Tere Liye
Serial Keluarga Nusantara
Buku Ke-1
Si Anak KuatProlog
Halo semua, kenalkan, namaku Amelia.
Di sekolah aku selalu dipanggil ‘Amel’. Di tempat
belajar mengaji Nek Kiba, di sungai, di balai kampung,
teman-teman bermain dan bahkan semua _ orang
memanggilku ‘Amel’. Juga di rumah. Tapi, dalam situasi
tertentu, kadang aku dipanggil dengan nama lengkap,
‘Amelia’.
Itu situasi amat khusus.
Nah, kalau nama lengkapku disebut, itu berarti
Bapak dan Mamak sedang bicara serius—seringnya
sedang menasihatiku karena aku melanggar peraturan.
Aku hafal sekali, Bapak akan menyebut namaku dengan
intonasi tegas. Menyebut satu per satu suku kata “A-me-lia,maukah kau mendengar cerita Bapak, Nak?” Bapak selalu
begitu, bahkan saat sedang marah besar karena aku
bermain kemalaman—baru pulang lepas maghrib. Bapak
selalu memulainya dengan pertanyaan, maukah kau
mendengar cerita? Karena saat marah pun, Bapak akan
menyampaikannya lewat cerita agar aku paham.
Mamak, sebaliknya—juga aku hafal sekali—
menyebut namaku lengkap dengan intonasi nyaring dan
cepat, “AMELIA! Kau bergegas masuk rumah, hah! Tidak tahu
ini sudah pukul berapa?” atau “AMELIA! Mau jadi apa anak
perempuan keluyuran malam-malam. Susah sekali menasihati
kau.” Dan aku terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Jadi,
sekali namaku disebut lengkap, ‘Amelia’, entah oleh Bapak
atau Mamak, itu selalu bukan pertanda baik.
Aku dan keluargaku tinggal di perkampungan yang
indah. Persis di Lembah Bukit Barisan. Dilingkari oleh
hutan lebat di bagian atasnya. Lereng-lereng yang
berkabut saat pagi, bagai melihat kapas sejauh mata
memandang. Di bawahnya dibatasi oleh sungai besar
berair jernih. Jika datang pagi-pagi, pukul enam misalnya,
kalian akan melihat air sungai yang seolah menyimpan
balok-balok es, mengepul mengeluarkan uap. Begitu
jemih, begitu dingin. Koral dasar sungai terlihat. Ikan
berlarian di sela kaki membuat geli.
Kalian pasti sudah tahu, aku anak bungsu dari
empat bersaudara. Kakak tertuaku bernama Eliana, semua
orang memanggilnya ‘Eli, Kak Eli amat terkenal di
sekolah, di kampung, di Kota Kecamatan, di mana-mana.
Siapa, sih, yang tidak tahu Eliana si pemberani?! Bahkan
pejabat Kota Kabupaten juga kenal. Kalau kalian bikin
3masalah dengannya, maka Kak Eli sendirian berani
menghadapinya. Kata Bapak, hal yang paling ditakuti oleh
Kak Eli adalah rasa takut itu sendiri. Aku, sih, tidak terlalu
paham maksudnya, tetapi bagiku, ssttt, Kak Eli bukan orang
terkenal, Kak Eli justru adalah orang yang paling menyebalkan
di rumah. Nanti kalian pasti segera tahu kenapa Kak Eli itu
menyebalkan.
Kakak nomor duaku bernama Pukat, karena
namanya pendek, maka dengan itulah ia dipanggil ‘Pukat’
saja. Oh iya, nama kami memang pendek-pendek, hanya
satu kata. Berbeda dengan nama teman-teman dari kota
yang bisa dua atau tiga kata. Zaman itu tidak lazim anak-
anak kampung memiliki nama panjang.
Aku suka dengan Kak Pukat. Aku cukup dekat
dengannya. Rasa-rasanya Kak Pukat-lah yang sering
membelaku, terutama kalau lagi bertengkar dengan
kakakku yang lain. Ia paling sering sependapat denganku.
Hanya satu yang aku tidak suka, Kak Pukat itu pelit sekali
membantu mengerjakan PR. Padahal, seluruh sekolah juga
tahu kalau Kak Pukat paling pintar. Pak Bin, guru kami di
sekolah berkali-kali membanggakan betapa pintarnya Kak
Pukat dengan menyebutnya anak jenius, calon profesor,
penemu hebat, kelak semua orang akan tahu betapa pintarnya
anak keluarga Syahdan nomor dua itu. Tetapi apa serunya, sih,
punya kakak jenius, kalau ia—bahkan—tidak mau
membantu menuliskan jawaban PR Matematika-ku.
Percuma. Setiap kali aku tanya, Kak Pukat hanya nyengir
berseru, “Amel, kerjakan sendiri. Kakak sedang sibuk.” Sibuk
apanya, Kak Pukat malah pergi bermain bola sepak di
lapangan bekas pabrik karet.Terakhir, kakak nomor tigaku—persis di atasku—
bernama Burlian, juga dipanggil sesuai namanya, ‘Burlian’.
Orang paling jahil nomor satu di dunia. Kak Burlian selalu
iseng, selalu nakal. Kalau ada yang _ tiba-tiba
menumpahkan lem di atas tempat tidurku, itu pasti Kak
Burlian. Kalau ada yang tiba-tiba menjawil rambut
kepangku—padahal suasana sedang lengang, damai,
sentosa, menyenangkan, atau tiba-tiba menarik bajuku, itu
pasti Kak Burlian. Kalau ada yang tega meninggalkanku
sendirian sepulang mengaji dari rumah Nek Kiba, itu pasti
Kak Burlian.
Tapi tidak apa, mudah mengatasinya, aku tinggal
menghadap Mamak, pura-pura menangis, memasang
wajah kesakitan, melapor, maka pasti Kak Burlian kena
hukum. Anehnya, ia tidak pernah kapok. Entahlah, kalau
menurut Bapak, Kak Burlian itu memang spesial soal keras
kepala. “Kakak kau itu memang jahil, Amel. Tapi dia akan
melihat dunia, dia akan belajar banyak. Burlian, kakak kau itu
spesial, Amel, memiliki keteguhan hati. Nah, semoga kalau besar
nanti, jahilnya berkurang.”
Aku tidak terlalu paham kalimat Bapak. Bahkan
aku tidak mengerti benar arti ‘keteguhan hati’. Bukankah
aneh sekali, selalu berbuat jahil malah disebut ‘keteguhan
hati’. Apanya yang spesial?
Hal lain yang juga tidak kusukai dari Kak Burlian
adalah ia sering mengolok-olokku tentang ‘menunggu
rumah’. Nanti kalian juga akan tahu maksud ‘menunggu
rumah’ ini. Setiap kali pergi bermain, dan aku ingin ikut,
Kak Burlian sering berseru kepadaku, “Kau tidak usah ikut
kami, Amel. Kau ditakdirkan menunggu rumah.” Atau di lain
5kesempatan ia nyeletuk, “Kau anak bungsu, Amel. Sejauh apa
pun kau pergi, tetap akan ‘menunggu rumah’, tidak bisa ke
mana-mana.” Aku sebal mendengar kalimat itu, dan untuk
yang ini, aku tidak bisa mengadukannya kepada Mamak.
Itu ketiga kakakku.
Kembali lagi padaku. Kenalkan sekali lagi, namaku
Amelia, semua orang memanggilku ‘Amel’. Tetapi
sebenarnya—kalau boleh—aku justru ingin — sekali
dipanggil dengan nama lain. Bukan ‘Amel’, bukan ‘Meli’,
bukan juga ‘Lia’, melainkan ‘Eli’. Toh, namaku juga AM-
ELLA, bisa dipanggil ‘Eli’.
Ya, itu benar, persis seperti panggilan kakakku yang
nomor satu, Eliana. Aku ingin dipanggil Eli, bahkan aku
ingin berubah menjadi Eli. Aku ingin menjadi kakak
nomor satu, sulung di keluargaku. Aku ingin berada di
posisinya. Aku ingin menikmati megahnya menjadi kakak
pertama. Aku bosan jadi anak bungsu karena tidak selalu
menyenangkan seperti yang kalian pikirkan.
Baiklah, cukup perkenalannya, mari kita mulai
cerita tentangku. Kalian pasti telah lama menunggu cerita
tentangku. Karena sudah kusebut-sebut soal nama
panggilan ‘Amel’ dan ‘Eli’ ini, maka kita mulai seluruh
cerita dengan nama panggilan itu.
wee1. Si Tukang Ngatur-Ngatur
Gerimis membungkus perkampungan.
Sejauh mata memandang terlihat tetes air. Di ujung-
ujung genteng, dedaunan, juga halaman. Tidak lebat.
Tidak sampai menghalangi penduduk kampung kami
pergi ke ladang untuk menyadap karet, menyiangi rumput
kebun kopi, atau ke hutan mencari rotan dan bambu.
Pagi baru saja menyapa. Di jalan depan rumah
panggung terlihat beberapa tetangga yang kukenal,
menyampirkan keranjang di punggung, berjalan bergegas
di bawah rinai. Satu-dua mengenakan plastik besar
sebagai jas hujan. Lebih banyak yang memakai topi lebar.
Kata Pak Bin, penduduk kampung kami itu memang rajin-
rajin. Sepagi ini, hujan tidak membuat mereka mengeluh,
apalagi menunda pekerjaan.
Aku menguap, menggaruk rambut. Aku selalu suka
hujan, itu selalu spesial. Apalagi ini hari Minggu, libur
sekolah, lebih spesial lagi. Tapi sejak tadi subuh, hari
spesialku telah dicuri oleh Kak Eli. Ia membangunkanku,
menarik kemul dengan paksa.
“Bangun, Amel!”
Aduh, ini kan hari libur, apa pentingnya bangun pagi-
pagi, aku protes dalam hati. Suara gerimis, suasana dingin,
lebih baik meringkuk di bawah kemul.
“Bangun, Pemalas!”Kali ini bahkan Kak Eli menjawil rambutku. Aku
menyambar bantal. Menutup kepala. Membangun benteng
perlawanan.
Kak Eli tertawa, lantas seperti disengaja benar, ia
teriak kencang ke arah pintu kamar, “Mak, Amel tidak
mau bangun.”
Dan Mamak dengan suara nyaring, langsung
menyahut dari dapur, “Bangunkan segera adik-adik kau,
Eli. Hari ini Mamak dan Bapak akan sibuk sekali
membantu Mang Dullah menebar bibit padi. Harus segera
berangkat pagi-pagi buta.”
Aku mengintip dari balik bantal. Kak Eli
mengangkat bahu, menunjuk padaku, “Sudah, Mak. Tapi
susah sekali menyuruh si pemalas ini bangun.”
Maka, tidak perlu menunggu, segera terdengar
suara kaki melangkah dari dapur.
“Apa susahnya membangunkan adik-adik kau, Eli.”
Mamak mendekat.
“Burlian, Pukat, bangun!”
Langkah kaki Mamak terhenti sejenak. Melotot ke
arah Kak Pukat dan Kak Burlian yang sebenarnya sudah
bangun dari tadi, tapi tidur lagi di ruang tengah, di atas
kursi, dengan kepala di atas meja.
“Susah sekali menyuruh kalian bangun sepagi ini,
hah. Sana bergegas ambil wudhu, shalat Shubuh. Lepas itu
bantu Bapak kalian menyiapkan karung-karung bibit padi,
peralatan. Nanti tetangga akan datang mengambilnya.”