Disusun oleh :
JOMBANG
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah
rollplay ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang bertema “etika perawat
terhadap pasien yang memiliki gangguan bicara”. Modul ini berisikan tentang etika
perawat yang menghadapi pasien gangguan bicara.
Tidak lupa saya ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Afif selaku dosen
pembimbing kami yang telah memberi pengarahan dalam pembuatan makalah
ini.Saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB IV PELAKSANAAN...................................................................................................... 10
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1. Tujuan umum
Kami mengharapkan dari makalah kami ini dapat memberikan informasi baru bagi
pembaca atau pun masyarakat pada umumnya.
2. Tujuan khusus
Agar mahasiswa / mahasiswi dapat mengembangkan kreatifitas mereka, dan ini
merupakan pembelajaran baru dan pengetahuan baru tentang tanggung jawab dan
tanggung gugat dalam tindakan profesional.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
1. Teori-Teori Tentang Gangguan Berbahasa
Bisu adalah ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh
gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah,
dsb. Bisu umumnya diasosiasikan dengan tuli.
Etiologi dan Patogenesis Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak. Penyebab
kelainan berbicara dan bahasa bisa bermacam-macam yang melibatkan berbagai
faktor yang dapat saling mempengaruhi, antara lain kondisi lingkungan,
pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis, dan lain sebagainya.
2. Gangguan bicara dan bahasa pada anak dapat disebabkan oleh kelainan berikut :
1) Lingkungan sosial dan emosional anak.
Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan
perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan
gangguan bicara dan bahasa pada anak, termasuk lingkungan keluarga.
Misalnya, gagap dapat disebabkan oleh kekhawatiran dan perhatian orang tua
yang berlebihan pada saat anak mulai belajar bicara, tekanan emosi pada usia
yang sangat muda sekali, dan dapat juga sebagai suatu respon terhadap konflik
dan rasa takut.
2) Sistem masukan / input.
Gangguan pada sistem pendengaran, penglihatan, dan defisit taktilkinestetik
dapat menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak. Dalam
perkembangan bicara, pendengaran merupakan alat yang sangat penting. Anak
seharusnya sudah dapat mengenali bunyibunyian sebelum belajar bicara. Anak
dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan
mengalami keterlambatan kemampuan menerima atau mengungkapkan bahasa.
Gangguan bahasa juga terdapat pada tuli karena kelainan genetik dan
metabolik (tuli primer), tuli neurosensorial (infeksi intrauterin : TORCH), tuli
konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak
dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti
bicara yang didengarmenjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis
5
seperti pada skizofrenia, autisme infantil, keadaan cemas dan reaksi psikologis
lainnya.
Anak dengan gangguan penglihatan yang berat, akan terganggu pola
bahasanya. Pada anak dengan defisit taktilkinestetik akan terjadi gangguan
artikulasi, misalnya pada anak dengan. anomali alat bicara perifer, seperti pada
labioskizis, palatoskizis dan kelainan bentuk rahang, bisa didapati gangguan
bicara berupa disartria.
3) Sistem pusat bicara dan bahasa.
Kelainan pada susunan saraf pusat akan mempengaruhi pemahaman,
interpretasi, formulasi, dan perencanaan bahasa, juga aktivitas dan kemampuan
intelektual dari anak. Dalam hal ini, terdapat defisit kemampuan otak untuk
memproses informasi yang komplek secara cepat. Kerusakan area Wernicke
pada hemisfer dominan girus temporalis superior seseorang akan menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi intelektual yang berhubungan dengan bahasa atau
simbol verbal, yang disebut dengan afasia Wernicke.
3. Penatalaksanaan Gangguan Bicara dan Bahasa menurut Blager
1) Lingkungan
A. Sosial ekonomi kurang
B. Tekanan keluarga
C. Keluarga bisu
D. Dirumah menggunakan bahasa bilingual
E. Meningkatkan stimulasi
F. Mengurangi tekanan
G. Meningkatkan stimulasi
H. Menyederhankan masukan bahasa
I. Kelompok BKB (Bina Keluarga dan Balita) atau kelompok bermain
J. Konseling keluarga
K. Kelompok BKB/bermain
L. Ahli terapi wicara
2) Emosi
A. Ibu yang tertekan
B. Gangguan serius pada keluarga
C. Gangguan serius pada anak
D. Meningkatkan stimulasi
6
E. Menstabilkan lingkungan emosi
F. Meningkatkan status emosi anak
G. Konseling, kelompok BKB/bermain
H. Psikoterapis
3) Masalah Pendengaran
A. Kongenital
B. Didapat
C. Monitor dan obati kalau memungkinkan
D. Monitor dan obati kalau memungkinkan
E. Audiologis/ahli THT
F. Audiologis/ahli THT
4) Perkembangan Lambat
A. Dibawah ratarata
B. Perkembangan terlambat
C. Retardasi Mental
D. Tingkatkan stimulasi
E. Tingkatkan stimulasi
F. Maksimalkan potensi
G. Ahli terapi wicara
H. Ahli terapi wicara
I. Program khusus
5) Cacat bawaan
A. Palatoschizis
B. Sindrom Down
C. Monitor dan dioperasi
D. Monitor dan stimulasi
E. Ahli terapi wicara setelah operasi
F. Rujuk ke ahli terapi wicara, monitor pendengarannya
6) Kerusakan otak
A. Palsi serebral Mengoptimalkan
B. Kemampuan fisik
C. Kognitif dan bicara anak
D. Rehabilitasi, ahli terapi
E. wicara
7
Anak tidak hanya membutuhkan stimulasi untuk aktifitas fisiknya, tetapi juga
untuk meningkatkan kemampuan bahasa.bila anak mengalami deprivasi yang berat
terhadap kesempatan untuk mendapatkan pengalaman tersebut, maka akibatnya
perkembangannya mengalami hambatan.
8
B. Orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat
pendengarannya, sehingga dia tidak bisamemproduksi ujaran-bahasa dan
tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain.
Pada pasien ini yang mengalami bisu dan tuli kaena alt artikulasi dan
pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya
normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau
dengan bahasa "membaca bibir". Untuk dapat berkomunikasiitu tentunya
mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan
banyak waktu.
C. Orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidakada kelainan,
tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ini
menjadi bidu karena tidak pernah mendengar ujaran-bahasa orang lain,
sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran-bahasa itu.
Pasien golongan ini yangmenjadi bisu karena kerusakan atau kelainan
alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal,
masihbisa dilatih untuk memproduksi ujaran-bahasa secara tidak sempurna
karena dia tidak bisa mendengar suara ujaran bahasa itu. Pelatihan
dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikan, memengan, dan
merasakan "gerak mulut" pelatih bicara. Ini pun memerlukan waktu yang
cukup lama.
9
BAB III
ISI
10
3.3 FASE KERJA
Fase ini dimana perawat melakukan tugasnya sebagai seorang perawat yang
professional , Dengan melakukan interaksi dengan pasien gangguan tunawicara
tersebut
Perawat : Gimana Dek Atul, masih panas? (Bicara pelan-pelan)
Pasien : Udah enggak (Jawab tidak jelas)
Perawat : Dek Atul, udah sarapan?
Pasien : (Tampak bingung)
Perawat : Udah sarapan? (Mengulang dan memberi bahasa isyarat)
Pasien : Sarapan? (Bicara tidak jelas dan dengan bahasa isyarat)
Perawat : (Mengangguk) Iya. Udah?
Pasien : (Menggeleng) Belom (Bicara tidak jelas)
Perawat : Hlo, kok belom. Terus mau sarapan kapan?
Pasien : Eung..eung… (Tampak berpikir) Nanti (Kata pasien tidak jelas)
Perawat : O nanti. Beneran hlo, abis ini langsung sarapan ya?
Pasien : (Mengangguk dan tersenyum)
Perawat : Sekarang, Suster periksa dulu ya? (Bicara pelan-pelan)
Pasien : Periksa? (Tanya dengan kata tidak jelas)
Perawat : (Mengagguk dan tersenyum)
Pasien : Suntik, Sus? (Tanya tidak jelas dengan bahasa isyarat dan tampak
takut-takut)
Perawat : (Mencoba memahami)
Orang Tua : (Menerjemahkan) Gak disuntik kan, Sus?
Perawat : (Tersenyum) O… enggak (Dengan bahasa isyarat) Cuma di tensi.
Gak sakit kok
Pasien : Janji? (Bicara tidak jelas dan dengan bahasa isyarat)
Perawat : (Tersenyum) Janji (Berkata mantap)
Pasien : Baiklah (Bicara tidak jelas dan tampak siap di periksa meski masih
takut-takut)
Perawat : (Tersenyum dan mulai memeriksa pasien)
3.4 FASE TERMINASI
Fase ini dimana pasien msudah selesai atas haknya mendapat perawatan dari
perawat Rumah sakit .
11
Perawat : Udah selesai (Berkata pelan-pelan)
Pasien : Udah? (Tidak jelas)
Perawat : (Mengangguk) Kalo gitu Suster tinggal dulu ya?
Pasien : Kok mau pergi? (Tidak jelas dengan wajah sedih)
Perawat : Iya, kan udah selesi (Bicara pelan-pelan dan tersenyum) Jangan sedih
(Menyentuh pundak pasien, menunjukan senyum lebar) Nanti Suster
kesini lagi
Pasien : Bener ya Suster? (Senang, suara tidak jelas)
Perawat : Iya (Tersenyum sambil mengaguk)
“Kemudian perawat menghampiri orang tua pasien.
Perawat : Bu , saya permisi dulu ya, kalau ada apa-apa, panggil saya atau
perawat yang lain ya, Bu (Tersenyum)
Orang tua : Iya Suster, Terima kasih (Tersenyum)
Perawat : Sama-sama. Mari, Bu
12
BAB IV
PELAKSANAAN
4.1 TOPIK
Bermain peran/role play dengan melakukan kegiatan, dan mengambil judul
“Kesabaran kami”, di ruangan.
4.2 TUJUAN ROLE PLAY
Dalam proses belajar mengajar, Role playing merupakan salah satu metode
belajar komunikatif yang berorientasi pada pembelajar. Dari pendapat beberapa ahli
dapat dilihat beberapa manfaat dan tujuan penggunaan metode ini, antara lain:
1. Memberikan motivasi kepada mahasiwa
1) aspek kreatif lebih terlihat bermain dari pada bekerja
2) tekanan/keharusan untuk memecahkan masalah atau konflik yang
dialami karakter mereka lebih memberikan motivasi daripada tekanan
ketika mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian.
Tekanan semacam ini justru akan mereka temui dalam kehidupan
nyata.
2. Menambah/memperkaya sistem pembelajaran tradisional
1) Pengajar tidak hanya mencekoki mahasiswa dengan teori-teori
2) Bermain peran menunjukkan dunia sebagai tempat yang kompleks
dengan masalah-masalah yang kompleks pula. Masalah-masalah ini
tidak dapat dipecahkan hanya dengan satu jawaban sederhana yang
diingat oleh mahasiswa.
3) Mahasiswa belajar bahwa keterampilan yang dipelajari secara terpisah,
seperti keterampilan berkomunikasi, sering digunakan secara bersama-
sama dalam menyelesaikan berbagai tugas/kegiatan dalam dunia nyata.
4) Pembelajaran dengan bermain peran lebih mengutamakan nilai rasa,
kreatifitas dan juga pengetahuan.
5) latihan untuk mengutamakan pentingnya orang dan sudut pandang
mereka merupakan bekal yang sangat penting bagi mahasiswa di dunia
kerja mereka nantinya.
Dalam bermain peran, mahasiswa diberi peran dan situasi. Karena bermain
peran menyerupai/meniru kehidupan yang sesungguhnya, maka bahasa yang
13
digunakan akan berkembang, karena mereka harus menggunakan bahasa yang sesuai
dengan situasi dan karakter yang diperankan. Hubungan peran antar mahasiswa dapat
mengembangkan kompetensi sosiolinguistik mereka.
Bermain peran merupakan satu metode yang sangat baik dalam pembelajaran
bahasa asing kedua. Hal ini diungkapkan oleh Tompkins (1998). Metode ini
memberikan semangat untuk berfikir dan berkreativitas serta memberikan
kesempatan pembelajar untuk mengembangkan dan melatih keterampilan berbahasa
dan kemampuan bertingkah laku dalam situasi yang lebih nyata. Bonnet (2000)
dalam laporan hasil penelitiannya menulis, bahwa dengan bermain peran dan
berdebat siswa meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk berbicara dan berdebat.
Seperti pendapat Rebaud dan Sauvé yang dikutip Bonnet, permainan-permainan
semacam ini dapat membantu dalam mengungkapkan pendapat, improvisasi,
mendengar dan memahami sudut pandang orang lain.
Selain itu, permainan ini juga membantu siswa untuk mengembangkan sikap
toleransi dan dalam membuat keputusan. Hal ini akan menuntun siswa untuk berfikir
mandiri.
4.3 PENGORGANISASIA
Nama-nama pemeran (Menyesuaikan)
1. Fadilla Ainurrofiqoh : Orang Tua
2. Rika Nurul Latifah : Perawat
3. Yunita Lorensa : Pasien
4. Yusratul Falahiyah : Moderator
Media dan Alat (Menyesuaikan)
14
2) Perkenalan:
Hai teman-teman sebelum kami memulai role play ini, kami akan
memperkenalkan teman-teman saya yang cantik dan tampan.
3) Inti/isi cerita dari role play
1) Kesimpulan
Kesimpulan dari role play diatas adalah peran perawat pada kasus
pasien gangguan bicara sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung
kepada klien yang mengalami gangguan bicara, sebagai pendidik
memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta
sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan
keperawatan kepada klien .
2) Saran
Berhati-hatilah dalam melakukan tindakan keperawatan, karena sekecil
apapun tindakan yang kita lakukan kalau tindakan tersebut salah maka
akan membawa dampak yang besar
3) Penutup
Demikian lah drama ini yang dapat kami tampilkan. Kami mohon maaf
jika ada kesalahan kata maupun kesamaan dalam cerita ini, karena cerita
ini hanyalah fiktif belaka.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://afrizaldaonk.blogspot.co.id/2011/01/gangguan-bicara-dan-bahasa-pada-anak.html
Http://Addy1571.Files.Wordpress.Com/2008/12/Tanggung-Jawab-Dan-Tanggung-Gugat-
Perawat-Dalam-Sudut-Pandan.Pdf
16