Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS PILKADA DALAM

PRESPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM,

Pemilihan Umum pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme yang diciptakan sebagai bentuk

dari proses penjaringan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu seperti

Perwakilan Rakyat maupun Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota

bahkan untuk memilih Kepala negara (PILKADA). Seiring perkembangan Konsep

Ketatanegaraan Indonesia saat ini, Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) telah dianggap sebagai

konsensus politik nasional yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan

pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Undang-Undang No. 32 tahun

2004 Tentang Otonomi Daerah merupakan “gerbang” awal demokrasi di daerah, dimana

Undang-Undang ini mengamanahkan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun

Walikota dapat dipilih rakyat secara langsung . Lalu bagaimana Hubungan Sosiologi Hukum

Terhadap PILKADA ? dan bagaimana pandangan sosiologi Hukum terhadap permasalahan yang

muncul setelah Pelaksanaan Pilkada ? Secara Teoritis Sosiologi Hukum mempelajari hubungan

timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial secara empiris analitis, dapat dikatakan pula

hukum adalah perilaku yang melembaga dalam masyarakat (law in society) . Dalam proses

PILKADA, sosiologi hukum dapat meneliti beberapa masalah yang muncul seperti perilaku yang

muncul dalam proses pilkada baik yang dilakukan olah calon Kepala daerah atau masyarakat,

kemudian perilaku pemilih itu sendiri, kemudian gejala-gejala sosial yang timbul akibat dari

pemilihan tersebut, Perilaku Pemilih Berdasarkan kajian sosiologis usia pemilih ikut

mempengaruhi proses pemilihan, klasifikasi usia tersebut dapat di klasifikasikan sebagai berikut
: 1. Pemilih Pemula (17-22 Tahun) Rata-rata terdiri dari 20-30 persen pemilih. Pemilih pemula

tidak memiliki kepedulian untuk memilih akan tetapi mudah di pengaruhi. Tidak untuk

diarahkan memilih akan tapi mudah diarahkan untuk provokasi, bertindak anarkis dan bahkan

merusak suasana serta lingkungannya. 2. Pemilih Dewasa (22-50 Tahun) Rata-rata terdiri dari

30-40 persen pemilih. Pemilih dewasa lebih cenderung rentan berpikir ke arah skeptis sejalan

ketidakpercayaan mereka terhadap perubahan yang selalu tidak menampakan perbaikan setelah

proses pemilu. Pemilih dewasa cenderung lebih dewasa dalam memberi perbedaan yakni dari

perbedaan pendapat, variasi pilihan calon dan perbedaan menentukan parpol. Mereka pemilik

massa pemilih dalam konteks politik tidak bertuan alias mengambang. Mereka cenderung terikat

pada hubungan emosional dengan ideologi tertentu. 3. Pemilh Orang Tua (50 Tahun Ke atas)

Rata-rata terdiri dari 10-20 persen pemilih. Mereka yang tidak lagi banyak mendapatkan

pengetahuan politik dan bahkan tidak tahu menahu pemimpin dan kepemimpinan karena faktor

usia. Sehingga mereka kurang menilai segala penyelewengan padahal partai/figur yang di

dukungnya melakukan apa saja yang sewenang-wenang. Karena usianya mereka tidak dapat

menegur/memperbaiki kesalahan – kesalahan figur atau partai alias lebih cenderung pasrah

Konflik akibat Pilkada Pilkada di beberapa daerah di indonesia saat ini masih sering

menimbulkan banyak gejolak-gejolak sosial. Konflik antar golongan dan kepentingan disinyalir

sebagai pemicu desintegrasi sosial (proses terpecahnya kelompok sosial), bahkan di beberapa

daerah seperti di kabupaten Tolikara, Papua tercatat 11 orang meningal dan 201 orang lainya

mengalami luka-luka akibat bentrokan dua kelompok yang berbeda . Sosiologis memandang

konflik sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana

salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau

membuatnya tidak berdaya . Disisilain, Konflik menurut Stephen.P.Robbins adalah sebuah


proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi

secara negatif, atau akan memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau

kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam konflik yang orang alami dalam

organisasi, ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang

disebabkan oleh ekspektasi perilaku, dan sebagainya. Penyebab konflik dalam PILKADA

sangatlah kompleks, dari tinjauan Sosiologis sendiri, faktor penyebab konflik tersebut

berorientasi pada kualitas calon pemimpin, banyaknya jumlah partai yang ikut dalam PILKADA,

terjadinya Benturan-benturan kepentingan politik, dan terakhir berorientasi pada tingkat

pendidikan politik dalam masyarakat yang masih terbilang sangat rendah. Ada 3 pandangan

terhadap konflik itu sendiri, pertama Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus

dihindari karena akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu

yang sangat buruk, tidak menguntungkan dalam organisasi. Oleh karena itu konflik harus

dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahan. Kedua, Pandangan

hubungan manusia atau pandangan behaviorial (yang berhubungan dengan tingkah laku) ini

menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam

setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang

positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh karena itu konflik harus dikelola

dengan baik, dan Ketiga Pandangan interaksionis. Pandangan interaksionis menyatakan bahwa

konflik bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak

perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus

diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini

justru akan membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya dalam

kinerja organisasi menjadi rendah. Penyelesaian Konflik Uraian di atas lebih memberikan
gambaran normatif atas fenomena konflik yang terjadi pada masyarakat sebagai suatu realita

yang tak dapat dihindari. Sebagai deskripsi normatif keberadaan konflik, faktor penyebab dan

bentuk serta sifatnya merupakan realita sosiologi yang selalu hadir ditengah kehidupan walau di

beberapa tempat dan dalam kurun waktu tertentu menunjukkan perbedaan ritme dan intensitas.

Hal ini tentu sangat tergantung pada tingkat kompleksitas kebutuhan, kepentingan dan

heterogenitas nilai, struktur dan kultur masyarakat yang membingkainya. Sebagaimana

pengalaman dari pemilu ke pemilu, tingkat kerawanan konflik intensitasnya relatif meningkat.

Karena dalam momentum pemilu, berbagai kepentingan saling bertemu dan beradu dalam suatu

kompotisi. Terbatasnya kursi kekuasaan, dan membludaknya peminat kekuasaan, menjadikan

partai dan para calon legislatif saling berlomba dan berusaha memenangkan persaingan. Tidak

jarang lalu mereka menggunakan cara-cara yang keluar dari koridor hukum, norma dan etika.

Gaya politik marchiavelisme kerap dipertontonkan. Ini mengandung kerawanan konflik yang

sangat tinggi Terkait dengan merebaknya konflik yang terjadi, hal yang terpenting untuk

diperhatikan adalah mencari penyebab kemunculannya. James C Davis menyebutkan penyebab

terjadinya konflik karena adanya jurang pemisah antara harapan dan kenyataan, atau menurut

Robert Gurr disebut sebagai “Relative Deprivation” yaitu terjadinya kesenjangan antara “nilai

yang diharapkan” dan “nilai kapabilitas”, baik yang bersifat Decremental Deprivation (nilai yang

diharapkan stabil sementara nilai kapabilitas menurun), Aspiration Deprivation (nilai yang

diharapkan naik, nilai kapabilitas statis), maupun Progresive Deprivation (kedua nilai sama-sama

naik namun pada saat tertentu nilai kapabilitas statis bahkan cendrung turun) . Hal ini akan

menjadikan masyarakat mengalami kekecewaan dan frustasi yang pada akhirnya akan

memunculkan tindakan melawan atau memberontak. Manajemen konflik merupakan regulasi

konflik sebagai upaya penanganan konflik secara positif. Manajemen konflik itu sendiri lahir
dari kesadaran bahwa konflik merupakan realitas sosial yang memang tak terbantahkan. Sebagai

aspek intrinsik dari perubahan sosial itu sendiri. Sebagai realita sosial konflik mestinya dapat

dimenej dengan sebaik-baiknya sehingga konflik yang ada dapat dikembangkan dari

kekhawatiran akan terjadinya divergensi ke konvergensi. Artinya bagaimana kita dapat

memanfaatkan konflik bagi perkembangan kearah yang lebih baik ketimbang menimbulkan

tindakan destruktif. Untuk melakukan menajemen konflik, ada beberapa upaya yang dapat

dilakukan agar konflik yang terjadi dapat dikendalikan. Langkah-langkah tersebut meliputi ;

Secara individual, masing-masing kita harus memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan diantara

kita. Kesadaran bahwa kita berbeda, lalu diteruskan melalui dialog lewat interaksi sosial untuk

bsia saling memberi dan saling menerima dalam kesetaraan. Lewat kesadaran individual masing-

masing kita mencoba untuk mencari dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan sosial tanpa

harus kehilangan jatidiri, karakteristik masing-masing. Ego dan super ego untuk selalu berkuasa

dan ingin tampil terbaik akan terakomodasi melalui kesepakatan sosial yang terbangun.

Pencerahan individu ini dapat dilakukan melalui penyingkiran sumber derita dari keterasingan,

adanya keinginan yang berlebihan, tahan nafsu atau dorongan, (hal ini memang sangat filosofis

dan mengacu pada ajaran dan nilai agama). Secara kolektif, konflik sosial dan politik yang

terjadi merupakan buah dari disparitas social, eknomi dan politik yang berdampak adanya

peng“kebiri”an terhadap hak sekelompok orang oleh kelompok orang yang lainnya. Hal ini

terjadi biasanya diawali oleh adanya pengingkaran atas komitmen atau kontrak sosial yang telah

dibangun, adanya ketidak adilan, ketidak setaraan dan sikap eklusivitas antar kelompok satu

dengan yang lainnya. Untuk itu langkah struktural yang bersifat preventif, dapat dilakukan dalam

mengatasi konflik sosial, ekonomi dan politik agar tidak membias pada persoalan konflik SARA

adalah: 1. Secara terus menerus membangun komitmen persatuan dan kesatuan; 2. Secara terus
menerus melakukan revitalisasi nilai yang memang bergerak bersamaan dengan perubahan

sosial; 3. Mengembangkan kesadaran sebagai simbol kehidupan bersama sebagai satu kesatuan

keluarga; 4. Membangun solideritas sosial, kepedulian sosial dan interkasi sosial yang intens, hal

ini penting dilakukan untuk menghindari tumbuhnya sikap individualis dan eklusivistis

dikalangan kelompok-kelompok sosial. Putusan Mahkamah Konstitusi Pasca Orde baru dan di

Amandemen-nya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 maka salah satu

perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah dibentuknya lembaga-lembaga

baru, salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi yang memiliki Kewenangan untuk memutus

sengketa Pilkada, yang kemudian putusannya bersifat final dan mengikat. Mengacu pada

beberapa putusan kasus PILKADA yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sering kali

putusan MK ini bersifat kontroversional dan susah diterima dalam masyarakat, tidak jarang

putusan-putusan MK di anggap berseberangan dengan pendapat kelompok-kelompok

kepentingan, sehingga masih terjadi konflik di daerah, mengacu pada data diatas ini menunjukan

bahwa putusan MK terkadang masih sulit diterima sebagian kelompok-kelompok dalam

masyarakat sehingga tidak menjamin bahwa konflik dapat berahkir setelah putusan dikeluarkan.

syafri Hariansah, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai