Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul abdomen
atau trauma toraks kiri bagian bawah. Ruptur lien merupakan kondisi yang membahayakan jiwa
karena adanya perdarahan yang hebat. Lien mendapat vaskularisasi yang banyak, yaitu dilewati
kurang lebih 350 liter darah per harinya yang hampir sama dengan satu kantung unit darah sekali
pemberian. Karena alasan ini, trauma pada lien mengancam kelangsungan hidup seseorang.
Lien terletak tepat di bawah rangka thoraks kiri, tempat yang rentan untuk mengalami
perlukaan. Lien membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan
menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah
rusak. Lien juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih.
Lien kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal dan trauma tembus abdomen.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi,
pada olahraga luncur atau olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat. Trauma lien terjadi pada
25% dari semua trauma tumpul abdomen. Perbandingan laki-laki dan perempuan yaitu 3 : 2, ini
mungkin berhubungan dengan tingginya kegiatan dalam olahraga, berkendaraan dan bekerja kasar
pada laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun.
Mengingat besarnya masalah serta tingginya angka kematian dan kesakitan akibat ruptur lien
serta perlunya penanganan segera, maka kami menulis referat yang membahas ruptur lien dan
penatalaksanaannya.
Robeknya lien menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada
lien biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang
paling sering meyebabkan ruptur lien adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil.
Perlukaan pada lien akan menjadi robeknya lien segera setelah terjadi trauma pada abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena perdarahan. Kecurigaan
terjadinya ruptur lien dengan ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen
kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga mengeluhkan sakit pada
bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda
peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang
mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada
abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur lien sampai dapat diperiksa lebih lanjut.
Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. ruptur pada lien dapat diatasi dengan
splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan lien. Walaupun manusia tetap bisa hidup
tanpa lien, tapi pengangkatan lien dapat berakibat mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga
setelah pengangkatan lien dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu
diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien dari
beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu operasi.

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat rata-rata pada
manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah berumur 60 tahun
sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi, panjang ± 10-11cm,
lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah diafragma,
terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan peritoneum yang
diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :
1. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).
2. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
3. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
4. Ligamentum splenorenal.
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi kira-kira
1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan
beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang terbesar dari trunkus
celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki lien. Pada 85 % kasus, arteri
lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior sebelum memasuki hilus. Sehingga hemi
splenektomi bisa dilakukan pada keadaan tersebut.Vena lienalis bergabung dengan vena mesenterika
superior membentuk vena porta. Lien asesoria ditemukan pada 30 % kasus. Paling sering terletak di
hilus lien, sekitar arteri lienalis, ligamentum splenokolika, ligamentum gastrosplenika, ligamentum
splenorenal, dan omentum majus. Bahkan mungkin ditemukan pada pelvis wanita, pada regio
presakral atau berdekatan dengan ovarium kiri dan pada scrotum sejajar dengan testis kiri.
Dibedakan menjadi 2 tipe :
1. Berupa konstriksi bagian organ yang dibatasi jaringan fibrosa.
2. Berupa massa terpisah.
Gambar 1. Anatomi Lien
Sumber : http://evialfadhl.files.wordpress.com/2012/011/anatomy_spleen.jpg?w=300&h=247

Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma kiri di
superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar adrenal di
posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.

Fisiologi
Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori :
1. Filter sel darah merah
2. Produksi opsonin-tufsin dan properdin
3. Produksi Imunoglobulin M
4. Produksi hematopoesis in utero
5. Regulasi T dan B limfosit
Pada janin usia 5-8 bulan lien berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan
putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, lien berfungsi menyaring darah, artinya sel
yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan dirusak oleh sistem
retikuloendotelium disana.
Lien juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui
darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi
yang unik pada lien. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga lien punya waktu
untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan dengan
cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang respon anti bodi Ig M di centrum
germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati lien.
Lien dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah, dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas enzimnya
dan lien yang mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya. Pada asplenia kadar
tufsin ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi sel – sel darah putih
dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah tua. Properdin adalah komponen penting
dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila kadarnya dibawah normal akan mengganggu proses
opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti meningokokkus, dan pneumokokkus.

2.3. Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :
1. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya. Pada
luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering dicederai adalah
paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu
protrombin 20 % di atas normal.
2. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau trauma
thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu
lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga kontak seperti judo,
karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena
adanya tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang
membesar secara lambat dan kemudian pecah.
3. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas, umpamanya
karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga
hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi
lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi :
a) Cedera kapsul
b) Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
c) Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
d) Avulsi lien dilakukan splenektomi total
e) Hematoma subkapsuler

2.4. Manifestasi klinik


Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya organ lain yang ikut
cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan dapat
sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik hebat yang fatal. Dapat
pula terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada
pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen secara berulang-ulang
oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati perubahan gejala umum
(syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum).
Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intrabdomen, atau seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri atas yang nyeri tekan disertai
anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat
penting dalam menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan atau tanpa
(belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi
sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri di daerah puncak
bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu
kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan masa di kiri atas dan
pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsular atau omentum yang
membungkus suatu hematoma ekstrakapsular disebut tanda Ballance. Kadang darah bebas di perut
dapat dibuktikan dengan perkusi pekak geser.

2.5. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat
leukositosis.1 Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila terjadi perdarahan akan
menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit dalam
urine akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing.

2.6. Pemeriksaan Radiologi


Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu lien, dan lien akan
cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk mengatasi trauma ini
dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru disadari setelah seminggu atau sepuluh hari setelah
trauma pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya USG, CT scan dan
angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan utama.
Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai daerah yang kurang densitasnya dibanding lien.
Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area
seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien menunjukkan subkapular hematom. Kadang, dengan
penanganan konservatif, abses mungkin akan terbentuk kemudian dan dapat diidentifikasi pada CT
Scan karena mengandung gas. Sensitivitas pada CT Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan
kadang riwayat dan gejala penting untuk menentukkan diagnosis banding.
 Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah. Fraktur iga
menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri atas yang menyebabkan keadaan
patologi pada lien. Fraktur iga kiri bawah terdapat pada 44 % pasien dengan ruptur lien dan
perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.
 Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah kiri,
atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa dijadikan tanda
yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang meninggi disertai dengan
trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma lien sampai dibuktikan sebaliknya.
 Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu perpindahan ke
medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien. Gambaran ini
menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan adanya hematom
subkapsular atau perisplenik.
o Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi caudal
bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.
o Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan massa
yang ada memiliki batas yang tegas.
o Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
 Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan retroperitonial atau darah
bebas intraabdominal terlihat kontras dengan yang disebutkan diatas.
o Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
o Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
o Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot psoas.
o Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada kolon
desenden ke medial.
o Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
o Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
o Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam dapat
ditemukan.
o Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.
 Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena diikuti
dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom subkapsuler atau
parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.
 Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan formasi yang salah dari
kista.
o Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma. Sekitar 80 %
terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista serous dan kemungkinan adanya
darah telah diserap kembali semuanya.
o Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis pada sekitar 30 %
kista.
Gambar 2. Gambaran trauma lien
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

o Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam dan luar
batas..
o Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual traumatik
pada area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.
o Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
o Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari Echinococcus
granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.
 Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan karakteristik
gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan hematom, kalsifikasi dari
batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas dapat muncul
linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung dari ukuran regresi hematom.
 Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama, seperti
pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip
dengan hematom subkapsular.
Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran kiri atas dibawah
diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom lien

Gambar 3a dan 3b. Gambaran cedera lien


Sumber : Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007, diakses dari
http://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073 pada tanggal 04-11-2012

2.6.1. USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, luka-luka.
USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam peritoneum tampak
sebagai gambaran cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus dengan organ
solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis trauma organ solid
atau trauma intestinal.
Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma tumpul abdomen yaitu untuk menentukan apakah
ada darah di kuadran kiri atas.
 Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.
 Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda dapat
ditemukan yaitu :
o Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat dipikirkan sebagai
subkapsular.
o Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak reguler.
o Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan subkapsular lebih
mungkin merubah bentuk lien.
o Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh karena itu tidak
adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.
 Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan echogenesiti yang sama
atau lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai lisis dimulai.
Fase echogenik biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan dilakukan dalam keadaan
yang paling akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke echogenesiti cairan, dan patologi
ini kembali lebih jelas.
 Kelainan parenkim umum yang halus.
o Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat berbentuk tidak teratur
ataupun linear.
o Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik dapat
ditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke hilus. Dibandingkan
dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih kompleks terlihat.
o Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan lokal yang
terkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi isoechoic dengan jaringan
sekitarnya

Gambar 4. USG abdomen yang menunjukkan cairan bebas peritoneum. Pada trauma tumpul
abdomen biasanya hemoperiteneum.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

Gambar 5. (a) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma. (b) hematom subkapsular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
2.6.2. Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya sebagai awal,
tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara non-bedah. CT juga semakin banyak
digunakan untuk trauma tembus yang secara tradisional ditangani dengan operasi.
CT pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a. Trauma tumpul
b. Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera

Gambar 6. Laserasi limpa terlihat pada kontras ditingkatkan tomografi sebagai area hipodens linier
tidak teratur
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 7. Hematoma parenkim (panah) terlihat pada CT-Scan kontras sebagai area hipodens fokus
dalam parenkim lienalis ditingkatkan dengan kapsul utuh
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 8. Hematoma subcapsular (panah) terlihat sebagai area hipodens dengan perdarahan yang
terkumpul pada perisplenic yang melekuk dibawah parenkim yang mendasarinya
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 9. Darah yang terkumpul pada perisplenic (panah) terlihat sebagai area hpodens di sekitar
limpa tanpa efek massa untuk parenkim yang berdekatan
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 10. Cedera limpa grade I pada seorang gadis 17 tahun yang terlibat dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. Dengan menggunakan CT-Scan menunjukkan sobekan kapsuler kurang dari 1
cm pada kutub lebih rendah (panah). Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 11. Cedera limpa grade I pada laki-laki 35 tahun dalam sebuah kecelakaan industri.
CT-Scan dengan kontras menunjukkan perdarahan subcapsular (panah) kurang dari 10% dari luas
permukaan. Dia dikelola secara konservatif dan sembuh dengan baik.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 12. Cedera limpa grade II pada bocah 13 tahun terluka setelah berkelahi. CT-scan
menunjukkan hematoma subkapsular melibatkan 30% -40% dari luas permukaan limpa (panah).
Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 13. Cedera limpa grade II pada seorang pria 30 tahun setelah diserang. CT-scan
menunjukkan laserasi 2 cm pada hilus (panah) yang dikonfirmasi pada saat operasi.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 14. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 15 tahun terluka saat pertandingan
sepak bola. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka dan hematoma intraparenchymal
(panah). Pasien dikelola secara konservatif dan sembuh total
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 15. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 18 tahun, cedera ketika sepeda
motornya menabrak kerbau. CT-Scan dengan kontras menunjukkan laserasi di kutub atas (panah).
Temuan saat operasi menegaskan laserasi 6 cm dengan haemoperitoneum sekitar 1 liter. Dilakukan
splenektomi pada pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 16. Cedera limpa grade IV pada anak laki-laki 17 tahun terluka dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka menyebabkan
devascularisation utama dari limpa. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Gambar 17. Cedera limpa grade V pada seorang pria 18 tahun setelah sepeda motornya
menghantam truk. CT-Scan dengan kontras menunjukkan limpa hancur dengan yang dikonfirmasi
saat operasi haemoperitoneum volume yang besar. Perhatikan (panah) menunjukkan perdarahan
aktif. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012

Tabel 1 : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale6

Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:


1. Grade 1 kurang dari 1 cm.
2. Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
3. Grade 3 lebih dari 3 cm.
4. Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.
5. Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.
Kelemahan grading ini adalah:
1. Sering meremehkan tingkat cedera.
2. kemungkinan variasi antar pembaca
3. Tidak memasukkan:
a. Adanya perdarahan aktif
b. Kontusio
4. Post-traumatik infark
5. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen non-operasi (NOM)

The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the Surgery of Trauma
juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, sebagai berikut:
Grade I
 Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
 Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
Grade II
 Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
 Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
 Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh darah trabecular.
Grade III
 Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas dan terdapat
ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
 Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
 Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan pembuluh darah
trabecular.
Grade IV
 Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi lebih dari
25% dari lien.
Grade V
 Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

Tingkat Keyakinan
Dalam pengalaman penulis, secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas CT dalam deteksi
cedera lien mendekati 100%.
2.6.3. ANGIOGRAPHY

Gambar 18. Arteriogram yang diperoleh dengan injeksi kateter arteri utama lien menunjukkan
beberapa daerah ekstravasasi agen kontras parenkim.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

Gambar 20. Arteriogram lienalis selektif menunjukkan pseudoaneurysms traumatis dengan


ekstravasasi di kutub atas.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

Gambar 21. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lienalis utama setelah embolisasi koil
superselectif dari pseudoaneurisma. Opasifikasi kontras irregular masih tampak dengan area
avaskular, itu mungkin mewakili daerah lain dari cedera vaskular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Gambar 22. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lien superselektif di kutub atas,
menegaskan zona kedua dari gangguan vaskular dengan ekstravasasi agen kontras.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

Gambar 23. Gambaran arteriographic akhir dari injeksi kateter arteri utama lienalis setelah selektif /
embolisasi koil superselektif. Sekitar 50% dari lien telah devascularisasi. Tidak ada sisa cedera
pembuluh darah arteri atau tampak ekstravasasi.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012

Penemuan
Trauma lien dapat menghasilkan berbagai temuan angiografik, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tanda-tanda tidak langsung termasuk perpindahan lien dari dinding perut dan daerah
parenkim avaskular dari hematoma. Ketidakteraturan parenkim atau bintik-bintik pada lien mungkin
akibat dari edema lokal dari memar tanpa kelainan yang jelas.
Fragmentasi lien atau cedera arteri utama menandakan komplikasi yang mengancam nyawa
pada kebanyakan pasien, dan mereka memerlukan intervensi bedah segera.

2.7. Diagnosis banding


Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur lien tidaklah sulit. Bagaimanapun juga, ahli
radiologi harus waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan terjadinya trauma lien.
1. Benda Asing
Terkadang, bahan yang dimasukkan secara iatrogenic dapat menimbulkan gambaran ruptur
lien pada CT scan. Pada kebanyakan pusat trauma, dilakukan pemasangan NGT, dan bahan
kontras dimasukkan secara oral sebelum pemeriksaan CT scan. Artefak dan bahan yang tak
tembus sinar dari NGT dan bahan kontras dapat menutupi lien dan menimbulkan
kebingungan. Bahan yang tidak tembus sinar dari iga dan artefak dari air fluid level dari
lambung dapat juga menimbulkan hasil positif palsu. Gabungan dari efek-efek ini, ditambah
dengan scan yang berkualitas buruk dan besarnya ukuran pasien, sering terjadi pada praktek
sehari-hari.

2. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma lien, kecuali jika
bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak semua cairan intra abdomen merupakan
hematom. Ahli radiologi harus berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa trauma lien adalah
penyebab adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien. Kebanyakan trauma tumpul lien
terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan bermotor, kejadian yang berhubungan
dengan jatuh, atau pengendara kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan.
Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu pada kecelakaan kendaraan bermotor adalah
karena pasien cenderung tua dan telah memiliki penyakit sebelumnya.

3. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada akumulasi cairan
pada bagian bawah lien. Penyebab lain yang dapat menyebabkan akumulasi cairan tidak
boleh dilupakan, termasuk adanya keganasan abdomen yang tidak terdiagnosis dengan asites
dan dialisis peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak mungkin terjadi, kesempatan untuk
memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada kebanyakan kecelakaan
kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang terluka. Orang tua tidak dapat mentoleransi
bahkan trauma kecil sekalipun, dan keadaan hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai
dengan trauma yang terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami
kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan alcohol dan obat-obatan. Akibatnya pasien
dibawa ke bagian radiologi dalam keadaan disedasi atau diintubasi.

4. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran laserasi atau
hematom lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah dilaporkan dalam literatur. Salah satu
etiologi ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai trauma lien, tapi biasanya tidak
menimbulkan hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh endokarditis bakterial,
infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan trauma lien, dan ini dapat dihubungkan
dengan cairan perilien. Lesi kistik yang menyerupai trauma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
- Kongenital : Epidermoid.
- Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan peliosis.
- Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida, Aspergilus, atau
Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium avium intracellular, Pneumocytis
carinii, atau Echinococcus. Dan pseudokista pancreas.
- Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, lienngioma, dan metastasis
(melanoma 50%).

5. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik, infark dapat dibedakan
dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat melebar dari batas luar dengan apeks menuju
ke hilus lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat sepanjang batas luar. Walau
infark tidak meningkat, pada lingkaran luar mungkin dapat terlihat peningkatan karena
terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat disalah artikan sebagai
laserasi tanpa cairan perilien.

6. Keganasan
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien adalah
limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit metastatik pada lien
tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker payudara, paru, ginjal, dan ovarium merupakan
kanker primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada CT scan, dan
dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan intraparenkim. Penyakit metastatik
dapat berhubungan dengan asites yang menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa
pada organ lain dan limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.

7. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus. Tumor ini dapat
terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat menimbulkan gambaran hematom
dan darah yang tidak menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan. Lesi jinak
dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika dekat perifer.
Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas dan bentuk hemangioma
dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju atau phlebolits jarang terjadi,
tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis lien difus adalah keadaan dimana lien
membesar dan digantikan hampir seluruhnya oleh hemangioma. Gambarannya terlihat seperti
trauma saat pertama terlihat.

8. Ruptur lien nontraumatik


Ruptur lien nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan beberapa proses
penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama karena kelangkaannya dan kedua
karena dugaan penyebab traumatik. Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju kepada
diagnosis yang benar.

9. Sarkoidosis
Sakoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana granuloma muncul di
jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik. Lien terlibat dalam 24-59% dari pasien
dengan sarkoid, tapi biasanya asimptomatik. Dapat juga menunjukkan gejala abdominal.
Kasus berat dapat menuju kepada hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa etiologi yang
jelas. Pada kebanyakan kasus, lien terkena secara difus, dan gambarannya dapat menyerupai
limfoma. Splenomegali tampak pada sekitar sepertiga kasus dan sering dihubungkan dengan
limfadenopati. Nodul hipodens yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15% pasien.

10. Amiloidosis
Lien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi penumpukan amiloid,
protein kompleks yang terbentuk terutama dari rantai polipeptida, yang terjadi di berbagai
jaringan dan organ. Amiloidosis dapat terjadi secara primer ataupun sekunder, berhubungan
dengan inflamasi kronik (terutama arthritis reumatoid), dan terjadi berhubungan dengan
myeloma multiple. Lien terkena dalam berbagai bentuk amiloidosis dan muncul secara difus
dan homogen pada kebanyakan pasien. Ini dapat terlihat pada CT scan dengan kontras, tapi
abnormalitas focal yang dapat menyerupai laserasi juga dapat terjadi. Ruptur lien spontan,
yang diyakini sebagai akibat kelemahan kapsul akibat penumpukan amiloid, telah dilaporkan.
Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat dapat membantu dalam membedakan amiloid
dengan trauma.

11. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama menginfeksi pasien
dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah menunjukkan spesies Bartonella yang dapat
menyebabkan penyakit catscratch. Dua proses primer dari infeksi Bartonella, yang
melibatkan hati dan lien disebut bacillary peliosis hepatis. Secara patologis, basili ini
menyebabkan dilatasi kapiler, yang menyebabkan sejumlah kavitas berdinding tipis yang
berisi darah pada hati dan lien. CT scan abdomen menunjukkan adanya lesi multiple pada
hati dan lien dengan liendenopati dan kemunkinan asites. Lesi dapat bergabung membentuk
lesi multilokus atau berseptum. Ruptur lien spontan telah dilaporkan pada pasien dengan
bacillary peliosis hepatis.

12. Trauma sekunder


Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien, yang
menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa tumor atau anemia dapat
terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat berjalan. Hemangioma atau kista dapat ruptur
dengan trauma ringan akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini dihubungkan
dengan hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan dengan trauma lien.

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi, splenektomi sedapat
mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan permanen terhadap
infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana
dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi pada
trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis
telah dijelaskan menggunakan berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang
perbedaan antara embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif,
dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini menghambat aliran pada pembuluh
yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan
splenektomi.

SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan
teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini
terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit
kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.

SPLENEKTOMI
A. Splenektomi

Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, yang mana organ ini
merupakan bagian dari system getah bening. Splenektomi biasanya dilakukan pada trauma limpa,
penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis
kronik, dan CML), hemolitik jaundice, idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista
dan splenomegali. Indikasi lainnya dilakukan splenektomi ialah pada keadaan luka yang tidak
disengaja pada operasi gaster atau vagotomy dimana melibatkan flexura splenika di usus.

Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar. Selain itu,
splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi lien sering tidak
mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan
a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi satu
segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih
vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling
tinggi.

Splenektomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien yang luas, avulsi
lien, kerusakan pembuluh darah hilum, kegagalan splenorapi dan splenoktomi parsial.
Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan, meskipun ada kemungkinan terjadinya
Opsi. Insiden untuk terjadi opsi lebih berarti bila dibandingkan dengan bahaya maut karena
perdarahan yang hebat. Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total
untuk mengurangi opsi dikemudian hari ada pendapat-pendapat yang menganjurkan:

1. Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang telah robek di


implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau di pinggang di belakang
peritoneum. Caranya ialah : jaringan lien tadi dimasukkan kedalam injeksi spuit dan
melalui injeksi spuit tadi jaringan lien dimasukkan kedalam otot-otot dinding perut.
2. Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai untuk mencegah
terjadinya opsi. Cara-cara dan optimal untuk pemberian suntikan booster belum diketahui.
3. Prophylaksis dengan antibiotika

Pemberian antibiotika (denicilline, erythomycin, trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap


bulan dianjurkan, terutama kali ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C. juga
ada laporan mengenai opsi yang disebabkan karena organisme-organisme yang sensitif
penicilin, pada penderita post splenektomi yang telah diberi penicilin profilaksis.
Splenektomi partial

Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien dipertahankan, maka
dikerjakan slpenektomi partial dianggap lebih menguntungkan daripada splenektomi total.

Cara : eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian
yang tidak cedera masih vital.

Splenorrhapi

Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional


dengan tehnik bedah.

Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital, mengikat pembuluh darah
yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terluka. Luka dijahit dengan jahitan berat asam
poliglikolat atau polidioksanon atau chromic catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan simple jahitan
matras atau jahitan figure of eight. Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat
ditambahkan dengan pembungkusan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.

B. Indikasi dan Kontraindikasi untuk Splenektomi

Indikasi dilakukannya splenektomi dapat dilihat sebagai berikut.

Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
Darurat:
- Trauma

Cedera trauma pada limpa ini tidak lagi indikasi langsung atau wajib untuk operasi
atau splenectomy, baik pada dewasa atau anak. CT scan atau USG dapat mendiagnosa
cedera lien pada pasien dengan trauma tumpul pada perut atau dada bagian bawah.
Indikasi untuk dapat dilakukannya operasi pada orang dewasa meliputi akumulasi
signifikan perdarahan intraperitoneal (lebih dari 1.000 ml), persyaratan untuk lebih
dari 2 unit transfusi darah, semakin menurun hemoglobin konsentrasi atau
ketidakstabilan hemodinamik.

Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien
yang mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS
(advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan sirkulasi. Bilas
peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk menilai cedera abdomen
sebelum operasi.

Kontraindikasi open splenektomi

1. Tidak ada kontraindikasi absolute terhadap splenektomy


2. Terbatasnya harapan hidup dan pertimbangan resiko operasi

Kontraindikasi Laparoscopic Splenectomy

1. Riwayat operasi abdominal bagian atas


2. Gangguan koagulasi yang tidak terkontrol
3. Jumlah trombosit yang sangat rendah (<20,000/100>)
4. Perbesaran limpa secara massif misalnya perbesaran lebih dari 4 kali dari normal
5. Hipertensi porta

C. Komplikasi splenektomi

I. Komplikasi sewaktu operasi

A. Trauma pada usus.


 Karena flexura splenika letaknya tertutup dan dekat dengan usus pada lubang bagian
bawah dari limpa, ini memungkinkan usus terluka saat melakukan operasi.
 Perut. Perlukaan pada gaster dapat terjadi sebagai trauma langsung atau sebagai akibat
dari devascularisasi ketika pembuuh darah pendek gaster dilepas.
A. Perlukaan vaskular adalah komplikasi yang paling sering pada saat melakukan operasi.
dapat terjadi sewaktu melakukan hilar diseksi atau penjepitan capsular pada saat
dilakukan retraksi limpa.
B. Bukti penelitian dari trauma pancreas terjadi pada 1%-3% dari splenektomi dengan
melihat tigkat enzim amylase. Gejala yang paling sering muncul adalah hiperamilase
ringan, tetapi tidak berkembang menjadi pankreatitis fistula pankeas, dan pengumpulan
cairan dipankreas.
C. Trauma pada diafragma. Telah digambarkan selama melakukan pada lubang superior
tidak menimbulkan kesan langsung jika diperbaiki. Pada laparoskopi splenektomi,
mungkin lebih sulit untuk melihat luka yang ada di pneomoperitoneum. Ruang pleura
meruapakan hal utama dan harus berada dalam tekanan ventilasi positf untuk mengurangi
terjadinya pneumotoraks.

II. Komplikasi setelah operasi

1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan open splenektomi,
termasuk didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi
ini sangat jarang terjadi pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan
memasang drain di bawak kulit dan pemkaian antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah
dilakukan open splenektomi adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi
akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt
splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis operas
intra-abdominal lainnya.
6. infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection) adalah
komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja
selama hidupnya.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada
setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.

Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :


1. Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena sangat vaskular dan
rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien pasien harus diangkat.
2. Pada penyakit kronis misalnya malaria dan Kala Azar, lien sangat membesar sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus diangkat.
Efek Pengangkatan Lien :
1. Sel darah merah harus benar-benar dihitung (seharusnya mengalami peningkatan sel darah
merah) karena penghancuran sel darah merah oleh lien terhenti, tapi mengejutkan karena
jumlah sel darah merah yang dihitung akan sedikit berkurang yaitu anemia ringan.
2. Sel darah putih dan trombosit akan meningkat.
3. Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan kurang.
4. Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien satu-satunya tempat di mana ada
kekebalan terhadap tetanus.
Seperti yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang dapat hidup normal,
kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap infeksi tetanus.8
Penatalaksanaan Pasien dengan Splenektomi
Tabel 3. Penatalaksanaan pasien dengan splenektomi

Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general practice.
Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012

SPLENOSIS
Splenosis adalah autotransplantasi jaringan lien setelah splenektomi traumatik atau
pembedahan. Splenosis biasanya terjadi setelah rupture akibat trauma dari lien dan didefinisikan
sebagai autotransplantasi jaringan lien terhadap ectopic sites (bukan tempatnya). Paling sering terjadi
sebagai nodul intraperitoneal yang ditemukan baik kebetulan atau setelah ada gejala komplikasi, dan
mungkin akan menjadi jelas beberapa tahun setelah trauma. Splenosis kebanyakan tanpa gejala yang
menyebabkan dilakukannya investigasi yang tidak perlu dalam rangka untuk membedakannya dari
lesi jinak atau ganas lainnya. Ketika terdapat pada beberapa tempat (dengan beberapa manifestasi)
yang terlibat, keadaannya menjadi lebih kompleks.
Splenosis terdapat pada satu hingga dua pertiga pasien yang menjalani splenektomi karena
trauma. Implantasi dari serpihan (bagian) lien paling sering terjadi pada permukaan usus halus dan
usus besar, omentum yang lebih besar, peritoneum parietalis, mesenterium, dibawah permukaan
diafragma, dan lebih jarang dalam kasus-kasus trauma berat, terjadi pada intrahepatik atau bahkan
intrathoracic. Meskipun splenosis jarang dapat menimbulkan gejala sebagai nyeri perut atau nyeri
testis yang samar-samar, obstruksi usus karena adanya perlengketan, perdarahan saluran cerna dan
pecah spontan, biasanya hal tersebut merupakan ditemukan secara tidak sengaja selama operasi, baik
dengan laparoskopi ataupun pencitraan. Jika kita telah mempertimbangkan splenosis, tanda-tanda
dari sisa jaringan limpa sebagai tidak adanya Howell-Jolly bodies, siderocytes, Heinz bodies dan sel
darah merah pada hapusan darah perifer dapat membantu. Kesimpulannya, semua pasien dengan
riwayat operasi atau trauma limpa harus dipertimbangkan hipotesis splenosis dalam diagnosis
diferensial dari massa yang baru ditemukan.

Gambar 24. Gambar intraoperatif menampakkan massa kebiruan-merah besar dan implan kecil
dengan melibatkan beberapa permukaan peritoneum pelvis menunjukkan jaringan limpa ektopik.
Sumber : Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis to be
Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November - December, 2006. Diakses
dari http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada tanggal 04-11-2012

Splenosis adalah kondisi jinak yang umumnya terjadi setelah limpa pecah melalui trauma
atau operasi. Splenosis biasanya ditemukan kebetulan dan biasanya tidak mempunyai gejala dan
tidak ada terapi yang diindikasikan. Namun, secara radiografi splenosis dapat menyerupai keganasan,
dan kebanyakan pasien harus menjalani berbagai macam pemeriksaan untuk menentukan diagnosis
penyakit yang dimilikinya. Metode diagnostik pilihan adalah skintigrafi nuklear, khususnya, panas-
yang memindai sel darah merah rusak. Splenosis biasanya terjadi dalam rongga perut dan panggul,
tetapi beberapa pasien telah dilaporkan dengan lesi splenosis pada intrathoracic, subkutan,
intrahepatik dan intrakranial.

OVERWHELMING POST SPLENECTOMY INFECTION


Pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang signifikan,
karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Infeksi postsplenectomy berat (OPSI)
adalah proses fulminan serius yang membawa tingkat kematian yang tinggi. Patogenesis dan risiko
berkembangnya infeksi postsplenectomy berat (OPSI) yang fatal tetap tidak jelas.

Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)


King dan Shumacker pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri setelah splenektomi
pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian muncul bahwa sindrom ini setara terjadi pada
orang dewasa asplenic. Gejala yang tidak spesifik dan gejala fisik ringan postsplenectomy muncul
pada tahap awal OPSI, yang meliputi kelelahan, kulit menjadi berwarna, penurunan berat badan,
sakit perut, diare, sembelit, mual, dan sakit kepala. Pneumonia dan meningitis concomitants sering
lebih parah. Perjalanan klinis menjadi cepat dan dapat berkembang menjadi koma dan kematian
dapat terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam, karena tingginya insiden shock, hipoglikemia, serta
asidosis yang ditandai dengan gangguan elektrolit, distress pernapasan, dan koagulasi intravaskular
diseminata (DIC). Angka kematian adalah 50% -70% meskipun dengan terapi agresif yang
mencakup cairan infus, antibiotik, vasopressor, steroid, heparin, Packed Red Cell (PRC), trombosit,
cryoprecipitates, dan Fresh Frozen Plasma (FFP). Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin
dari sindrom Waterhouse-Friderichsen (WFS), dan perdarahan adrenal bilateral dapat ditemukan
pada otopsi. Mekanisme yang menghubungkan splenektomi untuk WFS tidak diketahui tetapi
kemungkinan penyebab OPSI termasuk hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar
imunoglobulin serum, penekanan kepekaan limfosit, atau perubahan dalam sistem opsonin.
Tabel 2. Manifestasi Klinis Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)
Infeksi samar (cryptic) (fokus tidak jelas)
Prodromal singkat, tidak spesifik
Bakteremia massif dengan organisme berkapsul
Shock septic dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Virulensi: kematian 50% sampai 70%
Kematian terjadi kemudian dalam 24 hingga 48 jam
Sumber : Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Diakses dari www.wjgnet.com pada tanggal 04-11-2012

Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan / atau meningitis, biasanya
fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun, baik itu bakteri, virus,
jamur, atau protozoa, namun organisme yang berkapsul sering berhubungan dengan sepsis pada
pasien dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae
sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat diatasi dengan adanya atau bahkan dengan
sejumlah kecil jenis-antibodi spesifik. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang
baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit
pneumokokus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari populasi pada
umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme yang berkapsul seperti
Streptcoccus pneumoniae (50% -90%), Neisseria meningitides, Hemophilus influenzae, dan
Streptococcus pyogens (25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan tanpa hambatan.

Pencegahan terhadap OPSI


Pengobatan OPSI umumnya agresif karena sifat serius dari kondisi yang dialami pasien dan
mortalitas yang terkait. Terdiri dari cairan infus, antibiotik, vasopressor, steroid, heparin, Packed Red
Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan Fresh Frozen Plasma (FFP), mungkin gagal untuk
mengubah sindrom septik fulminan ini. Oleh karena itu, pencegahan OPSI sangat penting bagi
pasien immunocompromised yang telah menjalani splenektomi. Strategi pencegahan termasuk
imunisasi dan pendidikan juga penting bagi pasien yang liennya telah diangkat. Secara fungsional
atau secara anatomi pasien asplenic mengalami peningkatan risiko infeksi dari organisme yang
berkapsul dibandingkan dengan populasi umum. Vaksin yang tersedia untuk organisme yang paling
umum termasuk vaksin pneumokokus 23-valent polisakarida, vaksin pneumokokus 7-valent protein
conjugated, vaksin Hemophilus influenzae tipe B, dan vaksin meningokokus. Vaksin pneumokokus
yang mengandung polisakarida direkomendasikan untuk semua orang dewasa pada peningkatan
risiko infeksi pneumokokus, dan khususnya pasien asplenic. Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit di Amerika Serikat (vaksinasi ulang setiap 6 tahun) dan Komite Inggris untuk Standar
dalam Hematologi (vaksinasi ulang setiap 5-10 tahun) direkomendasikan untuk vaksinasi ulang
pencegahan OPSI, pada saat yang sama ditekankan perlunya interval yang lebih pendek antara
vaksinasi ulang dengan vaksinasi sebelumnya untuk menjaga konsentrasi antibodi dengan
kemungkinan untuk memberikan perlindungan pada tingkat yang memadai. Sayangnya, sepsis
pneumokokus yang fatal telah dilaporkan pada pasien asplenic. Namun vaksinasi tetap dianjurkan,
untuk menawarkan perlindungan pasien yang teah diangkat liennya karena risiko mereka terhadap
pengembangan penyakit fatal dan karena vaksin itu sendiri menimbulkan risiko minimal.
Tabel 4. Rekomendasi Pencegahan Infeksi Pada Pasien Asplenik

Sumber : Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general
practice. Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012

Jockovich melaporkan tidak ada pasien yang mengalami OPSI jika divaksinasi sebelum
splenektomi, namun OPSI berkembang pada 10,4% dari pasien yang tidak menerima vaksinasi.
Selain itu, OPSI berkembang pada 5% dari pasien yang diberi vaksinasi setelah splenektomi. Untuk
splenektomi elektif, vaksin harus diberikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
Akhirnya, pendidikan pasien merupakan strategi wajib untuk mencegah OPSI. Penelitian telah
menunjukkan bahwa dari 11% sampai 50% dari pasien yang telah menjalani pengangkaan lien tetap
tidak menyadari risiko mereka meningkat untuk terkena infeksi serius atau tindakan kesehatan yang
tepat yang harus dilakukan. Pasien harus memahami keparahan potensi OPSI dan kemungkinan
perkembangan penyakit yang cepat.
Tabel 5. Rekomendasi Vaksinasi Profilaksis OPSI

Sumber : http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/splenectomy_vaccines.pdf diakses pada


tanggal 04-11-2012

Dokter harus menginformasikan setiap profesional kesehatan baru, termasuk dokter gigi,
status asplenic. Secara khusus, adanya peningkatan Howell-Jolly tubuh pada apusan darah tepi harus
disorot pada laporan laboratorium untuk menginformasikan dokter bahwa pasien mungkin mengaami
hyposplenism, informasi ini dan maknanya pada gilirannya harus disampaikan kepada pasien. Selain
itu, saran bagi individu asplenic akan dikeluarkan dengan formulir
dari tanda medis, seperti kartu atau gelang, yang memiliki dua tujuan. Pertama, harus memberikan
sebuah pengingat konstan untuk individu dari kondisi mereka dan, kedua, pengetahuan tentang
negara mereka mungkin penting bagi petugas medis jika terjadi keadaan darurat.

2.9. Prognosis
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien penyembuhan
90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka kematian yang
berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan biasanya akibat trauma pada
organ lain dan kehilangan darah yang banyak.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Tn. M N
Umur : 69 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Kompleks Kuma, Kabupaten Sarmi
Tanggal MRS : 10 Maret 2019
No. R.M : 15 96 86

3.2 Anamnesa
a. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan nyeri perut
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan puskesmas Sarmi, pasien datang diantar keluarga dengan keluhan nyeri
perut sejak ± 1 hari yang lalu, nyeri dirasakan menjalar ke bahu kiri diketahui bahwa kemarin pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar jam 04. 00 WIT. Pasien merupakan korban tabrakan oleh sepeda
motor, saat pasien hendak mengendarai sepeda motor pasien ditabrak oleh seseorang dari arah belakang
yang menyebabkan pasien terjatuh dan mengalami benturan pada area sekitar perut. Saat terjadi
kecelakaan pasien sempat pingsan, dan segera dibawa ke puskesmas Sarmi, ketika sampai di Puskesma
Sarmi pasien kembali sadar dan mengeluhkan nyeri perut.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit paru (-), alergi (-), penyakit jantung (-), penyakit lambung (-), kecacingan (-), diabetes
mellitus (-), hipertensi (-), asma (-), malaria berat (+), kejang (-)
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama didalam keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat hipertensi, asma, alergi
dan diabetes melitus juga disangkal oleh pasien.

3.3 Status generalis

Keadaan umum :tampak sakit sedang Kesadaran :kompos mentis


Tanda-tanda vital :TD: 80/60 mmHg; RR:24x/m ; SB:36,9°C ; HR : 72 x/m ; SpO2 : 96 %
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung: Nafas cuping hidung (-), epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga: Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler, whezeeng (-/-), ronkhi (-/-) setinggi ICS 3
dekstra
: cor :I : iktus kordis tidak terlihat
: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas jantung kanan ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)
:abdomen :I : tampak datar, jejas regio hipogastric
:A : bising usus ↓↓
:P : Hepar / lien : tidak teraba besar, nyeri tekan (+) regio
umbilikalis & hipogastric & iliaca dextra, defans muscular (+)
:P : shifting dullness (-)
: ekstremitas : akral dingin, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-), CRT > 2
detik
: vegetatif : makan (+) minum (+), BAB (-), BAK (-)
3.4 Pemeriksaan penunjang
a. Foto USG Abdomen
b. BNO tegak lateral

c. Hematologi
Penatalaksanaan dan follow up
Waktu 11 Maret 2019 (09.00 WIT)
follow up
S Nyeri perut, mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK (-)
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : Compos mentis
 TTV : TD: 70/50 mmHg ; HR: 83x/m ; RR:22x/m ; SB: 37,0°C ; SpO2 : 93 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar, nyeri tekan (+) regio
hipogastric & region iliaca dextra, defans muscular (+)
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral dingin, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT > 2 detik

Vegetatif : makan (+) minum (+), BAB (-), BAK (-)

 - Trauma tumpul abdomen

P - 2 jalur kanan, kiri (loading RL 500 cc dan Widahes 20m tpm)


- Injeksi Ketorolac 3 x amp. (i.v)
- Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (i.v)
- Injeksi Asam traneksamat 3 x 1 amp. (i.v)
- Pasang NGT
- Pro cek DL, CT BT
- Pro USG abdomen
- Bila Tekanan Darah stabil pro foto pelvic abdomen tegak lateral
- pro pasang kateter
- observasi Keadaan umum, Vital sign,
- puasa, pro laparatomy eksplorasi
Waktu 11 Maret 2019 (20.00 WIT)
follow up
S mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK (+)
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : somnolen
 TTV : TD: 118/79 mmHg ; HR: 85x/m ; RR:17x/m ; SB: 36,4°C ; SpO2 : 98 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral dingin, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-)

Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - RL : D5% 104 cc/jam


- RL + chrome + Vit.C + Vit. K + Asam traneksamat
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi antrain 3 x 1 amp (iv)
- injeksi ranitidine 3 x 1 amp (iv)
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi lasix ½ amp. setelah tranfusi PRC kolf I
Lanjut tranfusi kolf II setelah itu injeksi lasix ½ amp
- Jika Tekanan Darah di bawah 100 mmHg pasang vascon 3-4 cc/
jam dikombinasikan dengan dobutamin
- Petidine 2,5 cc/ jam (sebelumnya bolus 3 cc)
- Diet puasa

Waktu 12 Maret 2019


follow up
S Nyeri berkurang
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : compos mentis
 TTV : TD: 98/63 mmHg ; HR: 92x/m ; RR:12x/m ; SB: 36,4°C ; SpO2 : 98 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral dingin, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT<2 detik

Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - RL 1500 cc : D5 1000 cc (104 cc/jam)


- RL + chrome + Vit.C + Vit. K + Asam traneksamat/ 28 tpm
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi antrain 3 x 1 amp (iv)
- injeksi ranitidine 3 x 1 amp (iv)
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi furosemid 2 x ½ amp. (ekstra)
- Jika Tekanan Darah di bawah 100 mmHg pasang vascon 3-4 cc/
jam dikombinasikan dengan dobutamin 2-3 cc/ jam
- Petidine 2,5 cc/ jam DOSIS diturunkan 0,5 cc/jam
- Diet puasa
Waktu 13 Maret 2019
follow up
S Mual (+), muntah (-), nyeri post operasi berkurang, tampak cairan
kehijauan mengalir dari NGT
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : compos mentis
 TTV : TD: 124/69 mmHg ; HR: 86x/m ; RR:21x/m ; SB: 36,1°C ; SpO2 : 97 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral dingin, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT<2 detik

Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - Aminofluid 1000 cc : RL 1000 cc : D5% 500 cc


- RL + chrome + Vit.C + Vit. K + Asam traneksamat (STOP)
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi antrain 3 x 1 amp (iv) GANTI ketorolac 3 x 1 amp (iv)
- injeksi ranitidine 3 x 1 amp (iv) GANTI drip ranitidine 1 amp/
hari
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi furosemid 2 x ½ amp. (ekstra)
- injeksi omeprazole 2 x 40 mg (iv)
- Jika Tekanan Darah di bawah 100 mmHg pasang vascon 3-4 cc/
jam dikombinasikan dengan dobutamin 2-3 cc/ jam
- Petidine 0,5 cc/ jam (STOP)
- Diet puasa
Waktu 14 Maret 2019
follow up
S Mual (+), muntah (-), nyeri post operasi berkurang,
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : compos mentis
 TTV : TD: 127/67 mmHg ; HR: 69x/m ; RR:23x/m ; SB: 36,5°C ; SpO2 : 95 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)
cor : :I : iktus kordis tidak terlihat
: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral hangat, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT<2 detik

Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - Aminofluid 1000 cc : RL 1000 cc : D5% 500 cc + drip ranitidine


1 amp/ hari
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi ketorolac 3 x 1 amp (iv)
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi furosemid 2 x ½ amp. (ekstra)
- injeksi omeprazole 2 x 40 mg (iv)
- Jika Tekanan Darah di bawah 100 mmHg pasang vascon 3-4 cc/
jam dikombinasikan dengan dobutamin 2-3 cc/ jam
- Bila muntah protap ondansentron 3 x 4 mg
- Diet puasa
Waktu 15 Maret 2019
follow up
S Mual (+), muntah (-), nyeri post operasi berkurang,
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : compos mentis
 TTV : TD: 134/75 mmHg ; HR: 64x/m ; RR:20x/m ; SB: 36,5°C ; SpO2 : 97 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral hangat, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT<2 detik

Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - Aminofluid 1000 cc : RL 1000 cc : D5% 500 cc + drip ranitidine


1 amp/ hari GANTI RL 500 cc : Ka En 3B 500 cc : D5% 500
cc/24jam
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi ketorolac 3 x 1 amp (iv) GANTI injeksi antrain 3 x 1 amp.
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi furosemid 2 x ½ amp. (ekstra) (STOP)
- injeksi omeprazole 2 x 40 mg (iv)
- Jika Tekanan Darah di bawah 100 mmHg pasang vascon 3-4 cc/
jam dikombinasikan dengan dobutamin 2-3 cc/ jam
- Bila muntah protap ondansentron 3 x 4 mg
- Minum air gula 1 sendok/ jam
- GV 2 x sehari menggunakan NaCl 0,9%
Waktu 16 Maret 2019
follow up
S Mual (+), muntah (-), nyeri post operasi berkurang,
O  KU : tampak sakit sedang ; Kes : compos mentis
 TTV : TD: 120/65 mmHg ; HR: 72x/m ; RR:22x/m ; SB: 36,8°C ; SpO2 : 99 %
 Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)

cor : :I : iktus kordis tidak terlihat


: :P : iktus kordis teraba di ICS V midclavikularis sinistra
: :P : batas kanan jantung sesuai ICS IV parasternal dekstra
: batas jantung kiri sesuai iktus kordis
: :A : S1S2 reguler, galllop (-), mur-mur (-)

abdomen : :I : tampak datar, jejas (+) regio hipogastric


:A : bising usus menurun
:P : Hepar / lien :tidak teraba besar,
:P : shifting dullness (-)
ekstremitas : akral hangat, oedema (-) kedua ekstremitas bawah, ulkus (-),
CRT<2 detik
Vegetatif : makan (-) minum (-), BAB (-), BAK (+)

A  - post operasi rupture lien

P - RL 500 cc : Ka En 3B 500 cc : D5% 500 cc/24jam GANTI


Aminofluid 1000 cc : RL 500 cc : D5% 500 cc / 24 jam
- injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
- injeksi antrain 3 x 1 amp.
- injeksi metronidazole 3 x 500mg
- injeksi omeprazole 2 x 40 mg (iv)
- Bila muntah protap ondansentron 3 x 4 mg
- Minum air gula 1 sendok/ jam
- GV 2 x sehari menggunakan NaCl 0,9%
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus diatas adalah kecelakaan lalu lintas akibat ketidak hati-hatian pengendara sepeda
motor di jalan raya yang dapat meyebabkan kerugian (cedera) pada orang lain dan korban atau
pasien ditemukan jejas yang terjadi akibat benturan pada perut (trauma abdomen). Pada pasien
ditemukan tanda-tanda bahwa telah terjadi perdarahan intraabdomen akibat ruptur organ solid
terutama lien yaitu: 1) akral dingin; 2) cappilary refill time> 2 detik; 3) nyeri seluruh perut baik
dengan palpasi ataupun tidak; 4) nyeri yang menjalar dari perut ke bahu kiri (Kehr’s sign); 5)
Hemoglobin dibawah normal; 6) Leukosit diatas norma;
Cappilary refill time yang memanjang menunjukkan bahwa pasien kehilangan darah yang
cukup banyak sehingga waktu pengisian pembuluh darah kapiler di perifer menjadi lambat. Dalam
kondisi kekurangan darah maka suplai darah akan dialirkan ke organ-organ penting seperti jantung,
paru, otak, dan ginjal. Hal ini menyebabkan blood flow ke organ di perifer menjadi sangat berkurang
sehingga bisa kita lihat adanya anemis dan capillary refill time yang memanjang. Nyeri seluruh perut
baik dengan palpasi ataupun tidak, hal ini disebabkan adanya akumulasi darah di intrabdomen yang
menimbulkan iritasi, pada peritoneum (pembungkus abdomen). Hal ini berakibat timbulnya nyeri
pada setiap pergerakan dinding abdomen dan dikenal dengan istilah peritonismus. Kehr’s sign adalah
tanda patognomonis untuk suatu ruptur lien dimana darah akan mengiritasi diafragma kiri sehingga
terjadi nyeri di bahu kiri akibat dermatome saraf di sekitar diafragma adalah sama dengan daerah di
bahu kiri. Hemoglobin yang rendah berhubungan dengan adanya blood lost yang meningkat pada
ruptur lien, sedangkan leukosit yang tinggi menandakan adanya proses inflamasi akibat rupture lien
sehingga tubuh mengeluarkan sel-sel radang akut (sel PMN) untuk counter attack terhadap inflamasi
yang telah terjadi.
Pemeriksaan USGFAST telah diterima secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma
abdomen. Alatnya yang portabel sehingga dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa
menunda tindakan resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang noninvasif, dan dapat dilakukan berulang
kali menyebabkan FAST merupakan studi diagnostic yang ideal. Namun tetap didapatkan beberapa
kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal
untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang positif. Adanya koleksi cairan di ke-3 area terendah di
abdomen menunjukkan bahwa ada perdarahan akut yang cukup banyak. Resusitasi dan stabilisasi
yang cepat dan tepat menjadi faktor penentu kedua dalam penyelamatan nyawa pasien. Resusitasi
dengan cairan RL (ringer lactate) bertahap sampai 2000cc dan penilaian respon pasca resusitasi
masih menjadi standar ATLS (advanced trauma life support).
Pada pasien diatas dikatakan tidak berespon (no respons) terhadap resusitasi cairan karena
tensi tidak naik seiring dengan cairan RL yang dimasukkan. Hal ini menunjukkan bahwa perdarahan
(blood lost) sangat hebat sehingga cairan yang masuk tidak dapat mengimbangi jumlah darah yang
hilang secara akut. Bila kondisi demikian terjadi maka pilihan akhir adalah surgical resuscitation
yaitu dilakukan pembedahan guna menghentikan sumber perdarahan secara langsung. Splenectomy
total dapat dilakukan pada pasien diatas karena ruptur lien yang hebat dan sehingga ahli bedah
kesulitan dalam melakukan repair dengan splenorraphy. Keputusan pengangkatan total lien ini juga
mempertimbangkan bahwa perdarahan masih terus berlangsung dari parenkim lien yang robek dan
hal ini sangat berbahaya apabila dibiarkan terlalu lama akibat ahli bedah berusaha menjahit ruptur
lien yang luas dan tidak beraturan. Kehilangan darah yang semakin banyak akan menyebabkan
pasien jatuh dalam keadaan hipotermia dan DIC (disseminated intravascular coagulation) yang
mengancam nyawa dan bisa berakibat death on table (meninggal di atas meja operasi). Memang
pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang signifikan, karena
lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI)
adalah infeksi berat pasca pengangkatan lien yang merupakan suatu proses fulminant serius yang
membawa tingkat kematian yang tinggi. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang
baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak secara cepat. Oleh karena itu,risiko
penyakit Pneumoccocus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari populasi
pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme yang berkapsul seperti
Streptcoccuspneumoniae (50% -90%), Neisseriameningitides, Hemophilusinfluenzae, dan
Streptococcuspyogens(25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihantanpa hambatan.
Namun risiko tersebut bisa diatasi dengan beberapa cara yaitu:
1) melakukan implantasi lien yang masih sehat dengan cara memotong kecil-kecil parenkim lien dan
menjahitkan pada omentum (penggantung usus);
2) memberikan vaksin pneumovax 23/pneuimune 23 untuk mencegah
infeksi Pneumococcus dan Hemophilusinfluenzae;
3) pemberian antibiotika broad spectrum pasca operasi sampai leukosit normal kembali;
4) pemberian antibiotika (penicilline, erythomycin, trimethroprimsulfomethoxazole)
setiap bulan dianjurkan, terutama bila ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C;
5) Setiap penderita post splenektomi dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter
setiap kali menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika dan
dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis
yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Syamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 608-612.
2. Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department of
Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada
tanggal 04-11-2012.
3. Brunicardy, Charles, et all. Schwartz’s Principles of Surgery. The Mc Graw-Hill Companies.
2005.
4. Lisle, David. Imaging for Student, second edition. Arnold, New York. 2001.
5. Beers, Mark Porter, Robert Jones, Thomas. The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy (18th ed.). New Jersey: Merck Research Laboratories. 2006.
Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Blunt_splenic_trauma pada tanggal 04-11-2012
6. Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007. Abdominal Trauma – Role of CT. Department of Radiology
of the Brigham and Women's Hospital, Boston and the Rijnland Hospital in Leiderdorp, the Netherlands. 2007.
Diakses dari http://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073 pada tanggal 04-11-2012
7. Hassan, R., et. Al., Computed Tomography of Blunt Spleen Injury: A Pictorial Review,
Malaysian J Med Sci. Jan-Mar 2011; 18(1): 60-67, diakses dari www.mjms.usm.my pada
tanggal 04-11-2012.
8. Samudra, L. Ruptur Lien. 2009. Diakses dari
http://banyakbaca.wordpress.com/2009/11/24/ruptur-lien-2009/ pada tanggal 20-06-2011.
9. Javadrashid, R., Paak, N., Salehi, A., 2010. Combined Subcutaneous, Intrathoracic and
Abdominal Splenosis. Archives of Iranian Medicine, Volume 13, Number 4, November 2012.
10. Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis to be
Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November - December, 2006.
Diakses dari http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada tanggal 04-11-2012
11. Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Overwhelming postsplenectomy infection syndrome in
adults – A clinically preventable disease., World Journal of Gastroenterology, 14; 14(2):
176-179, Diakses dari www.wjgnet.com pada tanggal 04-11-2012
12. Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general practice.
Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012
13. CDC. 2006. Post-Splenectomy Vaccine Prophylaxis. Diakses dari :
http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/splenectomy_vaccines.pdf pada tanggal 04-11-
2012
14. Debas, Haile T. MD. Gastrointestinal Surgery : Pathophysiology and Management. Springer
Verlag New York. 2003.
15. Way, Lawrence . W. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 11th Edition. McGraww Hill
and Lange. 2003
16. Morris, Peter J. Oxford Tetbook of Surgery 2nd Edition. Oxford Press. 2000
17. Davidson RN, Wall RA. Prevention and management of infections in patients without a
spleen. Clin Microbial Infect 2001; 7:657-60.

Anda mungkin juga menyukai