Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus


40-60%, bakteri 5-40%, alergi, trauma, dan iritan. Setiap tahun, hampir 40 juta orang
mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang
dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas
termasuk faringitis16.
Faringitis lazim terjadi diseluruh dunia, umumnya didaerah beriklim musim
dingin dan awal musim semi. Di Amerika Serikat, sekitar 84 juta pasien berkunjung
kedokter akibat infeksi saluran pernafasan akut pada tahun 1998 dan sekitar 25 juta
pasien biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas15. Di Indonesia pada
tahun 2004 dilaporkan bahwa kasus faringitis akut masuk dalam sepuluh besar kasus
penyakit yang dirawat jalan dengan presentase jumlah penderita 1,5% atau sebanyak
2.214.781orang9. Data dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, kasus faringitis
akut masuk dalam urutan penyakit sepuluh besar dan menduduki urutan kelima
pasien rawat jalan di Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung pada periode
Januari-Desember 201311.
Faringitis akut merupakan salah satu klasifikasi dalam faringitis. Faringitis
akut adalah suatu penyakit peradangan tenggorok yang bersifat mendadak dan cepat
memberat. Faringitis akut dapat menyerang semua umur. Faringitis akut dapat
disebabkan oleh viral, bakteri, fungal dan gonorea. Penyebab terbanyak radang
adalah kuman golongan Streptococcus β hemoliticus, Streptococcus viridians dan
Streptococcus piogenes. Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti
virus influenza dan adenovirus. Faringitis akut dapat menular melalui kontak dari
sekret hidung dan ludah (dropletinfection) dari orang yang menderita faringitis18.
Faktor risiko penyebab faringitis biasanya karena udara dingin, turunnya daya
tahan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang
kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebih, gejala predormal dari penyakit scarlet
fever dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit

1
tenggorokan atau demam1. Tanda dan gejala dari faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus β hemoliticus group A serupa dengan faringitis yang bukan disebabkan
oleh Streptococcus β hemoliticus group A12, oleh sebab itu penting untuk
menentukan penyebab terjadinya faringitis untuk penentuan terapi yang akan
digunakan. Penentuan penyebab faringitis yang paling akurat adalah dengan
menggunakan kultur apusan tenggorok. Kelemahan dari metode ini antara lain biaya
yang mahal dan perlu waktu untuk mengetahui hasilnya sekitar 12hari2.
Dalam pengobatan faringitis sangat penting untuk memastikan penyebab
dalam menentukan pengobatan yang tepat. Antibiotika diberikan pada pasien dengan
faringitis yang disebabkan oleh bakteri12. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat
dalam pengobatan faringitis juga dapat menyebabkan terjadinya resistensi8. Masalah
yang sering ditemui adalah banyak hasil penelitian yang menunjukan ketidaktepatan
peresepan yang terjadi di banyak negara terutama negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Ketidaktepatan peresepan dapat mengakibatkan masalah seperti tidak
tercapainya tujuan terapi, meningkatnya kejadian efek samping obat, meningkatnya
resistensi antibiotik, penyebaran infeksi melalui injeksi yang tidak steril dan
pemborosan sumber daya kesehatan yang langka21.Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas tahun 2007 mengeluarkan standar pelayanan di fasilitas kesehatan yang
didalamnya terdapat pembahasan mengenai beberapa macam penyakit termasuk
penyakit faringitis akut. Standar tersebut meliputi definisi, etiologi dan factor risiko,
klasifikasi, penegakan diagnostik, komplikasi serta penatalaksanaan faringitis akut10.

1.2. Tujuan

1. Mengetahui karakteristik pada Faringitis Akut.


2. Mengetahui klasifikasi dan faktor resiko pada Faringitis Akut.
3. Mengetahui penatalaksanaan pada Faringitis Akut.
4. Mengetahui komplikasi dan prognosis pada Faringitis Akut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mulut dan Tenggorokan


2.1.1 Rongga Mulut (Cavum Oris)
Batas : Anterior : Bibir.
Posterior : Arkus anterior.
Inferior : Dasar mulut.
Superior : Palatum mole dan palatum durum.

Gambar 2.1.1 Anatomi Mulut


Batas kavum oris & orofaring disebut ismus fausium ,dibatasi :
- Lateral : Lengkungan arkus anterior.
- Inferior : Pangkal lidah.
- Medial : Uvula (selalu menunjuk vertikal ke bawah)19.
2.1.2 Tenggorok
Tenggorok merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,
terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah
epiglottis. Epiglotis menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan
menuju esophagus13.

3
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar
lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris
yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi
lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi
adalah vestibulum oris13.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan
berasal prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan
palatum mole, dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu,
celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila
depan13.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian
depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus
lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi rasa
dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari
sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial
yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh
sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf
penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis
melekat pada kelenjar parotis13.

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggivertebra servikalis ke enam.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan
laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan
dengan esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler,

4
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)13.

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput


inferior, kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra
servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana
posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping,
muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yangdisebut fossa
rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan
palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini13.

Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila


faringeal dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga
mulut. Didepan tonsila, arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot
ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh
pleksus faringeus13.

2.1.2.1 Vaskularisasi.

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.


Yang utama berasal daricabang a. Karotis eksterna serta dari cabang
a.maksilaris interna yakni cabang palatine superior5.

2.1.2.2 Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus


faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus,
cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari
n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi
langsung oleh cabang n.glossofaringeus5.

5
2.1.2.3 Kelenjar Getah Bening

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu


superior,media dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar
getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas.
Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik
dan kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe
inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah5.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

2.1.2.4. Nasofaring (Epifaring)

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya


adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius,
konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius14.

Gambar 2.1.2. Anatomi faring dan struktur sekitarnya

6
2.1.2.5 Orofaring (Mesofaring)

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum


mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga
mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang
terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum14.

a. Dinding Posterior Faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut
terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring,
serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring
bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n.vagus14.

b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.


Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi
abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari
fasia bukofaring14.

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan


ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat
macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja
terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali

7
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring
yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah14.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan


mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil
ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan14.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering


juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil
mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang
tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal14.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua


oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus14.

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan


sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar14.

2.1.2.6 Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu


dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju
ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar

8
sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah
laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan
di bawahnya terdapat muara esofagus14.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada


pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di
bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu14.

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini


berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.
Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan
tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi)
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2 Nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia
lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung14.

2.2 Fisiologi Tenggorok


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan
untuk artikulasi.
2.2.1 Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan
dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui

9
faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara
involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan
pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus
ke orofaring. Otot suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring
intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi.
Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan
kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor
faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika
otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus
berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan
melalui esofagus dan masuk ke lambung5.

2.2.2 Proses Berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole
ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa
ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama .m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan. Ada pula yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini
menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan
tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum5.

10
2.3 Definisi Faringitis Akut
Faringitis adalah radang akut pada mukosa faring dan jaringan limfoid di
dinding faring, yang disebabkan oleh virus 40-60% atau bakteri 5-40%16, ditandai
oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise. Faringitis akut dapat menyerang semua
umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet
infections)18.
2.4 Epidemiologi

Setiap tahun ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena


faringitis. Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak.
National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory
Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-
anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih
dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun. Menurut National Ambulatory
Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas, termasuk faringitis akut,
dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika Serikat17.
Di Indonesia pada tahun 2004 dilaporkan bahwa kasus faringitis akut masuk
dalam sepuluh besar kasus penyakit yang dirawat jalan dengan presentase jumlah
penderita 1,5% atau sebanyak 2.214.781orang9. Faringitis akut paling banyak terjadi
pada usia anak-anak umur 1 – 10 tahun sebanyak 50 penderita (60,98%), dan berjenis
kelamin laki-laki 51 orang (62,20%). Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah
antibiotika amoksisilin dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari sebanyak 67 kasus
(81,70%), yang lama pemberian diberikan selama 7 hari sebanyak 42 kasus (51,22%) dan
diberikan secara oral. Data tersebut dari hasil penelitian WHO yang berkisar antara 22,70%
kasus dan di Indonesia 43% kasus yang diberikan antibiotika amoksisilin pada faringitis
akut21.

Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-


kira 15−30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis
pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari infeksi

11
Streptococcus ß hemolyticus group A. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak
kurang dari tiga tahun3.

2.5 Etiologi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan infeksi


maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis,
antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering15. Kebanyakan
faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis
termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan
B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya
faringitis6.
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A ß Hemolytic
Streptococcus (GABHS), Group C ß Hemolytic Streptococcus, Neisseria
gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan
sebagainya. Infeksi Group A ß Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan
penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15
tahun)18. Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative
ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak
orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea,
faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan
3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi adalah tanpa
gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi6.
Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang
melakukan kontak orogenital18. Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu
udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus
influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit
tenggorokan atau demam15.

12
2.6 Klasifikasi Faringitis Akut

2.6.1 Faringitis Viral

Dapat disebabkan oleh Rhinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus


(EBV), Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala
dan tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok,
sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus
influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak meghasilkan eksudat.
Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi kulit berupa maculopapular rash. Pada
adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epstein bar virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada
faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh
terutama retroservikal dan hepatoslenomengali. Sedangkan faringitis yang
disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual dan demam. Pada pemerikasaan tampak faring hiperemis, terdapat
eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah3.

gambar 2.6.1 faringitis viral

13
2.6.2 Faringitis Bakterial

Infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus group A merupakan penyebab


faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan
tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar. Faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibt infeksi bakteri
Streptococuc Beta Hemolyticus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan Centor criteria, yaitu :

1. Demam.

2. Anterior Cervical Lymphadenopathy.

3. Eksudat tonsil.

4. tidak ada batuknya.

Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor satu. Bila skor 0-1 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus Beta Hemolyticus group
A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkinan 40% terinfeksi
Streptococcus Beta Hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki
kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus Beta hemolyticus group A.

gambar 2.6.2 faringitis bakteri

14
2.6.3 Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan
tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada
pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabouroud dextrose.

gambar 2.6.3 faringitis fungal

2.6.4 Faringitis Gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Dapat


di terapi dengan sefalosporin generasi ke-3 atau ceftriakson 250 mg iv.

gambar 2.6.4 fatingitis gonore

15
2.7 Patofisiologi Faringitis Akut

Faringitis Akut yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi local.
Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga
jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan tejadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian
edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada
dinding faring4.

Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah pada dinding faring akan melebar.
Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan didapatkan di
dalam folikel atau jairngan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak
pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak2.

Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat menyebabkan iritasi


sekunder pada mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya
ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan
local, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya4.

Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan


pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group A streptococcus memiliki
struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard dan dihubungkan dengan
demam rheumatic dan kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan
akut glomerulonefritis karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi4.

16
2.8 Faktor Resiko

Faktor resiko yaitu faringitis akut antara lain konsumsi alcohol, kelelahan,
konsumsi makanan yang berminyak dan makan-makanan yang kurang bergizi. Hal
tersebut sebisa mungkin harus dihindari sehingga meminimalisasi terjadinya
faringitis akut5.

2.9 Diagnosa Faringitis Akut

Untuk mendiagnosa pasien dengan faringitis akut dilakukan evaluasi dari


anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dimana pemahaman
terhadap gejala spesifik dari faringitis akut sangat di perlukan. Sedangkan
peemriksaan penunjang yang digunakan adalah kultur swab
tenggorokan.Perkembangan virus atau penemuan antigen dari virus influenza yang
cepat pada nasopharyngeal menunjukkan tempat dimana terapi anti virus yang tepat.
Test yang sama juga dapat digunakan untuk adenovirus, virus syntical pernafasan
dan paraifluenza.Dengan mengunakan transcriptase rantai polymerase untuk

17
diagnosis dari entero virus dan rhinovirus infeksi tidak berkembang tapi dapat
digunakan untuk pencegahan di klinik sehari-hari. Pharyngeal swab untuk rapid
antigen ditemukan 80% - 90% sensitive pada orang dewasa dana harus diperhatikan
seluruh pasien yang berhubungan dengan pharyngitis gabungan bakteri dan virus
tinggi dicurigai.

2.9.1 Anamnesa :

Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi.


Secara garis besar pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam,
suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis
mikroorganisme, yaitu10 :

a. Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan
beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea
dan mual.

b. Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat,


muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai
batuk.

c. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan


akhirnya batuk yang berdahak.

e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau.

f. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
dengan pengobatan bakterial non spesifik.

g. Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan


riwayat hubungan seksual pasien.

18
2.9.2 Pemeriksaan Fisik10 :

a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,


eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.

b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan


tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.

c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan


pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di


bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak
mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi


oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkijuan pada


mukosa faring dan laring.

g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit. - Stadium primer Pada lidah


palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar
mandibula. - Stadium sekunder Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding
faring terdapat eritema yang menjalar ke arah laring. - Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum .

19
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang

Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur


apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90−95% dari
diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang
diandalkan. Kultur tenggorok merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri Group
A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic
Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan suatu metode
untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi
indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang
diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun
apabila hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian
dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak sensitif terhadap
Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya. Untuk
mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok dilakukan pada
daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar
darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis
infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90−99%. Kultur
tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari sepuluh hari7.

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Faringitis Akut antara lain12 :

1. Faringitis kronik :
Gejala berupa rasa panas dan kering pada tenggorok, tenggorok gatal dan
berlendir, terasa mengganjal, batuk-batuk, biasanya tidak nyeri saat menelan.
2. Faringitis Tuberkulosa.
Gejala berupa nyeri menelan yang hebat, keadaan penderita buruk, pada
pemeriksaan faring didapatkan mukosa faring dipenuhi ulkus-ulkus kecil yang
dangkal, mukosa pucat, terdapat secret mukopurulen.

20
3. Difteri faring.
Gejala berupa sangat sakit, lesu, demam tinggi, nyeri telan, pada pemeriksaan
faring dan tonsil di temukan adanya pseudomembran di faring dan tonsil,
adanya pembesaran kelenjar getah bening sehinggs tampak bull neck.
4. Tonsilitis kronik.
Gejala berupa nyeri tenggorok saat menenlan, rasa mengganjal, mulut berbau,
nafsu makan menurun, biasanya disertai ganguan pendengaran karena
sumbatan tuba eustachii.
5. Laryngitis akut
Gejala berupa suara parau, tenggorok terasa gatal, kering, dan nyeri saat
bicara dan disertai demam.
6. Abses peritonsil
Gejala berupa diawali infeksi akut saluran napas atas, demam, nafsu makan
turun, pada pemeriksaan dinding faring tampak bombams dan dapat teraba
fluktuasi.
2.11 Penatalaksanaan

2.11.1 Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu 18 :

1. Istirahat cukup

2. Minum air putih yang cukup

3. Berkumur dengan air yang hangat

4. Pemberian farmakoterapi:

a. Topikal Obat kumur antiseptik

- Menjaga kebersihan mulut

- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2


kali/hari.

21
- Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan
kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin
25%.

b. Oral sistemik

- Pada kasus faringitis akut tidak diperlukan terapi antibiotic,


kecuali infeksi berat..

- Analgesik/Antipiretik : Paracetamol 3x500 mg (3-5 hari).

- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi


virus dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari
lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali
pemberian/hari .

- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya


Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G
benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada
dewasa 3x500 mg selama 6−10 hari atau eritromisin 4x500
mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena
steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat
menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada
anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama
tiga hari.

- Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2


gr IV/IM single dose.

- Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat


diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung
dan sinus paranasal harus diobati.

22
- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.

- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik


sekali sehari selama 3−5 hari.

2.11.2 Konseling dan Edukasi 18 :

1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan


mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur

2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat


mengiritasi tenggorok.

4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.

5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur

2.12 Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis,


mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika
tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar abses,
peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi
saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring . Komplikasi-komplikasi
tersebut dapat memperparah keadaan pasien dan menyababkan gangguan rasa
nyaman pada pasien semakin parah sehingga aktifitas sehari-hari pun dapat
tergangngu jika komplikasi tersebut tidak segeradi cegah. Abses peritonsil memiliki
angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi yang fatal,
seperti dapat meluas daerah parafaring, daerah intrakranial dan bila abses tersebut
pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya mediastinitis yang dapat
menimbulkan kematian15.

23
2.13 Prognosis

Faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya faringitis akut
sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan komplikasi15.

24
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus


40-60 %, bakteri 5-40 %, alergi, trauma, dan iritan. Anak-anak dan orang dewasa
umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk
faringitis16. Kemudian infeksi ini akan menimbulkan tanda – tanda dan gejala sesuai
dengan penyebabnya. Pada penderita faringitis akut dapat diberikan terapi antibiotik.
Komplikasi umum sering terjadi pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia18 .

3.2 Saran

Faringitis biasanya karena udara dingin, turunnya daya tahan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebih, gejala predormal dari penyakit scarlet fever dan
seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau
demam oleh karena itu perlu di berikan pengobatan untuk penyebabnya misalnya
disebabkan oleh bakteri di berikan antibiotic.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Aamir S. Pharyngitis and sore throat: a review. African Journal of Biotechnology.


2011; 10(33):6190-7.
2. Aalbers J, O’Brien C,Falk GA, Telkeur C, Dimitrov BD, Fahey T.
PredictingStreptococcal pharyngitis in adults in primary care: a systematic review
ofThe diagnostic accuracy of symptoms and signs and validation of the centor score.
BioMed Central Medicine . 2011; 9(67):1-11.
3. Acerra, J.R. 2010. Pharyngitis. Departement of Emergency Medicine. North Shore.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764304-overvie.
4. Adam, G.L. Diseases of the nasopharynx and oropharynx. 2009. In: Boies
fundamentals of otolaryngology. A text book of ear, nose and throat diseases E . B
aun ers Co. pp. 332-369.
5. Anatomi fisiologi telinga. Available from : hhtps://arispurnomo.com/anatomi-
fisiologi-telinga
6. Anthony W Chow and Shira Doron, 2013. Evaluation of Acute Pharyngitis in Adults.
Available From: http://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-acute pharyngitis-
in-adults
7. Bailey, B.J., Johnson, J.T. 2006. American Academy of Otolaryngology – Head and
Neck Surgery. Lippincott Williams & Wilkins, Fourth Edition, Volume one, United
States of America. pp. 601-13.
8. Centor RM, Allison JJ, Cohen SJ. Pharyngitis management: defining he controversy.
J Gen Intern Med. 2007; 22(1):127-30.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2004 .
Jakarta: Depkes RI; 2004.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan dasar di
puskesmas. Jakarta: Depkes RI; 2007.
11. Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Profil kesehatan kota Bandar Lampung.
Bandar Lampung: Dinkes Bidang P2PL; 2014.
12. Dipiro JT,Talbert GC, Yee GR, Matzke BG, Wells LM. Pharmacotherapy, a
pathophysiologic approach. Edisi ke-7.New York: McGraw-Hill; 2008.
13. Difteri. Available from http://www.scribd.com/doc/44244704/Refrat-Difteri-Sari

26
14. Difteri tonsil. Available from http://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil
15. Jill G. Acute pharyngitis. Journal of the American Academy of Physician Assistants.
2013; 26(2):57-8. 3.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku panduan praktik klinis bagi dokter
pelayanan primer. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
17. Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis In : Mandell: Mandell,
Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7th ed.Volume
1, Part II, Section B, Chapter 54, p:815-821. Available
From:http://www.mdconsult.com/books/page.do?eid=4-u1.0-B978-0 443-06839-
3..00054-0--s0015&isbn=978-0-443068393&uniqId=412762026-1459#4-u1.0-B978-
0-443-06839 3..00054-0--s0015
18. Rusmarjono, Bambang H. Nyeri tenggorok. Dalam: Efiaty AS, NurbaitiI, Jenny B,
Ratna DR, editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007.
19. Soediyono H, Rukmini S, Herawati S. Buku Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung
dan Tenggorok. Surabaya : Penerbit FK UNER;1999.
20. Vincent, M.T M.D., M.S., Nadhia, C.M.D., and Aneela, N.H.M.D. 2004. Pharyngitis.
A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family Physician. State
University of New York-Down state Medical Center, Brooklyn, New York. Available
From:http://www.aafp.org/afp /2004/0315/p1465.html.
21. World Health Organization. Medicine use in primary care in developing and
transitional countries: fact book summarizing result from studies reported between
1990 and 2006 . Geneva: WHO; 2009.

27

Anda mungkin juga menyukai