Pemilihan Umum pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme yang diciptakan sebagai bentuk
dari proses penjaringan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu seperti
Perwakilan Rakyat maupun Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota
Ketatanegaraan Indonesia saat ini, Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) telah dianggap sebagai
konsensus politik nasional yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan
2004 Tentang Otonomi Daerah merupakan “gerbang” awal demokrasi di daerah, dimana
Undang-Undang ini mengamanahkan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun
Walikota dapat dipilih rakyat secara langsung . Lalu bagaimana Hubungan Sosiologi Hukum
Terhadap PILKADA ? dan bagaimana pandangan sosiologi Hukum terhadap permasalahan yang
muncul setelah Pelaksanaan Pilkada ? Secara Teoritis Sosiologi Hukum mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial secara empiris analitis, dapat dikatakan pula
hukum adalah perilaku yang melembaga dalam masyarakat (law in society) . Dalam proses
PILKADA, sosiologi hukum dapat meneliti beberapa masalah yang muncul seperti perilaku yang
muncul dalam proses pilkada baik yang dilakukan olah calon Kepala daerah atau masyarakat,
kemudian perilaku pemilih itu sendiri, kemudian gejala-gejala sosial yang timbul akibat dari
pemilihan tersebut, Perilaku Pemilih Berdasarkan kajian sosiologis usia pemilih ikut
mempengaruhi proses pemilihan, klasifikasi usia tersebut dapat di klasifikasikan sebagai berikut
: 1. Pemilih Pemula (17-22 Tahun) Rata-rata terdiri dari 20-30 persen pemilih. Pemilih pemula
tidak memiliki kepedulian untuk memilih akan tetapi mudah di pengaruhi. Tidak untuk
diarahkan memilih akan tapi mudah diarahkan untuk provokasi, bertindak anarkis dan bahkan
merusak suasana serta lingkungannya. 2. Pemilih Dewasa (22-50 Tahun) Rata-rata terdiri dari
30-40 persen pemilih. Pemilih dewasa lebih cenderung rentan berpikir ke arah skeptis sejalan
ketidakpercayaan mereka terhadap perubahan yang selalu tidak menampakan perbaikan setelah
proses pemilu. Pemilih dewasa cenderung lebih dewasa dalam memberi perbedaan yakni dari
perbedaan pendapat, variasi pilihan calon dan perbedaan menentukan parpol. Mereka pemilik
massa pemilih dalam konteks politik tidak bertuan alias mengambang. Mereka cenderung terikat
pada hubungan emosional dengan ideologi tertentu. 3. Pemilh Orang Tua (50 Tahun Ke atas)
Rata-rata terdiri dari 10-20 persen pemilih. Mereka yang tidak lagi banyak mendapatkan
pengetahuan politik dan bahkan tidak tahu menahu pemimpin dan kepemimpinan karena faktor
usia. Sehingga mereka kurang menilai segala penyelewengan padahal partai/figur yang di
dukungnya melakukan apa saja yang sewenang-wenang. Karena usianya mereka tidak dapat
menegur/memperbaiki kesalahan – kesalahan figur atau partai alias lebih cenderung pasrah
Konflik akibat Pilkada Pilkada di beberapa daerah di indonesia saat ini masih sering
menimbulkan banyak gejolak-gejolak sosial. Konflik antar golongan dan kepentingan disinyalir
sebagai pemicu desintegrasi sosial (proses terpecahnya kelompok sosial), bahkan di beberapa
daerah seperti di kabupaten Tolikara, Papua tercatat 11 orang meningal dan 201 orang lainya
mengalami luka-luka akibat bentrokan dua kelompok yang berbeda . Sosiologis memandang
konflik sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
secara negatif, atau akan memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau
kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam konflik yang orang alami dalam
disebabkan oleh ekspektasi perilaku, dan sebagainya. Penyebab konflik dalam PILKADA
sangatlah kompleks, dari tinjauan Sosiologis sendiri, faktor penyebab konflik tersebut
berorientasi pada kualitas calon pemimpin, banyaknya jumlah partai yang ikut dalam PILKADA,
pendidikan politik dalam masyarakat yang masih terbilang sangat rendah. Ada 3 pandangan
terhadap konflik itu sendiri, pertama Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus
dihindari karena akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu
yang sangat buruk, tidak menguntungkan dalam organisasi. Oleh karena itu konflik harus
dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahan. Kedua, Pandangan
hubungan manusia atau pandangan behaviorial (yang berhubungan dengan tingkah laku) ini
menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam
setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang
positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh karena itu konflik harus dikelola
dengan baik, dan Ketiga Pandangan interaksionis. Pandangan interaksionis menyatakan bahwa
konflik bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak
perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus
diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini
justru akan membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya dalam
kinerja organisasi menjadi rendah. Penyelesaian Konflik Uraian di atas lebih memberikan
gambaran normatif atas fenomena konflik yang terjadi pada masyarakat sebagai suatu realita
yang tak dapat dihindari. Sebagai deskripsi normatif keberadaan konflik, faktor penyebab dan
bentuk serta sifatnya merupakan realita sosiologi yang selalu hadir ditengah kehidupan walau di
beberapa tempat dan dalam kurun waktu tertentu menunjukkan perbedaan ritme dan intensitas.
Hal ini tentu sangat tergantung pada tingkat kompleksitas kebutuhan, kepentingan dan
pengalaman dari pemilu ke pemilu, tingkat kerawanan konflik intensitasnya relatif meningkat.
Karena dalam momentum pemilu, berbagai kepentingan saling bertemu dan beradu dalam suatu
partai dan para calon legislatif saling berlomba dan berusaha memenangkan persaingan. Tidak
jarang lalu mereka menggunakan cara-cara yang keluar dari koridor hukum, norma dan etika.
Gaya politik marchiavelisme kerap dipertontonkan. Ini mengandung kerawanan konflik yang
sangat tinggi Terkait dengan merebaknya konflik yang terjadi, hal yang terpenting untuk
terjadinya konflik karena adanya jurang pemisah antara harapan dan kenyataan, atau menurut
Robert Gurr disebut sebagai “Relative Deprivation” yaitu terjadinya kesenjangan antara “nilai
yang diharapkan” dan “nilai kapabilitas”, baik yang bersifat Decremental Deprivation (nilai yang
diharapkan stabil sementara nilai kapabilitas menurun), Aspiration Deprivation (nilai yang
diharapkan naik, nilai kapabilitas statis), maupun Progresive Deprivation (kedua nilai sama-sama
naik namun pada saat tertentu nilai kapabilitas statis bahkan cendrung turun) . Hal ini akan
menjadikan masyarakat mengalami kekecewaan dan frustasi yang pada akhirnya akan
konflik sebagai upaya penanganan konflik secara positif. Manajemen konflik itu sendiri lahir
dari kesadaran bahwa konflik merupakan realitas sosial yang memang tak terbantahkan. Sebagai
aspek intrinsik dari perubahan sosial itu sendiri. Sebagai realita sosial konflik mestinya dapat
dimenej dengan sebaik-baiknya sehingga konflik yang ada dapat dikembangkan dari
memanfaatkan konflik bagi perkembangan kearah yang lebih baik ketimbang menimbulkan
tindakan destruktif. Untuk melakukan menajemen konflik, ada beberapa upaya yang dapat
dilakukan agar konflik yang terjadi dapat dikendalikan. Langkah-langkah tersebut meliputi ;
Secara individual, masing-masing kita harus memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan diantara
kita. Kesadaran bahwa kita berbeda, lalu diteruskan melalui dialog lewat interaksi sosial untuk
bsia saling memberi dan saling menerima dalam kesetaraan. Lewat kesadaran individual masing-
masing kita mencoba untuk mencari dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan sosial tanpa
harus kehilangan jatidiri, karakteristik masing-masing. Ego dan super ego untuk selalu berkuasa
dan ingin tampil terbaik akan terakomodasi melalui kesepakatan sosial yang terbangun.
Pencerahan individu ini dapat dilakukan melalui penyingkiran sumber derita dari keterasingan,
adanya keinginan yang berlebihan, tahan nafsu atau dorongan, (hal ini memang sangat filosofis
dan mengacu pada ajaran dan nilai agama). Secara kolektif, konflik sosial dan politik yang
terjadi merupakan buah dari disparitas social, eknomi dan politik yang berdampak adanya
peng“kebiri”an terhadap hak sekelompok orang oleh kelompok orang yang lainnya. Hal ini
terjadi biasanya diawali oleh adanya pengingkaran atas komitmen atau kontrak sosial yang telah
dibangun, adanya ketidak adilan, ketidak setaraan dan sikap eklusivitas antar kelompok satu
dengan yang lainnya. Untuk itu langkah struktural yang bersifat preventif, dapat dilakukan dalam
mengatasi konflik sosial, ekonomi dan politik agar tidak membias pada persoalan konflik SARA
adalah: 1. Secara terus menerus membangun komitmen persatuan dan kesatuan; 2. Secara terus
menerus melakukan revitalisasi nilai yang memang bergerak bersamaan dengan perubahan
sosial; 3. Mengembangkan kesadaran sebagai simbol kehidupan bersama sebagai satu kesatuan
keluarga; 4. Membangun solideritas sosial, kepedulian sosial dan interkasi sosial yang intens, hal
ini penting dilakukan untuk menghindari tumbuhnya sikap individualis dan eklusivistis
dikalangan kelompok-kelompok sosial. Putusan Mahkamah Konstitusi Pasca Orde baru dan di
Amandemen-nya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 maka salah satu
baru, salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi yang memiliki Kewenangan untuk memutus
sengketa Pilkada, yang kemudian putusannya bersifat final dan mengikat. Mengacu pada
beberapa putusan kasus PILKADA yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sering kali
putusan MK ini bersifat kontroversional dan susah diterima dalam masyarakat, tidak jarang
kepentingan, sehingga masih terjadi konflik di daerah, mengacu pada data diatas ini menunjukan
masyarakat sehingga tidak menjamin bahwa konflik dapat berahkir setelah putusan dikeluarkan.