Anda di halaman 1dari 24

KELOMPOK 4

“SINDROMA NEFROTIK”
FARMAKOLOGI GIZI

Dosen Pengajar :
Riskha Aulia, S.Farm., M.Farm.Klin., Apt

Disusun Oleh:
1. Fadhila Nur Ramadhanty (201601008)
2. Mamluatur Rohmah Agustina (201601011)
3. Norma Vebrian Safitri (201601014)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DELIMA PERSADA


GRESIK
2019
A. Patofisiologi Sindroma Nefrotik
Glomerulus

Permiabilitas
Glomerulus ↑

Proteinuria masif

Hipoproteinemia
Hipovolemia
Hipoalbumin
Sintesa protein
hepar ↑
Aliran darah Sekresi Tekanan Onkotik
ke ginjal ↓ ADH ↑ Plasma ↓
Hiperlipidemia
reabsorbsi air Volume Plasma ↑

dan natrium
Retensi natrium
renal ↑

Edema

Patofisiologi SN (Sindroma Nefrotik)

Sindroma nefrotik disebabkan karena peningkatan permiabilitas glomerolus yang


menyebabkan proteinuria karena membran basal glomerolus mengalami
kebocoran sehingga protein dapat masuk melalui membran tersebut dan keluar
melalui urin dalam jumlah besar atau disebut proteinuria masif. Proteinuria masif
tersebut dapat menyebabkan hipoalbumin. Hipoalbumin dapat menyebabkan
penurunan tekanan onkotik. Untuk mempertahankan tekanan tersebut, maka hati
meningkatkan sintesis albumin akan tetapi peningkatan sekresi albumin tidak
dapat mengatasi hipoalbumin. Pada status nefrotik, hampir semua kadar lemak
(kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat sehingga terjadi
hiperlipidemia. Selain terjadi penurunan tekanan onkotik, hipoalbumin juga
menyebabkan pergesernya cairan plasma sehingga terjadi hipovolemia dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan natrium untuk
memperbaiki volume intravaskuler. Penurunan tekanan intravaskuler dapat
menurunkan tekanan perfusi ginjal yang dapat mengaktikan sistem renin-
agiotensis-aldosteron merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal sehingga
terjadi edema (Prodjosudjadi, 2006).

B. Faktor Resiko Sindroma Nefrotik


Ada 2 penyebab terjadinya sindroma nefrotik yaitu Glomerulonefritis
primer dan Glomerulonefritis sekunder yang menyebabkan adanya gangguan pada
glomerulus seperti terjadinya inflamasi, sehingga glomerulus tidak dapat
melakukan fungsinya. Glomerulonefritis primer disebabkan karena :
1. GN lesi minimal (GNLM)
Terjadi proses penyatuan kaki podosit yang terus berlanjut dan
berkembang dan kejadian tersebut dapat menentukan derajat
proteinuria.
2. Glomerulosklerosis fokal
Penyebab tersebut berhubungan dengan terjadinya kerusakan pada
bagian intersisial dan tubular di daerah corticomedulary junction.
3. GN membranosa
4. Dan GN membranoproliferatif
Beberapa pasien SNRS menunjukkan peningkatan matriks mesangial
karena hiperselularitas, akan tetapi dinding kapiler masih normal dan
pada mikroskop elektron memperlihatkan penyatuan kaki podosit
seperti pada lesi minimal. Adanya hiperselularitas mesangial
menunjukkan prognosis buruk ke arah gagal ginjal.
Faktor resiko tersebut merupakan pola morfologi pada pemeriksaan
histopologis ginjal pada penderita SNRS (Sindrom Nefrotik Resisten Steroid)
yang terjadi pada anak-anak. Anak-anak yang menderita SNRS dalam jangka
panjang akan mengalami gangguan fungsi ginjal sampai gagal ginjal terminal.
Pada Glomerulonefritis sekunder, ini terjadi diakibatkan karena penyakit
tertentu, seperti infeksi (mislnya pasca infeksi streptokokus atau infesi hepatitis
B), keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat (misalnya obat anti
inflamasi non-steroid atau preparat emas organik) atau toksin dan akibat penyakit
sistemik (misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes melitus
(Prodjosudjadi, 2006).

C. Farmakologi Obat Sindroma Nefrotik


Penatalaksaan sindroma nefrotik yaitu dengan memberikan obat
kortikosteroid dan imunosupresif yang langsung berhubungan dengan asal lesi,
makanan tinggi protein dan garam yang dibatasi, diuretik, beberapa infus IV
albumin, dan membatasi aktivitas selama fase akut (Price SA dan Wilson LM,
2002). Selain itu pada pasien SN juga harus dijauhkan dari sumber-sumber infeksi
karena terkadang pasien SN sekunder disebabkan terinfeksi virus hepatitis B
(Prodjosudjadi,2006).
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah salah satu dari steroid karbon -21 yang
dikelaurkan oleh kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon ACTH
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis atau angiotensin II. Kortikosteroid
dibagi menjadi menurut aktivitas biologisnya menjadi dua yaitu
glokokortiroid yang terutama mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein serta mineralkorkotiroid.
a. Mekanisme kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mempengaruhi metabolisme selulear
dengan mengubah aktivitas enzim-enzim sehingga dapat
menyebabkan gangguan terhadap penyediaan kebutuhan energi seperti
sintesis protein, transport ion, dan mekanisme perubahan oleh
antioksidan sedangkan bentuk fosfat kompleks lainnya seperti glukosa
meningkat (Samadi, 2010). Kortikosteroid dapat menyebabkan
kegagalan osmotik akibat adanya celah vakuol dan pembengkakan sel.
Indikasi klinis penggunaan Kortikosteroid antara lain, yaitu (Haycock,
2003) :
1) Mengurangi respons peradangan
2) Menekan imunitas
Dosis yang diberikan yaitu sesuai dengan tujuan terapi, apabila
hanay untuk mengurangi rasa sakit maka diberikan dosis kecil dan
untuk jangka pangjang diberikan dosis sekecil mungkin yang sudah
memberikan efek yang diinginkan.
b. Efek Samping
Efek samping dari pemberian glukokortikoid yaitu:
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: edema,
hipokalemia, alkalosis, hipertensi, dan hiperglikemia
b. Dapat mengaktifasi infeksi laten
c. Dapat terjadi ulkus pepticum
d. Terjadinya myopati yaitu kelemahan otot pada bagian
proksimal tangan dan kaki
e. Perubahan tingkah laku. Gejala yang timbul biasanya:
nerveous, insomnia, euphoria, psychosis
f. Terjadinya katarak dan glaukoma pada mata
g. Osteoporosis
c. Interaksi dengan Makanan
Kortikosteroid dapat dikonsumsi dengan makanan atau susu
(FDA).
2. Diuretik
Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
urin. Istilah dieresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan
adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua
menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Jika
pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga peningkatan ekskresi garam-
garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika
dalam arti sempit) (ISTN,2014). Fungsi utama dari diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan oedem agar volume cairan ekstrasel normal dengan
menjaga keseimbangan cairan. Secara umum, diuretik dibagi menjadi dua
yaitu diuretik osmotik dan diuretik penghambat mekanisme transport
elektrolit didalam tubuh ginjal yaitu penghambat karbonik anhidrase,
benzotiadiazid, diuretik hemat kalium (Petri,2001).
a. Diuretik Osmotik
Diuretik osmotik adalah suatu zat yang tidak termasuk elektrolit
yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Adapun syarat untuk
menjadi zat diuretik osmotik yaitu difiltrasi secara bebas oleh
glumerolus, tidak atau hanya sedikit yang diabsorbsi oleh sel tubuh
ginjal,termasuk zat inert, dan resisten terhadap perubahan- perubahan
metabolik. Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea,
gliserin,isosorbid. Diuretik osmotik ini dapat meningkatkan tekanan
osmotik sehingga jumlah cairan dan elektrolit yang dikeluarkan
semakin besar (Petri,2001).
b. Diuretika Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit di
dalam tubuli ginjal
1) Diuretik Kuat atau Diuretik Loop (Inhibitor symport Na+-K+-
2Cl-)
Diuretik loop adalah diuretik terkuat karena
kemampuannya untuk mengekskresikan Na+ sebanyak 15-25%.
Diuretik ini secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl dengan
cara menghambat symport Na+-K+-2Cl- bagian membran
luminal pada ansa henle cabang asenden tebal. Karena efek
diuretiknya tidak dibatasi oleh asidosis, seperti pada kasus
inhibitor karbonik anhidrase, diuretik loop adalah salah satu
agen diuretik paling efektif yang tersedia (Katzung BG, 2010).
Khasiat diuretik loop dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1)
sekitar 25% beban Na+ yang difiltrasi secara normal direabsorpsi
oleh bagian ascenden tebal, dan (2) segmen-segmen nefron
sebelum bagian ascenden tebal tidak mempunyai kapasitas
reabsorpsi yang cukup untuk mendapatkan kembali
berlimpahnya senyawa yang keluar dari bagian naik yang tebal
(Hardman JG, 2005).Diuretik loop atau inhibitor symport Na+-
K+-2Cl- merupakan golongan obat yang memiliki struktur kimia
yang beragam. Furosemida, bumetanida, azosemida, piretanida,
dan tripamida termasuk dalam diuretik loop golongan
sulfonamida. Sedangkan asam etakrinat merupakan derivat dari
asam fenoksiasetat yang mengandung gugus keton dan metilen.
Diuretik merkurium organik juga dapat menghambat transport
garam pada ansa henle cabang asenden tebal. Akan tetapi,
karena toksisitas yang tinggi golongan ini sudah tidak digunakan
lagi (Katzung BG, 2010).
2) Benzotiadiazida atau Tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretik yang bekerja pada tubulus
kontortus distal (contohnya, bendroflumetiazid,
hidroklorotiazide) dan diuretik terkait (contohnya, klortaridon,
indapamid, dan metolazon). Golongan tiazid kurang poten
terhadap pengobatan pasien hipertensi jika dibandingkan dengan
golongan diuretik loop. Akan tetapi, golongan tiazid lebih
dipilih dalam penanganan kasus hipertensi biasa. Pada
penggunaan klinis, golongan tiazid juga dapat mengurangi
resiko stroke dan serangan jantung. Contoh, klortalidon
digunakan sebagai obat antihipertensi baru (ACE inhibitor dan
antagonis kalsium) (Rang HP, 2011).
Golongan diuretik tiazid memiliki gugus sulfonamida
yang tidak tersubstitusi. Prototipe dari tiazid adalah
hidroklorotiazid. Banyak senyawa ini merupakan analog 1,2,4-
benzotiadiazin-1,1-dioksida (Hardman JG, 2005).
3) Diuretik Hemat Kalium (Antagonis Aldosteron)
Diuretik ini mencegah sekresi kalium dengan melawan
efek aldosteron pada tubulus koligen renalis kortikal dan bagian
akhir distal. Mekanisme kerja dapat melalui inhibisi langsung
terhadap reseptor mineralokortikoid (contoh obat: spironolakton
dan eplerenon) atau inhibisi terhadap influks Na+ melalui kanal
ion di lumen membran (contoh obat: amilorid dan triamteren).
Spironolakton dan eplerenon memiliki kemampuan diuretik
terbatas jika digunakan secara tunggal. Hal ini dikarenakan
dibagian distal tempat mereka bekerja hanya bisa mereabsorpsi
filtrat Na+ sebanyak 2%. Walaupun begitu keduanya memiliki
efek antihipertensi dan dapat memperpanjang hidup beberapa
pasien dengan gagal jantung. Jika dikombinasikan dengan
diuretik loop atau tiazid, akan menimbulkan efek pencegahan
terhadap hipokalemia (Katzung BG, 2010).
Mineralokortikoid menyebabkan retensi garam dan air
serta meningkatkan ekskresi dari K+ dan H+ dengan cara
berikatan dengan reseptor mineralokortikoid tertentu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa spirolakton dapat memblok efek
dari mineralokortikoid sehingga dibuatlah antagonis reseptor
mineralokortikoid yaitu, spironolakton (suatu 17-spirolakton)
(Hardman JG, 2005).
4) Penghambat Carbonic anhidrase (Inhibitor Karbonik
Anhidrase)
Asetazolamid merupakan prototipe golongan senyawa
diuretik yang kegunaannya terbatas tetapi berperan penting
dalam perkembangan konsep dasar fisiologis dan farmakologi
ginjal (Hardman JG, 2005).
Awalnya sulfonamid diperkenalkan sebagai suatu senyawa
kemoterapeutik dengan efek samping metabolik asidosis.
Penemuan ini menyebabkan dilakukan penelitian in vitro dan in
vivo yang menyatakan bahwa sulfonamid adalah suatu inhibitor
karbonik anhidrase. Motif umum molekul inhibitor karbonik
anhidrase yang tersedia saat ini adalah terdapat gugus
sulfonamid yang tidak tersubstitusi (Hardman JG, 2005).
a. Mekanisme Diuretik
1) Diuretik Osmotik
Diuretik osmotik sulit diabsorpsi. Sehingga obat ini harus
diberikan secara parenteral. Jika diberikan peroral, manitol
menyebabkan diare osmotik. Manitol tidak dimetabolisme dan
diekskresi melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30-60 menit,
tanpa adanya reabsorpsi ataupun sekresi tubular yang berarti
(Katzung BG, 2010).
Indikasi klinis dan Dosis Pemberian
Indikasi diuretik osmotik antara lain, yaitu (Katzung BG,
2010):
- Meningkatkan volume urin
- Penurunan tekanan intrakranial
Dosis yang diberikan untuk tujuan meningkatkan volume
urin awalnya 12.5 g secara intra vena (dosis uji) sebelum
memulai infus kontinu. Manitol tidak boleh dilanjutkan kecuali
terdapat peningkatan laju aliran urinlebih dari 50 ml/jam dalam
waktu 3 jam setelah pemberian dosis uji. Manitol dengan dosis
12.5-25 g dapat diulang pemberiannya tiap 1-2 jam untuk
mempertahankan laju aliran urin agar berada diatas 100 ml/jam.
Penggunaan jangka panjang tidak dianjurkan. Untuk fungsi
penurunan tekanan intrakranial dan intraokular dapat diberikan
manitol secara intravena dengan dosis 1-2 g/kg. monitoring
tekanan intrakranial, karena tekanan intrakranial harus turun
dalam waktu 60-90 menit (Katzung BG, 2010).
2) Diuretika Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit di
dalam tubuli ginjal
a) Diuretik Kuat atau Diuretik Loop (Inhibitor symport
Na+-K+-2Cl-)
Diuretik loop cepat diabsorpsi dan dieliminasi
oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi
tubulus. Torsemid oral diabsorpsi dalam waktu 1
jam dan jika diberikan intravena absorpsinya hampir
sempurna. Durasi efek torsemid sekitar 4-6 jam.
Sedangkan furosemid memerlukan waktu yang lebih
panjang untuk diabsorpsi yaitu 2-3 jam, dan dengan
durasi efek yang lebih pendek yaitu 2-3 jam. Waktu
paruh keduanya bergantung pada fungsi ginjal.
Pemberian obat-obat lain seperti NSAID atau
probenesid dapat mengurangi sekresi asam lemah
yang menyebabkan penurunan sekresi diuretik loop
(Katzung BG, 2010).
- Indikasi klinis dan Dosis
 Indikasi klinis penggunaan diuretik loop
antara lain, yaitu (Katzung BG, 2010):
 Edema paru akut
 Hiperkalsemia akut
 Hiperkalemia
 Gagal ginjal akut
 Overdosis anion
 Gagal jantung kronik
 Sindrom nefrotik
 Sirosis hepatik dengan komplikasi asites
 Hipertensi
Dosis tipikal agen-agen diuretik loop (Katzung
BG, 2010) sebagai dosis tunggal atau terbagi dalam
dua dosis (Guyton AC, 2006).
Obat Dosis Oral Harian Total
Bumetanid 0.5-2 mg
Asam etakrinat 50-200 mg
Furosemid 20-80 mg
Torsemid 5-20 g
b) Benzotiadiazida atau Tiazid
Semua tiazid dapat diberikan per oral, tetapi
terdapat perbedaan dalam metabolismenya.
Klorotiazid, yakni senyawa induk kelompok ini,
bersifat kurang larut dalam lemak dan harus
diberikan dalam dosis yang relatif besar. Klortalidon
diabsorpsi secara perlahan dan durasi kerjanya lebih
panjang. Meskipun indapamid diekskresi melalui
sistem empedu, bentuk aktif obat ini yang di
ekskresi oleh ginjal cukup untuk menimbulkan efek
diuretiknya di tubulus kontortus distal (Katzung BG,
2010).
Semua tiazid diekskresikan oleh urin dan
kebanyakan melalui sistem sekresi tubular. Hal ini
menyebabkan terjadi persaingan dengan sekresi
asam urat oleh sistem sekresi tersebut. Akibatnya,
penggunaan tiazid dapat menurunkan ekskresi asam
urat dan meningkatkan kadar asam urat serum (Rang
HP, 2011).
- Indikasi Klinis dan Dosis Pemberian
Indikasi diuretik tiazid antara lain, yaitu
(Katzung BG, 2010):
 Hipertensi
 Gagal jantung
 Nefrolitiasis akibat hiperkalsiuria idiopatik
 Diabetes insipidus nefrogenik
Dosis tiazid dan diuretik terkait (Katzung BG,
2010):
Obat Total Dosis Oral Frekuensi
Harian Pemberian
Bendroflumetiazid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Klorotiazid 0.5-2 mg Dua dosis terbagi
Klortalidon 25-50 mg Dosis tunggal
Hidroklorotiazid 25-100 mg Dosis tunggal
Hidroflumetiazid 12.5-50 mg Dua dosis terbagi
Indapamid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Metilklotiazid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Metolazon 2.5-10 mg Dosis tunggal
Politiazid 1-4 mg Dosis tunggal
Quinethazon 25-100 mg Dosis tunggal
Triklormethiazid 1-4 mg Dosis tunggal
bukan suatu tiazid tapi sulfonamida yang secara
kualitatif serupa dengan tiazid (Guyton AC, 2006).
c) Diuretik Hemat Kalium (Antagonis Aldosteron)
Spironolakton diabsorpsi dengan baik di usus.
Awitan dan durasi kerja spironolakton ditentukan
oleh kinetik respons aldosteron di jaringan sasaran.
Waktu paruh spironolakton dalam plasma hanya 10
menit, akan tetapi bentuk metabolit aktifnya,
canrenone memiliki waktu paruh 16 jam.
Spironolakton sebagian besar di inaktivasi di hati.
Secara keseluruhan, awitan kerja spironolakton agak
lambat, dibutuhkan beberapa hari sebelum efek
terapi penuh dicapai. Eplerenon adalah analog
spironolakton yang lebih selektif terhadap reseptor
aldosteron (Katzung BG, 2010).
Amilorid dan triamteren adalah penghambat
langsung influks Na+ di tubulus koligen renalis.
Triamteren dimetabolisme di hati, tetapi ekskresi
ginjal merupakan jalur eliminasi bentuk aktif dan
metabolit triamteren yang utama. Triamteren
memiliki waktu paruh yang lebih singkat sehingga
harus diberikan lebih sering dibandingkan dengan
amilorid (yang tidak dimetabolisme) (Katzung BG,
2010).
- Indikasi Klinis dan Dosis
 Indikasi diuretik hemat kalium antara lain,
yaitu (Katzung BG, 2010):
 Mineralokortikoid yang berlebihan atau
hiperaldosteronisme (aldosteronisme)
 Hipersekresi primer (sindrom conn,
produksi hormon adrenokortikotropik)
 Aldosteronisme sekunder (dipicu oleh gagal
jantung, sirosis hepatik, sindrom nefrotik)
 Hipertensi resisten esensial
Dosis diuretik hemat kalium dan preparat
kombinasi (Katzung BG, 2010).
Nama
Diuretik Hemat Kalium Hidroklorotiazid
Dagang
Aldactazid Spironolakton 25 mg 50 mg
Aldacton Spironolakton 25, 50, atau
---
100 mg
Dyazid Triamteren 37.5 mg 25 mg
Dyrenium Triamteren 50 atau 100 mg ---
Inspra Eplerenon 25, 50, atau 100
---
mg
Maxzid Triamteren 75 mg 50 mg
Maxzide-25 Triamteren 37.5 mg
25 mg
mg
Midamor Amilorid 5 mg ---
Moduretic Amilorid 5 mg 50 mg
eplerenon saat ini disetujui penggunaannya
hanya untuk hipertensi (Guyton AC, 2006).
d) Penghambat Carbonic anhidrase (Inhibitor Karbonik
Anhidrase)
Penghambat karbonik anhidrase diabsorpsi
secara baik setelah pemberian oral. Peningkatan pH
urin akibat diuresis HCO3- tampak dalam waktu 30
menit, maksimal setelah 2 jam, dan bertahan selama
12 jam setelah pemberian dosis tunggal. Obat
diekskresi melalui sekresi di segmen S2 tubulus
proksimal sehingga dosis obat harus diturunkan pada
pasien insufisiensi ginjal (Hardman JG, 2005).
- Indikasi Klinis dan Dosis
Indikasi diuretik inhibitor karbonik anhidrase
antara lain, yaitu (Katzung BG, 2010):
 Glaukoma
 Alkalinisasi urine
 Alkalosis metabolik
 Penyakit gunung akut (acute mountain
sickness)
 Ajuvan dalam terapi epilepsi, paralisis
periodik akibat hipokalemia, dan
hiperfosfatemia

Dosis diuretik inhibitor karbonik anhidrase


yang digunakan per oral dalam terapi glaukoma
(Katzung BG, 2010).
Obat Dosis Oral Normal
Acetazolamide 250 mg 1-4 kali sehari
Diklorfenamide 50 mg 1-3 kali sehari
Methazolamide 50-100 2-3 kali sehari

b. Efek Samping
1) Diuretik Osmotik
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010).:
a) Ekspansi cairan ekstrasel
b) Dehidrasi, hiperkalemia, dan hipernatremia
c) Sakit kepala, mual, dan muntah
d) Edema paru (pada pasien gagal jantung dan kongesti
paru)
2) Diuretika Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit di
dalam tubuli ginjal
a) Diuretik Kuat atau Diuretik Loop (Inhibitor symport
Na+-K+-2Cl-)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Alkalosis metabolik hipokalemik
- Ototoksisitas
- Hiperurisemia
- Hipomagnesemia
- Reaksi alergik dan reaksi lainnya
b) Benzotiadiazida atau Tiazid
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Alkalosis metabolik hipokalemia dan
hiperurisemia
- Gangguan toleransi karbohidrat
- Hiperlipidemia
- Hiponatremia
- Reaksi alergi
- Rasa lemah, letih, paresthesia, dan impotensi
- Hipertensi
c) Diuretik Hemat Kalium (Antagonis Aldosteron)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010) :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik hiperkloremia
- Ginekomastia
- Gagal ginjal akut
- Batu ginjal
d) Penghambat Carbonic anhidrase (Inhibitor Karbonik
Anhidrase)
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu
(Katzung,2010):
- Asidosis metabolik hiperkloremik
- Batu ginjal
- Pembuangan kalium ginjal
- Rasa mengantuk, paresthesia, toksisitas sistem saraf,
dan reaksi hipersensitivitas
- Depresi sum-sum tulang
- Toksisitas pada kulit
c. Interaksi dengan Makanan
Beberapa obat jenis diuretik dapat menyebabkan hilangnya
mineral potassium, kalsium, magnesium didalam tubuh. Saat
mengkonsusmi obat jenis diuretik makanan yang mengandung
potassium perlu dihindari, seperti pisang, sayur, jeruk dan yang
lainnya (FDA).
3. Antibiotik
Terapi antibiotik digunakan jika pasien pasien sindroma nefrotik
mengalami infeksi. Infeksi ini harus diobati dengan adekuat untuk
mengurangi morbiditas penyakit. Jenis antibiotik yang banyak dipakai yaitu
dari golongan penisilin dan sefalosporin ( Hay William, 2003).
a. Mekanisme Antibiotik
Profil farmakokinetik antibiotik dinyatakan dalam konsentrasi di
serum dan jaringan terhadap waktu dan mencerminkan proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Karakteristik
penting farmakokinetik meliputi peak & trough konsentrasi di
serum, waktu paruh (T1/2), bersihan (clearance) dan volume
distribusi. Data farmakokinetik berguna untuk memperkirakan
dosis antibiotik yang tepat, frekuensi pemberian dan mengatur
dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi (Cunha, 2002;
Archer, 2005).
Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya
bioavailability obat setelah pemberian secara oral atau suntikan.
Bioavailability diartikan sebagai besarnya persentase dosis obat
yang mencapai sirkulasi sistemik dari tempat masuknya. Obat
harus melewati beberapa membran untuk mencapai tempat
kerjanya. Membran-membran yang spesifik tersebut tergantung
pada tempat kerja dan route of administration. Absorpsi obat
melewati membran dipengaruhi oleh ukuran molekul, kelarutan
dalam lemak, derajat ionisasi dan pH. Sebagian besar obat larut
dalam air dan juga lemak. Dikatakan bahwa semakin tinggi ratio
kelarutan dalam lemak dibanding air semakin cepatlah absorpsi
pasif obat tersebut. Kelarutan obat dalam lemak disebut
lipophilicity sedangkan kelarutan dalam air disebut
hydrophilicity. Di dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang
disebut interchangeable forms yaitu larut-air (bentuk ion) dan
larut-lemak (nonion). Semakin lipophilic suatu obat, semakin
mudah menembus membran. Sedangkan yang hydrophilic akan
cenderung berada dalam darah. Ketika dilarutkan, sebagian
molekul obat akan terionisasi yang persentasenya ditentukan oleh
keasaman obat dan keasaman pelarutnya serta pKa yaitu pH saat
50% molekul obat terionisasi. Persentase molekul nonionized
menentukan jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga
menentukan rate of absorption (Chambers, 1996; Cunha, 2002).
Sebagian besar infeksi terjadi di ekstravaskular dan
antibiotik harus mampu mencapai tempat tersebut. Jika infeksi
terletak di lokasi yang terlindung dimana penetrasi obat menjadi
rendah seperti cairan serebrospinal, mata, prostat, vegetasi
jantung yang terinfeksi dibutuhkan dosis antibiotik yang tinggi
dan jangka waktu lebih lama untuk terapi. Sebagian besar bakteri
penyebab infeksi pada manusia berada ekstraselular. Pathogen
intraselular seperti Legionella, Chlamydia, Brucella, Salmonella
dan Mycobacteria mampu bertahan dan menimbulkan
kekambuhan jika diobati dengan antibiotik yang tidak bisa masuk
sel. Pada umumnya, antibiotik β-laktam, vankomisin dan
aminoglikosida penetrasinya ke sel rendah sedangkan makrolid,
tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, co-trimoksazol dan
quinolon penetrasinya ke sel baik (Archer, 2005).
Sebagian besar antibiotik dalam tubuh akan mencapai
keseimbangan di jaringan dan plasma. Penelitian menunjukkan
bahwa proses distribusi antibiotik ditandai adanya variabilitas
antar individu dan antar jaringan. Kadar obat di tempat infeksi
berbeda dengan kadar di plasma. Kadar dibawah MIC dapat
memicu terjadinya resistensi. Hal ini perlu diperhatikan jika
terdapat ketidaksesuaian antara respons klinis dan hasil tes
kepekaan. Hambatan penetrasi jaringan oleh antibiotik paling
baik ditunjukkan pada infeksi sistem saraf pusat (SSP).
Mekanisme barrier di SSP dan organ lain merupakan pompa
transport aktif sehingga obat dapat masuk ke tempat infeksi.
Dalam keadaan keseimbanganpun, konsentrasi antibiotik di
tempat infeksi lebih rendah daripada di plasma. Mekanisme ini
sudah terbukti secara in vitro dan in vivo (Muller, 2004).
Antibiotik mengalami eliminasi di hati, ginjal atau
keduanya baik dalam bentuk yang tidak berubah atau
metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya terutama di
ginjal, bersihan suatu obat berkorelasi linear dengan creatinine
clearance. Sedangkan antibiotik yang eliminasinya terutama di
hati tidak ada petanda yang bisa dipakai untuk mengatur dosis
pada pasien dengan penyakit hati (Archer, 2005). Pada pasien
dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan pengaturan dosis.
Penggunaan antibiotik aminoglikosida, vankomisin atau
flusitosin harus lebih hati-hati karena eliminasi obat tersebut di
ginjal dan toksisitasnya seiring dengan konsentrasinya di plasma
dan jaringan. Obat-obat yang metabolisme atau ekskresinya oleh
hepar (eritromisin, kloramfenikol, metronidazol, klindamisin)
dosisnya harus diturunkan pada pasien dengan kegagalan fungsi
hepar (Chambers, 1996).
Indikasi antibiotik yaitu apabila pasien mengalami infeksi.
Antibiotik dieksresi melalui ginjal dan sekitar 10% dari
ekskresinya oleh filtrasi glumerolus dan 90% oleh tubulus serta
stabil terhadap enzim beta laktamase. Karena eksresinya
melalui ginjal maka dalam pemberiannya perlu memodifikasi
dosisnya. Pemberiannya sesuai dosis untuk mengurangi efek
toksik ( Petri,2001).
b. Efek Samping
Efek samping dari pemberian antibiotik adalah :
- Reaksi alergi
- Reaksi idiosinkrasi
- Reaksi toksik
- Perbuahan biologik dan metaboliks
c. Interaksi dengan makanan
Dikonsusmsi 1 sebelum makan atau 2 jam sesudah makan serta
tidak boleh mengkonsumsi bersamaan dengan susu dan produk
olahannya ( keju, yogurt) serta minuman yang kaya kalsium (FDA).

D. Hubungan Aspek Gizi dengan Perkembangan Penyakit


1. Protein
Pemberian diet yang tinggi protein tidak diperlukan bahkan
sekarang dianggap kontraindikasi karena akan menambah beban
glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan
menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 2 g/kgBB/hari. Namun diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita
edema.
2. Karbohidrat (tidak ada hubungan)
3. Lemak
Tinginya kadar LDL pada Sindroma nefrotik disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan
sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada Sindroma nefrotik. Menurunnya
ektivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada Sindroma nefrotik. Peningkatan
sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada sindroma nefrotik
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada Sindroma nefrotik. Lipiduria sering
ditemukan pada Sindroma nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat
bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria
4. Vitamin A (tidak ada hubungan)
5. Vitamin D
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium
dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan
diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar
plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun
sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena
fungsi ginjal pada Sindroma nefrotik, umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang
dijumpai. Pada Sindroma nefrotik, juga terjadi kehilangan hormone tiroid
yang terikat protein melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma.
Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (TSH) tetap
normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.
6. Vitamin E (tidak ada hubungan)
7. Vitamin K (tidak ada hubungan)
8. Vitamin C (tidak ada hubungan)
9. Vitamin B (tidak ada hubungan)
10. Kalsium
Pada Sindroma nefrotik, hipokalsemia dapat terjadi selain karena
gangguan regulasi kalsium yang tidak baik oleh ginjal. Kalsium sebagian
besar akan berikatan dengan protein, sehingga kadar kalsium total serum
sangat dipengaruhi oleh kadar protein, terutama albumin. Penurunan
kalsium total serum pada SN terjadi akibat bertambah jumlah protein-
binding, yang ikut terbuang melalui urin. Disamping itu juga karena
penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia, serta kebocoran metabolit vitamin D.

11. Natrium (tidak ada hubungan)


12. Besi (tidak ada hubungan)
13. Seng (tidak ada hubungan)
14. Iodium (tidak ada hubungan)
15. Tembaga (tidak ada hubungan)
16. Mangan(tidak ada hubungan)
17. Krom (tidak ada hubungan)
18. Selenium (tidak ada hubungan)
2.4.1. Tujuan diet
Tujuan diet sindroma nefrotik adalah:
- Mengganti kehilangan protein terutama albumin
- Mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh
- Memonitor hiperkolestrolemia dan penumpukan trigeserida
- Mengontrol hipertensi
- Mengatasi anoreksia

2.4.2. Syarat diet


Syarat-syarat diet sindroma nefrotik adalah:
- Eenergi cukup untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen positif, yaitu 35 kkal/kg BB per hari
- Protein sedang, yaitu 1,0 g/kg BB, atau 0,8g/kg BB ditambah
jumlah protein yang dikeluarkan melalui urin. Diutamakan
penggunaan protein bernilai biologik tinggi
- Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total.
Perbandingan lemak jenuh lemak tunggal, dan lemak ganda
adala 1:1:1
- Karbohidrat sebagai sisa kebutuhan energi. Diutamakan
penggunaan karbohidrat kompleks
- Natrium dibatasi, yaitu 1-4g sehari, tergantung berat
ringannya edema
- Kolestrol dibatasi <300 mgg, begitu pula gula murni, bila ada
peningkatan trigeserida darah
- Cairan disesuaikan dengan banyaknya cairan yang
dikeluarkan melalui urin ditambah 500 ml pengganti cairan
yang dikeluarkan melalui kulit dan pernafasan

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S, 2010, Penuntun Diet, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta


Arsita E, 2017, Pendektan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik,
Jurnal Kedokteran Meditek: 23(64)
Baradero. M., Dayrit, M. W., dan Siswadi, Y. 2009. Klien Gangguan Ginjal :
Asuhan Keperawatan. Jakarta; EGC
Baxter K, 2008, Stockley’s Drug Interactions: 8 th Edition. Pharmaceutical Press,
London
Bobroff L.B,dkk, 2009, Food/ Drug and Drug/ Nutrition Interactions: What You
Should Know About Your Medications, Uuniversity of Florida
Chanchlani R dan Parekh RS. 2016. Ethnic Differences in Childhood Nephrotic
Syndrome. Front Pediatr [Internet];4(April):2–7
Azis A.L, Penggunaan Kortikosteroid di Klinik, Jurnal Divisi Gawat Darurat,FK
Unair/RSUD dr. Soetomo, Surabaya
FDA, Avoid Food Drug Interactions
Guyton AC, Hall JE, 2006, Textbook of Medical Physiology: The Body Fluids and
Kidneys. 11th Edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 308-10.

Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, 2005,Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basic of Therapeutics: Drugs Affecting Renal and
Cardiovascular Function, 11th Edition, McGraw-Hill, California, p. 735-
62.
Haycock. 2003. Clincical Paediatic Nefrology: 3 rd Edition, Oxford University
Press, New York
Katzung BG, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat-Obat Kardiovaskular-
Ginjal, Edisi 10, EGC, Jakarta, p. 240-58.
Perdede S.O, 2017, Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom nefrotik pada
Anak, Sari Pediatri, 19: 53-62
Petri W.A, 2001. Antimicrobial Agents In Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basic OF Therapics: 9 th Edition, Mc Graw- Hill Inc,
New York
Prodjosudjadi, W. 2006. Sindrom Nefrotik pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi 4. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI
Ranganathan S. 2016. Pathology of Podocytopathies Causing Nephrotic
Syndrome in Children. Front Pediatr [Internet]; 4(March): 32
Rang HP, Dale MM, R itter JM, Flower RJ, Henderson G, 2011, Rang and Dale’s
Pharmacology: DrugsAffecting Major Organ Systems, 7th Edition,
Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 353-56.
Samadi A, 2010, Steroid Induceed Cataract Dalam : Levin L, Albert D. Ocular
Disease: Mechanism and Management Chapter 33, Saunder Elseveier,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai