Anda di halaman 1dari 476
Tere Liye Serial Keluarga Nusantara Buku Ke-1 Si Anak Kuat Prolog Halo semua, kenalkan, namaku Amelia. Di sekolah aku selalu dipanggil ‘Amel’. Di tempat belajar mengaji Nek Kiba, di sungai, di balai kampung, teman-teman bermain dan bahkan semua _ orang memanggilku ‘Amel’. Juga di rumah. Tapi, dalam situasi tertentu, kadang aku dipanggil dengan nama lengkap, ‘Amelia’. Itu situasi amat khusus. Nah, kalau nama lengkapku disebut, itu berarti Bapak dan Mamak sedang bicara serius—seringnya sedang menasihatiku karena aku melanggar peraturan. Aku hafal sekali, Bapak akan menyebut namaku dengan intonasi tegas. Menyebut satu per satu suku kata “A-me-lia, maukah kau mendengar cerita Bapak, Nak?” Bapak selalu begitu, bahkan saat sedang marah besar karena aku bermain kemalaman—baru pulang lepas maghrib. Bapak selalu memulainya dengan pertanyaan, maukah kau mendengar cerita? Karena saat marah pun, Bapak akan menyampaikannya lewat cerita agar aku paham. Mamak, sebaliknya—juga aku hafal sekali— menyebut namaku lengkap dengan intonasi nyaring dan cepat, “AMELIA! Kau bergegas masuk rumah, hah! Tidak tahu ini sudah pukul berapa?” atau “AMELIA! Mau jadi apa anak perempuan keluyuran malam-malam. Susah sekali menasihati kau.” Dan aku terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Jadi, sekali namaku disebut lengkap, ‘Amelia’, entah oleh Bapak atau Mamak, itu selalu bukan pertanda baik. Aku dan keluargaku tinggal di perkampungan yang indah. Persis di Lembah Bukit Barisan. Dilingkari oleh hutan lebat di bagian atasnya. Lereng-lereng yang berkabut saat pagi, bagai melihat kapas sejauh mata memandang. Di bawahnya dibatasi oleh sungai besar berair jernih. Jika datang pagi-pagi, pukul enam misalnya, kalian akan melihat air sungai yang seolah menyimpan balok-balok es, mengepul mengeluarkan uap. Begitu jemih, begitu dingin. Koral dasar sungai terlihat. Ikan berlarian di sela kaki membuat geli. Kalian pasti sudah tahu, aku anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak tertuaku bernama Eliana, semua orang memanggilnya ‘Eli, Kak Eli amat terkenal di sekolah, di kampung, di Kota Kecamatan, di mana-mana. Siapa, sih, yang tidak tahu Eliana si pemberani?! Bahkan pejabat Kota Kabupaten juga kenal. Kalau kalian bikin 3 masalah dengannya, maka Kak Eli sendirian berani menghadapinya. Kata Bapak, hal yang paling ditakuti oleh Kak Eli adalah rasa takut itu sendiri. Aku, sih, tidak terlalu paham maksudnya, tetapi bagiku, ssttt, Kak Eli bukan orang terkenal, Kak Eli justru adalah orang yang paling menyebalkan di rumah. Nanti kalian pasti segera tahu kenapa Kak Eli itu menyebalkan. Kakak nomor duaku bernama Pukat, karena namanya pendek, maka dengan itulah ia dipanggil ‘Pukat’ saja. Oh iya, nama kami memang pendek-pendek, hanya satu kata. Berbeda dengan nama teman-teman dari kota yang bisa dua atau tiga kata. Zaman itu tidak lazim anak- anak kampung memiliki nama panjang. Aku suka dengan Kak Pukat. Aku cukup dekat dengannya. Rasa-rasanya Kak Pukat-lah yang sering membelaku, terutama kalau lagi bertengkar dengan kakakku yang lain. Ia paling sering sependapat denganku. Hanya satu yang aku tidak suka, Kak Pukat itu pelit sekali membantu mengerjakan PR. Padahal, seluruh sekolah juga tahu kalau Kak Pukat paling pintar. Pak Bin, guru kami di sekolah berkali-kali membanggakan betapa pintarnya Kak Pukat dengan menyebutnya anak jenius, calon profesor, penemu hebat, kelak semua orang akan tahu betapa pintarnya anak keluarga Syahdan nomor dua itu. Tetapi apa serunya, sih, punya kakak jenius, kalau ia—bahkan—tidak mau membantu menuliskan jawaban PR Matematika-ku. Percuma. Setiap kali aku tanya, Kak Pukat hanya nyengir berseru, “Amel, kerjakan sendiri. Kakak sedang sibuk.” Sibuk apanya, Kak Pukat malah pergi bermain bola sepak di lapangan bekas pabrik karet. Terakhir, kakak nomor tigaku—persis di atasku— bernama Burlian, juga dipanggil sesuai namanya, ‘Burlian’. Orang paling jahil nomor satu di dunia. Kak Burlian selalu iseng, selalu nakal. Kalau ada yang _ tiba-tiba menumpahkan lem di atas tempat tidurku, itu pasti Kak Burlian. Kalau ada yang tiba-tiba menjawil rambut kepangku—padahal suasana sedang lengang, damai, sentosa, menyenangkan, atau tiba-tiba menarik bajuku, itu pasti Kak Burlian. Kalau ada yang tega meninggalkanku sendirian sepulang mengaji dari rumah Nek Kiba, itu pasti Kak Burlian. Tapi tidak apa, mudah mengatasinya, aku tinggal menghadap Mamak, pura-pura menangis, memasang wajah kesakitan, melapor, maka pasti Kak Burlian kena hukum. Anehnya, ia tidak pernah kapok. Entahlah, kalau menurut Bapak, Kak Burlian itu memang spesial soal keras kepala. “Kakak kau itu memang jahil, Amel. Tapi dia akan melihat dunia, dia akan belajar banyak. Burlian, kakak kau itu spesial, Amel, memiliki keteguhan hati. Nah, semoga kalau besar nanti, jahilnya berkurang.” Aku tidak terlalu paham kalimat Bapak. Bahkan aku tidak mengerti benar arti ‘keteguhan hati’. Bukankah aneh sekali, selalu berbuat jahil malah disebut ‘keteguhan hati’. Apanya yang spesial? Hal lain yang juga tidak kusukai dari Kak Burlian adalah ia sering mengolok-olokku tentang ‘menunggu rumah’. Nanti kalian juga akan tahu maksud ‘menunggu rumah’ ini. Setiap kali pergi bermain, dan aku ingin ikut, Kak Burlian sering berseru kepadaku, “Kau tidak usah ikut kami, Amel. Kau ditakdirkan menunggu rumah.” Atau di lain 5 kesempatan ia nyeletuk, “Kau anak bungsu, Amel. Sejauh apa pun kau pergi, tetap akan ‘menunggu rumah’, tidak bisa ke mana-mana.” Aku sebal mendengar kalimat itu, dan untuk yang ini, aku tidak bisa mengadukannya kepada Mamak. Itu ketiga kakakku. Kembali lagi padaku. Kenalkan sekali lagi, namaku Amelia, semua orang memanggilku ‘Amel’. Tetapi sebenarnya—kalau boleh—aku justru ingin — sekali dipanggil dengan nama lain. Bukan ‘Amel’, bukan ‘Meli’, bukan juga ‘Lia’, melainkan ‘Eli’. Toh, namaku juga AM- ELLA, bisa dipanggil ‘Eli’. Ya, itu benar, persis seperti panggilan kakakku yang nomor satu, Eliana. Aku ingin dipanggil Eli, bahkan aku ingin berubah menjadi Eli. Aku ingin menjadi kakak nomor satu, sulung di keluargaku. Aku ingin berada di posisinya. Aku ingin menikmati megahnya menjadi kakak pertama. Aku bosan jadi anak bungsu karena tidak selalu menyenangkan seperti yang kalian pikirkan. Baiklah, cukup perkenalannya, mari kita mulai cerita tentangku. Kalian pasti telah lama menunggu cerita tentangku. Karena sudah kusebut-sebut soal nama panggilan ‘Amel’ dan ‘Eli’ ini, maka kita mulai seluruh cerita dengan nama panggilan itu. wee 1. Si Tukang Ngatur-Ngatur Gerimis membungkus perkampungan. Sejauh mata memandang terlihat tetes air. Di ujung- ujung genteng, dedaunan, juga halaman. Tidak lebat. Tidak sampai menghalangi penduduk kampung kami pergi ke ladang untuk menyadap karet, menyiangi rumput kebun kopi, atau ke hutan mencari rotan dan bambu. Pagi baru saja menyapa. Di jalan depan rumah panggung terlihat beberapa tetangga yang kukenal, menyampirkan keranjang di punggung, berjalan bergegas di bawah rinai. Satu-dua mengenakan plastik besar sebagai jas hujan. Lebih banyak yang memakai topi lebar. Kata Pak Bin, penduduk kampung kami itu memang rajin- rajin. Sepagi ini, hujan tidak membuat mereka mengeluh, apalagi menunda pekerjaan. Aku menguap, menggaruk rambut. Aku selalu suka hujan, itu selalu spesial. Apalagi ini hari Minggu, libur sekolah, lebih spesial lagi. Tapi sejak tadi subuh, hari spesialku telah dicuri oleh Kak Eli. Ia membangunkanku, menarik kemul dengan paksa. “Bangun, Amel!” Aduh, ini kan hari libur, apa pentingnya bangun pagi- pagi, aku protes dalam hati. Suara gerimis, suasana dingin, lebih baik meringkuk di bawah kemul. “Bangun, Pemalas!” Kali ini bahkan Kak Eli menjawil rambutku. Aku menyambar bantal. Menutup kepala. Membangun benteng perlawanan. Kak Eli tertawa, lantas seperti disengaja benar, ia teriak kencang ke arah pintu kamar, “Mak, Amel tidak mau bangun.” Dan Mamak dengan suara nyaring, langsung menyahut dari dapur, “Bangunkan segera adik-adik kau, Eli. Hari ini Mamak dan Bapak akan sibuk sekali membantu Mang Dullah menebar bibit padi. Harus segera berangkat pagi-pagi buta.” Aku mengintip dari balik bantal. Kak Eli mengangkat bahu, menunjuk padaku, “Sudah, Mak. Tapi susah sekali menyuruh si pemalas ini bangun.” Maka, tidak perlu menunggu, segera terdengar suara kaki melangkah dari dapur. “Apa susahnya membangunkan adik-adik kau, Eli.” Mamak mendekat. “Burlian, Pukat, bangun!” Langkah kaki Mamak terhenti sejenak. Melotot ke arah Kak Pukat dan Kak Burlian yang sebenarnya sudah bangun dari tadi, tapi tidur lagi di ruang tengah, di atas kursi, dengan kepala di atas meja. “Susah sekali menyuruh kalian bangun sepagi ini, hah. Sana bergegas ambil wudhu, shalat Shubuh. Lepas itu bantu Bapak kalian menyiapkan karung-karung bibit padi, peralatan. Nanti tetangga akan datang mengambilnya.”

Anda mungkin juga menyukai