“SINDROMA NEFROTIK”
FARMAKOLOGI GIZI
Dosen Pengajar :
Riskha Aulia, S.Farm., M.Farm.Klin., Apt
Disusun Oleh:
1. Fadhila Nur Ramadhanty (201601008)
2. Mamluatur Rohmah Agustina (201601011)
3. Norma Vebrian Safitri (201601014)
Permiabilitas
Glomerulus ↑
Proteinuria masif
Hipoproteinemia
Hipovolemia
Hipoalbumin
Sintesa protein
hepar ↑
Aliran darah Sekresi Tekanan Onkotik
ke ginjal ↓ ADH ↑ Plasma ↓
Hiperlipidemia
reabsorbsi air Volume Plasma ↑
dan natrium
Retensi natrium
renal ↑
Edema
b. Efek Samping
1) Diuretik Osmotik
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010).:
a) Ekspansi cairan ekstrasel
b) Dehidrasi, hiperkalemia, dan hipernatremia
c) Sakit kepala, mual, dan muntah
d) Edema paru (pada pasien gagal jantung dan kongesti
paru)
2) Diuretika Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit di
dalam tubuli ginjal
a) Diuretik Kuat atau Diuretik Loop (Inhibitor symport
Na+-K+-2Cl-)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Alkalosis metabolik hipokalemik
- Ototoksisitas
- Hiperurisemia
- Hipomagnesemia
- Reaksi alergik dan reaksi lainnya
b) Benzotiadiazida atau Tiazid
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Alkalosis metabolik hipokalemia dan
hiperurisemia
- Gangguan toleransi karbohidrat
- Hiperlipidemia
- Hiponatremia
- Reaksi alergi
- Rasa lemah, letih, paresthesia, dan impotensi
- Hipertensi
c) Diuretik Hemat Kalium (Antagonis Aldosteron)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010) :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik hiperkloremia
- Ginekomastia
- Gagal ginjal akut
- Batu ginjal
d) Penghambat Carbonic anhidrase (Inhibitor Karbonik
Anhidrase)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Asidosis metabolik hiperkloremik
- Batu ginjal
- Pembuangan kalium ginjal
- Rasa mengantuk, paresthesia, toksisitas sistem saraf,
dan reaksi hipersensitivitas
- Depresi sum-sum tulang
- Toksisitas pada kulit
c. Interaksi dengan Makanan
Beberapa obat jenis diuretik dapat menyebabkan hilangnya
mineral potassium, kalsium, magnesium didalam tubuh. Saat
mengkonsusmi obat jenis diuretik makanan yang mengandung
potassium perlu dihindari, seperti pisang, sayur, jeruk dan yang
lainnya (FDA).
3. Antibiotik
Terapi antibiotik digunakan jika pasien pasien sindroma nefrotik
mengalami infeksi. Infeksi ini harus diobati dengan adekuat untuk
mengurangi morbiditas penyakit. Jenis antibiotik yang banyak dipakai yaitu
dari golongan penisilin dan sefalosporin ( Hay William, 2003).
a. Mekanisme Antibiotik
Profil farmakokinetik antibiotik dinyatakan dalam konsentrasi di
serum dan jaringan terhadap waktu dan mencerminkan proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Karakteristik
penting farmakokinetik meliputi peak & trough konsentrasi di
serum, waktu paruh (T1/2), bersihan (clearance) dan volume
distribusi. Data farmakokinetik berguna untuk memperkirakan
dosis antibiotik yang tepat, frekuensi pemberian dan mengatur
dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi (Cunha, 2002;
Archer, 2005).
Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya
bioavailability obat setelah pemberian secara oral atau suntikan.
Bioavailability diartikan sebagai besarnya persentase dosis obat
yang mencapai sirkulasi sistemik dari tempat masuknya. Obat
harus melewati beberapa membran untuk mencapai tempat
kerjanya. Membran-membran yang spesifik tersebut tergantung
pada tempat kerja dan route of administration. Absorpsi obat
melewati membran dipengaruhi oleh ukuran molekul, kelarutan
dalam lemak, derajat ionisasi dan pH. Sebagian besar obat larut
dalam air dan juga lemak. Dikatakan bahwa semakin tinggi ratio
kelarutan dalam lemak dibanding air semakin cepatlah absorpsi
pasif obat tersebut. Kelarutan obat dalam lemak disebut
lipophilicity sedangkan kelarutan dalam air disebut
hydrophilicity. Di dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang
disebut interchangeable forms yaitu larut-air (bentuk ion) dan
larut-lemak (nonion). Semakin lipophilic suatu obat, semakin
mudah menembus membran. Sedangkan yang hydrophilic akan
cenderung berada dalam darah. Ketika dilarutkan, sebagian
molekul obat akan terionisasi yang persentasenya ditentukan oleh
keasaman obat dan keasaman pelarutnya serta pKa yaitu pH saat
50% molekul obat terionisasi. Persentase molekul nonionized
menentukan jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga
menentukan rate of absorption (Chambers, 1996; Cunha, 2002).
Sebagian besar infeksi terjadi di ekstravaskular dan
antibiotik harus mampu mencapai tempat tersebut. Jika infeksi
terletak di lokasi yang terlindung dimana penetrasi obat menjadi
rendah seperti cairan serebrospinal, mata, prostat, vegetasi
jantung yang terinfeksi dibutuhkan dosis antibiotik yang tinggi
dan jangka waktu lebih lama untuk terapi. Sebagian besar bakteri
penyebab infeksi pada manusia berada ekstraselular. Pathogen
intraselular seperti Legionella, Chlamydia, Brucella, Salmonella
dan Mycobacteria mampu bertahan dan menimbulkan
kekambuhan jika diobati dengan antibiotik yang tidak bisa masuk
sel. Pada umumnya, antibiotik β-laktam, vankomisin dan
aminoglikosida penetrasinya ke sel rendah sedangkan makrolid,
tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, co-trimoksazol dan
quinolon penetrasinya ke sel baik (Archer, 2005).
Sebagian besar antibiotik dalam tubuh akan mencapai
keseimbangan di jaringan dan plasma. Penelitian menunjukkan
bahwa proses distribusi antibiotik ditandai adanya variabilitas
antar individu dan antar jaringan. Kadar obat di tempat infeksi
berbeda dengan kadar di plasma. Kadar dibawah MIC dapat
memicu terjadinya resistensi. Hal ini perlu diperhatikan jika
terdapat ketidaksesuaian antara respons klinis dan hasil tes
kepekaan. Hambatan penetrasi jaringan oleh antibiotik paling
baik ditunjukkan pada infeksi sistem saraf pusat (SSP).
Mekanisme barrier di SSP dan organ lain merupakan pompa
transport aktif sehingga obat dapat masuk ke tempat infeksi.
Dalam keadaan keseimbanganpun, konsentrasi antibiotik di
tempat infeksi lebih rendah daripada di plasma. Mekanisme ini
sudah terbukti secara in vitro dan in vivo (Muller, 2004).
Antibiotik mengalami eliminasi di hati, ginjal atau
keduanya baik dalam bentuk yang tidak berubah atau
metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya terutama di
ginjal, bersihan suatu obat berkorelasi linear dengan creatinine
clearance. Sedangkan antibiotik yang eliminasinya terutama di
hati tidak ada petanda yang bisa dipakai untuk mengatur dosis
pada pasien dengan penyakit hati (Archer, 2005). Pada pasien
dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan pengaturan dosis.
Penggunaan antibiotik aminoglikosida, vankomisin atau
flusitosin harus lebih hati-hati karena eliminasi obat tersebut di
ginjal dan toksisitasnya seiring dengan konsentrasinya di plasma
dan jaringan. Obat-obat yang metabolisme atau ekskresinya oleh
hepar (eritromisin, kloramfenikol, metronidazol, klindamisin)
dosisnya harus diturunkan pada pasien dengan kegagalan fungsi
hepar (Chambers, 1996).
Indikasi antibiotik yaitu apabila pasien mengalami infeksi.
Antibiotik dieksresi melalui ginjal dan sekitar 10% dari
ekskresinya oleh filtrasi glumerolus dan 90% oleh tubulus serta
stabil terhadap enzim beta laktamase. Karena eksresinya
melalui ginjal maka dalam pemberiannya perlu memodifikasi
dosisnya. Pemberiannya sesuai dosis untuk mengurangi efek
toksik ( Petri,2001).
b. Efek Samping
Efek samping dari pemberian antibiotik adalah :
- Reaksi alergi
- Reaksi idiosinkrasi
- Reaksi toksik
- Perbuahan biologik dan metaboliks
c. Interaksi dengan makanan
Dikonsusmsi 1 sebelum makan atau 2 jam sesudah makan serta
tidak boleh mengkonsumsi bersamaan dengan susu dan produk
olahannya ( keju, yogurt) serta minuman yang kaya kalsium (FDA).
DAFTAR PUSTAKA
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, 2005,Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basic of Therapeutics: Drugs Affecting Renal and
Cardiovascular Function, 11th Edition, McGraw-Hill, California, p. 735-
62.
Haycock. 2003. Clincical Paediatic Nefrology: 3 rd Edition, Oxford University
Press, New York
Katzung BG, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat-Obat Kardiovaskular-
Ginjal, Edisi 10, EGC, Jakarta, p. 240-58.
Perdede S.O, 2017, Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom nefrotik pada
Anak, Sari Pediatri, 19: 53-62
Petri W.A, 2001. Antimicrobial Agents In Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basic OF Therapics: 9 th Edition, Mc Graw- Hill Inc,
New York
Prodjosudjadi, W. 2006. Sindrom Nefrotik pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi 4. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI
Ranganathan S. 2016. Pathology of Podocytopathies Causing Nephrotic
Syndrome in Children. Front Pediatr [Internet]; 4(March): 32
Rang HP, Dale MM, R itter JM, Flower RJ, Henderson G, 2011, Rang and Dale’s
Pharmacology: DrugsAffecting Major Organ Systems, 7th Edition,
Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 353-56.
Samadi A, 2010, Steroid Induceed Cataract Dalam : Levin L, Albert D. Ocular
Disease: Mechanism and Management Chapter 33, Saunder Elseveier,
Jakarta