Lapkas Fix Bedah Elison
Lapkas Fix Bedah Elison
PENDAHULUAN
2.1. Definisi
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien dari
beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu operasi.
Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma kiri di
superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar adrenal di
posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.
Fisiologi
Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori :
1. Filter sel darah merah
2. Produksi opsonin-tufsin dan properdin
3. Produksi Imunoglobulin M
4. Produksi hematopoesis in utero
5. Regulasi T dan B limfosit
Pada janin usia 5-8 bulan lien berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan
putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, lien berfungsi menyaring darah, artinya sel
yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan dirusak oleh sistem
retikuloendotelium disana.
Lien juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui
darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi
yang unik pada lien. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga lien punya waktu
untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan dengan
cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang respon anti bodi Ig M di centrum
germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati lien.
Lien dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah, dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas enzimnya
dan lien yang mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya. Pada asplenia kadar
tufsin ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi sel – sel darah putih
dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah tua. Properdin adalah komponen penting
dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila kadarnya dibawah normal akan mengganggu proses
opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti meningokokkus, dan pneumokokkus.
2.3. Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :
1. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya. Pada
luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering dicederai adalah
paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu
protrombin 20 % di atas normal.
2. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau trauma
thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu
lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga kontak seperti judo,
karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena
adanya tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang
membesar secara lambat dan kemudian pecah.
3. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas, umpamanya
karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga
hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi
lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi :
a) Cedera kapsul
b) Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
c) Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
d) Avulsi lien dilakukan splenektomi total
e) Hematoma subkapsuler
o Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam dan luar
batas..
o Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual traumatik
pada area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.
o Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
o Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari Echinococcus
granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.
Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan karakteristik
gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan hematom, kalsifikasi dari
batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas dapat muncul
linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung dari ukuran regresi hematom.
Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama, seperti
pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip
dengan hematom subkapsular.
Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran kiri atas dibawah
diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom lien
2.6.1. USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, luka-luka.
USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam peritoneum tampak
sebagai gambaran cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus dengan organ
solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis trauma organ solid
atau trauma intestinal.
Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma tumpul abdomen yaitu untuk menentukan apakah
ada darah di kuadran kiri atas.
Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.
Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda dapat
ditemukan yaitu :
o Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat dipikirkan sebagai
subkapsular.
o Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak reguler.
o Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan subkapsular lebih
mungkin merubah bentuk lien.
o Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh karena itu tidak
adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan echogenesiti yang sama
atau lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai lisis dimulai.
Fase echogenik biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan dilakukan dalam keadaan
yang paling akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke echogenesiti cairan, dan patologi
ini kembali lebih jelas.
Kelainan parenkim umum yang halus.
o Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat berbentuk tidak teratur
ataupun linear.
o Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik dapat
ditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke hilus. Dibandingkan
dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih kompleks terlihat.
o Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan lokal yang
terkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi isoechoic dengan jaringan
sekitarnya
Gambar 4. USG abdomen yang menunjukkan cairan bebas peritoneum. Pada trauma tumpul
abdomen biasanya hemoperiteneum.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Gambar 5. (a) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma. (b) hematom subkapsular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
2.6.2. Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya sebagai awal,
tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara non-bedah. CT juga semakin banyak
digunakan untuk trauma tembus yang secara tradisional ditangani dengan operasi.
CT pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a. Trauma tumpul
b. Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera
Gambar 6. Laserasi limpa terlihat pada kontras ditingkatkan tomografi sebagai area hipodens linier
tidak teratur
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 7. Hematoma parenkim (panah) terlihat pada CT-Scan kontras sebagai area hipodens fokus
dalam parenkim lienalis ditingkatkan dengan kapsul utuh
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 8. Hematoma subcapsular (panah) terlihat sebagai area hipodens dengan perdarahan yang
terkumpul pada perisplenic yang melekuk dibawah parenkim yang mendasarinya
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 9. Darah yang terkumpul pada perisplenic (panah) terlihat sebagai area hpodens di sekitar
limpa tanpa efek massa untuk parenkim yang berdekatan
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 10. Cedera limpa grade I pada seorang gadis 17 tahun yang terlibat dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. Dengan menggunakan CT-Scan menunjukkan sobekan kapsuler kurang dari 1
cm pada kutub lebih rendah (panah). Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 11. Cedera limpa grade I pada laki-laki 35 tahun dalam sebuah kecelakaan industri.
CT-Scan dengan kontras menunjukkan perdarahan subcapsular (panah) kurang dari 10% dari luas
permukaan. Dia dikelola secara konservatif dan sembuh dengan baik.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 12. Cedera limpa grade II pada bocah 13 tahun terluka setelah berkelahi. CT-scan
menunjukkan hematoma subkapsular melibatkan 30% -40% dari luas permukaan limpa (panah).
Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 13. Cedera limpa grade II pada seorang pria 30 tahun setelah diserang. CT-scan
menunjukkan laserasi 2 cm pada hilus (panah) yang dikonfirmasi pada saat operasi.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 14. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 15 tahun terluka saat pertandingan
sepak bola. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka dan hematoma intraparenchymal
(panah). Pasien dikelola secara konservatif dan sembuh total
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 15. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 18 tahun, cedera ketika sepeda
motornya menabrak kerbau. CT-Scan dengan kontras menunjukkan laserasi di kutub atas (panah).
Temuan saat operasi menegaskan laserasi 6 cm dengan haemoperitoneum sekitar 1 liter. Dilakukan
splenektomi pada pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 16. Cedera limpa grade IV pada anak laki-laki 17 tahun terluka dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka menyebabkan
devascularisation utama dari limpa. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Gambar 17. Cedera limpa grade V pada seorang pria 18 tahun setelah sepeda motornya
menghantam truk. CT-Scan dengan kontras menunjukkan limpa hancur dengan yang dikonfirmasi
saat operasi haemoperitoneum volume yang besar. Perhatikan (panah) menunjukkan perdarahan
aktif. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 04-11-2012
Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale6
The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the Surgery of Trauma
juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, sebagai berikut:
Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh darah trabecular.
Grade III
Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas dan terdapat
ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan pembuluh darah
trabecular.
Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi lebih dari
25% dari lien.
Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.
Tingkat Keyakinan
Dalam pengalaman penulis, secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas CT dalam deteksi
cedera lien mendekati 100%.
2.6.3. ANGIOGRAPHY
Gambar 18. Arteriogram yang diperoleh dengan injeksi kateter arteri utama lien menunjukkan
beberapa daerah ekstravasasi agen kontras parenkim.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Gambar 21. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lienalis utama setelah embolisasi koil
superselectif dari pseudoaneurisma. Opasifikasi kontras irregular masih tampak dengan area
avaskular, itu mungkin mewakili daerah lain dari cedera vaskular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Gambar 22. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lien superselektif di kutub atas,
menegaskan zona kedua dari gangguan vaskular dengan ekstravasasi agen kontras.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Gambar 23. Gambaran arteriographic akhir dari injeksi kateter arteri utama lienalis setelah selektif /
embolisasi koil superselektif. Sekitar 50% dari lien telah devascularisasi. Tidak ada sisa cedera
pembuluh darah arteri atau tampak ekstravasasi.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department
of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada tanggal
04-11-2012
Penemuan
Trauma lien dapat menghasilkan berbagai temuan angiografik, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tanda-tanda tidak langsung termasuk perpindahan lien dari dinding perut dan daerah
parenkim avaskular dari hematoma. Ketidakteraturan parenkim atau bintik-bintik pada lien mungkin
akibat dari edema lokal dari memar tanpa kelainan yang jelas.
Fragmentasi lien atau cedera arteri utama menandakan komplikasi yang mengancam nyawa
pada kebanyakan pasien, dan mereka memerlukan intervensi bedah segera.
2. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma lien, kecuali jika
bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak semua cairan intra abdomen merupakan
hematom. Ahli radiologi harus berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa trauma lien adalah
penyebab adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien. Kebanyakan trauma tumpul lien
terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan bermotor, kejadian yang berhubungan
dengan jatuh, atau pengendara kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan.
Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu pada kecelakaan kendaraan bermotor adalah
karena pasien cenderung tua dan telah memiliki penyakit sebelumnya.
3. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada akumulasi cairan
pada bagian bawah lien. Penyebab lain yang dapat menyebabkan akumulasi cairan tidak
boleh dilupakan, termasuk adanya keganasan abdomen yang tidak terdiagnosis dengan asites
dan dialisis peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak mungkin terjadi, kesempatan untuk
memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada kebanyakan kecelakaan
kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang terluka. Orang tua tidak dapat mentoleransi
bahkan trauma kecil sekalipun, dan keadaan hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai
dengan trauma yang terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami
kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan alcohol dan obat-obatan. Akibatnya pasien
dibawa ke bagian radiologi dalam keadaan disedasi atau diintubasi.
4. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran laserasi atau
hematom lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah dilaporkan dalam literatur. Salah satu
etiologi ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai trauma lien, tapi biasanya tidak
menimbulkan hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh endokarditis bakterial,
infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan trauma lien, dan ini dapat dihubungkan
dengan cairan perilien. Lesi kistik yang menyerupai trauma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
- Kongenital : Epidermoid.
- Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan peliosis.
- Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida, Aspergilus, atau
Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium avium intracellular, Pneumocytis
carinii, atau Echinococcus. Dan pseudokista pancreas.
- Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, lienngioma, dan metastasis
(melanoma 50%).
5. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik, infark dapat dibedakan
dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat melebar dari batas luar dengan apeks menuju
ke hilus lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat sepanjang batas luar. Walau
infark tidak meningkat, pada lingkaran luar mungkin dapat terlihat peningkatan karena
terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat disalah artikan sebagai
laserasi tanpa cairan perilien.
6. Keganasan
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien adalah
limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit metastatik pada lien
tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker payudara, paru, ginjal, dan ovarium merupakan
kanker primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada CT scan, dan
dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan intraparenkim. Penyakit metastatik
dapat berhubungan dengan asites yang menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa
pada organ lain dan limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.
7. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus. Tumor ini dapat
terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat menimbulkan gambaran hematom
dan darah yang tidak menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan. Lesi jinak
dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika dekat perifer.
Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas dan bentuk hemangioma
dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju atau phlebolits jarang terjadi,
tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis lien difus adalah keadaan dimana lien
membesar dan digantikan hampir seluruhnya oleh hemangioma. Gambarannya terlihat seperti
trauma saat pertama terlihat.
9. Sarkoidosis
Sakoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana granuloma muncul di
jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik. Lien terlibat dalam 24-59% dari pasien
dengan sarkoid, tapi biasanya asimptomatik. Dapat juga menunjukkan gejala abdominal.
Kasus berat dapat menuju kepada hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa etiologi yang
jelas. Pada kebanyakan kasus, lien terkena secara difus, dan gambarannya dapat menyerupai
limfoma. Splenomegali tampak pada sekitar sepertiga kasus dan sering dihubungkan dengan
limfadenopati. Nodul hipodens yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15% pasien.
10. Amiloidosis
Lien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi penumpukan amiloid,
protein kompleks yang terbentuk terutama dari rantai polipeptida, yang terjadi di berbagai
jaringan dan organ. Amiloidosis dapat terjadi secara primer ataupun sekunder, berhubungan
dengan inflamasi kronik (terutama arthritis reumatoid), dan terjadi berhubungan dengan
myeloma multiple. Lien terkena dalam berbagai bentuk amiloidosis dan muncul secara difus
dan homogen pada kebanyakan pasien. Ini dapat terlihat pada CT scan dengan kontras, tapi
abnormalitas focal yang dapat menyerupai laserasi juga dapat terjadi. Ruptur lien spontan,
yang diyakini sebagai akibat kelemahan kapsul akibat penumpukan amiloid, telah dilaporkan.
Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat dapat membantu dalam membedakan amiloid
dengan trauma.
11. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama menginfeksi pasien
dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah menunjukkan spesies Bartonella yang dapat
menyebabkan penyakit catscratch. Dua proses primer dari infeksi Bartonella, yang
melibatkan hati dan lien disebut bacillary peliosis hepatis. Secara patologis, basili ini
menyebabkan dilatasi kapiler, yang menyebabkan sejumlah kavitas berdinding tipis yang
berisi darah pada hati dan lien. CT scan abdomen menunjukkan adanya lesi multiple pada
hati dan lien dengan liendenopati dan kemunkinan asites. Lesi dapat bergabung membentuk
lesi multilokus atau berseptum. Ruptur lien spontan telah dilaporkan pada pasien dengan
bacillary peliosis hepatis.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi, splenektomi sedapat
mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan permanen terhadap
infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana
dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi pada
trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis
telah dijelaskan menggunakan berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang
perbedaan antara embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif,
dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini menghambat aliran pada pembuluh
yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan
splenektomi.
SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan
teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini
terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit
kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
SPLENEKTOMI
A. Splenektomi
Splenektomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, yang mana organ ini
merupakan bagian dari system getah bening. Splenektomi biasanya dilakukan pada trauma limpa,
penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkin`s disease dan non-hodkin`s limfoma, limfositis
kronik, dan CML), hemolitik jaundice, idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista
dan splenomegali. Indikasi lainnya dilakukan splenektomi ialah pada keadaan luka yang tidak
disengaja pada operasi gaster atau vagotomy dimana melibatkan flexura splenika di usus.
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar. Selain itu,
splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi lien sering tidak
mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan
a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi satu
segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih
vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling
tinggi.
Splenektomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien yang luas, avulsi
lien, kerusakan pembuluh darah hilum, kegagalan splenorapi dan splenoktomi parsial.
Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan, meskipun ada kemungkinan terjadinya
Opsi. Insiden untuk terjadi opsi lebih berarti bila dibandingkan dengan bahaya maut karena
perdarahan yang hebat. Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total
untuk mengurangi opsi dikemudian hari ada pendapat-pendapat yang menganjurkan:
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien dipertahankan, maka
dikerjakan slpenektomi partial dianggap lebih menguntungkan daripada splenektomi total.
Cara : eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian
yang tidak cedera masih vital.
Splenorrhapi
Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital, mengikat pembuluh darah
yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terluka. Luka dijahit dengan jahitan berat asam
poliglikolat atau polidioksanon atau chromic catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan simple jahitan
matras atau jahitan figure of eight. Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat
ditambahkan dengan pembungkusan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
Elektif :
- Kelainan hematologis
- Bagian dari bedah radikal dari abdomen atas
- Kista/tumor limpa
- Penentuan stadium limfoma (jarang dikerjakan)
Darurat:
- Trauma
Cedera trauma pada limpa ini tidak lagi indikasi langsung atau wajib untuk operasi
atau splenectomy, baik pada dewasa atau anak. CT scan atau USG dapat mendiagnosa
cedera lien pada pasien dengan trauma tumpul pada perut atau dada bagian bawah.
Indikasi untuk dapat dilakukannya operasi pada orang dewasa meliputi akumulasi
signifikan perdarahan intraperitoneal (lebih dari 1.000 ml), persyaratan untuk lebih
dari 2 unit transfusi darah, semakin menurun hemoglobin konsentrasi atau
ketidakstabilan hemodinamik.
Pendekatan terhadap limpa yang ruptur berbeda dari suatu splenektomi elektif. Pasien
yang mengalami trauma limpa harus ditangani pertama kali dengan protokol ATLS
(advanced trauma life support) dengan kontrol jalan napas,pernapasan dan sirkulasi. Bilas
peritoneum atau pemeriksaan radiologis harus digunakan untuk menilai cedera abdomen
sebelum operasi.
C. Komplikasi splenektomi
1. Koplikasi pulmonal hampir terjadi pada 10% pasien setelah dilakukan open splenektomi,
termasuk didalamnya atelektasis, pneumonia dan efusi pleura.
2. Abses subprenika terjadi pada 2-3% pasien setelah dilakukan open splenektomi. Tetapi
ini sangat jarang terjadi pada laparoskopi splenektomi (0,7%). Terapi biasanya dengan
memasang drain di bawak kulit dan pemkaian antibiotic intravena.
3. Akibat luka seperti hematoma, seroma dan infeksi pada luka yang sering terjadi setelah
dilakukan open splenektomi adanya gangguan darah pada 4-5% pasien. Komplikasi
akibat luka pada laparoskpoi splenektomi biasanya lebih sedikit (1,5% pasien).
4. Komplikasi tromsbositosis dan dan trombotik. Dapat terjadi setelah dilakukan laparoskopt
splenektomi.
5. Ileus dapat terjadi setelah dilakukan open splenektomi, juga pada berbagai jenis operas
intra-abdominal lainnya.
6. infeksi pasca splenektomi (Overwhelming Post Splenektomy Infection) adalah
komplikasi yang lambat terjadi pada pasien splenektomi dan bisa terjadi kapan saja
selama hidupnya.
7. Splenosis, terlihat adanya jaringan limpa dalam abdomen yang biasanya terjadi pada
setelah trauma limpa.
8. Pancreatitis dan atelectasis.
Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general practice.
Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012
SPLENOSIS
Splenosis adalah autotransplantasi jaringan lien setelah splenektomi traumatik atau
pembedahan. Splenosis biasanya terjadi setelah rupture akibat trauma dari lien dan didefinisikan
sebagai autotransplantasi jaringan lien terhadap ectopic sites (bukan tempatnya). Paling sering terjadi
sebagai nodul intraperitoneal yang ditemukan baik kebetulan atau setelah ada gejala komplikasi, dan
mungkin akan menjadi jelas beberapa tahun setelah trauma. Splenosis kebanyakan tanpa gejala yang
menyebabkan dilakukannya investigasi yang tidak perlu dalam rangka untuk membedakannya dari
lesi jinak atau ganas lainnya. Ketika terdapat pada beberapa tempat (dengan beberapa manifestasi)
yang terlibat, keadaannya menjadi lebih kompleks.
Splenosis terdapat pada satu hingga dua pertiga pasien yang menjalani splenektomi karena
trauma. Implantasi dari serpihan (bagian) lien paling sering terjadi pada permukaan usus halus dan
usus besar, omentum yang lebih besar, peritoneum parietalis, mesenterium, dibawah permukaan
diafragma, dan lebih jarang dalam kasus-kasus trauma berat, terjadi pada intrahepatik atau bahkan
intrathoracic. Meskipun splenosis jarang dapat menimbulkan gejala sebagai nyeri perut atau nyeri
testis yang samar-samar, obstruksi usus karena adanya perlengketan, perdarahan saluran cerna dan
pecah spontan, biasanya hal tersebut merupakan ditemukan secara tidak sengaja selama operasi, baik
dengan laparoskopi ataupun pencitraan. Jika kita telah mempertimbangkan splenosis, tanda-tanda
dari sisa jaringan limpa sebagai tidak adanya Howell-Jolly bodies, siderocytes, Heinz bodies dan sel
darah merah pada hapusan darah perifer dapat membantu. Kesimpulannya, semua pasien dengan
riwayat operasi atau trauma limpa harus dipertimbangkan hipotesis splenosis dalam diagnosis
diferensial dari massa yang baru ditemukan.
Gambar 24. Gambar intraoperatif menampakkan massa kebiruan-merah besar dan implan kecil
dengan melibatkan beberapa permukaan peritoneum pelvis menunjukkan jaringan limpa ektopik.
Sumber : Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis to be
Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November - December, 2006. Diakses
dari http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada tanggal 04-11-2012
Splenosis adalah kondisi jinak yang umumnya terjadi setelah limpa pecah melalui trauma
atau operasi. Splenosis biasanya ditemukan kebetulan dan biasanya tidak mempunyai gejala dan
tidak ada terapi yang diindikasikan. Namun, secara radiografi splenosis dapat menyerupai keganasan,
dan kebanyakan pasien harus menjalani berbagai macam pemeriksaan untuk menentukan diagnosis
penyakit yang dimilikinya. Metode diagnostik pilihan adalah skintigrafi nuklear, khususnya, panas-
yang memindai sel darah merah rusak. Splenosis biasanya terjadi dalam rongga perut dan panggul,
tetapi beberapa pasien telah dilaporkan dengan lesi splenosis pada intrathoracic, subkutan,
intrahepatik dan intrakranial.
Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan / atau meningitis, biasanya
fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun, baik itu bakteri, virus,
jamur, atau protozoa, namun organisme yang berkapsul sering berhubungan dengan sepsis pada
pasien dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae
sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat diatasi dengan adanya atau bahkan dengan
sejumlah kecil jenis-antibodi spesifik. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang
baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit
pneumokokus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari populasi pada
umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme yang berkapsul seperti
Streptcoccus pneumoniae (50% -90%), Neisseria meningitides, Hemophilus influenzae, dan
Streptococcus pyogens (25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan tanpa hambatan.
Sumber : Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general
practice. Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012
Jockovich melaporkan tidak ada pasien yang mengalami OPSI jika divaksinasi sebelum
splenektomi, namun OPSI berkembang pada 10,4% dari pasien yang tidak menerima vaksinasi.
Selain itu, OPSI berkembang pada 5% dari pasien yang diberi vaksinasi setelah splenektomi. Untuk
splenektomi elektif, vaksin harus diberikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
Akhirnya, pendidikan pasien merupakan strategi wajib untuk mencegah OPSI. Penelitian telah
menunjukkan bahwa dari 11% sampai 50% dari pasien yang telah menjalani pengangkaan lien tetap
tidak menyadari risiko mereka meningkat untuk terkena infeksi serius atau tindakan kesehatan yang
tepat yang harus dilakukan. Pasien harus memahami keparahan potensi OPSI dan kemungkinan
perkembangan penyakit yang cepat.
Tabel 5. Rekomendasi Vaksinasi Profilaksis OPSI
Dokter harus menginformasikan setiap profesional kesehatan baru, termasuk dokter gigi,
status asplenic. Secara khusus, adanya peningkatan Howell-Jolly tubuh pada apusan darah tepi harus
disorot pada laporan laboratorium untuk menginformasikan dokter bahwa pasien mungkin mengaami
hyposplenism, informasi ini dan maknanya pada gilirannya harus disampaikan kepada pasien. Selain
itu, saran bagi individu asplenic akan dikeluarkan dengan formulir
dari tanda medis, seperti kartu atau gelang, yang memiliki dua tujuan. Pertama, harus memberikan
sebuah pengingat konstan untuk individu dari kondisi mereka dan, kedua, pengetahuan tentang
negara mereka mungkin penting bagi petugas medis jika terjadi keadaan darurat.
2.9. Prognosis
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien penyembuhan
90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka kematian yang
berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan biasanya akibat trauma pada
organ lain dan kehilangan darah yang banyak.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. M N
Umur : 69 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Kompleks Kuma, Kabupaten Sarmi
Tanggal MRS : 10 Maret 2019
No. R.M : 15 96 86
3.2 Anamnesa
a. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan nyeri perut
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan puskesmas Sarmi, pasien datang diantar keluarga dengan keluhan nyeri
perut sejak ± 1 hari yang lalu, nyeri dirasakan menjalar ke bahu kiri diketahui bahwa kemarin pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar jam 04. 00 WIT. Pasien merupakan korban tabrakan oleh sepeda
motor, saat pasien hendak mengendarai sepeda motor pasien ditabrak oleh seseorang dari arah belakang
yang menyebabkan pasien terjatuh dan mengalami benturan pada area sekitar perut. Saat terjadi
kecelakaan pasien sempat pingsan, dan segera dibawa ke puskesmas Sarmi, ketika sampai di Puskesma
Sarmi pasien kembali sadar dan mengeluhkan nyeri perut.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit paru (-), alergi (-), penyakit jantung (-), penyakit lambung (-), kecacingan (-), diabetes
mellitus (-), hipertensi (-), asma (-), malaria berat (+), kejang (-)
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang sama didalam keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat hipertensi, asma, alergi
dan diabetes melitus juga disangkal oleh pasien.
c. Hematologi
Penatalaksanaan dan follow up
Waktu 11 Maret 2019 (09.00 WIT)
follow up
S Nyeri perut, mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK (-)
O KU : tampak sakit sedang ; Kes : Compos mentis
TTV : TD: 70/50 mmHg ; HR: 83x/m ; RR:22x/m ; SB: 37,0°C ; SpO2 : 93 %
Status generalis
Kepala :Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
:Hidung : Epistaksis(-), deviasi septum (-)
:Mulut : Kering (-), sianosis (-), oral kandidiasis (-)
:Telinga : Sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pelebaran v. Jugularis (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : pulmo : :I : dinding dada simetris, ikut gerak nafas, jejas (-)
: :P : vokal fremitus (+) dextra=sinistra
: :P : sonor
: :A : suara nafas vesikuler (+/+), whezeeng (-/-), ronkhi (-/-)
PEMBAHASAN
Pada kasus diatas adalah kecelakaan lalu lintas akibat ketidak hati-hatian pengendara sepeda
motor di jalan raya yang dapat meyebabkan kerugian (cedera) pada orang lain dan korban atau
pasien ditemukan jejas yang terjadi akibat benturan pada perut (trauma abdomen). Pada pasien
ditemukan tanda-tanda bahwa telah terjadi perdarahan intraabdomen akibat ruptur organ solid
terutama lien yaitu: 1) akral dingin; 2) cappilary refill time> 2 detik; 3) nyeri seluruh perut baik
dengan palpasi ataupun tidak; 4) nyeri yang menjalar dari perut ke bahu kiri (Kehr’s sign); 5)
Hemoglobin dibawah normal; 6) Leukosit diatas norma;
Cappilary refill time yang memanjang menunjukkan bahwa pasien kehilangan darah yang
cukup banyak sehingga waktu pengisian pembuluh darah kapiler di perifer menjadi lambat. Dalam
kondisi kekurangan darah maka suplai darah akan dialirkan ke organ-organ penting seperti jantung,
paru, otak, dan ginjal. Hal ini menyebabkan blood flow ke organ di perifer menjadi sangat berkurang
sehingga bisa kita lihat adanya anemis dan capillary refill time yang memanjang. Nyeri seluruh perut
baik dengan palpasi ataupun tidak, hal ini disebabkan adanya akumulasi darah di intrabdomen yang
menimbulkan iritasi, pada peritoneum (pembungkus abdomen). Hal ini berakibat timbulnya nyeri
pada setiap pergerakan dinding abdomen dan dikenal dengan istilah peritonismus. Kehr’s sign adalah
tanda patognomonis untuk suatu ruptur lien dimana darah akan mengiritasi diafragma kiri sehingga
terjadi nyeri di bahu kiri akibat dermatome saraf di sekitar diafragma adalah sama dengan daerah di
bahu kiri. Hemoglobin yang rendah berhubungan dengan adanya blood lost yang meningkat pada
ruptur lien, sedangkan leukosit yang tinggi menandakan adanya proses inflamasi akibat rupture lien
sehingga tubuh mengeluarkan sel-sel radang akut (sel PMN) untuk counter attack terhadap inflamasi
yang telah terjadi.
Pemeriksaan USGFAST telah diterima secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma
abdomen. Alatnya yang portabel sehingga dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa
menunda tindakan resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang noninvasif, dan dapat dilakukan berulang
kali menyebabkan FAST merupakan studi diagnostic yang ideal. Namun tetap didapatkan beberapa
kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal
untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang positif. Adanya koleksi cairan di ke-3 area terendah di
abdomen menunjukkan bahwa ada perdarahan akut yang cukup banyak. Resusitasi dan stabilisasi
yang cepat dan tepat menjadi faktor penentu kedua dalam penyelamatan nyawa pasien. Resusitasi
dengan cairan RL (ringer lactate) bertahap sampai 2000cc dan penilaian respon pasca resusitasi
masih menjadi standar ATLS (advanced trauma life support).
Pada pasien diatas dikatakan tidak berespon (no respons) terhadap resusitasi cairan karena
tensi tidak naik seiring dengan cairan RL yang dimasukkan. Hal ini menunjukkan bahwa perdarahan
(blood lost) sangat hebat sehingga cairan yang masuk tidak dapat mengimbangi jumlah darah yang
hilang secara akut. Bila kondisi demikian terjadi maka pilihan akhir adalah surgical resuscitation
yaitu dilakukan pembedahan guna menghentikan sumber perdarahan secara langsung. Splenectomy
total dapat dilakukan pada pasien diatas karena ruptur lien yang hebat dan sehingga ahli bedah
kesulitan dalam melakukan repair dengan splenorraphy. Keputusan pengangkatan total lien ini juga
mempertimbangkan bahwa perdarahan masih terus berlangsung dari parenkim lien yang robek dan
hal ini sangat berbahaya apabila dibiarkan terlalu lama akibat ahli bedah berusaha menjahit ruptur
lien yang luas dan tidak beraturan. Kehilangan darah yang semakin banyak akan menyebabkan
pasien jatuh dalam keadaan hipotermia dan DIC (disseminated intravascular coagulation) yang
mengancam nyawa dan bisa berakibat death on table (meninggal di atas meja operasi). Memang
pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang signifikan, karena
lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI)
adalah infeksi berat pasca pengangkatan lien yang merupakan suatu proses fulminant serius yang
membawa tingkat kematian yang tinggi. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen yang
baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak secara cepat. Oleh karena itu,risiko
penyakit Pneumoccocus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari populasi
pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme yang berkapsul seperti
Streptcoccuspneumoniae (50% -90%), Neisseriameningitides, Hemophilusinfluenzae, dan
Streptococcuspyogens(25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihantanpa hambatan.
Namun risiko tersebut bisa diatasi dengan beberapa cara yaitu:
1) melakukan implantasi lien yang masih sehat dengan cara memotong kecil-kecil parenkim lien dan
menjahitkan pada omentum (penggantung usus);
2) memberikan vaksin pneumovax 23/pneuimune 23 untuk mencegah
infeksi Pneumococcus dan Hemophilusinfluenzae;
3) pemberian antibiotika broad spectrum pasca operasi sampai leukosit normal kembali;
4) pemberian antibiotika (penicilline, erythomycin, trimethroprimsulfomethoxazole)
setiap bulan dianjurkan, terutama bila ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C;
5) Setiap penderita post splenektomi dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter
setiap kali menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika dan
dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis
yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Syamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 608-612.
2. Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine, Department of
Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview pada
tanggal 04-11-2012.
3. Brunicardy, Charles, et all. Schwartz’s Principles of Surgery. The Mc Graw-Hill Companies.
2005.
4. Lisle, David. Imaging for Student, second edition. Arnold, New York. 2001.
5. Beers, Mark Porter, Robert Jones, Thomas. The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy (18th ed.). New Jersey: Merck Research Laboratories. 2006.
Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Blunt_splenic_trauma pada tanggal 04-11-2012
6. Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007. Abdominal Trauma – Role of CT. Department of Radiology
of the Brigham and Women's Hospital, Boston and the Rijnland Hospital in Leiderdorp, the Netherlands. 2007.
Diakses dari http://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073 pada tanggal 04-11-2012
7. Hassan, R., et. Al., Computed Tomography of Blunt Spleen Injury: A Pictorial Review,
Malaysian J Med Sci. Jan-Mar 2011; 18(1): 60-67, diakses dari www.mjms.usm.my pada
tanggal 04-11-2012.
8. Samudra, L. Ruptur Lien. 2009. Diakses dari
http://banyakbaca.wordpress.com/2009/11/24/ruptur-lien-2009/ pada tanggal 20-06-2011.
9. Javadrashid, R., Paak, N., Salehi, A., 2010. Combined Subcutaneous, Intrathoracic and
Abdominal Splenosis. Archives of Iranian Medicine, Volume 13, Number 4, November 2012.
10. Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis to be
Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November - December, 2006.
Diakses dari http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada tanggal 04-11-2012
11. Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Overwhelming postsplenectomy infection syndrome in
adults – A clinically preventable disease., World Journal of Gastroenterology, 14; 14(2):
176-179, Diakses dari www.wjgnet.com pada tanggal 04-11-2012
12. Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general practice.
Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 04-11-2012
13. CDC. 2006. Post-Splenectomy Vaccine Prophylaxis. Diakses dari :
http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/splenectomy_vaccines.pdf pada tanggal 04-11-
2012
14. Debas, Haile T. MD. Gastrointestinal Surgery : Pathophysiology and Management. Springer
Verlag New York. 2003.
15. Way, Lawrence . W. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 11th Edition. McGraww Hill
and Lange. 2003
16. Morris, Peter J. Oxford Tetbook of Surgery 2nd Edition. Oxford Press. 2000
17. Davidson RN, Wall RA. Prevention and management of infections in patients without a
spleen. Clin Microbial Infect 2001; 7:657-60.