisahan dapat dilakukan, namun belum dapat diidentifikasi bahwa
senyawa yang dipisahkan tersebut merupakan senyawa yang sudah murni.

VII.5. Teknik Pemisahan dan Pemurnian

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Eluen yang digunakan yaitu kloroform : etil asetat (9 ml : 1,5 ml).

2. Metode yang dilakukan adalah KLT biasa, KLT preparatif, satu dimensi dan

metode dua dimensi.

3. Isolat yang dihasilkan tidak murni.


VIII. Daftar Pustaka :

 Agoes,Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Penerbit ITB: Bandung.


 Anonim b. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
 Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4. Jakarta : UI-
press.
 Departemen Kesehatan RI, 1980, Materia Medika Indonesia. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
 Ghisal berti, E.L., 2008, Detection and isolation of Bioactive Natural
Product dalam Bioactive Natural Product : Detection, isolation and
structural determination, colegate, S.M and Molyneux, R.J .(eds), 2nd
edition, CRC press New York.
 Gillis, oxtoby. 2001.Prinsip-prinsip Kimia Modern Jilid I. Jakarta:
Erlangga.
 Gritter, Roy J, dkk. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung: Penerbit ITB.
 Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwan
Sudiro, Penerbit ITB, Bandung.
 Iskandar, Y., dan Susilawati, Y. 2012. Panduan Praktikum Fitokimia.
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran: Jatinangor.
 Keenan. Dkk 1984. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Erlangga.
 Khopkar, S.M. 2008.Dasar-dasar Kimia Analitik. Jakarta: Erlangga.
 Kusumardiyani, Siti dan Nawawi As'ari. 1992. Kimia Bahan Alam.Yogyakar
ta: Pusat antar Universitas Bidang Ilmu Hayati.
 Lisdawati,Vivi., Sumali Wiryowidagdo., L dan Broto S. Kardono. 2007.
“Isolasi Dan Elusidasi Struktur Senyawa Lignan Dan Asam Lemak Dari
Ekstrak Daging Buah Phaleria Macrocarpa”. Jurnal dan Buletin Penelitian
Kesehatan; Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan Litbangkes. Vol. 35.
 Nurhari, Ogi. 2010. Uji Fitokimia-Terpenoid. Sekolah Tinggi Farmasi:
Bandung.
 Praptiwi, Puspa Dewi dan Mindarti Harapini, “Nilai Peroksida Dan
Aktivitas Anti Radikal Bebas Diphenyl Picril Hydrazil Hydrate (Dpph)
Ekstrak Metanol Knema laurina”, Majalah farmasi indonesia, 17(1), 32 –36.
 Rahayu, Hertik DI. 2010. Pengaruh Pelarut yang Digunakan Terhadap
Optimasi Ekstraksi Kurkumin Pada Kunyit (Curcuma domestica Vahl).
 R.J Bannec, the Australian Science Teachers Journal. December 1972. Vol
18 no 4, hal 79-84.
 Sharma R.A, A.J. Gescher, W.P. Steward, 2005,Curcumin: The story so far
Cancer Biomarkers and Prevention Group, Department of Cancer Studies
and Molecular Medicine, University of Leicester, Leicester Royal Infirmary,
Leicester LE2 7LX, UK.
 Sudjadi, Drs., (1986), "Metode Pemisahan", UGM Press, Yogyakarta.
 Sulianti, Sri Budi , Emma Sri Kuncari dan Sofnie M. Chairul. 2005.
“Pemeriksaan Farmakognosi Dan Penapisan Fitokimia Dari Daun Dan
Kulit Batang Calophyllum inophyllum dan Calophyllum soulatri”.
Biodiversitas ISSN: 1412-033x Volume 7.
 Sumarnie, H.Priyono dan Praptiwi 2005. “Identifikasi Senyawa Kimia Dan
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Piper sp. Asal papua”. Puslit.Biologi-LIPI.
 Voight. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi 5. Yogyakarta :
UGM-press.
 Wahyuni, Hardjono, dan Paskalina Hariyantiwasi Yamrewav, 2004.
Ekstraksi Kurkumin dari Kunyit, Yogyakarta: Jurusan Teknik Kimia,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai